Anda di halaman 1dari 48

KEPEMIMPINAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ

DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM


YANG TERKANDUNG DI DALAMNYA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh
HERMANTO
NIM 208011000042

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
33

oleh hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pedoman bagi aspek
kehidupan manusia, baik duniawi maupun akhirat.9
Adapun menurut hasil rumusan pendidikan Islam seIndonesia tahun
1960, memberikan pengertian pendidikan Islam: “Sebagai bimbingan
terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan
hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi
berlakunya semua ajaran Islam. Istilah membimbing, mengarahkan,
mengasuh, mengajarkan, atau melatih mengandung pengertian usaha
mempengaruhi jiwa anak didik melalui proses setingkat demi setingkat
menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan taqwa dan akhlak serta
menegakkan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan
berbudi luhur sesuai ajaran Islam”.10
Penjelasan mengenai pengertian pendidikan Islam sebagaimana
dipaparkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa, pendidikan Islam dapat
diartikan sebagai sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan
manusia-manusia yang seutuhnya, beriman dan bertaqwa kepada Allah
SWT serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai hamba Allah dimuka
bumi ini, yang berdasarkan ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah, maka tujuan
dalam konteks ini berarti terciptanya insan-insan kamil setelah proses
pendidikan berakhir.
Menurut undang-undang tentang sistem pendidikan nasional
dinyatakan bahwa: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. 11

9
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis berdasarkan
pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), Cet. 4, h. 8.
10
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. V,
h. 15.
11
Mundzir Suparta, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap
Perilaku Keagamaan Masyarakat, (Jakarta: Asta Buana Sejahtera, 2009), Cet. I, h. 284.
34

Adapun nilai-nilai dalam Islam mengandung dua katagori dilihat dari


segi normatif, yaitu baik dan buruk serta benar dan salah.12
Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam yang
mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi sesuatu
rangkaian atau sistem didalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar
pengembangan jiwa seseorang sehingga bisa memberi hasil yang baik
baginya dan masyarakat luas. Dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan
keimanan, ibadah dan akhlak mulia, diharapkan setiap orang kehidupannnya
menjadi terarah baik di dunia maupun di akhirat.
Dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan Islam adalah sifat atau hal-
hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar
kehidupan manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi
kepada Allah SWT.

B. Dasar-dasar Nilai Pendidikan Islam


Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah pandangan hidup
yang mendasari seluruh aktifitas pendidikan. Karena dasar menyangkut
masalah ideal dan fundamental, maka diperlukan landasan pandangan hidup
yang kokoh dan komperhensif, serta tidak mudah berubah. Hal ini karena
telah diyakini memiliki kebenaran yang telah teruji oleh sejarah. Kalau
nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang dijadikan dasar pendidikan bersifat
relatif dan temporal maka pendidikan akan mudah terombang ambing oleh
kepentingan dan tuntutan yang bersifat teknis dan pragmatis.13
Adapun dasar-dasar nilai pendidikan Islam antara lain:
a. al-Qur’an
Secara etimologi al-Qur’an berasal dari kata Qara’a, yaqra’u,
Qira’atan atau Qur’anan, yang berarti mengumpulkan (al-Jam’u) dan
menghimpun (al-dhammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke

12
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), Cet. V,
h. 12.
13
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, op. cit., h. 59.
35

bagian yang lain secara teratur. Muhammad Salim Muhsin mendefinisikan


al-Qur’an dengan: “Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf dan diriwayatkan kepada kita
dengan jalan yang mutawatir dan membacanya dinilai ibadah serta sebagai
penentang (bagi yang tidak percaya) walaupun surat terpendek. Sedang
Muhammad Abduh mendefinisikannya dengan: “Kalam mulia yang
diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW, ajarannya
mencangkup keseluruhan ilmu pengetahuan.14
Definisi tentang al-Qur’an yang lebih konferhensif, antara lain
dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf sebagaimana yang telah dikutip
oleh Abuddin Nata sebagai berikut: “al-Qur’an adalah firman Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdullah melalui Ruhul
Amin (malaikat Jibril) dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan
maknanya yang benar, agar menjadi hujjah (dalil yang kuat) bagi Rasul,
bahwa ia memang benar-benar seorang Rasul, menjadi undang-undang bagi
manusia, mereka dapat mengambil petunjuk dengan menjadi sarana
pendekatan diri kepada Allah dengan membacanya.15
Dapat penulis pahami bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab yang terang untuk
menjelaskan jalan hidup yang bermaslahat bagi umat manusia di dunia dan
di akhirat.
Al-Qur’an dijadikan sebagai sumber pendidikan Islam yang pertama
dan utama karena memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Allah.
Kemudian Allah menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik
manusia yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyunya.
Tidak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan yang luput dari
jangkauan al-Qur’an.16

14
Abdul Mujib, et.al., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008), Ed. Ke-1, Cet. II, h. 32.
15
Abudin Nata, Studi Islam Komperhensif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2011), Cet. I, h. 28.
16
Abdul Mujib, et al, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2008), Cet. II, h. 32.
BAB IV
NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DAN
IMPLEMENTASINYA YANG TERKANDUNG DALAM
KEPEMIMPINAN ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ

Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar menunjukkan garis besar politik


kebijaksanaan. Fakta historis menunjukkan bahwa pemerintahan Abu Bakar
banyak menuai keberhasilan, baik keberhasilan internal maupun eksternal. Dan
terdapat pula nilai-nilai potif dari aspek pendidikan Islam yang diajarkan oleh
khalifah Abu Bakar. Untuk itu penulis akan menggali nilai-nilai pendidikan Islam
yang terkandung dalam kepemimpinannya.
Penulis sangat berharap kiranya dari nilai-nilai pendidikan serta
implementasinya dalam pengajaran yang akan menjadi pembahasan dapat
bermanfaat dalam menambah khazanah ilmu terutama dalam kaitannya dengan
pembinaan pendidikan, adapun nilai-nilai pendidikan tersebut meliputi pendidikan
ketegasan, keberanian, kedermawanan, keadilan, kejujuran dan kewibawaan.

A. Nilai-nilai Pendidikan Islam


1. Ketegasan
Meskipun kaumnya mengenal Abu Bakar sebagai pribadi yang lemah
lembut, santun, dan murah hati, Abu Bakar di kenal bersifat tegas, yang
merupakan sifat terpuji yang dimilikinya. Salah satu ketegasan Abu Bakar
yaitu ketika Fuja‟ah telah mengkhianati amanah, menipu Abu Bakar dan

43
44

kaum muslimin dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Jarang


orang marah seperti marahnya orang yang tertipu lebih-lebih penipuan yang
mengakibatkan pengkhianatan dan penumpahan darah.
Fuja‟ah datang kepada Abu Bakar meminta sejumlah senjata untuk
memerangi kaum murtad. Dengan senjata itu ia menyerang kaum muslimin
yang tidak bersalah dan mengacau di sepanjang jalan dengan merampok,
merampas dan menumpahkan darah. Ketika ia tertawan, maka Abu Bakar
menetapkan hukuman yang setimpal baginya, yaitu melemparkannya ke
dalam api. Dengan demikian kita dapat mengetahui ketegasan Abu Bakar
Ash-Shiddiq.
Ketegasan Abu Bakar juga terbukti dalam menciptakan stabilitas
kehidupan umat Islam. Perbaikan sosial yang dilakukan Abu Bakar ialah
mengamankan tanah Arab dari para penyeleweng (orang-orang murtad,
nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat).
Di masa awal pemerintahan Abu Bakar, diwarnai dengan berbagai
kekacauan dan pemberontakan, seperti munculnya orang-orang murtad,
orang-orang yang mengaku dirinya Nabi, pemberontakan dari beberapa
kabilah Arab dan banyaknya orang-orang yang ingkar membayar zakat.
Diantara orang-orang yang mengaku dirinya menjadi nabi yang paling
berbahaya ialah Musailamah Al- Kazzab dari bani Hanifah di al Yamamah.
Musailamah ini telah mengaku menjadi nabi semenjak Rasulullah masih
hidup. Ada juga Al-Aswad al „Ansi di Yaman, dan Thulaihah ibn Khuwailid
dari Bani Asad. Diantara pengikut-pengikut nabi-nabi palsu itu banyak yang
mengetahui kepalsuan dan kesesatan nabi-nabi palsu itu, namun mereka
mau mendukung dan menggabungkan diri kepada nabi-nabi palsu itu,
hanyalah agar mereka jadi kuat untuk menghadapi quraisy yang hendak
memonopoli kekuasaan di tanah Arab.1
Mereka mengira, bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang lemah,
sehingga mereka berani membuat kekacauan. Pemberontakan kabilah

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
h. 3.
45

disebabkan oleh anggapan mereka bahwa perjanjian perdamaian yang dibuat


bersama Nabi SAW bersifat pribadi dan berakhir dengan wafatnya Nabi
SAW, sehingga mereka tidak perlu lagi taat dan tunduk kepada penguasa
Islam yang baru. Orang-orang yang enggan membayar zakat hanyalah
karena kelemahan iman mereka.
Maka Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat dan kaum
muslimin menentukan apa tindakan yang harus diambil dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan ini. Kemudian dengan tegas, dinyatakannya seraya
bersumpah, bahwa beliau akan memerangi semua golongan yang telah
meneyeleweng dari kebenaran, seperti kaum murtad, mengaku jadi nabi,
ataupun yang tidak mau membayarkan zakat, sehingga semuanya kembali
kepada kebenaran, atau beliau gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan
kemuliaan agama Allah. Dan kemudian ini disambut dan didukung kuat
oleh golongan terbesar dari kaum muslimin atau oleh seluruh kaum
muslimin. Dan orang-orang Quraisy menyerahkan putera-putera mereka
untuk menjalankan perintah Abu Bakar ini.2
Sungguh merupakan keputusan tegas beliau dalam memerangi kaum
murtad. Ketegasan Abu Bakar terhadap kaum murtad tidaklah santai, tidak
ada tawar-menawar di dalamnya, dan tidak ada keramahan. Selamat dan
kekalnya agama ini dalam aspek kesuciannya, kemurniannya, dan
keasliannya adalah berkat jasa keagungan Abu Bakar Ash-Shiddiq, tentu
dengan mendapatkan pertolongan Allah Swt. Setelah para pemberontak
tersebut berhasil dikalahkan, tanah Arab pun bersatu kembali dan bertambah
kuat berpegangan kepada ajaran Allah.

2. Keberanian
Dibalik sikapnya yang ramah dan murah hati, Abu Bakar sejatinya
adalah seorang pemberani terutama dalam membela kebenaran atau pun
mereka yang terzalimi. Beliau juga seorang yang cerdas dan paling diterima

2
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Khusna, 1983), h.
226.
46

pendapatnya. Diantara sikap kepahlawanan yang dianggap sebagai


kebanggaan yang disematkan dalam diri Abu Bakar adalah keberanian
menghadapi setiap orang yang menghalanginya di jalan dakwah, serta
pertolongan yang telah diberikannya pada Nabi Muhammad.
Keberanian Abu Bakar salah satunya adalah ketika Uqbah Ibn Abi
Mu‟ith mencekik nabi Muhammad saat berada di dalam ka‟bah. Imam
Bukhari meriwayatkan hadis Urwah ibnu Zubair yang bertanya kepada
Abdullah ibn Amr ibn Ash, “ceritakan kepadaku tentang kelakuan paling
kasar dari orang musyrik terhadap nabi Muhammad saw.”
Abdullah ibn Amr menjawab, ketika beliau melakukan shalat di dalam
ka‟bah, tiba-tiba datang Uqbah ibn Abi Mu‟ith meletakan selendang di leher
Nabi Muhammad dan menariknya dengan kuat tak berselang lama, Abu
Bakar datang beliau pun memegang pundak Uqbah untuk menyelamatkan
Nabi Muhammad saw.3
Abu Bakar berkata kepadanya dengan membaca sebuah ayat yang
artinya:

             

“Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki Karena dia


menyatakan: Tuhanku ialah Allah padahal dia Telah datang kepadamu
dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. (QS. Al-Mu‟min:
28).

Sebagai bukti lain keberanian Abu Bakar yaitu ketika beliau


menyuarakan kebenaran. Saat kaum Yahudi Madinah mulai terang-terangan
bersikap terhadap perkembangan Islam yang kian mendapat tempat di hati
penduduk Madinah, Abu Bakar perlu mendatangi mereka dipusat
perkumpulannya yaitu bait Al-Midras, untuk melakukan dialog keagamaan
dengan mereka.

3
Ibrahim al-Quraibi, Tarikh Khulafa‟, (Jakarta: Qhisti Press, 2009), Cet. I, h. 141.
47

Saat berada di Bait Al-Midras, Abu Bakar melihat orang-orang


Yahudi yang sedang berkumpul termasuk Finhas juga tokoh penting Yahudi
lainnya bernama Asya‟, Saat bertemu Abu Bakar berkata:
“Binasahlah kau wahai Finhas, takutlah kepada Allah dan masuklah
agama Islam “Demi Allah engkau telah mengetahui bahwa Muhammad
adalah utusan Allah. Dia datang di tengah-tengah kalian untuk
membawa kebenaran dari Allah dan kalian mengetahui nama
Muhammad telah tertulis dalam kitab Taurat dan Injil.”

Ini adalah salah satu keberanian Abu Bakar seorang yang berani
menyuarakan kebenaran di hadapan musuh-musuh Allah. Beliau berani
berkata tegas kepada pendeta Yahudi itu karena sudah menghalangi dakwah
Islam. Kaum Yahudi mengetahui bahwa akan hadir seorang Nabi Allah
bernama Nabi Muhammad sebagaimana yang tercantum dalam kitab suci
Taurat. Akan tetapi mereka sengaja menyembunyikan fakta tersebut. Itulah
watak dasar kaum Yahudi yang menyembunyikan kebenaran suka
berkhianat, berbohong serta angkuh.4
Di medan perang pun beliau diakui keberaniannya serta memiliki jiwa
patriotik yang tidak tertandingi, realita tersebut diakui para sahabat dan
tidak ada satu pun yang memungkiri keberaniannya.
Muhammad bin Aqil menuturkan, “suatu hari saat kami berkumpul
bersama para sahabat, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib berbicara dihadapan
orang banyak, siapakah orang yang paling berani diantara umat ini?
semua yang hadir menjawab serentak, andalah orang yang paling berani
wahai putra Abu Thalib! Siapapun tau, anda paling pandai memainkan
pedang dan selalu tampil gemilang mengalahkan musuh-musuh Allah.”

Usai mendengar jawaban mereka, Ali bin Abi Thalib berkata tegas,
“Mungkin kalian menilai seperti itu karena tidak ada satu pun diantara
kalian yang mampu mengungguli permainan pedangku atau mengalahkanku
saat bertanding pedang. Bisa saja kalian menilai diriku orang paling berani
karena setiap pedang selalu terbelah menjadi dua saat bertanding denganku.

4
Misbah Em Majidy, Abu Bakar The 1st Khalifah,(Bandung: PT. Syigma Examedia
Arkanlema, 2013), h. 89.
48

Akan tetapi, sejujurnya aku katakan kepada kalian bahwa orang yang paling
berani diantara umat ini adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Orang-orang lantas bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, apa alasan
anda menyebut Abu Bakar sebagai orang paling berani diantara kita, wahai
putra Abu Thalib? Ali menjawab, “Dalam sebuah peperangan kami
mendirikan tenda untuk didiami Rasulullah. Kemudian diantara kami saling
bertanya, siapakah yang akan mengawal Rasulullah ditenda ini agar tidak
terjadi sesuatu kepadanya? Demi Allah, tidak ada seorangpun yang berani
menerima tawaran tersebut kecuali Abu Bakar. Ketika pasukan kafir
mendekati tenda Rasul, Abu Bakar dengan sigap menghunuskan pedangnya
dan menghabisi setiap pasukan musuh yang mendekati tenda Rasul. Oleh
sebab itu menurutku, Abu Bakarlah yang paling pemberani.5
Tetapi apa yang menghilangkan kekaguman kita tidak mengubah
penghargaan kita atas keberaniannya tampil ke depan umum dalam situasi
ketika orang masih serba menunggu, ragu dan sangat berhati-hati.
Keberanian Abu Bakar ini patut sekali kita hargai, mengingat dia pedagang,
yang demi perdagangannya diperlukan perhitungan guna menjaga
hubungan baik dengan orang lain serta menghindari konfrontasi dengan
mereka, yang akibatnya berarti menentang pandangan dan kepercayaan
mereka. Ini dikhawatirkan kelak akan berpengaruh buruk terhadap
hubungan dengan para relasi itu.
Dengan uraian tersebut di atas sikap keberanian yang dimiliki Abu
Bakar Ash-Shiddiq mengajarkan kita arti dari keberanian. Keberanian
adalah alat dari pada alasan diri secara keseluruhan untuk membuat diri kita
melawan atau memerangi musuh nyata dalam diri kita untuk merebut hak
dan kewajiban kita, menawarkan sebuah pergerakan yang kuat menjadi
lebih kuat lebih pintar dan lebih percaya diri, percaya pada kemampuan kita
membuat suatu pergerakan membangkitkan semangat hidup pergerakan
serikat pemberontak untuk memerangi pribadi diri sendiri, seakan berperang

5
Ibid., h. 179.
49

melawan hawa nafsu, berjuang melawan nafsu diri sendiri suatu kekuatan
lahiriah dengan kontak batin yang bersatu dalam satu tujuan.

3. Kedermawanan
Di antara sahabat nabi Muhammad Abu Bakar adalah yang paling
dermawan dan paling banyak memberikan sumbangan untuk perjuangan di
jalan Allah. Ketika masuk Islam, hartanya sangat banyak dan semuanya di
infaqkan untuk kepentingan dakwah, demi memuliakan kalimat Allah dan
membantu perjuangan Nabi Muhammad Saw.
Salah satu kedermawanan Abu Bakar yaitu, pada tahun ke-6 Hijriah,
Rasulullah mendapat informasi penting bahwa raja Romawi, telah bersekutu
dengan kabilah-kabilah Arab yang dipelopori kaum Nasrani dari suku
Judzam untuk menghancurkan Islam. Mereka akan menyerang Hijaz dengan
target utama membunuh Muhammad. Kaisar Romawi ini mengerahkan
ratusan ribu pasukannya untuk melenyapkan Islam dibumi. Rasulullah
kemudian menyiapkan pasukan Islam untuk bergerak menuju Tabuk untuk
menghadapi serangan pasukan Romawi.
Sejarah mewartakan tingkat kesulitan yang dihadapi kaum muslim
dalam perang Tabuk sangatlah besar, yaitu letak geografis wilayah Tabuk
yang jauh dari Madinah. Kondisinya yang sangat gersang dan situasi
kehidupan yang sangat sulit di daerah tersebut. Sebelum berangkat
Rasulullah menjelaskan secara terperinci tentang kondisi dan tugas berat
yang dihadapi kaum muslim dalam pertempuran melawan musuh Islam
yang jumlahnya ratusan ribu.6
Umar bin Khattab menuturkan, “Saat perang Tabuk, Rasulullah
menyerukan kepada kaum muslim untuk mengumpulkan dana untuk
membiayai perang besar melawan imperium Romawi dan para sekutunya.
Umar segera menemui Rasulullah dan menyerahkan separuh dari seluruh
harta yang aku miliki untuk perjuangan Islam. Usai menerimanya, Rasul

6
Ali Muhammad Ash-Shalabi, Biografi Abu Bakar Ash-shiddiq, (Jakarta: Pustaka
Al-kausar, 2013), h.58.
50

berkata, “Berapa yang kausisakan untuk keluargamu, wahai putra Al-


Khatab? Aku menjawab sebanyak yang aku serahkan kepadamu, wahai
utusan Allah.”
Kemudian, datang Abu Bakar Ash-Shiddiq menyerahkan seluruh harta
miliknya untuk perjuangan Islam. Setelah menerimanya, Rasul bertanya,
“Berapa yang kau sisakan untuk keluargamu, wahai putra Abu Quhafah?
Abu Bakar menjawab, Aku sisakan untuk keluargaku Allah dan Rasul-Nya.
Demi Allah, aku tidak akan mampu mengungguli Abu Bakar dalam berbuat
kebaikan.”
Sikap kedermawanannya juga ditunjukkan ketika Abu Bakar membeli
seorang budak bernama Bilal. Ketika itu keadaan kaum muslimin mendapat
gangguan, intimidasi, teror serta kekerasan yang dilancarkan oleh orang-
orang musyrikin terhadap Rasulullah dan para sahabat. Dengan itu mereka
dapat memalingkan kaum muslimin dari akidah keislaman serta itu pun
merupakan bentuk dari luapan kebencian dan kemarahan orang-orang
musyrikin terhadap Islam.
Bilal misalnya, ia mengalami penyiksaan yang luar biasa, sementara ia
tidak memiliki orang yang bisa menopangnya, tidak memiliki kaum atau
klan yang bisa melindunginya. Orang seperti Bilal ini ditengah masyarakat
Jahiliyah Mekkah tidak memiliki nilai apa-apa, tidak memiliki peran dalam
kehidupan melainkan hanya melayani, patuh dan diperjual belikan. Jika
orang seperti Bilal ternyata memiliki pendapat, pemikiran, dakwah atau
posisi, maka dalam masyarakat Jahiliyah Mekkah dianggap sebagai sebuah
kejahatan yang menggoncangkan pilar-pilar dan sendi-sendi tatanan
masyarakat Jahiliyah Mekkah.
Ketika majikannya Umayah bin Khalaf mengetahui hal itu, maka ia
pun mulai mengambil langkah antara mengintimidasi dirinya dan terkadang
membujuknya. Namun Umayyah bin Khalaf tidak mendapati dari diri Bilal
melainkan keteguhan sikap dan pendirian serta tidak bersedia untuk kembali
ke belakang kepada kekafiran, kejahiliyahan dan kesesatan.
51

Umayyah bin Khalaf pun membawa Bilal ke tengah gurun dan


memanggangnya di bawah panasnya terik matahari lalu diletakkannya pula
sebongkah batu besar di atas dadanya. Kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq
pun pergi ke lokasi penyiksaan kemudian membebaskan dengan membeli
budak tersebut lalu memerdekakannya. Dalam sebuah riwayat disebutkan,
bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq membeli bilal dengan harga tujuh uqiyyah
atau empat puluh uqiyyah emas.7
Demikianlah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah sosok pemberi
kebebasan dan pemerdeka budak-budak, menyambung silaturahim, orang
yang dikenal gemar membantu orang yang sedang kesulitan, tertimpa
musibah dan kesusahan. Hatinya sungguh dipenuhi dengan kelembutan,
belas kasih dan sayang kepada orang-orang yang lemah. Ia tidak segan-
segan menginfakkan hartanya dalam jumlah yang cukup besar demi
mendapatkan Ridha Allah SWT.
Bukan seberapa banyak nominal yang disumbangkan atau sebesar apa
materi yang telah diberikan, melainkan dalam ketulusan yang jernih dan niat
yang utuh membelanjakan harta dijalan Allah, kesediaan untuk berbagi,
ketulusan membantu perjuangan Islam, itulah yang akan membawa para
pelakunya kepada kemuliaan dan derajat luhur disisi Allah, seperti yang
tercermin dalam diri Abu Bakar Ash-Shiddiq.8
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa pada masa
jahiliyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah seorang saudagar. Ia terbiasa
menjelajahi negri-negri yang ada untuk berniaga. Ia memiliki modal sebesar
empat puluh ribu dirham. Saat ia masuk Islam semuanya dibelanjakan untuk
perjuangan Rasul, terutama untuk memerdekakan para hamba sahaya yang
disiksa majikannya karena memeluk agama Islam serta keperluan
perjuangan Islam lainnya.
Begitulah kedermawanan Abu Bakar yang menginfaqkan seluruh
hartanya di jalan Allah dengan ikhlas beramal demi kepentingan perjuangan

7
Ibid., h.58.
8
Majidy, op. cit., h. 107.
52

Islam sehingga Rasulullah pun memberikan jaminan yang besar di akhirat.


Kita dapat mengambil pelajaran dari sikap dan keteladanan Abu Bakar yang
tidak rakus terhadap harta kekayaan. Meski ia adalah seorang khalifah,
namun tetap memilih hidup sederhana demi menjaga amanah.

4. Keadilan
Abu Bakar adalah sosok yang menjadi contoh dan teladan dalam
keadilannya yang begitu menawan hati, memukau akal pikiran. Keadilan
dalam pandangan Abu Bakar adalah sebuah dakwah praktis yang bisa
menjadi media yang efektif untuk membuka hati manusia untuk beriman.
Abu Bakar benar-benar mempraktikkan keadilan diantara manusia
dalam hal pemberian, meminta mereka supaya membantu dan mendukung
dirinya dalam menegakkan keadilan, serta menawarkan dirinya untuk
diqishos dalam sebuah kasus dalam hal ini menunjukkan sikap adil dan rasa
takut kepada Allah.
Peradilan pada era Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan
kepanjangan dari wajah peradilan pada periode kenabian (masa Rasulullah).
Hal itu termanifetasikan dalam bentuk komitmen total terhadap peradilan
pada masa Rasulullah, meniru manhajnya, semaraknya nuansa tarbiyah
diniyah, keterikatan dengan iman dan akidah, lebih mengedepankan kontrol
agama.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Al-Ash, bahwasannya Abu
Bakar pada suatu hari jum‟at berdiri lalu berkata, “Jika kita memasuki
waktu pagi, maka tolong bawa kesini zakat Unta, kami akan membaginya
dan tidak boleh ada satu orangpun yang masuk menemui kami kecuali harus
dengan izin. Lalu ada seorang perempuan berkata kepada suaminya, ambil
dan bawalah khitam (tali untuk mengikat dan mengendalikan Unta). Lalu si
suami pun datang, Kemudian mendapati Abu Bakar dan Umar bin Khatab
telah memasuki ke tempat Unta. Ia pun ikut masuk bersama beliau berdua.
Melihat hal tersebut, Abu Bakar Ash-Shiddiq langsung menoleh dan
berkata, “kenapa kamu ikut masuk? kemudian Abu Bakar mengambil tali
53

yang dibawa orang itu kemudian memukulnya. Setelah selesai membagi


zakat unta, maka orang tersebut dipanggil dan mengembalikan kepadanya
tali itu, Abu Bakar berkata, “silahkan balaslah aku, karena tadi aku telah
memukulmu.” Lalu Umar bin Khatab berkata, sungguh demi Allah orang itu
tidak boleh membalas dan jangan jadikan hal itu sebagai kebiasaan yang
diikuti. Abu Bakar berkata, maka siapakah yang akan menyelamatkanku
dari pembalasan Allah pada hari kiamat? Umar bin Khatab berkata, buat
hatinya Ridha dan senang. Kemudian Abu Bakar memerintahkan kepada
pembantunya menemui orang itu sambil membawa seekor Unta dan kain
penutupnya serta uang sebanyak lima dinar, sehingga hati orang itu pun
Ridho dan senang.9
Sebagai bukti lain keadilan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah kebijakan
meningkatkan kesejahteraan umum dan perekonomian. Abu Bakar
membentuk lembaga “Baitul Mal”, semacam kas negara atau lembaga
keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah, sahabat Nabi
Saw yang digelari “amin al-ummah” (kepercayaan umat).
Abu Bakar menerapkan prinsip kesamarataan yaitu kebijakan dalam
membagi sama rata hasil rampasan perang (ghanimah). Dalam hal ini ia
berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian
dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan
Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam adalah
akan mendapat balasan pahala dan Allah SWT di akhirat. Karena itulah
biarlah mereka mendapat bagian yang sama yakni, memberikan jumlah yang
sama kepada semua sahabat dan tidak membeda-bedakan antara sahabat,
antara budak dan orang merdeka, bahkan antara pria dan wanita. Sehingga
harta Bait al-Mal tidak pernah menumpuk dalam jangka waktu yang lama
karena langsung di distribusikannya.10
Disinilah dapat kita renungkan betapa keadilan Sang Khalifah Abu
Bakar dapat berhasil ditegakkan seperti meningkatnya pendapatan kaum
9
Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit.,h. 249.
10
Moh Fachruddin Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995), h. 77.
54

muslimin serta mendapat manfaat yang sama dan tidak ada seorang pun
yang dibiarkan dalam kemiskinan.
Sebagai bentuk keadilannya menjadi khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq
menerapkan praktek akad perdagangan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Menerapkan beberapa kebijakan umum, antara lain sebagai berikut:11
1. Menegakan hukum dengan memerangi mereka yang tidak mau
membayar zakat.
2. Tidak menjadikan ahli badar (orang-orang yang berjihad pada perang
Badar) sebagai pejabat negara.
3. Tidak mengistimewakan ahli Badar dalam pembagian kekayaan negara.
4. Mengelolah barang tambang (rikaz) yang terdiri dari emas, perak,
perunggu, besi, dan baja sehingga menjadi sumber pendapatan negara.
5. Menetapkan gaji pegawai berdasarkan karakteristik daerah kekuasaan
masing-masing.
6. Tidak merubah kebijakan Rasulullah SAW dalam masalah jizyah.
Demikianlah nilai utama kemanusiaan yang dibawa oleh Islam
melalui sosok teladan Abu Bakar Ash-shiddiq. Beliau adalah sosok yang
mengajarkan tegaknya keadilan. Sebagai pemimpin Abu Bakar Ash-Shiddiq
berhasil mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial rakyat dengan
mengolah zakat, infak dan sadaqoh yang berasal dari kaum muslimin,
ghanimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga negara non-muslim.
Ia memperhatikan skurasi penghitungan zakat. Hasil penghitungan
zakat dijadikan sebagai pendapatan negara yang disimpan dalam Baitul Mal
dan langsung di distribusikan seluruhnya pada kaum muslimin.
Putusan-putusan hukum peradilan ini menjadi bahan kajian dan
rujukan para peneliti, menjadi pusat perhatian fuqaha, menjadi sumber
referensi hukum-hukum syara‟, sumber berbagai ijtihad hukum peradilan
serta sumber pendapat-pendapat fikih di berbagai masa.

11
http://muanhinata.multiply.com . Diakses pada 10 Februari 2014.
55

5. Kejujuran
“Kejujuran adalah amanah dan kebohongan adalah khianat.” Hal ini
adalah cermin sifat kejujuran dan sikap amanah. Abu Bakar memberi contoh
bahwa seorang pemimpin harus bersikap jujur dan teguh memegang amanah
yang dipercayakan rakyat kepada dirinya. Kejujuran seorang pemimpin
adalah pintu utama untuk menyentuh hati seluruh rakyatnya serta meraih
kepercayaan mereka. Pemimpin yang istiqomah memegang amanah
umatnya akan mampu mengantarkan rakyatnya menuju kehidupan yang
damai dan sejahtera. Sebaliknya, pemimpin yang bersikap tidak amanah
akan membawa rakyatnya kepada kehidupan yang penuh kekacauan, jauh
dari kesejahteraan, dan tertinggal dari umat yang lainnya.12
Prinsip kejujuran Abu Bakar tersebut juga menjadi landasan garis
kebijakannya dalam memimpin umat, yaitu bahwa kejujuran dan
keterbukaan antara pemimpin dan rakyat adalah asas hubungan di antara
keduanya. Prinsip dasar ini memiliki kontribusi dan pengaruh yang sangat
penting bagi kekuatan dan soliditas umat, karena telah tertancap kuat
jembatan kepercayaan antara umat dan pemimpinnya. Ini adalah sebuah
moral atau etika politik yang bertolak dari seruan Islam kepada kejujuran
dan kebenaran.
Tidak disangsikan lagi bahwa barangsiapa mencermati dan merenungi
kata-kata Abu Bakar Ash-Shiddiq tersebut, maka ia pasti akan mendapatkan
bahwa dia adalah memang benar-benar sosok pemimpin yang prisoner,
karena ia memang benar-benar meniti jejak dan jalan Nabi yang mulia.13
Dari Kata-kata Abu Bakar Ash-Shiddiq di atas mengenai prinsip
“kejujuran adalah amanat” dapat penulis pahami bahwa Khalifah Abu Bakar
sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun
berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah Swt. Kejujuran adalah
salah satu nilai terpenting dan paling yang harus dimiliki setiap orang.
Orang jujur sangat hati-hati terhadap hak dan kewajiban. Mereka akan

12
Ali Muhammad Ash-Shalabi, op. cit., h. 255.
13
Ibid., h. 255.
56

enggan mengambil yang bukan haknya, memanipulasi untuk tujuan tidak


baik. Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak-hak orang
lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan
menumbuh kembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan
kedisiplinan dalam hidup dan bekerja.

6. Kewibawaan
Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah pimpinan golongan Ash-Shiddiqun
dan sebaik-baiknya orang shaleh setelah para Nabi dan Rasul. Ia adalah
sosok sahabat Rasulullah yang paling utama, paling alim dan paling mulia
secara mutlak. Rasulullah bersabda tentang dirinya, “Seandainya aku ingin
mengambil seorang khalil, niscaya Abu Bakarlah orangnya, akan tetapi ia
adalah saudaraku dan sahabatku.”
Umar bin Al-Khathab memberikan sebuah pernyataan testimonial
tentang Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Anda adalah pemimpin kami, sosok yang
paling baik di antara kami dan orang yang paling dicintai oleh Rasulullah di
antara kami”
Ali bin Abu Thalib ketika ditanya oleh puteranya Muhammmad bin
Al-Hanafiyyah, “Siapakah orang yang paling baik setelah Rasulullah?”
Maka ia menjawab, “Abu Bakar Ash-Shiddiq.”
Sesungguhnya kehidupan Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah lembaran
yang kemilau dari sejarah Islam yang menyilaukan setiap sejarah dan
mengunggulinya. Tidak ada sejarah umat-umat lain yang membuat sebagian
saja dari apa yang termuat dalam sejarah Islam berupa kemuliaan,
keluhuran, ketulusan, jihad dan dakwah demi memperjuangkan prinsip-
prinsip dan nilai-nilai luhur.14
Dalam masyarakat Jahiliyah, Abu Bakar Ash-Shiddiq termasuk salah
satu orang yang terkemuka, terhormat, terpandang dan terbaik. Ibnu Ishaq
dalam As-Sirah menuturkan, bahwa mereka sangat menyukai Abu Bakar
Ash-Shiddiq dan senang kepadanya. Mereka mengakui bahwa ia adalah

14
Ibid ., h. 11.
57

sosok yang memiliki keutamaan yang agung dan akhlak yang mulia. Mereka
biasa datang kepadanya, meminta bantuan menyangkut apa yang
menimpanya. Mereka merasa nyaman dan akrab dengannya karena
pengetahuannya, perniagaannya dan sikapnya yang familiar dan bersahabat.
Abu Bakar Ash-Shiddiq memiliki sebuah keistimewaan yang
membuat dirinya disukai banyak orang Arab, yaitu ia tidak pernah mencela
nasab siapapun dan tidak suka menyebutkan aib, cacat, kekurangan dan
kejelekan orang lain.
Abu Bakar Ash-Shiddiq termasuk salah satu ahli nasab dan pakar
tentang berita-berita bangsa Arab. Dalam hal ini, ia memiliki catatan
pengalaman dan kapabilitas yang cukup besar, hingga menjadikan dirinya
master atau guru bagi banyak para pakar nasab seperti Uqail bin Abu Thalib
dan yang lainnya.15
Abu bakar termasuk orang yang paling menjaga kesucian diri pada
masa Jahiliyah, sampai-sampai ia mengharamkan minuman keras atas
dirinya sendiri sebelum Islam.16
Ada orang bertanya kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq, “Apakah anda
menenggak minuman keras pada masa Jahiliyah?” Lalu Abu Bakar Ash-
Shiddiq menjawab, A‟udzu billah!” lalu dikatakan kepadanya, “Kenapa?”
lalu ia berkata “Aku memelihara kehormatku dan menjaga martabat dan
muru‟ahku. Karena orang yang minum khamar, maka ia adalah orang yang
menyia-nyiakan dan mengabaikan kehormatan, martabat dan murua‟ahnya.
Demikianlah, akhlaknya yang terpuji, akalnya yang cerdas dan cemerlang
serta fitrahnya yang lurus, normal dan sehat menjadikan dirinya sosok yang
anti terhadap setiap hal yang mengurangi muru‟ah dan mengurangi
kehormatan dari perbuatan-perbuatan dan moral masyarakat Jahiliyah yang
berlawanan dengan fitrah yang lurus dan sehat serta bertentangan dengan
akal yang sehat dan kedewasaan. Karena itu, tidak aneh jika sosok yang

15
Ibid.,h. 36.
16
Ibid.,h. 38.
58

akhlaknya seperti itu langsung bergabung dengan parade dakwah kebenaran


dan langsung menempati posisi terdepan.17
Rafiq Al-Azhm memberikan catatan tentang potret kehidupan Abu
Bakar Ash-Shiddiq pada masa Jahiliyah seperti berikut, “Sungguh seseorang
yang lahir dan tumbuh di tengah lingkungan paganisme yang dipenuhi
berhala dan arca-arca dimana tidak ada agama yang menjadi pengekang dan
pengontrol dan tidak pula syari‟at yang menjadi pembimbing, penuntun dan
pemandu jiwa, namun ia tetap memiliki keutamaan seperti itu, tetap
memiliki idealisme dan kekokohan dalam memegang teguh „iffah dan
muru‟ah, maka sungguh sudah sepantasnya orang seperti itu menerima
Islam dengan sepenuh hati, menjadi orang yang pertama beriman kepada
sang petunjuk dan pembimbing para hamba, bergegas masuk Islam untuk
membuat orang-orang yang sombong, angkuh dan inad (keras kepala)
menjadi geram dan terhina, menjadi orang yang menyiapkan, membuka dan
memuluskan jalan mendapat petunjuk dan panduan dengan agama Allah
yang lurus yang mencerabut akar-akar perbuatan tercela dan hina dari jiwa
orang-orang yang mendapatkan petunjuk dan panduan dengan petunjuk dan
tuntunan agama-Nya serta yang memegang teguh tali agama-Nya yang
kokoh.
Betapa mulianya Abu Bakar Ash-Shiddiq, karena ia adalah sosok
yang memuat nilai-nilai yang luhur, akhlak terpuji, watak dan karakter yang
mulia dalam masyarakat Quraisy sebelum Islam. Penduduk Makkah
memberikan kesaksian dan testimoni keunggulannya atas yang lain dalam
akhlak, nilai-nilai dan keteladanan.
Tidak diketahui ada satu orang pun dari kaum Quraisy yang mencela
Abu Bakar Ash-Shiddiq, menilai negatif dirinya, memiliki pandangan
miring tentang dirinya, melecehkannya dan menghina dirinya, sebagaimana
yang mereka perbuat terhadap orang-orang Mukmin yang lemah. Di mata
mereka, Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak memiliki aib dan cacat kecuali
keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.

17
Ibid.,h. 39.
59

Beliau dikenal dengan baik sebagai sosok yang ramah, halus, santun
dan penuh kesopanan serta memiliki watak yang baik dan mulia. Demikian
pula, Abu Bakar Ash-Shiddiq telah mengenal beliau dengan baik sebagai
sosok yang jujur, amanah dan berakhlak mulia yang menjadikan beliau tidak
pernah melakukan kebohongan terhadap manusia, apa lagi terhadap Allah.
Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah barang tentu memiliki perhatian besar
terhadap keluarganya. Maka, Asma‟, Aisyah, Abdullah, Ummu Ruman dan
pembantunya yang bernama Amir bin Fuhairah pun masuk Islam. Sifat-sifat
terpuji, keutamaan-keutamaan yang agung dan akhlak yang mulia yang
terjelma pada kepribadian Abu Bakar Ash-Shiddiq menjadi faktor efektif
yang menjadikan orang-orang tertarik ketika diajak kepada Islam.18
Dengan demikian dapat penulis pahami bahwa Abu Bakar Ash-
Shiddiq sungguh merupakan salah satu imam dan pemimpin yang
menggambarkan garis perjalanan hidup dan jejak langkah mereka kepada
manusia serta menjadi teladan yang ucapan dan perbuatan mereka diikuti
dan diteladani oleh manusia dalam kehidupan ini. Sirah dan sejarah
perjalanan hidup Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan salah satu sumber dan
referensi paling kuat dalam bidang keimanan, emosi dan semangat
keislaman yang benar serta pemahaman yang benar dan lurus tentang Islam.

B. Implementasi Nilai-nilai Pendidikan


1. Ketegasan dalam Mendidik
Mendidik anak, idealnya harus sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW
begitu pun teladan dari khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang telah
mengajarkan kita tentang penerapan sikap tegas dalam menjalankan
kedisiplinan.
Dalam kegiatan pembelajaran, pendidik terkadang perlu menunjukkan
kelembutan, namun sewaktu-waktu pula dibutuhkan ketegasan dalam

18
Ibid.,h. 40.
60

sikapnya. Dalam Al-Qur‟an surat An-Nahl: 125 Allah SWT berfirman yang
artinya:

           

             



Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan


pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.(QS. An-
Nahl: 125).

Ketegasan sikap dan tindakan dalam mendidik anak sangat diperlukan


karena berpengaruh besar terhadap sikap dan kebiasaan anak didik kelak.
Tegas bukan berarti keras atau galak, tetapi mampu menyeimbangkan antara
kasih sayang dan kedisiplinan bagi anak. Ketegasan berarti sikap dan
tindakan yang menerapkan kedisiplinan, dengan menegakkan aturan yang
berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri. Cara
ini perlu digunakan untuk mendidik anak agar mengenal arti tanggung
jawab dan disiplin sejak dini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah merupakan salah satu faktor
dominan dalam membentuk dan mempengaruhi perilaku siswa. Di sekolah
seorang siswa berinteraksi dengan para guru yang mendidik dan
mengajarnya. Sikap teladan, perbuatan dan perkataan para guru yang dilihat
dan didengar serta dianggap baik oleh siswa dapat meresap masuk begitu
dalam ke dalam hati sanubarinya dan dampaknya kadang-kadang melebihi
pengaruh dari orang tuanya di rumah. Sikap dan perilaku yang ditampilkan
guru tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari upaya pendisiplinan
siswa di sekolah. Adapun usaha-usaha yang merupakan proses dalam
meningkatkan kedisiplinan adalah sebagai berikut :
61

1. Kesadaran diri
Sebagai pemahaman bahwa disiplin dipandangnya penting bagi
kebaikan dan keberhasilan dirinya. Kesadaran diri akan menjadi motif
yang kuat bagi terwujudnya kedisiplinan.
2. Loyalitas dan Ketaatan
Loyalitas dan ketaatan merupakan langkah penerapan atas peraturan-
peraturan yang mengatur perilaku seseorang. Hal ini sebagai lanjutan diri
adanya kesadaran diri. Tekanan dari luar dirinya sebagai usaha untuk
mendorong dan menekan agar disiplin dilaksanakan pada diri seseorang,
sehingga peraturan-peraturan yang ada dapat diikuti dan dipraktekkan.
3. Keteladan
Perbuatan dan tindakan lebih besar pengaruhnya dibandingkan hanya
sekedar dengan kata-kata. Oleh karena itu contoh dan teladan disiplin
kepala sekolah dan para guru sangat berpengaruh terhadap kedisiplinan
pada siswa. Mereka lebih mudah meniru dari apa yang mereka lihat,
dibandingkan hanya sekedar mendengar. Lagi pula hidup banyak
dipengaruhi oleh peniruan-peniruan terhadap apa yang dianggapnya baik
dan patut ditiru.
4. Penegakkan Hukum
Hukuman sebagai usaha untuk menyadarkan, mengoreksi dan
meluruskan perilaku yang salah sehingga anak kembali pada perilaku
yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
5. Lingkungan yang Disiplin.
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
seseorang. Bila seorang anak berada pada lingkungan yang berisiplin,
kemungkinan besar ia akan tumbuh menjadi anak yang disiplin.
Mewujudkan lingkungan yang disiplin. Disiplin dapat juga dibentuk
melalui proses latihan dan kebiasaan. Artinya, mempraktikkan disiplin
secara berulang-ulang dan membiasakan dalam prilakunya sehari-hari.
62

Dengan latihan dan membiasakan diri, maka disiplin akan terbentuk pada
diri siswa.19
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan. Kedisiplinan guru dan
tenaga kependidikan (pegawai) adalah sikap penuh kerelaan dalam
mematuhi semua aturan dan norma yang ada dalam menjalankan tugasnya
sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap pendidikan anak didiknya.
Karena bagaimana pun seorang guru atau tenaga kependidikan (pegawai),
merupakan cermin bagi anak didiknya dalam sikap atau teladan, dan sikap
disiplin guru dan tenaga kependidikan (pegawai) akan memberikan warna
terhadap hasil pendidikan yang jauh lebih baik.
Dengan disiplin dimaksudkan sebagai upaya untuk mengatur perilaku
anak dalam mencapai tujuan pendidikan, karena ada perilaku yang harus
dicegah atau dilarang, dan sebaliknya, harus dilakukan. Pembentukan
disiplin pada saat sekarang bukan sekedar menjadikan anak agar patuh dan
taat pada aturan dan tata tertib tanpa alasan sehingga mau menerima begitu
saja, melainkan sebagai usaha mendisiplinkan diri sendiri (self discipline).
Artinya ia berperilaku baik, patuh dan taat pada aturan bukan karena
paksaan dari orang lain atau guru melainkan karena kesadaran dari dirinya.

2. Keberanian dalam Mendidik


Pada umumnya pendidikan bertujuan untuk mewujudkan manusia
yang berbudi pekerti yang baik, cerdas, dewasa dalam berfikir, dewasa
dalam bertindak serta mampu dalam memecahkan persoalan hidup dan
kehidupan yang dijalaninya dengan kata lain pendidikan memberikan bekal
kepada generasi agar dapat hidup mandiri tanpa membebani kepada orang
lain di sekitarnya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka dalam pendidikan sangat
dibutuhkan adanya sikap keberanian. Keberanian dalam pendidikan
maksudnya adalah keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang

19
Tulus Tu‟u, Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Belajar, (Jakarta:
Gramedia, Wiasarana Indonesia, 2004), h. 48.
63

baik dalam pendidikan. Dalam hal ini pendidikan mempunyai kewajiban


untuk menumbuhkan rasa percaya diri kepada anak didik. Rasa percaya diri
pada anak didik perlu ditanamkan dan dikembangkan sejak awal mengenal
pendidikan, karena dengan memiliki rasa percaya diri anak didik berani
untuk mengungkapkan dan mengutarakan pendapat mereka mengenai
pendidikan yang diterimanya.
Adapun upaya untuk melatih anak didik dalam keterampilan
komunikasi di kelas seperti menyampaikan pesan atau tanggapan terhadap
pesan guru dengan baik, melalui bahasa lisan atau tulisan. Untuk itu mereka
harus dilatih dan guru harus memfasilitasinya. Hunt sebagaimana dikutip
oleh Dede Rosyada menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Siswa harus dilatih keterampilan membaca dalam konteks memahami
pesan-pesan tertulis yang terdapat dalam bacaan.
2. Siswa dilatih untuk mau dan mampu berbicara dengan baik, mereka
harus terus didorong untuk berbicara dan senantiasa memiliki sesuatu
yang sangat penting untuk disampaikan kepada guru, sehingga dia
terlatih untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya dengan baik.
3. Guru harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk membiasakan
menyampaikan pandangan, pendapat atau berbagai pertanyaan, baik
dengan menggunakan bahasa tulis maupun lisan, sehingga mereka terus
terlatih untuk menyusun bahasa lisannya.
4. Guru juga harus menata ruang kelas yang mendukung proses komunikasi
kelas dengan baik, sehingga siswa terus terdorong untuk melakukan
komunikasi verbal dengan gurunya.
5. Guru juga harus dengan sabar mendengarkan penyampaian mereka, atau
mempelajari bahasa tulis mereka memberi feed back untuk perbaikan
kedepan.20
Dengan demikian dapat penulis pahami bahwa dengan keterampilan
guru dalam menciptakan iklim komunikatif diharapkan siswa dapat

20
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Fajar Interpratama
Offset). h.152.
64

berpartisipasi aktif untuk mengeluarkan pendapatnya, mengembangkan


imajinasinya dan daya kreativitasnya.
Adapun keberanian seorang guru yaitu ketia ia berani menghadapi
tantangan baru dan bersedia menghadapi resiko kegagalan. Ia senantiasa
penasaran untuk mencoba hal-hal baru. Dalam konteks pembelajaran, guru
yang kreatif akan membuka diri pada bentuk dan model-model
pembelajaran yang baru. Ia akan menganalisis apakah metode baru tersebut
dapat membuat pembelajaran menjadi lebih efektif, jika tidak, ia akan
mencari metode lain apa yang harus digunakan dengan kata lain ia berani
melakukan eksperimen atau uji coba. Apakah itu uji coba model-model
pembelajaran atau pun pola komunikasi dengan siswa. Intinya uji
keberanian ini dibutuhkan untuk membuka hal-hal baru yang positif, guna
meningkatkan kemampuan dan kapabilitas dirinya sebagai guru.21
Dengan demikian guru yang menerapkan nilai keberanian dalam sikap
dan tindakannya yaitu guru yang berusaha menemukan cara-cara baru untuk
menemukan potensi atau bakat siswanya. Guru yang tidak pernah puas
dengan pembelajaran yang dilaksanakannya. yang bisa menciptakan sebuah
pembelajaran yang dapat menarik perhatian siswa agar termotivasi belajar.
Dia selalu melakukan refleksi diri melalui penelitian Tindakan Kelas (PTK)
di kelasnya sendiri. Selalu saja ada ide-ide yang cemerlang membuatnya
menemukan sistem pembelajaran dengan berbagai model. Bahkan, dia
mampu membuat media pembelajarannya sendiri untuk membantu para
peserta didiknya menerima materi pelajaran dengan baik. Keberhasilan
seorang guru yang kreatif terletak pada pemahaman siswa setelah menerima
materi pelajaran yang diberikan.

21
Rudiana, 9 Karakter Guru Menyenangkan Berbasis Ramah Otak, (Bandung:
Smile‟s Indonesia Insitute, 2012), h. 134.
65

3. Kedermawanan dalam Mendidik


Sebagai seorang guru patut meneladani sikap kedermawanan Sang
Khalifah. Guru yang dermawan tidak akan menganggap tugasnya tersebut
sebagai kewajiban semata yang harus dilaksanakan, melainkan sebuah ruang
dimana ia bisa memberikan yang terbaik dari dirinya berdasarkan semangat
pengabdian.22
Guru yang dermawan selalu mengajar dengan hati, penuh ketulusan
dan kepedulian. Guru yang dermawan akan menjadi sosok yang jujur, sabar
dan kerja keras dalam menerima benih lalu menumbuhkan sesuai potensinya
sehingga menjadi bermanfaat bagi pihak lain.23
Guru yang mendalami dan menerapkan nilai kedermawanan,
senantiasa bertujuan untuk mendapatkan keridhaan Allah Swt. Visi dan
misinya sangat jauh ke depan, tidak sebatas sampai akhir kehidupan dunia
saja, tapi sampai kehidupan akhirat. Ia menyadari betul bahwa segala
kreativitas dan pengabdiannya akan dibalas oleh Tuhan dengan yang
setimpal. Oleh karena itu, prinsip kerja yang diembannya adalah
mengerjakan sesuatu tanpa pamrih, semata-mata hanya mengharap ridha
Tuhan.
Kedermawanan guru dalam membimbing dan mengajar siswanya
merupakan sumber kekuatan para siswa dalam mencapai potensi dan cita-
cita mereka. Indikator kedermawanan atau ketulusan dalam memberi
menurut Sukadi sebagaimana yang dikutip oleh Rudiana dalam bukunya
yaitu:
1. Guru yang dermawan adalah guru yang bekerja dengan semangat tinggi.
2. Guru yang dermawan adalah guru yang mengayomi seluruh siswanya.
3. Guru yang dermawan adalah ia sabar dalam mengantarkan para siswa
meraih cita-citanya.

22
Ibid., h. 112.
23
Ibid., h. 108.
66

4. Guru yang dermawan adalah guru yang bekerja atas panggilan jiwa,
bukan karena imbalan. Imbalan baginya merupakan hal yang wajar ia
terima, bukan sumber motivasi utama.
5. Guru yang dermawan adalah ia tidak pernah mengharapkan pujian dari
sesama.
6. Guru yang dermawan adalah guru yang bekerja dengan gembira
(senang), dengan kata lain, ia menikmati pekerjaannya.
7. Guru yang dermawan adalah guru yang bahagia ketika siswanya menjadi
orang sukses dan berhasil.24
Guru yang seperti ini, maka ia tidak akan mengeluh, meski ketika
mengajar banyak persoalan yang ditemuinya. Segala sesuatunya terasa
ringan. Ia menikmati pekerjaannya. Guru yang dermawan akan menemukan
kenyataan bahwa siswanya merasa nyaman dengan kehadirannya. Rasa
nyaman inilah yang nantinya membuat para siswa menikmati pembelajaran
dikelas.25
Dari paparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa, dalam konteks
pendidikan karakter, salah satu hal yang penting adalah penguatan karakter
kedermawanan sosial. Agar kemudian generasi yang dihasilkan dari proses
pendidikan kita adalah generasi yang bukan hanya unggul dalam hal
kompetensi, tapi juga sosok yang peduli serta dermawan.
Guru yang dermawan ialah seseorang yang membawa perubahan
positif dalam perilaku siswa tidak hanya dengan penyampaian pengetahuan,
tetapi juga dengan keteladanan sikap yang ditunjukkan karena esensinya
mengajar mencakup pelajaran tentang nilai-nilai hidup, tentang semangat,
dan juga bagian dari pendidikan karakter. Dengan menampilkan sikap
keteladanan (sikap dermawan) seorang guru, maka akan terpancar energi
positif diantara pendidik dan anak didik yang mana ini akan membuat anak
didik merasa nyaman dan suasana pembelajaran pun akan menjadi positif
dan menyenangkan.

24
Ibid., h. 110.
25
Ibid., h. 112.
67

4. Keadilan dalam Mendidik


Dalam pendidikan sikap keadilan sangat penting dimiliki oleh seorang
pendidik, karena pendidik merupakan salah satu pilar penegak keadilan.
Maka, menjadi pendidik yang adil adalah sebuah keniscayaan. Agar dapat
menjadi pendidik yang adil maka tiga hakikat keadilan sebagaimana yang
tersebut sebelumnya harus diimplementasikan dalam proses pembelajaran
dengan anak didik.
1. Perlakukan yang sama
Pembelajaran harus mampu memberikan kemudahan belajar kepada
peserta didik secara adil dan merata (tidak diskriminatif), sehingga
mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Keadilan
dalam pembelajaran merupakan kewajiban guru dalam pembelajaran, dan
hak peserta didik untuk memperoleh pembelajaran yang maksimal dari
guru. Untuk menjadi guru yang adil maka langkah pertama adalah
memberikan pembelajaran kepada seluruh siswa tanpa kecuali dengan
kualitas yang sama.26
2. Adil dalam keseimbangan
Proses pembelajaran bertujuan menghasilkan output yang sebaik-
baiknya. Siapapun anak didik yang terlibat dalam proses pembelajaran
diharapkan menjadi lulusan yang berkualitas. Dalam kontek inilah, adil
dalam keseimbangan dapat diterapkan oleh guru yang ingin menjadi guru
yang adil. Anak didik tidak mempunyai kecerdasan yang sama. Masing-
masing dari mereka memiliki tingkat kecerdasan dan daya tangkap yang
bervariasi. Bahkan diantara mereka ada anak yang tergolong
berkebutuhan khusus. Terhadap mereka, tentu guru harus memberikan
“perlakuan khusus” kepada anak didik yang mempunyai daya tangkap
dan kecerdasan rendah, siapapun yang ingin menjadi guru yang adil,
maka ia harus memberikan perhatian lebih dan memberikan
pembelajaran dengan intensitas dan kualitas yang lebih pula. Mereka

26
E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2011), h. 28.
68

harus diperlakukan “berbeda” dengan anak-anak yang berkecerdasan


tinggi. Demikian juga terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.
Dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan yang cukup dalam memberikan
pembelajaran kepada mereka.
3. Adil dalam hak-hak individu
Anak didik diciptakan Allah dengan segala keberbedaan antara satu
dan yang lainnya. Mereka mempunyai potensi, bakat, minat dan
kecenderungan yang berbeda. Tentu saja dalam kontek ini, hak-hak yang
harus mereka dapatkan menjadi berbeda. Oleh karenanya, guru harus
dapat memfasilitasi segala keberbedaan yang dimiliki anak didik. Dengan
memberikan fasilitas yang memadai maka anak didik akan berkembang
sesuai dengan potensi, bakat, minat dan kecenderungan mereka. Apabila
dalam mengarahkannya tidak sesuai dengan potensi, bakat, minat dan
kecenderungan anak didik, maka itu merupakan tindakan memaksakan
kehendak dan tindakan ketidak adilan.27
Dapat penulis pahami bahwa guru harus selalu mengedepankan
keadilan berbagi, artinya setiap siswa memiliki kesempatan atau peluang
yang sama. Namun juga diharapkan guru tidak menyamaratakan
pandangannya. Guru sadar bahwa setiap siswa adalah individu yang
memiliki keunikan tertentu. Dalam kondisi tertentu siswa dalam
menyelesaikan sebuah tugas memiliki cara tempuh yang bervariasi. Guru
juga mampu memberikan pola keseimbangan diatas searah dengan karakter
siswa yang ada. Guru yang adil harus mampu memberikan penghargaan
yang pantas dan spontanitas atas kreasi yang dibuat oleh siswa.

5. Kejujuran dalam Mendidik


Sikap kejujuran seorang Abu Bakar Ash-Shiddiq dapat
diimplementasikan dalam pendidikan. Pendidik memberikan pengaruh yang
kuat pada karakter siswanya. Karakter terpenting yang harus diberikan pada

27
http://www.pak-sodikin.com/menjadi-guru-yang-adil/. Diakses pada 10 Februari
2014.
69

siswa sebagai bekal kehidupannya kelak adalah kejujuran. Jujur adalah


suatu karakter yang berarti berani menyatakan keyakinan pribadi,
menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran tercermin dalam prilaku yang diikuti
dengan hati yang lurus (ikhlas), berbicara sesuai dengan kenyataan, berbuat
sesuai bukti dan kebenaran. Dengan demikian kejujuran merupakan salah
satu unsur kekuatan spiritual, akhlak mulia, serta kepribadian.
Kejujuran adalah investasi sosial yang harus dimiliki dan ditulari oleh
guru untuk menimbulkan kepercayaan dari murid, orang tua dan
masyarakat. Oleh karena itu, kejujuran harus menjadi senjata yang paling
ampuh bagi guru dalam menjalankan tugas profesinya sehingga nilai-nilai
kejujuran itu dapat ditanamkan dalam diri siswa atau peserta didik.
Melihat uraian di atas, maka kemudian muncullah sebuah pertanyaan,
sejauh mana peran guru dalam membangun tradisi kejujuran? Hal ini
menjadi sangat urgens ketika seorang guru belum mampu menunjukkan
pribadi yang jujur dalam kehidupan kesehariannya, maka akan sulit bagi
guru menanamkan nilai-nilai kejujuran pada peserta didiknya. Karena segala
aktifitas yang dilakukan guru terutama di sekolah, akan menjadi cerminan
(contoh) bagi muridnya, jika kemudian guru tidak jujur baik ucapan
maunpun tindakannya, maka jangan harap anak didiknya mempunyai sifat-
sifat kejujuran utamanya dalam proses belajar mengajar.28
Sesungguhnya peran guru dalam membangun tradisi kejujuran
dilingkungan sekolah sangat penting dan luas. Di anggap sangat penting
karena guru adalah fasilitator anak-anak didiknya dalam proses
pembelajaran, saat proses itulah peran-peran guru menanamkan tradisi
kejujuran kepada siswa-siswinya. Contoh sederhana peran guru dalam
membangun tradisi kejujuran kepada murid-muridnya, yaitu berkomunikasi
secara jujur merupakan keterampilan dialogis yang amat penting. Dengan
keterampilan ini guru dapat menyatakan perasaannya mengenai perasaan
siswa dengan cara yang demikian rupa sehingga siswa dapat menerima

28
http://cakslamet.blogspot.com/2012/02/peran-guru-dalam-membangun-
tradisi.html.Diakses pada tanggal 12 Februari 2014.
70

pesan tanpa ada rasa ketersinggungan. Untuk dapat mewujudkan


keterampilan ini para guru harus mau memahami dan mampu menyatakan
perasaan yang sesungguhnya pada siswa. Keterampilan kejujuran dapat
membantu untuk berbagi perasaan terhadap apa yang dikatakan atau
dilakukan siswa dan tetap menjaga hubungan baik.
Respon yang diberikan oleh guru terhadap ungkapan siswa yang
bersifat jujur adalah respon dengan cara yang ikhlas dan jujur secara
emosional dan secara langsung menyatakan perasaan sendiri. Misalnya
ketika pembelajaran sedang berlangsung, tiba-tiba ada seorang siswa yang
memotong pembicaraan guru, maka respon guru yang terbaik adalah: “Betul
ungkapanmu itu benar, akan tetapi sebaiknya kamu menunggu sampai
Bapak selesai bicara supaya ungkapanmu dapat membantu pembicaraan
kita.29
Contoh lainnya yaitu ketika ulangan, seorang guru harus
menyampaikan secara jujur agar tidak menyontek, baik kepada temannya
maupun pada buku catatan, pesan itu disampaikan dengan bahasa yang
sederhana yang bisa ditangkap anak didiknya dan itu harus dilakukan secara
berkelanjutan dan tidak pernah berhenti menyampaikan pesan-pesan moral.
Sehingga pada akhirnya terwujudlah rumusan tujuan pendidikan nasional
yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggungjawab.
Kemudian keluasan guru dalam membangun budaya kejujuran
dilingkungan akademiknya, dapat dilihat dengan tugas utama seorang guru
yaitu;
1. Mendidik, dalam persfektif ini pentingnya guru mengembangkan
keterpaduan kualitas manusia (anak didiknya) pada semua dimensinya
yang merupakan manifestasi dari iman, ilmu, dan amal.

29
Mohamad Surya, Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi, (Bandung: Alfabeta, 2013),
h. 340.
71

2. Mengajar, dimaknai sebagai suatu proses yang dilakukan guru dalam


membimbing, membantu dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki
pengalaman belajar. Posisi ini sangat memungkinkan bagi guru untuk
menanamkan nilai-nilai budi pekerti dengan terus melakukan pembinaan
tingkah laku dan akhlak mulia sebagaimana penjabaran dari sifat shidiq
(jujur), pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas dan
mendalam sebagai perwujudan dari sifat fathonah (kecerdasan),
pembinaan sikap mental yang mantap dan matang sebagai penjabaran
dari sifat amanah dan kemudian pembinaan keterampilan kepemimpinan
yang visioner dan bijaksana sebagai bentuk penjabaran dari tabligh.
3. Melatih, dalam konteks ini seorang guru mempunyai tanggungjawab
yang luas melatih ketrampilan dan kecakapan kepada peserta didiknya,
yang diwujudkan dengan bentuk konkrit dalam proses kehidupan sehari-
hari, misalnya melatih kedisiplinan, kejujuran, baik perkataan maupun
perbuatan kepada peserta didiknya, dan tentunya adalah keteladanan
(contoh) yang ditunjukkan oleh sikap disiplin dan kejujuran, artinya
sikap dari dirinya sendiri (guru), utamanya disiplin dalam mengajar,
kejujuran dalam perkataan, perbuatan dan tindakan.
4. Menilai dan mengevaluasi. Dalam menilai dan mengevaluasi setiap anak
didik seorang guru harus mengedepankan nilai obyektifitas dan
kejujuran, karena ini menyangkut masa depan anak didiknya. Jika guru
sudah tidak obyektif dan jujur dalam penilaian dan pengevaluasiaan,
maka sesungguhnya guru sudah membunuh karakter anak bangsa dan
merusak tatanan pendidikan.
Kemudian keluasan berikutnya adalah peran guru dalam membangun
tradisi kejujuran dengan teman profesi, harus diakui secara jujur tidak
semua guru peduli terhadap nilai-nilai kejujuran, sehingga sangat penting
memberikan wawasan akan pentingnya kejujuran dalam kehidupan sehari-
hari, baik jujur dalam perkataan, perbuatan maupun tindakan. Sungguh
sangat ironis jika anak didiknya diajarkan kejujuran, sementara gurunya
sendiri tidak memberikan teladan yang baik, bahkan merusak tradisi yang
72

sudah mengakar kepada peserta didikanya. Anak didik akan semakin baik,
cerdas, berkarakter, guru semakin termotivasi untuk mengajar dengan
disiplin, lembaga akan terhormat dan bermartabat secara akademik diakui
eksistensinya, kalau dalam lembaga tersebut secara intern menanamkan
budaya kejujuran dalam semua aspek, jadi tidak perlu ada kekhawatiran
anak didik pada endingnya tidak berhasil dalam menempuh ujian akhir.30
Dengan demikian dapat penulis pahami bahwa seorang guru harus
transparan dan jujur. Karakter ini sangat penting, mengingat beberapa alasan
pertama, kejujuran akan memudahkan guru dan siswanya berinteraksi
sedekat mungkin, kedua, kejujuran memungkinkan guru untuk memberi
umpan balik yang belum tergali.
Dalam pembelajaran membutuhkan contoh secara langsung bagi anak
atau siswa, dan apabila di sekolah contoh tersebut adalah para guru
pembimbing. Tidak mungkin anak akan jujur apabila dalam diri para
pengajar terdapat sifat ketidak jujuran yang nantinya baik langsung ataupun
tidak langsung akan berpengaruh pada anak didik. Dapat dipahami kejujuran
itu tidak hanya bagi guru saja yang notabennya berperan langsung dengan
siswa tapi juga semua unsur aktivitas akademik mulai dari kepala sekolah
yang merupakan leader dari segala keputusan dan kebijakan sampai pada
cleaning service. Dan dapat dikatakan bahwa kejujuran itu meliputi atau
menyelimuti semua sistem yang ada.

6. Kewibawaan dalam Mendidik


Salah satu aspek keefektifan kinerja seorang guru adalah unsur
kewibawaan dan profesional. Kewibawaan merupakan syarat bagi terjadinya
interaksi antara pendidik dengan peserta didik yang bersifat pedagogis
dalam proses pendidikan. Kewibawaan sangat diperlukan dalam berbagai
bentuk interaksi seseorang yang mengandung aspek saling mempengaruhi
dalam kehidupan keluarga, kepemimpinan, pendidikan, manajemen, jasa

30
http://cakslamet.blogspot.com/2012/02/peran-guru-dalam-membangun-
tradisi.html.Diakses pada tanggal 12 Februari 2014.
73

dan organisasi. Dalam hubungan ini para guru memerlukan kewibawaan


dalam intereaksi dengan siswa yang menjadi peserta didiknya untuk
melaksanakan fungsi profesinya secara efektif. Para pendidik memerlukan
kewibawaan dalam interaksi dengan peserta didik dalam melaksanakan
fungsi-fungsi kependidikannnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi kewibawaan seorang. Secara
umum ada empat unsur yang ikut menentukan kewibawaan seseorang antara
lain:
1. Memiliki keungggulan.
Dalam dunia akademik kewibawaan akan banyak ditentukan oleh
keunggulan penguasaan akademik. Seorang guru akan diakui
kewibawaannya karena penguasaan ilmu pengetahuan yang menjadi
tanggung jawabnya. Dalam tugas keguruan, diperlukan keunggulan dalam
berbagai aspek yang berkaitan dengan tugas-tugas seorang guru. Dengan
kata lain, keunggulan atau kelebihan dalam bidang keguruan akan
menentukan kualitas kewibawaan seorang guru. Menurut undang-undang
nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen, kewibawaan ditentukan
oleh kualitas kompetensinya yang meliputi kompetensi pribadi, sosial,
pedagogik dan profesional.
2. Memiliki rasa percaya diri.
Rasa percaya diri banyak mempengaruhi penampilan diri seseorang.
Dengan kepercayaan diri yang kuat seseorang akan tampil lebih
meyakinkan dan berwibawa sehingga dapat mempengaruhi orang lain.
3. Ketepatan dalam pengambilan keputusan.
Bentuk dan mutu keputusan yang diambil oleh seseorang akan banyak
menentukan kewibawaan. Makin tepat seseorang mengambil keputusan
terutama dalam situasi yang kritis, maka ia akan dapat pengakuan
kewibawaannya.
4. Tanggungjawab atas keputusan yang telah diambilnya.
Setiap keputusan yang telah diambil seseorang akan menimbulkan
berbagai konskuensi baik yang bersifat positif maupun negatif. Pengambil
74

keputusan seyogianya akan bertanggung jawab keputusan yang telah


dibuatnya. Menghindari tanggung jawab terhadap keputusan yang telah
diambil, akan mengurangi kewibawaan seseorang, dan sebaliknya,
keberanian menghadapi berbagai tanggung jawab atas keputusan yang
telah diambilnya dan dapat meningkatkan kewibawaan.
Seperti yang dikemukakan diatas dapat penulis pahami bahwa
kewibawaan seorang guru erat sekali kaitannya dengan kepribadian secara
keseluruhan, karena kualitas kepribadian banyak ditentukan oleh
kewibawaan yang ditampilkannya. Kewibawaan ini sangat diperlukan dalam
berbagai aspek kehidupan (dalam keluarga, masyarakat, organisasi dan lain
sebagainya), agar dapat mewujudkan dirinya secara tepat sesuai dengan
tugas dan peranannya. Penampilan kewibawaan ini sangat terkait dengan
peran-peran dimana dan kapan guru itu berada, seperti dalam menerima
siswa, berhadapan dengan orang tua, pergaulan dengan rekan guru,
berhadapan dengan atasan dan mengerjakan tugas, dan lain sebagainya.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, penulis mengambil beberapa kesimpulan yang
perlu diungkapkan. Diantara kesimpulan-kesimpulan yang dikemukakan di
sini adalah:
1. Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah seorang pemimpin sekaligus pendidik
umat. Sebagai seorang pemimpin Abu Bakar memiliki karakter
kepemimpinan yang dibutuhkan untuk seorang pemimpin, antara lain:
ketegasan, keberanian, kedermawanan, keadilan, kejujuran dan
kewibawaan.
2. Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kepemimpinan Khalifah
Abu Bakar Ash-Shiddiq yang harus diteladani di antaranya:
a. Ketegasan
Abu Bakar dikenal bersifat tegas dalam mengambil keputusan
untuk memerangi kaum pemberontak dan pembangkang (orang-orang
murtad, nabi-nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar
zakat).
b. Keberanian
Diantara sikap kepahlawanan yang dianggap sebagai kebanggaan
yang disematkan dalam diri Abu Bakar adalah keberanian, yaitu ketika
menghadapi setiap orang yang menghalanginya di jalan dakwah. Abu

75
76

Bakar tidak mengenal rasa takut dan gentar serta mempunyai ketabahan
dan kemauan yang keras.
c. Kedermawanan
Di antara sahabat Nabi Muhammad Abu Bakar adalah yang paling
dermawan yang paling banyak memberikan sumbangan untuk
perjuangan di jalan Allah. Hartanya sangat banyak dan semuanya di
infaqkan untuk kepentingan dakwah.
d. Keadilan
Abu Bakar adalah sosok yang menjadi contoh dan teladan dalam
keadilannya yang begitu menawan hati, memukau akal pikiran.
Keadilan dalam pandangan Abu Bakar adalah sebuah dakwah praktis
yang bisa menjadi media yang efektif untuk membuka hati manusia
untuk beriman.
e. Kejujuran
“Kejujuran adalah amanah dan kebohongan adalah khianat.” Pidato
Abu Bakar tersebut merupakan cermin sifat kejujuran dan sikap amanah
Abu Bakar dalam menegakkan nilai-nilai kejujuran dalam segala hal.
Abu Bakar diberi gelar "ash-Shiddiq" karena menjadi orang yang selalu
jujur dan membenarkan segala yang datangnya dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.
f. Kewibawaan.
Sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq telah menjadi pemimpin yang
berwibawa. Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak memiliki aib dan cacat
kecuali keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar Ash-
Shiddiq termasuk salah satu orang yang terkemuka, terhormat,
terpandang dan terbaik. Sehingga banyak orang sangat menyukai dan
senang kepadanya.
Adapun Implementasi nilai-nilai tersebut dalam pendidikan Islam
sebagai berikut:
1. Ketegasan Abu Bakar berimplementasi terhadap pendidikan.
Ketegasan sikap dan tindakan dalam mendidik anak sangat
77

diperlukan karena berpengaruh besar terhadap sikap dan kebiasaan


anak didik kelak. Ketegasan berarti sikap dan tindakan yang
menerapkan kedisiplinan, dengan menegakkan aturan yang berguna
bagi pertumbuhan dan perkembangan anak didik itu sendiri. Cara ini
perlu digunakan untuk mendidik anak agar mengenal arti
tanggungjawab dan disiplin sejak dini.
2. Sikap keberanian Abu Bakar Ash-Shiddiq dapat diimplementasikan
dalam pendidikan. Keberanian seorang guru yaitu ketika ia berani
menghadapi tantangan baru dan bersedia menghadapi resiko
kegagalan. Ia senantiasa penasaran untuk mencoba hal-hal baru.
Dalam konteks pembelajaran, guru yang kreatif akan membuka diri
pada bentuk dan model-model pembelajaran yang baru.
3. Menjadi seorang guru yang dermawan tidak akan menganggap
tugasnya tersebut sebagai kewajiban semata yang harus
dilaksanakan, melainkan sebuah ruang dimana ia bisa memberikan
yang terbaik dari dirinya berdasarkan semangat pengabdian.
4. Pembelajaran harus mampu memberikan kemudahan belajar kepada
peserta didik secara adil dan merata (tidak diskriminatif), sehingga
mereka dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Keadilan
dalam pembelajaran merupakan kewajiban guru dalam
pembelajaran, dan hak peserta didik untuk memperoleh
pembelajaran yang maksimal dari guru.
5. Pendidik memberikan pengaruh yang kuat pada karakter siswanya.
Karakter terpenting yang harus diberikan pada siswa sebagai bekal
kehidupannya kelak adalah kejujuran. Kejujuran adalah investasi
sosial yang harus dimiliki dan ditulari oleh guru untuk menimbulkan
kepercayaan dari murid, orang tua dan masyarakat. Oleh karenaitu,
kejujuran harus menjadi senjata yang paling ampuh bagi guru dalam
menjalankan tugas profesinya sehingga nilai-nilai kejujuran itu dapat
ditanamkan dalam diri siswa atau peserta didik.
78

6. Abu Bakar Ash-Shiddiq telah menjadikan suritauladan bagi seorang


pendidik. Bahwa salah satu aspek keefektifan kinerja seorang guru
adalah unsur kewibawaan dan profesional. Adapun faktor yang
mempengaruhi kewibawaan seorang pendidik yaitu keunggulan
penguasaan akademik, Memiliki rasa percayadiri, Ketepatan dalam
pengambilan keputusan dan Tanggung jawab atas keputusan yang
telah diambilnya.

B. Saran
Dari kesimpulan diatas, penulis memberikan beberapa saran yang
diharapkan dapat menjadi salah satu upaya konstruktif dalam menerapkan
nilai-nilai pendidikan Islam.
1. Hendaklah nilai-nilai pendidikan dalam kepemimpinan Abu Bakar Ash-
Shiddiq dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun dalam pergaulan dirumah
serta lingkungan masyarakat.
2. Hendaknya para pendidik di sekolah menganjurkan para peserta
didiknya untuk melengkapi bacaan-bacaan mereka yang positif dan
bernuansa Islami dalam hal ini mengenai kepemimpinan Abu Bakar
Ash-Shiddiq.
Akhirnya penulis mengucapkan Alhamdulillah atas selesainya
penulisan skripsi ini, karena hanya dengan pertolongan Allah dan petunjuk-
Nya serta motivasi dari semua kalangan akhirnya skripsi ini dapat
diselesaikan.
Hanya kepada Allah SWT penulis berdoa dan memohon pertolongan-
Nya, semoga penulis senantiasa ditunjuki ke jalan yang benar dan lurus
serta mendapat RidhoNya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Abu, Argumen Alusunnah waljama’ah, (Jakarta: Pustakata ’awun, Cet.


II, 2011.

Anoraga, Pandji, Psikologi Kepemimpinan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Cet. III,
2001.

Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat
Pers, Cet. I, 2002.

Arifin M., Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV, 2009.

Arifin, Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet. V, 2010.

Ash-Shalabi, Ali Muhammad, Biografi Abu Bakar As-shiddiq, Jakarta: Pustaka


Al-kausar, 2013.

Fuad, Mohd Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan


Bintang, 1995.

Haikal, Husain Muhammad, Khalifah Rasulullah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Solo:


CV. Pustaka Mantiq, Cet. I, 1994.

Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2006.

Katsir, Al-Hafizh Ibnu, Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung,
Jakarta: Darul Haq, Cet. VIII, 2011.

Al-Khathib, Muhammad Ajjaj, Pokok-pokok Ilmu Hadis, Terj. Dari Ushul Hadis
oleh Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. III,
1998.

Ilaihi, Wahyu, Pengantar Sejarah Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, Cet. I, 2007.

Jalaludin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. II, 2002.

Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada, 2001.

79
80

Khalid, Muh. Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik


Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung: Diponegoro, 1985.

Mujib, Abdul et.al., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, Cet. II, 2008.

Mursi, Muhammad Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta:


Pustaka AL-Kautsar, Cet. III, 2007.

Mulyasa, E, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosda karya, 2011.

Murad, Musthafa, Kisah Hidup Abu Bakar Al-Shiddiq, Jakarta: zaman Mursi,
2009.

Nashori, Fuad, Psikologi Kepemimpinan, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2009.

Nata, Abuddin, Studi Islam Komperhensif, Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, Cet. I, 2011.

, Filsafat Pendidikan Islam , Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Kencana, Cet. I, 2003.

, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I,


2005.

Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta:


Cahaya Media Pratama, Cet. I, 2001.

Al-Quraibi, Ibrahim, Tarikh Khulafa’, Jakarta: Qhisti Press, Cet. I, 2009.

Rosyada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: Fajar Interpratama


Offset.

Rudiana, 9 Karakter Guru Menyenangkan Berbasis Ramah Otak, Bandung:


Smile’s Indonesia Insitute, 2012.

Saefuddin, Didin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, Cet. I,
2007.

Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral Intelektual, Emosional,


dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, Jakarta: PT.
Bumi Aksara, Cet. II, 2008.

Shofan, Moh., Pendidikan Berparadigma Profetik, Jogjakarta: IRCiSoD, Cet. I,


2004.
81

Suparta, Mundzir, Perubahan Orientasi Pondok Pesantren Salafiyah Terhadap


Perilaku Keagamaan Masyarakat, Jakarta: Asta Buana Sejahtera, Cet. I,
2009.

Surya, Mohamad, Psikologi Guru Konsep dan Aplikasi, Bandung: Alfabeta, 2013.

Syalabi., A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Khusna, 1983.

Tuanaya, Husein, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam Kelas 3A, Jawa Timur:
Wahana dinamika karya, 2004.

Tu’u, Tulus, Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Belajar, Jakarta:
Gramedia, Wiasarana Indonesia, 2004.

Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1991.

, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, Cet. III, 2005.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2004.

, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,


2008.

Yasin, A. Fatah, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Yogyakarta: UIN Malang


Press, 2008.

http://www.pak-sodikin.com/menjadi-guru-yang-adil/.

http://www.lampuislam.blogspot.com/2013/08/besarnya-cinta-abu-bakar-ash-
shiddiq-ra.html.

http://www.tuanguru.com/2011/11/ijtihad-dalam-pendidikan.html

http://marwajunia.blogspot.com/2012/02/ijtihad-dan-contoh-pemikiran-imam-
empat.html
UJI REFERENSI

Halaman Halaman
No Pengarang Judul Buku
Skripsi Referensi
1 Kartini Pemimpin dan 1 28
Kartono Kepemimpinan

2 Pandji Psikologi Kepemimpinan 1 2


Anoraga
3 Fuad Nashori Psikologi Kepemimpinan 2 3-5

4 Badri Yatim Sejarah Peradaban Islam 3 35


5 Didin Sejarah Peradaban Islam 3 33
Saefuddin

6 Mohd Perkembangan 4 77
Fachruddin Kebudayaan Islam
Fuad
7 Musthafa Kisah Hidup Abu Bakar 4 31
Murad Al-Shiddiq
8 Syaikh Tokoh-tokoh Besar Islam 5 8
Muhammad Sepanjang Sejarah
Sa’id Mursi
9 Ali Biografi Abu Bakar As- 8 11-689
Muhammad shiddiq
Ash-Shalabi
10 Al- Hafizh Perjalanan Hidup Empat 10 5
Ibnu Katsir Khalifah Rasul yang
Agung
11 Husain Khalifah Rasulullah Abu 10 33
Muhammad Bakar Ash-Shiddiq
Haikal
12 Ibrahim al- Tarikh Khulafa’ 11 110
Quraibi
13 ‫عبدالرحمنالشرقاو‬ ‫ مكتبةغريب‬.‫أواللخلفاء‬ 22 60
‫ى‬
14 Khalid, Muh. Mengenal Pola 23 25
Khalid. Kepemimpinan Umat dari
Karakteristik Perihidup
Khalifah Rasulullah
15 Wahyu Ilaihi Pengantar Sejarah 24 84
Dakwah
16 Husein Sejarah Kebudayaan 29 15
Tuanaya,dkk Islam Kelas 3A
17 Sjarkawi Pembentukan Kepribadian 31 29-31
Anak ; Peran Moral
Intelektual, Emosional,
dan Sosial Sebagai Wujud
Integritas Membangun Jati
Diri
18 Abuddin Nata Manajemen Pendidikan 31 9
19 Abuddin Nata Filsafat Pendidikan Islam 32 4
20 Nur Uhbiyati Ilmu Pendidikan Islam 32 18
21 A. Fatah Yasin Dimensi-dimensi 32 110
Pendidikan Islam
22 Samsul Nizar Pengantar Dasar-dasar 32 93
Pemikiran Pendidikan
Islam
23 M. Arifin Ilmu Pendidikan Islam; 33 8
Tinjauan Teoritis dan
Praktis berdasarkan
pendekatan Interdisipliner
24 Muzayyin Filsafat Pendidikan Islam 33 15
Arifin
25 Mundzir Perubahan Orientasi 33 284
Suparta Pondok Pesantren
Salafiyah Terhadap
Perilaku Keagamaan
Masyarakat

27 Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam 35 32


et.al
28 Abudin Nata Studi Islam Komperhensif 35 28
29 Muhammad Pokok-pokok Ilmu Hadis 37 2
Ajjaj al-
Khathib
30 Nur Uhbiyati Ilmu Pendidikan Islam 38 21
31 Abu Abdillah Argumen Alusunnah wal 38 1
jama’ah
32 Abuddin Nata Filsafat Pendidikan Islam 41 45
33 Jalaludin Teologi Pendidikan 41 92
34 Armai Arief Pengantar Ilmu dan 42 23
Metodologi Pendidikan
Islam
35 Badri Yatim Sejarah Peradaban Islam 44 3
36 A. Syalabi Sejarah dan Kebudayaan 45 226
Islam
37 Tulus Tu’u Peran Disiplin pada 62 48
Perilaku dan Prestasi
Belajar
38 Dede Rosyada Paradigma Pendidikan 63 152
Demokratis
39 Rudiana 9 Karakter Guru 64 112-134
Menyenangkan Berbasis
Ramah Otak
40 E. Mulyasa Menjadi Guru Profesional 67 28
41 Mohamad Psikologi Guru Konsep 70 340
Surya dan Aplikasi

Dosen Pembimbing

Drs. H. Ghufron Ihsan, MA.


NIP. 195305091981031006

Anda mungkin juga menyukai