KATA PENGANTAR............................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN........................................................................
Latar Belakang............................................................................... 3
Rumusan Masalah ......................................................................... 3
Tujuan penelitian............................................................................ 3
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sejarah Islam merupakan salah satu bidang study yang menarik baik kalangan Islam maupun Non Islam ,
hal ini dikarenakan banyak nya manfaat yang dapat di peroleh dari penelitian tersebut, bagi peneliti Barat (non
Islam ) mempelajari sejarah Islam selain di tujukan pengembangan Ilmu, juga terkadang dimaksudkan untuk
mencari kelemahan dan kekurangan ummat Islam agar dapat dijajah dan sebagainya, disadari atau tidak saat ini
Informasi mengenai sejarah Islam banyak berasal dari penelitian para sarjana Barat , hal ini di karenakan
masyarakat Barat memiliki Etos keilmuan yang kuat juga di dukung oleh politik yang kuat dari para
pemimpinya. Sedangkan dari kaum Islam sendiri selain Etos keilmuanya rendah juga belum di dukung oleh
keahlian di bidang penelitian yang memadai.
Kembali kepada manfaat sejarah Islam bagi ummat Islam , bagi ummat muslim mempelajari sejarah Islam
dapat memunculkan kebanggaan terhadap Islam sendiri karena Islam pernah menemui kemajuan di segala
bidang berates-ratus tahun lamanya, juga sebagai peringatan agar lebih berhati-hati, yang memang harus di akui
pula masa kemunduran Islam juga sebagai pelengkap cerita untuk lebih menyadarkan ummat Islam tak henti
berbenah diri serta tampil berjuang.
B.Rumusan Masalah
1. Siapa itu Muawiyah bin Abi Sufyan ?
2. Kapan Pengangakatan Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi Khalifah ?
3. Apa saja Kebijakan Muawiyah bin Abi Sofyan Dalam Masa Pemerintahannya ?
C.Tujuan
1. Untuk mengetahui Profil Muawiyah bin Abi Sufyan
2. Untuk mengetahui Pengangkatan menjadi Khalifah
3. Untuk mengetahui Kebijakan Muawiyah bin Abi Sufyan dalam masa pemerintahannya
BAB II
PEMBAHASAN
B. Proses dan model pemilihan Muawiyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib karena di bunuh oleh Ibnu Muljam pada 661 M, menimbulkan dampak
politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam khusunya para pengikut setia Ali. Oleh karena itu, tidak lama
berselang, umat Islam dan para pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) atas diri Hasan bin
Ali untuk diangkat menjadi khalifah, pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses pengangkatan itu dilakukakan di hadapan banyak orang. Pada umumnya adalah para pendukung
ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Mereka yang melakukan sumpah setia (bai’at) sekitar 40.000 orang, jumlah yang
tidak sedikit untuk ukuran saat itu. Orang yang pertama melakukan bai’at adalah Qays bin Sa’ad, yang kemudian
diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali bin Abi Thalib lainnya.
Pengangkatan ini bukan merupakan hasil rekayasa para pendukung Ali sebelumnya, tetapi karena tidak
punya pilihan lain yang dapat menjadi tokoh panutan dan pemimpin mereka, kecuali Hasan bin Ali. Mereka
menyadari bahwa Hasan bin Ali tidak setegas dan setegar ayahnya dalam hal kepemimpinan, tetapi karena saat
itu mereka membutuhkan seorang figur yang dapat diandalkan kharismatiknya, maka mereka secara bersama-
sama membai’at hasan bin Ali sebagai khalifah, menggantikan kedudukan ayahnya.
Akan tetapi, pengangkatan itu tetap tidak mendapat pengakuan Muawiyah dan para pendukungnya. Karena
sebenarnya Muawiyah juga sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam dunia Islam.
Tetapi, ia selalu mendapat rintangan dari para pendukung setia Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, semakin
panjang daftar “musuh” Muawiyah dan semakin sulit” untuk mencapai puncak kekuasaan, kecuali dengan cara-
cara yang tidak demokratis, seperti kudeta dan lainnya.
Perdebatan apapun yang terjadi saat itu, yang jelas bahwa realitas politik menunjukkan bahwa sepeninggal
Ali bin Abi Thalib, sebagian penduduk Kufah, Basrah dan Madinah melakukan sumpah setia (bai’at) kepada
Hasan untuk memegang jabatan khalifah, menggantikan kedudukan ayahnya yang tewas terbunuh di tangan
Abdurrahman bin Muljanm, yang berasal dari kelompok orang-orang yang tidak suka atas kebijakan Ali bin
AbiThalib yang melakukan Tahkim. Tapi sayang, ternyata sepeninggal Ali, Hasan yang diangkat menjadi
khalifah, bukan kelompok mereka.
Di sinilah problem puncak banyaknya persoalan politik Islam setelah kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Karena ternyata, umat Islam, khususnya pendukung Ali telah memiliki calon kuat untuk menduduki jabatan
khalifah. Sementara kelompok Muawiyah menginginkan Muawiyah yang menjadi khalifah, bukan orang lain.
Namun, kenyataan terpilihnya Hasan sebagai khalifah tidak disenangi Muawiyah bin Abi Sufyan, sehingga
Muawiyah bin Abi Sufyan menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali. Taktik dan
strategi yang dimainka Muawiyah merupakan suatu upaya politik untuk mencapai puncak kekuasaan menjadi
khalifah. Untuk kepentingan itu, Muawiyah dan para sekutunya menyusun kekuatan membendung arus massa
pendukung Hasan bin Ali, terutama masyarakat Kufah dan Basrah yangmasih setia kepada Ali bin Abi Thalib.
Hal itu bisa saja dilakukan, mengingat Muawiyah telah memilki posisi dan kekuatan yang cukup besar selama
menjabat sebagai Gubernur di Syiria yang dapat dipergunakan untuk merebut kekuasaan khalifah dari tangan
Hasan.mendengar berita itu, Qays bin Sa’ad bin Ubadah dan Abdullah bin Abbas menyarankan agar Hasan
melakukan serangan ke Damaskus, sebelum diserang pasukan Muawiyah. Usulan tersebut diterima Hsan bin Ali
dengan mengirim pasukan sebanyak 12.000 orang di bawah pimpinan kedua tokoh tersebut di atas. Pasukan ini
berangkat ke Damaskus untuk melakukan serangan terhadap pasukan Muawiyah.
Namun ternyata, kedatangan mereka telah dinanti-nantikan oleh pasukan Muawiyah, sehingga kedua
pasukan bertemu di suatu tempat bernama Madain. Di tengah sengitnya pertempuran, lagi-lagi Muawiyah
mencoba mengecoh lawan dengan menyebarkan isu kematian Qays, sebagai bagian dari strategi perang urat
syaraf (psy war) melalui opini publik yang dilakukan pihak Muawiyah. Perang opini ini sangat efektif untuk
menjatuhkan semangat perang lawan Muawiyah, sehingga Hasan bin Ali tanpa melakukan penyelidikan secara
seksama, telah mengambil langkah untuk menghentikan gerakan pasukannya dan ingin menyelesaikan persoalan
tersebut dengan cara-cara damai.
Di satu sisi, yakni pihak Muawiyah, penyebaran isu tersebut sangat efektif untuk melemahkan kekuatan
lawan dan membangkitkan semangat juang pasukan Muawiyah dalam memenangkan pertempuran. Di pihak
Hasan, isu itu memiliki dampak psikologis yang sangat efektif, karena dapat mempengaruhi semangat juang
pasukannya yang pada akhirnya mereka enggan untuk melanjutkan pertempuran melawan pasukan Muawiyah.
Dengan demikian, strategi kelompok Muawiyah yang melakukan perang urat syaraf (psy war) telah
berhasil mengecohkan kekuata lawan, sehingga ia berhasil mempengaruhi massa pendukung hasan bin Ali untuk
tidak lagi melanjutkan pertempuran.
Akibatnya, pasukan Hasan yang semula sangat mendukung gerakan Hasan melawan Muawiyah malah
berbalik tidak menyukai hasan. Bahkan menurut sejarawan muslim, seperti Al-Thabary mengatakan bahwa para
pendukung Hasan melakukan tindakan kekerasan dengan menyerbu masuk ke rumah Hasan dan merusak
kehormatan dan merampas harta bendanya, sehingga mereka berani merampas permadani yang sedang diduduki
Hasan bin Ali. Sehingga Al-Thabary memandang bahwa perbuatan mereka sangat biadab, karena mengkhianati
pemimpinnya sendiri.
Dalam mengatasi gejolak dan krisis politik seperti itu, tampaknya Hasan bin Ali tidak punya pilihan lain
kecuali melakukan negosiasi dengan Muawiyah untuk mengakhiri perseteruan antara mereka. Untuk kepentingan
itu, Hasan mengirim surat kepada muawiyah melalui ‘Amr bin Salmah Al-Arhaby yang berisi perdamaian.
Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah dengan beberapa persyaratan antara lain;
menyerahkan harta Baitul mal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya sebagai bentuk perjanjian
Muawiyah. Tidak lagi mencaci maki bapaknya serta keluarganya. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari
Persia dan daerah Dar Ibjirad kepada Hasan setiap tahun.
Selain itu, setelah Muawiyah berkuasa nanti, masalah kepemimpinan harus diserahkan kepada umat Islam
untuk memilihnya. Hasan juga menuntut agar Muawiyah tidak menarik sesuatu dari penduduk Madinah, Hijaz
dan Irak, karena hal itu telah menjadi kebijakan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, sejak ia masih berkuasa. Semua
permintaan tersebut disanggupi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.
Untuk memenuhi semua persyaratan itu, Hasan bin Ali mengutus seorang sahabatnya bernama Abdullah
bin Al-Harits bin Nauval menghadap Muawiyah. Sementara Muawiyah menghadapi orang-orang
kepercayaannya, seperti Abdullah bin ‘Amr bin Kurayz dan Abdurrahman bin Samurah bin Habib bin Abdi
Syams untuk menyampaikan pesan kepada Hasan. Utusan Muawiyah tiba di Madain dan memberikan semua
permintaan Hasan.
Untuk itu, Hasan kemudian mengirim surat kepada Muawiyah agar mereka bertemu di suatu tempat, yaitu
Maskin. Keduanya bertemu di tempat yang telah disepakati. Di sinilah Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaan
kepada Muawiyah dengan menyatakan sumpah setia kepada Muawiyah.
Usai pembaiatan, Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan oergi menuju kota Kufah. Di kota inilah
kemudian Hasan meminta para pengikutnya untuk melakukan sumpah setia seperti yang telah dilakukannya.
Permintaan tersebut dipenuhi dan bai’at dilakukan untuk mendukung kepemimpinan Muawiyah.
Keberhasilan Muawiyah memperoleh pengakuan di Kufah merupakan bukti kepiawian Mawiyah dalam
memainkan peran politiknya sebagai seorang yang sangat ahli dalam bidang ini. Dengan demikian, ia telah
menggapai cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi Hasan bin Ali sebagai
khalifah. Setelah berhasil memperoleh pengakuan dari Hasan bin Ali dan para pendukungnya di kota Kufah
dengan kompensasi besar berupa uang sejumlah satu juta dirham yang diberikan kepada Hasan bin Ali,
Muawiyah kemudian pergi ke kota Basrah meminta agar penduduk kota tersebut melakukan hal yang sama
seperti saudara-saudara mereka di Kufah. Harapan Muawiyah agar penduduk Basrah mau melakukan Bai’at
kepada Muawiyah gagal, karena mereka menolak untuk melakukannya,
Penolakan mereka di dasari atas kenyataan bahwa harta yang tersimpan di baitul mal merupakan harta
umat Islam yang diperolehnya dari hasil peperangan (fa’i) dan tidak akan diberikan kepada siapa pun, termasuik
kepada Hasan bin Ali. Dengan demikian, mereka tidak mau melakukan perintah Hasan untuk membai’at
Muawiyah sebagai pemimpin mereka.
Meskipun tidak mendapat pengakuan secara resmi dari masyarakat Basrah, Muawiyah tetap melakukan
propaganda kepada masyarakat di seluruh wilayah kekuasaan Islam agar mereka mau mengakui dan tunduk
kepad khalifah yang baru. Karena pemimpin mereka yang lama, yakni Hasan bin Ali telah menyerahkan
kekuasaan kepadanya dan meminta semua pendukung Hasan mematuhi segala perintah dan tunduk atas segala
kebijakan yang dibuat Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan pengakuan ini, tentu saja jabatan tertinggi umat Islam secara de jure dan de facto berada di tangan
Muwiyah bin Abi Sufyan. Suatu jabatan penting yang telah lama dinantikan bani Umayah. Dalam hal ini terlepas
dari apakah perolehan kekuasaan itu dilakukan secara terpaksa atau tidak, yang jelas pada akhirnya Muwiyah
doterima sebagai khalifah umat Islam. Dengan demikian, berdirilah dinasti yang baru, yaitu Dniasti Bani
Umayah (661-750 M) yang mengubah gaya kepemimpinannya dengan meniru gaya kepemimpinan raja-raja
Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada aak-anaknya secara turun-temurun. Hal ini juga
menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari atas asas “demokrasi” untuk menentukan
pemimpin umat Islam yang mnejadi pilihan mereka.
1. Pembentukan Diwanul Hijabah, yaitu sebuah lembaga yang bertugas memberikan pengawalan kepada
khalifah. Pembentukan lembaga ini di dasari atas pengalaman sejarah masa lalu, yaitu beberapa khalifah rasyidah
meninggal karena di bunuh oleh orang-orang yang tidak menyukai gaya kepemimpinan dan kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkannya. Dengan adanya lembaga ini, maka setiap orang yang akan menghadap untuk bertemu
khalifah diperiksa terlebih dahulu, dan ditanyakan maksud kedatangannya. Dengan cara pemeriksaan yang ketat
seperti ini, khalifah dapat terhindar dari ancaman pembunuhan dari orang-orang yang tidak menyukainya.
2. Pembentukan departemen pencatatan atau Diwanul Khatam. Depaetemen ini mencatat semua peraturan yang
dikeluarkan khalifah dan dicatat di dalam berita acara pemerintahan. Berita acara atau catatan kebijakan dan
surat-surat asli disegel dan di kirimkan ke alamat yang di tuju. Sementara salinannya di simpan. Kebijakan ini
dikeluarkan karena adanya kasus yang pernah terjadi, yaitu ketika khalifah memberikan 100 dirham kepada
seseorang dari bendahara propinsi. Surat yang berisi perintah itu dicegat ditengah jalan dan jumlahnya di ubah
dengan angka yang lebih tinggi. Dengan pencatatan seperti ini, khalifah Muawiyah berharap tidak ada lagi
penipuan dan tindakan yang merugikan negara.
3. Pembentukan Dinas Pos atau Diwanul Barid. Muawiyah membentuk pos-pos penjagaan pada tempat-tempat
tertentu disepanjang jalan penting dan disediakan kuda lengkap dengan peralatannya. Para pegawai pos
mengambil seekor dari kuda itu dan mengendarainya dengan cepat, sehingga cepat sampai ke pos berikutnya. Di
pos itu, pegawai tersebut meninggalkan kuda itu supaya kuda tersebut dapat beristrhat. Kemudian pegawai itu
mengambil kuda lainnya yang telah tersedia di pos itu untuk menuju tempat yang d tuju.
4. Pembentukan percetakan mata uang. Pembentukan ini dimaksudkan untuk mencetak mata uang resmi
negara. Meskipun pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, masih menggunakan mata uang Romawi
dan belum menggantinya dengan mata uang baru yang dikeluarkan pemerintahan Bani Umayah. Penggantian
mata uang baru dilakukan pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan.
5. Pembentukan shahibul kharraj (pemungut pajak). Pajak-pajak yang berasal dari berbagai proponsi di
wilayah kekuatan Bani Umayah dikumpulkan melalui petugas ini, kemudian dikirim ke pusat. Pejabat ini
ditunjuk langsung oleh khalifah dan bertanggung jawab kepada khalifah.
2. Fanatisme Kesukuan
Timbulnya fanatisme kesukuan dimulai sejak mundurnya Muawiyah II sebagai khalifah. Di kalangan Bani
Umayyah dan para pengikutnya terjadi perpecahan yang nyaris melenyapkan kekuasaan mereka. Ketika itu,
asabiyah (fanatisme) kesukuan antara bangsa Arab Utara (kabilah Qais) dan bangsa Arab Selatan (kabilah Qalb)
muncul kembali di Suriah yang sebelumnya telah dipadamkan. Kelompok Arab Utara mendukung Abdullah bin
Zubair yang
memberontak terhadap Yazid I dan mendapat pengakuan luas setelah kematiannya. Kelompok Arab Selatan yang
mendukung Bani Umayyah terpecah menjadi dua kubu. Pertama, menghendaki Khalid bin Yazid bin Muawiyah
yang masih belia menjadi khalifah. Kedua, menghendaki Marwan bin al-Hakam, sepupu Muawiyah II, sebagai
khalifah. Pada akhirnya, mereka sepakat dalam pertemuan yang berlangsung pada tanggal 3 Zulkaidah 64 Hijriah
di al-Jabiyah membaiat Marwan bin al-Hakam sebagai khalifah.
Kekhalifahan Dinasti Umayyah memiliki fanatisme yang cukup kuat. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik
terhadap muslim Arab dan bahasa Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah kalangan Mawali
(orang muslim non-Arab atau warga kelas dua). Orang Arab merasa dirinya sebagai bangsa terbaik dan bahasa
Arab sebagai bahasa tertinggi. Fanatisme ini menimbulkan kebencian penduduk nonmuslim kepada Bani
Umayyah.
Akibat dari fanatisme adalah terjadi pemberontakan yang dilakukan kaum Mawali terhadap Dinasti Umayyah.
Apalagi hal itu dibarengi dengan gerakan anti-Dinasti Umayyah yang dilancarkan oleh Bani Abbas. Kemudian,
Bani Abbas mendapatkan dukungan dan bantuan dari Mawali, khususnya Persia yang merasa terhina oleh
perlakuan para pejabat Dinasti Umayyah.
Munculnya gerakan oposisi pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah menyebabkan sejumlah tokoh
terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan baiat kepada Yazid bin Muawiyah. Yazid bin Muawiyah pun
mengirim surat kepada Gubernur Madinah dan memintanya untuk memaksa penduduk Madinah agar
menyatakan baiat kepadanya. Dengan cara ini, semua penduduk terpaksa tunduk, sedangkan Husein bin Ali dan
Abdullah bin Zubair belum melakukan baiat kepadanya.
Selain Syiah, ada gerakan lain yang akan meruntuhkan Dinasti Umayyah, yakni gerakan kelompok Khawarij dan
Mawali.
Kata syiah memiliki banyak makna, antara lain keluarga, pengikut, pendukung, penolong, dan orang yang
memiliki kesamaan dalam pandangan hidup. Istilah syiah ini sering digunakan untuk menyebut kelompok yang
mendukung Ali bin Abi Talib dan keluarganya.
Kelompok Syiah pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan tidak pernah melakukan pemberontakan.
Akan tetapi, mulai pada tahun 60 H/680 M masa kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, Husein bin Ali mengadakan
perlawanan kepada penguasa Dinasti Umayyah. Saat itu, Husein pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan
kaum Syiah yang ada di Irak. Umat Islam di daerah ini tidak mengakui Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah.
Mereka mengakui bahwa Husein bin Ali adalah khalifah yang sah. Akhirnya, terjadilah perang saudara di
Karbala, sebuah daerah di dekat Kufah. Dalam pertempuran itu tentara Husein kalah dan ia mati terbunuh. Ia pun
dimakamkan disana.
Nama Khawarij dikenal dalam sejarah Islam setelah peristiwa tahkim (arbitrase antara kubu Ali bin Abi Talib dan
Muawiyah bin Abi Sufyan) dalam Perang Siffin. Sebelum peristiwa tahkim, kelompok ini merupakan pendukung
Ali bin Abi Talib yang militan. Mereka ikut dalam Perang Siffin dan Perang Jamal, tetapi mereka keluar dari
kelompok Ali setelah tahkim dan menolak arbitrase.
Orang pertama yang memberontak kepada Muawiyah bin Abi Sufyan adalah Abdullah bin Abul Hausa di an-
Nakhilah (sebuah tempat yang berdekatan dengan Kufah dari arah Syam). Pemberontakan muncul lagi yang
dipimpin oleh al-Mustairid bin Juwain at-Ta’i saat Kufah dipimpin al-Mugirah bin Syu’bah. Selanjutnya,
kelompok Khawarij ini terpecah menjadi dua, yaitu Najdah bin Amir al-Hanafi di Yaman dan Nafi’ bin al-Azraq
di Basrah. Kelompok yang dipimpin Najdah bin Amir al-Hanafi menamakan dirinya anNajdat dan kelompok
yang dipimpin Nafi’ bin al-Azraq menamakan dirinya al-Azariqah.
c. Gerakan Mawali
Gerakan Mukhtar as-Saqafi mendapat banyak pengikut dari kalangan Mawali yang berasal dari Persia dan
Armenia. Sementara itu, Abdullah bin Zubair membina gerakan oposisinya di Mekah setelah ia menolak
menyatakan baiat kepada Yazid bin Muawiyah. Ibnu Zubair mendeklarasikan diri sebagai khalifah setelah
Husein bin Ali meninggal dunia.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz (Umar II) hubungan pemerintah dengan kelompok oposisi makin
membaik. Ketika dinobatkan sebagai khalifah, Umar II menyatakan diri untuk memperbaiki dan meningkatkan
negeri yang berada di wilayah kekuasaan Islam daripada perluasan wilayah. Meskipun masa pemerintahannya
sangat singkat, Umar II berhasil menjalin hubungan baik dengan kelompok Syiah dan Khawarij. Ia juga memberi
kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
Penarikan jizyah dan kharraj diperingan serta kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Muawiyah lahir empat tahun menjelang Rasulullah menjalankan dakwah di kota Makkah. Riwayat lain
menyebutkan ia lahir dua tahun sebelum diutusnya Muhammad Saw menjadi Nabi. Beberapa riwayat
menyatakan bahwa Muawiyah memeluk islam bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti
Utbah tatkala terjadi Fathu Makkah.
Setelah Ali terbunuh, orang orang syi’ah mengangkat Hasan bin Ali sebagai khalifah, namun pihak Muawiyah
menolak. Disisi lain Hasan tidak berambisi menjadi khalifah dan tidak mau terjadi perpecahan berlanjut di tubuh
umat Islam, akhirnya Hasan bersedia menyerahkan kekuasaan kekhalifahan kepada Muawiyah.