Anda di halaman 1dari 12

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Ilmu Kalam H. Muhammad, Lc, M.H.I.

“ SYEKH MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARI”

Disusun Oleh:
KELOMPOK 10
Nur Rutbatul Aliyah : 21.11.1268
Nur Syifa : 21.11.1269
Siti Aisyah : 21.11.1279

PRODI AHWAL ASSAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM MARTAPURA
2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
ini demi memenuhi tugas mata kuliah “ilmu kalam” . tak lupa pula kami ucapkan terimakasih
banyak kepada Bapak H. Muhammad, Lc, M.H.I. selaku dosen pembimbing kami dalam mata
kuliah ilmu kalam. Semoga makalah ini dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi pembaca.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang akan membangun kami nantikan untuk kesempurnaan makalah ini. Atas
partisipasi dalam penyusunan serta perhatian pembaca materi makalah ini, kami ucapkan
terimakasih.

Martapura, 22 Desember 2021

Penulis
Kelompok 10

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………… 1
A. Latar Belakang………………………………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………. 1
C. Tujuan Masalah…………………………………………………………………………. 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………. 2
A. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari………………………………………………….. 2
1. Biografi singkat…………………………………………………………………………. 2
2. Jejak keilmuan…………………………………………………………………………... 3
3. Pemikiran-pemikiran……………………………………………………………………. 3
4. Perannya di Masyarakat………………………………………………………………… 5
BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………….. 7
B. Kesimpulan……………………………………………………………………………… 7
C. Saran…………………………………………………………………………………….. 7

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………... 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam tumbuh di Banjarmasin sekitar abad ke- 16, sejak kerajaan islam banjar didirikan oleh
sultan yang pertama yakni sultan suriansyah (1525-1550 M. / 931-957 H.) meskipun demikian dari
enam intensitas pengalaman, islam di tanah banjar mengalami peningkatan ketika Muhammad
Arsyad Al-banjari bersama para murid dan anak cucunya pada akhir adab ke-18 melakukan ulang.
Salah satu kembali yang dilakukann Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam bidang akidah
terangkum dalam tulisannya Tuhfat Ar-Raghibin.
Dikalimantan selatan, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari salah satu actor sejarah
perkembangan islam yang tidak lepas dari peranannya. Proses islamisasi yang Arsyad lakukan
adalah sebuah refleksi oerjuanga dari penyebaran islam dikalimantan. Ketika sultan suriansyah
(1525-1550 M.) menjadi raja banjar selanjutnya, dimulailah penyebaran agama islam dilingkungan
kerajaan. Pada tahun 1761 M. Syekh Arsyad Al-banjari memulai dakwahnya secara intensif
bersama para murid dan anak cucunya.
Dakwah yang Syekh Arsyad lakukan bersama murid dan cucunya membawa perubahan
diberbagai aspek keagamaan, dari teologi, fiqh, tasawuf sampai pendidikan. Disamping itu dalam
catatan sejarah al-banjari meskipun dikenal sebagai ulama ahli fiqh, teologi, tasawuf, falaq dan
politik, ia juga dikenal sebagai guru yang mempunyai komitmen terhadap dunia pendidikan.
Hampir seluruh hidupnya yang mencapai 102 tahun, selama 67 tahun diabdikan guna membina
dan mencerdaskan masyarakat. Hal ini terbukti dengan keberhasilannya mengkader ank cucu
keturunan dan murid-muridnya menjadi ulama dan mubalih-mubalih kawakan yang menyebarkan
islam hampir keseluruh Kalimantan, dari pusat kerajaan yang berada dimartapura sampai ke
pelosok-pelosok daerah bahkan memasuki beberapa wilayah pedalaman yang sangat terpencil.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemikiran pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syekh Muhammad Arsyad Al-banjari

1. Biografi singkat Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari


Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan. Pada
malam kamis tanggal 15 safar 1122 hijriah atau 19 maret 1710 masehi, pada masa sultan
Tahmidullah I (1700-1734 M.). Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dilahirkan dari dua orang
ibu bapak yang bernama Siti Aminah binti Husein dan Abdullah bin Abu Bakar.
Syekh Arsyad Al-Banjari mendapatkan pendidikan dasar keagamaannya didaerahnya sendiri,
dari ayahnya dan para guru setempat. Ketika berusia 7 tahun, ia telah mampu membaca al-quran
secara sempurna. Dia menjadi terkenal sehingga mendorong Sultan Tahmidullah untuk
mengajarkan tinggal diistana. Dikemudian hari, Sultan Tahmidullah I (1700-1734).
Menikahkannya dengan seorang wanita keturunan china yang bernama bajut ketika Syekh
Muhammad Arsyad Al-Banjari berusia 30 tahun. Ketika istrinya mengandung, Sultan Tamjidillah
mengirim Syekh Al-Banjari ke mekkah guna menuntut ilmu lebih lanjut atas biaya kesultanan
banjar. Tampaknya, sultan mengongkosi Syekh Al-Banjari dengan murah hati sehingga Syekh Al-
Banjari mampu membeli sebuah rumah di daerah Syamsiyah., Makkah, yang disebut dengan
“berhat banjar” yang mana rumah itu masih dipertahankan oleh para pendatang (imigran) banjar
sampai sekarang ini.
Di Makkah, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari mempelajari agama islam bersama
dengan beberapa ulama lainnya pada abad ke-18, seperti Abd al- Shamad al-Falimbani, Abd Al-
Wahhab Bugis, dan Ulama Betawi yang masyhur, Abd al-Rahman Misri. Empat ulama ini pernah
belajar tasawuf pada Syekh Abd al-Karim al-Sammani, yang dari namanya diambil nama Tarikat
Sammaniyyah.
Selain itu Syekh Arsyad Al-Banjari belajar kepada ulama terkenal baik di Makkah maupun
di Madinah. Ulama terkenal itu adalah:
1. Syekh Atha Allah ibn Ahmad al-masri Al-azhari
2. Syekh Muhammad ibn Sulaiman al-Kurdi
3. Ahmad ibn Abd al-Mun’im al-Damanhuri
4. Abdullah ibn Hijazi al-Syarqawi
5. Syekh Siddiq ibn Umar Khan; 6. Syekh Abd al-Rahman ibn Syekh Muhammad Hilal;
7. Syekh Muhammad Zayn ibn Faqih Jalal al-Din, Aceh

2
8. Sayyid Muhammad Murtadla al-Zabidi
9. Syekh Salim ibn Abdullah al-Basri
2. Jejak Keilmuan Syekh Arsyad Al-Banjari
Selain seorang alim ilmu agama, Syekh Arsyad Al-Banjari juga ahli dalam ilmu falak.
Pengetahuannya ini bisa diketahui dalam sejarah yang tertoreh di Masjid Jembatan Lima Jakarta.
Dalam perjalanan kembali dari Tanah Suci, Syekh Muhammad Arsyad singgah di kampung
sahabat seperjuangannya yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah, Syekh Abdurrahman Mesri.
Selama berada di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad mengunjungi banyak tempat dan masjid-
masjid. Disini ilmu beliau diuji.
Dalam suatu riwayat, ketika Syekh Muhammad Arsyad berkunjung ke Masjid Jembatan
Lima, dilihatnya bahwa arah kiblat masjid tersebut terlalu miring kekiri 25 derajat. Hal ini
didasarkan pada perhitungan astronomi, yang merupakan salah satu cabang ilmu yang dikuasai
Syekh Muhammad Arsyad. Tentunya hal ini ditolak oleh masyarakat sekitar dan meminta agar
dibuktikan. Syekh Muhammad Arsyad kemudian menunjukkan perhitungan astronomi yang
menunjukkan arah kiblat yang sebenarnya.
Setelah itupun akhirnya diubahlah arah kiblat tersebut kekanan sebanyak 25 derajat. Kejadian
ini terekam dalam sebuah prasasti yang masih bisa ditemukan hingga kini di lokasi sekitar Masjid
Jembatan Lima, yang mana batu tulisnya ditulis dalam bahasa Arab yang artinya: Arah kiblat
masjid ini digeser kekanan sebanyak 25 derajat oleh Syekh Muhammad Arsyad Banjar pada
tanggal 4 Safar 1186 H (bertepatan dengan tanggal 7 Mei 1772 M).
3.Pemikiran Syekh Arsyad Al-Banjari di Bidang Tasawuf
Pemikiran tasawuf Syekh Arsyad al-Banjari dapat dikaji dari dua karya dalam bidang tasawuf
pertama, risalat Fath al-Rahman, dan kedua kitab Kanz al-Ma‘rifah. Karya pertama adalah
terjemahan dan sharahan dari kitab Fath al-Rahman karya Shayk Zakariya al-Anbari. Karya kedua
dapat dikaji dari Kitab Kanz al-Ma‘rifah, adalah satu-satunya tulisan beliau di bidang tasawuf yang
berbahasa Jawi Melayu, kandungannya amat ringkas dan praktikal, yang berupa ikhtisar dari
risalat Fath al-Rahman. Penulis berusaha untuk mengungkapkan pemikiran syekh arsyad al-banjari
di bidang tasawuf, karena pemikiran tasawuf syekh al-Banjari memiliki hubungan dengan tradisi
tasawuf di kalangan ahli fiqih dan merupakan perpaduan antara aqidah dan shari‘ah atau hakikat,
maka pembahasan ini dibagi pada dua, yaitu konsep tauhid, hubungan shari‘ah, tarekat dan
hakikat.

3
a) Konsep Tauhid
Menurut syekh arsyad al-banjari pemahaman tauhid sangat penting berfungsi sebagai
penyelamat bagi orang yang akan menempuh perjalanan sufi menuju kepada Allah. Untuk
memahamkan konsep Tauhid al-Banjari mengambil ayat al-Qur’an “la ilaha illallah...” artinya:
tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali hanya Allah Ta‘ala dan menafikan segala sesuatu yang
ada didunia ini selain Allah dan mengingkari pandangan itu disebut sirik khafi. Kalimat tauhid
tersebut harus dipahami secara benar. Seperti pandangan al-qushayri, yang meyakini bahwa segala
sesuatu itu berasal dari yang satu (Esa).
Pendapat tersebut sesuai dengan pandangan para sufi bahwa tauhid adalah jalan menuju
ma’rifah tentang keesaan Allah yang tetap bagi-Nya baik yang berhubungan dengan yang al-‘Azali
atau yang al-Abadi. Tauhid yang sejati bagi salik adalah ia dapat melepaskan pandangan yang
menghalangi perjalanan menuju Allah. Jika pandangannya meyakini bahwa dirinya yang berbuat,
dirinya yang berwujud dan mempunyai sifat, inilah yang disebut sirik khafi atau sirik batin yang
tersembunyi.
Menurut syekh arsyad al-Banjari Tauhid adalah meyakini bahwa Allah adalah Maha Esa pada
dzat-Nya, sifat-Nya dan Af‘al-Nya. Itulah yang disebut tauhid al-dzat, tauhid al-sifat dan tauhid al-
Af‘al. Siapa yang mampu menegakkan ketiganya berarti ia telah bertauhid secara hakiki. Tetapi
sebaliknya siapa yang menisbahkan sifat tersebut kepada makhluk atau menafikannya salah satu
atau ketiga sifat tersebut, ia disebut sirik. Selanjutnya menurut syekh arsyad al-banjari tauhid
seperti itu harus diyakini dan diamalkan terus menerus pada setiap saat dan setiap nafas, iktikadkan
dalam hati dengan kata “la qadirun wa la muridun wa la ‘Alimun, wa la hayyun wa la sami‘un wa
la basirun wa la mutakallimun illallah”
b). Tingkatan Tauhid
Syekh arsyad al-banjari berpendapat bahwa tingkatan tauhid itu ada tiga, tingkatan pertama
tauhid al-af’al adalah tauhid bagi orang awam, tingkatan kedua, tauhid al-sifat adalah tauhid bagi
segala khawas, dan tingkatan ketiga tauhid al-dzat adalah tauhid bagi segala khawas al-khawas.
Pandangan syekh al-banjari tentang tingkatan tauhid ini agak berbeda dengan Abd Nafis walau
maknanya sama. Bagi al-Nafis tingkatan Tauhid adalah empat yaitu tauhid al-af‘al, tauhid al-
asma’, tauhid al-sifah, dan tauhid al-dzat. Syekh arsyad al-Banjari tidak menamakan dengan tauhid
al-Asma’ sebagaimana Abd al-Nafis, mungkin pengertian tauhid al-Asma’ termasuk kepada
pemahaman tauhid al-sifat karena al-asma’ yang artinya nama-nama Allah (asma’ al-husna) yang
menjadi sifat-Nya.
Pembagian tingkatan tauhid ini tidak dapat disamakan dengan pandangan al-Qushayri, sebab
ia tidak menekankan pada konsep tauhid dzat, sifat dan af‘al, tetapi menekankan bahwa segala
sesuatu berasal dari yang satu, maknanya segala yang ada di alam semesta ini adalah perbuatan-
Nya, yaitu dzat dan sifat-Nya. al-Qushayri ini meyakini bahwa Allah yang Maha Esa dan menolak
segala faham yang berlawanan dengan keesaan Allah dengan memurnikan dzat dan sifah-Nya.

4
Adapun peringkat tauhid tersebut pertama tauhid al-af‘al,artinya, mengesakan perbuatan-
perbuatan yang berlaku di alam ini, meyakini bahwa segala yang terjadi di alam ini tidak ada yang
berbuat kecuali hanya dari Allah dan tidak ada yang terjadi di dunia ini kecuali atas kehendak
Allah. sedangkan segala perbuatan yang zahir itu bersifat majazi (bayangan), perbuatan jahat pada
rupanya (nampak pada lahirnya) itu pada hakekatnya baik karena ia terbit (berasal) dari yang baik
yaitu dari Allah Ta’ala. Tetapi bentuk lahirnya jahat karena shara’ mencela perbuatan itu, karena
memandang perbuatan dengan mata kepala dan memandang dengan mata batin berbeda. Walau
segala perbuatannya pada hakekatnya adalah af‘al Allah, bukan berarti dia terlepas dari kewajiban
melaksanakan shari‘ah. Jadi meng-esakan Allah dari segala perbuatan yang dimaksud adalah,
mengembalikan segala perbuatan yang berlaku di alam ini kepada sumbernya yaitu Allah Swt.
Tingkatan tauhid af‘al ini menurut al- Banjari tergolong tauhidnya kaum awam.
4. Perannya di Masyarakat
Syekh arsyad al-banjari adalah seorang tokoh ulama di kerajaan Banjar, yang mampu
membawa pemikiran-pemikiran baru berupa pemikiran tauhid secara murni yang dengan
pemikiran dan perjuangannya ia mampu merubah tradisi masyarakat setempat. Ada bukti nyata
bahwa Syekh arsyad al-banjari adalah ulama yang berusaha menylesaikan perselisihan antara ahli
syariah dan ahli tasawuf. Tentu ia memiliki ilmu pengetahuan luas dalam bidang itu. Syekh Abd
Karim al-Samman al-Madani, guru syekh arsyad al-banjari di Madinah di bidang tasawuf
mengakui bahwa syekh arsyad al-banjari menguasai ilmu zahir (shari‘ah) dan ilmu batin (hakekat).
Karel Steenbrink, seorang orientalis mengakui bahwa syekh arsyad al-banjari menguasai kedua
bidang tersebut (ilmu fiqih dan ilmu tasawuf).
Dengan menguasai kedua bidang itu, syekh arsyad al-banjari tidak kesulitan mengatasi
masalah keagamaan yang terjadi di Kerajaan Banjar pada waktu itu. Dengan aktivitas dan
perjuangannya di masyarakat, syekh arsyad al-banjari telah diakui oleh masyarakat, khususnya
para Ilmuwan bahwa al-Banjari pantas disebut sebagai Mujaddid dan Mujtahid di daerah dan di
kerajaan Banjar. Kemudian peran syekh arsyad al-banjari nampak nyata ketika ia memberi fatwa
mengenai faham tasawuf yang dibawa Abd Hamid Ambulung. Syekh arsyad al-Banjari memahami
bahwa dalam tasawuf terdapat ajaran wujudiyah.
Baginya paham wujudiyah dibagi dua kelompok, pertama, kelompok berfaham wujudiyah
Muwahhid, yaitu golongan yang meyakini bahwa satu-satunya wujud hanya wujud Allah, seorang
hamba bermushahadah dengan wujud Allah, golongan ini dapat disebut wahdat al-shuhud. paham
ini menurut al-Banjari adalah faham golongan ahli sufi yang sesungguhnya, dan al-Banjari setuju
dengan golongan ini. Kedua, golongan wujudiyah mulidah yaitu mereka yang berpaham waidah
al-wujud. Golongan ini beranggapan bahwa antara tuhan dan hamba tidak ada perbedaan. paham
ini al-Banjari menamai wujudiyah mulidah yang lazimnya dianut oleh para sufi yang menganut
ajaran hulul dan ittihad (artinya wujud Allah bersatu dengan wujud hamba, jika sudah bersatu tidak
ada perbedaan antara khaliq dengan makhluk).

5
Paham inilah yang dianut oleh Abd Hamid Ambulung yang membuat masyarakat menjadi
resah. Atas dasar itulah maka raja yang bernama Sultan Tahmidullah II (1773-1808 M) minta
nasihat dan fatwa kepada al-Banjari tentang masalah itu, yang memang saat itu ia sudah menjadi
Mufti di Kerajaan Banjar yang dapat memberi fatwa kepada Raja.
Syekh arsyad al-banjari menilai bahwa ajaran yang dibawa Hamid Ambulung itu adalah
paham wujudiyah mulhidah. Syekh arsyad al-banjari berpendapat bahwa jika ada seorang ulama
yang mengajarkan tasawuf dan telah sampai pada martabat yang tinggi, lalu ia dapat
menggugurkan ibadah zahir, maka pandangan ini menurut syekh al-banjari sangat salah dan tidak
syak lagi jika ada golongan seperti ini dapat dibunuh karena ia zindiq. Hal ini diungkapkan syekh
arsyad al-banjari didalam kitabnya.
Berdasarkan fatwa al-Banjari tersebut, Sultan menjadi paham dan yakin bahwa ajaran yang
dibawa oleh Abd Hamid Ambulung itu salah dan sesat, akhirnya Raja Banjar itu menjatuhkan
hukuman mati kepada Abdul Hamid. Meskipun hingga kini tidak ditemui bukti tertulis apakah
peristiwa itu benar-benar terjadi disana ataupun tidak, namun peristiwa itu telah menjadi cerita
masyarakat Banjar dari generasi kegenerasi. Sebab umat Islam telah mendapat informasi mengenai
peristiwa yang terjadi pada al-Hallaj, di Baghdad, Syekh Siti Jenar di Jawa, dan pengikut Hamzah
Fansuri di Aceh. Keadaan pemikiran keagamaan di Kalimantan-Selatan dan di Daerah Banjar
mulai berubah setelah peristiwa hukuman mati Abdul Hamid oleh Raja, dan disini peran al-Banjari
cukup signifikan. Oleh karena itu pengaruh ajaran wujudiyah mulhidah mulai berkurang, peminat
dan pengamal ajaran wujudiyah tidak nampak banyak seperti sebelumnya, walaupun masih
terdapat beberapa anggota masyarakat yang tetap mendukung atau mempraktekkan faham tersebut
secara sembunyi. Sejak itu pula al-Banjari mulai menggalakkan pengamalan syari‘ah (terutama di
bidang fiqih) kepada masyarakat, terutamanya umat Islam yang awam. Memang tasawuf wahdat
al-wujud mengandung falsafah yang tinggi dan tidak mudah difahami oleh masyarakat awam,
salah faham dan kesesatan akan terjadi jika tidak memahami dengan benar.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan. Pada
malam kamis tanggal 15 safar 1122 hijriah atau 19 maret 1710 masehi, pada masa sultan
Tahmidullah I (1700-1734 M.). Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dilahirkan dari dua orang
ibu bapak yang bernama Siti Aminah binti Husein dan Abdullah bin Abu Bakar.
Di Makkah, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari mempelajari agama islam bersama
dengan beberapa ulama lainnya pada abad ke-18, seperti Abd al- Shamad al-Falimbani, Abd Al-
Wahhab Bugis, dan Ulama Betawi yang masyhur, Abd al-Rahman Misri. Empat ulama ini pernah
belajar tasawuf pada Syekh Abd al-Karim al-Sammani, yang dari namanya diambil nama Tarikat
Sammaniyyah.
Selain seorang alim ilmu agama, Syekh Arsyad Al-Banjari juga ahli dalam ilmu falak.
Pengetahuannya ini bisa diketahui dalam sejarah yang tertoreh di Masjid Jembatan Lima Jakarta.
Dalam perjalanan kembali dari Tanah Suci, Syekh Muhammad Arsyad singgah di kampung
sahabat seperjuangannya yang sama-sama menuntut ilmu di Makkah, Syekh Abdurrahman Mesri.
Selama berada di Betawi, Syekh Muhammad Arsyad mengunjungi banyak tempat dan masjid-
masjid. Disini ilmu beliau diuji. Pemikiran tasawuf Syekh Arsyad al-Banjari dapat dikaji dari
dua karya dalam bidang tasawuf pertama, risalat Fath al-Rahman, dan kedua kitab Kanz al-
Ma‘rifah. Karya pertama adalah terjemahan dan sharahan dari kitab Fath al-Rahman karya Shayk
Zakariya al-Anbari. Karya kedua dapat dikaji dari Kitab Kanz al-Ma‘rifah, adalah satu-satunya
tulisan beliau di bidang tasawuf yang berbahasa Jawi Melayu, kandungannya amat ringkas dan
praktikal, yang berupa ikhtisar dari risalat Fath al-Rahman. Penulis berusaha untuk
mengungkapkan pemikiran syekh arsyad al-banjari di bidang tasawuf, karena pemikiran tasawuf
syekh al-Banjari memiliki hubungan dengan tradisi tasawuf di kalangan ahli fiqih dan merupakan
perpaduan antara aqidah dan shari‘ah atau hakikat, maka pembahasan ini dibagi pada dua, yaitu
konsep tauhid, hubungan shari‘ah, tarekat dan hakikat.
B. Saran
Demikian penjelasan mengenai Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dalam mata kuliah Ilmu
Kalam, semoga makalah ini mendatangkan ilmu yang berkah serta bermanfaat bagi para pembaca.
Kami selaku penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan baik berupa penulisan atau
pembahasan diatas karena keterbatasan pengetahuan. Maka dari itu kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat kami perlukan untuk perbaikan makalah ini. Sekian terimakasih.

7
DAFTAR PUSTAKA

https://www.ruangintelektual.com/tulisan-umum/syekh-muhammad-arsyad-al-banjari-datu-
kelampayan-ulama-dan-penulis-mumpuni/
https://id.scribd.com/document/405229134/Teologi-Syekh-Muhammad-Arsyad-al-docx
https://id.scribd.com/document/405229134/Teologi-Syekh-Muhammad-Arsyad-al-docx

Anda mungkin juga menyukai