Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM 2

MEMBUKA PINTU IJTIHAD (Fazlur Rahman)

Dosen pengampu: Ust. Robbi Zidni Ilman Z.F

Penyusun :

Raudlatul Jannah

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ZAINUL HASAN GENGGONG
KRAKSAAN PROBOLINGGO
2022-2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Segala puji hanya milik Allah SWT. Sholawat dan salam selalu tercurah
limpahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpah dan rahmat-Nya kami mampu
menyelesaikan tugas makalah ini untuk memenuhi tugas Mata Kuliah "
PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM "

Dengan segenap kekurangan, kami selalu berusaha sedikit demi sedikit


melangkah untuk terus belajar mengembangkan potensi yang ada pada diri kami.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, untuk itu kami disini kami masih butuh bimbingan serta dukungannya
agar makalah ini mencapai kesempurnaan. Kami mengucapkan Terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat Ust. Robbi Zidni Ilman ZF selaku dosen
pembimbing.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Kraksaan,08 Februari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................1

A.Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.......................................................................................2

C. Tujuan Masalah...........................................................................................2

BAB II. PEMBAHASAN.................................................................................3

A. Tertutupnya pintu Ijtihad...........................................................................3

B. Dibukanya pintu ijtihad...............................................................................6

BAB III. PENUTUP.........................................................................................8

A.Kesimpulan...................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………9

iii
A. Latar belakang

Hukum Islam adalah sekumpulan aturan keagamaan yang mengandung


perilaku kehidupan kaum dan keseluruhan aspeknya, baik yang bersifat individu
maupun kolektif. Karena karakteristik yang serba mencakup ini, hukum Islam
menempati posisi penting dalam pandangan umat Islam.Bahkan, sejak awalnya
hukum Islam telah dianggap sebagai pengetahuan par Exellence – yaitu suatu
posisi yang belum pernah dicapai teologi. Itulah sebabnya para pengamat barat
menilai bahwa mustahil untuk memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.
Dengan berlakunya waktu perkembangan Islam yang dinamis dan kreatif pada
masa awal kemudian menjelma ke dalam bentuk madzhab-madzhab atas inisiatif
beberapa ahli hukum. Tetapi dengan terjadinya kristalisasi madzhab tersebut, hak
untuk berijtihad mulai dibatasi dan kemudian hak tersebut dinyatakan tertutup.

Pada pertengahan Abad ke-3 atau 9 M muncul gagasan bahwa hanya


ulama'-ulama' besar masa lampau yang berhak melakukan ijtihad. Sementara pada
permulaan Abad ke-4 H tercapai titik krisis dimana para sarjana hukum Islam
(fuqaha") dari berbagai madzhab Sunni memandang bahwa seluruh permasalahan
yang esensial telah dibahas secara tuntas. Semacam consensus secara gradual
memapankan dirinya yang kurang lebih bermakna bahwa mulai saat itu tidak
seorangpun yang boleh mengklaim bahwa ia memiliki kualifikasi untuk
melaksanakan ijtihad mutlak, dan seluruh aktifitas dimasa mendatang harus
dibatasi pada penjelasan, aplikasi dan penafsiran doktrin yang telah dirumuskan.
(Adnan Amal,1994.35).

Dalam iklim pembaruan yang lesu semacam ini, kehadiran fazlur


Rahman dalam peta pembaharuan hukum Islam merupakan hembusan angin segar
yang memebawa harapan. Di kalangan pengamat barat, Rahman dipandang
sebagai salah seorang sarjana Muslim yan pAling disegani dan kreatif di antara
pemikir-pemikir Muslim Indo-Pakistan akhirakhir ini. Sementara Ahmad Syafi’I
Ma’arif pernah menjadi murid Rahman selama beberapa tahun, bahkan menilai
bahwa gurunya itu mungkin "dapat dikategorikan sebagai salah seorang yang
paling bertanggung jawab dalam masalah pembaruan pemikiran Islam secara total
dan tuntas" sesudah perang dunia ke II. Keterlibatan Rahman dalam arus

1
pembaruan Islam memang terlihat sangat intens, dan hal ini didukungnya dengan
menulis sejumlah buku serta artikel yang membahas berbagai masalah
fundamental Islam. Dari kajian-kajian keagamaanya, hukum Islam tampak
mendapat perhatian serius dari Rahman. Berbeda dengan para pembaru Muslim
sebelumnya, Rahman berhasil merumuskan suatu metodologi yang sistematis dan
komprehensif, dimana hukum Islam merupakan fokus utamanya disamping aspek-
aspek lain.

B. RUMUSAN MASALAH

Untuk mempermudah memahami masalah MEMBUKA PINTU


IJTIHAD (Fazlur Rahman) kami membahas tentang:

1. Bagaimana tertutupnya pintu ijtihad?

2. Bagaimana dibukanya pintu ijtihad ?

C. TUJUAN MASALAH

Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui masalah dari materi


MEMBUKA PINTU IJTIHAD (Fazlur Rahman):

1. Untuk mengetahui penjelasan tertutup nya pintu ijtihad

2. Untuk mengetahui penjelasan terbukanya pintu ijtihad

BAB II

PEMBAHASAN

2
A. TERTUTUPNYA PINTU IJTIHAD

Sebelum membahas "MEMBUKA PINTU IJTIHAD" Rahman mengajak


kita untuk menelusuri lebih dahulu, tentang pernyataan, "Pintu Ijtihad di dalam
Islam ditutup", menurut Rahman, tidak seorangpun yang benar-benar mengetahui
kapankah pintu ijtihad tersebut tertutup? Dan siapakah sebenarnya yang telah
menutupnya?. Disamping itu juga kita tidak dapat menemukan pernyataan bahwa
tertutupnya pintu ijtihad tersebut adalah perlu ada atau memang diinginkan atau
mungkin mengenai penutupan "pintu ijtihad itu sendiri", walaupun kita dapat
menemukan Penilaian-penilaian dari para penulis dikemudian hari, bahwa pintu
ijtihad tertutup. Penilaian-penilaian tersebut dikenakan pula pada keadaankeadaan
di masa lampau dan sejauh yang dapat kita saksikan, tidak setuju pada pernyataan
tertentu mengenai penutupan pintu ijtihad.¹

Dengan demikian kita dapat menarik kesimpulan bahwa walaupun secara


formal pintu ijtihad tidak pernah tertutup oleh siapapun juga walaupun punya
otoritas yang besar dalam Islam, namun suatu keadaan secara lambat laun serta
pasti melanda Islam (termasuk di Pakistan), dimana seluruh kegiatan berfikir
secara umumnya terhenti .²

Menurut Masyafu' Zuhdi, 4munculnya fatwa, "pintu ijtihad tertutup"


itu terjadi pada akhir abab IV H. fatwa ini sebenarnya mempunyai tujuan yang
positif, yaitu untuk mencegah orang-orang yang tidak memenuhi syarat berijtihad
berani memberikan fatwa-fatwa dengan sesuka hatinya kepada masyarakat. Dan
untuk menghindari terjadinya fatwa-fatwa yang bersimpang siur dan tidak
terkendalikan, sehingga membingungkan umat.

Disamping itu, fatwa tentang tertutupnya pintu ijtihad itu dapat pula menimbulkan
akibat-akibat yang negatif,diantaranya:

3
1
1. Berhentinya perkembangan fiqih, yang mengakibatkan fiqih Islam menjadi
statis.

2. Umat Islam menjadi statis dan tidak kritis, yang menyebabkan kemunduran dan
keterbelakangan umat Islam;

3. Fokus perhatian umat Islam dan ulama' berpindah dari AlQur’an dan Sunnah
kepada fatwa-fatwa imam madzhabnya dan dasar-dasar pemikirannya, yang
mereka pandang seolah nash-nashnya. Dan kalau mereka memahami nash-nash
AlQur’an dan sunnah, maka dimaksudkan untuk memperkuat mandzhabnya.

Sehubungan dengan tertutupnya pintu ijtihad ini, Ali Sayis³


mengatakan, bahwa tidak ada lagi orang yang memiliki kemampuan tinggi dalam
berijtihad setelah Muhammad bin Jabir Ath-Thobari, (W. 310 H) memberanikan
diri dalam berijtihad, beristimbat dan berfatwa memutuskan hukumhukumnya
langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa terkait oleh satu pendapat pun dari
imam-imam mujtahid. Bahkan mereka mengekang hak kebebasaan diri mereka
dan hanya puas dengan berpegang kepada fiqih-fiqih Abu Hanifah, MAlik, Syafi’I
dan Ibnu Hambal, serta madzhab-madzhab lain yang berkembang. Mereka
membatasi diri mereka dalam ruang lingkup yang sangat terbatas, dan hanya
mengikuti prinsipprinsip madzhab yang ada, dan tidak berusaha untuk
mengembangkan dan meluaskan ruang lingkupnya. Setiap kelompok hanya
berpegang kepada madzhab tertentu tanpa berani melanggarnya, serta berjuang
keras untuk membela/ memenangkan madzhabnya, baik secara global maupun
secara rinci.

Menurut Rahman, disamping tetutupnya pintu ijtihad dipandang


sebagai penghalang untuk mendinamisasikan hukum Islam adalah adanya syarat-
syarat ijtihad yang tidak mungkin direalisasikan di dalam diri seseorang. Sehingga
seseorang enggan melakukan ijtihad atau untuk memungkinkan ijtihad tersebut
dilakukan.

1
Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj Anas Mahyudin, (Penerbit PUSTAKA:
Bandung, 1884, 227)
².Ibd, 228

4
Rahman menolak tertutupnya pintu ijtihad, ataupun penilaian-
peniAlaian ke dalam ijtihad mutlak, Ijtihad Fil Masa'il dan Ijtihad Fil Madzhab.
Tentang penilaian-peniAlaian ijtihad ini, ia berkomentar, "pembagian ijtihad
semacam ini jelas bersifat formalistik dan agak artifisialis. Rahman memang
mengakui bahwa seorang mungkin hanya merupakan ahli dalam suatu masalah
dan bukan pemikir yang menjulang dalam keseluruhan masalah hukum, tetapi hAl
ini bukanlah masalahyang penting, karena jika ia mengemukakan aplikasi yang
tepat, maka ia juga bisa menjadi ahli dalam cabang hukum-hukum lainnya. Hal
yang teramat penting adalah caliber intelektualnya, yang secara relatif sedikit
sekali disinggung dalam literaturliteratur Yuridis kita.

Baginya ijtihad haruslah merupakan upaya sistematis, komprehensif


dan berjangka panjang : ijtihad haruslah merupakan upaya berganda akal budi
yang berfikir, yang berhadapan antara satu dengan lainnya dalam satu arena
perdebatan terbuka, sehingga akhirnya menghasilkan suatu consensus
menyeluruh.⁶ Salah satu dorongan dasar yang berada dibalik penempatan tehnis
kualifikasi-kualifikasi ijtihad tradisional adalah untuk menghindari pertumbuhan
ijtihad yang tidak terkendali. Walaupun Rahman tidak sependapat dengan gagasan
tradisional tentang kualifikasi ijtihad itu. Tetapi kecenderungan yang serupa,
bahwa ijtihad akan dipraktikkan secara "liar" juga menghantui pikirannya.
Meskipun ia memberi penekanan yang tegas terhadap ijtihad sebagai hak setiap
Muslim yang tak dapat diganggu gugat, akan tetapi tampaknya ia tidak rela jika
prinsip gerak ini dipraktikkan secara “liar” tercerai berai dan tidak bertanggung
jawab.

Berkaitan dengan upaya terbukanya pintu ijtihad, Rahman berpendapat


bahwa ijtihad baik secara teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan
tidak pernah tertutup, tetapi, Rahman tampaknya tidak ingin daerah teritorial
kebebasan. Ijtihad yang telah dibukanya sebagai hasil dari liberalismenya
terhadap konsep ijtihad, menjadi tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang
liar, sewenangwenang, serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang
diinginkan Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif, dan berjangka panjag,
untuk mencegah ijtihad yang sewenang-wenang dan merealisasikan ijtihad yang

5
bertanggung jawab. Beliau mengatakan:Jika sebuah masyarakat mulai hidup di
dalam masa lampaunya, betapapun indahnya kenang-kenangan dari masa
lampaunya itu dan tidak dapat menghadapi realitas-realitas masa kini dengan
berani, betapapun pahitnya realitas-realitasini, maka ia pastai akan berubah
menjadi fosil; dan sebuah hukum Allah yang tak dapat diubah adalah: bahwa
fosil-fosil tidak dapat mempertahankan hidup mereka untuk waktu yang cukup
lama. Di dalam Al-Qur’an Allah berfirman: “Kami tidak melakukan aniaya
kepada mereka, mereka sendirilah yang berbuat aniaya kepada diri mereka
sendiri” (AlQur’an, 11:101;16:33 dan ayat-ayat lainnya).Secara gamblang kita
dapat mengatakan bahwa kirakira satu Abad lamanya kaum Muslimin telah
mengalami serangan, di dalam dirinya sendiri, dari kekuaatan-kekuatan dahsyat
yang dilancarkan oleh apa yang umumnya dinamakan ”modernitas” yang
bersumber dari barat kontemporer. Pemikirpemikir Muslim, baik di anak benua
India-Pakistan maupun di Timur Tengah, secara sadar telah melakukan berbagai
usaha, khusunya menjelang akhir Abad yang lampau. Untuk menghadapi
tantangan-tantangan baru ini secara kreatif dengan melakukan penyerapan,
penyesuaian dan lain sebaginya.⁷

B. DI BUKANYA PINTU IJTIHAD

Setelah Rahman menjelaskan tentang tertutupnya pintu ijtihad yang


melanda dunia Islam, khususnya di anak benua India, dan melihat realitas yang
dihadapi oleh umat Islam tentang kekuatan-kekuatan baru yang maha dahsyat di
bidang sosial, ekonomi, kultural, moral maupun politik, terjadi dalam atau
menimpa sebuah masyarakat, maka tidak perlu diragukan lagi, bahwa masyarakat
tersebut akan mengalami perubahanperubahan. Perubahan-perubahan ini akan
mempengaruhi perilaku masyarakat Muslim, yang dalam perspektif Islam tentu
akan dipertanyakan hukumnya. Padahal dengan munculnya statemen pintu ijtihad
ditutup, maka fiqh menjadi statis. Padahal perubahan-perubahan dinamis, terus
berkembang, tentunya sesuatu yang statis tidak akan bisa menghadapi yang
dinamis, yang terbatas tidak bisa menghadapi yang tak terbatas. Oleh karena itu,
Altenatif yang harus dilakukan adalah “MEMBUKA PINTU IJTIHAD”.

6
Keadaan ini terbaca oleh Rasulullah saw. dan karenanya beliau merestui Mu’adz
bin Jabal untuk mengambil langkah “ijtihad Birra’yi sebagaimana tergambar
dialog yang sudah popular yang terjadi antara Rasulullah dan Mu’adz bin Jabal
ketika ia diangkat menjadi gubernur di Yaman.
Peristiwa tersebut menggambarkan, bahwa ijtihad sebagai lembaga
sudah dimasukkan oleh Rasulullah saw. ke dalam teknik membuat operasional
syari’ah dan terbuka pemanfaatannya oleh orang yang setingkat kemampuannya
dengan Mu’adz bin Jabal. Sesudah dibuka oleh Rasulullah saw. tentunya tidak
seorangpun yang berhak menutup pendayagunaan lembaga tersebut. Apabila
dikemudian hari timbul anggapan tersebut, itu untuk menutupi jalan bagi yang
tidak berkepentingan dengan ijtihad. Rahman mengemukakan bukti histories
generasi awal Islam, ternyata mereka memandang ajaran-ajaran Al-Qur’an dan
As-Sunnah sebagai ajaran yang bergerak secara kreatif sesuai dengan bentuk-
bentuk sosial yang beraneka ragam. Ia mengemukakan beberapa contoh mengenai
perubahan perubahan ketentuan teks yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Hal
ini sebagai bukti, betapa kita mempunyai garis - garis kebijaksanaan yang kuat
dan yang bersumber dari sejarah masa lampau umat Muslim, ketika ajaran Al-
Qur’an dan AsSunnah disempurnakan dan ditafsirkan secara kreatif menjadi
“Sunnah Yang Hidup” untuk menghadapi faktor-faktor dan benturan-benturan
baru.Rahman telah mengemukakan gambaran perkembangan dari “Sunnah Yang
Hidup” dimasa lampau dengan contoh-contoh yang konkrit, dan berusaha
menunjukkan latar belakang situasionalnya, dan betapa kebijaksanaan itu diambil
sesuai dengan keadaan yang sedang dihadapi pada masa itu, hal ini dimaksudkan
untuk menjelaskan dimensi yang sebenarnya, sehingga kita akan memahami
kekuatan-kekuatan sosiologis yang menyebabkan umar berbuat demikian.

7
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pintu ijtihad terbuka adalah periode di mana seorang ulama dianggap masih
mampu melakukan ijtihad dalam semua masalah, baik yang tercakup dalam Al-
Qur'an atau hadis maupun yang tidak tercakup dalam Al-Qur'an atau hadist.Dan
menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan bagi para ulama Islam untuk
menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali
sumber (dalil) Hukum Islam.

8
DAFTAR PUSTAKA

Fazlurrahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj Anas Mahyudin Penerbit


Bandung, 1994.
Muhammad Ali Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh,
Pustaka: Bandung, 1984.
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan,

Anda mungkin juga menyukai