Anda di halaman 1dari 15

“Pemikiran Tafsir Kontemporer Khaled Abou M.

El-Fadl”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tafsir Kontemporer

Dosen Pengampu:
Dr. M Suryadinata, M.Ag.

Oleh:

Ahmad Ismail Ilyas


Asfaril Husna
Ashimuddin Musa

PROGRAM MAGISTER ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2019
A. Pendahuluan
Dalam diskursus sosial dan keagamaan, sering kali upaya-upaya untuk
meneguhkan kembali semangat pembebasan agama terbentur dengan sejumlah ajaran
yang terlanjur mapan (bersifat final dan menutup erat peluang untuk mencari jalan
lain), yang cenderung bertolak belakang dengan cita-cita sosial agama yang
emansipatif, humanis, dan berkeadilan. Sejumlah ajaran yang terlanjur menyatu dalam
kesadaran umat beragama itu, didekap kuat oleh sekelompok umat. Tetapi juga
ditampik leh sebagian yang lain. Dinamika tarik-menarik, perbincangan, diskusi, dan
negosiasi dilangsungkan. Akan tetapi tak jarang proses negosiasi dan perbincangan
yang mengekspresikan khazanah dan keragaman pemikiran itu ditutup dengan tragedi,
dengan pengibaran panji dan terhunusnya belati, dengan pengakuan bernada sok suci:
bahwa kamilah wakil Tuhan, kamilah yang berhak memutuskan. Negosiasi pun
diakhiri. 1
Dengan tidak adanya celah perbincangan dan negosiasi, mucullah rezim wacana
yang otoriter yang menghendaki penyeragaman dan berlandaskan pada semangat
penyederhanaan persoalan. Dengan itu pula, ajaran agama yang memiliki rujukan
pada teks suci (kitab) itu dikuasai (secara otoriter) tafsirnya sehingga teks suci itu
dikuasai pula dengan pengakuan bahwa pemahamannyalah yang paling benar, yang
merasa benar sendiri. Otoritarianisme menyudahi dan mengangkangi otonomi teks
suci yang otoritatif itu.2
Berkaitan dengan masalah otoritas, Khaled Abou el-Fadl dalam pengakuannya,
sangat menyesali sekaligus gelisah dengan fenomena radikalisme, fundamentalisme,
dan puritanisme yang berkembang di tengah umat Islam yang muncul akibat
interpretasi dan pemahaman teks yang otoriter dan sewenang-wenang. Atas dasar
inilah beliau kemudian menanggapinya denga sejumlah tulisan termasuk karyanya
yang berjudul “And God The Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic
Discourse, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul
“Melawan “Tentara Tuhan” (Yang berwenang dan Yang Sewenang-wenang dalam
wacana Islam)”.
Penulisan ini didasarkan atas usaha untuk memahami dan mendalami pemikiran
dan kontribusi Khaled Abou el-Fadl dalam membangun pemahaman yang moderat,
yang tidak merasa benar sendiri, yang tidak sewenang-wenang dalam menafsirkan
dan meangatas namakan diri akan kebenaran yang mutlak hanya ada pada mereka.

B. Biografi Khaled M. Abou el-Fadl

1. Latar Belakang dan Kehidupan Khaled M. Abou el-Fadl

Khaled adalah seorang pemikir hukum Islam kelahiran Kuwait pada tahun 1963
dengan nama lengkap Khaled Medhiat Abou el-Fadl. Ayahnya bernama Medhiat
Abou el-Fadl, sedangkan ibunya bernama Afaf el-Nimr. Lahir di keluarga yang taat
beragama dan sederhana, meskipun begitu keluarganya sangat terbuka dengan hal-hal

1
M. Mushthafa dalam pengantar “Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-
wenang dalam Islam” oleh Khaled Abou el-Fadl, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi, 2003), h
7-8.
2
M. Mushthafa dalam pengantar “Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-
wenang dalam Islam” oleh Khaled Abou el-Fadl, terj. Kurniawan Abdullah, h 7-8.

1
yang bersifat pemikiran. Sejak kecil ia terdidik dengan ilmu-ilmu keislaman seperti
Alquran, Hadis, bahasa Arab tafsir, dan tasawuf sejak dari sekolah pendidikan dasar.
Pendidikan dasar dan menengahnya dia tamatkan di negeri kelahirannya, Kuwait, 3
dan kemudian melanjutkannya di Madrasah Al-Azhar Mesir yang saat itu sedang
mengalami masa transisi dari paham moderat ke paham Wahabi. Sehingga sampai
usia remaja, Khaled sangat getol menyebarkan dan membela paham yang lahir di
Saudi Arabia ini, namun kemudian pemikiran dan pemahamannya berubah drastis dan
mengkritik paham ini karena dinilai telah mengekang kebebasan berifikir dan
bertindak sewenang-wenang.4

Tradisionalisme-konservatif Khaled ini sedikit banyak dipengaruhi oleh


persentuhan intelektualnya dengan guru-guru awal yang konservatif dan bacaan-
bacaan yang dianggap “tradisional”. Khaled memiliki sikap puritan dalam
menyebarkan faham-faham tradisional itu, bahkan terhadap keluarganya sendiri. Ia
menciptakan polarisasi we (nahnu) dan the other (minhum). Bahkan, meniru perilaku
the other dianggap keluar dari identitas keislaman yang sejati. Sikap keras itu jelas
adalah buah dari didikan doktriner dari guru-guru awalnya yang konservatif. Ini
berlangsung hingga usia remaja, yang secara psikologis, merupakan usia-usia yang
penuh semangat dan agresif. 5

Kemudian perubahan drastis atas pemikiran dan pemahaman Khaled yang


konservatif menjadi moderat diawali ketika ayahnya membuat perjanjian dengan
Khaled bahwa ia akan mengikuti Khaled jika ia tidak berubah ketika mengaji dengan
seorang guru yang dikenal moderat, toleran dan terbuka, serta berpengetahuan luas.
Ternyata akibat persentuhan intelektual ini, Khaled menemukan suatu pencerahan
baru yang menjadi titik balik baru bagi sikapnya kemudian, yaitu menjadi seorang
yang berpikiran terbuka dan toleran, yang merupakan kebalikan dari sikapnya
sebelumnya.6

2. Pendidikan Khaled M. Abou el-Fadl


Perjalanan akademik Khaled dimulai di Kuwait, negeri kelahirannya dengan
menyelasaikan pendidikan dasar dan menengahnya di sana. Khaled kemudian
melanjutkan pendidikannya ke Mesir, dimana kesadaran akan pentingnya keterbukaan
dalam pemikiran semakin berkembang ketika dia menetap disana. Di tempat tersebut
ruang tidak terlalu sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurut Khaled,
sebuah sistem kekuasaan yang represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan
kemajuan berfikir atau pencerahan intelektual bagi masyarakatnya. Akan tetapi,
bayang-bayang puritanisme tidak pernah redup dalam dirinya. 7 Ketika liburan musim
panas, Khaled kerap kali menyempatkan menghadiri kelas-kelas Alquran dan ilmu-
ilmu syariah di Masjid Al-Azhar, Kairo, khususnya dalam kelas yang dibimbing oleh

3
Akrimi Matswah, “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou el-Fadl Terhadap Hadis Nabi”
dalam jurnal Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, h. 253
4
Syarifuddin, Hermeneutika Khaled Abou el-Fadl dalam Jurnal Substantia, Vol. 17, No, 2,
Oktober 2015. h. 233.
5
Rusli, “Gagasan Khaled Abu Fadl tentang Islam Moderat Versus Islam Puritan: Perspektif
Sosiologi Pengetahuan” dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 8, No. 1, Januari 2009, h. 101.
6
Rusli, “Gagasan Khaled Abu Fadl tentang Islam Moderat Versus Islam Puritan: Perspektif
Sosiologi Pengetahuan” dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, h. 102.
7
Ahmad Badi, “Kritik Otoritarianisme Hukum Islam (Kajian Pemikiran Khaled M. Abou Al
Fadl)” dalam Jurnal IAIT Kediri, Vol. 27, No. 1, Januari 2016, h. 89.

2
Syeikh Muhammad al-Ghazali, seorang tokoh pemikir Islam moderat dari barisan
revivalis yang ia kagumi. 8

Pada tahun 1982, Khaled meninggalkan Mesir menuju Amerika dan


melanjutkann studinya di Yale University dengan mendalami ilmu hukum selama
empat tahun.9 Ketika Khaled menempuh pendidikan lanjutan di sana untuk meraih
B.A (Bachelor of Art), kegelisahan mengenai puritanisme Islam terus menjadi beban
yang tak terhapuskan dalam dirinya. Setelah dari Yale pada tahun 1986, Khaled
melanjutkan ke University of Pennsylvania yang diselesaikan pada tahun 1989.
Ketika tahun 1999, dia melanjutkan ke Princeton University dengan spesialisasi
dalam bidang Islamic Studies dan pada saat bersamaan ia harus menempuh studi
Hukum di UCLA. Pada akhirnya di UCLA, ia membangun karir kesarjanaan dalam
bidang Hukum Islam. Pada saat menempuh kuliah Khaled sempat menjadi panitera di
pengadilan negara bagian Arizona. Ia juga pernah menjadi praktisi hukum dalam
masalah hukum imigrasi dan investasi. 10 Dari sinilah kemudian Khaled mendapatkan
kewarganegaraan Amerika sekaligus dipercaya sebagai staf pengajar di University of
Texas di Austin.11

3. Kegaiatan dan Aktivitas Akademik Khaled M. Abou el-Fadl


Sebagai seorang akademisi, ia mengajar di berbagai universitas di Amerika,
misalnya, menjadi profesor tamu di Yale Law School mengajar National Security,
Immigration and Islamic Law, Profesor Penuh di the UCLA School of Law mengajar
hukum Islam, imigrasi, hak asasi manusia, hukum keamanan nasional dan
internasional, serta profesor hukum di the University of Texas at Austin Law School,
Yale Law School dan Princeton University. 12
Selain menjadi profesor hukum Islam di beberapa universitas. Khaled juga
terlibat sebagai aktivis dalam bidang HAM dan hak-hak imigran. Selama beberapa
tahun terlibat sebagai board name pada Directors of Human Rights Watch dan
Comission on International Relegious Freedom di Amerika Serikat. Menurut teman
dekatnya, Khaled dikenal sebagai penggemar berat musik, terutama musik Arab. Dia
seorang penggemar berat legenda Diva Arab (Sayyidah al-Ginaa) Ummi Kultsum.
Hari-harinya diisi dengan membaca koleksi buku- bukunya yang mencapai kurang
lebih 40.000 koleksi di perpustakaan pribadinya sambil mendengarkan musik. 13
Belakangan, ia banyak memberikan komentar tentang isu otoritas, terorisme, toleransi

8
Raisul, “Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou El Fadl” dalam Jurnal Mazahib, Vol. 16, No. 2,
Desember 2015, h. 148
9
Akrimi Matswah, “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou el-Fadl Terhadap Hadis Nabi”
dalam jurnal Addin, h. 253
10
Ahmad Badi, “Kritik Otoritarianisme Hukum Islam (Kajian Pemikiran Khaled M. Abou Al
Fadl)” dalam Jurnal IAIT Kediri, h. 89.
11
Nasrullah, “Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas
Penafsiran oritarianisme dalam Pemikiran Islam” dalam Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus
2008, h. 139.
12
Rusli, “Gagasan Khaled Abu Fadl tentang Islam Moderat Versus Islam Puritan: Perspektif
Sosiologi Pengetahuan” dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, h. 103-104
13
Ahmad Badi, “Kritik Otoritarianisme Hukum Islam (Kajian Pemikiran Khaled M. Abou Al
Fadl)” dalam Jurnal IAIT Kediri, h. 89.

3
dan hukum Islam. Khaled Abou el-Fadl dikenal sebagai pakar dalam bidang hukum
Islam, imigrasi, HAM, serta hukum keamanan nasional dan internasional. 14

Pengetahuan yang luas dan kontribusi yang ia sumbangkan ke dunia


menjadikan dirinya mendapatkan banyak pennghargaan dan apresiasi dari
masyarakat antara lain: dianugerahi University of Oslo Human Rights Award, pada
tahun 2007 dia dianugerahi Lisler Eitenger Prize serta tahun 2005 mendapatkan
anugerah Carnegei Scholar in IslamicLaw. Abou el-Fadel bahkan pernah ditugaskan
oleh Presiden George Washington Bush untuk menjadi pemantau dalam komisi untuk
kebebasan beragama internasional (U.S. Commission for International Religious
Freedom), dia juga bertindak sebagai anggota Dewan Direktur pemantau hak asasi
manusia ( Human Rights Watch), anggota dewan penasihat Middle East Watch
(bagian dari Human Right Watch), serta secara teratur bekerja dengan organisasi Hak
Asasi Manusia seperti: Amnesty Internasional And the Lawres Committe for Human
Rights sebagai ahli dalam pemecahan berbagai kasus tentang HAM, terorisme, politik
suaka, hukum komersial dan internasional. Tahun 2005, dia termasuk sebagai salah
satu dari 500 pengacara terbaik di Amerika Serikat.15

4. Karya Tulis Khaled M. Abou el-Fadl


Khaled Abou el-Fadl merupakan seorang pemikir sekaligus penulis yang
produktif dalam menuangkan pemikiran dan ide-idenya dalam bentuk karya tulis. Di
sela-sela kesibukannya dalam bekerja, mengajar, dan kuliah, ia juga aktif menulis
berbagai artikel dan buku tentang kajian Islam. Di antara karya-karyanya yang sudah
diterbitkan dalam bentuk buku yaitu: 16

a. Speaking in God‟s Name: Islamic Law, Authority and Woman (Oneworld


Press, Oxford, 2001).
b. Rebellion and Violence in Islamic Law (Cambridge University Press, 2001).
c. And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic
Discoursees; (UPA/Rowman and Littlefield, 2001).
d. The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses: a Contemporary
Case Study.
e. Islam and Challenge of Democracy (Princeton University Press, 2004).
f. The Place of Tolerance in Islam (Beacon Press, 2002).
g. Conference of Books: The Search for Beauty in Islam (University Press of
Amerika/Rowman and Littlefield, 2001).
h. The Great Theft (New York: Harper San Francisco, 2005).
Sebagian besar karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
diaantaranya: Atas Nama Tuhan; Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, (Penerbit
Serambi), Melawan Tentara Tuhan (Penerbit Serambi, 2003), Musyawarah Buku
(Penerbit Serambi, 2002), Cita dan Fakta Toleransi Islam; Puritanisme versus
Pluralisme (Penerbit „Arsy-Mizan, Bandung, Oktober 2003), Islam dan Tantangan

14
Nasrullah, “Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas
Penafsiran oritarianisme dalam Pemikiran Islam” dalam Jurnal Hunafa , Agustus 2008, h. 139.
15
Data ini diambil dari situs terbaru UCLA, dimana Abou el Fadel bekerja sekarang yaitu:
http://www.law.ucla.edu/faculty/faculty-profile/khaled-m-abou-el-fadl/, diakses tanggal 18 Desember
2019.
16
Akrimi Matswah, “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou el-Fadl Terhadap Hadis Nabi”
dalam jurnal Addin, h. 253-254.

4
Demokrasi (Jakarta: Ufuk Press, 2004), Sejarah Wahabi dan Salafi; Mengerti Jejak
Lahir dan Kebangkitannya di Era Kita (Penertbit Serambi, 2015).

Dalam tulisan-tulisannya, Khaled sangat pandai dalam menguraikan nilai-nilai


Islam klasik dalam konteks modern.Tulisan-tulisan dan gagasan-gagasan Khaled yang
kritis dan membongkar otoritarianisme tafsir keagamaan. Tidak heran bila buku-
bukunya dilarang masuk Saudi Arabia, dan Mesir, negara asalnya, juga menolak
aplikasi visanya. Apa yang dilakukan sebenarnya hanyalah sebentuk keprihatinan
terhadap tradisi keilmuan Islam, utamanya fiqh, yang tercerabut dari ruh tradisi era
formatif dan keemasan Islam dan menjauh dari dimensi moralitas.

C. Pemikiran Khaled M. Abou el-Fadl dalam Penafsiran


Sejarah panjang penafsiran pesan Tuhan yang dilakukan oleh para ahli agama
Islam (ulama) menampilkan varian kompleks yang mengerucut pada ambiguitas sikap
para ulama tentang pemegang otoritas yang berhak menangkap pesan Tuhan. Kondisi
semacam ini terjadi pada hampir seluruh bidang keilmuan yang berkembang di dunia
Islam. Salah satu bidang kajian yang paling menonjol dalam menampilkan ambiguitas
tersebut adalah perdebatan dalam penetapan hukum Islam yang tidak pernah
menemukan titik temu yang bias memuaskan semua kalangan. 17

1. Metodologi Pemikiran Khaled M. Abou el-Fadl


Dalam tradisi Islam, otoritas sering dikaitkan dengan kedaulatan Tuhan,
Alquran, dan otoritas Nabi dalam menafsirkan kehendak Tuhan. Yang paling sering
muncul ke permukaan adalah polemik penafsiran terhadap teks Alquran yang
seringkali dilatarbelakangi oleh tekanan sosial, ekonomi dan konflik politik.
Penafsiran terhadap Alquran dimaksudkan untuk mencari dan menemukan maksud
Tuhan. Namun sayangnya, pencarian tersebut sering berakibat pada munculnya aliran
atau kelompok yang mendeklarasikan diri sebagai pihak yang berhasil menangkap
pesan Tuhan, sehingga mereka mendeklarasikan diri sebagai wakil Tuhan. Dengan
kata lain, pihak-pihak tersebut ingin menyatakan bahwa merekalah yang memiliki
otoritas untuk memaknai kehendak Tuhan yang harus diikuti oleh orang lain. 18
Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Khaled Abou el-Fadl menawarkan
dua pendekatan yang bisa dijadikan alternatif metodologis. Pertama, menggunakan
sudut pandang rasional yang bersifat normatif. Dengan pendekatan ini dapat dilihat
otoritas Tuhan dan manusia dan keterkaitan diantara keduanya dari perspektif yang
murni bersifat rasional dan filosofis. Dari sudut pandang normatif, nilai-nilai yang
menjadi faktor penentu seperti rasionalitas, keadilan, kesejahteraan, dan nilai-nilai
pokok lainnya, merupakan standar otoritatif yang harus menjadi dasar untuk
membangun gagasan tentang otoritas dalam Islam. Sebagai contoh, nilai keadilan
merupakan nilai kunci yang sangat menentukan dan kemudian dijadikan sebagai alat
uji apakah Alquran mampu dan menjunjung tinggi atau paling memenuhi nilai-nilai
pokok tersebut. Kedua, menggunakan pendekatan hermeneutik. Dengan pendekatan
ini, teks Alquran misalnya dapat diambil sebagai penentu makna penulis, teks,
pembaca, atau ketiganya, atau tak satupun dari ketiganya dan terus mengembangkan

17
Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang Konsep
Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, Vol. 7, No. 1, juni 2012, h. 2.
18
Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang Konsep
Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, h. 8.

5
sebuah teori tentang otoritas yang didasarkan pada pembacaan terhadap teks.
Argumentasi kebenaran didasarkan kepada ketiga unsur itu dalam teks Alquran, dan
meneruskan, pembacaan yang cermat terhadap teks untuk mencari sebuah konsep
tentang otoritas.19

Salah satu sumbangan ide terbesar Khaled Abou El-Fadhl terhadap diskursus
hukum Islam kontempoter adalah membongkar malpraktik otoritarianisme dalam
hukum Islam. Fenomena ini menurut Khaled menjadi mainstream pemahaman umat
Islam tehadap hukum Islam pada dewasa ini. Sehingga lahir wacana hukum Islam dan
fikih yang otoriter, tertutup dan statis. Trik-trik untuk menghadapinya, yang
digunakan oleh Khaled adalah sebagai berikut:
a. Pertama, Khaled memandang Alquran dan Sunnah sebagai sumber
otoritatif hukum Islam sebagai teks yang terbuka. Maka konsekuensi logisnya
adalah meyakini hukum Islam sebagai karya yang terus berubah. Untuk itu
teks-teks otoritatif sebagai sumber dari hukum Islam tidak boleh dikunci,
ditutup dan dipasung sehingga meniscayakan penafsiran dan pemahaman baru
akan terus-menerus lahir. Teks yang terbuka akan mampu menampung gerak
dinamis pemahaman manusia dengan keragaman konteksnya. Memasung
makna teks merupakan tindakan kriminal sekaligus kesombongan intelektual
karena telah mengklaim dirinya paling mengetahui maksud Tuhan. Selain itu
sikap tersebut akan menutup rapat-rapat bagi lahirnya pemahaman-
pemahaman (fikih) baru yang menjadi kebanggaan umat Islam sepanjang
sejarah.
b. Kedua, mengembalikan diskursus hukum Islam pada semangat awal, yaitu
meneguhkan kembali jtihad sebagai upaya pengerahan sekuat-kuatnya
kemampuan manusia untuk melakukan pencarian, penyeledikan dan
pemahaman terhadap kehendak Tuhan. Dalam konteks ini, Khaled
membedakan antara syariah dan fikih. Syari‟ah adalah kehendak Tuhan dalam
bentuk yang abstrak dan ideal, tapi fikih merupakan upaya manusia
memahami Kehendak Tuhan. Dalam pengertian ini syariah selalu dipandang
sebagai yang terbaik, adil dan seimbang. Sedangkan fikih hanyalah upaya
untuk mencapai cita-cita dan tujuan syariah (maqâshid al- syarî‟ah). Tujuan
syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia (tahqîq mashâlih al-
‟ibâd) dan tujuan fikih adalah untuk memahami dan menerapkan syariah.
Perbedaan ini lahir dari pengakuan atas kegagalan-upaya-manusia untuk
memahami tujuan dan maksud Tuhan. Dalam konteks ini ijtihad manusia tidak
pernah final dan sempurna.
c. Ketiga revitalisasi metodologi hukum Islam klasik. Bagi Khaled hukum
Islam secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman. Metodologi
hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan antiotoritarianisme.
Akhirnya, Khaled menginginkan syariah dipahami dalam diskursus pergulatan
yang terus berubah dan bergerak maju; diskursus fikih yang progresif. Sedangkan
penguncian makna syariah pada pemahaman (fiqh) tertentu akan melahirkan fikih
yang otoriter; yang tertutup dan sewenang-wenang.20

19
Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang Konsep
Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, h. 9.
20
Hasrul, “Pemikiran Tafsir Khaled Medhiat Abou El-Fadl dalam Atas Nama Tuhan” 2016, h. 7.

6
2. Konsep Otoritas Khaled M. Abou el-Fadl
Menyikapi kegelisahan akademik yang dirasakannya, Abou el-Fadl kemudian
menawarkan gagasan memformulasikan konsep otoritas yang bisa dipakai dalam
tradisi hukum Islam. Sistematika yang digunakan Abou el-Fadl dalam menuangkan
gagasan adalah pertama-tama menjelaskan latar belakang munculnya krisis otoritas.
Kemudian dia menjelaskan konsep otoritas secara umum dengan mengadopsi
pemikiran Friedman yang membedakan otoritas persuasif dari otoritas yang bersifat
koersif. Konsep otoritas Friedman ini digunakan oleh Abou El Fadl untuk melihat
otoritas dalam Islam. Melalui pembahasan yang sangat sistematis-analitis, kemudian
dia menawarkan konsep otoritas dalam Islam yang harus memenuhi lima kriteria
yang menurutnya harus dipenuhi oleh seorang pemegang otoritas agar produk
hukum yang dihasilkannya mendapat legitimasi kuat dan berlaku universal. 21
Khaled Abou El-Fadhl mengemukakan lima batasan untuk menerima otoritas
wakil khusus tersebut. Sepanjang lima hal ini terpenuhi, seseorang bisa disebut
otoritatif. Kelima batasan itu adalah: 22
a. Pertama, kejujuran (honesty). Masyarakat pada umumnya percaya pada
kelompok wakil khusus ini bahwa mereka akan jujur dan dapat dipercaya
dalam memahami perintah Tuhan. Ia tidak akan menyembunyikan, melebih-
lebihkan atau berbohong atas apa yang ia pahami. Ia akan mejelaskan
semua yang ia pahami. Ia juga tidak akan berpura-pura mengetahui satu
permasalahan dan pura-pura mengetahui perintah Tuhan, padahal dirinya
belum mengetahui yang sesungguhnya.
b. Kedua, kalangan wakil khusus harus sepenuhnya mempunyai kesungguhan
(diligence). Dia dituntut untuk sepenuhnya mencurahkan kemampuannya
dalam menyelami satu persoalan. Batasan ini mungkin kelihatan samar,
namun setidaknya ini adalah sebuah kewajiban para wakil khusus itu untuk
serius dan bersungguh-sungguh dengan segenap kemampunnya untuk
menyelami sebuah persoalan. Kata ijtihad yang berasal dari akar kata jahada
sesungguhnya berarti pengerahan seluruh kemampuan seseorang untuk
menyelami sebuah persoalan.
c. Ketiga, adalah prinsip kemenyeluruhan (comprehensiveness). Kalangan
wakil khusus tersebut harus mempertimbangkan semua argumen dan bukti,
bahkan argumen yang bertentangan sekalipun. Prinsip ini juga
mengharuskan kaum wakil khusus bertanggungjawab menyelidiki dengan
kesungguhan semua bukti dan argumen tersebut.
d. Keempat, para wakil khusus tersebut haruslah melakukan penafsiran dan
pencarian perintah Tuhan secara rasional (reasonableness). Kaum wakil
khusus dilarang melakukan, meminjam istilah Umberto Eco, “penafsiran
secara berlebihan” dengan cara, misalnya, menafsirkan sedemikian rupa
sehingga maknanya sesuai dengan keinginan seseorang, sementara makna
teks sesungguhnya dihiraukan. Penafsiran yang berlebihan terhadap teks,
baik dengan cara membiarkan teks terbuka dan dibanjiri segala kemungkinan
21
Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang Konsep
Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, h. 5-6.
22
Khaled Abou el-Fadl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”
(Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. 37-40.

7
penafsiran yang tak terbatas sehingga tidak dapat ditampung sendiri oleh
teks, maupun dengan membuat teks tergembok dan didiami hanya oleh satu
macam makna penafsiran saja, telah dianggap mengingkari prinsip
rasonalitas ini. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa kaum wakil khusus
haruslah mengambil jarak dengan teks dan menghormati integritas teks
tersebut.
e. Kelima, para wakil khusus haruslah bisa mengendalikan diri (self restraint).
Hal ini sebenarnya menujukan sikap kerendahan hati. Dia bukanlah orang
yang mengetahui segalanya dan yang mengetahui hakikat segalanya
hanyalah Tuhan. Semua yang dilakukannya adalah usaha untuk
mengungkap kehyendak-Nya. Bagi siapapun yang pernah dididik di
lingkungan pesantren pasti tahu bahwa di setiap akhir pengajian, guru-guru
kita selalu megucapkan "Wa Allahu a‟lam bi murodihi" yang kurang lebih
berarti: Tuhanlah yang lebih mengetahui segalanya. Sikap ini lebih jauh
sebenarnya bisa dilihat sebagai sikap pengendalian diri dan kerendahan
hati. 23

Itulah kelima prasyarat yang dikemukakan Abou El-Fadhluntuk membatasi


kemungkinan otoritas yang dipegang oleh para agen khusus agar tidak terjerumus
pada sikap keberagamaan otoriter. Menurut Abou Fadl, prasyarat tersebut muncul
sebagai keharusan yang bersifat rasional (dharuriyyat aqliyyah) bagi hubungan
yang logis antara umat Islam dengan wakil khusus dan teks (baik al-Quran atau
hadis). Hal di atas sebenarnya adalah usaha yang dilakukan Abou Fadl agar
pencarian makna teks yang merupakan usaha untuk mendekati kehendak Tuhan
semaksimal mungkin berlangsung objektif. Sepanjang seseorang menerapkan kelima
prasayarat tersebut di atas dan meyakini hasilnya adalah kebenaran, maka itulah
kebenaran menurut Tuhan. Pelanggaran terhadap lima hal tersebut jelas adalah
pelanggaran otoritas dan merupakan sebuah sikap kesewenang-wenangan penafsiran,
sebuah sikap otoriter.24

3. Karakteristik Hermeneutika Khaled M. Abou el Fad


Hermeneutika yang ditawarkan oleh Khaled, sebenarnya adalah dalam rangka
untuk mengkritik perlakuan secara otoriter yang dilakukan oleh komisi fatwa hukum
Islam di Timur Tengah, bagi Khaled fatwa tersebut sangat mengebiri otoritas Tuhan,
membatasi peran Tuhan dan teks, mengunci rapat-rapat teks sehingga sama sekali
tidak adanya ruang gerak yang dialogis antara teks, Tuhan dan para pembaca.
Menurut Khaled pendekatan hermeneutika dalam menganalisis dan melakukan suatu
pengkajian teks-teks sangat penting dilakukan, yang dalam hermeneutika melibatkan
tiga variabel, yaitu pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader). Bagi
Khaled, dalam rangka untuk membangun suatu gagasan tentang otoritas dan
otoritarian menyajikan sebuah kerangka konseptual dalam kajian hukum Islam.
Pembahasan tentang otoritas dalam hukum Islam sangat penting, tanpa otoritas akan
tampak subyektif, relatif, bahkan individual. Adapaun pembahasan tentang otoritas
bertujuan untuk mencari hal-hal yang baku (ats-tSawabit). Bagi Khaled, otoritas
sangat terbuka untuk wacana, debat, dan ketidaksetujuan. Otoritas penafsir teks-teks
keagamaan (reader), setidaknya mempunyai otoritas persuasif, yaitu otoritas „wakil

Khaled Abou el-Fadl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif” (Jakarta:
Serambi, 2004), Cet. I, h. 204.
Khaled Abou el-Fadl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”, h. 93.

8
khusus‟ (ahli khusus, fuqaha‟), dan bukanlah otoritas yang bersifat paksaan (koersif)
atau bersifat otoriter.25

Oleh karena itu, Abou el-Fadl ingin memberantas model penafsiran seperti ini
dengan mengusung teori hermeneutika otoritatif dengan cara “negosiasi”. Hal itu
dilakukan dalam rangka menjalin keseimbangan peran antara pengarang, teks, dan
penafsir dalam menetapkan suatu makna teks, tanpa mendominasi dan menafikan
pihak yang lain dalam sebuah penafsiran.

a. Negosiasi Teks, Pengarang, dan Pembaca


Dalam pembahasan hermeneutika, sebuah pemahaman sedikitnya melibatkan tiga
unsur, yaitu author (pengarang), text (teks), dan reader (pembaca) sebagai negotiating
process. Artinya, pemahaman teks seharusnya merupakan produk dari interaksi yang
hidup antara pengarang, teks, dan pembaca. Dalam proses “negosiasi makna”, Abou
el-Fadl memberi seperangkat metode agar penafsir tidak terjebak dalam
otoritarianisme. Perangkat metodologis itu adalah “nalar eksklusi”, moralitas
ketekunan, dan pengendalian diri dengan bersikap hati-hati dalam menetapkan
makna (itsbât al-ma‟nâ), sehingga apa yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan
kehendak Tuhan dan Nabi. Perangkat metodologis ini dimaksudkan untuk melengkapi
lima prinsip moral yang ditawarkan Khaled Abou el-Fadl, yakni kejujuran,
kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri.
Menurut Khaled Abou el-Fadl, proses interpretasi bukan sekadar upaya
memahami kata atau ungkapan, tetapi juga merupakan cara menerapkan atau
mengaplikasikan makna tesebut, yang diistilahkan sebagai proses “penetapan
makna”, untuk menentukan kompetensi dan otentisitas dalam diskursus hukum
Islam.37 Menurutnya, otoritas bersifat terbuka bagi wacana, debat, dan
ketidaksetujuan. Oleh karena itu, untuk membangun keterbukaan tersebut, Abou el-
Fadl berusaha mendudukkan relasi teks, pengarang, dan pembaca secara proporsional,
sehingga tidak terjadi “otoritarianisme” penafsiran dalam diskursus dan konstruksi
hukum Islam. 26

b. Kompetensi, Penetapan Makna, dan Perwakilan


Selain melakukan proses negosiasi dalam membongkar diskursus
otoritarianisme hukum, Abou El-Fadl juga menawarkan tiga hal pokok yang
menjadi kunci untuk membuka diskursus yang otoritatif dalam hukum Islam. Ketiga
hal tersebut adalah (1) kompetensi (autentisitas), (2) penetapan makna, dan (3)
perwakilan.

Kompetensi (autensitas) menjadi sangat penting untuk mencapai sesuatu yang


otoritatif, yaitu dengan pempertimbangkan sebuah teks yang mengklaim benar-banar
mewakili suara Tuhan dan Nabi. Dalam konteks kompetensi Alquran, Abou el-Fadl
menggunakan asumsi berbasis iman, yang berarti Alquran adalah benar-benar firman
Allah yang abadi dan terpelihara kemurniannya. Adapun terkait dengan kompetensi
as- Sunnah, dia sangat mempertimbangkan kesahihan hadits. Jika suatu hadits tidah
sahih maka ia dianggap tidak autentik.

25
Khaled Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, terj: R.
Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2004), h. 42.
26
Ahmad Zayyadi, “Teori Hermeneutika Hukum Khaled M. Abou El-fadl: Membongkar Fiqh
Otoriter Membangun Fiqh Otoritatif” h. 8-9.

9
Sementara penetapan makna merupakan sebuah tindakan menentukan makna
sebuah teks. Dalam hal ini, makna terdalam yang terkandung dalam teks juga
diupayakan untuk disingkap oleh pembaca. Dalam menyingkap makna teks ini, para
pembaca terkadang benar, namun bisa juga salah. Oleh karena itu, diperlukan adanya
interaksi antara pengarang, teks, dan pembaca di samping juga perlu ada negosiasi
yang seimbang antara ketiganya sehingga tidak tercipta tindakan penafsiran yang
otoriter dan despotik dalam memutuskan sebuah hukum.
Selain kompetensi dan penetapan makna, konsep perwakilan juga menjadi
sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Terkait dengan perwakilan ini, kita semua
sepakat bahwa kedaulatan mutlak hanyalah miliki Tuhan, namun di sisi lain, Islam
juga mengakui konsep kekhalifahan manusia sebagai perwakilan Tuhan. Hanya saja,
pelimpahan otoritas Tuhan kepada manusia sering kali membuka ruang bagi
munculnya otoritarianisme. Untuk menghindari hal itu, Abou El-Fadl memberikan
beberapa standar sebagai prasyarat kepada mereka yang disebutnya sebagai “wakil
khusus” Tuhan. Abou El-Fadl memberikan lima prasyarat yang harus dipenuhi oleh
seorang pembaca (reader) yang merasa dirinya sebagai wakil Tuhan sehingga layak
menjadi pemegang otoritas.27
c. Asumsi-asumsi dasar sebagai landasan metodologi hukum
Selain proses negosiasi, kompetensi, penetapan makna, dan perwakilan, Abou El-
Fadl juga memaparkan persoalan penting lain, yaitu persoalan pembuktian yang
mendasari pengambilan kesimpulan hukum. Pembuktian itu terkait dengan
“asumsi dasar” dalam komunitas interpretasi. Ada empat asumsi dasar yang berfungsi
sebagai landasan untuk membangun analisis hukum. Pertama, asumsi berbasis nilai,
yaitu asumsi yang dibangun di atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau
mendasar oleh sebuah sistem hukum. Kedua, asumsi berbasis metodologis, yaitu
asumsi yang terkait dengan sarana atau langkah yang diperlukan untuk mencapai
tujuan normatif hukum. Ketiga, asumsi berbasis akal, yaitu asumsi yang didasarkan
pada potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif, sebagai hasil dari proses
objektif dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional dan komprehensif,
bukan hasil dari pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat pribadi.
Keempat, asumsi berbasis iman, yaitu asumsi yang dibangun dengan tetap
mempercayai bahwa Alquran adalah otentik. Asumsi ini tidak berasal dari klaim
bahwa ia diperoleh dari perintah Tuhan, tetapi berasal dari dinamika antara manusia
(wakil) dan Tuhan. Asumsi berbasis iman ini dibangun di atas pemahaman-
pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuan-
tujuannya. Dari sinilah hermeneutika Abou El-Fadl dibangun dalam rangka
menyikapi fenomena hukum Islam yang berwajah otoriter menuju hukum Islam yang
otoritatif. 28
Pemahaman Khaled terhadap teks termasuk ayat Alquran dengan menggunakan
pendekatan Hermeneutika tidak hanya bertujuan “menemukan makna teks”
sebagaimana hermeneutika pada umumnya. Tetapi juga bertujuan untuk
“mengungkapkan kepentingan penggagas atau pembaca yang tersimpan di balik
teks, dan menawarkan strategi pengendalian tindakan sewenang-wenang penggagas

27
Ahmad Zayyadi, “Teori Hermeneutika Hukum Khaled M. Abou El-fadl: Membongkar Fiqh
Otoriter Membangun Fiqh Otoritatif” h. 10-11.
28
Ahmad Zayyadi, “Teori Hermeneutika Hukum Khaled M. Abou El-fadl: Membongkar Fiqh
Otoriter Membangun Fiqh Otoritatif” h. 12.

10
dan pembaca terhadap teks, pembaca lain, dan audiens melalui konsep otoritas dan
otoritarianismenya. Paling tidak ada empat hal yang menjadikan hermeneutika
Abou Fadl begitu penting, yaitu:29

1) Pertama, dalam gelombang globalisasi yang membawa perubahan mendasar


bagi kemanusiaan, buku ini membangkitkan kesadaran perlunya pembaharuan
pemikiran dan hukum Islam yang selama ini diakui keberadaanya sangat
strategis dalam bangunan agama Islam. Hal ini dilakukan agar agama Islam
tetap dapat bertahan dan menjadi semakin dibutuhkan bagi pengembangan
kemanusiaan yang lebih beradab.
2) Kedua, terkait dengan yang pertama, maka buku ini memberikan panduan yang
sistematis untuk melakukan pembaharuan hukum Islam yang lebih universal,
berbasis moralitas dan kemanusiaan.
3) Ketiga, dalam tataran tertentu, buku ini telah berperan mengubah cara
pandang kaum muslimin terhadap posisi ulama yang otoriter (sewenang-wenang
memberi fatwa) dan yang otoritatif (yang berwenang memberi fatwa).
4) Keempat, buku ini melakukan pembelaan serius bahwa Islam sebagai agama
telah memberikan tanggung jawab dan penghargaan kemanusiaan yang besar.
Kesalahan lebih sering datang dari penganutnya atau orang-orang yang
merasa sebagai penjaga syariat, padahal malah menghancurkan syari‟at.
Pada sisi lain, Khaled menawarkan konsep hermeneutika yang bersifat inter dan
multidisipliner, lantaran melibatkan berbagai pendekatan. Di antaranya linguistik,
interpretive social science, literary criticism, selain ilmu-ilmu keislaman yang baku
mulai dari Mushthalah al-Hadis, Rijal al-Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir, Kalam,
yang kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer.

D. Penafsiran Khaled M. Abou el-Fadl terhadap Alquran

a. Suara Perempuan dan Tepuk Tangan Penyebab Fitnah; Kajian Q.S. al-
Ahzab Ayat 32 dan Q.S. Ayat 35
Salah satu topik yang difatwakan oleh Dewan Riset Ilmu dan Fatwa (Al-Lajnah
al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta/Council for Scientific Research and
Legal Opinions) Kerajaan Saudi Arabia ialah mengenai tepuk tangan dan suara
perempuan. Dewan yang bergerak untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa tersebut
membangun kaitan antara tepuk tangan dan suara perempuan sebagai aurat. Salah satu
nash yang menjadi dalil dalam fatwa CRLO tersebut ialah surah al-Ahzab ayat: 32
yang dikaitkan dengan hadis Nabi tentang tepuk tangan dan surah al-Anfal ayat: 35
yang kemudian berkesimpulan bahwa suara perempuan adalah aurat.

b. Q.S. al-Ahzab 32 dan Q.S. al-Anfal 35 menurut Khaled Abou el-Fadhl


Menurut Khaled, ayat ini tidak ada kaitannya sedikit pun dengan persoalan
tepuk tangan dan anggapan suara perempuan adalah aurat. Dari rangkaian kalimatnya,
ayat tersebut merujuk pada isteri-isteri nabi dan secraa eksplisit menyatakan bahwa
status mereka tidak sama dengan perempuan muslim lainnya. Konsekuensinya
adalah bahwa apa yang diperbolehkan bagi perempuan muslim lainnya mungkin saja

29
Hasrul, “Pemikiran Tafsir Khaled Medhiat Abou El-Fadl dalam Atas Nama Tuhan”, 2016, h.
12.

11
tidak diperbolehka bagi isteri-isteri Nabi. Lebih jauh lagi, dari rangkaian kalimat ayat
tersebut membedakan antara dua bentuk ucapan, yaitu perkataan yang khudhu‟
(lembut, menarik, baik, menggoda, dan pasrah) dan perkataan yang wajar. Oleh
karenanya, menurut Khaled, hal paling jauh yang bisa kita kemukakan adalah bahwa
ayat tersebut mengecam perkataan yang bernadah pasrah dan menghargai perkataan
yang wajar dan bermoral.

Khaled juga menekankan, sesungguhnya isteri-isteri Nabi agar tidak


berbicara dengan nada pasrah dan lembut, tetapi harus berbicara dengan nada tegas
dan bermoral. Menurut Khaled, ayat tersebut memiliki konteks kesejarahan bahwa
suku Badui yang baru memeluk Islam dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan
mereka. Akhirnya, mereka mendekati Isteri-isteri Nabi dengan berbagai macam
tuntutan. Isteri-isteri Nabi adalah perempuan-perempuan yang baik dan lembut, dan
diriwayatkan bahwa tuntutan tersebut sudah tidak bisa diterima akal sehat, hingga
mencapai titik ketika para pemeluk baru tersebut cenderung memanfaatkan kebaikan
Isteri-isteri Nabi. Ayat tersebut diturunkan untuk memerintahkan Isteri-isteri Nabi
agar berbicara layknya perempuan yang kuat dan bermoral, bukan perempuan yang
hanya menuruti emosi. 30
Sehubungan dan fatwa-fatwa di atas, Khaled menggambarkan adanya sebuah
penggunaan bukti yang janggal yang dilakukan oleh para ahli hokum CRLO.
Persoalan dalam contoh ini bukan saja tentang pemaparan bukti yang telah diseleksi
terlebih dahulu, tetapi tentang pemilihan bukti yang berorientasi hasil yang tidak ada
kaitannya secara langsung dengan persoalan yang sedang dibahas. Seperti terlihat
dalam persoalan ini bahwa terdapat tiga dalil yang telah dikemukakan oleh para
ahli hokum CRLO, yaitu Q.S. al-Ahzab ayat sebagaimana yang telah dibahas
di atas, serta satu hadis Nabi dan Q.S. al-Anfal ayat 35. Hadis yang dimaksud ialah:
ّ ُ ْ َّ َ َّ َ ْ َ َ ُ ْ َ َّ َ َ ُ َّ َ ْ ّ َ ُ ْ َ َ َ َ
31
.‫يق ِل ِلن َس ِاء‬‫َم ْن َر َاب ُه ش ْي ٌء ِفي صَل ِت ِه فليس ِبح ف ِإنه ِإذا سبح الت ِفت ِإلي ِه و ِإنما التص ِف‬
Artinya: Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam
shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam)
akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan untuk wanita."
Dengan mengutip Hadis ini, para ahli hokum CRLO menyimpulkan dua hal;
Pertama, suara perempuan adalah aurat. Jika suara perempuan bukan aurat, Nabi
tentu tidak akan menyuruh perempuan untuk bertepuk tangan. Kesimpulan kedua;
orang-orang Islam secara umum tidak boleh mengungkapkan dukungan, kebahagian,
atau penghormatannya dengan cara bertepuk tangan. Tepuk tangan menurut para ahli
hukum CRLO diharamkan karena dipandang sebagai praktik orang-orang kafir dan
kebiasaan perempuan, dan orang-orang Islam secara umum tidak boleh meniru
mereka. Lebih lanjut, para ahli hukum CRLO dalam persoalan ini mengutip ayat lain,
yaitu Surah Al-Anfal ayat: 35.
Dari ayat ini, dan Hadis yang dikutip sebelumnya, para ahli hokum CRLO
menyimpulkan beberapa hal:

30
Khaled Abou el-Fadhl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif” h. 275-
276.
31
Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya‟ al-turast al-Araby, tt), Juz I, h. 316.

12
1) Suara perempuan adalah aurat, karena itu perempuan diharuskan bertepuk
tangan dalam shalat;
2) Perempuan diharuskan bertepuk tangan karena jika mereka mengeraskan
suaranya ketika mengucapkan “amin” atau ungkapan lainnya, hal tersebut
akan menimbulkan fitnah.
3) Karena perempuan dan orang-orang kafir biasa bertepuk tangan, maka orang-
orang Islam secara umum tidak boleh bertepuk tangan („adam al-tasyabuh bi
al-nisa‟ wa al-kuffar).

Khaled menanggapi fatwa di atas bahwa para ahli Hukum CRLO tidak sadar
bahwa jawaban mereka sama sekali tidak rasional. Beliau mengungkapkan bahwa
pesan ayat tersebut adalah tidak dibenarkan menyembah Tuhan dengan cara bersiul
dan bertepuk tangan. Para ahli hokum CRLO mengabaikan kekhasan historis dan
normative dari ayat tersebut. Ayat tersebut secara eksplisit merujuk pada
ketidaksopanan bentuk-bentuk kepribadatan yang biasa dilakukan masyarakat
Makkah di sekitar Ka‟bah. Lebih penting lagi menurut Khaled, jika seorang
perempuan muslim diperkenankan untuk bertepuk tangan dalam shalat, tidak berarti
bahwa bertepuk tangan menyerupai orang kafir, kecuali jika kita menganggap bahwa
perempuan muslim adalah orang-orang kafir. 32
Menurut analisi Khaled, para ahli hukum CRLO membangun seluruh
diskursusnya tentang larangan bertepuk tangan pada asusmsi berbasis gender (tepuk
tangan adalah hal yang biasa dilakukan perempuan), dan asumsi ahistoris (tepuk
tangan adalah hal yang biasa dilakukan orang kafir). Yang menarik adalah
bahwa tidak ada ketentuan khusus atau tegas tentang tepuk tangan. Lebih jauh lagi,
Hadis Nabi tentantang tepuk tangan itu dipandang muncul pada masa akhir kehidupan
beliau. Dari sudut pandang kesejarahannya, kenyataan bahwa orang-orang Islam
bertepuk tangan dalam shalat menunjukkan bahwa tepuk tangan merupakan
perbuatan yang diterima masyarakat. Lagi pula, secara kronologis tidak ditemukan
hadis lain yang melarang tepuk tangan dalam kondisi apapun, dan bahkan Hadis
ini hanya merujuk pada tepuk tangan ketika shalat. Bahkan hadis ini pun tidal
melarangnya secara total, tetapi hanya membatasinya untuk perempuan saja.33

32
Khaled Abou el-Fadhl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”, h.274.
33
Khaled Abou el-Fadhl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”, h. 275.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Badi, “Kritik Otoritarianisme Hukum Islam (Kajian Pemikiran Khaled M.


Abou Al Fadl)” dalam Jurnal IAIT Kediri, Vol. 27, No. 1, Januari 2016.

Ahmad Zayyadi, “Teori Hermeneutika Hukum Khaled M. Abou El-fadl: Membongkar


Fiqh Otoriter Membangun Fiqh Otoritatif”.

Akrimi Matswah, “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou el-Fadl Terhadap


Hadis Nabi” dalam jurnal Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013.

Hasrul, “Pemikiran Tafsir Khaled Medhiat Abou El-Fadl dalam Atas Nama Tuhan”
2016.

Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang
Konsep Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, Vol. 7, No. 1,
Juni 2012.

Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, terj:
R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I.

Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya‟ al-turast al-Araby, tt), Juz I.

M. Mushthafa dalam pengantar “Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan


Sewenang-wenang dalam Islam” oleh Khaled Abou el-Fadl, terj. Kurniawan
Abdullah (Jakarta: Serambi, 2003).

Nasrullah, “Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas


Penafsiran oritarianisme dalam Pemikiran Islam” dalam Jurnal Hunafa, Vol.
5, No. 2, Agustus 2008.

Raisul, “Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou El Fadl” dalam Jurnal Mazahib, Vol.
16, No. 2, Desember 2015.

Rusli, “Gagasan Khaled Abu Fadl tentang Islam Moderat Versus Islam Puritan:
Perspektif Sosiologi Pengetahuan” dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 8, No.
1, Januari 2009.

Syarifuddin, Hermeneutika Khaled Abou el-Fadl dalam Jurnal Substantia, Vol. 17,
No, 2, Oktober 2015.

14

Anda mungkin juga menyukai