El-Fadl”
Dosen Pengampu:
Dr. M Suryadinata, M.Ag.
Oleh:
Khaled adalah seorang pemikir hukum Islam kelahiran Kuwait pada tahun 1963
dengan nama lengkap Khaled Medhiat Abou el-Fadl. Ayahnya bernama Medhiat
Abou el-Fadl, sedangkan ibunya bernama Afaf el-Nimr. Lahir di keluarga yang taat
beragama dan sederhana, meskipun begitu keluarganya sangat terbuka dengan hal-hal
1
M. Mushthafa dalam pengantar “Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-
wenang dalam Islam” oleh Khaled Abou el-Fadl, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi, 2003), h
7-8.
2
M. Mushthafa dalam pengantar “Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-
wenang dalam Islam” oleh Khaled Abou el-Fadl, terj. Kurniawan Abdullah, h 7-8.
1
yang bersifat pemikiran. Sejak kecil ia terdidik dengan ilmu-ilmu keislaman seperti
Alquran, Hadis, bahasa Arab tafsir, dan tasawuf sejak dari sekolah pendidikan dasar.
Pendidikan dasar dan menengahnya dia tamatkan di negeri kelahirannya, Kuwait, 3
dan kemudian melanjutkannya di Madrasah Al-Azhar Mesir yang saat itu sedang
mengalami masa transisi dari paham moderat ke paham Wahabi. Sehingga sampai
usia remaja, Khaled sangat getol menyebarkan dan membela paham yang lahir di
Saudi Arabia ini, namun kemudian pemikiran dan pemahamannya berubah drastis dan
mengkritik paham ini karena dinilai telah mengekang kebebasan berifikir dan
bertindak sewenang-wenang.4
3
Akrimi Matswah, “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou el-Fadl Terhadap Hadis Nabi”
dalam jurnal Addin, Vol. 7, No. 2, Agustus 2013, h. 253
4
Syarifuddin, Hermeneutika Khaled Abou el-Fadl dalam Jurnal Substantia, Vol. 17, No, 2,
Oktober 2015. h. 233.
5
Rusli, “Gagasan Khaled Abu Fadl tentang Islam Moderat Versus Islam Puritan: Perspektif
Sosiologi Pengetahuan” dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 8, No. 1, Januari 2009, h. 101.
6
Rusli, “Gagasan Khaled Abu Fadl tentang Islam Moderat Versus Islam Puritan: Perspektif
Sosiologi Pengetahuan” dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, h. 102.
7
Ahmad Badi, “Kritik Otoritarianisme Hukum Islam (Kajian Pemikiran Khaled M. Abou Al
Fadl)” dalam Jurnal IAIT Kediri, Vol. 27, No. 1, Januari 2016, h. 89.
2
Syeikh Muhammad al-Ghazali, seorang tokoh pemikir Islam moderat dari barisan
revivalis yang ia kagumi. 8
8
Raisul, “Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou El Fadl” dalam Jurnal Mazahib, Vol. 16, No. 2,
Desember 2015, h. 148
9
Akrimi Matswah, “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou el-Fadl Terhadap Hadis Nabi”
dalam jurnal Addin, h. 253
10
Ahmad Badi, “Kritik Otoritarianisme Hukum Islam (Kajian Pemikiran Khaled M. Abou Al
Fadl)” dalam Jurnal IAIT Kediri, h. 89.
11
Nasrullah, “Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas
Penafsiran oritarianisme dalam Pemikiran Islam” dalam Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus
2008, h. 139.
12
Rusli, “Gagasan Khaled Abu Fadl tentang Islam Moderat Versus Islam Puritan: Perspektif
Sosiologi Pengetahuan” dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, h. 103-104
13
Ahmad Badi, “Kritik Otoritarianisme Hukum Islam (Kajian Pemikiran Khaled M. Abou Al
Fadl)” dalam Jurnal IAIT Kediri, h. 89.
3
dan hukum Islam. Khaled Abou el-Fadl dikenal sebagai pakar dalam bidang hukum
Islam, imigrasi, HAM, serta hukum keamanan nasional dan internasional. 14
14
Nasrullah, “Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas
Penafsiran oritarianisme dalam Pemikiran Islam” dalam Jurnal Hunafa , Agustus 2008, h. 139.
15
Data ini diambil dari situs terbaru UCLA, dimana Abou el Fadel bekerja sekarang yaitu:
http://www.law.ucla.edu/faculty/faculty-profile/khaled-m-abou-el-fadl/, diakses tanggal 18 Desember
2019.
16
Akrimi Matswah, “Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou el-Fadl Terhadap Hadis Nabi”
dalam jurnal Addin, h. 253-254.
4
Demokrasi (Jakarta: Ufuk Press, 2004), Sejarah Wahabi dan Salafi; Mengerti Jejak
Lahir dan Kebangkitannya di Era Kita (Penertbit Serambi, 2015).
17
Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang Konsep
Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, Vol. 7, No. 1, juni 2012, h. 2.
18
Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang Konsep
Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, h. 8.
5
sebuah teori tentang otoritas yang didasarkan pada pembacaan terhadap teks.
Argumentasi kebenaran didasarkan kepada ketiga unsur itu dalam teks Alquran, dan
meneruskan, pembacaan yang cermat terhadap teks untuk mencari sebuah konsep
tentang otoritas.19
Salah satu sumbangan ide terbesar Khaled Abou El-Fadhl terhadap diskursus
hukum Islam kontempoter adalah membongkar malpraktik otoritarianisme dalam
hukum Islam. Fenomena ini menurut Khaled menjadi mainstream pemahaman umat
Islam tehadap hukum Islam pada dewasa ini. Sehingga lahir wacana hukum Islam dan
fikih yang otoriter, tertutup dan statis. Trik-trik untuk menghadapinya, yang
digunakan oleh Khaled adalah sebagai berikut:
a. Pertama, Khaled memandang Alquran dan Sunnah sebagai sumber
otoritatif hukum Islam sebagai teks yang terbuka. Maka konsekuensi logisnya
adalah meyakini hukum Islam sebagai karya yang terus berubah. Untuk itu
teks-teks otoritatif sebagai sumber dari hukum Islam tidak boleh dikunci,
ditutup dan dipasung sehingga meniscayakan penafsiran dan pemahaman baru
akan terus-menerus lahir. Teks yang terbuka akan mampu menampung gerak
dinamis pemahaman manusia dengan keragaman konteksnya. Memasung
makna teks merupakan tindakan kriminal sekaligus kesombongan intelektual
karena telah mengklaim dirinya paling mengetahui maksud Tuhan. Selain itu
sikap tersebut akan menutup rapat-rapat bagi lahirnya pemahaman-
pemahaman (fikih) baru yang menjadi kebanggaan umat Islam sepanjang
sejarah.
b. Kedua, mengembalikan diskursus hukum Islam pada semangat awal, yaitu
meneguhkan kembali jtihad sebagai upaya pengerahan sekuat-kuatnya
kemampuan manusia untuk melakukan pencarian, penyeledikan dan
pemahaman terhadap kehendak Tuhan. Dalam konteks ini, Khaled
membedakan antara syariah dan fikih. Syari‟ah adalah kehendak Tuhan dalam
bentuk yang abstrak dan ideal, tapi fikih merupakan upaya manusia
memahami Kehendak Tuhan. Dalam pengertian ini syariah selalu dipandang
sebagai yang terbaik, adil dan seimbang. Sedangkan fikih hanyalah upaya
untuk mencapai cita-cita dan tujuan syariah (maqâshid al- syarî‟ah). Tujuan
syariat Islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia (tahqîq mashâlih al-
‟ibâd) dan tujuan fikih adalah untuk memahami dan menerapkan syariah.
Perbedaan ini lahir dari pengakuan atas kegagalan-upaya-manusia untuk
memahami tujuan dan maksud Tuhan. Dalam konteks ini ijtihad manusia tidak
pernah final dan sempurna.
c. Ketiga revitalisasi metodologi hukum Islam klasik. Bagi Khaled hukum
Islam secara kukuh menentang kodifikasi dan penyeragaman. Metodologi
hukum Islam memiliki ciri yang terbuka dan antiotoritarianisme.
Akhirnya, Khaled menginginkan syariah dipahami dalam diskursus pergulatan
yang terus berubah dan bergerak maju; diskursus fikih yang progresif. Sedangkan
penguncian makna syariah pada pemahaman (fiqh) tertentu akan melahirkan fikih
yang otoriter; yang tertutup dan sewenang-wenang.20
19
Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang Konsep
Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, h. 9.
20
Hasrul, “Pemikiran Tafsir Khaled Medhiat Abou El-Fadl dalam Atas Nama Tuhan” 2016, h. 7.
6
2. Konsep Otoritas Khaled M. Abou el-Fadl
Menyikapi kegelisahan akademik yang dirasakannya, Abou el-Fadl kemudian
menawarkan gagasan memformulasikan konsep otoritas yang bisa dipakai dalam
tradisi hukum Islam. Sistematika yang digunakan Abou el-Fadl dalam menuangkan
gagasan adalah pertama-tama menjelaskan latar belakang munculnya krisis otoritas.
Kemudian dia menjelaskan konsep otoritas secara umum dengan mengadopsi
pemikiran Friedman yang membedakan otoritas persuasif dari otoritas yang bersifat
koersif. Konsep otoritas Friedman ini digunakan oleh Abou El Fadl untuk melihat
otoritas dalam Islam. Melalui pembahasan yang sangat sistematis-analitis, kemudian
dia menawarkan konsep otoritas dalam Islam yang harus memenuhi lima kriteria
yang menurutnya harus dipenuhi oleh seorang pemegang otoritas agar produk
hukum yang dihasilkannya mendapat legitimasi kuat dan berlaku universal. 21
Khaled Abou El-Fadhl mengemukakan lima batasan untuk menerima otoritas
wakil khusus tersebut. Sepanjang lima hal ini terpenuhi, seseorang bisa disebut
otoritatif. Kelima batasan itu adalah: 22
a. Pertama, kejujuran (honesty). Masyarakat pada umumnya percaya pada
kelompok wakil khusus ini bahwa mereka akan jujur dan dapat dipercaya
dalam memahami perintah Tuhan. Ia tidak akan menyembunyikan, melebih-
lebihkan atau berbohong atas apa yang ia pahami. Ia akan mejelaskan
semua yang ia pahami. Ia juga tidak akan berpura-pura mengetahui satu
permasalahan dan pura-pura mengetahui perintah Tuhan, padahal dirinya
belum mengetahui yang sesungguhnya.
b. Kedua, kalangan wakil khusus harus sepenuhnya mempunyai kesungguhan
(diligence). Dia dituntut untuk sepenuhnya mencurahkan kemampuannya
dalam menyelami satu persoalan. Batasan ini mungkin kelihatan samar,
namun setidaknya ini adalah sebuah kewajiban para wakil khusus itu untuk
serius dan bersungguh-sungguh dengan segenap kemampunnya untuk
menyelami sebuah persoalan. Kata ijtihad yang berasal dari akar kata jahada
sesungguhnya berarti pengerahan seluruh kemampuan seseorang untuk
menyelami sebuah persoalan.
c. Ketiga, adalah prinsip kemenyeluruhan (comprehensiveness). Kalangan
wakil khusus tersebut harus mempertimbangkan semua argumen dan bukti,
bahkan argumen yang bertentangan sekalipun. Prinsip ini juga
mengharuskan kaum wakil khusus bertanggungjawab menyelidiki dengan
kesungguhan semua bukti dan argumen tersebut.
d. Keempat, para wakil khusus tersebut haruslah melakukan penafsiran dan
pencarian perintah Tuhan secara rasional (reasonableness). Kaum wakil
khusus dilarang melakukan, meminjam istilah Umberto Eco, “penafsiran
secara berlebihan” dengan cara, misalnya, menafsirkan sedemikian rupa
sehingga maknanya sesuai dengan keinginan seseorang, sementara makna
teks sesungguhnya dihiraukan. Penafsiran yang berlebihan terhadap teks,
baik dengan cara membiarkan teks terbuka dan dibanjiri segala kemungkinan
21
Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang Konsep
Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, h. 5-6.
22
Khaled Abou el-Fadl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”
(Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. 37-40.
7
penafsiran yang tak terbatas sehingga tidak dapat ditampung sendiri oleh
teks, maupun dengan membuat teks tergembok dan didiami hanya oleh satu
macam makna penafsiran saja, telah dianggap mengingkari prinsip
rasonalitas ini. Prinsip ini mengisyaratkan bahwa kaum wakil khusus
haruslah mengambil jarak dengan teks dan menghormati integritas teks
tersebut.
e. Kelima, para wakil khusus haruslah bisa mengendalikan diri (self restraint).
Hal ini sebenarnya menujukan sikap kerendahan hati. Dia bukanlah orang
yang mengetahui segalanya dan yang mengetahui hakikat segalanya
hanyalah Tuhan. Semua yang dilakukannya adalah usaha untuk
mengungkap kehyendak-Nya. Bagi siapapun yang pernah dididik di
lingkungan pesantren pasti tahu bahwa di setiap akhir pengajian, guru-guru
kita selalu megucapkan "Wa Allahu a‟lam bi murodihi" yang kurang lebih
berarti: Tuhanlah yang lebih mengetahui segalanya. Sikap ini lebih jauh
sebenarnya bisa dilihat sebagai sikap pengendalian diri dan kerendahan
hati. 23
Khaled Abou el-Fadl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif” (Jakarta:
Serambi, 2004), Cet. I, h. 204.
Khaled Abou el-Fadl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”, h. 93.
8
khusus‟ (ahli khusus, fuqaha‟), dan bukanlah otoritas yang bersifat paksaan (koersif)
atau bersifat otoriter.25
Oleh karena itu, Abou el-Fadl ingin memberantas model penafsiran seperti ini
dengan mengusung teori hermeneutika otoritatif dengan cara “negosiasi”. Hal itu
dilakukan dalam rangka menjalin keseimbangan peran antara pengarang, teks, dan
penafsir dalam menetapkan suatu makna teks, tanpa mendominasi dan menafikan
pihak yang lain dalam sebuah penafsiran.
25
Khaled Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, terj: R.
Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2004), h. 42.
26
Ahmad Zayyadi, “Teori Hermeneutika Hukum Khaled M. Abou El-fadl: Membongkar Fiqh
Otoriter Membangun Fiqh Otoritatif” h. 8-9.
9
Sementara penetapan makna merupakan sebuah tindakan menentukan makna
sebuah teks. Dalam hal ini, makna terdalam yang terkandung dalam teks juga
diupayakan untuk disingkap oleh pembaca. Dalam menyingkap makna teks ini, para
pembaca terkadang benar, namun bisa juga salah. Oleh karena itu, diperlukan adanya
interaksi antara pengarang, teks, dan pembaca di samping juga perlu ada negosiasi
yang seimbang antara ketiganya sehingga tidak tercipta tindakan penafsiran yang
otoriter dan despotik dalam memutuskan sebuah hukum.
Selain kompetensi dan penetapan makna, konsep perwakilan juga menjadi
sesuatu yang penting untuk diperhatikan. Terkait dengan perwakilan ini, kita semua
sepakat bahwa kedaulatan mutlak hanyalah miliki Tuhan, namun di sisi lain, Islam
juga mengakui konsep kekhalifahan manusia sebagai perwakilan Tuhan. Hanya saja,
pelimpahan otoritas Tuhan kepada manusia sering kali membuka ruang bagi
munculnya otoritarianisme. Untuk menghindari hal itu, Abou El-Fadl memberikan
beberapa standar sebagai prasyarat kepada mereka yang disebutnya sebagai “wakil
khusus” Tuhan. Abou El-Fadl memberikan lima prasyarat yang harus dipenuhi oleh
seorang pembaca (reader) yang merasa dirinya sebagai wakil Tuhan sehingga layak
menjadi pemegang otoritas.27
c. Asumsi-asumsi dasar sebagai landasan metodologi hukum
Selain proses negosiasi, kompetensi, penetapan makna, dan perwakilan, Abou El-
Fadl juga memaparkan persoalan penting lain, yaitu persoalan pembuktian yang
mendasari pengambilan kesimpulan hukum. Pembuktian itu terkait dengan
“asumsi dasar” dalam komunitas interpretasi. Ada empat asumsi dasar yang berfungsi
sebagai landasan untuk membangun analisis hukum. Pertama, asumsi berbasis nilai,
yaitu asumsi yang dibangun di atas nilai-nilai normatif yang dipandang penting atau
mendasar oleh sebuah sistem hukum. Kedua, asumsi berbasis metodologis, yaitu
asumsi yang terkait dengan sarana atau langkah yang diperlukan untuk mencapai
tujuan normatif hukum. Ketiga, asumsi berbasis akal, yaitu asumsi yang didasarkan
pada potongan-potongan bukti yang bersifat kumulatif, sebagai hasil dari proses
objektif dalam mempertimbangkan berbagai bukti secara rasional dan komprehensif,
bukan hasil dari pengalaman etis, eksistensial, atau metafisik yang bersifat pribadi.
Keempat, asumsi berbasis iman, yaitu asumsi yang dibangun dengan tetap
mempercayai bahwa Alquran adalah otentik. Asumsi ini tidak berasal dari klaim
bahwa ia diperoleh dari perintah Tuhan, tetapi berasal dari dinamika antara manusia
(wakil) dan Tuhan. Asumsi berbasis iman ini dibangun di atas pemahaman-
pemahaman pokok atau mendasar tentang karakteristik pesan Tuhan dan tujuan-
tujuannya. Dari sinilah hermeneutika Abou El-Fadl dibangun dalam rangka
menyikapi fenomena hukum Islam yang berwajah otoriter menuju hukum Islam yang
otoritatif. 28
Pemahaman Khaled terhadap teks termasuk ayat Alquran dengan menggunakan
pendekatan Hermeneutika tidak hanya bertujuan “menemukan makna teks”
sebagaimana hermeneutika pada umumnya. Tetapi juga bertujuan untuk
“mengungkapkan kepentingan penggagas atau pembaca yang tersimpan di balik
teks, dan menawarkan strategi pengendalian tindakan sewenang-wenang penggagas
27
Ahmad Zayyadi, “Teori Hermeneutika Hukum Khaled M. Abou El-fadl: Membongkar Fiqh
Otoriter Membangun Fiqh Otoritatif” h. 10-11.
28
Ahmad Zayyadi, “Teori Hermeneutika Hukum Khaled M. Abou El-fadl: Membongkar Fiqh
Otoriter Membangun Fiqh Otoritatif” h. 12.
10
dan pembaca terhadap teks, pembaca lain, dan audiens melalui konsep otoritas dan
otoritarianismenya. Paling tidak ada empat hal yang menjadikan hermeneutika
Abou Fadl begitu penting, yaitu:29
a. Suara Perempuan dan Tepuk Tangan Penyebab Fitnah; Kajian Q.S. al-
Ahzab Ayat 32 dan Q.S. Ayat 35
Salah satu topik yang difatwakan oleh Dewan Riset Ilmu dan Fatwa (Al-Lajnah
al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta/Council for Scientific Research and
Legal Opinions) Kerajaan Saudi Arabia ialah mengenai tepuk tangan dan suara
perempuan. Dewan yang bergerak untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa tersebut
membangun kaitan antara tepuk tangan dan suara perempuan sebagai aurat. Salah satu
nash yang menjadi dalil dalam fatwa CRLO tersebut ialah surah al-Ahzab ayat: 32
yang dikaitkan dengan hadis Nabi tentang tepuk tangan dan surah al-Anfal ayat: 35
yang kemudian berkesimpulan bahwa suara perempuan adalah aurat.
29
Hasrul, “Pemikiran Tafsir Khaled Medhiat Abou El-Fadl dalam Atas Nama Tuhan”, 2016, h.
12.
11
tidak diperbolehka bagi isteri-isteri Nabi. Lebih jauh lagi, dari rangkaian kalimat ayat
tersebut membedakan antara dua bentuk ucapan, yaitu perkataan yang khudhu‟
(lembut, menarik, baik, menggoda, dan pasrah) dan perkataan yang wajar. Oleh
karenanya, menurut Khaled, hal paling jauh yang bisa kita kemukakan adalah bahwa
ayat tersebut mengecam perkataan yang bernadah pasrah dan menghargai perkataan
yang wajar dan bermoral.
30
Khaled Abou el-Fadhl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif” h. 275-
276.
31
Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya‟ al-turast al-Araby, tt), Juz I, h. 316.
12
1) Suara perempuan adalah aurat, karena itu perempuan diharuskan bertepuk
tangan dalam shalat;
2) Perempuan diharuskan bertepuk tangan karena jika mereka mengeraskan
suaranya ketika mengucapkan “amin” atau ungkapan lainnya, hal tersebut
akan menimbulkan fitnah.
3) Karena perempuan dan orang-orang kafir biasa bertepuk tangan, maka orang-
orang Islam secara umum tidak boleh bertepuk tangan („adam al-tasyabuh bi
al-nisa‟ wa al-kuffar).
Khaled menanggapi fatwa di atas bahwa para ahli Hukum CRLO tidak sadar
bahwa jawaban mereka sama sekali tidak rasional. Beliau mengungkapkan bahwa
pesan ayat tersebut adalah tidak dibenarkan menyembah Tuhan dengan cara bersiul
dan bertepuk tangan. Para ahli hokum CRLO mengabaikan kekhasan historis dan
normative dari ayat tersebut. Ayat tersebut secara eksplisit merujuk pada
ketidaksopanan bentuk-bentuk kepribadatan yang biasa dilakukan masyarakat
Makkah di sekitar Ka‟bah. Lebih penting lagi menurut Khaled, jika seorang
perempuan muslim diperkenankan untuk bertepuk tangan dalam shalat, tidak berarti
bahwa bertepuk tangan menyerupai orang kafir, kecuali jika kita menganggap bahwa
perempuan muslim adalah orang-orang kafir. 32
Menurut analisi Khaled, para ahli hukum CRLO membangun seluruh
diskursusnya tentang larangan bertepuk tangan pada asusmsi berbasis gender (tepuk
tangan adalah hal yang biasa dilakukan perempuan), dan asumsi ahistoris (tepuk
tangan adalah hal yang biasa dilakukan orang kafir). Yang menarik adalah
bahwa tidak ada ketentuan khusus atau tegas tentang tepuk tangan. Lebih jauh lagi,
Hadis Nabi tentantang tepuk tangan itu dipandang muncul pada masa akhir kehidupan
beliau. Dari sudut pandang kesejarahannya, kenyataan bahwa orang-orang Islam
bertepuk tangan dalam shalat menunjukkan bahwa tepuk tangan merupakan
perbuatan yang diterima masyarakat. Lagi pula, secara kronologis tidak ditemukan
hadis lain yang melarang tepuk tangan dalam kondisi apapun, dan bahkan Hadis
ini hanya merujuk pada tepuk tangan ketika shalat. Bahkan hadis ini pun tidal
melarangnya secara total, tetapi hanya membatasinya untuk perempuan saja.33
32
Khaled Abou el-Fadhl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”, h.274.
33
Khaled Abou el-Fadhl, “ Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif”, h. 275.
13
DAFTAR PUSTAKA
Hasrul, “Pemikiran Tafsir Khaled Medhiat Abou El-Fadl dalam Atas Nama Tuhan”
2016.
Kadi, “Menjadi Wakil Tuhan (Memahami Pemikiran Khalid M. Abou El Fadl tentang
Konsep Otoritas Penafsir Pesan Tuhan)” dalam Jurnal al-Ihkam, Vol. 7, No. 1,
Juni 2012.
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan: dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, terj:
R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I.
Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya‟ al-turast al-Araby, tt), Juz I.
Raisul, “Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou El Fadl” dalam Jurnal Mazahib, Vol.
16, No. 2, Desember 2015.
Rusli, “Gagasan Khaled Abu Fadl tentang Islam Moderat Versus Islam Puritan:
Perspektif Sosiologi Pengetahuan” dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol. 8, No.
1, Januari 2009.
Syarifuddin, Hermeneutika Khaled Abou el-Fadl dalam Jurnal Substantia, Vol. 17,
No, 2, Oktober 2015.
14