MAKALAH
Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah
Metodologi Penelitian Tafsir dan Hadis
DOSEN PEMBIMBING;
DR. NUR ROFIAH, BIL UZMA
DISUSUN OLEH;
HASRUL
(NIM: 21150340000010)
A. Pendahuluan
Pemikiran umat Islam selama beberapa abad terakhir ini berkutat pada persoalan
pro-Barat atau anti-Barat daripada memfokuskan diri pada pertanyaan yang jauh lebih
penting; apakah pemikiran umat Islam pada saat ini pro-manusia atau anti-manusia?
Apakah pernyataan doktrinal Islam saat ini manusiawi atau tidak? Demikian komentar
Khaled Abou el-Fadhl ketika menanggapi tuduhan bahwa pemikirannya terlalu bias berpihak pada Barat. Pernyataan Khaled tersebut menggambarkan sosoknya yang
memiliki perhatian mendalam terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan moral
termasuk isu-isu terkini mengenai perempuan. Seluruh energi pemikirannya dicurahkan
untuk membangun tatanan moral dan tatanan kemanusiaan yang ada.
Berkaitan dengan masalah otoritas, Khaled Abou el-Fadhl dalam pengakuannya,
sangat mengenal sekaligus gelisah dengan fenomena radikalisme, fundamentalisme, dan
puritanisme yang berkembang di tengah umat Islam yang muncul akibat interpretasi teks
yang otoriter. Dalam beberapa tahun terakhir beliau terlibat dalam berbagai debat publik
mengenai promosi Islam yang moderat dan damai. Dengan integritas dan keberanian
intelektual dia mengkritik semua klaim kebenaran kalangan fundamentalis Islam yang
dinilainya memelintir dan menyederhanakan masalah, dan secara tidak langsung
mempersempit dan menjelekkan citra Islam itu sendiri. 1
Lebih jauh lagi, Khaled mengamati salah satu manifestasi paling nyata dari
kenyataan yang menyedihkan ini adalah maraknya otoritarianisme yang sangat parah
dalam diskursus hukum Islam kontemporer. Atas pengamatan itu, beliau kemudian
menanggapinya dengan sejumlah tulisan termasuk karyanya yang berjudul Speaking in
Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women,2 yang dalam edisi Indonesia
berjudul Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif. 3 Melalui karya ini,
Khaled menyajikan sebuah kerangka konseptual untuk embangun gagasan tentang
otoritas dan mengidentifikasi penyalahguanaan otoritas dalam hukum Islam. Otoritas
dalam buku ini tidak merujuk pada otoritas kelembagaan, tapi lebih pada otoritas
persuasif dan otoritas moral. Fokus utama buku ini ialah berusaha menggali gagasan
tentang bagaimana seseorang mewakili suara Tuhan tanpa menganggap dirinya sebagai
Tuhan atau setidaknya tanpa ingin dipandang sebagai Tuhan. 4
Dalam tulisan ini, berusaha lebih lanjut melihat pemikiran Khaled di atas
khususnya dalam memahami dalil-dalil yang bersumber dari al-Quran dan Hadis.
Penelitian ini didasarkan atas salah satu karya utamanya yang berjudul, Speaking in
Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women. Seperti disebutkan di atas, Khaled
dalam buku tersebut berusahan menyajikan sejumlah konsep termasuk metode dalam
menafsirkan hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Quran.
1
Tholchatul Choir, Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), h. 155-156.
2
Dalam edisi asli berjudul Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women, karya
Khaled M. Abou el-Fadl, (Oxford: Oneworld Publications, 2003)
3
Dalam edisi Indonesia diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dengan Judul Atas Nama Tuhan;
Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif, Cet. I, (Jakarta: Serambi, 2004)
4
Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif terj. R. Cecep
Lukman Y. dari judul asli Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women (Jakarta: Serambi,
2004), Cet. I, h. 2.
5
Ayahnya bernama Medhiat Abou el-Fadl, sedangkan ibunya bernama Afaf el-Nimr. Khaled Medhiat
Abou el-Fadl dalam beberapa tulisan ia disebut dengan Khaled Abou el-Fadl, atau Abou el-Fadl.
6
Teresa Watanabe, Konsepsi jihad Khaled Medhiat Abou el-Fadl dalam Battling Islamic Puritans (Los
Angeles Times: 2 Januari 2002)
7
Khaled M. Abou El Fadl, Melawan Tentara Tuhan: Yang Berwenang dan Sewenang-wenang dalam
Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi, 2003), h. 18.
8
Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas Penafsiran
oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm. 139.
Pada tahun 1982, Khaled Abou el-Fadhl meninggalkan Mesir menuju Amerika
dan melanjutkan studinya di Yale University dengan mendalami ilmu hukum
selama empat tahun dan dinyatakan lulus studi bachelor-nya dengan predikat
cumlaude. Tahun 1989, dia menamatkan studi Magister Hukum pada University
of Pennsylvania. Atas prestasinya tersebut, dia diterima mengabdi di Pengadilan
Tinggi (Suppreme Court Justice) wilayah Arizona sebagai pengacara bidang hukum
dagang dan hukum imigrasi. Dari sinilah kemudian Khaled Abou el-Fadhl
mendapatkan kewarganegaraan Amerika sekaligus dipercaya sebagai staf pengajar di
University of Texas di Austin. 9
Disamping kegiatannya sebagai pengacara dibarengi dengan mengajar di
Universitas Texas, ia juga tidak melewatkan kesempatan untuk melanjutkan studi
doktoralnya di University of Princeton. Pada tahun 1999 Khalid Abou el-Fadhl
berhasil mendapatkan gelar Ph.D dalam bidang hukum Islam dengan hasil sangat
memuaskan. Disertasinya, berjudul Rebellion and Violence in Islamic Law. Sejak saat
itu hingga sekarang, ia dipercaya menjabat sebagai profesor hukum Islam pada School
of Law, University of California Los Angeles (UCLA).10
3. Kegiatan dan Aktivitas Akademik Khaled M. Abou el-Fadhl
Khaled Abou el-Fadhl adalah seorang Guru Besar di Fakultas Hukum,
University of California Los Angeles (UCLA). Pemikir muslim terkemuka ini
kelahiran Kuwait, tahun 1963. Dalam waktu yang lama, ia menekuni studi keislaman
di Kuwait dan Mesir. Ia dikenal sebagai pakar dalam bidang hukum Islam, imigrasi,
HAM, serta hukum keamanan nasional dan internasional. Sebelumnya, ia juga
mengajar di sejumlah universitas ternama di Amerika Serikat, antara lain: Yale
University, Princeton University, dan Texas University.11
Khaled Abou el-Fadhl disebut-sebut sebagai an enlightened paragon of
liberal Islam. Selain penulis prolific dalam tema universal moralitas dan
kemanusiaan, Abou el-Fadhl juga dikenal sebagai pembicara publik terkemuka. Dia
aktif dalam berbagai organisasi HAM, seperti Human Rights Watch dan Lawyers
Committee for Human Rights. Di tengah-tengah kesibukannya, ia juga sering
menjadi pembicara dalam kegiatan seminar, simposium, lokakarya dan talk show, baik
di televise maupun di radio, seperti CNN, NBC, PBS, NPR dan VOA. Belakangan,
ia banyak memberikan komentar tentang isu otoritas, terorisme, toleransi dan hukum
Islam. Khaled Abou el-Fadhl dikenal sebagai pakar dalam bidang hukum Islam,
imigrasi, HAM, serta hukum keamanan nasional dan internasional. 12
9
Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas Penafsiran
oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm. 139.
10
Ansori, Islam dan Demokrasi; Telaah atas Pemikiran Khaled Abou el-Fadl dalam Jurnal Mukaddimah,
Vol. 17, No. 2, 2011), h. 183.
11
Mohammad Muslih, Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama (Vol. 5, No. 2, Dhulqadah
1430), h. 435
12
Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas Penafsiran
oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2, Agustus 2008, hlm. 139. Lihat juga
Mohammad Muslih, Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama, h. 436
Data ini diambil dari situs terbaru UCLA, dimana Abou el Fadel bekerja sekarang Yaitu:
http://www.law.ucla.edu/home/index.asp?page=386, diakses tanggal 8 Januari 2011.
14
Akrimi Matswah, Hermeneutika Negosiatif Khaled M. Abou El Fadl terhadap Hadis Nabi dalam Jurnal
Addin (Vol. 7, No. 2, Agustus, 2013), h. 253-254.
15
Mohammad Muslih, Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama (Vol. 5, No. 2, Dhulqadah
1430), h. 437
Khaled M. Abou el-Fadl, The Place of Tolerance in Islam (Boston: Beacon Perss, 2002)
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi,
2004), Cet. I, h. 204.
21
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih, h. 37-40.
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi,
2004), Cet. I, h. 204.
23
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih, h. 93.
kehendak Tuhan dan lantas penafsirannya menjadi mutlak dan absolut. Hal inilah yang
kemudian disebut oleh Khaled sebagai sikap Otoritarianisme, yaitu tindakan
mengunci atau mengurung Kehendak Tuhan atau kehendak teks, dalam sebuah
penetapan tertentu, dan kemudian menyajikan penutupan tersebut sebagai sesuatu
yang pasti, absolut dan menentukan.24 Pemegang otoritas biasanya cenderung
mengarah bersifat otoriter kecuali jika ada upaya sadar dan aktif untuk membendung
kecenderungan tersebut dari wakil yang melakukan interpretasi dan wakil yang
menerima interpretasi tersebut.
Ketika seorang pembaca bergelut dengan teks dan menarik sebuah hukum dari
teks, resiko yang dihadapinya adalah bahwa pembaca menyatu dengan teks, atau
penetapan pembaca itu akan menjadi perwujudan eksklusif teks tesebut. Akibatnya
teks dan konstruksi pembaca akan menjadi satu dan serupa. Dalam proses ini teks itu
akan tunduk kepada pembaca dan secara efektif pembaca menjadi pengganti teks.25
Pada posisi ini pembaca hanya akan melahirkan penafsiran yang otoriter. Lebih jauh
lagi melahirkan fanatisme yang mengkultuskan pada penafsiran-penafsiran itu
sehingga menganggap hasil penafsirannya memiliki kompetensi yang sama
dengan teks asal (al-Quran dan Sunnah). Kecenderungan otoriter tersebut dapat
dibendung dengan menerapkan lima prasyarat yang telah disebutkan dalam
pembahasan sebelumnya yaitu kejujuran, pengendalian diri, kesungguhan,
kemenyeluruhan, dan rasionalitas.
3. Pendekatan Hermeneutik Khaled M. Abou el-Fadhl
Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks
(text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam
dinamika pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah
mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya
Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir
atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan
paling benar hanyalah keinginan pengarang. Namun pada praktiknya, seringkali terjadi
dimana individu dan lembaga keagamaan (reader) mengambil alih otoritas Tuhan
(author) dengan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik
absolut sumber otoritas kebenaran dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh
penafsir lainnya. Di sini terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan
mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam
artireader tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan
institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak berlebihan jika sikap
otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan penyelewengan
yang nyata dari logika kebenaran Islam.
Walaupun kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak
menjadi wakil Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash
sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Hal ini sejalan dengan hakikat
Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women (Oxford:
Oneworld Publications, 2003), h. 93.
25
Khaled M. Abou el-Fadl, Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority, and Women, h. 142
24
10
diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan catatan, manusia
tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih posisi Tuhan, bersikap
arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan menutup
makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka makna tanpa batas.
Jika seorang pembaca berusaha menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan
makna tertentu atau memaksakan penafsiran tunggal atas teks tertentu, maka tindakan
tersebut berisiko tinggi untuk melanggar integritas pengarang dan bahkan integritas
teks itu sendiri. Menutup rapat yang dimaksud otoritarianisme dalam penafsiran teks
keagamaan dalam buku itu adalah tindakan seseorang, kelompok, atau lembaga
tertentu yang menutup rapat-rapat atau membatasi Kehendak Tuhan (the Will of the
Divine), atau maksud terdalam dari teks tertentu dalam suatu batasan ketentuan atau
penafsiran tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan-ketentuan atau penafsiranpenafsiran tersebut sebagai hukum atau keputusan yang tidak dapat dihindari, final,
dan merupakan hasil akhir yang tidak dapat diganggu-gugat.
Berawal dari pandangan ini, Khaled dalam memahami teks agama termasuk
ayat-ayat al-Quran turut serta menggunakan perangkat Hermeneutika. Tetapi berbeda
dengan tradisi hermeneutika di lingkungan Biblical Studies, hermeneutika dalam studi
keislaman, khususnya yang terurai dalam karyanya Atas Nama Tuhan, dipicu oleh
penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh
CRLO.26 Khaled menggunakan metode berpikir normatif-analitik dan menawarkan
teori hermeneutika negosiasi. Hermeneutika negosiasi bertolak dari prinsip negosiasi
kreatif antara teks-penggagas-pembaca, dengan menjadikan teks sebagai titik pusat
yang bersifat terbuka.27
Secara umum, dalam studi hermeneutika di Barat berkutat dalam dua hal, yaitu
problem pemahaman, seperti pada heremenutika teoritis, dan problem tindakan
memahami itu sendiri, seperti pada hermeneutika filosofis. Sementara tradisi
hermeneutika dalam studi al-Quran hanya berkutat pada problem pemahaman, yaitu
pemahaman yang bercorak objektif, seperti hermeneutika objektif atau hermeneutika
teoritis Fazlur Rahman; penafsiran yang bercorak subjektif seperti hermeneutika
pembebasan Farid Esack; dan pemahaman yang bercorak inklusif (teoritis) seperti
hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid. Belum ada penggunaan hermeneutika dalam
studi al-Quran yang mencoba menemukan kepentingan di balik tindakan
pemahaman itu sendiri. Ruang yang belum disentuh para pemikir inilah yang dapat
ditemukan pada hermeneutika negosiatif yang digagas oleh Khaled. 28
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemahaman Khaled terhadap teks
termasuk ayat al-Quran dengan menggunakan pendekatan Hermeneutika tidak hanya
bertujuan menemukan makna teks sebagaimana hermeneutika pada umumnya.
Tetapi juga bertujuan untuk mengungkapkan kepentingan penggagas atau pembaca
yang tersimpan di balik teks, dan menawarkan strategi pengendalian tindakan
Sebuah Pengantar M. Amin Abdullah dalam karya Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari
Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. ix.
27
Nasr Khamid Abu Zaid, al-Quran; Hermeneutika dan Kekuasaan, h. 75-80, Dikutip Aksin Wijaya,
Teori Interpretasi Ibnu Rusyd (Yogyakarta: LKiS, 2009), Cet. I, h. 41
28
Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta: LKiS, 2009),
Cet. I, h. 37-38
26
11
sewenang-wenang penggagas dan pembaca terhadap teks , pembaca lain, dan audiens
melalui konsep otoritas dan otoritarianismenya.29 Paling tidak ada empat hal yang
menjadikan hermeneutika Abou Fadl begitu penting,30 yaitu:
a. Pertama, dalam gelombang globalisasi yang membawa perubahan mendasar bagi
kemanusiaan, buku ini membangkitkan kesadaran perlunya pembaharuan pemikiran
dan hukum Islam yang selama ini diakui keberadaanya sangat strategis dalam
bangunan agama Islam. Hal ini dilakukan agar agama Islam tetap dapat bertahan
dan menjadi semakin dibutuhkan bagi pengembangan kemanusiaan yang lebih
beradab.
b. Kedua, terkait dengan yang pertama, maka buku ini memberikan panduan yang
sistematis untuk melakukan pembaharuan hukum Islam yang lebih universal,
berbasis moralitas dan kemanusiaan.
c. Ketiga, dalam tataran tertentu, buku ini telah berperan mengubah cara pandang
kaum muslimin terhadap posisi ulama yang otoriter (sewenang-wenang memberi
fatwa) dan yang otoritatif (yang berwenang memberi fatwa).
d. Keempat, buku ini melakukan pembelaan serius bahwa Islam sebagai agama telah
memberikan tanggung jawab dan penghargaan kemanusiaan yang besar. Kesalahan
lebih sering datang dari penganutnya atau orang-orang yang merasa sebagai
penjaga syariat, padahal malah menghancurkan syariat.
Pada sisi lain, Khaled menawarkan konsep hermeneutika yang bersifat inter dan
multidisipliner, lantaran melibatkan berbagai pendekatan. Di antaranya linguistik,
interpretive social science, literary criticism, selain ilmu-ilmu keislaman yang baku
mulai dari Mushthalah al-Hadis, Rijal al-Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir, Kalam,
yang kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer. Pemikiran yang diusung
oleh Khaled berupaya mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah
epistemologi dan sekaligus sebagai sebuah metode pilihan (a methodology of inquiry),
bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan otoriter. 31
29
Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta: LKiS, 2009),
Cet. I, h. 38
30
http://abuthalib.wordpress.com/2009/12/25/tuhan-milik-laki-laki/, diunduh pada tanggal 6 Februari
2010.
31
Sebuah Pengantar M. Amin Abdullah dalam karya Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari
Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. xvii
12
:3
:3
:
33
.
2) Tepuk Tangan menurut Fatwa CRLO
a) Fatwa Pertama:
:2
34
32
: 2
Merupakan lembaga resmi di Arab Saudi yang diberikan tugas untuk mengeluarkan fatwa. Dewan ini
berdiri sejak tahun 1971 yang saat ini diketuai oleh Mufti Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad
bin Abdul Lathif Alu Syaikh at-Tamimi (1943 M/1362 H) setelah wafatnya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin
Baz (w. 1999 M/1420 H). Situs resmi - http://www.alifta.net/
33
Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu
Syaikh, Juz 2, h. 318. Dalam: http://www.alifta.net/
34
Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, No. 1904, Dalam: http://www.alifta.net/
13
b) Fatwa Kedua:
: : :
:
.
.
: -
" :
35
c) Fatwa Ketiga:
:2
:2
:
: : .
36
Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu
Syaikh, No. 15956 Juz 19, h. 123. Dalam: http://www.alifta.net/
36
Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu
Syaikh, No. 7774, Juz 6, h. 311. Dalam: http://www.alifta.net/
14
Menurut Khaled, ayat ini tidak ada kaitannya sedikit pun dengan persoalan
tepuk tangan dan anggapan suara perempuan adalah aurat. Dari rangkaian
kalimatnya, ayat tersebut merujuk pada isteri-isteri nabi dan secraa eksplisit
menyatakan bahwa status mereka tidak sama dengan perempuan muslim
lainnya. Konsekuensinya adalah bahwa apa yang diperbolehkan bagi perempuan
muslim lainnya mungkin saja tidak diperbolehka bagi isteri-isteri Nabi. Lebih
jauh lagi, dari rangkaian kalimat ayat tersebut membedakan antara dua bentuk
ucapan, yaitu perkataan yang khudhu (lembut, menarik, baik, menggoda, dan
pasrah) dan perkataan yang wajar. Oleh karenanya, menurut Khaled, hal paling
jauh yang bisa kita kemukakan adalah bahwa ayat tersebut mengecam perkataan
yang bernadah pasrah dan menghargai perkataan yang wajar dan bermoral. 37
Khaled juga menekankan, sesungguhnya isteri-isteri Nabi agar tidak
berbicara dengan nada pasrah dan lembut, tetapi harus berbicara dengan nada
tegas dan bermoral. Menurut Khaled, ayat tersebut memiliki konteks kesejarahan
bahwa suku Badui yang baru memeluk Islam dengan tujuan untuk memenuhi
kepentingan mereka. Akhirnya, mereka mendekati Isteri-isteri Nabi dengan
berbagai macam tuntutan. Isteri-isteri Nabi adalah perempuan-perempuan yang
baik dan lembut, dan diriwayatkan bahwa tuntutan tersebut sudah tidak bisa
diterima akal sehat, hingga mencapai titik ketika para pemeluk baru tersebut
cenderung memanfaatkan kebaikan Isteri-isteri Nabi. Ayat tersebut diturunkan
untuk memerintahkan Isteri-isteri Nabi agar berbicara layknya perempuan yang
kuat dan bermoral, bukan perempuan yang hanya menuruti emosi. 38
2) Q.S. al-Ahzab Ayat 32 Menurut Khaled Abou el-Fadhl
Sehubungan dan fatwa-fatwa di atas, Khaled menggambarkan adanya
sebuah penggunaan bukti yang janggal yang dilakukan oleh para ahli hokum
CRLO. Persoalan dalam contoh ini bukan saja tentang pemaparan bukti yang
telah diseleksi terlebih dahulu, tetapi tentang pemilihan bukti yang berorientasi
hasil yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan persoalan yang sedang
dibahas. Seperti terlihat dalam persoalan ini bahwa terdapat tiga dalil yang telah
dikemukakan oleh para ahli hokum CRLO, yaitu Q.S. al-Ahzab ayat
sebagaimana yang telah dibahas di atas, serta satu hadis Nabi dan Q.S. al-Anfal
ayat 35. Hadis yang dimaksud ialah:
39
Dengan mengutip Hadis ini, para ahli hokum CRLO menyimpulkan dua
hal; Pertama, suara perempuan adalah aurat. Jika suara perempuan bukan aurat,
Nabi tentu tidak akan menyuruh perempuan untuk bertepuk tangan. Kesimpulan
kedua; orang-orang Islam secara umum tidak boleh mengungkapkan dukungan,
kebahagian, atau penghormatannya dengan cara bertepuk tangan. Tepuk tangan
menurut para ahli hukum CRLO diharamkan karena dipandang sebagai praktik
37
Khaled Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi,
2004), Cet. I, h. 275-276.
38
Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati, h. 276.
39
Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya al-turast al-Araby, tt), Juz I, h. 316.
15
Khaled Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi,
2004), Cet. I, h. 274.
41
Khaled Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati, h. 275.
16
Terkait surah al-Ahzab ayat 32, Ibnu Katsir menfasirkan bahwa ayat ini
merupakan adab yang diperintahkan Allah kepada para isteri Nabi serta isteri
umatnya yang mengikuti mereka. Allah berfirman kepada isteri-isteri Nabi,
bahwa jika mereka bertakwa kepada Allah sebagaimana yang Allah perintahkan
kepada mereka, maka mereka tidak dama dengan wanita lainnya.
) maka janganlah kamu tunduk dalam
Firman Allah (
berbicara. Al-Suddin dan selainnya berkata: yang dimaksud adalah
melembutkan kata-kata jika mereka berbicara dengan laki-laki. Untuk itu Allah
SWT berfirman; ( ) sehingga berkeinginanlah orang yang
ada penyakit dalam hatinya, yaitu niat buruk. ( ) dan ucapkanlah
perkataan yang baik, Ibnu Zaid berkata: kata-kata yang baik, bagus, dan
maruf dalam kebaikan. Makna hal ini adalah bahwa wanita berbicara kepada
kaum pria dengan kata-kata yang tidak mengandung kelembutan. Artinya,
janganlah seorang wanita berbicara dengan kaum pria seperti berbicara dengan
suaminya.42
2) Al-Qurthubi dalam Al-Jami li al-Ahkam al-Quran
42
43
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim (T.t.: Darr al-Thaibah, 1420 H/9111 M), Juz 6, h. 408
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Al-Jami li al-Ahkamil Quran (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I,
h. 177
17
Artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteriisteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Q.S. Al-Ahzab [33]: 53)
Permintaan atau pertanyaan dari para sahabat itu sudah tentu memerlukan
jawaban dari isteri-isteri Nabi (Ummahatul Mukminin). Mereka biasa memberi
fatwa kepada mereka dan meriwayatkan Hadis-hadis bagi yang ingin mengambil
Hadis mereka. Begitupun pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi Saw
dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu dan Nabi
pun tidak melarangnya. Selanjutnya, al-Quran juga menceritakan percakapan yang
terjadi antara Nabi Sulaiman a.s dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu
dengan kaumnya yang laki-laki.45
Sejalan dengan Khaled, Yusuf Qardhawi juga menegaskan bahwa yang
dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang
oleh al-Quran disitilahkan dengan al-Khudu (tunduk/lunak/memikat dalam
berbicara), sebagaimana yang disebutkan dalam surah al-Ahzab ayat 32 yang telah
disebutkan di atas. Ini bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita
dengan setiap laki-laki yang di isyartakan pada ujung ayat Q.S. al-Ahzab 32;
dan ucapkanlah perkataan yang baik.
Yusuf Qardhawi dan Asad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer terj. dari judul asli Hadyu al-Islam
Fatawy Muashirah (Jakarta: Gema Insani Pers: 1995), h. 352-353
45
Yusuf Qardhawi dan Asad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer, h. 353
44
18
E. Analisis
Menurut Kholid pada umumnya, paradigma hukum islam berhenti pada klaim
atas nama Tuhan. Artinya, setiap metedologi yang tersedia dalam hamparan khazanah
hukum islam senantiasa mencari justifikasi dan legitimasi dari klaim tersebut, bukannya
dalam kerangka memecahkan persoalan, melainkan mempertahankan pandangan semata.
Otoritas menjadi salah satu konsep penting dalam pemikiran Abou El-Fadl, terutama
terkait dengan diskursus hukum islam. Abou Fal menemukan adanya ketegangan yang
terdapat dalam tradisi penafsiran teks-teks keagamaan. Ketegangan itu terutama
menyangkut relsi antara otoritas teks dan kontruksi teks bersifat otoriter.
Sederhanya, Khaled menekankan pentingnya mengembalikan etos intelektual, etos
keilmuwan yang pernah ada dalam sejarah umat Islam di tengah ramai atau riuhnya
klaim (pengakuan) banyak orang yang merasa paling tahu dan paling benar mengenai
maksud Allah dan Nabi sampai-sampai mereka merasa sebagai satu-satunya orang yang
paling mewakili Allah dan Rasul, mereka lupa bahwa setiap orang diberikan mandat
menjadi wakil Allah (khalifah) di muka bumi.
Tampaknya pemikiran Abou el-Fadhl menganut paham relativitas. Bukan tanpa
alasan Abou El-Fadhl menganut pemikiran relativitas, sebaliknya pemikiran seperti ini
inspirasinya justru meminjam teorinya Amin Abdullah tentang perkembangan pemikiran
Islam yang selalu mendasarkan pada termuat dalam normativitas dan historisitas. Dan
yang terpenting adalah bahwa tawaran hermeneutika Abou El Fadl, yang digagas dari
paradigma hukum Islam dalam konstruksinya tentang hermeneutika tidak hanya aplikatif
dalam penafsiran al-Quran, tapi juga pada teks-teks Islam yang lain. Dengan kata lain,
Abou El-Fadhltelah mencoba melakukan rancang bangun hermeneutika yang dapat
menjadi prinsip-prinsip umum dalam menafsirkan teks-teks Islam (baik yang sakral
maupun yang profan).
SEKIAN
19
DAFTAR PUSTAKA
Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta:
LKiS, 2009)
Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Al-Jami li al-Ahkamil Quran (Jakarta: Pustaka Azzam,
2009)
Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts alIlmiyyah wa al-Ifta/Council for Scientific Research and Legal Opinions), Dalam:
http://www.alifta.net/
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim (T.t.: Darr al-Thaibah, 1420 H/1999 M)
Khaled M. Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritatif terj. R.
Cecep Lukman Y. dari judul asli Speaking in Gods Name; Islamic Law, Authority,
and Women (Jakarta: Serambi, 2004)
Mohammad Muslih, Book Review; Membongkar Logika Penafsir Agama (Vol. 5, No. 2,
Dhulqadah 1430)
Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya al-turast al-Araby, tt), Juz I, h. 316.
Nasrullah, Hermeneutika Otoritatif Khaled M. Abou el-Fadl: Metode Kritik atas
Penafsiran oritarianisme dalam Pemikiran Islam, Jurnal Hunafa, Vol. 5, No. 2,
Agustus 2008
Teresa Watanabe, Konsepsi jihad Khaled Medhiat Abou el-Fadl dalam Battling Islamic
Puritans (Los Angeles Times: 2 Januari 2002)
Tholchatul Choir, Ahwan Fanani (ed.), Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009)
Tuhan Milik Laki-laki, dalam http://abuthalib.wordpress.com/2009/12/25/tuhan-milik-lakilaki/, diunduh pada tanggal 6 Februari 2010.
Yusuf Qardhawi dan Asad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer terj. dari judul asli Hadyu alIslam Fatawy Muashirah (Jakarta: Gema Insani Pers: 1995)
20