Oleh :
PENDAHULUAN
dari Al-qur’an dan Hadist, Fatwa-fatwa keagamaan adalah hasil dari sari patih
absolud sama dengan posisi Al-qur’an dan Hadist sebagai sumber utama yang
paling utama. Oleh karna itu fatwa-fatwa keagamaan juga perlu pengkajian demi
Salah satunya adalah Khalid Abou El-fadhl yang mengkritisi fatwa agama
beberapa fatwa yang diterbitkan oleh Saudi-American Council for Research and
yang berkaitan dengan hukum misoginis, yang menurut Khaled umumnya bersifat
1
Fadhilah I. (2017), “Fatwa Kontroversial CRLO dalam Pandangan Khaled Abou El Fadl (Studi
Kritik Otoritarianisme Fiqh),” Jurnal IQTISAD.(4),2,112.
perempuan yang memakai bra, hukum tentang membatalkan shalat laki-laki,
hukum tentang laki-laki meminum air susu ibu istrinya, hukum tentang
perempuan di dalam kubur, hukum tentang melepas hijab bagi perempuan. karena
diperdebatkan dan final. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep pemikiran
penetapan fatwa-fatwa tersebut oleh Khaled adalah bukan dari sebuah hasil yang
final melainkan mungkin untuk dikaji kembali. Bahkan menurut Khaled, Urutan
tatanan hukum yang misoginis dan berbasis gender ini. Oleh karena itu, ketakutan
di zaman modern.3
2
Hakim, M. L. (2020). Hermeneutik-Negosiasi dalam Studi Fatwa-Fatwa Keagamaan: Analisis
Kritik terhadap Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl. istinbath, 19, 27-52.
3
Hakim, M. L. (2020). istinbath, 19, 27-52.
PEMBAHASAN
4
Qudsi, S. (2013). Perspektif Khaled Abou El-Fadl Dalam Membendung Otoritarianisme Tafsir
Keagamaan Melalui Hermeneutika Negosiatif. Religió Jurnal Studi Agama-
agama, 3(1). https://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/religio/article/view/464
sebagai penulis yang produktif, dan karya-karyanya tersebutlah yang membawa
namanya melambung tinggi dan diperhitungkan dalam blantika diskurus
intelektual, baik di Amerika maupun di dunia islam. Di antara karya-karyanya
meliputi ; Speaking in God’s law, And God Knows the Soldiers: the Authoritative
and Authoritarian in Islamic Discourse, The Authoritative and Authoritarian in
Islamic Discourses: A Contemporary Case Study, Islam and Challenge of
Democracy, The Place of Tolerance in Islam,Conference of Books: The Search
for Beauty in Islam. Karya-karyanya ini pada umumnya sudah banyak di terjemah
ke dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, tentu masih banyak lagi tulisan ilmiah
Khaled yang lain, baik dalam bantuk artikel maupun jurnal ilmiah.5
5
Raisul, R. (2015). Pemikiran Hukum Islam Khaled Abou El Fadl. Mazahib.
https://doi.org/10.21093/mj.v14i2.343
pembela ortodoksi dalam Islam. sekalipun mereka mengajarkan tentang kebenaran
yang bisa dicapai oleh siapa pun, kesetaraan dan keberagaman, mereka tidak
henti-hentinya memberikan peringatan terhadap bahaya bid'ah, fitan (kekacauan
dan perpecahan) dan ilmu kalam, mereka menekankan bahwa doktrin Islam
sebagian besar bersifat kesatuan. , lajang, terbukti dengan sendirinya. Gagasan
keterbukaan dan aksesibilitas terhadap kebenaran memang membanggakan,
namun hancurnya wibawa kekayaan spiritual Islam juga patut dikhawatirkan.
Berdasarkan kekhawatiran inilah yang nantinya akan menyebabkan munculnya
kesewenang-wenangan dalam hukum Islam. Sebagai pedoman keagamaan.
Hukum Islam telah mengalami trauma modernitas dan kolonialisme juga hal ini
turut berkontribusi pada sikap otoriter dalam menyikapi nash-nash yang otoritatif
atau biasa disebut otoritarianisme.6 Otoritarianisme adalah tindakan mengunci
kehendak Tuhan atau kehendak teks ke dalam suatu keputusan tertentu dan
kemudian menyampaikan keputusan yang pasti, tanpa syarat dan tegas.7
Menurut Khaled, aktivitas seperti ini lumrah terjadi di masyarakat Islam
saat ini, dimana para ahli hukum telah memberikan tafsir yang otoritatif terhadap
teks Al-Qur'an dan hadis kenabian. Pasalnya, menurut penelitian Khaled, hal
tersebut sudah terjadi sejak tahun 1975. Menurutnya, umat beragama tidak lagi
berbicara tentang Tuhan, melainkan berbicara atas nama Tuhan atau bahkan
sebagai juru bicara Tuhan sendiri. Oleh karena itu, mungkin saja terjadi hubungan
yang sangat berbahaya antara agama dan kekuasaan ketika pengakuan absolut
bercampur dengan kekuasaan despotik.8
Khaled kemudian menawarkan solusi atas kekhawatirannya terhadap fatwa
agama dalam bentuk hermeneutika yang otoritatif. Menurutnya, alat hermeneutika
merupakan solusi atas fenomena otoritarianisme dalam pemikiran Islam. 9 Dan
merupakan prosedur metodologis yang berkaitan dengan hubungan antara tiga
faktor, teks dan pembaca. Pendekatan ini digunakan untuk menemukan hubungan
6
Majid A., (2013) “Hermeneutika Hadis Gender (Studi Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl dalam
Buku Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority, And Women)”, Jurnal Al-Ulum, (13) 2,
295.
7
Raisul, R. (2015). Mazahib. https://doi.org/10.21093/mj.v14i2.343
8
Sofyan, M. (2015). Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl. KALAM, 9(2), 373-
392. http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
9
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
nyata antara teks atau teks, pengarang atau pengarang dan pembaca. Oleh karena
itu, Khaled menciptakan konsep baru terkait teks tersebut, pengarang dan
pembaca sebagaimana berikut :
1. Al-Qur’an dan Hadist adalah teks terbuka
Walaupun Al-Qur'an dan Hadits berbeda secara hierarki, namun harus
tetap diperlakukan sama. Dalam hal ini, meminjam istilah Umberto Eco,
kedua karya tersebut terus mengalami perubahan. Dalam artian keduanya
terbuka terhadap penafsiran yang berbeda. Pendapat seperti itu membuat teks
berbicara dengan suara yang diperbarui oleh setiap generasi pembaca, karena
maknanya tidak konstan dan dapat berkembang secara aktif. Oleh karena itu,
teks tetap penting dan sentral dalam transparansinya. Itu sebabnya pembaca
selalu mengacu pada teks, karena teks dapat menimbulkan pemahaman dan
penafsiran baru.10
Dalam analisisnya, hal itu dibenarkan secara moral. Menurutnya, jika
teks Al-Quran dan Hadits dimaknai dengan makna yang tetap, dan tidak
berubah, maka akibatnya teks tersebut menutup dan menyegel maknanya
dengan penafsiran pembaca. Hal tersebut tidak dapat dibenarkan secara moral
karena merupakan bentuk kesombongan. Karena diyakini pembaca
mempunyai ilmu yang identik dengan ilmu Tuhan. Seolah-olah ia
mengatakan bahwa penafsirannya identik dengan makna teks yang
sebenarnya. Hal ini berujung pada hilangnya otonomi eksperimen dan
bermasalah secara teologis karena bertentangan dengan kemutlakan ilmu
Tuhan. Pada saat yang sama, Al-Qur'an dengan tegas menyatakan kemutlakan
Tuhan dan ilmu-Nya, yang tidak dapat dijelaskan oleh ilmu siapa pun.11
2. Pembaca dan lima persyaratannya
Meski Khaled menganggap Al-Qur'an sebagai teks yang bebas,
terbuka, dan otonom, namun Khaled tetap merasa perlu membatasi
kewibawaan pembacanya dengan lima syarat. Kelima syarat tersebut
diantaranya adalah:12
10
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
11
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
12
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
a. Kejujuran, dimana ahli hukum tidak boleh berpura-pura memahami apa
yang sebenarnya tidak diketahui dan jujur mengenai sejauh mana ilmunya
dan kemampuannya dalam memahami perintah-perintah Allah.
b. Ikhlas, dimana seorang ahli hukum harus memaksimalkan
kemampuannya, ia harus jujur menyatakan bahwa ia telah berusaha sekuat
tenaga mencari dan memahami segala petunjuk yang ada, serta harus siap
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan di akhirat.
c. Kemenyeluruhan, para ahli hukum berusaha menyelidiki secara
menyeluruh perintah-perintah Allah dan mempertimbangkan semua
perintah yang relevan, terus-menerus berusaha menemukan semua
perintah yang relevan dan tidak meninggalkan tugasnya untuk menyelidiki
atau menemukan bukti-bukti nyata.
d. Rasionalitas, ahli hukum melakukan upaya interpretasi dengan
menganalisis secara rasional perintah-perintah Allah.
e. Pengendalian diri, seorang ahli hukum harus menunjukkan kerendahan
hati dan pengendalian diri yang baik dalam menjelaskan kehendak Tuhan.
3. Negosiasi antara Teks, Pengarang dan Pembaca
Pemahaman terhadap teks Al-Qur'an, Hadits dan syarat-syarat pembaca
di atas merupakan pemahaman yang dengannya makna dinegosiasikan antara
pembaca dan teks yang akan ditafsirkan. Latar belakang sosio-historis Al-
Quran ditekankan dalam proses negosiasi. Khaled berpendapat bahwa wahyu
selalu dimediasi oleh keadaan sejarah yang ada.
Menurut Khaled, inti petunjuk Al-Qur'an bisa dilihat dari konteks
sejarah. Oleh karena itu, ia menitikberatkan pada konteks sosio-historis yang
dijadikan makna dan pedoman dalam interpretasi Al-Qur'an. 13
Selain itu, pendekatan metodologis yang dipilih Khaled untuk
menganalisis persoalan otoritas adalah dengan menerima tradisi hukum sebagai
komunitas makna yang bermakna dan bertindak secara normatif dalam tradisi
tersebut. Tradisi hukum dan pengertiannya mengenai kewenangan merupakan
pembahasan terfokus mengenai pengertian kewenangan. Menurut Khaled,
13
Sofyan, M. (2015). KALAM, 9(2), 373-392.http://dx.doi.org/10.24042/klm.v9i2.337
otoritarianisme mengacu pada metodologi hermeneutik yang merampas dan
menundukkan mekanisme pencarian makna dalam sebuah teks pada pembacaan
yang sangat subyektif dan selektif. Subyektivitas selektif hermeneutika otoritatif
melibatkan penyamaan tujuan penulis dengan tujuan pembaca,
mempertimbangkan tujuan teks dan otonomi teks sekunder.
Dengan demikian, menurut Khaled, konsep otoritarianisme adalah suatu
tindakan yang mana kehendak Tuhan atau kehendak teks dikunci atau dibatasi
oleh suatu definisi tertentu dan kemudian ketetapan tersebut disajikan sebagai
sesuatu yang pasti, mutlak dan tegas. Otoritarianisme adalah suatu tindakan yang
melampaui wewenang atau wewenang delegasi sedemikian rupa sehingga
merusak atau merampas wewenang delegasi. Menurutnya, metode penafsiran
yang otoritatif melemahkan integritas teks Islam dan dapat melemahkan kegunaan
dan kekuatan dinamis hukum Islam. Jadi, dengan mengidentifikasi anatomi
wacana otoritatif, Khaled menawarkan alternatif untuk mempertahankan otoritas
teks dan membatasi kepenulisan pembaca.14
Secara aplikatif, spirit hermeneutika yang dikampanyekan Khaled di atas
dapat dilihat dari penafsirannya mengenai makna qawwamun dalam Surat An-
Nisa’ ayat 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل هللا بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم
Artinya; “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.
Menurut Khaled, kata qawwamun memiliki terjemahan yang berbeda-beda
tergantung bagaimana kata tersebut dipahami dan ditafsirkan. Kata tersebut bisa
berarti “pelindung, pendukung, penguasa atau pelayan” dalam semuanya, namun
intinya ayat tersebut tidak mendefinisikan hubungan antara laki-laki dan
perempuan secara mutlak dan mandiri. Sebaliknya, menurut Khaled, ayat tersebut
dengan jelas menyatakan bahwa apapun statusnya – sebagai pelindung atau
14
Qudsi, S. (2013). Perspektif Khaled Abou El-Fadl Dalam Membendung Otoritarianisme Tafsir
Keagamaan Melalui Hermeneutika Negosiatif. Religió Jurnal Studi Agama-
agama, 3(1). https://jurnalfuf.uinsby.ac.id/index.php/religio/article/view/464
pendukung –, itu adalah status yang bergantung pada perbuatannya (yaitu “sesuai
dengan kekayaan yang diberikan kepada orang lain”). dan bergantung pada status
Tuhan. tindakan (yaitu manfaat yang Tuhan berikan kepada orang lain).15
Lebih lanjut, kata fadhdhola dengan berbagai turunannya dalam Al-Qur'an
berarti suatu anugerah atau keutamaan dan anugerah ruhani yang diberikan oleh
Allah baik sebagai pahala atas amal shaleh maupun sebagai rahmat. Jika anda
mempelajari lima puluh ayat Al-Qur’an yang menggunakan kosakata fadhl, anda
akan menemukan fakta yang jelas bahwa pahala dan rahmat Allah dapat
diperoleh oleh semua orang yang mencarinya. Dengan pemahaman ini kita dapat
memahami bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berhak menerima rahmat
dan pahala dari Tuhan. Kewenangan yang diberikan kepada laki-laki atas
perempuan bukan karena mereka laki-laki, tetapi karena laki-laki mendukung
perempuan secara finansial pada masa sejarah tertentu. Namun, jika keadaan
berubah dan perempuan mempunyai tanggung jawab keuangan yang sama dengan
laki-laki, maka kekuasaan harus dibagi secara merata di antara keduanya.16
BAB III
PEMUTUP
A. Kesimpulan
Pemikirannya mengenai fatwa-fatwa keagamaan, Khaled Abou El-Fadhl
sendiri mengkaji ulang suatu penetapan hukum islam yang dianggapnya
mendiskriminasi kaum wanita dan juga ia mencoba merumuskan hukum islam
dengan pengkajian menggunakan metode ulama klasik dan menggunakan
pendekatan Hermeneutik Otoritatif.
15
Khaled, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Terj. Helmi Mustofa, (Jakarta: Serambi,
2006),320-321
16
Khaled, (Jakarta: Serambi, 2006),320-321
Hukum Islam telah mengalami trauma modernitas dan kolonialisme dan
hal ini turut berkontribusi terhadap sikap otoriter dalam menyikapi nash-nash
yang otoritatif atau biasa disebut dengan otoritarianisme. Otoritarianisme adalah
tindakan mengunci kehendak Tuhan atau kehendak teks ke dalam suatu keputusan
tertentu dan kemudian menyampaikan keputusan yang pasti, tanpa syarat dan
tegas.
Sehingga hukum yang dihasilkan menurut Khaled akan berdampak cacat
dalam pengamalannya dan juga akan memicu terjadinya sikap yang otoriter, maka
hukum islam bukanlah sebagai menjawab dari persalahan yang terjadi akan tetapi
akan menimbulkan permasalahan yang baru.
Oleh karena itu, Khaled memunculkan sebuah penawaran dalam
merekontruksi hukum islam yang nantinya akan diangkat sebagai fatwa-fatwa
keagamaan dengan tetap menggunakan metode klasik yang dipadukan dengan
pendekatan Hermeneutik.
DAFTAR PUSTAKA
Khaled, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Terj. Helmi Mustofa, (Jakarta:
Serambi, 2006),320-321
Majid A., (2013) “Hermeneutika Hadis Gender (Studi Pemikiran Khaled M. Abou
El Fadl dalam Buku Speaking in God’s Name; Islamic Law, Authority,
And Women)”, Jurnal Al-Ulum, (13) 2, 295.