Anda di halaman 1dari 13

ISLAM PURITAN DAN MODERAT

SEBAGAI REALITAS SOSIAL AGAMA


(kajian pemikiran Khaleed Abou El-Fadhl)
Oleh : Achmad Faqih
FO: 15.09.03

I. Pendahuluan
Islam, sebagaimana ditandaskan oleh Kuntowijoyo, adalah agama yang
humanis. Paham humanisme memosisikan manusia sebagai prima causa
(anthropocentric) untuk menentukan segenap tingkah laku dan interaksinya dengan
yang lain secara bertanggung jawab dan manusiawi. Karenanya, nilai moralitas
merupakan aspek fundamental humanisme dan merupakan basisi pertanggunjawaban
kemanusiaan. Paham itu, menurut Bambang Sugiharto, dapat menjaga kultur dan
religi tetap “beradab” 1Islam, menurut Khaleed Abou El-Fadhl adalah pesan universal
yang tidak saja berbicara tentang kemanusiaan, tetapi juga harus mengungkap
bagaimana mengkonstruk jalan menggapai humanisme dengan panduan nilai moral
Islam.2
Kenyataannya, humanisme tidak popular bagi sebagian kelompok umat Islam.
Dengan pola keberagamaan yang bersifat teosentris, mereka mengabsahkan
keberingasan ekstrimisme dan radikalisme, baik kepada the other atau kepada saudara
seagama yang berbeda pola interpretasi. Di antara contoh-contohnya antara lain :
peristiwa 11 September, serangkaian bom bunuh diri yang membunuh masyarakat
sipil, pendegradasian perempuan oleh Taliban khususnya, teknis hukuman syari`ah
yang tidak manusiawi.
Adalah Khaleed Abou El-Fadhl di antara sekian sosok yang gelisah dengan
realitas yang mencoreng dan mendegradasikan Islam sebagai rahmatan li al-Alamin
tersebut. Persepsi dan pencitraan yang berkembangan di kalangan non muslim adalah
bahwa Islam tidak humanis atau bukan agama yang humanis 3. Pencitraan tersebut
sebenarnya hanya tepat tertuju pada minoritas umat Islam yang teraleanasi, yang oleh
Khaleed disebut “kaum puritan”. Kaum puritan adalah kaum yang pola
keberagamaannya tidak peka terhadap realitas kemanusiaan yang mengitari mereka,
reaksioner, apologetis, dan keberagamaan mereka lebih merupakan ketundukan
“buta” terhadap seperangkat perintah dan larangan baku yang diklaim autentik
bersumber dari Tuhan dengan menafikan perspektif kesejarahan.
Kajian terhadap kelompok puritan sering kali lebih diorientasikan pada aspek
pandangan teologis dan ideologis mereka. Berbeda dengan hal tersebut, tulisan ini
akan lebih banyak menguak tentang basis epistemologis keberagamaan kelompok
puritan. Justifikasi-justifikasi kaum puritan terhadap tindakan ekstrem mereka,
sebagaimana dikupask dalam karya-karya Khaleed Abou El-Fadhl, akan
direkonstruksi dalam bentuk bangunan epistemologi keagamaan mereka. Pembahasan
tentang kaum puritan tersebut secara tidak langsung juga menjelaskan model
keberagamaan kaum modernis yang memang bersifat diametral dengan kaum puritan.
Tragedi 11 September ternyata yang paling menarik perhatian para intelektual
entah dari kalangan Muslim maupun non Muslim. Banyak tulisan tersebar yang
mengcam tragedi itu dan menganalisis dampak-dampak yang tidak diinginkan bagi
komunitas Muslim minoritas yang tinggal di Barat. Salah satu buku yang diterbitkan
dalam semangat itu adalah kumpulan tulisan yang diedit oleh Ian Markham dan
Ibrahim M.Abu-Rabi’.4 Lebih dari itu, hampir semua intelektual Muslim yang ada di
Barat berupaya meolak penggambaran wajah buram Islam dan berupaya
1
Sebagaimana dikutip oleh Abdullah Hadziq dalam rekonsiliasi psikologi sufistik dan humanistic,
(Semarang =: Rasali. 2005)hlm.45.
2
Khaleed Abou El-Fadhl, Khaleed Abou el-Fadhl Replies,dalam http:/Bostonreview.net/nff.html
3
Khaleed Abou el-Fadhl, The Human Rights and Responsibilities in the World Religious, hlm. 302

1
menyebarkan Islam sebagai agama yang menekankan prinsip kasih sayang, keadilan,
demokrasi dan kesetaraan, seperti Ebrahim Moosa, Aminah Wadud Mushsin, 5 Fathi
Osman, dan sebagainya.
Tokoh yang juga ikut menyuarakan keindahan Islam dan menentang dengan
sengit segala bentuk radikalisme, ekstermisme, dan terorisme atas nama Islam adalah
Khaleed M.Khaleed Abou El-Fadhl. Ia menyuarakan itu dalam berbagai tulisan yang
tersebar luas, entah dalam bentuk bukum jurnal, maupun artikel-artikel lepas di
berbagai surat kabar di Amerika. Tulisan ini berupaya memotret pikirannya dengan
menggunakan kerangka pikir epistemologis dan sosiologi pengetahuan.

II. Khaleed Abou Fadhl; dari Tradisional menuju Progresif


Dalam kaitan dengan biografi tokoh ini, penulis memetakkan ke dalam dua
tahap perkembangan, yaitu fase ketika ia masih dipengaruhi oleh nilai-nilai
tradisional Islam, dan fase ketika ia berkenalan dengan nilai-nilai liberal Islam. Fase
pertama dimulai pertama kali ketika ia masih berusia puluhan tahun di wilayahnya
sendiri. Khaleed, yang dilahirkan di Kuwait pada 1963, memang tumbuh di kalangan
Islam tradisional-konservatif, meskipun keluarganya termasuk yang berpikiran relatif
maju. Ia besar di sebuah lingkungan yang sarat dengan mimpi tentang kebangkitan
peradaban Islam - sebuah peradaban yang menjadi menara kebabasan, keadilan dan
kemuliaan, dengan membangkitkan kembali pada kejayaan dan keindahan
pengalaman Nabi di Madinah.6
Tradisionalisme-konservativ Khaleed itu sedikit banyak dipengaruhi oleh
persentuhan intelektualnya dengan guru-guru awal yang konservatif dan bacaan-
bacaan yang dianggap “Tradisional”. Khaleed sendiri mengakui bahwa ia diharuskan
membaca buku koleksi hadis yang berjudul Riyâd al-Shâlihîn karya al-Nawawi dan
Sirah al-Shahâbah yang keduanya merupakan rujukan majelis pengajian tradisional.
Ia juga diharuskan menguasai secara utuh kedua buku itu dan dilarang pindah ke
buku-buku lain, apalagi yang kontroversial, karena kekhawatiran adanya pikiran-
pikiran yang bisa mencemarinya.
Ternyata, apa yang dipelajari oleh Khaleed tidak terhenti pada batas
pengkajian saja, namun harus didakwahkan kepada orang lain. Dalam hal ini,
Khaleed memiliki sikap puritan dalam menyebarkan faham-faham tradisional itu,
bahkan terhadap keluarganya sendiri. Ia menciptakan polarisasi We (nahnu) dan the
other (minhum). Meniru perilaku the other dianggap keluar dari identities keislaman
yang sejati. Sikap keras itu jelas adalah buah dari didikan doktriner dari guru-guru
awalnya yang konservatif. Hal itu berlangsung hingga usia remaja, yang secara
physikologis, merupakan usia-usia yang penuh semangat dan agresif.
Kemudian Khaleed memasuki fase kedua, yaitu fase progresifisme-moderat.
Pada fase tersebut, pikiran-pikirannya mulai mengalami perubahan seratus delapan
puluh derajat dari sebelumnya. Fase itu ditandai dengan pikiran-pikiran yang lebih
mengutamakan substansi ketimbang isi, lebih mengedapankan pendekatan historis-
hermeneutis dalam memahami teks ketimbang pendekatan literal, dan
mempromosikan nilai-nilai moral universal yang indah seperti keadilan, kesetaraan
dan kasih sayang.
Kapan terjadi perubahan yang drastis pada diri Khaleed itu ? Tepatnya ketika
ia mulai bersentuhan dengan pikiran-pikiran moderat. Sentuhan pertama ketika

4
Lihat Ian Markham dan Ibrahim M.Abu-Rabi’, 11 September Religious Perspectives on the causes
and consequences. (Oxford:Oneworld, 2002)
5
Lihat Amina Wadud Muhsin, Inside Gender Jihad:Women’s Reform in Islam,
(Oxford:Oneworld,2006)
6
Khaleed Abou al-Fadhl, Melawan Tentara Tuhan; Yang Berwenang dan Yang Sewenang-wenag
dalam Wacana Isla, iTerj. Kurniawan Abdullah, (Jakarta: Serambi, 2003) hlm. 18

2
ayahnya membuat semacam perjanjian dengan Khaleed bahwa ia akan mengikuti
Khaleed jika ia tidak berubah ketika mengaji dengan seorang guru yang dikenal
moderat, toleran dan terbuka, serta berpengetahuan luas. Ternyata akibat persentuhan
intelektual itu, Khaleed menemukan suatu pencerahan baru yang menjadi titik balik
baru bagi sikapnya kemudian, yaitu menjadi seorang yang berpikiran terbuka dan
toleran, yang merupakan kebalikan dari sikap sebelumnya. Kata Khaleed:
“Pengetahuan agama saya ternyata sedikit sekali sekali dibanding dengan
pengetahuannya dan pengetahuan murid-murid lain yang sudah lama belajar
padanya. Kalau saya mengajian satu ayat al-Qur’an atau sebuah hadis untuk
mendukung argumentasi saya, ia membalasnya dengan 10 atau 20 ayat al-
Qur’an dan hadis Nabi, yang cukup menggoyahkan apa yang selama itu saya
anggap benar.”
Sentuhan berikutnya adalah ketika ia mereguk pengetahuan di Mesir dan juga
di Negara Barat. Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam pemikiran semakin
berkembang ketika menetap di negeri Piramida itu. Di Mesir, ruang tidak terlalu
sesak seperti yang dialaminya di Kuwait. Menurutnya, sebuah sistem kekuasaan yang
represif dan otoriter tidak akan pernah melahirkan kemajuan berfikir atau pencerahan
intelektual bagi masyarakatnya. Maklum, di Kuwait, Wahabisme menjadi mazhab
Negara dan telah menyortir semua bacaan yang harus dibaca oleh masyarakat.
Penguasa yang memiliki kepentingan dengan ideologi Wahabi menetapkan mana
bacaan yang sehat dan tidak sehat untuk masyarakat. Dengan bacaan yang luas
mengenai tradisi Islam dan dukungan keluarga, Khaleed mulai menyadari adanya
kontradiksi dan persoalan akut di dalam konstruksi ideologis dan pemikiran kaum
Wahabi. Klaim mereka atas banyak masalah justru bertentangan dengan semangat
ulama masa lalu dalam memandang agama Islam.
Di Barat, ia menimba ilmu di berbagai universitas Barat seperti Yale
University (B.A). Namun, bayang-bayang puritanisme tidak pernah pupus dari
ingatannya. Kemudian, pada tahun 1986 ia melanjutkan studi di Unviersity of
Pennsylvania Law School (J.D), dan lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1999, ia
melanjutkan studi di Princeton University untuk meraih gelar master dalam bidang
Islamic Studies dan pada saat yang bersamaan, ia juga mengambil studi hukum di
UCLA. Ia juga memperoleh gelar doctor di Princeton University.
Setelah itu, sebagai seorang akademisi, ia mengajar di berbagai universitas di
Amerika, misalnya, menjadi professor tamu di Yale Law School mengajar National
Security Immigration and Islamic law, Profesor penuh di the UCLA School of Law
mengajar hukum Islam, imigrasi, hak asasi manusia, hukum keamanan nasional dan
internasional, serta professor hukum di the University of Texas at Austin Law School,
Yale Law School dan Princeton University.
Sebagai seorang aktivis, ia menjadi juru bicara yang aktif tentang Islam di
Barat terutama yang terkait isu-isu terorisme, otoritas, toleransi dan hukum Islam,
terlebih lagi ketika terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan dunia, yaitu pemboman
gedung WTC pada tanggal 11 September 2001.Dan berbagai buku dan junal yang ia
tulis sebagian besar adalah setelah tragedi 11 September itu, yang mengecam keras
berbagai aksi terorisme , radikalisme, absolutisme yang muncul dari gerakan-gerakan
puritanisme yang menurut Khaleed, dalam jangkauan yang luas dipengaruhi teologi
Wahabisme. Itu tidak berarti bahwa, sebelum tragedi 11 September, ia tidak memiliki
kepekaan terhadap isu-isu itu. Namun dari hampir semua tulisan yang ia tulis berisi
tentang kecamannya terhadap gerakan puritan beserta pendekatan dan
pemahamannya terhadap Islam yang sangat liberal dan terbatas.
Dengan kata lain, konteks histories di balik berbagai pandangannya adalah
pengalamannya yang tidak menguntungkan dengan berbagai tindakan puritanisme
beserta tafsiran-tafsiran puritan yang hanya mencoreng wajah Islam yang indah, dan
itu menjadi bumerang buat Islam dan masyarakat Muslim. Dengan kata lain, aksi

3
terorisme atas nama Islam hanya menjadi bencana bagi umat Islam itu sendiri. Dan
itu secara psikologis mempengaruhi komunitas Muslim minoritas yang berada di
Barat.

III. Tipologi Moderat dan Puritan


1. Akar Puritanisme

Konsep “puritan “ dalam kamus Khaleed Abou El-Fadhl merupakan lawan


konsep “modern”. Pemakaian istilah tersebut untuk melabeli kaum yang radikal dan
ekstrem berbaju agama, menurutunya lebih tepat daripada istilah fundamentalis,
militant ekstrimis, radikal, fanatic, jahidis, ataupun islamis 7 Hal itu sebagaimana
istlah kelompok “moderat” penggunaannya lebih tepat daripada istilah kelompok
“modernis”, “progresif” dan “reformis”8 Kelompok Moderat menurut Khaleed dapat
ditelusuri dalam tradisi Islam sebagaimana Nabi saw menyukai jalan tengah 9 dan
merepresentasikan seorang yang moderat yang enggan terjatuh ke dalam dua titik
yang ekstrem10
Ada perdebatan mengenai istilah yang tepat yang bisa digunakan untuk
mencirikan gerakan-gerakan agama yang menyeru kepada dasar-dasar
fundamentalisme Islam. Sebagian ilmuwan menggunakan istilah “fundamentalisme
Islam” dengan alasan bahwa ia merupakan kelompok radikal yang menggunakan
agama sebagai simbol perjuangan menolak nilai-nilai Barat, sekularisme, dan
imperialisme. Apa yang mengejutkan mengenai itu adalah penolakannya terhadap apa
yang umumnya dianggap sebagai modern pada abad ke-20 ; sekularisme, demokrasi,
dan bahkan nasionalisme.
Esposito menjauhi penggunaan istilah itu karena menyesatkan 11 Munculnya
gerakan-gerakan Islam, menurutnya merupakan sebuah fenomena siklikal, yang
terjadi di sepanjang sejarah Islam. Namun Esposito lebih suka menggunakan istilah
“Islamisme” atau “Islam Politik” dan penamaan itu didukung pula oleh Bobby
Sayyid.12 Sebaliknya sebagian ilmuan malah menyebut gerakan itu sebagai
“revivalisme Islam” atau “kebangkitan Islam”13
Khaleed cenderung menggunakan istilah puritan untuk menggambarkan
gerakan di atas. Alasannya, menurut Khaleed, ciri khas pemikiran mereka itu
7
Istilah fundamentalis menimbulkan kerancuan karena semua kelompok dalam Islam tentu mengkalim
dirinya melaksanakan ajaran-ajaran fundamental Islam. Terma “militant” jga tidak selalu benar, karena
bersikap militant dalam kondisi tertentu diperbolehkan, bahkan oleh agama apa pun. Istilah ekstrimis,
radikal dan fanatic juga tidak bisa menggambarkan kelompokk yang dikupas Abou El-Fadhl dalam
buku-bukunya karena mereka ternyata tidak selalu ekstrem, radik dan fanatic dalam segala hal. Mereka
selalu absolutis, yakni menuntut kepastian dalam menafsir teks. Penggunaan istilah jahidis juga
merancukan pemahaman keunikan dan partikularitas orientasi kaum purita. Istilah Islamis mengacu
pada kelompok yang berorientasi pada Islam politik yang dicitrakan Barat sebagai berbahaya bagi
kelangsungan masyarakat yang beradab dan demokratis. Secara umum, Islamis memang kaum
muslimin yang meyakini bahwa teologi dan hukum Islam seharusnya menjadi kerangka acuan
otoritatif dalam setiap kondisi sosial dan politik. Akan tetapi, tidak berarti mereka selalu berkeyakinan
akan adanya fakeharusan Negara teokrasi yang memaksakan keberlakuan hukum Islam secara keras
dan literal. Abou El-FAdhl, Selamatkan Islam dari Muslim puritan, terj. Helmi Mustofa. (Jakarta:
Serambi, 2006) hlm. 29-32
8
Terma modernis lebih mengacu pada kelompok yang mencoba mengatasi tantangan modernitas dan
tentu semua kelompok dalam Islam bekerja dalam kerangka itu dengan metode dan pemhaman masig-
masing. Sementara istilah progresivitas dan reformisme lebih tepat mengacu pada kelompok elit dalam
Islam. Akan tetapi “moderasi” merepresentasikan kelompok mayoritas dalam Islam. Ibid, hlm 29
9
Suatu konsep yang terambil dari perintah mengambil jalan tengan (wasaton)
10
Ibid, hlm 27
11
John L.Esposito, Islam ; the Sraight Path, (Mew York and Oxford; Oxford University Press, 1988)
12
Bobby s.Sayyid, A Fundamental fear; Eurocentrisme and the Emergence of Islamism, (London and
New York; Zed Books.1997)
13
Jamse P.Piscatory, The Natural of the Islmaic Revival” dalam Islam in a world of nation states,(New
York; Cambridge University Press.1986)

4
menganut absolutisme dan menuntut adanya kejelasan dalam menafsir teks, bukan
watak fanatik, radikal atau ekstremis.14 Gerakan yang disebut puritan itu, menurut
Khaleed, bisa dilacak konteks historisnya pada 1970an, 15 yang dalam tahun itu, umat
Islam menyaksikan kebangkitan Islam yang mengambil bentuk gerakan puritan
berorientasi-kekuasaan yang menyerukan kembali kepada identitas Islam otentik
melalui penerapan syari’at Islam. Seruan-seruan itu merupakan tema-tema umum
yang terjadi setiap saat pada era kolonial.
Kelompok puritan, menurut Khaleed Abou El-Fadhl, bukanlah kelompok
yang mempunyai madzhab pemikiran yang terstruktur (structured school of thought),
tetapi lebih merupakan orientasi teologis dan ideologi. 16 Walaupun begitu, ideologi
dan epistemologi adalah dua hal yang saling mengandalkan. Dalam setiap ideologi
terdaoat sisi-sisi epistemologis, sebaliknya dalam epistemologi juga terdapat sisi-sisi
ideologis yang sering kali tidak terungkap secara eksplisit.17
Puritanisme melawan era modern dengan berlindung pada literalisme yang
ketat, yang dalam payung itu teks menjadi satu-satunya sumber legitimasi. Ia
mencoba kembali kepada masa keemasan Islam yang lurus dan sederhana, yang itu
bisa diperoleh hanya dengan kembali kepada penerapan literal terhadap perintah-
perintah dan sunnah Nabi, serta pelaksanaan yang ketat terhadap praktik-praktik
ritual. Orientasi puritan juga menganggap bentuk pemikiran moral yang tidak
sepenuhnya bergantung pada teks sebagai bentuk pemberhalaan diri dan menganggap
wilayah-wilayah pengetahuan humanistik, seperti teori sosial, filsafat, atau pemikiran
spekulatif lainnya, sebagai “ilmu setan”18 Ia juga menolak segala upaya untuk
menafsirkan hukum Tuhan dari perspektif histories dan kontekstual, dan malah,
menganggap mayoritas sejarah Islam sebagai bentuk perusakan atau penyimpangan
dari Islam yang otentik. Hermeneutika dialektis dan tidak terbatas terhadap ilmu fikih
klasik dianggap sebagai pengotoran terhadap iman dan shari’ah19
14
Khaleed Abou el-Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustafa, Edisi I,
(Jakarta: Serambi; 2007) hlm. 30-31
15
Sebelumnya benih-benih awal gerakan yang berorientasi puritan dapat dilacak pula akarnya pada
golongan Khawarif, bekas pengikut ‘Ali bin Abî Tâlib, yang pada abad pertama Islam telah banyak
membunuh orang Islam dan non Muslim dan bertanggung jawab dalam menghabisi nyawa ‘Ali bin
Abî bin Tâlib sendiri. Setelah terlibat dalam pertumpahan darah yang panjang dan sia-sia, sisa-sisa
kaum khawarij masih dijumpai sedikit di Oman dan al-Jazair, tetapi mereka sudah berubah menjadi
moderat, bahkan pasifis (suka damai), lihat Khaleed Abou el-Fadhl, The Place of Tolenrance in Islam.
(Boston: Beacon Press. 2002) hlm. 6
16
Abou El-Fadl, Islam and The Theology of Power, dalam
(http://www.islamfortoday.com/elfad01.htm, diakses 14 nop 2007). Ideologi adalah instrument sosial
politik yang digunakan untuk menentukan dan mengarahkan perilaku public. Konfrontasi dua ideologi
yang bertentangan akan mengarahkan pada penafsiran dunia yang terbagi dalam dua kutub ideologis.
Lihat, Valla Vakili. Abdul Karim Soroush dan Diskursus Kritik di Iran” dalam John Esposito dan John
O. Ovoll. Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer. Terj.. Sugeng Hariyanto et. Al. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada.2002) hlm. 19. Abou El-Fadhl menyatakan bahwa pemahaman keagamaan kelompok
puritan bukan bagian dari warisan tradisi Islam. Mereka lebih merefleksikan sebagai sebuah ideology
Nasional anti kolonialisme Barat dalam berbagai bentuknya. Karenanya, mereka mengekspresikan
gerakan-gerakan mereka sebagai hizb (partai) tahrir (pembebasan), taqrir al-masir (self-
determination), harakah (movement), al-kawadir al-fa`alah (kader yang aktif) atau harb muqaddasa
(perjuangan suci). Hal itu merupakan ekspresi-ekspresi yang diimpor dari perjuangan Nasional
melawan kolonialisme. Lihat Abou El Fadhl. Terrorism Is At Odds With Islamic Tradition. Dalam
http://www.muslimlawyers.net/news/index.php3?aktion=show&number=78, akses 27 Nop 07.
17
Al-Jabiri, Al-Khitab al-`Arabi al-Mu`ashir:Dirasah tahliliyah Naqdiyah (Beirut: Markaz Dirasat al-
Wahdah al-`Arabiyah, 1999)hlm,200. Keterkaitan antara epistem dan ideologi dalam dunia Arab
mengkristal dalam bentuk “nalar politis” (Al-`Aql Al-Siyasi) yang piranti-piranti penentunya adalah
al-`aqidah (ideologi dan teologiI), EL-Qobilah (etnisitas-kesukuan), dan al-Ghanimah (harta
kekayaan),. Lihat al-Jabiri, Al-`Aql Al Siyasi al-`Arabi, Muhaddidatuh wa Tajalliyatuh, (Beirut: al
Markaz al-Thaqafi al-`Arabi :1991), Ibid.
18
Khaleed Abou el-Fadhl, Selamatkan ………., hlm. 121
19
Khaleed Abou el-Fadhl, The Human Rights Commitment in Modern Islam dalam Joseph Runzo dan
Nancy M.Martin (ed) Human Rights and Responsibilities in the World Religions, (Oxford: Oneword,

5
Dalam banyak hal, gerakan puritan mereproduksi kondisi-kondisi mental yang
diadopsi oleh gerakan apologetic. Ia menghindari pendekatan-pendekatan analitis
atau histories dalam memahami Islam, dan mengklaim bahwa semua tantangan yang
dihadirkan oleh modernitas bisa dipecahkan dengan kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Dalam paradigma Islam puritan, Islam itu sudah sempurna,
kesempurnaan itu berarti bahwa Islam tidak merekonsiliasikan dirinya atau
membuktikan dirinnya sesuai dengan sistem pemikiran lainnya. Islam merupakan
sebuah sistem keyakinan dan hukum yang sudah lengkap dalam dirinya mencoba
membentuk dunia dalam gambarannya, ketimbang mengakomodasi pengalaman
manusia. 20
Sikap itu muncul dari perdebatan tentang hâkimiyah (kedaulatan) dalam
sejarah Islam. Menurut puritan, kedaulatan Islam adalah milik Tuhan itu sendiri, yang
merupakan satu-satunya Pencipta hukum. Oleh karena itu, posisi normative apa pun
yang diambil dari akal manusia atau pengalaman-pengalaman social-historis pada
dasarnya tidak valid. Satu-satunya posisi normatif yang dibolehkan adalah yang
diserap dari pemahaman terhadap perintah-perintah Tuhan. Seperti yang ditemukan
dalam teks-teks suci. Oleh karenanya tidak mengejutkan jika orientasi puritan
menganggap semua pendekatan moral yang berlindung pada intuisi, akal, kewajiban-
kewajiban kontraktual atau konsensus sosial dan politik, sebagai aneh dan tidak valid.
Semua norma moral dan hukum mesti diambil dari satu-satunya sumber, yaitu
keinginan Tuhan.
Konsekwensi dari posisi, sikap, pendekatan dan pemahaman literal dari
gerakan puritan itu dalam sebagaian hal adalah sebagai berikut :
1. Anti demokrasi dan hak asasi manusia, yang dianggap sebagai produk
barat
2. Anti pluralisme agama, bahkan gerakan puritan menuntut agar umat
Islam menampakkan kebencian dan permusuhannya kepada orang-
orang kafir (musyrik) dengan menegaskan bahw seorang Muslim
seharusnya tidak boleh mengadopsi kebiasaan-kebiasaan orang kafir
dan tidak bersahabat dengan mereka. Itu harus diperlihatkan secara
terang-terangan dan tidak ambigu
3. Anti kesetaraan gender dan feminsime, yang dianggap sebagai doktrin
Barat untuk menghancurkan identitas keislaman yang otentik.
4. Pembenaran kekerasan dan teror atas nama agama, karena itu menurut
mereka, merupakan bagian dari jihad defensive yang menegaskan
bahwa umat Islam telah dizalimi. 21
Gerakan-gerakan teologi Wahabi dan Salafi, yang merupakan pendukung
utama Islam puritan, muncul pada era kolonial, sekitar abad ke-18 dan tetap aktif di
sepanjang abad 20 itu.22 Mereka memanfaatkan terjadinya krisis otoritas keagamaan
setelah kolonialisme berhasil menyingkirkan peran ulama tradisional dengan
berbagai sistem yang mendukungnya. Ketika lembaga-lembaga tradisional Islam
ambruk dibawah kolonalisme, dan selama rentang waktu itu, lembaga-lembaga
tradisional Islam ditantang oleh realitas baru Negara-bangsa yang despotic dan
sangat sentralistik, yang menasionalisasikan lembaga-lembaga keagamaan dan
menarik lembaga wakaf masuk, ke dalam control Negara dan sebagaian besar

2003) hlm. 308-309


20
Ibid, hlm 309
21
Untuk lebih jelasnya, lihat uraian Khaleed tentang pelbagai isu itu dalam Selamatkan Islam …… hlm
217-239, Ada beberapa karakter atau sikap lain yang bisa memutar jarum jam agama dari rahmat
menjadi azab ; klaim kebenaran mutlak hanya pada agamanya,taqlid secara membabi buta kepada
pemimipin agamanya,pencapaian tujuan dengan membenarkan segala cara dan menyerukan perang
suci lihat Charles Kimbal, When religion becomes Evil, alih bahasa Nurhadi, kala agama jadi bencana,
cet.I. (bandung; Mizan,2003)
22
Khaleed Abou El-Fadhl, Human Rights …., hlm 308

6
fuqahanya menjadi pegawai yang dibayar Negara. Itu menghancurkan peran
mediasi dari para fuqaha dalam masyarakat muslim. Fakta itu juga menghilangkan
legitimasi ulama tradisional dan mentransformasikan mereka menjadi “ulama
istana” selain itu, simbol-simbol budaya barat, model-model produksi, dan nilai-
nilai social normatif secara agresif meresap ke dalam dunia Muslim, yang secara
serius menantang kategori-kategor dan praktik-praktik normatif yang telah
diwariskan, dan menambah rasa alienasi dan disonansi sosial-budaya yang
mendalam23
Menurut Khaleed, ada dua probelmatika yang membedakan Salafabisme
dari yang lain ; (1) Apakah teks dimaksudkan mengatur sebagian besar aspek
kehidupan ? (2) Apakah estetika atau kapasitas bawasaan manusia untuk
merefleksikan atau mewujudkan suatu yang baik itu mungkin ? Kaum salafi terlalu
melebih-lebihkan peran teks, dan memperkecil peran agen manusia yang
menafsirkan teks keagamaan. Menurut mereka, teks tidak hanya mengatur
kebanyakan aspek kehidupan, namun juga pengarang teks menentukan makna teks,
dan tugas pembaca teks hanya memahami dan mengimplementasinya saja.
Subyektivitas penafsir tidaklah relevan bagi realisasi dan implementasi perintah
Tuhan, yang sudah dicakup secara utuh dan komprehensif di dalam teks. Karenanya
estetika dan pandangan moral atau pengalaman dari penafsir dianggap tidak relevan
dan tidak penting. Kemaslahatan publik seperti menjaga masyarakat dari godaan-
godaan seksual kaum perempuan bisa diverifikasi secara empiris, sedangkan nilai-
nilai moral dan estetika, seperti kemuliaan manusia, cinta, kasih sayang tidak bisa
diverifikasi secara empirik, karenanya harus diabaikan. Singkatnya, pendekatan
mereka terhadap teks dapat dikatakan literalis, antirasionalisme dan anti
pendekatan-pendekatan interpretative. Dari orientasi teologis salafi itu, menurut
Khaleed, muncullah kelompok-kelompok militant seperti al-Qaeda atau Taliban. 24
Menariknya, gerakan-gerakan yang berorientasi kekerasan itu pada era
kontemporer malah semakin kuat, bukan menghilang, terbukti dengan pelbagai aksi
teroris internasional yang dilakukan atas nama mereka. Pertanyaannnya adalah
mengapa mereka bisa begitu marak dan bahkan tetap eksis hingga saat ini?
Menurut Khaleed, salah satu sebabnya adalah karena “lembagalembaga tradisional
Islam yang secara histories bertindak untuk meminggirkan aliran ekstremis tidak
ada lagi. Itulah yang membuat periode sejarah Islam sekaran gjauh lebih sulit
dibadingkan periode yang lain, dan itulah sebabnya mengapa orientasi puritanisme
modern lebih mengacam integritas moralist dan nilai-nilai Islam melebihi gerakan-
gerakan ekstremis sebelumnya. Barangkali itulah kpertama kali dalam sejarah
bahwa pusat dunia Islam, Mekkah dan MAdinah telah berada di bawah control
Negara puritan selama periode yang demikian lama.25

2. Moderat Sebuah Tantangan Puritanisme ; Kepentingan dan Motifnya


Kata “moderat”26 merupakan lawan atas kata “puritan” dalam pemahaman
Khaleed. Kata “Moderat” dalam kamus Merriam-Webster Dictionary (kamus digital),
salah satu pengertiannya adalah menjauhi perilaku dan ungkapan yang ekstrem
(avoiding extremes of behaviour and expression) Dalam kaitan itu seorang yang

23
Khaleed Abou El-Fadhl, The Ugly Modern and the Modern Ugly; Reclaiming the beautiful in Islam,
Progressive Moslems;on Justice, Gender and pluralism. (Oxford;Onewordl.2003) hlm. 46-47
24
Ibid, hlm 60-61
25
Khleed Abou El-Fadhl, Selamatkan ………, hlm. 125
26
Kata tersebut banyak disamakan dengan kata-kata seperti modernis, reformis, dan progresif, bahkan
ada yang menyamakannya dengan Islam Liberal. Istilah tersebut secara luas digunakan dalam
diskursus pemikiran Islam. Khaleed Abou el-Fadhl lebih cenderung menggunakan istilah moderat,
meskipun dalam buku progressive Moslems; on Justice, Gender and Pluralisme ia dimasukkan ke
dalam kubuh muslim progresif. Ia bahkan menyumbang sebuah tulisan dalam buku itu.

7
moderat adalah seorang yang menjauhi perilaku-perilaku dan ungkapan-ungkapan
yang ekstrem. Sementara itu, “Muslim moderat” didefinisikan oleh Khaleed sebagai ;
Orang-orang yang yakin pada Islam sebagai keyakinan yang benar, yang
mengamalkan dan mengimani lima rukun Islam, menerima warisan tradisi Islam,
namun sekaligus memodifikasi aspek-aspek tertentu darinya demi mewujudkan
tujuan-tujuan moral utama dari keyakinan itu di era modern27
…….mereka meyakini Islam, menghormati kewajiban-kewajiban kepada Tuhan
dan meyakini bahwa Islam sangat pas untuk setiap saat dan zaman. Mereka tidak
memperlakukan agama mereka laksana monument yang beku, tetapi
memperlakukannya dalam kerangka iman yang dinamis dan aktif. Konsekwensinya
Muslim moderat menghargai pencapaian-pencapaian sesama muslim di masa silam,
namun mereka hidup di zaman sekarang….28
Dan dewasa ini, seperti diakui Khaleed, kaum Muslim terpangkas dari tradisi-
tradisi intelektual Islam itu, yang konsekuensinya, mereka kehilangan etos
pengetahuan maupun landasan moral dan intelektual mereka.29
Terkait dengan motif, pada dasarnya semua proyek yang dilakukan Khaleed
dalam mengkritik bangunan teoritis dan praksis dari gerakan-gerakan puritan
bermuara pada keinginan Khaleed untuk menciptakan suatu masyarakat madani
yang mencakup individu-individu Muslim yang moderat seperti yang digambarkan
di atas, yang toleran, anti kekerasan, pluralis, demokratis, penuh kasih sayang
terhadap makhluk Tuha, dan lebih emngahargai hak asasi manusia. Kepentingannya
bukan bersifat ideologis, namun praktis, yaitu Islam yang moderat, cerdas, kreatif,
penuh semangat juang yang merupakan cerminan dari rahmat bagi seluruh alam.
Jika individu-individu seperti itu terbentuk, maka wajah Islam yang pada dasarnya
indah, akan tampak bersinar kembali sebagaimana itu pernah terjadi pada masa-
masa keemasan Islam yang pada periode itu wacana intelektual berjalan begitu
bebas dan dinamis. Dan orang-orang moderat itulah yang diharapkan Khaleed
menjadi counter-hegemony terhadap tafsiran-tafsiran dan gerakan-gerakan jpurtitan
yang pengaruhnya begitu kontra produktif terhadap Islam dan masyarakat muslim.
Untuk sampai kepada tujuan itu, perlu ada reformulasi pemahaman terhadap
Islam dan syari’ah dan juga pengetahuan yang baik terhadap tradisi intelektual
Islam harus dipahami sebagai ajaran yang indah dan penuh moral, bukan agama
hitam-putih yang atomistik. Inti Islam menurut Khaleed adalah “mencari keindahan
Tuhan yang sempurna dan keindahan ciptaanNya30 Pemahaman tentang hukum-
hukum keindahan merupakan bagian yang fundamental dalam menemukan syari’ah
itu sendiri. Tujuan syari’ah menurut para fuqaha adalah untuk mencapai
kemaslahatan masyarakat, karena kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat
termasuk sesuatu yang baik dan indah31 Tuhan itu bermoral dan etis dan al-Qur’an
itu sendiri menyebut imperative-imperatif moral yang umum seperti kasih sayang,
keindahan, keadilan, kejujuran, kebaikan dan kemaslahatan. 32 Dan sebutan itu tidak
terbilang dalam al-qur’an dan bahkan hadis-hadis Nabi, seolah-olah nilai-nilai itu
mempunyai makna yang kodrati bagi manusia.
Karena begitu seringnya al-Qur’an menyebut nilai-nilai moral itu, maka bagi
Khaleed, moralitas tampaknya menjadi maqashid al-syari’ah, tujuan umum di balik
segala penciptaan hukum. Hukum-hukum partikular merupakan penjelmaan absolut
dari nilai-nilai moral Islam yang harus dipatuhi umat Islam itu. Karenanya yang
partikular tidak boleh menyimpang dari atau bertentangan dengan yang universal
27
Khaleed Abou El-Fadhl, Selamatkan ……..hlm.130
28
Ibid, , hlm. 133
29
Khaleed Abou El-Fadhl, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam adari Kitab ke Kitab, Terj.
Abdullah Ali, (Jakarta; Serambi, 2002), hlm 15
30
Ibid, hlm. 20
31
Khaleed Abou El-Fadhl, Melawan ….hlm 153
32
Khaleed Abou El-Fadhl, Place ….., hlm 14

8
itu. Kata Khaleed, “Hukum-hukum yang bersifat khusus dijalankan dan dikemudian
hari berdasarkan hukum-hukum yang universal dan bukan sebaliknya” 33 dan jika
tujuan-tujuan khusus menghalangi tujuan-tujuan moral shari’ah , maka tujuan-
tujuan moral harus didahulukan dan tidak sebaliknya34
Metodologi maslahah al-Syatibi yang menekankan konsep al-kulliyat al-
khams sangat didukung oleh Khaleed dengan pertimbangan moral yang harus lebih
mengakar dalam kitab suci ketimbang pertimbangan-pertimbangan yang murni
fungsional atau oportunistik35 karenanya, ia harus didahulukan.Ia menyatakan
bahwa :
Penyeledikan-penyelidikan moral harus lebih berani dan aktif peranannya
dalam memformulasikan hukum. Nilai-nilai moral harus diambil dari universalitas-
universalitas yang terdapat dalam teks suci. Sebagai contoh, keadilan, kehormatan
atau keindahan dikenal sebagai nilai-nilai moral karena al-Qur’an menekankan
ketiganya sebagai kewajiban-kewajiban normatif. Makna dan konotasi dari nilai-
nilai moral itu harus dieksplorasi dengan nalar, intuisi, dan observasi-observasi atas
hukum-hukum alam yang bersifat sosial. Intuisi dan penalaran akan memberikan
kesadaran yang lebih utuh dan mendalam tentang makna dan implikasi nilai-nilai
moral tersebut. Aturan-aturan hukum yang bersifat khusus, sekalipun bersumber
dari teks, harus dievaluasi berdasarkan normativitas-normativitas Islam yang
umum.36
Untuk sampai kepada suatu pemahaman Islam yang otentik, perlu
menggunakan alat-alat Bantu seperti teori-teori sosial, metode rasional-kritis, dan
juga pendekatan kesejarahan dan hermeneutika. Khaleed mencontohkan, dalam
konteks apa , apa ideologi dan kepentingannya dan seterusnya. Begitu pula, perlu
dianalisis, pemahaman komunitas penafsir terhadap peran Nabi dalam proses
tersebut.37 Wal hasil, menyikapi sebuah teks dengan rasional-kritis, tanpa membabi
buta dan dengan pendekatan kesejarahan, akan lebih mengantarkan kepada pesan
yang diinginkan teks itu.

FRAME MASYARAKAT MADANI


KRITIK ANALITIS KHALEED

33
Khaleed Abou El-Fadhl, Melawan ….hlm. 161
34
Ibid, hlm 162
35
Ibid, hlm 158
36
Ibid, hlm. 156
37
Khaleed Abou El-fAdhl, Atas nama Tuha, :Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Terj. R.Cecep
Lukman Hakim, (Jakarta : Serambi, 2004

9
Komunitas
Madani

Individu-individu yang
moderat, toleran,
demokratis, anti kekerasan,
penuh cinta

Metode rasional-
kritis
Pendekatan hermeneutis
Nilai-nilai moral Pendekatan kesejarahan
Humanistic,
seperti TEKS
keindahan,
keadilan,
kesetaraan, dst

Penutup

Dari seluruh bahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok muslim


puritan dalam memahami keberagamaan mereka tidak saja mempunyai kelemahan
dalam hal visi dan pandangan dunia, tetapi juga lemah dan cacat yang bersifat
epistemologis. Pertama, persepsi keagamaan kaum puritan disandarkan pada sistem
teologi dan eksklusif. Keberagamaan mereka merupakan respons ambigu terhadap
modernitas dan sarat dengan kepentingan ideologis untuk berkuasa di atas sistem
teologi dan pemikiran agama kelompok lain. Mereka mengabsahkan segala cara
untuk menggapai cita-cita ideologi mereka, (baca;kekerasan terhadap yang lain the
other)
Pandangan dunia mereka tersebut juga diabsahkan dengan sistem
epistemologi yang bersifat subjektif. Mereka menjadikan sistem penalaran bayâni
sebagai satu-satunya epistem yang absah dengan keterikatan buta pada otoritas teks,
otoritas salaf dan otoritas keserbabolehan. Mereka menolak rasionalitas burhâni
dan moralitas ‘Irfani sebagai lokomotif humanisme Islam.
Sementara muslim moderat adalah penting dalam menghambat arus
puritasnime yang makin marak pada era kontemporer itu. Muslim moderat tentunya
perlu memahami Islam dan segala tradisi intelektualnya dalam melakukan hal itu.
Di situ, perlu menggunakan alat-alat Bantu untuk memahami pesan-pesan yang
terdapat dalam teks seperti ilmu-ilmu sosial kontemporer dan humoniora, selain
tentunya perangkat metodologi ilmu keislaman klasik. Metode rasional-kritis,
pendekatan kesejarahan dan hermeneutis menjadi penting untuk mengetahui teks,
karena teks turun dalam konteks historisnya. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah
memahami pesan-pesan moral apa yang sebenarnya dikehendaki teks. Dengan
demikian, masing-masing tafsiran menjadi raltif, dan klaim kebenaran yang sering
kali berbuntut pada kekerasan akan dihindarkan. Malah yang akan terbentuk adalah
wacana keilmuan yang bebas dan dinamis, sehingga bisa tercipta suatu peradaban

10
yang tinggi. Jika semua individu Muslim telah sampai kepada tahapan itu dalam
keberagamaannya, maka cita-cita terbentuknya masyarakat Muslim yang moderat,
cerdas, kreatif, penuh semangat juang yang merupakan cerminan dari rahmat bagi
seluruh alam akan menjadi kenyataan. Wallâhu ‘alamu bi al-shawâb

11
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Bagader, “Contemporary Islamic Movements in the Arab World” in


Akbar S.Ahmed dan Hastings donnan (eds), Islam, Globalization and
postmodernity, (London dan New York: Raoutledge, 1994)

Akbar S.Ahmed, Living Islam: From Samarkand to Stornoway, (Victoria: Penguin


Books. 1995)

Amina Wadud Muhsin, Inside Gender Jihad: Women’s Reform in Islam, (Oxford:
Oneworld. 2006)

Bobby S. Sayyid, A Fundamental Fear: Eurocentrism and the Emergence of


Islamism, (London and New York: Zed Books. 1997)

Ian Arkham, dan Ibrahim M. Abu Rabi’, 11 September: Religious Perpectives on the
Causes and Consequences, (Oxford: OneWorld, 2002)

James P.Piscatory, The Naature of the Islamic Revival, dalam Islam in a World of
Nation-States (New York: Cambridge University Press, 1986)

John L.Esposito, Islam : The Straight Path, New york and Oxford: (Oxford
University Press, 1988)

Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Antara Pikiran dan
Politik, Terj. F.Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1991)

Khaleed Abou El-Fadhl, The Place of Tolerance in Islam, (Boston: Beacon Press,
2002)

--------------, The Human Rights Commitment in Modern Islam” dalam Joseph Runzo
dan Nancy M.Martin (eds), Human Rights and Responsibilities in the World
Religious, (Oxford: Oneworld, 2003)

--------------, The Orphans of Modernity and the Clash of Civilization, Global


Dialogue. Vol.4 No.2 (Spring 2002) 1-16 Artikel dapat diakses pada
http;//www.scolarofthehouse.org/orofmodandcl.html.

---------------, The Ugly Modern and The Modern Ugly:Reclaiming the Beatiful in
Islam, Progressive Moslems: on justice, Gender and pluralism,
(Oxford;Oneworld, 2003)

---------------, Atas nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritataif. Terj.
R.cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2004)

---------------, Melawan Tentara Tuhan: Yang berwenang dan yang sewenang-wenang


dalam wacana Islam, Terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: serambi, 2003)

----------------, Musyawarah Buku: Menyusuri Keindahan Islam dari Kitab ke Kitab.


Terj. Abdullah Ali, (Jakarta;Serambi, 2002)

12
----------------, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Terj. Helmi Mustafa Edisi ke-
1 (Jakarta: Serambi,2007)

Kimbal, Charles, When religion Becomes Evil. Alih bahasa Nurhadi,kala agama jadi
bencana, Cet.I(BAndung : Mizan, 2003)

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi ke-2 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)

Manning Nashsh, Islamic Resurgernce in Malaysia and Indonesia” Martin E. Marty


and R.Scott Appleby (ed), Fundamentalisms Observed, (Chicago dan London:
the University of Chicaho Press. 1991)

13

Anda mungkin juga menyukai