Anda di halaman 1dari 13

ANTARA FALSAFAH DAN KALAM: LITERATUR KLASIK PEMIKIRAN

ISLAM

Diskusi bermula tentang pemaparan saya tentang pemikiran Muhammad Arkoun, pemikir
Aljazair yang menerapkan mazhab dekonstruksi bagi kepala masyarakat dalam menafsirkan Al-
Qur’an. Diskusi berlangsung sengit. Perdebatan menegangkan tidak dapat dihindari. Setiap siswa
terpaksa mengeluarkan kemampuan terdalamnya. Saya sendiri selaku presentator tidak
memahami benar pemikiran Arkoun. Referensi saya cuma bunga rampai tentang gagasa-gagasan
pembaruan Islam oleh para pemikir Muslim abad ke-20. Buku itu diberi judul ‘Wacana Islam
Liberal” dan diterbitkan Paramadina. Sahabat Nazhori yang telah membaca ”Rethinking Islam:
Commonquestions, Umcommon Answeres Today‘ mencoba menengahi perdebatan yang alot itu.
Sahabat Taufiq yang tidak memiliki referensi apapun tentang Arkoun mengemukakan
kebingungannya. ”Kenapa di dunia Islam Sunni pembaruan Islam utamanya era sekarang selalu
menulai kontra dari masyarakatnya. Tapi kenapa persoalan seperti ini tidak muncul di dunia
Syi’i”.

Sesampai di rumah, saya dapat melihat keresahan Sahabat Taufiq. Tapi saya kira argumennya
kurang akurat. Dunia Sunni mengalami banyak problematika dalam dunia pemikiran karena
mereka harus berhadapan dengan masyarakat yang majemuk, wilayah geografis mereka lebih
luar. Sementara Syi’i hanya berada dalam masyarakat Persian dan sedikit Arab. Pembaruan
mudah diterima masyarakat Syi’i karena memang karakter Persian yang cerdas. Di samping itu,
mereka berpegang teguh pada imam. Kalau Iran tidak memiliki daulah yang kuat hari ini,
masyarakatnya akan berbecah belah juga sehingga penolakan atas ide pembaruan akan berlaku
juga.

Pendebatan tentang perbedaan cara pandang dalam pemikiran Islam ternyata tidak hanya berlaku
di ruang kelas kami. perdebatan klasik antara golongan Asy’ariyah dengan Mu’tazilah menyeret
intelektual muslim dari zaman awal, keemasan hingga masa kini. Tidak ada yang dapat
mengatakan perdebatan ini tidak akan terjadi di masa depan. Pertentangan ini bagi masyarakat
awam diwarnai dengan darah dan bagi masyarakat intelektual tinta-tinta membanjiri kertas.
Perdebatan ini bermula pada cara pandang intelektual muslim dalam menyikapi realitas.
Epistemologi yang digunakan kaum teolog berorientasi kepada teks (bayani). Karena itu mereka
disebut ulama kalam. Sementara kalangan filsosof menekankan pada nalar (burhani).

Basis ontologis kalangan teolog adalah teks Al-Qur’an dan kodifikasi Hadits. Karenanya, metode
pengambangan yang mereka lakukan bersifat deduktif. Sementara para filosof lebih
mengedepankan pengidentifikasian terhadap realitas lalu menyusun premis-premis secara
induktuf.

Kalangan mutakallimin seperti Fachruddin Ar-Razi (864-930) menolak pandangan agama yang
cenderung berorientasi akal. Kitab tafsir terkenalnya ”Mafatih Al-Ghaib” menggunakan metode
penafsiran yang berorientasi teks, baik hadits maupun literatur-literatur keagamaan bidang
hukum dan aqidah. Di bidang perumusan hukum Islam, Imam Syafi’i disebutkan oleh
Muhammad Abdel Al-Jabiri (1935-2010) sebagai pengekang konsep peraturan dalam Islam. Dia
menyebutkan Syafi’i terlalu berorientasi pada teks. Tapi saya melihat Imam Syafi’i tidak separah
itu, beliau tetap membuka ruang bagi ijma’ dan qiyas. Tapi kedua sumber hukum ini tidak dapat
menampung aspirasi burhani. Kita dapat menemukan corak pemikiran Syafi’i dalam karya
monumentalnya ‘Ar-Risalah‘.

Kalangan pemikir yang mengedepankan posisi nalar (burhani) lahir ketika Dinasti Ummayyah
berkuasa. Luasnya ekspansi memaksa kaum Muslim untuk memperkaya wacana guna menjawab
persoalan yang semakin kompleks. Orientasi bayani dianggap perlu diperkaya dengan metode
burhani. Di sinilah munculnya periode asimilasi filsafat Yunani ke dunia Islam. Gairah
penerjemahan dan pengkajian filsafat Yunani sangat gencar, dimotori oleh Al-Kindi. Dengan ini
lahirlah filsafat Islam. Epistemologi filsafat Islam menggunakan model logika Aristoteles. Ibnu
Sina (Avicenna) dalam ‘Asy Syifa’‘ mengemukakan betapa pentingnya penalaran dalam
keagamaan. Demikian itu, pertentangan atas cara pandang falsafah ditentang oleh kaum
mutakallimin dan menganggapnya bid’ah. Pada masa itu, sering terjadi ketegangan antara
pengikut Ar-Razi dengan Ibnu Sina.

Ketika perdebatan antara filsuf dengan teolog mengarah pada perbincangan tentang Wujud,
perdebatannya menjadi semakin sengit. ‘Tuhan’ yang melampaui materi dan nalar tidak mampu
dijawab oleh kedua belah pihak. Kalangan mutakallimin menawarkan kita kembali kepada
wahyu sebab di sana segala pengenalan kepada Tuhan telah terjawab. Kalangan filsuf
mengaggap wahyu adalah teks yang telah direduksi ke dalam teks menjadi menyejarah,
memanusia. Bila wahyu masuk ke pemahaman akal, dianya tetap reduktif. Singkatnya menurut
filsuf ‘Tuhan’ Yang Maha Agung itu tidaklah sebatas yang ada di teks.

Diantara dua perdebatan itu, kalangan sufi memutuskan Tuhan hanya bisa dikenal melalui
amalan-amalan shaleh. Kepatuhan atas perintah dan meninggalkan segala larangan menurut
mereka dengan sendirinya mengantarkan pemahaman langsung kepada Tuhan. Inilah yang
disebut irfan. Irfan dikatakan melampaui bayan dan burhan.

Ibnu Tufayl menggambarkan antara penalaran dengan teks akan mempertemukan kedua belah
pihak pada kesimpulan yang sama. Beliau mengilustrasikan gambaran itu secara epik melalui
karyanya ”Hayy Ibn Yaqzal”. Karya ini mengisahkan seorang pemuda yang sedari kecil diasuh
oleh hewan di hutan. Dia besar dengan mengamati alam sekitar dan menemukan kesimpulan
bahwa pencipta alam semesta ini adalah Dzat Yang Satu. Kemudian dia ke kota dan menemukan
kalangan ulama yang juga meyakini pencipta alam semesta adalah Allah Dzat Yang Satu
berdasarkan informasi wahyu. Pesan dari buku itu adalah wahyu dan akal tidak bertentangan.

Masa selanjutnya, perdebatan antara mutakallimin dengan filsuf mencapai puncaknya di masa
Al-Ghazali. Dia menentang beberapa pola pikir fifosof peripatetik di mana di sana tokoh
besarnya adalah Ibnu Sina. Al-Ghazali mengemukakan pelurusan para filsuf melalui karya
terkenal ‘Tahaful Fasasifah’‘. Namun tidak lama setelah itu, di Spanyol, Ibn Rusyd (Averros)
menyanggah Al-Ghazali dengan mengemukanan argumen pembelaan terhadap filsafat melalui
karya ”Tahafut at-Tahaful). Di tengan perdebatan itu, Ibn Arabi melahirkan karya di antaranya
paling terkenal adalah”Futuhat Makkiyah” dan ”Fulhul Hikam”. Ibn Arabi menguraikan
argumen kalam secara filosofis. Ajaran bercorak Ibn Arabi menjadi perdebatan baru dalam dunia
pemikiraan Islam.

Di tanah Melayu, Hamzah Fansury melahirkan karya banyak di antaranya ‘Asrar al-Arifin‘ dan
‘Syarab al-Asykin‘. Fansury menulis banyak pemikirannya dalam bentuk sya’ir antara lain
seperti ‘Syair dagang’ , ‘Syair burung Pinggai’ dan ‘Syair Perahu’. Ajaran pengikut Ibn Arabi
ini lazim disebut sebagai kalangan Taswauf Filosofis.

Penentang ajaran Fansury adalah Nuruddin Ar-Raniry. Dia mengatakan ajaran Fansury adalah
zindiq, sesat. Raniry sendiri adalah ulama dari Gujarat yang berhasil menjadi qadhi kerajaan
Aceh Darussalam setelah membabat para pengikut Fansury. Dia sendiri sangat berpaku pada
teks. Kehadirannya di Tanah Melayu berhasil merubah cara beragama masyarakat menjadi
sangat tekstualis. Padahal masyarakat sebelumnya sangat filosofis. Ar-Raniry menghasilkan
karya tentang sejarah politik berjudul ‘Bustanus Salatin‘ dan bidang hukum Islam ‘Siratul
Mustaqim‘.

Seorang Ulama dari Tanah Minang berhasil mengusir Ar-Raniry dan kembali dapat
menghidupkan tasawuf filosofis. Namun serangan Ar-Raniry begitu berarti. Di samping itu,
Kembalinya putera Negeri bernama Abdur Rauf Syiah Kuala kembali memberi angin kepada
ajaran bercorak kalam. Syiah Kuala adalah penulis tafsir pertama dalam bahasa Melayu berjudul
‘Tarjum Al-Mustafid‘.

Di tengah-tengah konflik antara kalangan mutakallimin dan filsuf, seorang intelektual Persia,
Mulla Sadra melalui ‘Hikmah Muta’aliyah‘ dan ‘Asyfar Arba’‘ mencoba menengahi persoalan
itu. Sadra mencoba menerangkan ragam corak pemikiran kalam, filsafat peripatetik dan
illuminasi serta tasawuf filosofis. Dia juga menarik sistesis yang menarik.

Di zaman modern, banyak pemikir muslim yang mulai menyadari pentingnya posisi nalar dalam
Islam. Dari sekian banyak itu, Muhammad Iqbal adalah yang sangat berpengaruh. Karyanya
yang berjudul ‘The Recostruction of Religious Thought in Islam‘ telah memotifasi banyak
generasi Muslim setelahnya untuk mempertimbangkan akan pentingnya posisi nalar. Iqbal,
sebagaimana pembaharu lain sering menuai penolakan. Bahkan di dunia Syi’i sekalipun, gagasan
pembaruan sering menuai protes. Ali Syariati dan Seyyed Hossein Nasr adalah dua contoh anak
Persian yang terpaksa mengasingkan diri karena gagasan pembaruannya.

Di tengah perkembangan pemikiran Barat yang begitu berkembang. Kaum Muslim perlu
merubah cara pandangnya kepada teks sakral. Arkoun adalah salah seorang tokoh yang gencar
memperjuangkan dekonstruksi pela pikir dalam membaca teks. Pemikiran Arkoun tentang hal ini
dapat dikonfirmsi dalam ”Rethinking Islam: Commonquestions, Umcommon Answeres Today‘.
Karena ide itu adalah pembaharuan, di ruang kelas kami sendiripun, Pascasarjana Filsafat Islam ,
muncul pro dan kontra.

Wahyu dan akal adalah dua karya Tuhan yang tidak mungkin bertentangan satu sama lain. ”Bila
menemukan kontradiksi antara wahyu dengan akal, maka boleh jadi penafsiran kita atas wahyu
yang keliru” kata Ibn Rusyd.

Scribd
Upload a Document

Search Documents

Explore

 Sign Up
 |
 Log In

22dibedakan secara geografis melainkan juga epistemologis: antara representasirasionalisme


empirik Barat dan representasi illuminatif dan kecenderun
gan
irrasional Timur, maka pemaknaan retakan epistemologi bagi Arkoun punmemiliki
kecenderungan tipologi sendiri, bahkan lebih luas tidak hanya sekedarlokalitas Arab namun
Islam secara umum. Sebagaimana telah maklum, ide inipertama kali dimunculkan oleh Gaston
Bachelard pada kisar tahun tiga puluhan diabad XIX, kemudian diadopsi oleh Luis al-Tuser dan
Michel Foucault. Dalamperjalanannya, ide ini terus berkembang dan menjadi trend keilmuan
yang mampudiaplikasikan dalam filsafat humaniora dan cabang ilmu lainnya.
52
Tak terkecualiagama. Di tangan Arkoun-lah terma diskontinuitas diterapkan dalam melacak
lapisan dasar nalar pemikiran Islam silam.
Sejatinya, jika menelusuri pemikiran menggunakan pisau analisa retakanepistemologi sangat
berbahaya dan terlalu mengambil resiko tinggi. Sebab,efeknya akan menimbulkan pembelahan
dikotomik dan menyerang terhadappengetahuan itu sendiri. Di samping resiko dihadapkan pada
satu pilihan. Ide inicenderung mengakibatkan wilayah hitam dan putih pengetahuan: antara pilih
an
benar dan salah; ilmiah dan khurafat; rasional dan irrasional. Ini juga yang dialami
pemikir Maroko Abed al-Jabiri, dengan mengunggulkan nalar Barat atas nalarTimur.
Menjadikan terkotak-kotaknya pengetahuan secara geografis. SementaraArkoun, dalam persepsi
Ali Harb, menjadikan nalar pengetahuan Islam tercerai
berai secara ideologis.
53

Dalam pembacaan Ron Haleber, seorang islamolog kontemporer asalBelanda, Arkoun


menyatakan bahwa retakan epistemologi dalam agama (Islamdan Kristen di Barat) ada tiga
bagian. (1) Transformasi budaya oral menujubudaya tulis serta ruang jeda masa transisi
keduanya. (2) Transformasi dari nalarmurni ilmu, agama, dan politik menuju lampauan ideologis
terhadap ketiganya.(3) Transformasi dari diskursus ortodoksi dan mitologi menuju diskursus
moderndan rasionalitas serta jeda masa transisi keduanya. Dalam hal ini Michel Foucalt
52
Ibid.,

hal. 129
-
130

53
Ali harb,
al
-
Mamnu’ wa al
-
Mumtani’
, op.cit. hal. 124

23memainkan peranannya sebagai pendobrak kemapanan yang ada dan menjadi


inspirator bagi lainnya.
54

Tampaknya Arkoun, aku Ron Haleber, tidak begitu memahami


secara
menyeluruh parade-parade persitiwa pencerahan di Eropa atau filsafat pencerahanBarat. Sebab
jika benar ia paham tentunya tidak akan menganalogikan persisdengan pemaknaan yang serupa,
antara epistema Barat dan Islam. Bagi RonHaleber kesimpulan Arkoun ini terlalu ceroboh dan
mereduksi sejarah pencerahanBarat sendiri. Bahkan semena-mena dalam menerapkan metode
karena menyalahilogika metodologi itu sendiri. Betapa, Arkoun mencampur aduk
antarametodologi mazhab strukturalis dan metodologi mazhab post strukturalis. Padahalkedua
mazhab ini bertentangan. Sebab munculnya kaum post strukturalismerupakan reaksi protes dari
kaum strukturalis. Namun Arkoun tampaknya tidak menyadari itu. Terkesan cuek bebek mana
kala mencomot sana-sini demi
kepentingannya
tanpa memperhatikan dari prosedural bakunya sehingga berakibatmenghasilkan konklusi yang
kerap tidak sesuai dengan tujuan metodologi itu
sendiri.
55

Wajarlah jika ia tak mau disebut pengikut aliran strukturalis maupunpost strukturalis, akibat
oportunismeny
a.
56

Sehingga wajar jika Ron Halebertampak geram dan seakan, dengan bukunya, ingin menghabisi
(metodologi)
Arkoun, bahwa metodologi Arkoun mengalami kecacatan dan ketimpangan akut
– jika dihadapkan langsung di depan altar pencerahan Barat. Ia dianggap telahmemutus urat nadi
pengetahuan (
fishom al-
ma’rifiyah
). Semata-mata demimendahulukan ideologi ilmiah rasionalitas-
nya
dibanding “aturan main” serta
syarat
-syarat ontologi pengetahuan.
57

Semata
-semata berambisi menampilkan dimata Islam kontemperer (lebih-
le
bih Barat) adanya eksistensialisme Islam,
humanisme Islam, dan rasionalisme Islam.
Dalam konteks yang demikian, mestinya Arkoun memilah dan harus lebih
berhati
-hati dalam melakukan percobaan menjadikan pengalaman Eropa sebagai
54
Ron Haleber,
al
-Aql al-Islam amam Turats Ushru al-Anwr fi al-Gharb; al-Juhud al-
Falsafiyah inda Arkoun,
cet. I,
Syria,
Al-
Ahali, 2001
, ha
l.
198

55
Ibid.,

hal. 303

56
Ibid.,

hal. 159

57
Ali Harb,
al
-
Mamnu’ wa al
-
Mumtani’
, op.cit. hal. 121

24acuan bagi gerakan revolusi keagamaan. Tidak terperosok terhadap yang hampir-hampir
menyerupai 'taqlid buta'. Dan jika 'taqlid buta' yang terjadi, maka
ijtihadArkoun telah terperangkap ke dalam kubangannya sendiri: dogmatisme baru.
Epilog

Tradisi mengkaji al
-
Quran dikalangan orientalis telah berjalan cukup lama.
Tapi kajian mereka tentu tidak sama dengan kajian para ulama. Ketika paraorientalis mengkaji
al-Quran, mereka memang merujuk kepada sumber-
sumber
Islam. Namun sikap mereka yang selektif terhadap fakta-fakta sejarah al-Qur
an
menunjukkkan adanya suatu kepentingan tertentu. Upaya untuk meruntuhkan
otentisitas
Mushaf Uthmani
tampak lebih menonjol dibanding tujuan lainnya.
Syubhat
ini kemudian dilanjutkan oleh intelektual Islam sebagaimana yang telahdilakukan oleh Arkoun.
Bahk
an, di atas
syubhat
tersebut ia membangun megaproyeknya yaitu ‘kritik nalar Islam’. Proyek inipun langsung
menyentuh sisi
paling
sensitif
dalam bangunan epistemologi
Islam.
dengan kajian ini, ia berharapbisa membebaskan umat Islam dari belenggu doktri
nit
as yang telah berlaku sejak meninggalnya rasulullah Muhammad saw. Ia berusaha memutus jalur
ilmupengetahun Islam. Namun, sebagaimana mereka orientalis dan para penyeru
nihilism
e, Arkoun tidak menyuguhkan solusi bagi kebangkrutan nalar yang sudahia bongkar. Ia hanya
mengkaji, mendekonstruksi dan disaat yang sama ia
membiarkan ideiologi Islam tercerai berai.

Leave a Comment

You must be logged in to leave a comment.


Submit
Characters: 400

Icih Charolien

thanks ea...... dah mo share ilmunya jazakallohu khoiron katsiron....

03 / 11 / 2012

Muhammad Arkoun _Kritik Terhadap Kritik Nalar Islam Arkoun

Download or Print
4,163 Reads
Uploaded by
irwanmalik
Follow


TIP Press Ctrl-F to quickly search anywhere in the document.

9 p.

Understanding Islam and the West

30 p.

The Rise of Islamic Religio-political Movement in Indonesia

16 p.

Ibn Sina’s Islamization of Aristotle’s Concept of God


Upload a Document

Search Documents

Follow Us!
 scribd.com/scribd
 twitter.com/scribd
 facebook.com/scribd

 About
 Press
 Blog
 Partners
 Scribd 101
 Web Stuff
 Support
 FAQ
 Developers / API
 Jobs
 Terms
 Copyright
 Privacy

Copyright © 2012 Scribd Inc.


Language:
English

Anda mungkin juga menyukai