Anda di halaman 1dari 9

FILSAFAT ISLAM

PEMIKIRAN IBNU RUSYD

MAKALAH

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam oleh :

Alfi Anisaturrohmah (200310018)

Dosen:

Khoerul Imam Mahdi, S.H

JURUSAN EKONOMI SYARIAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

MIFTAHUL HUDA AL – AZHAR ( STAIMA )

CITANGKOLO BANJAR

TAHUN 2020\2021

1
Kata pengantar

Puji syukur kepada tuhan maha esa yang telah memberikan kesempatan yan di berikan kepda
penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas penyusunan makalah ini yang berjudul “filsafat
Ibnu Rusyd”

Makalah ini memaparkan tentang pemikiran seorang filusuf barat, yang terkenal akan alim
dalam ilmu fiqih, penulis sangat berterimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah filsafat
telah memberikan kesempatan penulis untuk menyelesaikan tugas ini, sehingga penulis dapat
mengetahui lebih dalam tentang filusuf barat yang di kemukakan oleh beliau Ibnu Rusyd.

Penulis menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga
mungkin masih akan ditemukan banyak kekurangan pada makalah ini. Atas segala
kekurangan yang ada, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Sidareja, 26 Juni 2022

Penulis

2
Bab 1

Pendahululuan

A. Latar belakang
Dominasi pengaruh filsafat Yunani kian menimbulkan masalah dan tantangan
tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan
bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat
dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak
ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan
ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan
keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah
ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok. Karena
itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu Rusyd.
Berfilsafat adalah bagian dari peradaban manusia. Semua peradaban yang
pernah timbul didunia pasti memiliki filsafat masing-masing. Kenyataan ini juga
sekaligus membantah pandangan bahwa yang berfilsafat hanya orang barat saja,
khususnya orang yunani. Diantara filsafat yang pernah berkembang, selain filsafat
yunani adalah filsafat Persia, cina, India, dan tentu saja filsafat islam.
Tokoh yang paling popular dan dianggap paling berjasa dalam membuka mata
barat adalah Ibn-Rusyd. Dalam dunia intelektual barat, tokoh ini lebih dikenal dengan
nama averros. Begitu populernys Ibnu Rusyd dikalangan barat, sehingga pada tahun
1200-1650 terdapat sebuah gerakan yang disebut viorrisme yang berusaha
mengembangkan pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd. Dari Ibnu Rusydlah mereka
mempelajari Fisafat yunani Aristoteles (384-322 s.M), karena Ibnu Rusyd terkenal
sangat konsisten pada filsafat Aristoteles.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut
persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan
untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status
agama seseorang.
Penyusunan makalah ini berawal dari tugas yang diberikan oleh Bapak
Khoerul Imam Mahdi, S.H selaku dosen pembimbing mata kuliah “Filsafat
Islam” kepada kami. Dan makalah ini akan kami jadikan sebagai bahan belajar
kelompok atau diskusi. Jadikanlah makalah ini sebagai penambah wawasan  dalam
peningakatan kegiatan belajar.

3
B. Rumusan masalah
1. Penjelasan tentang Ibnu Rusyd
2. Ibnu Rusyd sebagai filusuf
C. Tujuan
1. Menambah wawasan tentang ibnu rusyd
2. Memahami hasil pemikiran Ibnu Rusyid dan karya-karyanya

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Rusyd


Filusuf muslim yang muncul di belahan barat setelah ibnu thufail adalah ibnu
rasyd. Nama lengkapnya abu al walid muhammad bin ahmad bin muhamad bin rasyd
lahir di cordova pada tahun520 H/ 1126 M. Keluarganya terkenal alim dalam ilmu
fiqih. Ayah dan kakeknya pernah menjadi kepala pengadilan di andalusia. Ia hidup
dalam keluarga yang ma akademis ayahnya dan kakeknya seorang ahli fiqih.
Sebagaimana dijelaskan bahwa beliau berasal dari keluarga faqih maka
jabatan pertama yang ia raih adalah sebagai hakim. hal ini terbukti pada 565 H/ 1169
M, Ia dia ngkat sebagai qadhi seville yang menjadi ibu kota andalusia. Ia kembali ke
cordova sepuluh tahun kemudian sebagai qadhi, seraya tetap kembali ke cordova
sepuluh tahun kemudian sebagai qadhi. Setelah diangkat untu masa jabatan kedua
sebagai qadhi seville pada 575 m/1179 H , ia menjadi qadhi kepala kota cordova tiga
tahun kemudian. Dalam upacara-upacara kekhalifahan, ibnu rusyd secra simbolis
ditempatkan pada tingkat tertinggi dalam hierarki al muwahhidin.
Keterkenalan ibnu rusyd dalam bidang filsafat diawali dari peristiwa khalifah
abu yaqub yang menyuruh ibnu thufail untuk menyuuh orang meringkas intisari
filsafat aristoteles. Sejak ibnu rusyd mampu mearmu dan meringkas pikiran-pikiran
filsafat yunani, bouyges yang di kutip ahmad fuad al ahwani, ibnu rusyd disebut
sebagai “juru ulas” dan dengan sebutan itulah, dia terkenal oleh masyarakat eropa
abad pertengahan. Dante dalam karyanya divine comedy menyebut nama ibnu rusyd
bersama-sama dengan euclid, ptolomeus, hippocrates, ibnu sina, dan galen , serta
menjulukinya “ juru ulas yang agung” .

B. Filsafat ibnu rusyd


1. Agama dan filsafat
Dalam rangka membela filsafat dan para filusuf muslim dari serangan para
ulama, terutama al ghozali, ibnu rusyd antara lain menegaskan bhawa antara
agama (islam ) dan filsafat tidak ada pertentangan. Inti filsafat tidak lain dari
berpikir tentang wujud untuk mengetahui pencipta segala yang ada ini. Ibnu rusyd
mendasarkan argumennya (istidalal) dalam dalil alqur’an ( al hasyr : 2) dan (Q.S
al isra’ : 184 ), menyuruh manusia berpikir tentang wujud antar alam yang tampak

5
ini dalam rangka mengetahui tuhan. Dengan demikian, sebenarnya al quran
menyuruh umat manusia berfilsafat. Oleh karena itu, dapat di simpulkan
berdasarkan perintah al quran bahwa kaum muslim wajib berfilsafat ( wujud al adl
), atau mempelajari ( mengambil manfaat ) filsafat yunani, bukna dilarang atau di
haramkan. Menurut ibnu rusyd, bila ada teks wahyu yang arti lahiriahnya
brtentangan dengan pendapat akan, teks itu harus lah di takwilakan/ ditafsirkan
sesemikian rupa sehinga menjadi sesuai dengan pendapat akal. Kajian ini terlihat
dari kitabnya, fasl al maqal fima bain al hikmah wa asy-syari’ah min al- ittishal.
Jadi, al quran memerintahkan manusia untuk mempelajari filsafat karena
manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini dan menerungkan bermacam-
macam kemaujudan. Sasaran agama secara filosofis, yakni : agam berfungsi
sebagai pencapai teori yang benar dan perbuatan yang benar ( al-‘ilm al-haq wal-
amal al-haqq) . sebab, pengetahuan sejati ialah pengetahuan tentang tuhan ,
kemaujudan lainnya, dan kebahagiaan serta kesengsaraan di akhirat. Ada 2 cara
untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu pencerpan dan persesuaian. Persesuaian
bisa bersifat demostratif, dialektis, atau retoris.
lebih lanjut, ibnu rusyd membagi manusia dalm 3 golongan, sebagaimana
dalam al quran. Manusia terdiri 3 golongan : para filsuf, para teolog, dan orang-
orang awam ( al juumhur ). Para filsuf ialah kaum yang menggunakan cara
demostratif. Para teolog yaitu orang-orang asy’riah, yang ajaran- ajaran mereka
menjadi ajaran – ajaran resmi pada masa ibnu rusyd ialah kaum ya ng lebih rendah
tingkatannya karena mereka memulai dari penalaran dialektis dan bukan dari
kebenaran ilmiah. Orang awam ialah ‘ orang – orang retoris” yang hanya bisa
menyerap sesuatu lewat contoh pemikiran puitis.
Sejauh ini,agama sejarah dengan filsafat. Tujuan dan tindakan filsafat sama
dengan tujuan dan tindakan agama. Yang ada adalah masalah keselarasan
keduanya dalam metode dan permasalahan materi. Jika yang tradisional itu ( al
manqul ) ternyata bertentangan dengan yang rasional ( al ma’qul ), yang tradisonal
harus ditafsirkan sedemikian rupa selaras dengan yang rasional. Penafsiran yang
bersifat alegoris (ta’wil ) didasarkan pada kenyataan bahwa didalam al quran dan
ayat – ayat yang tersurat dan tersirat (batin). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa meminjam istilah Ahmad Fuad Al-Ahwani, “filsafat ialah saudara kembar
agama;keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling mencintai.”

6
2. Kebangkitan jasmani
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali, ibnu rusyd menyebutkan
bahwa terdapat pertentangan dalam tulisan Al-Ghazali mengenai kehidupan
manusia pada hari akhirat. Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali dalam bukunya,
Tahafut Al-Falasifah menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa
kebangkitan pada hari akhirat hanya bersifat rohani, tetapi dalam bukunya yang
lain, ia menyatakan bahwa kaum sufi berpendapat bahwa yang akan terjadi pada
hari akhirat adalah kebangkitan rohani. Jadi, menurut Ibnu Rusyd, tidaklah ada
ijma’ (kesepatan) ulama tentang kebangkitan jasmani pada hari akhirat, dan
karena itu, paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani
saja, tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijma’.
Dalam hal kebangkitan Ibnu Rusyd mencoba menggambarkan kebangkitan
ruhani dengan analog tidur. Sebagaimana tidur jiwa tetap hidup, begitu pula ketika
manusia mati, badan hancur tetapi jiwa tetap hidup dan jiwalah yang akan
dibangkitkan. Hal ini sebagaimana dikutip dalam bukunya Leaman Oliver yang
dikutip dalam karangan Ibnu Rusyd judul Tahâfut at tahâfut.
“Perbandingan antara kematian dan tidur dalam masalah ini adalah bukti yang
jelas bahwa jiwa itu hidup terus karena aktifitas daripada jiwa berhenti bekerja
pada saat tidur dengan cara membuat tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya,
tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa tidaklah terhenti. Oleh karena itu, sudah
semestinya keadaannya pada saat kematian akan sama dengan keadaannya pada
saat tidur....47 dan bukti inilah yang dapat difahami oleh orang yang cocok untuk
diyakini oleh orang atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-
orang yang terpelajar dimana keberlangsungan hidup dari pada jiwa itu adalah
satu hal yang pasti. Dan hal ini pun terang gemblang dari firman Tuhan : “Tuhan
mengambil jiwa-jiwa pada saat kematiannya untuk kembali kepada-Nya dan jiwa-
jiwa orang yang belum mati pada saat tidur mereka”48 Bukti inilah yang dapat
dipahami oleh seluruh orang dan yang cocok untuk diyakini oleh orang banyak
atau orang awam, dan akan menunjukkan jalan bagi orang-orang yang terpelajar
dimana keberlangsungan hidup dari jiwa itu adalah hal yang pasti.
Maksudnya orang-orang yang mati itu ruhnya ditahan Allah sehingga tidak
dapat kembali kepada tubuhnya; dan orang-orang yang tidak mati hanya tidur saja,
ruhnya dilepaskan sehingga dapat kembali kepadanya lagi. Namun demikian, Ibnu
Rusyd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan

7
dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang orang
awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang
baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk. Ungkapan tersebut
mempunyai dorongan yang lebih kuat supaya manusia dapat beramal semaksimal
mungkin untuk mencapai kebahagian akhirat. Penyebutan itu juga mudah
dipahami oleh setiap lapisan masyarakat. Namun, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa
hal-hal ukhrawi itu jauh lebih tinggi ketimbang duniawi.
Kehidupan manusia di akhirat berbeda dan lebih tinggi daripada kehidupan di
dunia. Sesuai dengan keterbatasan daya tangkap orang awam tentang hal-hal yang
abstrak, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa kehidupan manusia di akhirat lebih baik
digambarkan bentuk jasmani daripada digambarkan dalam bentuk rohani saja.
Pokok permasalahan yang timbul dalam masalah ini dikatakan oleh Ibnu Rusyd
adalah apakah kehidupan (kenikmatan dan kesengsaraan) di akhirat bersifat
jasmani atau rohani atau keduanya. Ada tiga kelompok pandangan dalam masalah
terebut. Pertama, Golongan Zindiq, mereka mengatakan bahwa keadaan disana
hanya menyangkut masalah kenikmatan dan kelezatan yang tidak terbatas, seperti
kenikmatan dan kelezatan dalam kehidupan dunia. Kedua, golongan yang
menyakatan bahwa keadaan (kenikmatan dan kesengsaraan) disana hanya bersifat
rohani. Ketiga, golongan yang mengatakan bahwa keadaan disana adalah bersifat
jasmani seperti di kehidupan dunia dengan perbedaan dalam masalah kekekalan di
akhirat. Ia sendiri sependapat dengan golonganyang kedua, karena menurutnya,
unsur jasmani (kuantitas/fisik) manusia telah rusak setelah kematian, yang tidak
rusak dari manusia setelah kematian adalah unsur rohani (kualitas)nya.
Jadi, masalah kebangkitan itu termasuk persoalan yang sangat tua. Ibnu Rusyd
menyebutkan bahwa penjelasan tentang peristiwa itu berguna untuk mendorong
manusia untuk meyakini dan mengagungkannya. Hanya Allah yang mengetahui
perkara kebangkitan secara jasmani dan rohani. Para filosof melihat bahwa
kematian menyebabkan tubuh itu hancur menjadi tanah. Apakah tubuh yang telah
hancur itu yang akan dibangkitkan kembali oleh Allah, kalau Allah menciptakan
tubuh itu kembali, maka hal itu bukanlah kebangkitan, tetapi penciptaan ulang.
Al-Qur’an tidak menjelaskan dan tidak mengharuskan orang mengetahui bentuk
kebangkitan itu. Ini menunjukkan bahwa mengetahui bentuk kebangkitan itu tidak
penting. Yang penting adalah keyakinan akan adanya kebangkitan.

8
3. Pengetahuan Tuhan
Masih dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap para filsuf
Muslim, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para filsuf Muslim tidaklah
mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i (perincian yang
terjadi) pada alam semesta ini atau tidak megetahuinya. Seperti halnya setiap
ulama islam, para filsuf Muslim juga berpandangan bahwa Tuhan mengetahui hal-
hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka persoalkan adalah bagaimana
cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i itu. Menurut Ibnu Rusyd, para
filsuf Muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tentang hal-hal yang
bersifat juz’i itu tidaklah seperti pengetahuan manusia tentang hal- hal demikian
karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek (akibat dari memerhatikan
hal-hal juz’i itu), sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yakni sebab
bagi munculnya hal-hal yang bersifat juz’i itu. Selain itu, ketidaksamaan tersebut
disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim, yakni semenjal azali
Tuhan mengetahui hal-hal bersifat juz’i dialam semesta ini, betapa pun kecilnya
hal tersebut. Manusia tidak memiliki pengetahuan sama sekali, tetapi kemudian
secara berangsur-angsur, memperoleh pengetahuan setelah memerhatikan bagian
demi bagian alam secara seksama.
Kritik Al-Ghazali kedua adalah tentang apakah Tuhan tahu terhadap hal hal
kecil atau tidak. Al-Ghazali memandang bahwa Tuhan Maha Segala Tahu, baik
besar ataupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu ssyang
universal bukan perkara yang kecil [partikular]. Tudingan ini, penulis kutip
sebagai berikut:
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka, "Tuhan yang Mahamulia
mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat
partikular." Pernyataan ini jelas-jelas menunjukkan ketidakberimanan mereka.
Sebaliknya yang benar adalah "tidak ada sebutir atom pun di langit maupun di
bumi yang luput dari pengetahuan-Nya."
Ibnu Rusyd menyangkal bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang kecil,
tidaklah seperti yang ditudingkan. Semuanya harus dilihat apakah pengetahuan
Tuhan itu bersifat qadim atau hadis terhadap peristiwa kecil itu. Dalam hal ini,
Ibnu Rusyd membedakan ilmu qadim dan ilmu baru terhadap hal kecil tersebut.

Anda mungkin juga menyukai