Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ibnu Rusyd, ia adalah seorang faqih (ahli hukum Islam) sebelum
sebagai filosof dna jaksa agung Qordova sesudah ayah dan kakaknya. Hukum
dan peradilan mengatakan bahwa tidak ada taklif tanpa ada kebebasan dan
kehendak. Para ahali hukum Islam mempunyai banyak kajian tentang
kemampuan seorang mukallaf. Ibnu Rusyd sendiri menurut para penulis
sejarah hafal fiqih, yang dalam hal ini mengunggili orang-orang di zamannya.
Ia menguasai fatwa dari mazhab Malik dan para pendukungnya. Ia juga ahli
dalam ilmu usul dan fara’id (warisan). Orang- orang Asy’ariah punya
pendapat-pendapat yang tidak terlepas dari kritiknya. Khususnya, ia tidak
menyetujui pendapat mereka tentang kasab dan ikhtiar, karena teori ini jelas-
jelas tidak sejalan dengan prinsip pahala dan dosa di samping tidak
mendukung teori dan tanggung jawab.
Istilah Filsafat Pasca Ibnu Rusyd yang dimaksud dengan istilah Filsafat
Islam Pasca - Ibn Rusyd ialah tradisi ke filsafatan yang berkembang di
daerah teritorial Islam di masa setelah wafatnya Ibn Rusyd. Buku-buku teks
standar tentang Filsafat Islam yang dikarang baik oleh orang Arab maupun
orang Barat orientalist sampai saat ini masih menganggap bahwa tradisi
kefilsafatan di Dunia Islam praktis hilang setelah wafatnya Ibn Rusyd. Inilah
yang hendak dibantah dalam buku ini, bahwa tradisi ke filsafatan dalamDunia
Islam tidak benar dikatakan 'mati' dengan kematian Ibn Rusyd, tetapi hanya
berpindah tempat, ke tempat mana tradisi ke filsafatan dapat kembali tumbuh
subur. Pilihan dijatuhkan oleh para filsuf Islam ketempat-tempat seperti
Persia dan Turki.
Istilah Filsafat Islam Pasca-IbnRusyd (Post-Averroes Philosophy)
sendiri dipopulerkan oleh seorang ahli Iran bernama Henry Corbin, untuk
membantah pandangan arus – utama bahwa setelah Ibn Rusyd praktis tradisi
Filsafat Islam 'mandeg' dan 'mandul'.
1.2 Rumusan Masalah
 Bagaimana biografi tokoh-tokoh filsafat islam pasca Ibnu Rusyd?

1
 Apa saja pemikiran–pemikiran dari tokoh-tokoh filsafat Isalam
pasca Ibnu Rusyd ?
 Apa saja karya dari tokoh-tokoh filsafat Isalam pasca Ibnu Rusyd ?

1.3 Tujuan Penulisan


 Mengetahui biografi tokoh-tokoh filsafat islam pasca Ibnu Rusyd
 Mengetahui pemikiran–pemikiran dari tokoh-tokoh filsafat Islam
pasca Ibnu Rusyd
 Mengetahui karya–karya dari tokoh-tokoh filsafat Isalam pasca
Ibnu Rusyd

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Biografi, Pemikiran dan Karya Nashr Al-Din Tusi

2
A. Biografi Nashr Al-Din Tusi
Sarjana Muslim yang kemasyurannya setara dengan teolog dan filusuf
besar sejarah gereja, Thomas Aquinas1, memiliki nama lengkapnya adalah
Khwajah Nasir al Din Abu Ja’far Muhammad Ibn Muhammad Ibn Hasan. Ia
seorang sarjana yang mahir dalam bidang ilmu pengetahuan matematika,
astronomi, dan politik. Sesuai nama panggilannya At-Thusi karena ia
dilahirkan di kota Tus dekat Meshed, Persia. pada tanggal 18 Februari 1201/
597 H. Ayahnya bernama Muhammad bin Hasan, yang mendidik Tusi sejak
pendidikan dasar. Kemudian dia mempelajari fiqih, ilmu hikmah, dan ilmu
kalam, serta isyaratnya Ibnu Sina dan matematika.

Ia lahir pada awal abad ke 13 M ketika dunia Islam tengah mengalami


masa-masa sulit. Karena pada masa itu tentara Mongol yang begitu kuat
menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam
dihancurkan dan penduduknya dibantai habis tentara Mongol dengan sangat
kejam.2 Thusi meninggalkan kota kelahirannya, pergi ke kota Baghdad. Di
sana ia belajar tentang ilmu pengobatan dan filsafat dari guru Qutb Al Din,
matematika dari Kamal Al Din ibnu Yunus, dan fiqh serta ushul fiqh dari
Salim ibn Badran.

Di masa kehidupannya, Nashiruddin Ath-Thusi dikenal sebagai


Ilmuwan yang serba bisa (multi talented). Sumbangannya terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tidak ternilai besarnya.
Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri
untuk mengembangkan beragam ilmu astronomi, biologi, kimia,
matematika, filsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam. Sebagai seorang
ilmuwan yang amat kondang pada zamannya Nashiruddin memiliki banyak
nama, antara lain; Muhaqqiq Ath-Thusi, Khuwaja thusi, dan Khuwaja Nasir.

1 Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009 hal 245

2 Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009 hal 246

3
Sebagai awal karirnya ia terkenal ahli di bidang astronomi, yakni pada
pemerintahan Nasir Al din ’Abd Al Rahim di benteng gunung Ismailliyah
Quhistan. Popularitasnya semakin melesat sampai pemerintahan ’Ala Al Din
Muhammad, Syek Agung VII dari Alamut. Meskipun ia sudah belajar ilmu
agama sejak ia kecil, Ath-Thusi juga mempelajari ilmu fiqh, ushul, hikmah
dan kalam dari Mahdar Farududdin Damad, dan matematika dari
Muhammad Hasbi.3

Pada tahun 1259 M, Nashiruddin membentuk Observatiorium


Maraghah, yakni suatu majlis yang hebat yang terdiri atas orang-orang
pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khusus untuk pengajaran
ilmu-ilmu filsafat. Observatorium Maraghah mulai beroperasi pada tahun
1262 M. Pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan
sarjana dari Persia dan dibantu oleh ahli astronomi dari Cina. Teknologi
yang digunakan di Observatorium itu terbilang canggih pada zamannya.4
Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di
Observatorium itu ternyata merupakan penemuan Nashiruddin, salah
satunya adalah ’kuadran azimuth’. Selain itu, dia juga membangun
perpustakaan di Observatorium itu. Koleksi bukunya terbilang lengkap,
terdiri atas beragam ilmu pengetahuan. Di tempat itu, Nashiruddin tidak
hanya mengembangkan dibidang astronomi saja. Dia pun turut
mengembangkan matematika serta filsafat.

B. Pemikiran-Pemikiran Nashr Al-Din Tusi


a. Filsafat Metafisika

3 Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009 hal 246

4 http://syafieh.blogspot.com/2013/05/nashr-al-din-tusi-filosuf-islam-pasca.html

4
Menurut Nashiruddin Ath-Tusi, metafisika terdiri atas dua bagian,
pertama ilmu Ketuhanan (’Ilmi Ilahi), kedua filsafat pertama (falsafahi
ula). Ilmu Ketuhanan meliputi Tuhan, akal, dan jiwa, pengetahuan
tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam
semesta yang merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang
kelompok-kelompok ketunggalan dan kemajemukan, kepastian dan
kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidak kekalan juga
membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut. Di antara cabang
(furu’) metafisika itu termasuk pengetahuan ke-Nabian (nubuwwat).
Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa metafisika merupakan esensi
fuilsafat Islam dan lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-
gagasan.5
Bagi Ath-Tusi eksistensi Tuhan sebagai postulat (yang sudah terang
akan kebenaran bahwa Allah Itu ada), harus di yakini oleh manusia, dan
bukan harus dibuktikan.
Pembuktian eksistensi Tuhan atau wujud Tuhan bagi manusia
adalah mustahil, karena pemahaman manusia tentang wujud Tuhan
sangat terbatas untuk dipikirkan. Meskipun Ath-Tusi membagi metafisika
atas ilmu Ketuhanan dan filsafat pertama, tetapi di dalamnya tidak
mencakup kajian pembuktian eksistensi Tuhan, karena ini suatu hal yang
di luar batas kemampuan pembuktian manusia. Nashiruddin Ath Tusi
berpendapat sama halnya dengan filosof lainnya yang mengulas teori
cretio ex nihilo yaitu sebuah teori yang menyatakan adanya penciptaan
sesuatu dari tidak ada.

Sebagaimana dijelaskan Allah dalam Q.S. Yasiin: 82

5 http://syafieh.blogspot.com/2013/05/nashr-al-din-tusi-filosuf-islam-pasca.html

5
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah
berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia”.
Dalam ayat ini sangat jelas bahwa dalam ajaran Islam memisahkan
antara Allah dengan alam yang pada dasarnya juga berstatus pada teori
cretio ex nihilo yakni bahwa alam pada mulanya tidak ada, kemudian ada
dengan perintah Allah.[5] Ia berpandangan Tuhan sepadan dengan
penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Akan tetapi,
dalam Fushul, dia meninggalkan sikap itu sepenuhnya. Di situ ia
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang bebas dan menumbangkan
teori mengenai penciptaan karena desakan. Jika Tuhan mencipta karena
Dia butuh mencipta. Thusi mengemukakan, berarti tindakan-tindakan-
Nya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu, jika satu bagian dari
dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan itu tentu juga menjadi tiada.
Ini dikarenakan penyebab keberadaan-Nya itu ditentukan oleh ketiadaan
bagian-bagian lain dari penyebabnya, dan seterusnya. Karena semua
yang ada itu bergantung kepada keperluan Tuhan, ketiadaan mereka
akhirnya menjadikan ketiadaan Tuhan sendiri.
Selanjutnya, mengenai apakah alam ini qadim atau diciptakan oleh
Tuhan dari ketidakadaan (hadis), merupakan suatu masalah yang masih
menjadi perdebatan dalam filsafat Islam. Ath Tusi berusaha memarpakan
tentang alam ini di dalam bukunya yang berjudul Tashawwurat ( di tulis
pada masa pemerintahan Ismailliah), ia melakukan sebuah perujukan atas
pendapat Aristoteles dan Ibnu Maskawaih yang mengatakan bahwa dunia
ini kekal, karena menyifatkan gerakannya pada penciptaan Tuhan. Ath-
Tusi membantah pendapat ini, ia memulai dengan mengecam doktrin
cretio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika dunia
ini belum maujud dan kemudian Tuhan menciptakannya dari ketiadaan,
“secara jelas mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah pencipta sebelu
adanya penciptaan dunia ini atau kekuatan penciptaan-Nya masih
potensial yang pada kemudian hari baru diwujudkan, ini merupakan
penyangkalan atas daya cipta-Nya yang kekal. Kemudian Ath-Tusi

6
menutup pembahasannya dengan ungkapan bahwa dunia ini kekal karena
kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya, meskipun dalam hak dan
kekuatannya sendiri, dan ia tercipta (muhdats).
Adapun dalam karyanya yang lain berjudul Fushul (risalah yang
terkenal dan paling banyak di ulas), Thusi meninggalkan sikap tersebut
sekaligus mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai cretio ex
nihilo. Ia menggolongkan Zat menjadi yang pasti dan yang mungkin, dia
mengemukakan bahwa eksistensi yang mungkin itu bergantung pada
yang pasti; dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain dari dirinya,
tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud sebab penciptaan
yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak maujud itu tidak
ada, begitu juga Kemaujudan Yang Pasti itu menciptakannya yang
mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan
hal-hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhdats).
b. Filsafat Etika

Tujuan dari filsafat etika (akhlak) Nashiruddin Ath-Tusi ini adalah


untuk menemukan cara hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Agar
bisa mencapai kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk
sering berbuat baik, menempatkan kebaikan di atas keadilan dan cinta.
Menurut Plato, yang termasuk perbuatan baik menyangkut
kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Keempat hal ini
termasuk pada trinitas jiwa yang meliputi akal, kemarahan, dan hasrat.
Namun Ath-Tusi dalam menempatkan kebajikan-kebajikan itu bukan
berasal dari teori Plato, melainkan pendapat Tusi sependapat dengan Ibnu
Maskawaih. Ia menempatkan kebajikan di atas keadilan, dan cinta
sebagai sumber alam kesatuan, di atas kebajikan.
Sebagaimana keadaan dari perbuatan baik, selalu di usik dengan
perbuatan jahat. Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu
kebaikan yang sudah terlalu berlebihan, baik eksesnya maupun
kerusakannya. Berbeda halnya denga Ibnu Maskawaih, setelah ia

7
menyebutkan kejahatan satu demi satu hingga sampai kedelapan terlalu
kelihaian dan kebodohan (safat dan balahat), gegabah dan pengecut
(tahawwur dan jubbun), pemanjaan dan pemantangan (syarakat dan
khumud), kelaliman dan penderitaan (jaur dan mahanat). Berdasarkan
pola Aristoteles ini, iaa menggambarkan sebab-sebab dan cara-cara
menghilangkan rasa takut dan sedih. Namun, Ibnu Maskawaih tidak
menjelaskan pakah rasa takut dan sedih itu membentuk keberlebihan atau
kekurangan, kemarahan, dan hasrat. Maka masalah ini Tusi mengkaji dan
menemukan masalahnya.
Selain dari kebaikan dan kejahatan, satu hal lagi yang
mempengaruhi etika adalah penyakit. Penyakit yang dimaksud dalam hal
ini adalah penyakit moral manusia, dimana penyakit ini merupakan
penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut Ath-Tusi, penyakit
moral ini bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yakni;
keberlebihan, keberkurangan, dan ketakwajaran akal, kemarahan atau
hasrat.
Dari teori tiga sebab ini, Tusi menggunakannya dengan cara
menggolongkan penyakit-penyakit fatal menjadi tiga golongan penyakit-
penyakit fatal akal teoritis yang terbagi menjadi tiga karakter, yaitu:
1) Kebingungan Hariat
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk
membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya bukti
yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan
terhadap suatu masalah yang kontroversial. Untuk menghilangkan
kebingungan, maka Tusi menyarankan agar orang yang bingung
disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian, penegasan dan
penyangkalan, itu semua bertentangan dengan sifat eksklusif, tidak dapat
bermaujud dalam satu benda pada waktu yang sama, sehingga dia
mungkin bisa teryakinkan bahwa jika suatu hal benar, ia tidak mungkin
salah, dan jika salah, ia tidak mungkin benar. Setelah dia memahami

8
prinsip bukti diri ini, dia bisa diberi pelajaran mengenai aturan-aturan
silogisme untuk memudahkan penemuan kekeliruan dalam argumentasi.
2) Kebodohan Sederhana (jahl-i basit)
Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan
suatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam
itu merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak untuk
mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal kalau merasa puas dengan
keadaan begitu. Penyakit itu bisa disembuhkan dengan jalan
menunjukkan kepada si pasien fakta bahwa pengakakanlah, dan
bukannya penampilan lahiriah, yang membuat manusia berhak disebut
manusia, dan bahwa manusia yang bodoh itu tidak lebih baik
dibandingkan binatang; bahkan lebih buruk dari itu sebab binatang masih
bisa dimaklumi karena ia tak memiliki nalar.

3) Kebodohan Fatal (jahl-i murakkab)

Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia kan sutau hal dan


dia merasa mengetahui hal itu. Walaupun dia bodoh, dia tidak tahu
bahwa dia memang bodoh. Menurut Ath Tusi, penyakit ini adalah
penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi dengan upaya keras
dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan
kefatalannya menjadi kebodohan bersama.

Pandangan Tusi secara keseluruhan, ia menganggap bahwa


manusia adalah makhluk sosial, maka untuk memperkuat sikap daripada
manusia itu sendiri, manusia mesti mencapai sebuah watak yang baik
terhadap sesamanya samapi batas sempurna. Kesempurnaan ini
disebutnya dengan perdaban. Manusia hidup saling membutuhkan maka
sangat mustahil manusia bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.

c. Filsafat Jiwa

Pandangan Tusi tentang jiwa, ia berasumsi bahwa jiwa merupakan


suatu realitas yang bisa terbukti sendiri dan karena itu tidak memerlukan

9
lagi bukti lain, lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan. secara kasat mata.
Masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu
sendiri merupakan suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab
suatu argumen masyarakat tentang adanya seorang ahli argumen dan
sebuah masalah untuk diargumentasikan, sedangkan dalam hal ini,
keduanya sama yang bernama jiwa. Jiwa mmpunyai sifat sebagai
substansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Jiwa
berkerja untuk mengontrol tuubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasa,
tetapi jiwa tidak bisa dirasa lewat alat-alat tubuh.
Kalau melihat kepada para filosof sebelumnya maka ada dikatakan
dengan jiwa vegetatif yakni pada manusiawi dan hewani. Di luar dari itu,
Ath Tusi menambahkan satu jiwa lagi yakni jiwa imajinatif yang
menempati posisi tengah di antara jiwa hewani dan manusiawi. Jiwa
manusiawi ditandai dengan adanya akal (natiq) yang menerima
pengetahuan dari akal pertama. Akal itu, ada dua jenis ; (1) akal teoritis
dan akal praktis, sebagaimana dikemukakan oleh Aristoteles. Dilihat dari
pendapat al-Kindi, maka Ath Tusi beranggapan bahwa akal teoritis
merupakan suatu potensialisme yang perwujudannya mencakup empat
tingkatan, yaitu akal material (‘aql-i hayulani), akal malaikat (‘aql-i
malaki), akal aktif (‘aql-i bi alfi’l), dan akal yang diperoleh (‘aql-i
mustafad). Pada tingakatan terakhir (akal perolehan) setiap bentuk
konseptual yang terdapat di dalam jiwa menjadi nyata terlihat seperti
wajah seseorang yang ada di dalam kaca yang dapat dilihat oleh orang
tersebut. Di sisi lain, akal praktis berkenaan dengan tindakan-tindakan
yang tak sengaja dan yang disengaja. Sebab itu, potensialnya diwujudkan
lewat tindakan-tindakan moral, kerumahtanggaan dan politis.
Adapun mengenai tradisi yang diterima Ath Tusi dari Ibnu Sina dan
al-Ghzali, ia mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah
menempatkan akal sehat (mushawwirah) di awal bagian pertama ruang
otak yang kedua, imajinasi di bagian depan ruang otak yang ketiga,
sedangkan ingatan berada dibelakang otak (otak kecil).

10
C. Karya-Karya Nashr Al-Din Tusi
Nashiruddin At-Thusi adalah seorang sarjana muslim terkenal, sebagai
seorang yang lebih mahir daripada ahli pikir yang kreatif. Ia banyak
membuat pencerahan-pencerahan dalam agama, baik dalam bentuk tulisan
maupun dalam bentuk realisasi aktifitas kesehariannya. Sebagai seorang
ilmuwan tentunya tercermin dari karya-karya tulis berupa buku dan kitab
yang bisa kita lihat sampai hari ini, di antara karya-karyanya antara lain:
1. Karyanya di bidang logika
 Asas Al-Iqtibas
 At-Tajrid fi Al-Mantiq
 Syarh-i Mantiq Al-Isyarat
 Ta’dil Al-Mi’yar
2. Karyanya di bidang Metafisika
 Risalah dar Ithbat I Wajib
 Itsat-i Jauhar Al-Mufariq
 Risalah dar wujud-i Jauhar-i
 Mujarrad
 Risalah dar Itsbat-i ’Aql-i Fa’al
 Risalah Darurat-i Marg
 Risalah sudur Kathrat az Wahdat
 Risalah ’Ilal wa Ma’lulat Fushul
 Tashawwurat
 Talkis Al-Muhassal, dan
 Hall-i Musykilat Al-Asyraf
3. Karyanya di bidang etika
 Akhlak-i Nashiri
 Ausaf Al-Asyraf
4. Karyanya di bidang teologi/dogma
 Tajrid Al’Aqa’id
 Qawa’id Al-’Aqa’id
 Risalah-i I’tiqadat
5. Karyanya di bidang astronomi
 Al-Mutawassithah Bain Al-Handasa wal Hai’a
 Kitab At-Tazkira fi al-Ilmal-hai’a
 Zubdat al-Hai’a (yang terbaik dari astronomi)
 Al-Tahsil fil An-Nujum
 Tahzir Al-Majisti
 Mukhtasar fial-Ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-
Taqwin (ringkasan astrologi dan penanggalan)

11
 Kitab Al-bari fi Ulum At-Taqwin wa Harakat Al-
Afak wa Ahkam An-Nujum (buku terunggul tentang
Almanak, gerak bintang-bintang dan astrologi kehakiman)
6. Karyanya di bidang aritmatika, geometri, dan trigonometri
 Al-Mukhtasar bi Jami Al-Hisab bi At-Takht wa At-
Turab (Ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan
bumi)
 Al-Jabar wa Al-Muqabala (Risalah tentang al-Jabar)
 Al-Ushul Al-Maudua (Risalah mengenai Euclidas
Postulate)
 Qawaid Al-Handasa (kaidah-kaidah geometri)
 Tahrir al-Ushul
 Kitab Shakl Al-Qatta (Risalah tentang triteral),
sebuah karya dengan keaslian luar biasa, yang ditulis
sepanjang abad pertengahan.
7. Karyanya di bidang Optik
 Tahrir Kitab Al-Manazir
 Mabahis Finikis Ash-shur’ar wa in Itaafiha
(penelitian tentang refleksi dan dedfleksi sinar-sinar).
8. Karyanya di bidang seni (syair), meskipun tidak sepopuler
Omar Khayam dan Jalaluddin Rumi, ia juga menghasilkan karya
yang diabdaikan dalam bukunya yang berjudul Kitab fi Ilm Al-
Mau-siqi dan Kanz At-Tuhaf.
9. Karya di bidang medikal adalah Kitab fi Ilm Al-Bab
Bahiyah fi At-Tarakib As-Sultaniyah; buku tentang cara diet,
peraturan-peraturan kesehatan, dan hubungan seksual.

2.2 Biografi, Pemikiran, dan Karya Mulla Sadra


A. Biografi Mulla Sadra (1571-1640 M)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-
Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan
sebutan Mulla Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-
murid serta pengikutnya disebut ‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar
tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup
berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim

12
bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan
dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-
politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.
Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan
dirinya untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti
penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi
biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan
formalnya berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak
sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan dari tradisi Syiah:
fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan
Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih-
baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir Fenderski
(w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof,
Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad
nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan
juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al-
Farabi).Tampaknya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan
yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina
dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah
melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang
meletakkan dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis
(Hikmat al-Isyraq).
Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa
meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-
pandangannya dari Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua, dia menarik diri
dari khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama
pereode ini, pengetahuan yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang
semakin utuh, serta menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya.
Beberapa bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah disusunnya pada pereode ini.
Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar di Syiraz, dan menolak
tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya

13
pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk
menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga melakukan praktek
asketis sebagaimana disebutkan dalam karyanya sehingga beberapa
argument filosofisnya dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman
visionernya (mukasyafah).
Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh,
yang kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual
pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain
oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641
M saat pulang menunaikan ibadah haji yang ketujuh kalinya.
B. Filsafat Mulla Sadra
 Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah
yang sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental
seperti prestasi sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat
Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat al-
wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla
Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al-
Hikmat al-Muta’aliyah).
Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah
bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua
modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua
modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah
eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan”
(apperiance) belaka.
Para filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas
persoalan ini. Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi .
Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau
realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi dan sifat-sifatnya
bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi ini,
keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan

14
itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi
adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu
Tuhan. Sedangkan esensi tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam
pengetahuannya.
Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari
esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang
merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi yang bagi
Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha
cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda yang
beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau kebenderangannya.
Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi
diatas, tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil
pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi,
namun menolak Ibnu Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan
wujud. Bagi Sadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya
ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi
Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak
pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun
menangkap esensi atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan
mendasar antara esensi dengan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi
dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi adalah gambaran
umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun
demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai
cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep
mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan.
Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam
pengalamannya terhadap wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan
secara sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran
analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi mereka
yang sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan
pengalaman intuitif secara langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa

15
merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang
bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan
kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa
sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman mistis
adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis
sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif. Pengelaman yang
bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan penalaran, bahkan
ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif
dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal.
Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa
dirasakan atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu
memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap
pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas
argumen-argumen rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun
akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman
spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika
intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu.
Semua itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara
utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu
ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia,
yang terpusat pada kalbu
 Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)
Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi
tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan.
Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al-
wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni
eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut
Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada
nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang
dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan
tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas

16
versi Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut
Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara
teologi, filsafat dan mistik.
Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta’aliyah, wujud merupakan
suatu realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan
dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang
beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu
dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam
adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda
dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang
individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara
mutlak ide kejamakan wujud.
Gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua
unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi
cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni
kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan
bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi
wujud.
 Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)
Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah
sumbangan orsinil Mulla Shadra terhadap filsafat Islam. ajaran ini
merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi
wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi
tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla
Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion
tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam
semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan
keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu
sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada
dalam gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan gerak, dan

17
gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti
dan berjalan terus menerus.

Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah


al- Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka
berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden;
kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat
(‘ayn). Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat
kategori akseden yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita
tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita
mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain.

Mulla Shadra berpendapat bahwa disamping perubahan pada


empat kategori aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat
bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material dan keadaan
yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua
ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga
selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung
pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan
perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak.
Gerakan ini berasal dari penggerak pertama yang immaterial, menuju
penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi sesuatu
non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Shadra mempertahankan
sifat huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan
waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas
gerak. Sebab mendasar yang menjadikan akseden dalam bergerak
adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai
tempat kebaruannya.

 Filsafat Jiwa
Mulla shadra sebagaimana Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai
Entelenchy badan. Oleh sebab itu tidak bersifat abadi dalam arti bermula,
jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi . untuk menyatakan
bahwa itu terpisah dan bebas dari materi hanyalah dengan menyakini adanya

18
praeksistensi jiwa. Pada saat yang bersamaan Mulla shadra menolak
pandangan ibn Sina yang menyatakan bahwa jiwa adalah sebuah konsep
Realisional dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat substantif. Bila jiwa
sejak lahir berada dalam satu materi, kejiwaannya tidak dapat diartikan
sebagai suatu relasi dimana seolah-olah jiwa memiliki eksistensi bebas,
maka tidak mungkin untuk meyatukan jiwa dengan badan.
Sedangkan menurut Shadra , jiwa itu bersandar pada prinsip dasar
yang disebut perubahan subtantif (istihala jauhariyyah). Pada umumnya,
jiwa itu bersifat jasmaniah tetapi akhirnya bersifat spiritual selamanya
(jismaniyat Al- hudus ruhaniyat al-baqa’) artinya manakala jiwa muncul atas
landasan materi, bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara absolut.
Dengan prinsip perubahan subtansif ini, dituntut adanya tingkatan yang
lebih tinggi dari landasan dimana jiwa berada. Oleh sebab itu dalam bentuk
kehidupan yang paling rendah sekalipun, seperti tumbuh-tumbuhan yang
bergantung pada materi. Materi atau tubuh itu hanyalah instrumen dan
merupakan langkah pertama untuk perpindahan dari alam materi menuju
alam spiritual. Sadra menegaskan bahwa badan sebagaimana ia akan
“dibangkitkan “secara identik adalah sama dengan badan, pada titik ini
sadra menduduki posisi yang sama dengan Al-Ghazali dan mencela
pandangannya tentang kebangkitan badan sebagai varian dari perpindahan
jiwa.
 Filsafat pengetahuan atau Epistimologi
Mulla Sadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai kebenaran
atau pengetahuan: jalan wahyu, jalan inteleksi (ta’aaqul), dan jalan
musyahdah dan mukasyafah (jalan penyucian kalbu dan penyingkaban mata
hati) dengan menggunakan istilah lain. Mulla Sadra menyebut jalan tersebut
sebagai jalan al-Quran, jalan Al-Burhan, dan jalan Al-irfan. Istilah husuli
(konseptual)tersebut merupakan kunci penting memahami teori pengetahuan
Mulla Sadra dalam teori pengetahuannya, Mulla Sadra membagi
pengetahuan menjadi dua jenis : pengetahuan husuli atau konseptual dan
pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk pengetahuan ini menyatu dalam diri
seseorang yang telah mencapai pengetahuan berperingkat tinggi. Bangunan

19
epistimologi mulla sadra berkaitan erat dengan idenya tentang wahdah
(unity), asalah (principality), tasykik (gradation) dan ide perubahan
substantif. Menurut sadra wujud atau realitas itu hanyalah satu yang
membentuk hierarki dari debu hingga singgasana illahi. Tuhan sendiri
adalah wujud mutlak yang menjadi titik wujud permulaan itu, dengan
demikian Tuhan adlah transenden vis-a-vis rantai wujud.
Bagi sadra filsafat dapat dibedakan menjadi dua bagian utama: (1)
bersifat teoritis, yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu
sebagaimana adanya. (2) bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian
kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Mulla Sadra memandang adanya titik
temu antara filsafat dan agama sebagai satu bangunan kebenaran ia
membuktikannya melalui pelacakan atas jejak-jejak kesejarahan manusia
dan membentangkan seluruh faktanya. Menurut sadra ditiap tempat dalam
kurun waktu tertentu selalu ada sosok yang bertanggung jawab dalam
menyebarkan kebijakan (hikmah). Jika dikaitkan dengan teori
pengetahuannya tampak bahwa titik pusat flsafat mulla sadra ialah
pengalaman makrifat (al-irfan) tentang wujud sebagai hakikat atau
kenyataan tertinggi. Bagi Mulla Sadra bukan keberadaan benda itu yang
penting, melainkan penglihatan bathin subjek yang mengamati alam
keberadaan atau kewujudan.
 Filsafat ketuhanan (metafisika)
Gagasan Mulla Sadra tentang tuhan berbeda dengan gagasan
ketuhanan yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mulla Sadra
berpendapat bahwa ketidakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan tak
cukup dengan menegaskan kekadiman dan kemanunggalan esensi Tuhan
dan wujud. Dalam pandangannya teori bahwa tuhan yang merupakan
wujud murni dan basit, bukan dalil atas keniscayaan dan ketidakbutuhan
mutlak tuhan. Teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi
merupakan maujud hakiki, bukan maujud majasi.
Dalam sistem metafisika hikmah Muta’aliyyah dengan berpijak pada
teori kehakikian wujud, wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud
berintensitas tinggi yang tak terbatas, sedangkan makhluk merupakan suatu

20
wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab
kehadiran bagi dirinya sendiri, karen itu dia harus bergantung pada wujud
mutlak. Mulla sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki
kesempurnaan dan zatNya menyatu secara hakiki dengan sifatNya.
Perbedaan tuhan dengan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang
memiliki batasan dan garis pemisah. Tapi perbedaan keduanya terletak pada
kesempurnaan Tuhan dan kekurangan Makhluk, kekuatanNya dan
kelemahannya. Oleh sebab itu perbedaan antara keduanya bukan perbedaan
yang saling berhadapan, tapi perbedaan yang bersifat “mencakupi “ dan “
meliputi”.
Dengan ungkapan lain segala wujud selainNya merupakan suatu
rangkaian gradasi dan manifestasi cahaya Zat dan SifatNya bukan sebagai
realitas-realitasyang mandiri dan berpisah secara hakiki dari WujudNya.
Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas
kemajemukan keduanya. Menurut Mulla sadra, pemahaman Tauhid seperti
itu merupakan tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimliki oleh para
monoteis sejati.
C. Karya-karya Mulla Sadra
Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk
risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum opus-nya adalah al-
Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah
Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya ini pertama kali terbit
tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas tentang soal
ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III
menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan
manusia dan nasibnya.
Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang
Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal
epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap
filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar
terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina), Risalah al-Mazaj (tentang psikologi),
Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik), hudus Al-‘alam (penciptaan

21
Alam),Kasr Al-Asnam Al-Jahiliyah Fi Daimni Al-Mutawasifin, kolq al-
a’mal, Al-A’mal, Al-Lama’ah Al- masyriqiyyah fi Al-funun Al-
Mantiqiyyah (percikan cahaya illuminasionis dalam seni logika), Al-
mabda’ wa Al-Ma’ad (permulaan dan pengembalian), mofatih Al-Gaib
(kunci alam gaib), Kitab Al- masya’ir (kitab penembus metafisika), Al-
Mizaj (tentang prilaku perasaan), mutasyabihat Al-Quran (ayat-ayat
mutasyabihat dalam al-quran), Al-qada wa Al-Qadar fi Af’ali Al-basyar
(kada dan kadar dalam perbuatan manusia), Asy-syawahid Ar-Rububiyah
fi Al-Manhij As –Suluqiyah (penyaksian illahi akan jalan kearah
kesederhanaan rohani), sarh-i Safa, Sarh-i Hikmah Al-isra, Attihad
Al-‘aqqu’il wa Al-ma’qul, Ittisaf Al-Mahiyyah bil Wujud, at –
tasakhkhus, Sarayan Nur Wujud, limmi’yya Ikhtisas Al-Mintaqah, Khalq
Al-A’mal, Zad Al-Musafir, Isalat –i Ja’l – i wujud, Al – hasriyyah, Al-
alfaz Al – Mufradah, Radd-i Subahat-i Iblis, At-Tanqih, At- Tasawur wa
At-Tasdiq, Diwan Sih’r.

2.3 Biografi, Pemikiran, dan Karya Muhammad Iqbal


A. Biografi Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab Barat Laut (yang
sekarang bernama wilayah Pakistan). Mengenai waktu kelahiran secara
tepat, terdapat perselisihan, seperti dikemukakan oleh A. Schinmel dalam
The Date of M. Iqball`s Birth, bahwa kelahiran Iqbal tanggal 22 februari
1873, tetapi dalam tesisnya, penyair (Iqbal) itu sendiri menuliskan
tanggal kelahiran 2 Dzul al-qaidah 1294 H / 1876 M. mengingat tahun
1294 Hijriah dimulai bersamaan dengan Januari 1877 M. bersesuaian
dengan 2 Dzul al-qaidah 1294 M, maka tanggal 9 November 1872
bersesuaian dengan perbedaan fase kehidupan Iqbal di callege dan
Universitas dibandingkan tahun 1973. Mengenai kekeliruan tanggal
kelahiran Muhammad Iqbal yang menyamakan tahun 1294 dengan 1876
dapat terjadi karena kemungkinan reformasi yang ia terima dari bapaknya
memang telah keliru, kekeliruan bapaknya itu tampaknya karena itu lebih

22
memperhatikan tanggal Hijriah dibandingkan dengan tanggal Masehi,
sehingga penulisan tanggal hijriah lengkap sedangkan untuk masehinya
hanya tahun saja yang tertulis. Ia adalah seorang penyiar, filsuf, dan
politisi yang menguasai bahasa Urdu, Arab, dan Persia. Muhammad Iqbal
juga seorang inspirator kemerdekaan bangsa India menjadi Pakistan.6

Keluarga Iqbal berasal dari Khamsir. Bapaknya seorang pedagang


kecil kemungkinan buta huruf, namun ia adalah seorang muslim yang
sangat ikhlas, shahih lahi sufi, yang mendorong anaknya untuk secara
teratur menghafal al-quran, demikian berpengaruh terhadap prilaku Iqbal
dalam hidupnya secara menyeluruh. Megenai nama ibunya Schimmul
tidak menyebutnya, namun dari syair yang dikutipnya tampak bahwa ibu
Iqbal adalah seorang wanita taat beragama, besar kecintaannya pada
anaknya, demukian pula Iqbal juga mencintainya. Jika pewarisan itu
dapat terjadi secara fisik berdasarkan gen, tampaknya demikian pula
secara spiritual. Dan inilah yang terjadi pada diri Iqbal yang lahir dari ibu
bapak yang sama – sama taat beragama. Iqbal belajar yang pertama kali
di the Scottish Mission School dikampung halamannya di Sialkot. Guru
pembimbingnya kala itu bernama Mir Hasan yang juga seorang ahli
sastra Persia dan Arab.

Sesudah menikah, Iqbal hijrah ke Lahora pada tahun 1895 untuk


melanjutkan study tingkat atasnya: ke kota yang merupakan salah satu
pusat keagamaan dan kebudayaan di negara itu sejak Ghaznawi berkuasa
pada abad XI dan XII, dan khususnya pada priode akhir Mongol di
sekolah inilah Iqbal berjaya dapat bertemu dengan Orientalis Inggris
terkenal Sir Thomas Arnold yang segera menyadari kemampuan Iqbal.

Pada tahun 1897, Iqbal melanjutkan studinya di Government


College di Lahore dan berhasil meraih gelar BA. Di bawah bimbingan

6 Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009 hal 260

23
orientalis terkenal, Sir Thomas Arnold, Iqbal meraih gelar Master of
Philosophy pada tahun 1899.

Menurut Harun Nasution terdapat keterangan bahwa Sir Thomas


adalah yang mendorng pemuda iqbal untuk melanjutkan study di Inggris.
Ia berangkat ke Inggris pada tahun 1905 belajar falsafah dan hukum,
guru terkemukanya di Cambridge adalah nco-Hegelian Motaggart. Pada
tahun 1907 ia meninggalkan Inggris menuju jerman, mempelajari
bahasanya di haidelbarg dan mengajukan tesisnya tentang perkembangan
metafisika di Persia (The development of Metaphisich in Persia) bulan
November 1997 di Universitas Munich. Sesudah memperoleh gelar Dr.
Phil dari Munich, Iqbal kembali ke London, memberi kuliah di musim
semi 1908 tentang topic – topic keislaman, kemudian kembali ke India
pada musim panas. Sejak itu ia memberikan kuliah – kuliah tentang
filsafat dan sastra inggris. Ia juga terjun sebagai pengacara. Akan tetapi
beberapa waktu kemudian ia berhenti mengajar, untuk selanjutnya ia
mengkonsentrasikan diri pada bidang hukum.

Pada akhir tahun 1928 dan minggu – minggu pertama tahun 1929
ia memberikan kuliah di universitas tersebut yang kemudian
dipublikasikan dengan judul Six Lectures on the Recontruction thought
in islam (pada edisi berikutnya hanya : The Reconstruction…)
merupakan esensi falsafah karya iqbal.[11] Dalam bidang politik, karir
Iqbal mencapai puncaknya ketika di pilih menjadi presiden Liga
Muslimin pada tahun 1930 ketika itulah ia mengemukakan gagasannya
yang amat monumental tentang perlunya mewujudkan negara tersendiri
bagi kaum muslimin yang terpisah dengan India yang Hindu.7

Pada bulan – bulan terakhir tahun 1931 iqbal mengikuti konfrensi


meja bundar II di London. Sekembalinya dari sana ia menghadiri
Kongres Muslim Dunia di Jerussalem. Pada tahun 1932 Iqbal kembali
lagi ke London untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar III.[13] Di
7 http://syafieh.blogspot.com/2013/05/nashr-al-din-tusi-filosuf-islam-pasca.html

24
pagi hari tanggal 21 april 1938 ia meninggal dunia dalam usia 67 tahun.
Dan memang ia meninggal dengan senyum ketenangan, seraya bibirnya
menyebut Allah.

B. Keadaan Muslim India

Komunitas muslim India sebagaimana juga komunitas muslim di


kawasan yang lain di hadapkan pada persoalan keterbelakangan yang
amat jauh bila dibanding dengan dunia barat yang modern. Disamping itu
komunitas muslim India juga diharapkan pada persoalan yang spesifik
jika dibanding dengan saudara – saudaranya dikawasan lain.

1. Mereka hidup ditengah – tengah komunitas hindu yang mayoritas,


yang secara etnis cultural dan agama amat berbeda. Hal seperti ini
menjadi kendala bagi upaya – upaya mengejar keterbelakangan dan
ketertinggalan dengan dunia barat. Sementara itu sebab – sebab utama
ketertinggalan tersebut sebagaimana terjadi dikawasan yang lain, terjadi
pula dikawasan yang didiami oleh komunitas muslim India ini.
2. Stagnasi intelektual dalam wujud berkembang dan suburnya faham
jabariyah dan tertutupnya pintu ijtihad.
3. Stagnasi sosial karena potensi umat terserap kedalam sikap hidup
zuhud dan thariqat, serta lenyapnya faham rasional yang menjadi dasar
utama ilmu pengetahuan dan teknologi.

Iqbal tampil / memberi respon tidak saja terhadap problem spesifik


komunitas muslim India, tetapi juga terhadap problema umum yang di
hadapi oleh komunitas muslim di dunia islam secara keseluruhan.
Respon yang ia berikan terhadap problem spesifik komunitas muslim
India ia kemukakan pada tahun 1930 dalam rapat tahunan liga muslim,
membentuk negara tersendiri bagi komunitas muslim yang terpisah dari
India yang hindu. Ketika ia menyatakan : I Would Like To See the
Punjab, Nort West Frontior Province, Sind and Balochistan Amalgamated
Into a single state ( saya ingin melihat Punjab, daerah perbatasan barat
laut, sindi dan balukistan menyatu menjadi satu negara ). Kelanjutannya

25
pada tanggal 14 agustus 1947 lahir sebuah negara yang bernama
Pakistan. Iqbal yang telah menyatakan perlunya negara tersendiri bagi
komunitas muslim tersebut kemudian di pandang sebagai bapak Pakistan.

D. Buah pemikiran Filsafat Muhammad Iqbal


Iqbal menyatakan bahwa sebagai seorang muslim dia percaya
bahwa al-quran sebagai sumber utama baginya. Namun, pintu ijtihad
tidak pernah tertutup karena pintu ini selalu berkembang sesuai dengan
zamannya.
Menurutnya, tujuan mulia dari al-Quran adalah untuk
membangkitkan kesadaran manusia ke level yang lebih tinggi berkaitan
dengan keberadaan Tuhan dan alam semesta. Al-Quran pun memandang
kehidupan sebagai sesuaut yang kreatif, aktif, dan progresif. Menurut
Iqbal, jika umat Isalm memandang katya besar ulama terdahulu secara
kaku, tanpa menciptakan sebuah rumusan baru yang inovatif, ketika
peradaban manusia bergerak maju, hokum akan tetap pada tempatnya
atau statis.
Namun, Iqbal juga mengakui bahwa walaupun diperlukan.
Penalaran secara ilmiah, ada beberapa ketentuan dalam Al-Quran yang
bersifat lebih dinamis dan progresif dalam menghadapi kehidupan
duniawi. Karena agama Yahudi dan Kristen telah gagal dalam menuntun
umat manusia untuk menjalani hidup.
Menurutnya, agama Yahudi terlalu mementingkan segoi-segi
duniawi, sedangkan Kristen terlalu mementingkan kehidupan ritual dan
spiritual sehingga gagal dalam menerapkan undang-undang dan
organisasi. Al-Quran mengajarkan untuk menyeimbangkan antara
kehidupan spiritual dan duniawi. Oleh karena itu, menurutnya anatar
spiritual dan duniawi. Oleh karena itu, menurutnya antara agama dan
politik tidak perlu diadakan pemisahan. Konsep inilah yanga da pada
akhirnya dikembangkan dalam kemeerdekaan Pakistan.
Alam pikiran Muhammad Iqbal berjalan pada paradigm
kebangkitan social dunia Islam. Supaya masyarakat muslim memiliki

26
pola piker dan pemahaman dinamis, aktif, dan progresif dalam memaknai
pook-poko agama Islam.

E. Pemikiran-Pemikiran Iqbal
Sebenarnya semula sebelum pergi ke eropa – Iqbal adalah
seorang nasionalis India (an India nasionalist) yang menginginkan
persatuan komunitas muslim dan komunitas hindu dalam satu tanah air,
India. Namun setelah kembali dari eropa ia menjadi pelopor pan islam (a
champion of muslim nationhood).
1. Obsesi Iqbal mengenai terbentuknya negara tersendiri bagi
komunitas muslim tidaklah bertentangan dengan faham pan islam.
Ia menyatakan bahwa islam bukan nasionalisme dan bukan pula
imperialisme, melainkan sebuah lembaga bangsa – bangsa yang
mengakui adanya perbatasan – perbatasan artificial semua
perbedaan rasial untuk mempermudah perkenalan belaka, dan
bukan untuk membatasi cakrawala sosial para anggotanya.
Berdasarkan uraian ini tampak bahwa sekalipun Iqbal secara
eksplisit menolak nasionalisme, namun secara implicit ia mengakui
pentingnya nasionalisme yang tersubordinasi pada pan islam. Ia
memang menolak faham nasionalis hanya karena di eropa faham
tersebut mengandung bibit meterialisme dan atheisme. Disamping
itu ia curiga adanya “konsep hinduisme dalam bentuk baru”. Pada
faham nasionalis India.
2. Respon Iqbal terhadap stagnasi intelektual umat islam
termasuk juga komunitas muslim India ia sampaikan melalui kajian
antara lain tentang ego manusia: kebebasan dan keabadiannya.[20]
Iqbal mengemukakan adanya kebebasan manusia, sebagai dasar
adanya pertanggung jawaban. Ia memandang ego sebagai “a free
personal causality” yang dengan demikian ia menolak faham
jabariyah, selanjutnya Iqbal mengemukakan bahwa faham
tertutupnya pintu ijtihad sebagai “purofiction”. Sebagai semata-
mata fiksi, karena ijtihad itu sebenarnya merupakan elan vital bagi
dinamika islam, tentu penutupan pintu ijtihad itu sama sekali tidak

27
dapat dicarikan dasar legitimatifnya. Iqbal melihat adanya kominasi
kaum konsertatif terhadap faham rasionalis dengan cara
menggunakan otoritas syariat untuk membuat umat tunduk dan
diam, sebagai salah satu sebab terjadinya kebekuan hukum islam
yang pada gilirannya menjadikan ijtihad sebagai suatu yang
terlarang. Hal itu dilakukan semata-mata demi stabilitas sosial
untuk mendukung kesatuan politik. Dalam kaitan dengan ini, upaya
yang ditempuh oleh ibn taimiyah menolak pendirian bahwa
keempat mazhab telah membahas semua persoalan yang dengan
demikian ijtihad tidak diperlukan lagi, menarik minat Iqbal.
3. Selanjutnya Iqbal melihat kezuhudan juga turun
bertanggung jawab terhadap kemunduran umat, karena umat akan
terbawa pada penolakan hidup materi untuk semata mencurahkan
seluruh potensi pada ritus-ritus keagamaan semata. Dalam
kaitannya dengan ini tampaknya kezuhudan yang berpengaruh di
India juga di persubur oleh faham – faham keagamaan di luar islam
seperti faham agama budha, yang penganjur utamanya yaitu
ghautama jelas-jelas telah melepas kehidupan materialnya dalam
upaya untuk menemukan hakikat hidup nirwana.Jatuhnya kota
Baghdad menurut Iqbal merupakan puncak penyebab kebekuan
intelektual kaum muslimin. Seperti diketahui Baghdad merupakan
pusat kemajuan pemikiran islam sampai pertengahan abad ketiga
hijriyah. Ditambah lagi adanya sikap kaum konserpatif menolak
negara untuk pembaharuan dalam bidang hukum islam untuk
kemudian berpegang teguh pada produk ijtihad ulama pada masa
dahulu, benar – benar mempunyai peranan besar terhadap
terjadinya stagnasi intelektual tersebut. Terapi yang diberikan oleh
Iqbal ialah menghidupkan kembali upaya ijtihad secara bebas.
Lebih jauh iqbal mengemukakan pentingnya pemindahan otoritas
ijtihad dari wakil – wakil mazhab kepada dewan islam, dan ia
menyatakan inilah kemungkinan ijma` dewasa ini dapat terjadi.

28
Ijtihad berarti upaya mencurahkan segenap kemampuan intelektual,
dan ini berarti menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi.
Bahkan menurut Iqbal ijtihad merupakan “the principle of
movement in the structure of islam”. Dengan demikian dalam
konsep ijtihad terdapat pula aspek perubahan , karena dengan
adanya perubahan itulah ijtihad perlu dilakukan. Dengan adanya
perubahan, sekaligus perkandungan dinamika kehidupan umat
manusia, bahkan juga dinamika alam semesta. Dari sinilah Iqbal
amat cerdik sekali menemukan ajaran dinamisme. Ia menangkap
adanya prinsip dinamika hamper pada semua segi, termasuk jatuh
bangunnya suatu umat juga tidak terlepas dari prinsip dinamika ini.
Harun nasution menyimpulkan bahwa faham dinamisme yang
ditonjolkan inilah yang membuat Iqbal mempunyai kedudukan
penting dalam pembaharuan di India. Memang terapi Iqbal dengan
faham dinamikanya ini amat tepat dilihat dari sudut keminoritasan
komunitas muslim ditengah – tengah komunitas hindu yang
mayoritas, karena dengan menyuntikkan kapsul dinamika itu
kedalam komunitas muslim menyebabkan mereka dapat tampil
dengan eksistensi secara penuh.
Dalam syair-syairnya sebagaimana dinyatakan oleh harun nasution
Iqbal mendorong umat islam supaya bergerak dan jangan tinggal diam,
intisari hidup adalah gerak, sedang hukum hidup ialah menciptakan,
maka Iqbal berseru kepada umat islam supaya bangun dan menciptakan
dunia baru. Untuk keperluan ini umat islam harus menguasai ilmu dan
teknologi, dengan catatan agar mereka belajar dan mengadopsi ilmu dari
barat tanpa harus mengulangi kesalahan barat memuja kekuatan materi
yang menyababkan lenyapnya aspek etika dan spiritual.
F. Karya Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal meninggalkan warisan karya tulis cukup banyak.
Beberapa berbentuk prosa, puisi, pengantar bagi karya penulis lain,
jawaban atas tanggapan pembaca atau umum, dan lain-lain. Kebanyakan
karya nya berbahasa Persia dengan tujuan agar karyanya dapat diakses

29
masyarakat muslim, tidak hanya untuk masyarakat India. Waktu itu,
bahasa Persia merupakan bahasa yang dominan digunakan oleh
masyarakat muslim di dunia dan masyarakat terepelajar. Beberapa
karyanya adalah sebagai berikut:
 The Development of Metaphysic in Persia merupakan judul
desertasi saat meraih gelar Doctoris Philosophy Gradum di
Universitas Munich dan diterbitkan di London.
 Asra-I Khudi diterbitkan di Lahore pada 1916. Buku ini
membahas tentang proses untuk mencapai tahap manusia sempurna
atau insane kamil.
 Rumuz-I Bukhudi diterbitkan di Lahore pada tahun 1918.
 Javid Nama diterbitkan di Lahore pada tahun 1932.
 The Reconstuction of Religious Thought in Islam
diterbitkan di London pada tahun 1934.
 Musafir diterbitkan di Lahore pada tahun 1936.
 Zarb-I Kalim diterbitkan di Lahore pada 1937. Bal-I Jibril
ditertibkan di Lahore pada 1938.
 Letters and Writings of Iqbal ditertibkan di Karachi pada
1967. Buku ini merupakan kumpulan surat dan artikel yang ditulis
oleh Muhammad Iqbal.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Istilah Filsafat Islam Pasca - Ibn Rusyd ialah tradisi ke filsafatan
yang berkembang di daerah teritorial Islam di masa setelah wafatnya Ibn
Rusyd. Dan filsafat Islam pasca Ibnu Rusyd telah melahirkan tokoh-tokoh
yang hebat dan cerdas dalam segala bidang khususnya dalam bidang
keagamaan.

30
Dari ketiga tokoh yang hidup dan mengembangkan filsafat Islam
pasca Ibnu Rusyd telah berhasil membantahkan anggapan bahwa filsafat
hilang karena Ibnu Rusyd wafat. Mereka bertiga yakni: Ath-Thusi, Mulla
Sadra, dan Muhammad Iqbal membuktikan bahwa filsafat Islam pasca
wafatnya Ibnu Rusyd masih ada dan selalu berkembang dengan hadirnya
para tokoh-tokoh setelahnya, ketiga tokoh ini telah memiliki banyak karya
yang asih di manfaatkan sampai hari ini oleh umat muslim di seluruh
dunia.

DAFTAR PUSTAKA
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004
Madkour, Ibrahim, Aliran dan teori filsafat islam, Jakarta : Bumi Aksara, 2004.
Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20(Jakarta,
GemaInsani, cet.1, 2006)
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Syarif, M.M. (edt), History of Muslim Philosophy, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963
http://www.muslimphilosophy.com/ip/rep/H027.htm
http://syafieh.blogspot.com/2013/05/nashr-al-din-tusi-filosuf-islam-pasca.html
http://emmarachmatika.blogspot.com/2013/11/makalah-filsafat-islam-mulla-
shadra.html#ixzz3Xx6jXYKc

31
https://www.academia.edu/9791591/PEMIKIRAN_POLITIK_ISLAM_MUHAMMAD_I
QBAL_DAN_MUHAMMAD_ALI_JINNAH_SERTA_TERBENTUKNYA_NEGARA_
PAKISTAN

32

Anda mungkin juga menyukai