Anda di halaman 1dari 15

Mampu Mengenal Pemikiran Al-kindi, Al- Farabi dan Ibnu sina dan

Analisis Perbandingannya
Muhammad Tri Ridho
Email : Muhammadtriridho30@gmail.com

Abstrak

Filsafat sering dipandang sebagai suatu ilmu yang sulit difahami. Hal ini dapat
dimaklumi karena dari semua cabang ilmu pengetahuan, bidang filsafat adalah bidang yang
paling sulit karena ia menggunakan tema yang abstrak. Meskipun demikian, ilmu filsafat
adalah ilmu tentang kebijaksanaan. Dengan mempelajarinya manusia akan mampu menjalani
kehidupan secara lebih terarah dan bermakna. Mengenal filsafat dengan karakteristiknya, mulai
dari asal usul, definisi, objek, susunan, tujuan, fungsi dan kegunaanmya dapat membantu para
pencintanya untuk memahami essensi kehidupan.

Kata kunci : Pemikiran, Al kindi, Al farabi, Ibnu sina

Pendahuluan

Salah satu faktor yang memungkinkan filsafat Yunani dikaji oleh orangorang Islam
adalah karena adanya karya-karya terjemahan filsafat yang disalin secara bebas kedalam
bahasa Arab baik langsung dari bahasa Yunani maupun dari teks asli versi Siriac (Nasution,
1973: 11). Gerakan penerjemahan ini berlangsung dari tahun 750 sampai tahun 1000 masehi
(Nasir, 1996). Oleh karena itu, lewat penerjemahan-penerjemahan ini para pemikir muslim
mengenal pemikiranpemikiran filosof Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan ajaran-ajaran
Neoplatonis (Nasution, 1973) untuk kemudian mereka kembangkan dan perkaya dengan
pendekatan Islam, sehingga lahirlah disiplin baru dalam dunia pemikiran Islam yang dikenal
dengan sebutan Filsafat Islam (al-Falsafah al-Islamiyah) dengan beberapa tokohnya seperti al-
Kindi (796-873 M), al-Farabi (870-950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Ghazali (1059-1111 M),
Ibn Rusyd (1126-1198 M) dan lain-lain (Nasir, 1996).

Para tokoh-tokoh itu memiliki reputasi dan pengaruh yang diakui tidak hanya di dunia
Islam abad pertengahan bahkan juga mewarnai fiosof-filosof Barat modern. Sedemikian
besarnya pengaruh filosof-filosof muslim ini hingga W. Montgomery Watt mengambil
kesimpulan bahwa tanpa keberadaan mereka, ilmu pengetahuan dan filsafat orang-orang Eropa
tidak akan bisa berkembang seperti ketika dulu nenek moyang mereka mengembangkannya
untuk pertama kalinya (Nasir, 1996).

Di antara para filosof muslim yaitu Al-Kindi. Al-Kindi menyusun filsafatnya di Bagdad
yang ketika itu masih menjadi ibu kota pemerintahan dan sekaligus pusat pengkajian
pengetahuan. Di kota ini juga al-Kindi mendapat banyak dukungan moral dan material dari tiga
khalifah dinasti Abbasiyah, alMa’mun, al-Mu’tasim dan al-Watsiq. Ketiga khalifah itu
menunjukkan minat yang tinggi pada pengetahuan dan menyetujui kelangsungan kegiatan
belajar mengajar, kegiatan ilmiah, filosofis dan kesusastraan. Menurut Ibnu Nadhim,
kecenderungan al-Kindi ternyata tidak hanya pada filsafat Yunani saja, tetapi alKindi juga
mendalami studi keagamaan India, Chaldean dan Harran (Basri, 2013:18). Terlepas dari semua
ketidaksempurnaan sistematika filsafat al-Kindi, ia tetaplah sosok yang paling berjasa dalam
membuka akses filsafat dan sains Yunani serta membangun fondasi filsafat Islam bagi para
filosof muslim setelahnya.

Pembahasan

A. Biografi tentang Al kindi


Al-Kindi lahir di Kufah pada abad sembilan masehi yaitu sekitar tahun 801 M
dan wafat pada tahun 873 M, (M.Syarif,1985:11). tahun kelahiran dan kematian Al-
Kindi tidak diketahui secara jelas. Hal ini telah biasa menimpa pada tokoh-tokoh besar
bertaraf Dunia. Dimana pada masa-masa terdahulu Dunia Islam pada umumnya, saat-
saat kelahiran seseorang dianggap peristiwa biasa, belum menjadi perhatian khusus
bagi sejarahwan. Akan tetapi, setelah orang tersebut menjadi orang yang terkenal, baik
ketika Ia masih hidup atau sudah meninggal, barulah para sejarahwan mencatat hari
kelahirannya. Jadi logislah jika akhirnya terdapat catatan yang bervariasi karena
memang tidak ada bukti yang autentik.
Kakeknya atau keturunannya yang pertama kali memeluk islam ialah AlAsy‟ats
bin Qeis, (Daudy Ahmad,1992:9) seseorang yang memimpin utusan Kabilah
menghadap Rasul SAW. Asy‟ats termasuk salah seorang sahabat nabi yang paling
pertama datang ke kota Kufah. Ia pun termasuk diantara para sahabat yang
meriwayatkan hadist-hadist nabi bersama dengan Sa‟ad Abi Waqqash ia turut
berkecimpung dalam peperangan melawan Persia di Iraq. Tidak ada kepastian tentang
tanggal kelahiran, kematian dan siapa-siapa saja ulama yang pernah menjadi guru Al-
kindi, kecuali kepastian bahwa Ia dilahirkan di Kufah sekitar tahun 801 M dari
pasangan keluarga kaya dan terhormat.
Nama Lengkap Al-Kindi ialah Abu Yusuf Yakub ibn Ishaq ibn al-Sahabbah ibn
Imran ibn Muhammad ibn al-Asy`as ibn Qais ibn al-Kindi.16 Lebih populer di kampus-
kampus dan seminar-seminar filsafat dengan sebutan al-Kindi, dinisbatkan kepada
Kindah yaitu suatu kabilah terkemuka pra Islam yang merupakan cabang dari Bani
Kahlan yang menetap di Yaman.

B. Pemikiran filsafat alkindi


Bangunan pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan refleksi doktrin-doktrin yang
diperolehnya dari sumber-sumber Yunani klasik dan warisan Neo-Platonis yang
dipadukan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Oleh karena itu, basis pemikiran
filsafat yang mendasari keseluruhan pemikiran Al-Kindi ditemukan dalam risalah Fi al-
Hudud al-Asyya. Dalam risalah tersebut, Al-Kindi melakukan peringkasan atas
defenisi-defenisi dari literatur Yunani dalam bentuk yang sederhana. Ringkasan yang
pada awalnya hendak memaparkan filsafat Yunani, oleh banyak sejarawan dinilai
hanya merupakan ringkasan defenisi secara harfiah saja yang merujuk kepada
Aristoteles tanpa kepastian yang jelas atas validitas sumbernya. (Basri, 2013:37)
Filsafat, menurut Al-Kindi adalah batas mengetahui hakikat suatu sejarah batas
kemampusn manusia. Tujuan filsafat dalam teori adalah mengetahui kebenaran, dan
dalam praktik adalah mengamalkan kebenaran/kebajikan. Filsafat yang paling luhur
dan mulia adalah filsafat pertama (Tuhan), yang merupakan sebaba (‘illah) bagi setiap
kebenaran/realitas. Oleh karena itu, filosof yang paling sempurna dan mulia harus
mampu mencapai pengetahuan yang mulia itu. Mengetahui ‘illah itu lebih mulia dari
mengetahui akibat/ma’mul-nya, karena kita hanya mengetahui sesuatu dengan
sempurna bila mengetahui ‘illah-nya. Pengetahuan tentang ‘illah pertama merupakan
pengetahuan yang tersimpul mengenai semua aspek lain dari filsafat. Dia, ‘illah
pertama, Tuhan, adalah paling mulia, awal dari jenis, awal dalam tertib ilmiah, dan
mendahului zaman, karena dia adalah ‘illah bagi zaman (Syam, 2010: 47)
Dalam upaya perpaduan agama dan filsafat yang dilakukan Al-Kindi didasari
pada keyakinan bahwa kitab suci al-Qur’an telah mewartakan argumentasi-argumentasi
yang meyakinkan seputar ihwal kebenaran yang tidak akan pernah bertentangan dengan
doktrin yang dihasilkan filsafat. Hanya saja, proses pemaduan agama dan filsafat tidak
mungkin terlaksana tanpa mengakui keberadaan alat kerja agama dan filsafat yang
sama. Bagi Al-Kindi, fakta bahwa filsafat bersandar pada kemampuan akal
(rasionalitas) tidak berbeda dengan fakta bahwa doktrin agama jga memerlukan akal
sebagai alat untuk memahami ajaranya. Ini berarti, Al-Kindi menaruh hormat yang
tinggi pada anugerah akal dengan cara memaksimalkan kerja akal dalam mencapai
pengetahuan akan kebenaran (Basri, 2013: 38).
Pemikiran Al-kindi tentang jiwa dan akal
Jiwa dipandang sebagai intisari dari manusia dan filosof-filosof Islam banyak
memperbincangkan hal ini. Menurut Al-Kindi, jiwa atau roh tidak tersusun, tetapi
mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari substansi
Tuhan dan hubungannya dengan manusia sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Karena pada hakikatnya bersifat Ilahi dan spiritual, maka jiwa berbeda
dengan tubuh dan bahkan bertentangan dengannya. Potensi-potensi keburukan nafsu
birahi boleh jadi mendorong manusia untuk berbuat keji, tetapi jiwa akan
mengekangnya. Fakta ini membuktikan bahwa Jiwa Rasional yang tetap mengawasi
kecakapan-kecakapan itu berbeda dengan dengan kecakapan-kecakapan tersebut.
Ketika meninggalkan tubuh, jiwa akan bersatu kembali dengan dunai real tempat
cahaya Pencipta terbit (Zaprulkhan, 2014: 27).
Pemikiran tentang jiwa dalam filsafat Al-Kindi banyak dipengaruhi oleh ide-
ide Aristoteles, Plato dan Plotinus. Al-Kindi mendefenisikan jiwa sebagai;
“Kesempurnaan awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memiliki
kehidupan yang energik, atau kesempatan fisik alami yang mempunyai alat dan
mengalami kehidupan”. Defenisi ini merupakan defenisi yang digagas Aristoteles.
Selain menerima defenisi yang digagas Aristoteles, Al-Kindi juga menyebutkan
defenisi yang ditengarai bersumber dari Plato dan Plotinus, yakni sebagai “elemen yang
mempunyai kehormatan, kesempurnaan, berkedudukan luhur, dan substansinya berasal
dari substansi Sang Pencipta”. Defenisi ini oleh Al-Kindi dialamatkan pada jiwa
rasional yang disebutnya dengan al-Nafs al-Nathiqah. Menurutnya, jiwa ini merupakan
substansi yang bersifat ilahi, rabbani dan berasal dari Cahaya Pencipta, substansi
sederhana yang tidak fana, substansi yang turun dari dunia akal ke dunia indera dan
dianugerahi kekuatan memori akan masa lalunya (Basri, 2013: 41-42)
Menurut Al-Kindi, jiwa itu kekal dan tidak hancur bersama hancurnya badan.
Jiwa tidak hancur karena substansinya dari Tuhan. Ketika jiwa berada dalam badan, ia
tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna.
Baru setelah ia berpisah dengan badan, ia akan memperoleh kesenangan yang
sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan badan,
jiwa pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal (al-‘alam a-haq, al-‘alam al-aql)
didalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan, dan dapat melihat Tuhan.
Tempat inilah kebahagiaan abadi yang akan dirasakan oleh jiwa yang suci. Sedangkan
jiwa yang tidak suci, setelah berpisah dengan badan, ia tidak akan langsung masuk ke
Alam kekal, tetapi ia akan mengembara untuk jangka waktu tertentu untuk
membersihkan diri. Mulamula jiwa bermukim di bulan, kemudian di Mercuri dan terus
ke Falak yang lebih tinggi lagi untuk pembersihan tahap demi tahap. Setelah jiwa benar-
benar bersih, jiwa itu baru memasuki Alam Kebenaran atau Alam Kekal (Syam, 2010).
Menurut Al-Kindi, jiwa manusia itu mempunyai 3 (tiga) daya, yaitu; (a) daya
berpikir (al-quwwah al-‘aqliyah), (b) daya marah (al-quwwah algadhabiyah), dan (c)
daya syahwat (al-quwwah al-syahwaniyah). Daya berpikir itu disebut akal. Sementara
akal terdiri dari tiga tingkat; (a) Akal yang masih bersifat potensial (al-quwwah), (b)
Akal yang telah keluar dari potensial menjadi aktual (Al-Fi’l), dan (c) Akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas (al-‘ql al-tsany), akal kedua. Sedangkan akal
yang bersifat potensial tidak akan menjadi aktual jika tidak ada kekuatan yang
menggerakannya dari luar, yang mempunyai wujud tersendiri diluar jiwa manusia. Akal
tersebut adalah akal yang selamanya aktualis (al-‘aql al-ladzi bi al-fi’l abadan), dan ini
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) merupakan Akal Pertama, (b) selamanya dalam
aktualitas, (c) merupakan species dan genus, (d) membuat akal potensial menjadi aktual
berpikir, dan (e) tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya (Syam, 2010:
48-49).
Oleh karena itu, bahwa persoalan akal dalam filsafat Al-Kindi dibicarakan
bersamaan dengan pembicaraan jiwa. Akal sebagai agen pengetahuan yang mengontrol
proses pembentukan pengetahuan melalui bantuan pengalaman iiderawi, bagi Al-Kindi
merupakan potensi yang ada dalam jiwa dan berkemungkinan untuk bergerak dari
potensialitas menuju aktualitas. Sampai titik ini, Al-Kindi memandang bahwa sesuatu
yang rasional adalah sesuatu yang mengeluarkan daya akal dari tempatnya yang
potensial lewat rangkaian aktualitas yang dibantu oleh daya-daya perantara. Hal ini juga
menunjukkan teori pengetahuan dalam filsafat Al-Kindi (Basri, 2013: 43). Selanjutnya,
Al-Kindi membagi pengetahuan kedalam dua jenis; pengetahuan inderawi dan
pengetahuan rasional. Pengetahuan inderawi hanyalah pengetahuan atas bentuk lahir
dari sesuatu, sedangkan pengetahuan rasional merupakan pengetahuan atas hakikat
sesuatu yang lebih mendalam dan melewati batas lahir sesuatu.
C. Pemikiran alfarabi dan ibnu sina
Eksistensi dua filosof ternama dunia yakni Al-Farabi dan Ibnu Sina termasuk
yang membawa tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian diikuti oleh para filosof
setelahnya. Dari karya-karya merekalah sehingga membuat dunia tercerahkan
baik dalam bidang kedokteran maupun dalam bidang keilmuan yang lain seperti
filsafat emanasi dan jiwa yang telah penulis sebutkan dalam pembahasan tersebut.
Al-Farabi dan Ibnu Sina menjadi ujung tombak bagi generasi Islam setelahnya,
dari merekalah generasi Islam belajar banyak hal tentang filsafat Islam. Sekalipun
masih banyak yang diperdebatkan oleh para ulama dan generasi Islam tentang isi
pikiran-pikiran kedua filosof tersebut. Tetapi pada dasarnya mereka telah
memberikan kontribusi yang terbaik lewat keilmuan-keilmuannya pada Islam
khususnya dan dunia luar pada umumnya. Misalnya konsenpemikiran filsafat
emanasi Al-Farabidan Ibnu Sinayang memilki kesamaan terkaitdengan
konsepsiemanasi dari akal ke 1 sampai akal ke 10 yang menekankan bahwa hanya
Tuhan saja yang ada dengan sendiri-Nya tanpa sebab dari luar diri-Nya, dankarena
itu ia sebut Waajib al-Wujuud li zaatih, (yang mesti ada karena diri-Nya sendiri).
Dari-Nya memancar segenap alam ciptaan-Nya, baik yang bersifat rohani (imateri)
maupun yang bersifat jasmani (materi)
Nama lengkap Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn
Aizalagh. Dikalanagan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal
dengan Abu Nashr (Abunaser). ia lahir di Wasij, disertai Farab (sekarang dikenal
dengan Kota Atrar), Turkistan pada 257 H (870M). Ayahnya seorang jendral
berkebangsaan Persia danj ibunya ibunya berkebangsaan Turki. Pada waktu mudanya,
Al-Farabi pernah belajar bahasa sastra Arab di Bagdad kepada Abu Bakar al-saraj, dan
logika dan serta filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus ibn Yunus, sorang kristen
Nestorian yang banyak menerjemahkan Filsafat Yunani, dan kepada Yuhana ibn
Hailam. Kemudian ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yuani di Asia kecil,
dan berguru kepada Yuhani ibn Jailad. Tetapi tidak beberapa lama, ia kembali
Bagdad untuk memper dalam filsafat. Ia menetap di kota ini selama 20 tahun.
Pada tahun 330 H(945 M), ia pinda ke Damaskus, dan berkenalan dengan Saif
al-Daulah al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Aleppo. sultan memberinya
kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan besar sekali, tetapi
AL-Farabi lebih memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik
dengan kemewaan dan kekayaan. Adapun sisa tunjangan jabatannya dibagi-bagikan
dengan fakir miskin dan amal sosial di Alappo dan Damaskus. Lebih kurang 10
tahun Al-Farabidi dua kotasecara berpindah-pindah tetapi hubungan penguasa ini
semakin memburuk, sehingga Saif Aldaulahb menyerbu kota Damaskus yang
kemudian dapat dikuasi. Dalam penyerbuan ini al-Farbi diikutsertakan. Pada bulan
desember 950 M Al-Farabi meninggal di Damaskus dalam usia 80
tahun.Sementara Al-Farabi yang juga dikenal sebagai filsafat Islam terbesar,
memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara
utuh menyeluruh serta mengupasnya sempurna, sehingga filsuf yang datang
sesudahnya, seperti Ibn Sina dan Ibn Rasy banyak mengambil dan mengahapus
sistem filsafatnya. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Ibn-Sina telah
membaca 40 kali buku metafisika karangan Arestoteles, bahkan hampir seluruh
isi buku dihapalnya, tapi belum dipahaminya. Barulah ibn Sina memahami benar
filsafat arestoteles setelah membaca buku al-Farabi, yaitu: Tahqiq ghardh aristhu fi
kitab ma ba’da al-thabi’ahyang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika
arestoteles. Pengetahuannya begitu mendalam mengenai filsafat Yunani, terutama
Plato dan Arestoteles, ia dijuluki al-mu’allim al-tasni(guru kedua), sedangkan al-
mu’allim al-awwal(guru pertama) adalah arestoteles.

Karya-Karya al-Farabi
Al-Farabi mendapatkan gelar kehormatan sebagai guru kedua dengan catatan
bahwa gelar guru pertama dialamatkan orang pada Aristoteles. Besar dugaan bahwa
gelar kehormatan itu diberikan berdasarkan penilaian dan pengakuan bahwa ia adalah
tokoh paling terkemuka setelah Aristoteles dalam lapangan logika. Ia tidak saja
menguasai logika dengan baik melainkan juga pemikiran filsafat pada umumnya.
Pemahaman atau pemikirannya cermat, mendalam, matang, dan sistematis, dan berkat
tulisannyalah Al-Farabi dapat mengatasi kesulitan dalam memahami metafisika
Aristoteles.(Hasan Hanafi,1983:69)
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar karya-karya tulis yang penting, kendati
dalam bilangan tidak sebanyak yang dihasilkan Al-Kindi atau oleh Al-Razi. Jumlah
karya tulisnya menurut Qifti atau Ibnu Abi Usaibi’ah, lebih kurang 70 buah, yang dapat
dibagi menjadi dua kelompok: kelompok yang berkaitan dengan logika dan kelompok
yang berkaitan dengan berbagai cabang ilmu dan falsafat, seperti fisika, matematika,
metafisika, etika, dan politik.
Sebagian besar dari karya tulisnya telah hilang atau belum ditemukan. Karya
tulisnya yang sudah ditemukan, sebagian sudah diterbitkan dan sebagian lagi masih
dalam bentuk manuskrip. Di antara karya tulisnya itu ialah: Kitab Ara Ahl al-Madinah
al-Fadilah (tentang pandangang-pandangan penduduk kota utama), Kitab Ihsa al-Ulum
(tentang perincian pengetahuan), Risalah fi al-Aqil (tentang akal), Risalah fi al-
mufariqah (tentang wujud-wujud rohaniah), tahsil as-sa’adah (tentang upaya
mewujudkan kebahagian), masail falsafiyyah wa ajwibah ‘anha (tentang masalah-
masalah falsafat dan jawabanya), al-ibaanah’ an gard aristutalis(tentang pemikiran
aristoteles) dan kitab aflaatun wa aristu aw al-jam’bayn al-hakimayn (tentang
persesuaian pendapat plato dengan aristoteles). Melalui karya-karya tulisnya itu, Al-
Farabi memperlihatkan dirinya sebagai Muslim yang teguh memegang agama, penerus
Plato dalam bidang etika, dan politik, penerus Aristoteles dalam bidang logika dan
fisika, dan sebagai pengikut Plotinus dalam bidang metafisika. Dari berbagai sumber
itu ia memperoleh prinsip-prinsip yang diyakininya serasi sehingga ia dapat
membangun satu sistem falsafat yang lengkap
Sebagai seorang filosof Al-farabi banyak menghasilkan karya-karya tulis
yang telah banyak dikaji oleh baik di Barat maupun di Timur. Karya-karya tesebut
antara lain:
-Syuruh Risalah Zainun al-khabir al-Yunani.
-AL-Ta’liqat
-Risalah fima yajibu Ma’rifat qabla Ta’alumi al-falsafah
-Kitab tahshil al-sa’adah
-Risalah fil itsbat al-mufaraqah
-‘uyun all-masa’il

Pemikiran Alfarabi
a. Ketuhanan.
Al-Farabi dalam membahas mengenai ketuhanan mengkolaborasikan
antara filsafat aristoteles dengan NeoPlatonisme, yaitu al-Maujud al-Awal
(wujud pertama) sebagai sebab pertama untuk segala sesuatu yang ada.
Sehingga ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran
syariat Islam. dalam membuktikan adanya Allah, Al-Farabi mengemukakan
dalil yaitu wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. (Dedi Supriyadi,
Pengantar filsafat islam:82-83).
Adapun wujud al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak harus ada,
ada dengan sendirinya, karena natur-nya sendiri yang menghendaki
wujudnya. Esensinya adalah tidak bisa dipisahkan dengan wujud, keduanya
adalah sama dan satu kesatuan. Ia adalah wujud yang paling sempurna dan
adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena hal lain. Ia ada
selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka
akan timbul kemustahilan karena wujud lain ada kerena bergantung
kepadanya. Wujud alwujud inilah yang disebut dengan Allah.
Kemudian, yang dimaksud dengan mumkin al-wujud adalah sesuatu
yang sama antara wujud dan tidaknya. Wujud ini jika diperkirakan tidak
wujud, tidak mengakibatakan kemustahilan. Mumkin al-wujud tidak akan
berubah menjadi wujud pasti tanpa adanya wujud yang menguatkan dan
yang menguatkan adanya itu bukan dirinya, melinkan wajib al-wujud
(Allah). Contoh: wujud cahaya tidak akan ada tanpa adanya wujud matahari.
Sedangkan cahaya menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa pula tidak atau
disebut dengan mumkin al-wujud. Akan tetepi karena matahari sudah
wujud, cahaya tersebut menjadi wujud keniscayaan. Wujud yang mumkin
ini menjadi bukti tentang adanya Allah (wajib al-wujud). (Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam:71).

b. Emanasi
Emanasi merupakan teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin
(alam makhluk) dai zat yang wajibul wujud (Zat yang wajib adanya yakni
Tuhan). Teori emanasi disebut juga “teori uruturutan wujud.” (Zaprulkhan,
Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik:31) Menurut Al –Farabi, Tuhan
bersifat Maha satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak,
maha sempurna dan tidak berkiblat pada apapun. Juga demikian adalah
hakikat sifat Allah. Bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari
yang maha satu ? menurut Al-Farabi alam terjadi dengan cara
emanasi/pancaran, yakni Tuhan sebagai wujud pertama dengan mengalami
tahap-tahap pemancaran tersebut. Di mana setiap tahap pemancaran
terjadilah suatu alam materi tertentu, demikian seterusnya hingga
sempurnalah kejadian alam materi ini. (Moh. Rifa‟i, Abdul Aziz,1988:99)
Dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan
pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Wujud
pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama berfikir, yang
merupakan qudrah, tentang Tuhan, mewujudkan akal kedua, dan berfikir
tentan dirinya mewujudkan langit pertama. Akal kedua juga berfikir tentang
Tuhan dan mewujudkan akal ketiga dan berfikir tentang dirinya
mewujudkan alam bintang. Akal ketiga samapi akal kesepuluh juga berfikir
tentang Tuhan dan tentang dirinya. Berfikir tentang Tuhan menghasilkan
alak-akal dan berfikir tentang diri menghasilkan planet-planet.

c. Jiwa
Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari akal kesepuluh.
Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya
merupakan secara accident, artinya masingmasing keduanya mempunyai
substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada
jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqoh, berasal dari alam
ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar,
dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasadsiap menerimanya.
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
1. Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk
makan, memelihara, dan berkembang.
2. Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk
merasa dan berimejinasi.
3. Daya al-Nathiqot (berfikir), daya ini yang mendorong untuk
berfikir secara teoritis dan praktis. Daya teoritis terbagi dalam tiga
tingkat sebagai berikut:
a. Akal potensial (al-hayulany), ialah akal yang baru mempunyai
potensi berfikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentukbentuk dari
materinya.
b. Akal aktual (al-„Aql bi al-fi‟l), akal yang telah melepaskan
arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai
wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam
bentuk potensial, tetapi dalam bentuk aktual.
c. Akal Mustafad (al-„Aql al-Nustafad), akal yang telah
menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan
materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan
komunikasi dengan akal kesepuluh.
d. Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang amat penting adalah tentang politik
yang dia tuangkan dalam dua karyanya Al-Siyasah Al Madaniyyah
(Pemerintahan politik) dan Ara‟ Al-Madinah AlFadhilah (pendapat-
pendapat tentang negara utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang
menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan
anggota tubuh
lainnya yang masing-masing memiliki fungsi tertentu. Yang paling
penting dalam tubuh manusisa adalah kepala, karena adari kepalalah (otak)
segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan
kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dengan negara. Menurut Al-
Farabi yang amat penting dalam negara adalah pemimpinnya atau
pengauasnya bersama-sama dengan bawahannya sebagaimana halnya
jantung dan organ-organ tubuh yang lbih rendah secara berturut-turut.
Penguasa ini haruslah orang yang lebih unggul baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Di samping daya profetik
yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas-kualitas
berupa kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada
pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman dan seks, cinta
pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan,
ketegaran dan keberanian serta kesehatan jasmani dan rohani dan kefasihan
berbicara. Kepala negara harus mempunyai akal tingkatan ketiga („aql
mustafad) agar bisa berkomunikasi dengan akal ke 10. Jika tidak ada nabi
yang akan menjadi kepala negara, maka dapat digantikan oleh orang yang
dianggap memiliki sifat nabi, yaitu filsuf. Rakyat harus bekerja sesuai
dengan kemampuan masing-masing untuk kepentingan bersama. Inilah ciri
atau karakteristik yang harus ada pada negara ideal. (Hasyimsyah
Nasution,2011:41)
D. Pemikiran Ibnu sina
1. Wajib al-Wujud dan Mukmin al-Wujud
Ibnu Sina dalam tulisannya berupaya menjelaskan pengertian wajib alwujud
(yang mesti ada) dan mukmin al-wujud (yang boleh ada). Wajib al-wujud adalah
wujud yang menurut akal mestilah ada, dan mustahil tidak ada; sedang mukmin al-
wujud adalah wujud yang menurut akal tidak mesti ada, tidak mesti tidak ada (tidak
mustahil ada), tapi boleh ada dan boleh pula tidak ada. Wajib alwujud dapat pula
dibagi dua kategori, yaitu: wajib al-wujud zatih (yang mesti ada dan mesti
selamanya ada karena dirinya sendiri) dan wajib al-wujudbi gayrih (yang mesti ada
karen yang lain). Yang akhir ini (wajib al-wujud bi gayrih,; yang mesti ada karena
yang lain) mestilah ada bila yang lain ada; tapi bila yang lain tidak ada, ia tidak
mesti ada karena ia sebenarnya juga adalah mukmin al-wujud bi zaatih (wujud yang
diliha dari sudut dirinya boleh ada, boleh tidak ada, tidak mesti ada, tidak mesti
tidak ada, atau tidak mustahil ada). Sebagai contoh, bila ada dua dan tiga, maka
mestilah ada lima karena adanya dua dan tiga itu. Bila dua dan tiga tidak ada, maka
lima tidak mesti ada. (Syarif, M. M, 1998:2)
2. Qodim dan Muhdas
Ibnu Sina dalam tulisannya berupaya menjelaskan pengertian qadim (sesuatu yang
tidak ada awalnya) dan muhdas (sesuatu yang dijadikan/diciptakan). Menurutnya
ada dua macam qadim, yaitu qadim dari segi substansi dan qadim dari segi waktu.
Qadim dari segi substansi berarti substansinya itu ada dengan sendirinya, tidak
bersal dari substansi yang lain, Qodim dari segi waktu berarti substansinya tidak
pernah tidak ada di masa lalu, atau tidak di dahului oleh waktu. Muhdas juga dua
macamnya, yaitu Muhdasdari segi substansi dan muhdas, dari segi waktu. Muhdas
dari segi substansi berarti substansinya diciptakan atau keberadaan substansinya
bergantung pada substansi yang lain. Muhdas, dari segi waktu berarti suatu yang
pernah tidak ada dan kemudian ada karena diciptakan/diwujudkan, atau dengan kata
lain: pada awalnya ia tidak ada, kemudian ada. Menurut Ibnu Sina, seperti menurut
Al-Farabi juga, Tuhan adalah satu-satunya wujud yang qadim dari segi substansi
dan dari segi waktu, sedang totalitas alam ciptaan-Nya adalah muhadas dari segi
substansi, tapi qadim dari segi waktu. Itu berarti bahwa totalitas alam, substansinya
bukanlah ada dengan sendirinya, tapi bergantung pada substansi Tuhan, adanya
karena diciptakan Tuhan; kendati demikian, penciptaannya berlangsung sejak
qadim, sehingga dari segi waktu-alam, yang diciptakan itu juga qadim. Ibnu Sina
menegaskan bahwa penciptaan alam itu berlangsung sepanjang masa (terus
menerus), dan tidak mungkin bahwa alam itu muncul sesudah pernah ia tidak ada.
Kemunculannya mustahil tdak didahului oleh materi/potensi yang darinya alam itu
muncul/dijadikan. (Herwansyah, 2017:56)
3. Tuhan, Akal, Jiwa, dan Tubuh.
Baik Tuhan, maupun akal-akal (‘uqul), dan jiwa-jiwa (nufus) adalah substansi-
substansi yang imateri. Tuhan dan akal-akal, selain imateri, juga selamanya terpisah
dari materi/tubuh. Tuhan mengatur segenap alam melalui akal-akal. Akal-akal
adalah pengatur materi/tubuh secara tidak langsung, sedang yang langsung
mengatur/mengendalikan materi/tubuh. Dalam pemahaman Ibnu Sina, Akal I
adalah pengatur raga langit pertama secara tidak langsung. Pengaturnya langsung
adalah jiwa langit pertama itu sendiri. Akal II adalah pengatur tidak langsung
terhadap raga langit kedua, sedang pengatur terhadap raga langit kedua adalah jiwa
langit kedua itu sendiri. Demikianlah seterusnya dengan akal-akal berikutnya. Akal
X adalah pengatur tidak langsungterhadap raga-raga yang terdapat di bumi, tapi
pengendali masing-masing raga itu secara langsung adalah jiwa masing-masing.
Manusia, misalnya sebagai makhluk yang terdiri dari tubuh dan jiwa rasional, maka
yang diminta pertanggungjawaban aktivitasnya adalah jiwanya, karena jiwanya
itulah menjadi pengendali langsung terhadap tubuhnya. Tuhan dan Akal X hanyalah
pengendali/pengatur secara tidak langsung terhadap tubuh manusia. Akal X yang
berhubungan langsung dengan jiwa-jiwa di bumi, termasung dengan jiwa-jiwa
manusia, disebut dalam falsafah Ibnu Sina sebagai Akal Aktif, yang menggerakkan
sesuatu yang potensil di bumi menjadi sesuatu yang aktual.
Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa tiga orang filosof ternama
dunia Al-kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina adalah yang membawa tonggak-tonggak filsafat Islam
yang kemudian diikuti oleh para filosof setelahnya. Dari karya-karya merekalah sehingga
membuat dunia tercerahkan baik dalam bidang kedokteran maupun dalam bidang keilmuan
yang lain seperti filsafat emanasi dan jiwa dan ketuhanan yang telah penulis sebutkan dalam
pembahasan tersebut. Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina menjadi ujung tombak bagi generasi
Islam setelahnya, dari merekalah generasi Islam belajar banyak hal tentang filsafat Islam.
Sekalipun masih banyak yang diperdebatkan oleh para ulama dan generasi Islam tentang isi
pikiran-pikiran kedua filosof tersebut. Tetapi pada dasarnya mereka telah memberikan
kontribusi yang terbaik lewat keilmuan keilmuannya pada Islam khususnya dan dunia luar pada
umumnya.
Daftar Pustaka

Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2010

Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah kajian Tematik, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014

Herwansyah, Pemikiran Filsafat Ibnu Sina: Filsafat Emanasi, Jiwa, dan Al-Wujud,
(Journal El-Fikr, Vol. 1, No. 1, Tahun 2017)

Syarif, M. M.. Para Filosof Muslim. Cet. ke-2. (Bandung: Mizan, 1998).

Dedi Supriyadi, Pengantar filsafat islam:82-83

Hasan Basri, Filsafat Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama Republik Indonesia, 2013

Anda mungkin juga menyukai