Analisis Perbandingannya
Muhammad Tri Ridho
Email : Muhammadtriridho30@gmail.com
Abstrak
Filsafat sering dipandang sebagai suatu ilmu yang sulit difahami. Hal ini dapat
dimaklumi karena dari semua cabang ilmu pengetahuan, bidang filsafat adalah bidang yang
paling sulit karena ia menggunakan tema yang abstrak. Meskipun demikian, ilmu filsafat
adalah ilmu tentang kebijaksanaan. Dengan mempelajarinya manusia akan mampu menjalani
kehidupan secara lebih terarah dan bermakna. Mengenal filsafat dengan karakteristiknya, mulai
dari asal usul, definisi, objek, susunan, tujuan, fungsi dan kegunaanmya dapat membantu para
pencintanya untuk memahami essensi kehidupan.
Pendahuluan
Salah satu faktor yang memungkinkan filsafat Yunani dikaji oleh orangorang Islam
adalah karena adanya karya-karya terjemahan filsafat yang disalin secara bebas kedalam
bahasa Arab baik langsung dari bahasa Yunani maupun dari teks asli versi Siriac (Nasution,
1973: 11). Gerakan penerjemahan ini berlangsung dari tahun 750 sampai tahun 1000 masehi
(Nasir, 1996). Oleh karena itu, lewat penerjemahan-penerjemahan ini para pemikir muslim
mengenal pemikiranpemikiran filosof Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan ajaran-ajaran
Neoplatonis (Nasution, 1973) untuk kemudian mereka kembangkan dan perkaya dengan
pendekatan Islam, sehingga lahirlah disiplin baru dalam dunia pemikiran Islam yang dikenal
dengan sebutan Filsafat Islam (al-Falsafah al-Islamiyah) dengan beberapa tokohnya seperti al-
Kindi (796-873 M), al-Farabi (870-950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Ghazali (1059-1111 M),
Ibn Rusyd (1126-1198 M) dan lain-lain (Nasir, 1996).
Para tokoh-tokoh itu memiliki reputasi dan pengaruh yang diakui tidak hanya di dunia
Islam abad pertengahan bahkan juga mewarnai fiosof-filosof Barat modern. Sedemikian
besarnya pengaruh filosof-filosof muslim ini hingga W. Montgomery Watt mengambil
kesimpulan bahwa tanpa keberadaan mereka, ilmu pengetahuan dan filsafat orang-orang Eropa
tidak akan bisa berkembang seperti ketika dulu nenek moyang mereka mengembangkannya
untuk pertama kalinya (Nasir, 1996).
Di antara para filosof muslim yaitu Al-Kindi. Al-Kindi menyusun filsafatnya di Bagdad
yang ketika itu masih menjadi ibu kota pemerintahan dan sekaligus pusat pengkajian
pengetahuan. Di kota ini juga al-Kindi mendapat banyak dukungan moral dan material dari tiga
khalifah dinasti Abbasiyah, alMa’mun, al-Mu’tasim dan al-Watsiq. Ketiga khalifah itu
menunjukkan minat yang tinggi pada pengetahuan dan menyetujui kelangsungan kegiatan
belajar mengajar, kegiatan ilmiah, filosofis dan kesusastraan. Menurut Ibnu Nadhim,
kecenderungan al-Kindi ternyata tidak hanya pada filsafat Yunani saja, tetapi alKindi juga
mendalami studi keagamaan India, Chaldean dan Harran (Basri, 2013:18). Terlepas dari semua
ketidaksempurnaan sistematika filsafat al-Kindi, ia tetaplah sosok yang paling berjasa dalam
membuka akses filsafat dan sains Yunani serta membangun fondasi filsafat Islam bagi para
filosof muslim setelahnya.
Pembahasan
Karya-Karya al-Farabi
Al-Farabi mendapatkan gelar kehormatan sebagai guru kedua dengan catatan
bahwa gelar guru pertama dialamatkan orang pada Aristoteles. Besar dugaan bahwa
gelar kehormatan itu diberikan berdasarkan penilaian dan pengakuan bahwa ia adalah
tokoh paling terkemuka setelah Aristoteles dalam lapangan logika. Ia tidak saja
menguasai logika dengan baik melainkan juga pemikiran filsafat pada umumnya.
Pemahaman atau pemikirannya cermat, mendalam, matang, dan sistematis, dan berkat
tulisannyalah Al-Farabi dapat mengatasi kesulitan dalam memahami metafisika
Aristoteles.(Hasan Hanafi,1983:69)
Al-Farabi meninggalkan sejumlah besar karya-karya tulis yang penting, kendati
dalam bilangan tidak sebanyak yang dihasilkan Al-Kindi atau oleh Al-Razi. Jumlah
karya tulisnya menurut Qifti atau Ibnu Abi Usaibi’ah, lebih kurang 70 buah, yang dapat
dibagi menjadi dua kelompok: kelompok yang berkaitan dengan logika dan kelompok
yang berkaitan dengan berbagai cabang ilmu dan falsafat, seperti fisika, matematika,
metafisika, etika, dan politik.
Sebagian besar dari karya tulisnya telah hilang atau belum ditemukan. Karya
tulisnya yang sudah ditemukan, sebagian sudah diterbitkan dan sebagian lagi masih
dalam bentuk manuskrip. Di antara karya tulisnya itu ialah: Kitab Ara Ahl al-Madinah
al-Fadilah (tentang pandangang-pandangan penduduk kota utama), Kitab Ihsa al-Ulum
(tentang perincian pengetahuan), Risalah fi al-Aqil (tentang akal), Risalah fi al-
mufariqah (tentang wujud-wujud rohaniah), tahsil as-sa’adah (tentang upaya
mewujudkan kebahagian), masail falsafiyyah wa ajwibah ‘anha (tentang masalah-
masalah falsafat dan jawabanya), al-ibaanah’ an gard aristutalis(tentang pemikiran
aristoteles) dan kitab aflaatun wa aristu aw al-jam’bayn al-hakimayn (tentang
persesuaian pendapat plato dengan aristoteles). Melalui karya-karya tulisnya itu, Al-
Farabi memperlihatkan dirinya sebagai Muslim yang teguh memegang agama, penerus
Plato dalam bidang etika, dan politik, penerus Aristoteles dalam bidang logika dan
fisika, dan sebagai pengikut Plotinus dalam bidang metafisika. Dari berbagai sumber
itu ia memperoleh prinsip-prinsip yang diyakininya serasi sehingga ia dapat
membangun satu sistem falsafat yang lengkap
Sebagai seorang filosof Al-farabi banyak menghasilkan karya-karya tulis
yang telah banyak dikaji oleh baik di Barat maupun di Timur. Karya-karya tesebut
antara lain:
-Syuruh Risalah Zainun al-khabir al-Yunani.
-AL-Ta’liqat
-Risalah fima yajibu Ma’rifat qabla Ta’alumi al-falsafah
-Kitab tahshil al-sa’adah
-Risalah fil itsbat al-mufaraqah
-‘uyun all-masa’il
Pemikiran Alfarabi
a. Ketuhanan.
Al-Farabi dalam membahas mengenai ketuhanan mengkolaborasikan
antara filsafat aristoteles dengan NeoPlatonisme, yaitu al-Maujud al-Awal
(wujud pertama) sebagai sebab pertama untuk segala sesuatu yang ada.
Sehingga ini tidak bertentangan dengan keesaan yang mutlak dalam ajaran
syariat Islam. dalam membuktikan adanya Allah, Al-Farabi mengemukakan
dalil yaitu wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. (Dedi Supriyadi,
Pengantar filsafat islam:82-83).
Adapun wujud al-wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak harus ada,
ada dengan sendirinya, karena natur-nya sendiri yang menghendaki
wujudnya. Esensinya adalah tidak bisa dipisahkan dengan wujud, keduanya
adalah sama dan satu kesatuan. Ia adalah wujud yang paling sempurna dan
adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena hal lain. Ia ada
selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Jika wujud ini tidak ada, maka
akan timbul kemustahilan karena wujud lain ada kerena bergantung
kepadanya. Wujud alwujud inilah yang disebut dengan Allah.
Kemudian, yang dimaksud dengan mumkin al-wujud adalah sesuatu
yang sama antara wujud dan tidaknya. Wujud ini jika diperkirakan tidak
wujud, tidak mengakibatakan kemustahilan. Mumkin al-wujud tidak akan
berubah menjadi wujud pasti tanpa adanya wujud yang menguatkan dan
yang menguatkan adanya itu bukan dirinya, melinkan wajib al-wujud
(Allah). Contoh: wujud cahaya tidak akan ada tanpa adanya wujud matahari.
Sedangkan cahaya menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa pula tidak atau
disebut dengan mumkin al-wujud. Akan tetepi karena matahari sudah
wujud, cahaya tersebut menjadi wujud keniscayaan. Wujud yang mumkin
ini menjadi bukti tentang adanya Allah (wajib al-wujud). (Sirajuddin Zar,
Filsafat Islam:71).
b. Emanasi
Emanasi merupakan teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin
(alam makhluk) dai zat yang wajibul wujud (Zat yang wajib adanya yakni
Tuhan). Teori emanasi disebut juga “teori uruturutan wujud.” (Zaprulkhan,
Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik:31) Menurut Al –Farabi, Tuhan
bersifat Maha satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak,
maha sempurna dan tidak berkiblat pada apapun. Juga demikian adalah
hakikat sifat Allah. Bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari
yang maha satu ? menurut Al-Farabi alam terjadi dengan cara
emanasi/pancaran, yakni Tuhan sebagai wujud pertama dengan mengalami
tahap-tahap pemancaran tersebut. Di mana setiap tahap pemancaran
terjadilah suatu alam materi tertentu, demikian seterusnya hingga
sempurnalah kejadian alam materi ini. (Moh. Rifa‟i, Abdul Aziz,1988:99)
Dasar adanya emanasi ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan
pemikiran akal-akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Wujud
pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama berfikir, yang
merupakan qudrah, tentang Tuhan, mewujudkan akal kedua, dan berfikir
tentan dirinya mewujudkan langit pertama. Akal kedua juga berfikir tentang
Tuhan dan mewujudkan akal ketiga dan berfikir tentang dirinya
mewujudkan alam bintang. Akal ketiga samapi akal kesepuluh juga berfikir
tentang Tuhan dan tentang dirinya. Berfikir tentang Tuhan menghasilkan
alak-akal dan berfikir tentang diri menghasilkan planet-planet.
c. Jiwa
Jiwa manusia beserta materi asalnya memancar dari akal kesepuluh.
Jiwa adalah jauhar rohani sebagai form bagi jasad. Kesatuan keduanya
merupakan secara accident, artinya masingmasing keduanya mempunyai
substansi yang berbeda dan binasanya jasad tidak membawa binasa pada
jiwa. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathiqoh, berasal dari alam
ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa, berkadar,
dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasadsiap menerimanya.
Bagi Al-Farabi, jiwa manusia mempunyai daya-daya sebagai berikut:
1. Daya al-Muharrikat (gerak), daya ini yang mendorong untuk
makan, memelihara, dan berkembang.
2. Daya al-Mudrikat (mengetahui), daya ini yang mendorong untuk
merasa dan berimejinasi.
3. Daya al-Nathiqot (berfikir), daya ini yang mendorong untuk
berfikir secara teoritis dan praktis. Daya teoritis terbagi dalam tiga
tingkat sebagai berikut:
a. Akal potensial (al-hayulany), ialah akal yang baru mempunyai
potensi berfikir dalam arti: melepaskan arti-arti atau bentukbentuk dari
materinya.
b. Akal aktual (al-„Aql bi al-fi‟l), akal yang telah melepaskan
arti-arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai
wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam
bentuk potensial, tetapi dalam bentuk aktual.
c. Akal Mustafad (al-„Aql al-Nustafad), akal yang telah
menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan
materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan
komunikasi dengan akal kesepuluh.
d. Politik
Pemikiran Al-Farabi lainnya yang amat penting adalah tentang politik
yang dia tuangkan dalam dua karyanya Al-Siyasah Al Madaniyyah
(Pemerintahan politik) dan Ara‟ Al-Madinah AlFadhilah (pendapat-
pendapat tentang negara utama) banyak dipengaruhi oleh konsep Plato yang
menyamakan negara dengan tubuh manusia. Ada kepala, tangan, kaki dan
anggota tubuh
lainnya yang masing-masing memiliki fungsi tertentu. Yang paling
penting dalam tubuh manusisa adalah kepala, karena adari kepalalah (otak)
segala perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan
kerja otak dilakukan oleh hati. Demikian juga dengan negara. Menurut Al-
Farabi yang amat penting dalam negara adalah pemimpinnya atau
pengauasnya bersama-sama dengan bawahannya sebagaimana halnya
jantung dan organ-organ tubuh yang lbih rendah secara berturut-turut.
Penguasa ini haruslah orang yang lebih unggul baik dalam bidang
intelektual maupun moralnya diantara yang ada. Di samping daya profetik
yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, ia harus memiliki kualitas-kualitas
berupa kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada
pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman dan seks, cinta
pada kejujuran, kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan,
ketegaran dan keberanian serta kesehatan jasmani dan rohani dan kefasihan
berbicara. Kepala negara harus mempunyai akal tingkatan ketiga („aql
mustafad) agar bisa berkomunikasi dengan akal ke 10. Jika tidak ada nabi
yang akan menjadi kepala negara, maka dapat digantikan oleh orang yang
dianggap memiliki sifat nabi, yaitu filsuf. Rakyat harus bekerja sesuai
dengan kemampuan masing-masing untuk kepentingan bersama. Inilah ciri
atau karakteristik yang harus ada pada negara ideal. (Hasyimsyah
Nasution,2011:41)
D. Pemikiran Ibnu sina
1. Wajib al-Wujud dan Mukmin al-Wujud
Ibnu Sina dalam tulisannya berupaya menjelaskan pengertian wajib alwujud
(yang mesti ada) dan mukmin al-wujud (yang boleh ada). Wajib al-wujud adalah
wujud yang menurut akal mestilah ada, dan mustahil tidak ada; sedang mukmin al-
wujud adalah wujud yang menurut akal tidak mesti ada, tidak mesti tidak ada (tidak
mustahil ada), tapi boleh ada dan boleh pula tidak ada. Wajib alwujud dapat pula
dibagi dua kategori, yaitu: wajib al-wujud zatih (yang mesti ada dan mesti
selamanya ada karena dirinya sendiri) dan wajib al-wujudbi gayrih (yang mesti ada
karen yang lain). Yang akhir ini (wajib al-wujud bi gayrih,; yang mesti ada karena
yang lain) mestilah ada bila yang lain ada; tapi bila yang lain tidak ada, ia tidak
mesti ada karena ia sebenarnya juga adalah mukmin al-wujud bi zaatih (wujud yang
diliha dari sudut dirinya boleh ada, boleh tidak ada, tidak mesti ada, tidak mesti
tidak ada, atau tidak mustahil ada). Sebagai contoh, bila ada dua dan tiga, maka
mestilah ada lima karena adanya dua dan tiga itu. Bila dua dan tiga tidak ada, maka
lima tidak mesti ada. (Syarif, M. M, 1998:2)
2. Qodim dan Muhdas
Ibnu Sina dalam tulisannya berupaya menjelaskan pengertian qadim (sesuatu yang
tidak ada awalnya) dan muhdas (sesuatu yang dijadikan/diciptakan). Menurutnya
ada dua macam qadim, yaitu qadim dari segi substansi dan qadim dari segi waktu.
Qadim dari segi substansi berarti substansinya itu ada dengan sendirinya, tidak
bersal dari substansi yang lain, Qodim dari segi waktu berarti substansinya tidak
pernah tidak ada di masa lalu, atau tidak di dahului oleh waktu. Muhdas juga dua
macamnya, yaitu Muhdasdari segi substansi dan muhdas, dari segi waktu. Muhdas
dari segi substansi berarti substansinya diciptakan atau keberadaan substansinya
bergantung pada substansi yang lain. Muhdas, dari segi waktu berarti suatu yang
pernah tidak ada dan kemudian ada karena diciptakan/diwujudkan, atau dengan kata
lain: pada awalnya ia tidak ada, kemudian ada. Menurut Ibnu Sina, seperti menurut
Al-Farabi juga, Tuhan adalah satu-satunya wujud yang qadim dari segi substansi
dan dari segi waktu, sedang totalitas alam ciptaan-Nya adalah muhadas dari segi
substansi, tapi qadim dari segi waktu. Itu berarti bahwa totalitas alam, substansinya
bukanlah ada dengan sendirinya, tapi bergantung pada substansi Tuhan, adanya
karena diciptakan Tuhan; kendati demikian, penciptaannya berlangsung sejak
qadim, sehingga dari segi waktu-alam, yang diciptakan itu juga qadim. Ibnu Sina
menegaskan bahwa penciptaan alam itu berlangsung sepanjang masa (terus
menerus), dan tidak mungkin bahwa alam itu muncul sesudah pernah ia tidak ada.
Kemunculannya mustahil tdak didahului oleh materi/potensi yang darinya alam itu
muncul/dijadikan. (Herwansyah, 2017:56)
3. Tuhan, Akal, Jiwa, dan Tubuh.
Baik Tuhan, maupun akal-akal (‘uqul), dan jiwa-jiwa (nufus) adalah substansi-
substansi yang imateri. Tuhan dan akal-akal, selain imateri, juga selamanya terpisah
dari materi/tubuh. Tuhan mengatur segenap alam melalui akal-akal. Akal-akal
adalah pengatur materi/tubuh secara tidak langsung, sedang yang langsung
mengatur/mengendalikan materi/tubuh. Dalam pemahaman Ibnu Sina, Akal I
adalah pengatur raga langit pertama secara tidak langsung. Pengaturnya langsung
adalah jiwa langit pertama itu sendiri. Akal II adalah pengatur tidak langsung
terhadap raga langit kedua, sedang pengatur terhadap raga langit kedua adalah jiwa
langit kedua itu sendiri. Demikianlah seterusnya dengan akal-akal berikutnya. Akal
X adalah pengatur tidak langsungterhadap raga-raga yang terdapat di bumi, tapi
pengendali masing-masing raga itu secara langsung adalah jiwa masing-masing.
Manusia, misalnya sebagai makhluk yang terdiri dari tubuh dan jiwa rasional, maka
yang diminta pertanggungjawaban aktivitasnya adalah jiwanya, karena jiwanya
itulah menjadi pengendali langsung terhadap tubuhnya. Tuhan dan Akal X hanyalah
pengendali/pengatur secara tidak langsung terhadap tubuh manusia. Akal X yang
berhubungan langsung dengan jiwa-jiwa di bumi, termasung dengan jiwa-jiwa
manusia, disebut dalam falsafah Ibnu Sina sebagai Akal Aktif, yang menggerakkan
sesuatu yang potensil di bumi menjadi sesuatu yang aktual.
Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa tiga orang filosof ternama
dunia Al-kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina adalah yang membawa tonggak-tonggak filsafat Islam
yang kemudian diikuti oleh para filosof setelahnya. Dari karya-karya merekalah sehingga
membuat dunia tercerahkan baik dalam bidang kedokteran maupun dalam bidang keilmuan
yang lain seperti filsafat emanasi dan jiwa dan ketuhanan yang telah penulis sebutkan dalam
pembahasan tersebut. Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina menjadi ujung tombak bagi generasi
Islam setelahnya, dari merekalah generasi Islam belajar banyak hal tentang filsafat Islam.
Sekalipun masih banyak yang diperdebatkan oleh para ulama dan generasi Islam tentang isi
pikiran-pikiran kedua filosof tersebut. Tetapi pada dasarnya mereka telah memberikan
kontribusi yang terbaik lewat keilmuan keilmuannya pada Islam khususnya dan dunia luar pada
umumnya.
Daftar Pustaka
Nina W. Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2010
Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah kajian Tematik, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014
Herwansyah, Pemikiran Filsafat Ibnu Sina: Filsafat Emanasi, Jiwa, dan Al-Wujud,
(Journal El-Fikr, Vol. 1, No. 1, Tahun 2017)
Syarif, M. M.. Para Filosof Muslim. Cet. ke-2. (Bandung: Mizan, 1998).
Hasan Basri, Filsafat Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama Republik Indonesia, 2013