Anda di halaman 1dari 11

AL – KINDI : FILSAFAT KETUHANAN

DOSEN :

DR. SANDI SANTOSA, M.Si

DISUSUN OLEH :

1. NAUFAL FADHLURROHMAN
2. M. KHAIRUL IMAM
3. ZUMARDIN

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QURAN JAKARTA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Kindi adalah filosof Islam pertama yang berupaya mempertemukan ajaran Islam
dengan filsafat Yunani.Sebagai seorang filosof, al-Kindi lebih mengandalkan kemampuan
akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang
sama, diakui keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karena itu,
menurut al-Kindi, diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal
manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan.Dengan demikian, al-Kindi tidak sependapat
dengan para filosof Yunani dalam hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama
Islam.Misalnya, tentang kejadian alam berasal dari ciptaan Tuhan yang semula tidak ada.Al-
kindipun berbeda dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa alam tidak diciptakan
dan bersifat abadi. Oleh karena itu, al-Kindi bukan termasuk filosof yang dikritik al-Ghazali
dalam kitabnya : Tahafut al-Falasifah (Serangan terhadap para filosof).

Al-Kindī dikenal sebagai filsuf muslim keturunan arab yang berusaha


mengkompromikan antara teori filsafat dan agama dengan tujuan untuk mengetahui sesuatu
yang benar (knowledge of the truth). Tujuan filsafatnya adalah mencari yang benar. Mencari
yang benar itu menurut Al-Kindī tidak lain sama halnya dengan yang dipraktikkan dalam
mempelajari agama. Kajian tentang sesuatu yang benar absolut ini bagi Al-Kindī adalah
pengkajian konsep Tuhan. Konsep ketuhanan Al-Kindī dibangun atas dasar metafisika.
A. SEJARAH HIDUP DAN KARYANYA
Al-Kindi adalah seorang filsuf besar pertama Arab dan Islam.Nama lengkap al-Kindi
adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn
al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Nama al-Kindi berasal dari nama salah satu suku Arab yang
besar sebelum Islam, yaitu suku kindah.
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H/801 M. Ia berasal dari sebuah keluarga
pejabat, kaya dan terhormat. Ayahnya bernama Ibnu Al-Sabah. Sang ayah pernah menduduki
jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Ar-Rasyid
(786-809). Ayahnya meninggal ketika ia masih kanak-kanak namun ia masih tetap
memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik. Kakeknya Asy’ats bin Qais
dikenal sebagai salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-
Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan yang berasal dari daerah Arab bagian selatan
dan dikenal sebagai raja di wilayah Kindah. Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di
bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni,
Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847) dan
Mutawakil (847-861).
Pendidikan al-Kindi pada waktu kecil tidak banyak diketahui. Ada rieayat yang
menerangkan bahwa al-Kindi pernah belajar di Basrah sebuah pusat studi  bahasa dan teologi
Islam. Kemudian ia menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai
jantung kehidupan intelektual pada masa itu. Dia dikenal berotak encer, tiga bahasa penting
dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang
pada era itu. Ia sangat tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, ia dapat
menguasai ilmu filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi,
dialektika, psikologi, politik dan meteorology. Penguasaanya terhadap filsafat dan ilmu
lainnya telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang  berkebangsaan Arab dalam
jajaran para filosof terkemuka. Karena itu pulala ia dinilai pantas menyandang gelar Failsuf
al-Arab (Filosof berkebangsaan Arab).

Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, menyebabkan dirinya


diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan. Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di
Baitul Hikmah (House of Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu
pengetahuan dari berbagai  bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia
dan digantikan  puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan
mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi  puteranya. Al-
Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al -Kindi pula, paham yang
mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan. Menurut Al-
Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu  pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi
telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirannya dituangkan dalam risalah-
risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa
Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung,
musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi,  politik dan meteorologi.
Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran
masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul. Buah
pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap  perkembangan peradaban Barat pada
abad pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa.
Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.

Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama
yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang
Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia
juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar
adalah menyelaraskan filsafat dan agama.

B. PERPADUAN FILSAFAT DAN AGAMA


 Al-Kindi adalah sebagai perintis filasafat murni dalam dunia Islam. Al-Kindi
memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia, yaitu ilmu  pengetahuan mengenai
sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia
melukiskan filsafat sebagai ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk
memperkuat kedudukan agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Dalam risalahnya yang ditujukan kepada al-Mu’tasim ia menyatakan bahwa filsafat
adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang
yang berfikir. Kata-katanya ini ditujukan kepada mereka yang menentang filsafat dan
mengingkarinya, karena dianggapnya sebagai ilmu-kafir dan menyiapkan jalan menuju
kekafiran. Sikap mereka inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filosof-filosof Islam,
terutama pada masa Ibn Rusyd.
Kemudian menurut al-Kindi, filsafat adalah pengetahuan kepada yang  benar
(knowledge of truth) . Al-Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan
dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Agama di
samping menerangkan wahyu juga mempergunakan akal, dan filsafat mempergunakan akal.
Wahyu tidak bertentangan dengan filsafat, hanya argumentasi yang dikemukakan wahyu
lebih meyakinkan daripada argumen filsafat. Keduanya bertujuan untuk menerangkan apa
yang benar dan yang baik.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan
dari keduanya. Dengan demikian, menurut al-Kindi, orang yang menolak filsafat berarti
mengingkari kebenaran. Ia mengibaratkan orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak
jauh berbeda dengan orang yang memperdagangkan agama, dan orang itu pada hakekatnya
tidak lagi beragama karena ia telah menjual agamanya.
Menurut al-Kindi, kita tidak pada tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja
sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran tidak ada suatu yang lebih tinggi nilainya
selain kebenaran itu sendiri dan tidak pernah meremahkan dan merendahkan orang yang
menerima-nya.
Ilmu filsafat meliputi ketuhanan, keesaanNya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang
mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang  bermamfaat dan menjauhkan dari
apa-apa yang mudharat. Hal ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga mereka
menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-Nya.
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang
dibawa oleh rasul. Oleh karena itu, sekalipun ia datang dari Yunani, maka kita menurut al-
Kindi, wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, kita wajib mencarinya. Dalam usaha
memadukan antara filsafat dan agama ini, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat al-Qur’an.
Menurutnya menerima dan mempelajari filsafat sejalan dengan ajaran al-Qur’an yang
memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta
ini. Di antara ayat-ayatnya adalah sebagai berikut:
1. Surat Al-Nasyr [59]: 2
“....... Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang  - orang yang
mempunyai wawasan.”
2. Surat Al-A’raf [7] : 185
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan  segala sesuatu
yang diciptakan Allah...”
3. Surat Al-Ghasyiyah [88] : 17-20
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan dan langit,
bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?”
4. Surat Al-Baqarah [2]: 164
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-
nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
  Dengan demikian al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis terhadap al -
Qur’an, sehingga menghasilkan antara wahyu dan akal dan antara filsafat dan agama. Lebih
lanjut ia mengemukakan bahwa  pemaduan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga
alasan berikut:
1. Ilmu agama bagian dari filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling  bersesuaian
3. Menuntut ilmu secara logika diperintahkan oleh agama. Al-Kindi juga menghadapkan
argumennya kepada orang-orang agama yang tidak senang dengan filsafar dan filosof, jika
ada orang yang mengatakan bahwa filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan argument
dan menjelaskannya. Usaha pemberian argument tersebut merupakan bagian dari pencarian
pengetahuan tentang hakikat, untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika mereka harus
memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus dimiliki dan dipelajari.
  Dari paparan di atas dapat disimpulkan hahwa al-Kindi merupakan  pionir dalam
melakukan usaha pemaduan antara filsafat dengan agama atau antara akal dan wahyu. Dalam
hal ini dapat dikatan bahwa al-Kindi telah memainkan peranan yang besar dan penting di
pentas filsafat Islam, sehinga ia melapangkan jalan bagi para filosof Islam yang datang
kemudian.

C. FILSAFAT KETUHANAN
Sebagaimana halnya dengan filosof – filosof Yunani dan filosof – filosof Islam lainnya,
Al – Kindi, selain dari filosof, adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi
kedalam dua bagian :
1. Pengetahuan Ilahi (Divine Science), sebagaimana yang tercantum dalam Al –
Qur’an : yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan
ialah keyakinan.
2. Pengetahuan manusiawi (Human Science) atau filsafat. Dasarnya ialah pemikiran
(Ratio Reason).
Argumen – argumen yang dibawa Al – Qur’an lebih meyakinkan daripada argumen –
argumen yang ditimbulkan dari filsafat. Tetapi filsafat dan Al – Qur’an tidak bertentangan,
kebenaran yang diberitakan Wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa
filsafat. Mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bagian dari
filsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar teologi.

Filsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar (Knowledge of Truth). Disinilah
terlihat persamaan filsafat dan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan
apa yang baik, filsafat itu pulalah tujuannya. Agama, disamping Wahyu, mempergunakan
akal, dan filsafat juga mempergunkan akal. Yang benar pertama (The Firsh Truth) bagi Al –
Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan demikian membahas soal Tuhan dan agama ini pulalah
dasarnya. Dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat ialah filsafat tentang Tuhan.
Sebagaimana Al-kindi berkata : { Filsafat yang termulia dan tertinggi derajatnya adalah
filsafat utama, yaitu ilmu tentang yang benar pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang
benar }.

Kebenaran ialah bersesuaian apa yang ada dalam akal dengan apa yang ada diluar akal.
Dalam alam terdapat benda-benda yang dapat ditangkap oleh panca indera. Benda-benda ini
merupakan juz’iat (particulars). Yang penting bagi filsafat bukan juz’iat yang tak terhingga
banyaknya itu, tetapi yang penting ialah hakikat yang terdapat dalam juz’iat itu, yaitu kulliyat
(universal, definisi). Tiap – tiap benda mempunyai dua hakikat :

1. Hakikatnya sebagai juz’i (hakiqotu juz’iat) dan ini disebut aniyah.


2. Dan hakikatnya sebagai kulli (hakiqotu kulliyah) dan ini disebut sebagai mahiyah
yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan species.

Tuhan dalam filsafat Al – kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniyah dan
mahiyah, tidak aniyah karena Tuhan tidak masuk dalam benda – benda yang ada dalam alam,
bahkan ia adalah pencipta alam ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan juga tidak
mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, karena Tuhan tidak merupakan genus dan
species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan, Tuhan adalah unik. Ia
adalah al-haq al-awwal (yang benar pertama ) dan al-haq wahid (yang benar tunggal). Ia
semata – mata satu. Hanya ialah yang satu, selain dari Tuhan semuanya mengandung arti
banyak.

Sesuai paham yang ada dalam Islam. Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta dan bukan
penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal
dizaman lampau (qadim), tetapi mempunyai permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal
ini pada filsafat Platinus yang mengatakan bahwa yang maha satu adalah sumber dari alam
ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari yang maha satu. Tetapi
paham emanasi ini kelihatannya tidak jelas dalam filsafat Al-Kindi. Al-Farabi-lah yang
dengan jelas menulis tentang itu.

D. Filsafat Jiwa (Al-Nafs) al-Kindi


Didalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, tidak menjelaskan secara tegas tentang roh
atau jiwa. Bahkan Al-Qur’an sebagai sumber pokok ajaran Islam menginformasikan bahwa
manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah bukan urusan
manusia. Oleh karena itu kaum filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat
jiwa yang dikemukakan oleh filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran
Islam.  
Jiwa atau roh adalah salah satu pokok pembahasan al-Kindi, bahkan al-Kindi adalah
filsuf Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci. Al-Kindi berpendapat
bahwa roh mempunyai esensi dan eksistensi yang terpisah dengan tubuh dan tidak tergantung
satu sama lainnya. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Sementara itu jisim mempunyai hawa nafsu
dan marah. Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah  jauhar basith ( tunggal, tidak
tersusun, tidak  panjang, dalam dan lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan
mulia. Substansi (jauhar)-nya berasal sari sustansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama
dengan hubungan cahaya dengan matahari.
Argument tentang beda jiwa dengan badan, menurut al-Kindi adalah jiwa menentang
keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong menusia untuk melakukan kejahatan,
maka jiwa yang menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa sebagai yang
melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu sebagai yang dilarang.
Dalam hal ini pendapat al-Kindi lebih dekat dengan pendapat Plato yang mengatakan
bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident, binasanya badan tidak
membawa binasa pada jiwa, namun ia tidak menerima  pendapat Plato yang mengatakan
bahwa jiwa berasal dari alam idea.
Al-Kindi membagi jiwa atau roh ke dalam tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-quwwah
asy-syahwaniyah) yang terdapat di perut, daya pemarah (al-quwwah al-gadabiyah) yang
terdapat di dada, dan daya berfikir (al-quwwah al-natiqah) yang berpusat di kepala. Daya
yang terpenting adalah daya berfikir, karena daya itulah yang mengangkat eksistensi manusia
kederajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada manusia dengan babi, daya marah dengan
anjing, dan daya pikir dengan malaikat. Jadi, orang yang dikuasai oleh daya bernafsu, tujuan
hidupnya seperti yang dimiliki oleh babi, siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat
seperti anjing, dan siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat
dan menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana, adil,
pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan.
Selanjutnya Al-Kindi membagi akal pada empat macam; satu berada di luar jiwa manusia dan
yang tiga lagi berada di dalamnya.
1. Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-‘aql al  -lazi bi al-fi‟il Abadan). Akal
pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam
aktualitas.
2. Akal bersifat potensial (al-aql bi al-quwwah), yakni akal murni yang ada dalam
dalam diri manusia yang masih berupa potensi dan belum menerima  bentuk-bentuk
indrawi dan yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect). Ini adalah akal yang telah keluar
dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan  pemikiran
abstraksinya.
4. Akal yang berada dalam keadaan actual nyata, ketika ia nyata, maka ia disebut akal
“yang kedua”. Akal dalam bentuk ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat
kedua dari aktualitas. Ia dapat diibaratkan dengan proses  penulisan kalau seseorang
sunguh-sungguh melakukan penulisan.
Menurut al-Kindi, tidak semua roh yang lanjut pergi ke alam kebenaran, hanya roh yang
telah suci saja yang bisa mencapainya. Al-Kindi tanpaknya tidak  percaya dengan kekekalan
hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh
keselamatan dan naik ke alam akal yang berada di lingkungan cahaya Tuhan. Roh yang telah
memasuk wilayah tersebut telah dapat melihat Tuhan. Karena itu senantiasa roh
mendambakan penyatuan kembali dengan sumbernya. Roh yang bersihlah dapat menyatu
dengan sumbernya. Menurutnya roh yang kotor harus dibersihkan dulu ke bulan, kemudian
lanjut ke Mercurius dan seterusnya hingga sampai ke alam akal yang berada dilingkuangan
cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai