NIM : 1192020073
Kelas : PAI 5B
Mata kuliah : Filsafat Islam
Al-Kindi mengemukakan pokok-pokok pemikiran filsafat dalam berbagai aspek antara lain:
1) Pemaduan Filsafat dan Agama ( Talfiq )
Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan antara
filasafat dan agama atau antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidak bertentangan
karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Dalam pemikiran al-Kindi
pemaduan antara agama dengan filsafat atau akal dengan wahyu dinamakan dengan talfiq.
Sedangkan kebenaran itu satu tidak banyak. Ilmu filasafat meliputi ketuhanan, keesan-Nya, dan
keutamaan serta ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang
bermanfaat dan menjauhkan dari apa-apa yang mudlarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para
rasul Allah dan juga mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang
diridhai-Nya.
Agaknya untuk memuaskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang tidak senang
dengan filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, al-Kindi juga membawakan ayat-ayat Al-Quran.
Menurutnya menerima dam mempelajari filsafat sejalan dengan anjuran Al-Quran yang
memerintahkan pemeluknya untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini.
Di antara ayat-ayatnya yang berkaitan dan yang dikaitkan dengan anjuran tersebut adalah sebagai
berikut.:
………Maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
Adapun mengenai ketuhanan, bagi al-Kindi Tuhan adalah wujud yang sempurna dan
tidak didahului wujud lain. Wujudnya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-
Nya. Tuhan adalah Maha Esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ad zat lain yang menyamai-
Nya dalam segala aspek. Ia tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan.
Mengenai keterangan di atas, dapat kita lihat dalam firman Allah swt :
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin; dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu. ( QS. Al-Hadid [57] : 3 )
Yang dimaksud dengan: yang Awal ialah, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada,
yang akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, yang Zhahir ialah yang nyata
adanya karena banyak bukti- buktinya dan yang Bathin ialah yang tak dapat digambarkan hikmat
zat-Nya oleh akal.
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah.
Tidak aniah karena tidak termasuk yang ada dalam alam, tetapi Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak
tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan juga tidak mahiah karena Tuhan tidak merupakan genus
dan spesies. Tuhan adalah Yang Benar Pertama (Al-Haqqul Awwal) dan Yang Benar Tunggal
(Al-Haqqul Wahid). Ia semata-mata satu. Hanya Ia-lah yang satu maka selain dari tuhan
mengandung arti banyak.
Sesuai dengan faham yang ada dalam Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan
bukan Penggerak Pertama sebagai pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan kekal di
zaman lampau tetapi punya permulaan. Karena itulah ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat
Plotinus yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari
segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu ( Harun Nasution, 1978 : 16.)
Filsafat ketuhanan yang dikemukakan al-Kindi adalah adanya pencipta dan penggerak
alam semesta yang menjadi bukti adanya tuhan, sehingga adanya tuhan dapat dibuktikan dengan
dalil yang empiris atau bukti yang dapat ditunjukkan yaitu :
a. Dalil baharu alam
b. Dalil keragaman dan kesatuan
c. Dalil pengendalian alam. ( Hasyimsyah Nasution, 1999 : 19 )
Al-Kindi menulis, keteraturan, ketertiban dan keselerasan alam raya ini adalah wujud
dari pengaturan-Nya yang bijak dan sempurna. Sungguh kehidupan alam yang serba tertaur dan
bijak telah cukup ( sebagai bukti tentang ada-Nya ) bagi mereka yang mampu melihat dengan
pikiran jernih. ( al-Kindi, al-Ibanah an al-Illah al-Fa-ilah al-Qaribah li al-Kauni wa al-Fasad,
dalam Abu Riddah, Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, Mesir al-I’timad, berdasar pada kutipan A.
Khudori Soleh, 2013 : 104 ).
Argument terakhir ini, oleh sebagian filsuf, dianggap sebagai dalil paling efektif untuk
membuktikan adanya Tuhan. Dalam tradisi filsafat islam, dalil ini juga digunakan oleh Ibnu
Rusyd ( 1126 – 1196 M ), sedangkan dalam tradisi filsafat Barat digunakan oleh Immanuel Kant
( 1724 – 1804 M ). ( A. Khudori Soleh, 2011 : 104 ).
Tentang hakikat Tuhan, al-kindi mengatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang haq
(sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelumnya dan tidak akan pernah tiada selama-lamanya,
yang ada sejak awal dan akan senantiasa ada selama-lamanya. Tuhan adalah wujud sempurna
yang tidak pernah didahului wujud yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta
tidak ada wujud lain melainkan dengan perantaraan-Nya ( A. Mustafa, 2004 : 109 ).
Kemudian mengenai sifat-sifat Tuhan, tidak berbeda dengan konsep Mu’tazilah. Dalam
karyanya yang terkenal, al-Falsafah al-Ula, al-kindi membuat uraian dan pembelaan yang
mendalam tentang pandangannya soal sifat – sifat Tuhan ini. Ada dua sifat Tuhan yang penting
yang harus diuraikan yaitu sifat Maha Esa ( wahdaniyah ), dan sifat ketidak samaannya dengan
Makhluk hidup ( Mukhalafatun lil Hawadits ), tentang sifat esa, al-Kindi menjelaskannya dengan
dua cara, yaitu pertama, dengan cara membedakan antara esa mutlak dengan esa metaforis. Esa
mutlak adalah keesaan yang esensial yang tidak bisa dibagi, sedangkan esa metaforis adlah
keesaan yang ada pada objek-objek terindera yang memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut tertentu
sehingga keesaannya tidak bersifat mutlak tetapi berganda. ( A. Khudori Soleh, 2013 : 105 ).
Sekalipun demikian, apabila kita melihat pendapat Mu’tazilah itu sendiri, memang
kelompok ini meniadakan dan mengosongkan sifat-sifat Tuhan dari zat-Nya. Golongan ahlus-
Sunnah menyebut aliran Mu’Tazilah dengan sebutan al-Mu’aththilah. Mula-mula sebutan ini
diberikan kepada aliran Jahamiah, karena aliran ini juga mengosongkan Tuhan dari sifat-sifat-
Nya. Apabila kita melihat dalam kamus bahasa arab bahwa aththala mempunyai arti
mengosongkan, menterlantarkan dan membiarkan tidak terpakai. ( Adib Bisri, ,1999 : 506 ).
Karena sifat-sifat Tuhan dipersoalkan oleh kaum Mu’tazilah, maka mereka disebut al-
Mu’aththilah ( Hasan Basri. 2007 : 43 )
Dari keterangan di atas, dapat kami simpulkan bahwa sekalipun Mu’tazilah
mengosongkan Tuhan dari Sifat-Nya, maka al-Kindi membuat suatu statement terhadap
penjelasan tersebut untuk mendukung teori filsafat tentang sifat-sifat Tuhan.
Sedangkan dalam ranah metafisika, di dalam alam terdapat benda-benda yang dapat
ditangkap oleh panca indera. Benda-benda itu merupakan juz’iah ( particular ). Yang penting
bagi filsafat, kata al-Kindi, bukan juz’iah yang tak terhingga banyaknya itu, tetapi hakikat yang
terdapat dalam juz’iah itu, yaitu kulliah ( universals ). Tiap-tiap benda mempunyai dua hakikat,
hakikat sebagai Juz’i dan ini disebut aniah ( ) انيةdan hakikat sebagai kulli ( ) حقيقية كليةdan ini
disebut mahiah ( ) ماهية, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk genus dan spesies.
Mengenai kosmologi, al-Kindi berpendapat bahwa alam ini dijadikan dari tiada
( creation ex nihilio ) atau dalam bahasa arabnya adalah دم77اد من الع77االيج. Allah tidak hanya
menjadikan alam, tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya. Serta menjadikan sebagiannya
menjadi sebab bagi yang lain. Al-kindi pula berpendapat bahwa alam ini terdiri dari dua bagian,
yakni alam yang terletak di bawah bulan dan alam yang merentang tinggi sejak dari falak bulan
sampai ke ujung alam. Jenis alam yang pertama terdiri dari empat unsur, ayitu air, api, udara dan
tanah. Keempat unsur tersebut berkualitas dingin, panas, kering dan basah yang merupakan
perlambang dari perubahan, pertumbuhan dan kemusnahan. Sedangkan pada alam jenis kedua
tidak dijumpai keempat unsur yang dimaksud, karena itu tidak mengalami perubahan dan
kemusnahan dengan kata lain kedua alam tersebut abadi sifatnya.
Adapun bumi ini terletak di bawah falak bulan , merupakan pusat alam. Sedangkan falak-
falak atau benda-benda langit menurut al-Kindi adalah makhluk hidup, memiliki indera
penglihatan dan pendengaran sebagai indera yang diperlukan untuk dapat berfikir dan
membedakan. Falak-falak tersebut merupakan sebab terdekat bagi planet bumi. Disebabkan
gerak lingkaran yang kontinu ke sisi-sisi tertentu, maka timbullah berbagai kegiatan, kehidupan,
dan makhluk dipermukaan bumi ini, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
( Muhammad Athif al-Iraqi, Tajdid fi al-Madzhab al-Falsafiyyah wa al-Kalamiyyah, Kairo : Dar
al-Ma’arif, 1979. Hal. 90-91 dalam kutipan Hasyimsyah Nasution 1999 : 21 )
3) Filsafat Jiwa
Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan tegas tentang roh dan
jiwa. Bahkan Al-Quran sebagai pokok sumber ajaran Islam menginformasikan bahwa manusia
tidak akan mengetahui hakikat ruh karena itu urusan Allah bukan Manusia. Sebagaimana firman
Allah swt :
Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". ( QS. Al-Isra [17] : 85 )
Dengan adanya hal tersebut, kaum filosof Muslim membahas jiwa berdasarkan pada
falsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran
Islam.
Al-Kindi juga mengatakan bahwa jiwa adalah tunggal, tidak tersusun, tidak panjang,
dalam dan lebar. Jiwa mempunyai arti penting , sempurna, dan mulia. Subtansinya berasal dari
subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya dengan cahaya dan
matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa
bersifat rohani dan illahi sementara badan mempunyai hawa nafsu dan marah. Dan perbedaannya
jiwa menentang keinginan hawa nafsu.
Pada jiwa manusia terdapat tiga daya: daya bernafsu ( yang terdapat di perut ), daya
marah ( terdapat di dada ), dan daya pikir ( berputar pada kepala ). ( H. Sirajuddin Zar, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. I, Hal. 59-60 ).
Mengenai daya berfikir, bagi al-Kindi akal dibagi tiga :
a. Akal yang bersifat potensial ( ) الذى بالقوة العقل
b. Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual ( ) العقل الذى خرج من القوة الى الفعل
c. Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas ( ) العقل الذى نسميه الثانى.
Akal yang bersifat potensial tidak dapat keluar menjadi aktual jika tidak ada kekuatan
yang menggerakkanya dari luar. Karena itu ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud
diluar roh manusia. Yakni akal yang selamnya dalam aktualitas ( ) العقل الذى بالفعل ابدا. Akal yang
selamanya dalam aktualitas inilah yang menggerakkan potensial menjadi aktual. ( Harun
Nasution, 1978 : 15 ).
Jiwa atau roh selama berada dalam badan tidak akan memperoleh kesenangan yang
sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan maka roh
memperoleh kesenangan yang sebentulnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah
bercerai dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal di atas bintang-bintang, di
dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Disinilah letak
kesenangan abadi dari roh. ( Hana al-Fahury dan Khalil al-Jarr, Tarikh al-Falsafah al-Arabiyyah,
Beirut : Muassasah li al-Tahb’ah wa an-Nasyr 1963, hal. 366 – 367 dalam kutipan Hasyimsyah
Nasution, 1999 : 23.)
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa antara roh dengan jasad, keduanya
mempunyai fungsi masing-masing ketika bersatu, akan tetapi ketika roh keluar dan berpisah dari
jasad atau badan, maka fungsi kesatuan itu menjadi hilang dan tinggallah roh yang berfungsi
untuk melanjutkan kehidupannya ke alam kebenaran atau ke alam akal. Dalam penjelasan dari
al-Qur’an ataupun al-Hadits, roh tersebut akan pergi ke alam akhirat untuk mempertanggung
jawabkan segala amalnya ketika bersatu dengan jasad.
4) Filsafat Moral
Menurut al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan
bahwa seorang filosof wajib menempuh hidup susila.Hikmah sejati membawa serta pengetahuan
serta pelaksanaan keutamaan.Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles),
melainkan untuk hidup bahagia (Stoa). Tabiat manusia baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik
itu dihapuskan oleh pengetahuan (paradoks Socrates).Manusia harus menjauhkan diri dari
keserakahan.Milik memberatkan jiwa.Socrates dipuji sebagai contoh zahid (asket).Al-Kindi
mengecam para ulama yang memperdagangkan agama (tijarat bi al-din) untuk memperkaya diri
dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya
dalam Negara. Ia merasa diri korban kelaliman Negara seperti Socrates. Dalam kesesakan jiwa,
filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmah
dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan tata
Negara. Sebagai filosof, al-Kindi prihatin, kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan
kepribadian secara wajar.Karena itu dalam akhlak dia mengutamakan kaedah stoa dan Socrates. (
Hasyimsyah Nasution, 1999 : 23-24 )
5) Filsafat Kenabian
Tentang kenabian bagi Al-Kindi adalah satu derajat pengetahuan yang tertinggi bagi
manusia. Hanya nabi yang bisa mencapai pengetahuan yang sempurna tentang alam ghaib dan
ketuhanan melalui wahyu. Kesanggupan untuk mengetahui seluk-beluk alam ghaib yang
sempurna seperti itu tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia biasa.
Keterbatasan pengetahuan manusia terhadap soal-soal hakikat dan alam ghaib disebabkan
keterbatasan keleluasaan akalnya atas jasad. Oleh karena itu pengetahuan yang dicapai oleh
manusia masih sedikit sekali dan hal ini masih belum sepenuhnya pula dapat diyakini
kebenarannya. Berlainan dengan wahyu yang disampaikan Tuhan kepada nabi, ia lebih positif
dan kebenarannya dapat diyakini sepenuhnya. Jadi kenabian lebih tinggi dari derajat para filosof.
( Yunasril Ali, 1991 : 33-34 ).
Dalam realitasnya kita sudah mengikuti bahwa Nabi sudah pasti mempunyai derajat lebih
tinggi sekalipun sama-sama berbentuk wujud manusia. Tentunya dilihat dari segi keilmuan,
kemulyaan dan interaksinya dengan Tuhan, sehingga ada perintah atau keistimewaan yang
dimiliki oleh para Nabi disamping hal di atas, misalnya mukjizat yang jenisnya berbeda-beda
tiap para Nabi-Nya, begitu pula dilihat dari segi dima’shumnya atas segala perbuatan dan segala
dosanya.
3) Tinjauan terhadap al-Kindi
Al-Kindi merupakan filosof pertama yang menyelami persoalan filsafat dan keilmuan
dengan menggunakan bahasa arab, seperti halnya dengan Descartes dengan bahasa perancis,
meskipun berbeda waktu, corak pikiran dan luasnya pembicaraan. Sebagai orang yang
mempelajari pikiran-pikiran filsafat dari masa-masa sebelumnya, maka ia harus memperkenalkan
pikiran-pikiran tersebut kepada dunia arab – Islam tentang berbagai persoalan yang sebenarnya
terasa asing sama sekali oleh mereka. Dari segi ini, maka al-Kindi menghadapi kesulitan yang
besar, akan tetapi ia dapat mengatasinya dengan baik.
Pertama ia menggunakan istilah-istilah arab untuk pengertian kata-kata Yunani. Kalau
terpakasa memakai kata-kata Yunani asli, maka disebutkan - juga istilah arabnya, seperti kata-
kata filsafat dan hikmah, fantasia dan mushawarah, hule dan thin ( tanah ) atau maddah. Untuk
ketelitian pemakaian istilah – istilah, maka ia harus menulis risalah-risalah yang khusus untuk
itu, dan risalah ini merupakan buku tertua yang sampai kepada kita. Kadang-kadang ia
mengambil kata-kata arab kuno yang hamper hilang dari pemakaian, seperti kata-kata ais untuk
arti wujud. Definisi-definisi yang dibuatnya teliti, tepat dan ringkas. Kesemuanya ini
menunjukkan bahwa ia tahu benar bahasa arab dan dapat menguasainya.
Kedua ia telah meneliti persoalan – persoalan filsafat yang meskipun telah dibicarakan
oleh filosof-filosof sebelumnya, namun ia tetap mempertahankan kepribadiannya
danpendapatnya sendiri. Karenanya, maka ia tidak sekedar mengutip dari Aristoteles dan Plato
atau filosof-filsof Yunani lainnya, Tetapi ia juga memilih mana yang sesuai dengan pikirannya
sendiri dan kepercayaan agamanya.
Dalam filsafat fisika misalnya, ia mengikuti Aristoteles, meskipun tidak menyetujuinya
dalam soal qadimnya alam beserta alasan-alasannya. Demikian pula dalam soal kejiwaan ia
mengesampingkan Aristoteles dan lebih suka memeilih Plato, karena pikiran – pikiran Plato ini
bersifat rohani ( idealis ) yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Tentang tuhan dan sifat-Nya, maka al-Kindi bersikap sebagai orang Islam Mu’tazilah.
Kalau dicari persamaannya dengan aliran-aliran filsafat sebelumnya maka kita bisa menunjuk
aliran stoa, dimana aliran ini menganggap Tuhan sebagai dzat pengatur dan pemelihara Alam,
yang Berakal, dimana bekasnya Nampak dengan jelas pada alam.
Akan tetapi memang haruslah diakui, al-Kindi tidak mempunyai system filsafat yang
lengkap. Jasanya ialah karena dia adalah orang yang pertama membuka pintu filsafat bagi dunia
Arab dan diberinya corak Arab keislaman. Pendiri filsafat Islam yang sebenarnya ialah al-Farabi.
( Ahmad Hanafi, 1990 : 79 ).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim.
Al- Ahwani, Ahmad Fuad, Dr. Filsafat Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus 1993.
Basri, Hasan, Drs. H. Ilmu Kalam Sejarah Dan Pokok Pikiran Aliran-aliran, Bandung : Azkia
Pustaka Utama 2007.
Nasir, Sahilun A. Prof, Dr, KH. Pemikiran Kalam ( Teologi Islam ) Sejarah, Ajaran dan
Perkembangannya, Jakarta : Rajawali Pers 2010.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: CV. Bulan Bintang, 1978.
Nasution, Hasyimsyah. Prof, Dr. H, Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama1999.
Poerwantana, Drs, Seluk beluk filsafat Islam, Bandung : Remaja Rosda Karya 1987.
Soleh, Khudori, Dr, H, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta : ar - Ruzz
Media 2013.
Supriyadi, Dedi. M.Ag, Pengantar Filsafat Islam Konsep, filsuf dan Ajarannya Bandung :
Pustaka Setia 2009.
Zar, Sirajuddin, H. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004.