Anda di halaman 1dari 16

Sejarah Perkembangan

Pemikiran Islam
Etika Menurut Filosof Al-Kindi
Disusun untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Khaerul Wahidin, M.Ag


Disusun Oleh :
SUANTO (1908301056)
MUHAMMAD RHENAL WIBOWO(1908301041)

SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH
NURJATI CIREBON
2022
Abstrak

Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai
ahli-ahli pikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Pada masa Bani
Umayyah pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum
kelihatan.Pengaruh baru nyata kelihatan di masa Bani Abbas, karena yang
berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang Arab, tetapi orang-orang
Persia yang telah lama berkecimpung dalam kebudayaan Yunani. Al-Kindi
merupakan filosof muslim pertama yang menyusun pemikiran Filsafat Islam
dengan sistematika yang jelas. Pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan refleksi
doktrin-doktrin yang diperolehnya dari sumber-sumber Yunani klasik dan
warisan Neo Platonis yang dipadukan dengan keyakinan agama Islam. Al-Kindi
membuka ruang pembicaraan sebagai upaya pemaduan antara doktrin filsafat
dan agama. Filsafat etika Al-Kindi dapat tercemin dalam pandangan Al-Kindi
sendiri dalam memahami Filsafat, dimana Al-Kindi menyimpulkan bahwa definisi
filsafat adalah suatu upayah meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan (Allah)
sejauh yang dapat dijangkau oleh kemampuan manusia

Kata Kunci: Pemikiran Filsafat, Filsafat Etika, Al-Kindi


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu faktor yang memungkinkan filsafat Yunani dikaji oleh orang- orang
Islam adalah karena adanya karya-karya terjemahan filsafat yang disalin
secara bebas kedalam bahasa Arab baik langsung dari bahasa Yunani maupun
dari teks asli versi Siriac. Gerakan penerjemahan ini berlangsung dari tahun
750 sampai tahun 1000 masehi . Oleh karena itu, lewat penerjemahan-
penerjemahan ini para pemikir muslim mengenal pemikiran-pemikiran filosof
Yunani seperti Plato, Aristoteles, dan ajaran-ajaran Neoplatonis untuk
kemudian mereka kembangkan dan perkaya dengan pendekatan Islam,
sehingga lahirlah disiplin baru dalam dunia pemikiran Islam yang dikenal
dengan sebutan Filsafat Islam (al-Falsafah al-Islamiyah)11, dengan beberapa
tokohnya seperti;

 Al- Kindi (796-873 M)


 Al-Farabi (870-950 M)
 Ibn Sina (980-1037 M)
 Al-Ghazali (1059-1111 M)
 Ibn Rusyd (1126-1198 M) dan lain-lain.

Para tokoh-tokoh itu memiliki reputasi dan pengaruh yang diakui tidak hanya
di dunia Islam abad pertengahan bahkan juga mewarnai filosof-filosof Barat
Modern. Sedemikian besarnya pengaruh filosof-filosof muslim ini hingga W.
Montgomery Watt mengambil kesimpulan bahwa tanpa keberadaan mereka,
ilmu pengetahuan dan filsafat orang-orang Eropa tidak akan bisa berkembang

1
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosofi dan Filsafatnya, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004),h.37
seperti ketika dulu nenek moyang mereka mengembangkannya untuk pertama
kalinya.22

Dengan demikian, filsafat Islam telah mencapai puncak kejayaannya pada


Abad ke- 9 dan ke-11 masehi. Berbeda dengan filsafat Barat yang berkembang
hingga abad modern, kejayaan filsafat Islam tidak mampu melampau abad
pertengahan dan mulai memasuki periode anti klimaks pada abad ke-12,
khususnya Ibn Rusyd .

Di antara para filosof muslim yaitu Al-Kindi. Al-Kindi menyusun filsafatnya


di Bagdad yang ketika itu masih menjadi ibu kota pemerintahan dan sekaligus
pusat pengkajian pengetahuan. Di kota ini juga al-Kindi mendapat banyak
dukungan moral dan material dari tiga khalifah dinasti Abbasiyah, al-Ma’mun,
al-Mu’tasim dan al-Watsiq. Bahkan ia menjadi guru (tutor) putra al-
Mu’tasim3.Ketiga khalifah itu menunjukkan minat yang tinggi pada
pengetahuan dan menyetujui kelangsungan kegiatan belajar mengajar,
kegiatan ilmiah, filosofis dan kesusastraan. Menurut Ibnu Nadhim,
kecenderungan al-Kindi ternyata tidak hanya pada filsafat Yunani saja, tetapi
al-Kindi juga mendalami studi keagamaan India, Chaldean dan Harran (Basri,
2013:18). Terlepas dari semua ketidaksempurnaan sistematika filsafat al-
Kindi, ia tetaplah sosok yang paling berjasa dalam membuka akses filsafat dan
sains yunani serta membangun fondasi filsafat Islam bagi para filosof muslim
setelahnya.

2
irajudin Zar, Filsafat Islam . . . . . ., h.43
3
irajudin Zar, Filsafat Islam . . . . . ., h.22
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Biografi Al-Kindi


Nama Al-Kindi dari nama sebuah suku, yaitu : Banu Kindah yaitu
suku keturunan Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jazirah Arab dan
mereka mempunyai kebudayaan yang tinggi.
Nengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq ibnu
Sabbah ibnu ‘Imron ibnu Ismail bin Muhammad bin Al-Ash’ats bin Qais
Al-Kindi. Kindi adalah nama kabilah terkemuka pra-islam yang
merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. Kabilah ini
yang melahirkan seorang tokoh sastrawa yang terbesar kesusastraan Arab,
sang penyair pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta
kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.
Al-Kindi dilahirkan di kufah pada tahun 185 H atau bertepatan
dengan 801 M dan keluarganya terkenal kaya dan terhormat. Ayahnya
bernama Al Sabbah, bangsawan Arab yang sangat berpengaruh dan pernah
menjadi gubernur kufah4 pada masa Al Mahdi (196-170H/785-786M) dan
Harun Al Rasyid (170-194H/786-809M).
Al-Kindi mengalami masa pemerintahan Bani abbas, yakni Al
Amin, Al Ma’mun, Al Mu’tasim, Al Wasiq dan Al Muttawakkil. Al-Kindi
menghabiskan masa kecilnya di Kufah bersama kedua orangtuanya. Ketika
Al-Kindi masih anak-anak, ayahnya meninggal dunia. Namun, keadaan itu
tidak membuat semangatnya menjadi turun dan ia terus tetap mempelajari
berbagai macam ilmu di Kufah, Basroh dan Baghdad. Dia memulai
belajarnya dari ilmu-ilmu agama, kemudian filsafat logika, matematika,
music, astronomi, fisika, kimia, geografi, kedokteran, dan teknik mesin.
Ibnu Abi Usaibi’ah (w.668H/1269M), pengarang Tabaqatal-Attiba,
mencatat Al-Kindi sebagai salah satu dari empat penerjemah mahir pada
masa gerakan penerjemahan.
Dalam hal pendidikan Al-Kindi pindah dari Kufah ke Bashrah,
sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Dan ia pernah menetap di
Baghdad, ibukota kerajaan Bani Abbas, yang juga sebagai jantung
kehidupan intelektual pada masa itu. Kemampuan dalam bidang filsafat
dan penemuannya dalam bidang kedokteran serta keahliannya sebagai
insinyur telah diakui oleh para ilmuan lain yang hidup pada masanya.
Kejeniusan dan kemampuannya dalam berbagai bidang sempat menjadi

4
irajudin Zar, Filsafat Islam . . . . . ., h.21
sumber kedengkian orang-orang yang dengki dan membuat jiwanya lemah
sehingga hampir saja Al-Kindi akan dipenjara, dicambuk dan diboikot.
Dalam bahasa asing Al-Kindi menguasai dua bahasa yaitu bahasa
Yunani dan Suryani. Selain itu, ada yang mengatakan bahwa dia juga
menguasai bahasa asing lainnya. Penguasaannya terhadap berbagai bahasa
inilah yang telah membantunya menguasai berbagai macam ilmu dan
menjadikannya sangat berpengaruh bagi khalifah Al Ma’mun sehingga
khalifah mengankatnya sebagai penerjemah buku-buku asing yang
dianggap penting.

2.2 Pemikiran dan Ajaran

2.2.1 Filsafat menurut Al-Kindi

Pemikiran-pemikiran filsafat Al-Kindi dapat kita katan adalah


sebuah refleksi doktrin-doktrin yang diperolehnya dari sumber-sumber
baik Yunani klasik dan warisan Neo-Platonis. Dimana ini merupakan
perpaduan dengan keyakinannya pada agama yang dianutnya. Oleh sebab
itu, inti utama dalam pemikiran filsafat Al-Kindi dapat kita temukan dalam
risalah Fi al-Hudud al-Asyya. Dalam risalah ini, Al-Kindi melakukan
peringkasan atas defenisi-defenisi dari literatur Yunani dengan bentuk
yang sederhana. Ringkasan yang pada awalnya hendak memaparkan
filsafat Yunani, oleh banyak sejarawan dinilai hanya merupakan ringkasan
defenisi secara harfiah saja yang merujuk kepada Aristoteles tanpa
kepastian yang jelas atas validitas sumbernya (Basri, 2013: 37).

Sementara dalam risalah Al-Kindi yang khusus memaparkan


bagian permulaan dari disiplin filsafat, Al-Kindi mengemukakan enam
defenisi filsafat yang seluruhnya bercorak Platonis. Menurut Al-Kindi
Filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu dalam batas kesanggupan
manusia yang meliputi ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu
keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun yang berguna bagi kehidupan
manusia. Al-Kindi juga berpandangan bahwa tujuan para filosof dalam
berteori adalah mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti
dengan amal perbuatan dalam tindakan, semakin dekat manusia pada
kebenaran, akan semakin dekat pula pada kesempurnaan (Basri, 2013).

Filsafat, dalam prespektif Al-Kindi adalah batas mengetahui


hakikat suatu sejarah batas kemampuan manusia. Tujuan filsafat dalam
teori-nya adalah mengetahui kebenaran, dan dalam praktik adalah
mengamalkan kebenaran/kebajikan. Filsafat yang paling luhur dan mulia
adalah filsafat pertama (Tuhan), yang merupakan sebaba (‘illah) bagi
setiap kebenaran/realitas. Oleh karena itu, filosof yang paling sempurna
dan mulia harus mampu mencapai pengetahuan yang mulia itu.
Mengetahui ‘illah itu lebih mulia dari mengetahui akibat/ma’mul-nya,
karena kita hanya mengetahui sesuatu dengan sempurna bila mengetahui
‘illah-nya. Pengetahuan tentang ‘illah pertama merupakan pengetahuan
yang tersimpul mengenai semua aspek lain dari filsafat. Dia, ‘illah
pertama, Tuhan, adalah paling mulia, awal dari jenis, awal dalam tertib
ilmiah, dan mendahului zaman, karena dia adalah ‘illah bagi zaman
(Syam, 2010: 47).

Al-Kindi menyebutkan juga bahwa adanya tiga macam


pengetahuan manusia yaitu: Pengetahuan Indrawi, Pengetahuan Rasional,
dan Pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan (Allah)
(Pengetahuan Isyraqi/Iluminitif).5
a. Pengetahuan Indrawi
Pengetahuan indrawi ini diperoleh melalui proses
penangkapan alat-alat indera terhadap suatu objek. Ini
terjadi langsung ketika orang mengamati terhadap sesuatu
objek material dan dalam proses yang tanpa tenggang
waktu dan tanpa upaya berpindah ke imajinasi kemudia
ketempat penampungannya yang disebut hafizah.
b. Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang dapat kita peroleh
dengan menggunakan akal (rasio) yang bersifat universal

5
Mustafa, Filsafat Islam….op.cit, hal 104
(umum), tidak parsial (berhubungan), bersifat immaterial
(tidak terdiri dari materi). Biasanya objeknya bukanlah
individu, akan tetapi genus dan spesies.
c. Pengetahuan Isyraqi atau Iluminitif
Dimana pengetahuan ini diperoleh secara langsung dari
pancaran nur illhi. Pengetahuan seperti ini biasanya diperoleh
para nabi yang terjadi karena kehendak Tuhan (Allah) semata.
Dengan jalanya itulah Tuhan telah membersihkan jiwa mereka
untuk menerima kebenara-Nya. Ruang lingkup filasaf menurut
Al-Kindi terbagi atas dua, dimana Al-Kindi hanya mengikuti
Aristoteles dalam pembagian filsafat, yaitu secara teoritis dan
praktis.6 Menurutnya eksistensi manusia bersifat dwi ganda,
yaitu intelktual (teoritis) dan yang praktis

Studi teoritis mencakup metafisika dan fisika (artifisial atau


yang diciptakan). Sedangkan studi praktis mencakup etika,
ekonomi, dan politik. Seperti dalam bagan dibawah ini :

Metafisika
Teoritis
Fisika
Filsafat
Etika
Praktis Ekonomi

Politik

6
Georgi N Atiyeh, op.cit. hal 104
Sedangkan jika kita tinjau dari sudut pandang yang lain lagi
maka teoritis itu sendiri akan terbagi lagi menjadi tiga
komponen, yaitu :

1. Objek-objek yang tidak terpisah dari materi itu sendiri


yang meliputi aspek jasmani.
2. Objek-objek yang bertautan dengan materi akan tetapi
dalam dirinya bukanlah materi, seperti jiwa.
3. Wujud yang nyata mencakupi objek-objek illahi saja
dan mutlak terpisah dari materi.

2.2.2 Filsafat Etika Al-Kindi

Filsafat etika Al-Kindi dapat tercemin dalam pandangan Al-Kindi


sendiri dalam memahami Filsafat, dimana Al-Kindi menyimpulkan bahwa
definisi filsafat adalah suatu upayah meneladani perbuatan-perbuatan
Tuhan (Allah) sejauh yang dapat dijangkau oleh kemampuan manusia 7.
Dari hal ini pula dapat kita simpulkan bahwa filsafat itu harus dapat
membentuk manusia dapat memiliki keutamaan yang sempurna, dimana
untuk menjadikan manusia ini sempurna itu ialah dengan cara memerangi
hawa nafsu manusia yang selalu membujuk manusia kepada jalan yang
buruk. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk
memperoleh kenikmataan lahiriah berarti meninggalkan penggunaan akal.

Dalam hal ini pula dapat kita simpulkan bahwa pemikiran Al-Kindi ini
mengenai filsafat itu selaras dengan ajaran agama. Seperti dalam Hadis
Riwayat Al Baihaqi, Yaitu :

Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran


kecil menuju pertempuran besar. Lantas
7
Definisi ini merupakan definisi yang dilontarkan/diucapkan oleh Al-Kindi, akan tetapi sebagian
para ahli menganggap tidak jelas asal-usulnya, Bahkan Al-Kindi mengartikan filsafat sebagai
latihan untuk mati, dimana ini perlu digaris bawahi makna dari kata “mati” itu sendiri, maksud
“mati”disini menurut Al-Kindi merupakan mematikan hawa nafsu sebagai jalan untuk meraih
keutamaan. (Lihat Mustofa, hal 110)
sahabat bertanya. “Apakah pertempuran akbar
(yang lebih besar) itu wahai Rasulullah?
Rasul menjawab, Jihad (memerangi) hawa
nafsu”.

Dari sini maka akan timbul juga beberapa pertanyaan diantaranya ada dua
pertanyaan besar, yaitu :
1. Bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan
yang sempurna itu?
2. Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar dapat mencapai
keutamaan itu?
Maka jawaban dari pertanyaan ini di jawab oleh Al-Kindi ialah :
ketahuilah keutamaan itu dan bertingkahlakulah sesuai tuntutan keutamaan
itu

Maka dari itu juga Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan


manusiawi tidak lain adalah budi pekerti manusiawi (Etika manusia) yang
terpuji. Dimana Al-Kindi disini membagi keutaman-keutamaan budi
pekerti manusiawi ini menjadi dua. Pertama merupakan asas dalam jiwa,
yaitu pengetahuan dan perbuatan (Ilmu dan amal). Dalam keutamaan
pertama ini juga dibagi kembali tiga, `yaitu :
a. Kebijaksanaan (Hikmah) dimana merupakan keutamaan dalam
berdaya pikir, yang bersifat teoritis dan praktis. Dimana
kebijaksanan teoritis disini merupakan pengetahuan atas segala
sesuatu yang bersifat Universal secara hakikat. Sedangkan
kebijaksanaan peraktis disini merupakan kenyataan-kenyataan yang
wajib dipergunakan.
b. Keberanian (Nadja) dimana ini merupakan keutamaan sebuah daya
gairah yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa, yang
memandang ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang
harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
c. Kesucian (‘iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang harus
diperoleh guna mendidik dan memilihara badan serta menahan diri
yang tidak diperlukan itu.8

Ketiga keutamaan kejiwaan diatas pada umumnya adalah


keutamaan yang menjadi batas antara keutamaan itu sendiri dengan
kenistaan. Ketiga keutamaan itu menjadi induk dari keutamaan-keutamaan
lainnya. Secara umum dapat dikatakan keutamaan itu menjadi tengah-
tengah antara dua ujung yang ekstrim yang melampaui batas yang
semestinya. Sedang kenistaan sendiri adalah keluar dari keadaan
menengah, baik sifatnya positif ataupun negative.

Keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, namun


merupakan hasil dan buah dari keutamaan itu sendiri. keadaan dari
keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Sedang kenistaan padanannya
ialah penganiayaan. Dari hal diatas mampu memberi kesimpulan, bahwa
keutamaan-keutamaan manusia itu timbul dan hadir dari sifat kejiwaan
kemudian hasilnya juga timbul dalam buah yang timbul dari sifat-sifat
tersebut.

Pemikiran Al-Kindi mengenai etika ini sebenarnya merupakan


pengembangan teori tentang kebahagian yang dikemukakan oleh salah
satu filsuf Yunani kuno yang bisa kita sebut sebagai salah satu dari The
Gank of Tree, yaitu Aristoteles, dimana Aristoteles berpendapat bahwa
tujuan hidup manusia iu ialah kebahagiaan.

8
Sudarsono, op.cit, hal 28-29
Jika kita memperhatikan apa sebab timbul kesusahan,
pada kebanyakan orang akan kita jumpai bahwa
sebabnya adalah karena orang kehilangan sesuatu
yang dimilikinya, atau karena tidak berhasil
memperoleh sesuatu yang ingin diperoleh, yang
sifatnya adalah kebendaan. Jika orang itu
menyandarkan kebahagiannya kepada memiliki,
mengusai, dan memperoleh kekayaan kebendaan, maka
orang itu telah menyimpang dari jalan yang benar.
Kebahagiaan yang sebenarnya terletak pada jiwa,
tidak pada yang dimiliki oleh jiwa. Semua yang bersifat
kebendaan wataknya, dapat mengalami perubahan
dan menghilang. Orang yang berakal seharusnya tidak
menyandarkan kebahagiaan hidupnya dengan sesuatu
yang berubah dan hilang itu. 9

Dari nasihat Al-Kindi tadi mengingatkan kita bahwa


sandaran manusia yang sesungguhnya hanyalah allah yang
bersifat kekal dan tidak akan pernah hilang. Jika manusia selalu
menuruti akan hawa nafsunya dan selalu menggantungkan
hidupnya selain kepada Allah, maka manusia senantiasa tidak
akan pernah merasa puas akan segala keinginanya, dan akan
selalu menemui penderitaan demi penderitaan. Akan tetapi hal
itu bukan berarti manusia harus mematikan segala keinginannya
(nafsunya). Tetapi manusia harus dapat membatasi atau
mengendalikan keingannya atau (nafsunya) sebatas memenuhi
kebutuhannya dalam menjalani hidup beribadah kepada Allah.

9
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2007, hlm 111
2.3 Pengaruh Pemikiran Filsafat Al-Kindi

Al-Kindi merupakan salah satu kunci utama dalam perjalaan


filsafat di dunia islam. Melalui usahnya ini Al-Kindi berhasil
membuka jalan bagi kaum muslimin dalam menerima ilmu
filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang perlu dipelajari oleh
kaum intelektual muslim. Al-Kindi juga memiliki peranan besar
atas pengaruh dan kontribusinya dalam khazana pengetahuan di
dunia islam yang dimana pada masa itu masih sangat saray
dengan kejumudan. Dimana sejarah telah membuktikan akan
segala prestasi yang telah di ukir oleh Al-Kindi yang dimana
menjadikan dirinya dinobatkan sebagai filosof muslim
kenamaan yang sejajar denan para pemikir-pemikir raksasa
lainya.

Al-Kindi merupakan filosof pertama dalam dunia Islam yang


berhasil menyelaraskan antara agama dengan filsafat. Ia
melicinkan jalan bagi Al Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd
yang kini kita kenal sebagai tiga mazhab utama dalam
memahami filsafat islam. Ia juga memberikan dua pandangan
yang berbeda, yang pertama ia memandang agama sebagai
sebuah ilmu Ilahiyah dan menempatkannya di atas filsafat. Ilmu
Ilahiyah ini dapa diketahui melalu jalur para nabi. Akan tetapi
melalu penafsiran dengan kacamata filosofis ini, membuat
agama menjadi lebih selaras dengan filsafat. 10

Kebesaran-kebesaran Al-Kindi telah dibuktikan dengan


pengaruh Al-Kindi terhadap kemajuan peradaban Islam.
Kemajuan ilmu pengatuan di dunia Islam yang diplopori oleh
Al-Kindi ini telah mengantarkan Al-Kindi dan karya-karyanya
menghiasi kerajaan AlMu’tasim. Ia juga mengalami masa-masa

10
MM Syarif, dkk. Para Filosof …..op.cit, hlm 20
kejayaan dimasa pemerintahan Al-Mutawakkil (232-247 H/
847-861 M). Serta pemikiran-pemikiran Al-Kindi ini juga telah
banyak menginspirasi para pemikir baik lain pada masa itu
hingga kini. Hal itu juga dapat dibuktikan dengan sebagian
karya-karya ilmiahnya telah diterjemahkan oleh Gerard dan
Cremona ke dalam Bahasa Latin. Karya-karya itu juga sangat
mempengaruhi Eropa pada abad pertengahan. Cardano
menganggap Al-Kindi sebagai salah satu dari dua belas para
pemikir terbesar.11

11
MM Syarif, ibid, hlm 13
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:


1. Al-Kindi adalah orang Islam pertama yang meretas jalan mengupayakan
pemaduan filsafat dan agama, atau akal dan wahyu
2. Al-Kindi berpendapat bahwa Filsafat, dalam prespektif Al-Kindi adalah
batas mengetahui hakikat suatu sejarah batas kemampuan manusia. Tujuan
filsafat dalam teori-nya adalah mengetahui kebenaran, dan dalam praktik
adalah mengamalkan kebenaran/kebajikan. Filsafat yang paling luhur dan
mulia adalah filsafat pertama (Tuhan), yang merupakan sebaba (‘illah)
bagi setiap kebenaran/realitas.
3. Filsafat etika dalam pandangan Al-Kindi adalah keutamaan manusia tidak
lain adalah budi pekerti manusiawi (Etika manusia) yang terpuji. Serta
keutamaan ini juga dibagi lagi menjadi dua, yaitu; asas dalam jiwa, dan
keutamaan-keutamaan manusia yang tidak ada dalam jiwa
4. Menurut Al-Kindi jiwa adalah jauhar basith yaitu tunggal, tidak tersusun,
tidak panjang, dalam dan lebar, jiwa mempunyai arti yaitu sempurna, jiwa
mempunyai wujud tersendiri terpisah dan berbeda dengan badan.
DAFTAR PUSTAKA

- A. Heris Hermawan,M.Ag, Yaya Sunarya, M.Pd, Filsafat


Islam, Bandung: CV. INSAN MANDIRI
- Musrofa. (2007). Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka
Setia.
- Sudarsono. (1997). Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
- Hasan Basri, Filsafat Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia
- Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah,
Jogjakarta: IRGiSoD
- Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah kajian Tematik, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
- Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosofi dan Filsafatnya, Jakarta: Raja
Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai