Anda di halaman 1dari 16

BAB I

Pendahuluan
Al-Kindi adalah filosof islam pertama yang berupaya mempertemukan ajaran
islam dengan filsafat yunani. Sebagai seorang filosof, al-kindi lebih mengandalkan
kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi
dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis.
Oleh karena itu, menurut al-Kindi diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di
luat jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu Tuhan.
Dengan demikian, al-Kindi tidak sependapat dengan filosof Yunani dalam hal-hal
yang bertentangan dengan ajaran agama islam. Misalnya, tentang kejadian alam berasal
dari ciptaan Tuhan yang semula tidak ada. Al-Kindi pun berbeda dengan pendapat
Ariestoteles yang mengatakan bahwa alam tidak diciptakan dan bersifat abadi. Oleh
karena itu, al-Kindi bukan filosof yang dikritik al-Ghazali dalam kitabnya: Tahafut al-
Falasifah (Serangan terhadap para filosof). Dalam makalah ini penulis menceritakan
biografi, karya-karya, dan pemikiran Al-Kindi.











BAB II
Pembahasan
A. Biografi Al-Kindi
Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Ya'kub bin Ishaq As-Shabbah bin 'Imran
bin Ismail bin Muhammad Al-Asy'ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah sekitar
tahun 185 H (801 M). Ia termasuk keluarga yang kaya dan terhormat. Kakek buyutnya
bernama Al-Asyats ibnu Qays yakni seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang
gugur sebagai Syuhada bersama saad ibnu Abi Waqqas dalam peperangan antara kaum
muslimin dengan Persia di Irak. Sedangkan ayahnya bernama Ishaq ibnu As-Shabbah
yakni seorang Gubernur di Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi (tahun 775-785 M)
dan Al-Rasyid (tahun 786-809 M). namun ayahnya meninggal ketika ia masih usia anak-
anak.[1]
Al-kindi berasal dari Klan Kindah yakni salah satu Kabilah Arab. Selain dari itu,
karena ia merupakan keturunan Arab, ia dimasukkan dalam kelompok filosof Arab.[2]
Nama Al-Kindi dinisbatkan pada sukunya yakni Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku
yang dikenal memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi
orang dikala itu. Suku ini pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang
terbesar dan tersebar para kesustraan Arab, sang penyair pangeran Imr Al-Qays yang
gagal untuk memulihkan tahta kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.[3]
Dari tahun kelahiran al-Kindi, dapat membuat sebuah kesimpulan bahwa ia hidup
pada masa kekuasaan Bani Abbas. Pada masa kecil ia telah merasakan masa
pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Al Kindi sudah menjadi Yatim sejak ia masih
berusia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh kesempatan untuk menuntut ilmu
dengan baik. Al Kindi sendiri mengalami masa pemerintahan lima Khalifah Bani Abbas,
yakni Al-Amin (809-813 M), Al-Mamun (813-833 M), Al- Mutasim (833-842 M), Al-
Wasiq (842-847 M), dan Al-Mutawakkil (847-861 M).[4]
Al-Kindi adalah seorang yang aktif dalam segala aktivitas dilakukannya. Salah
satu bentuk dalam kesibukannya ia menyibukkan dirinya untuk menerjemahkan karya-
karya tulisan Yunani ke dalam Bahasa Arab, juga mengkoreksi hasil terjemahan orang
lain atas karya-karya tersebut dan ia pun bekerja di Istana Khalifah Abbasiyah. Tidak
hanya itu, karena ia dipercaya oleh pihak Istana dengan kemampuannya untuk mengajar,
maka iapun diangkat menjadi guru pribadi pendidik anak Khalifah di kala itu yang
bernama Mutashim. Mutashim adalah Khalifah yang menggantikan Al-Makmun,
sedangkan anak yang dididik oleh al-Kindi bernama Ahmad bin Mutashim. Namun di
masa terakhir kehidupannya, ia diusir dari istana.[5] Akhirnya ia meninggal di Baghdad
pada Tahun 252 H/866 M.
Al-Kindi mulai belajar sejak ia kecil, dan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan
kurikulum pada masanya. Ia mempelajari al-Quran serta belajar membaca, menulis,
menghitung yang diperolehnya sewaktu ia masih Sekolah Dasar di Bashrah. Kemudian
ia melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, sehingga ia mahir dalam berbagai cabang ilmu
yang ada pada waktu itu, seperti ilmu ketabiban (kedokteran), filsafat, ilmu hitung,
mantigh (logika), geometri, astronomi, seni musik, ilmu ukur dan lain sebagainya.
Penguasaanya terhadap filsafat telah menempatkan ia menjadi orang Islam pertama yang
berkebangsaan Arab dalam jajarannya para filosof terkemuka. Karena itulah ia dinilai
pantas menyandang gelar Failasuf al-Arab (filosof berkebangsaan Arab).[6] Ia juga
mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani, hingga sekurang-kurangnya memahami
salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan di kala itu yakni bahasa
Suryani. Dari buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Suryani
inilah Al-Kindi menerjemahkannya kedalam bahasa Arab.
B. Karya Al-Kindi
Sebagai seorang ilmuwan yang kaya dengan pengetahuan, maka al-Kindi
membuat sebuah karya tulis ilmiah, dan membuat terjemahan buku-buku Yunani dan
sekaligus melakukan koreksi serta perbaikan atas terjemahan orang lain. Sebagai seorang
pakar ilmuan di kala itu, kita dapat melihat beberapa hasil tulisan yang dibuat oleh Al
Kindi, yakni sebagai berikut:

1. Bidang Filsafat
a. Fi al-falsafat al-Ula,
b. Kitab al-Hassiala Taallum al-Falsafat,
c. Risalat ila al-Mamun fi al-illat wa Malul,
d. Risalat fi Talif al-Adad,
e. Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masail al-Manthiqiyyat wa al-Mutashah
wa ma Fauqa al-Thabiiyyat,
f. Kammiyat Kutub Aristoteles,
g. Fi al-Nafs [7]
2. Bidang Astronomi
a. Risalah fi Masail Suila anha min Ahwal al-Kawatib (jawaban dari
pertanyaan tentang planet),
b. Risalah fi Jawab Masail Thabiiyah fi Kayfiyyat Nujumiah (pemecahan soal-
soal fisik tentang sifat-sifat perbintangan),
c. Risalah fi anna Ruyat al Hilal la Tudhbathu bi al-Haqiqoh wa innama al-
Qowl fiha bi at-Taqrib (bahwa pengamatan astronomi bulan baru tidak dapat
ditentukan dengan ketetapan,
d. Risalah fi Mathrah asy-Syua (tentang projeksi sinar),
e. Risalah fi Fashlayn (tentang dua musim yakni; musim panas dan musim
dingin),
f. Risalah fi Idhah illat Ruju al-Kawakib (tentang penjelasan sebab gerak
kebelakang planet-planet),
g. Fi asy-Syuat (tentang sinar bintang).

3. Bidang Meteorologi
a. Risalah fi illat Kawnu adh-Dhabasb (tentang sebab asal mula kabut),
b. Risalah fi Atshar alladzi Yazhharu fi al-laww Yusamma Kawkaban (tentang
tanda yang tampak di langit dan disebut sebuah planet),
c. Risalah fi illat Ikhtilaf Anwaus Sanah (tentang sebab perbedaan dalam
tahun-tahun),
d. Risalah fi al-Bard al-Musamma Bard al-Ajuz (tentang dingin),

4. Bidang Ramalan
a. Risalah fi Taqdimat al-Khabar (tentang Prediksi),
b. Risalah fi Taqdimat al-Marifat fi al-Ahdats (tentang ramalan dengan
mengamati gejala meteorolgi).


5. Bidang Ilmu Pengobatan
a. Risalah fiillat Naftcad-Damm (tentang hemoptesis yakni; batuk darah dari
saluran pernapasan),
b. Risalah fi Adhat al-Kalb al-Kalib (tentang rabies).

6. Bidang Ilmu Hitung
a. Risalah fi al-Kammiyat al-Mudhafah (tentang jumlah relatif),
b. Risalah fi at-Tajhid min Jihat al-Adad (tentang keesaan dari segi angka-
angka).

7. Bidang Logika
a. Risalatun fi Madhkal al-Mantiq bi Istifa al-Qawl fihi (tentang sebuah
pengantar lengkap logika),
b. Ikhtisar Kitab Isaghuji li Farfuris (sebuah ikhtisar Eisagoge Porphyry).
C. Pemikiran Al-Kindi
Menurut sejarah dibeberapa buku, seperti; Al-Tarikh Al-Islami, Tarikh Falasifah
Al-Islam, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, dan Lainnya menyatakan bahwa al-Kindi adalah
seorang filosof Islam yang pertama dari bangsa Arab yang berusaha memadukan antara
ajaran filsafat Yunani dengan ajaran Islam. Atas perpaduan antara ajaran filsafat yunani
dengan Ajaran Islam, maka ini terbukti bahwa mempelajari filsafat tidaklah
memusnahkan keyakinan agama yang dimiliki umat Islam selama umat Islam tersebut
sudah kokoh berpegang pada dasar-dasar Islam. Selama eksisnya dalam mempelajari
filsafat, al-Kindi memberikan definisi-definisi singkat dari filsafat itu sendiri.
Menurutnya filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan
Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia, pengetahuan dari segala
pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan, hingga kesemuaanya dititik
beratkan pada nilai tingkah laku manusia. Menurutnya lagi filosof adalah orang yang
berupaya memperoleh kebenaran dan hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup
adil. Filosof yang sejati adalah filosof yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan
mengamalkan kebijaksanaan itu.[9]
Sebagai seorang muslim, Al-Kindi berusaha menggegas agar filsafat bisa
dipelajari dan berpadu dalam Islam, namun arah tujuan dari semua itu tidak untuk
kebenaran yang hakiki. Untuk itu Al-Kindi yang terkenal sebagi Filosof Islam pertama
kali di dunia membuat suatu usaha demi sebuah pencerahan. Salah satu usahanya adalah
al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam dengan cara mengetok hati umat
supaya menerima kebenaran walaupun dari mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada
tempatnya malu mengakui kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang
mengakui kebenaran tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu
sendiri dan tidak pernah meremehkan dan merendahkan martabat orang yang
menerimanya.[10]
Kemudian ia Mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan
agama melalui perpaduan antara akal dan agama. Kalau di gariskan maka, filsafat
berlandaskan akal sedangkan agama berdasarkan wahyu. Logika (mantiq) merupakan
metode filsafat sedang iman merupakan kepercayaan kepada hakikat yang disebutkan
dalam Al-Quran sebagaimana diwahyukan Allah kepada Nabi-Nya. Apa yang telah
dinyatakan dalam al-Quran merupakan satu ilmu yang mesti dipelajari melalui akal dan
keimanan, sebagai contoh firman Allah Swt Q.S. Al-Baqarah ayat 164 :


Sesungguhnya tentang kejadian langit dan bumi, perbedaan malam dan siang,
kapal yang berlayar dilautan (membawa) barang-barang yang berfaedah bagi manusia,
hujan yang diturunkan Allah Swt dari langit, lalu dihidupkanNya dengan dia bumi yang
telah mati, berkeliaran diatasnya tiap-tiap yang melata, angin yang bertiup dan awan yang
terbentang antara langit dan bumi, sesungguhnya segala yang tersebut itu menjadi ayat-
ayat (bukti-bukti atas kekuasaan Allah Swt) bagi kaum yang berfikir.
Dalil kedua yang dimunculkannya adalah Q.S Al-Hasyr ayat 2;
...


maka ambillah ibrah (pengajaran), hai orang-orang yang mempunyai pemandangan.
Ia juga menselaraskan antara filsafat dan agama yang didasarkan pada tiga alasan:
pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan
kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, secara
logika diperintahkan dalam agama.[11]
Filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat segala suatu, dan ini
mengandung teologi (al-rububiyah), ilmu tauhid, etika dan seluruh ilmu pengetahuan
yang bermanfaat. Kebanyakan definisi filsafat al-Kindi dikumpulkan dari karya-karya
Aristoteles dan kesukaannya kepada Aristoteles tidak bisa di abaikan. Bahkan, ketika ia
meringkas dari sumber-sumber lain yang secara keliru, ia menisbahkan pula kepada
Aristoteles. Subjek dan susunanya sesuai benar dengan sumber Neopolitik. Pada definisi
pertama, Tuhan disebut Sebab pertama mirip dengan Agen Pertamanya Plotinus,
suatu ungkapan yang juga digunakan al-Kindi atau dengan istilahnya Yang Esa adalah
sebab dari segala sebab. Definisi-definisi berikutnya dalam Risalah al-Kindi
dikemukakan susunanya yang membedakan antara alam atas dan alam bawah. Yang
pertama ditandai dengan definisi-definisi akal, alam, dan jiwa, diikuti dengan definisi-
definisi yang menandai alam bawah, dimulai dengan definisi badan (jism), penciptaan
(ibda), materi (hayula), bentuk (shurah).[12] Dari dasar pemikiran al-kindi akhirnya
timbullah pemikiran Filsafatnya antara lain:
1. Filsafat Ketuhanan
Filsafat Ketuhanan al-Kindi merupakan awal lahirnya perbincangan Ketuhanan,
namun penafsiran al-Kindi mengenai Tuhan sangat berbeda dengan pendapat Aristoteles,
Plato dan Plotinius. Mengenai hakikat ke-Tuhanan ia mengatakan bahwa Tuhan adalah
wujud yang Esa, tidak ada sesuatu benda apapun yang menyerupai akan Tuhan, dan
Tuhan tidaklah melahirkan ataupun dilahirkan, akan tetapi Tuhan akan selalu hidup dan
tidak akan pernah mati. Dalam al-Quran Surat al-Ikhlas ayat 1 s/d 4 sebagai bukti
keberadaan Tuhan.


Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung
kepada-Nya segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak
ada seorangpun yang setara dengan Dia".
Dalam Islam Sang Khalik atau pencipta dan penguasa segalanya di buat sebuah
penamaan yakni Allah Swt sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas maka, itulah
bukti yang paling kongkrit bahwa Allah swt itu ada dan hidup kekal selamanya,
sedangkan manusia adalah Hamba Allah yang diberikan kehidupan hingga akhirnya mati.
Bagaimana kita bisa percaya akan adanya Allah Swt, maka dari itu sebagai manusia biasa
diberikan akal, hati dan nurani untuk dapat menyakini adanya Allah swt melalui bukti-
bukti kekuasaan Allah Swt.
Agar manusia khususnya umat Islam tidak berselisih paham akan keberadaan
Allah Swt, tentang keberadaan alam, ataupun keberadaan manusia itu sendiri, maka
sebagai seorang filosof, al-Kindi membagi pengetahuan menjadi dua bahagian, yakni:
pertama, pengetahuan Ilahi (divine science). Pengetahun ini diambil langsung
dari yang tercantum dalam al-Qur-an yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh Nabi
dari Tuhan. Sedangkan dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan
manusiawi (human science) atau falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-
reason).
Argumen-argumen yang dibawa Quran lebih meyakinkan daripada argumen-
argumen yang ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat dan Quran tidak bertentangan dengan
kebenaran yang di bawa falsafat. Mempelajari filsafat dan berfalsafat tidak dilarang,
karena teologi adalah bahagian dari filsafat, dan umat Islam diwajibkan belajar
teologi.[13]
Kebenaran yang sesungguhnya hanya pada Allah Swt. Apa yang terlintas di akal
hingga terjadi dengan sendirinya di luar akal merupakan sebuah hikmah dalam kehidupan
yang mesti kita sadari bahwa terkadang suatu pelajaran sudah kita anggap benar namun
akhirnya menjadi sebaliknya. Akhirnya semua akan kembali kepada al-Quran sebagai
pedoman dan petunjuk bagi kehidupan manusia. Apa yang dinyatakan dalam al-Quran
semuanya mengandung hikmah dan pelajaran bagi seorang insan yang mau berpikir.
Tuhan dalam falsafat al-Kindi tidak mempunyai hakekat dalam arti aniah atau
mahiah. Tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam
alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, kemudian
tuhan tidak mempunyai hakekat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak merupakan
genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan
adalah tunggal, selain dari Tuhan semuanya mempunyai arti banyak.[14]
Agar dapat memahami penafsiran al-Kindi tentang Tuhan, kita mesti merujuk
pada kaum Tradisionalis dan Mutazilah. Kaum tradisionalis (Ibn Hanbal adalah salah
seorang tokohnya) menafsirkan sifat-sifat Allah dengan nama-nama Allah, mereka
menerima makna harfiyah al-Quran tanpa memberikan penafsiran lebih jauh. Kaum
Mutazilah yang semasa dengan al-Kindi, secara akal menafsirkan sifat-sifat Allah demi
memantapkan sifat Maha Esa-Nya.
Walaupun al-Kindi sepaham dengan Muktazilah dalam menafikan sifat dari Zat
Allah. Akan tetapi, ketika Muktazilah menyatakan bahwa Tuhan itu mengetahui dengan
Ilmu-Nya dan Ilmu-Nya adalah Zat-Nya (Alim biilm wa ilmuh zatuh) berkuasa dengan
kekuasaan-Nya dan kekuasaa-Nya adalah Zat-Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zaituh)
al-Kindi tidak sepaham dengan pandangan ini. [15] Sesuai dengan paham yang ada dalam
Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak Pertama sebagai
pendapat Aristoteles.[16]
2. Filsafat Alam
Mengenai alam, al-Kindi berbeda pendapat juga dengan para filosof seperti
Aristoteles Plato, dan lainnya yang sebelum dia dengan mengatakan alam ini kekal,
sedangkan al-Kindi mengatakan alam ini tak kekal. Dalam hal ini ia memberikan
pemecahan yang radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara
matematik. Dengan ketentuan ini, setiap benda yang terdiri atas materi dan bentuk yang
tak terbatas ruang dan bergerak di dalam waktu, adalah terbatas, meskipun benda tersebut
adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tak kekal. Hanya Allah-lah yang kekal.[17]
Al-Kindi juga mengatakan alam bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi
mempunyai permulaan. Karena itu ia lebih dekat dalam hal ini pada falsafat Plotinus
yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari
segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Tetapi paham emanasi
ini kelihatannya tidak jelas dalam falsafat al-Kindi. Al-Farabiyah yang dengan jelas
menulis tentang hal itu.[18]
Menurut al-kindi alam ini termasuk makhluk yang sifatnya baharu, sebagai bukti
dari baharunya alam ia mengemukakan beberapa argumen, antara lain: pertama, semua
benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang lain, adalah sama
besar. Kedua, jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama
besarnya dalam aktualitas dan potensialitas. Ketiga, benda-benda yang mempunyai batas
tidak bisa tidak mempunyai batas. Keempat, jika salah satu dari dua benda yang sama
besarnya dan homogen ditambah dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak
sama besar. Kelima, jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada
benda semula. Keenam, jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan
kembali kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula. Ketujuh,
tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas. Kedelapan, jika
benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas ditambahkan ber sama,
maka jumlahnya juga akan terbatas.[19]
Kesimpulan dari ungkapan al-Kindi atas ungkapannya di atas adalah alam
semesta ini pastilah terbatas, oleh sebab itu ia menolak pandangan Aristoteles yang
mengatakan bahwa alam semesta tidak terbatas atau qadim. Mengenai keteraturan alam
dan perdaran alam ini sebagai bukti adanya Tuhan, sedangkan alam adalah buatan Tuhan.
3. Filsafat Jiwa dan Akal
Mengenai jiwa dan akal, al-Kindi juga membantah pendapat Aristoteles. Para
filosof muslim menamakan jiwa (al-nafs) seperti yang diistilahkan dalam al-Quran yaitu,
al-ruh. Kemudian kata ruh ini di indonesiakan menjadi tiga bentuk, pertama nafsu yaitu
dorongan untuk melakukan perbuatan yang diingini, jika keinginan ini berbentuk negatif
maka nafsu ini mendekati dengan hawa, jadi kalau digabungkan menjadi hawa nafsu
(keinginan yang jelek). Kedua nafas yaitu suatu alat pencernaan udara sebagai tanda
kehidupan seseorang. Ketiga roh atau jiwa yaitu suatu zat yang tidak bisa dirangkaikan
bentuknya. Karena al-Quran telah menginformasikan bahwa manusia tidak akan
mengetahui akan hakikat roh, roh adalah urusan Allah bukan urusan manusia. Allah
menyatakan akan hakikat roh dalam Q.S. Al-Isra 17 : 85.



Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".
Sedangkan akal merupakan sebuah potensi berupa alat untuk berpikir yang hanya
dimiliki oleh manusia. Setiap manusia yang terlahir ia akan membawa potensi masing-
masing dari akal yang dimilikinya, semakin banyak ia berpikir semakin banyak pula ia
akan mendapatkan pengetahuan, maka akan nampak sebuah perbedaan seorang yang
banyak berpikir dengan akalnya untu menemukan sebuah ide-ide baru dari pada seorang
yang hanya menerima hasil dari ide orang lain. Muncullah sebuah perbedaan antara
seorang yang berpengetahuan dengan yang tidak berpengetahuan seperti dikatakan al-
Quran pada Surat az-Zumar ayat 9:


(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang
beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang
yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang
yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.
Selanjutnya, Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa
manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk. Materi
adalah badan dan bentuk adalah jiwa manusia. Hubungan dengan badan sama dengan
hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa
materi atau badan dan begitu pula sebaliknya materi atau badan tidak pula bisa berwujud
tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena
jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa terwujud tanpa materi, keduanya
membentuk satu kesatuan yang bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa
kemusnahan jiwa. Dalam hal ini al-Kindi sependapat dengan Plato yang mengatakan
bahwa kesatuan jiwa dan badan adalah kesatuan Acciden, binasanya badan tidak
membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima pendapat Plato yang mengatakan
bahwa jiwa berasal dari alam ide.
Menurut al-Kindi roh tidak tersusun (basiithah, simple, sederhana) tetapi
mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansinya (jawahara) berasal dari
substansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu.
Roh yang masih kotor dan beluim bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil
membersihkan diri di sana, baru pindah ke Merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi
setingkat hingga akhirnya, setelah benar-benar bersih, sampai ke alam akal, dalam
lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.[20]
Mengenai akal, al-Kindi juga berbeda pendapat dengan Aristoteles. Aristoteles
membedakan akal menjadi dua macam, yaitu akal mungkin dan akal agen. Akal mungkin
menerima pikiran, sedangkan akal agen menghasilkan objek-objek pemikiran. Akal agen
ini dilukiskan oleh Aristoteles sebagai tersendiri, tak bercampur, selalu aktual, kekal, dan
takkan rusak. Berbeda halnya dengan al-Kindi yang membagi akal dalam empat macam;
pertama: akal yang selalu bertindak, kedua: akal yang secara potensial berada di dalam
roh, ketiga: akal yang telah berubah, di dalam roh, dari daya menjadi aktual, keempat;
akal yang kita sebut akal kedua. Yang dimaksudkan dengan akal kedua yaitu tingkat
kedua aktualitas; antara yang hanya memiliki pengetahuan dan yang
mempraktekkannya.[21]
Dinyatakan lagi oleh al-Kindi bahwa; akal yang bersifat potensial tak bisa
mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekurangan yasng menggerakkannya dari luar. Dan
oleh karena itu bagi al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud di luar
roh manusia, dan bermakna: akal yang selamanya dalam aktualitas (alaqlu ladzi bil fail
abadan). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang
bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktuil. Bagi al-Kindi manusia disebut
menjadi akil (akal) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh
akal yang di luar itu (idza uktisab hadzal aklul kharaji). Akal yang selalu bertindak (akal
pertama) bagi al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universals (al-kuliyat
mutakatsarah). Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama
merupakan yang banyak (awwalu muktatsar).[22]














BAB III
Kesimpulan

Al-Kindi, adalah seorang filosof yang berusaha mempertemukan agama dengan
filsafat. Ia berupaya membuktikan bahwa berfilsafat tidak dilarang. Meski Al-Kindi
terpengaruh pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles dan memperlihatkan corak
pitagorasme, namun dalam beberapa hal Al-Kindi tidak sependapat dengan para filosof
Yunani mengenai hal-hal yang dirasakakn bertentangan dengan ajaran islam yang
diyakininya. Sebagai filosof islam pertama yang menyelaraskan agama dengan filsafat, ia
telah melicinkan jalan bagi filosof sesudahnya, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn
Rusyd.





















DAFTAR PUSKATA
Al-Ahwaniy, Fuad, al-Falsafat al-Islamiyyat, Kairo: Dar al-Qalam, 1962

Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, Cet.I, Jakarta: KHALIFA, 2005

Atiyeh, George N. Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo suwarno, Bandung:
Salman, 1983

Fakhri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1986

Farukh, Umar, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, Beirut: Dar al-Fikr, 1962

Luthfi Jumah, Muhammad, Tarikh Falasifah Al-Islam, Mesir, t.tp,1927

Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004

Nasution, Harun, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Ridah, Abu, Rasail al-Kindi Al-Falsafiyah, Kairo: t.t, 1950

Salam, Abdus, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, Bandung: Salman ITP, 1983

Syahrastaniy, Al, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t

Syarif, M.M. dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, Wisbaden: Otto Horossowitz,
1963

Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004





________________________________________
[1] Fuad Al-Ahwaniy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962), hlm. 63
[2] Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Cet.I, (Jakarta: KHALIFA, 2005), hlm.160
[3] Majid Fakhri, Sejarah Filsafat Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1986), hlm. 15.
[4] Fuad Al-Ahwaniy, al-Falsafat al-Islamiyyat , hlm. 63
[5] Al-Kindi di usir dari istana karena masyarakat menganggap ia telah syirik kepada agama,
sebagai seorang filosof ia pelopor yang mempertemukan agama dengan filsafat Yunani. Al-Kindi
mengatakan bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang tertinggi martabatnya, dan
filsafat menjadi kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk memiliki filsafat. Atas pernyataan
ini, al-Kindi banyak menghadapi tantangan dari ahli agama di kala itu. Ia dituduh meremehkan
dan membodoh-bodohi ulama yang tidak mengetahui filsafat Yunani. Atas dasar inilah ia diusir
dari Istana Abbasiyah. Lihat, Muhammad Luthfi Jumah, Tarikh Falasifah Al-Islam, (Mesir,
t.tp,1927), hlm.1
[6] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam filosof dan filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
hlm. 38
[7] M.M. Syarif, dkk (edt), History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto Horossowitz,
1963), hlm. 423
[8] Umar Farukh, Tarikh Al-Fikr Al-Arabi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1962), hlm. 225
[9] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm.104
[10] Abdus Salam, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni, (Bandung: Salman ITP, 1983),
hlm. 11
[11] M. M. Syarif, (edt), History of Muslim Philosophy , hlm. 425
[12] Abu Ridah, Rasail al-Kindi Al-Falsafiyah, (Kairo: t.t, 1950), hlm. 211
[13] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam, Cet. Ke IX, (Jakarta: Bulan Bintang,
1973), hlm. 15
[14] Ibid. hlm.16
[15] Al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), hlm. 49
[16] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm.15.
[17] M. M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy, hlm. 24
[18] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm.15. Sebenarnya filsafat Plotinus
merupakan filsafat yang murni dan orisinil dalam beberapa pemikirannya, walaupun ia sendiri
mengaku bahwa dirinya hanya memaparkan filsafat Plato yang asli. Filsafatnya adalah rujukan
yang sangat berharga, bukan saja dalam membaca karya Plato, tapi juga karya Aristoteles, karena
menampilkan kajian dan kritik yang sangat teliti.
[19] George N. Atiyeh, Al Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo suwarno,
(Bandung: Salman, 1983), hlm. 50-51
[20] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm. 17-18.
[21] M.M. Syarif, dkk, History of Muslim Philosophy , hlm. 26-27.
[22] Harun Nasution, Filsafat dan Mitisisme dalam Islam ..., hlm. 19-20.

Anda mungkin juga menyukai