AL-KINDI
A. Sejarah Hidup dan Karyanya
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya'cub ibnu Ishaq ibnu Al-
Shabbah ibnu 'Imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy'as ibnu Qais Al-Kindi. Kindah,
pada siapa nama Al-Kindi dinisbatkan, adalah suatu kabilah terkemuka pra-Islam
yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. 1 Kabilah ini
pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusastraan
Arab, sang penyair-pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta
kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.2
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya
dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy'as ibnu Qais, adalah seorang sahabat
Nabi Muhammad Saw. yang gugur sebagai syuhada' bersama Sa'ad ibnu Abi
Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak.
Sementara itu ayahnya, Ishaq ibnu Al-Shabbah, adalah Gubernur Kufah pada
masa pemerintah Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M). Ayahnya
meninggal ketika ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh
kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik.3 Al-Kindi sendiri mengalami
masa pemerintah lima khalif ah Bani Abbas, yakni Al-Amin (809-813 M), Al-
Ma'mun (813-833 M), Al-Mu'tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M) dan Al-
Mutawakkil (847-861 M).
Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang pendidikannya. la pindah
dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Kemudian
selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan Bani Abbas, yang
juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. la sangat tekun
mempelajari pelbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidaklah heran ia dapat
menguasai ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni
musik, meteorologi, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia
menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para
filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Failasuf
al-'Arab (Filosof berkebangsaan Arab).
Memandang kejeniusan tokoh ini, agaknya tuduhan yang mengatakan
bahwa Al-Kindi tidak mengerti secara baik ilmu logika sulit dibuktikan. 4
Pasalnya, tidak satu pun karya logikanya yang ditemukan lagi.
Karena lingkup pengetahuan ilmiahnya yang luar biasa, atau mungkin juga
karena alasan lain, misalnya kesesuaian pahamnya dengan ide-ide Mu'tazilah, Al-
Ma'mun lalu mengajaknya bergabung dengan kalangan cendekiawan yang
bergiat dalam usaha pengumpulan dan penerjemahan karya-karya Yunani.5
Agaknya Al-Kindi termasuk orang yang beruntung, ketika di Baghdad ia dengan
cendekiawan Persia dan Suria, yang diduga dari merekalah ia mendapat
bimbingan sehingga ia menjadi seorang di antara sedikit orang Islam-Arab yang
menguasai bahasa Yunani dan Siryani, atau kedua-duanya sekaligus.6 Oleh
karena itu, pernyataan Al-Ahwaniy dapat diterima ketika ia mengatakan bahwa
Al-Kindi termasuk salah seorang dari empat besar penerjemah bersama Hunain
ibnu Ishaq, Sabit ibnu Qurra, dan Umar ibnu Al-Farkhan Al-Thabari.7
C. Filsafat Ketuhanan
Tulisan Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan antara lain Fi al-Falsafat al-
Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tandhi Jirm al-'Alam. Dari tulisan-tulisan tersebut
dapat dilihat bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran
Islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Allah
adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. la
mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud
yang sempurna dan tidak didahului wuijud lain. Wujud-Nya tidak berakhir,
sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. la adalah Maha Esa yang tidak dapat
dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. la tidak
melahirkan dan tidak dilahirkan.
Benda-benda yang ada di alam ini, menurut Al-Kindi, mempunyai dua
hakikat: hakikat sebagai juz'i (al-haqiqat juz'iyyat) yang disebut 'aniah dan hakikat
D. Alam
Di dalam risalahnya yang berjudul al-Ibanat 'an al-'illat al-Fa'ilat al-Qaribat
fi kawn wa al-Fasad, pendapat Al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di
alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila terhimpun empat 'illat, yakni:
1. al-'Unshuriyyat (materi benda);
2. al-Shuriyyat (bentuk benda);
3. al-Fa'ilat (pembuat benda, agent);
4. al-Tamamiyyat (manfaat benda).35
Selanjutnya, Al-Kindi membagi 'illat al-Fa'ilat menjadi qaribat (dekat) dan
ba'idat (jauh). 'illat yang dekat (qartbat) ada yang bertalian dengan alam dan ada
pula yang bertalian dengan Allah. Sementara itu, 'illat yang jauh (ba'idat) hanya
bertalian dengan Allah. Kalau dicontohkan dengan sebatang kapur tulis, pabrik
E. Filsafat Jiwa
Tidak mengherankan bahwa pembahasan tentang jiwa menjadi agenda yang
penting dalam filsafat Islam. Hal ini disebabkan jiwa termasuk unsur utama dari
manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia. 38 Kaum
filosof Muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa yang diistilahkan Alquran
dengan al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk
nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam pemakaian sehari-hari
berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang ku-rang baik
sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni hawa
nafsu.
Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan secara tegas
tentang roh atau jiwa. Bahkan Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam
menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu
adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.39 Justru itu, kaum filosof Muslim
membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof
Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan bahwa
jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan
lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya
berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan
cahaya dengan matahari.'10 Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan
berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan halus.41 Sementara itu,
jisim mempunyai hawa nafsu dan marah.
Argumen tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi adalah jiwa
menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia
untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan
indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu
sebagai yang dilarang. Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan
bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi
dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa
dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa
tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya
BAB II Al- Kindi Hlm. 30
materi atau badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini
mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagi badan.
Form tidak bisa wujud tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang
bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa.
Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat pada pendapat Plato yang
mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan acciden,
binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima
pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea. Al-Kindi,
dalam tulisannya juga, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya:
daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah
(al-quwwat al-ghadabiyyat) yang terdapat di dada, dan daya pikir (al-quwwat al-
'aqliyyat) yang berpusat di kepala.42
Manusia, menurut Al-Kindi, apabila meninggalkan segala yang berbentuk
empiris atau benda dan memusatkan pandangan pada hakikat-hakikat sesuatu,
niscaya akan terbuka baginya pengetahuan tentang yang ghaib dan mengetahui
rahasia-rahasia ciptaan. Akan tetapi, apabila tujuan manusia hidup di dunia ini
ingin mendapatkan kelezatan makan dan minum atau materi semata, maka akan
tertutup jalan bagi daya pikirnya untuk mengetahui hal-hal yang mulia dan tidak
mungkin sifatnya mencapai kualitas kesempurnaan atau kemuliaan menyerupai
sifat kesempurnaan dan kemuliaan Allah.43
Sebagaimana dimaklumi, Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada
manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat.
Jadi, orang yang dikuasai oleh jiwa bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki
oleh babi; siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat seperti anjing; dan
siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan
menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana,
adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan.44 Al-Kindi dalam
risalahnya menjelaskan akal. la gambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana
yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda.45 Akal,
menurutnya, terbagi menjadi empat macam: satu berada di luar jiwa manusia dan
yang tiga lagi berada di dalamnya.
1. Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-'aql allazi hi al-fi'l abada). Akal
pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam
aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat
akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal
ini ialah sebagai berikut:
a. la adalah Akal Pertama;
b. la selamanya dalam aktualitas;
c. la merupakan species dan genus;
d. Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir;
e. la tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya.46
2. Akal yang bersifat potensial (al-'qlu bi al-quwwat), yakni akal murni yang ada
dalam diri manusia yang masih raerupakan potensi dan belum menerima
bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect), ini adalah akal yang telah
keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan
pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan
12 M.M. Syarif, Alam Pikiratt Islam, Peranan Umat Islam dalam Pengembangan Ilmu
17 Ibid.
18 Abdus Salam, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Salman UP,
hlm. 22-23.
21M.M. Syarif, History, op.cit., hlm. 425.
[58]: 11; dan Al-Alaq [96]: 1-5. Sejumlah hadis ikut mendorong umat Islam
untuk mencari ilmu pengetahuan, di antaranya 'Mencari ilmu wajib bagi
setiap Muslim." Lihat: Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid I, (Muqaddimat,
Bagian 17, Isa al-Baby al-Halabiy wa Syurakuhu, tt.), hlm. 81.
23 Kamal Al-Yaziji, al-Nushush al-Falsafiyyat al-Muyassarat, (Beirut: Daral-'Ilm li al-
28 George N. Atiyeh, op.cit., hlm. 67. M.M.Syarif, History, op.cit., hlm. 428-429.
29 Ibid.
Cet. II, Mu'assasat li al-Thaba'at wa al-Nasyr, 1963), Cet. II, hlm. 368.
33 Muhammad Abu Riddah, Rasa'il Al-Kindi al-Falsafiyyat, (Kairo: Dar al-Fikr al-
16.
37George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo Suwarno,
46 Harun Nasution, Mistidsme, op.cit., hlm. 15-16. Dan Abu Rayyan, op.cit., hlm. 359-
360.
47Harun Nasution, ibid.