Anda di halaman 1dari 14

BAB II

AL-KINDI
A. Sejarah Hidup dan Karyanya
Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya'cub ibnu Ishaq ibnu Al-
Shabbah ibnu 'Imran ibnu Muhammad ibnu Al-Asy'as ibnu Qais Al-Kindi. Kindah,
pada siapa nama Al-Kindi dinisbatkan, adalah suatu kabilah terkemuka pra-Islam
yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman. 1 Kabilah ini
pulalah yang melahirkan seorang tokoh sastrawan yang terbesar kesusastraan
Arab, sang penyair-pangeran Imr Al-Qais, yang gagal untuk memulihkan tahta
kerajaan Kindah setelah pembunuhan ayahnya.2
Al-Kindi dilahirkan di Kufah sekitar tahun 185 H (801 M) dari keluarga kaya
dan terhormat. Kakek buyutnya, Al-Asy'as ibnu Qais, adalah seorang sahabat
Nabi Muhammad Saw. yang gugur sebagai syuhada' bersama Sa'ad ibnu Abi
Waqqas dalam peperangan antara kaum Muslimin dengan Persia di Irak.
Sementara itu ayahnya, Ishaq ibnu Al-Shabbah, adalah Gubernur Kufah pada
masa pemerintah Al-Mahdi (775-785 M) dan Al-Rasyid (786-809 M). Ayahnya
meninggal ketika ia masih usia kanak-kanak, namun ia tetap memperoleh
kesempatan untuk menuntut ilmu dengan baik.3 Al-Kindi sendiri mengalami
masa pemerintah lima khalif ah Bani Abbas, yakni Al-Amin (809-813 M), Al-
Ma'mun (813-833 M), Al-Mu'tasim (833-842 M), Al-Wasiq (842-847 M) dan Al-
Mutawakkil (847-861 M).
Sedikit sekali informasi yang kita peroleh tentang pendidikannya. la pindah
dari Kufah ke Basrah, sebuah pusat studi bahasa dan teologi Islam. Kemudian
selagi masih muda, ia menetap di Baghdad, ibu kota kerajaan Bani Abbas, yang
juga sebagai jantung kehidupan intelektual pada masa itu. la sangat tekun
mempelajari pelbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu, tidaklah heran ia dapat
menguasai ilmu astronomi, ilmu ukur, ilmu alam, astrologi, ilmu pasti, ilmu seni
musik, meteorologi, optika, kedokteran, matematika, filsafat, dan politik.
Penguasaannya terhadap filsafat dan disiplin ilmu lainnya telah menempatkan ia
menjadi orang Islam pertama yang berkebangsaan Arab dalam jajaran para
filosof terkemuka. Karena itu pulalah ia dinilai pantas menyandang gelar Failasuf
al-'Arab (Filosof berkebangsaan Arab).
Memandang kejeniusan tokoh ini, agaknya tuduhan yang mengatakan
bahwa Al-Kindi tidak mengerti secara baik ilmu logika sulit dibuktikan. 4
Pasalnya, tidak satu pun karya logikanya yang ditemukan lagi.
Karena lingkup pengetahuan ilmiahnya yang luar biasa, atau mungkin juga
karena alasan lain, misalnya kesesuaian pahamnya dengan ide-ide Mu'tazilah, Al-
Ma'mun lalu mengajaknya bergabung dengan kalangan cendekiawan yang
bergiat dalam usaha pengumpulan dan penerjemahan karya-karya Yunani.5
Agaknya Al-Kindi termasuk orang yang beruntung, ketika di Baghdad ia dengan
cendekiawan Persia dan Suria, yang diduga dari merekalah ia mendapat
bimbingan sehingga ia menjadi seorang di antara sedikit orang Islam-Arab yang
menguasai bahasa Yunani dan Siryani, atau kedua-duanya sekaligus.6 Oleh
karena itu, pernyataan Al-Ahwaniy dapat diterima ketika ia mengatakan bahwa
Al-Kindi termasuk salah seorang dari empat besar penerjemah bersama Hunain
ibnu Ishaq, Sabit ibnu Qurra, dan Umar ibnu Al-Farkhan Al-Thabari.7

BAB II Al- Kindi Hlm. 21


Al-Ma'mun menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab negara dan Al-Kindi juga
menulis beberapa risalah tentang keadilan, kemahaesaan Tuhan dan perbuatan-
Nya, bahkan lebih jauh dari itu, ia ikut pula membantah paham-paham yang
bertentangan dengan mazhab negara ini berdasarkan pemikirannya.
Sungguhpun demikian, kita tidak bisa menetapkan secara pasti bahwa Al-Kindi
adalah seorang Mu'tazili. Hal ini disebabkan persoalan-persoalan tentang
keadilan dan kemahakuasaan Tuhan bukan hak mutlak atau monopoli Mu'tazilah
saja.8 Selain itu, seseorang baru bisa disebut Mu'tazili apabila ia menerima dan
meyakini lima ajaran pokoknya (al-Ushul al-Khamsat).
Al-Kindi memperoleh kedudukan yang terhormat di sisi Al-Ma'mun dan Al-
Mu'tasim dan bahkan ia diangkat sebagai guru bagi Ahmad putra al-Mu'tasim,
kepada siapa ia banyak memperhambakan karyanya.9
Akan tetapi, dengan kedudukannya ini bukan berarti ia lepas dari
pengalaman pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu.
Pada masa pemerintah Al-Mutawakkil, Daulat Bani Abbas kembali menjadikan
ahlussunah wal-jama'ah sebagai mazhab negara, ganti dari mazhab Mu'tazilah.
Suasana ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang berpegang secara ketat
pada doktrin ini dan tidak menyukai filsafat untuk memojokkan Al-Kindi. Atas
hasutan Muhammad dan Ahmad, dua orang putra ibnu Syakir di antara yang
mereka katakan, orang yang mempelajari filsafat menjadi kurang hormat pada
agama. Al-Mutawakkil memerintahkan agar Al-Kindi didera dan
perpustakaannya yang bernama Al-Kindiyah disita. Akan tetapi, tidak lama
kemudian perpustakaannya dikembalikan lagi kepada pemiliknya.10
Ada dua kisah menarik yang dihubungan dengan Al-Kindi. Pertama, kisah
tentang kekikirannya sama terkenalnya dengan kegeniusannya. Kedua, kisah
kepiawaiannya tentang musik. Menurutnya, rasa seni bukan hanya dimiliki oleh
manusia, tetapi juga hewan. Bila seruling ditiup dengan baik, maka hewan,
seperti ular dan buaya akan keluar dari tempat persembunyiannya dan ikut
mengikuti irama seni tersebut. Begitu pula para penggembala dengan suara
terompetnya yang khas akan dapat memanggil dan mengumpulkan hewan
gembalanya, seperti sapi, kambing, domba, dan lainnya. Dengan seni musik ini ia
telah berhasil mengobati anak tetangga pedagang kaya yang ditimpa penyakit
saraf dan tiba-tiba lumpuh, padahal tidak seorang dokter pun di Baghdad yang
mampu menyembuhkannya.11 la pernah pula menulis dan membentangkan
undang-undang "Musical sound" dan seni musik yang berpengaruh sampai ke
Eropa.12
Tentang kapan Al-Kindi meninggal tidak ada suatu keterangan pun yang
pasti. Agaknya menentukan tahun wafatnya sama sulitnya dengan menentukan
tahun kelahirannya dan siapa-siapa saja guru yang mendidiknya. Mustafa Abd Al-
Raziq cenderung mengatakan tahun wafatnya adalah 252 H, sedangkan
Massignon menunjuk tahun 260 H, suatu pendapat yang juga diyakini oleh
Hendry Corbin dan Nellino. Sementara itu, Yaqut Al-Himawi mengatakan bahwa
Al-Kindi wafat sesudah berusia 80 tahun atau lebih sedikit.13
Betapa pun juga Al-Kindi sudah dinobatkan sebagai filosof Muslim
berkebangsaan Arab yang pertama, ia layak disejajarkan dengan filosof-filosof
Muslim non-Arab. Sumbangan Al-Kindi yang sangat berharga dalam dunia filsafat
Islam ialah usahanya untuk membuka jalan dan menjawab rasa enggan dari umat
Islam lainnya untuk menerima ilmu filsafat ini, yang terasa asing di masa itu.

BAB II Al- Kindi Hlm. 22


Karya Tulisnya
Telah disebutkan bahwa Al-Kindi aktif terlibat dalam kegiatan
penerjemahan buku-buku Yunani dan sekaligus ia melakukan koreksi serta
perbaikan atas terjemahan orang lain. Sebagai penerjemah terkemuka, tidaklah
aneh sekiranya ia mendapat penghargaan dari Khalifah Al-Ma'mun yang terkenal
cintanya pada filsafat dan sains. Menurut informasi, Al-Ma'mun membayar siapa
saja yang sanggup menerjemahkan buku-buku ke dalam bahasa Arab dengan
emas seberat buku yang diterjemahkan. Hal ini paling tidak dapat dijadikan
indikasi maraknya kegiatan ilmiah dan juga sebagai motivasi pendorong bagi
orang-orang untuk melakukan kegiatan tersebut.
Selain itu, ia juga termasuk seorang yang kreatif dan produktif dalam
kegiatan tulis-menulis. Tulisannya cukup banyak dalam pelbagai disiplin ilmu.
Akan tetapi, amat disayangkan kebanyakan karya tulisnya telah hilang sehingga
sulit menjelaskan berapa jumlah karya tulisnya. Informasi akhir-akhir ini
merupakan suatu kegembiraan bahwa sebagian dari risalah Al-Kindi yang hilang
tersebut ditemukan kembali. Sebuah ikhtisar yang berisi 25 risalah Al-Kindi
ditemukan oleh Fitter di Istambul, sementara beberapa risalah pendeknya yang
lain ditemukan di Aleppo. 14 Menurut George Atiyeh karya-karya tulis Al-Kindi
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan mencapai seba-nyak 270 risalah.15
Risalah-risalah itu, baik oleh Ibnu Nadim maupun Qifthi, dikelompokkan dalam
17 kelompok, yaitu 1. Filsafat, 2. Logika, 3. Ilmu hitung, 4. Globular, 5. Musik, 6.
Astronomi, 7. Geometri, 8. Sperikal, 9. Medis, 10. Astrologi, 11. Dialektika, 12.
Psikologi, 13. Politik, 14. Meteorologi, 15. Dimensi, 16. Benda-benda pertama, 17.
Spesies tertentu logam dan kimia.16
Untuk lebih jelasnya di bawah ini dikemukakan beberapa karya tulis Al-Kindi.
1. Fi al-falsafat al-'Ula
2. Kitab al-Hassi 'ala Ta'allum al-Falsafat
3. Risalat ila al-Ma'mun fi al-'illat wa Ma'lul
4. Risalat fi Ta'lif al-A'dad
5. Kitab al-Falsafat al-Dakhilat wa al-Masa'il al-Manthiqiyyat wa al-Mu'tashah
wa ma Fauqa al-Thabi'iyyat.
6. Kammiyat Kutub Aristoteles
7. Fi al-Nafs
Dari uraian karya tulis di atas dapat dijadikan bukti tentang luasnya wawasan
keilmuan Al-Kindi. Bahkan, beberapa karya tulisnya telah diterjemahkan oleh
Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin, yang sangat memengaruhi pemikiran
Eropa pada abad pertengahan. Oleh karena itu, beralasan kiranya Cardono
menganggap Al-Kindi sebagai salah seorang dari dua belas pemikir terbesar. 17
Namun, kita tidak menemukan informasi lebih lanjut tentang nama-nama dari
dua belas pemikir besar tersebut dan juga apa-apa kriterianya dalam
menetapkan hal tersebut.

B. Pemaduan Filsafat dan Agama

BAB II Al- Kindi Hlm. 23


Salah satu usaha Al-Kindi memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam
dengan cara mengetuk hati umat supaya menerima kebenaran walaupun dari
mana sumbernya. Menurutnya kita tidak pada tempatnya malu mengakui
kebenaran dari mana saja sumbernya. Bagi mereka yang mengakui kebenaran
tidak ada sesuatu yang lebih tinggi nilainya selain kebenaran itu sendiri dan tidak
pernah meremehkan dan merendahkan martabat orang yang menerimanya.18
Telah dipaparkan bahwa Al-Kindi orang Islam yang pertama meretas jalan
mengupayakan pemaduan atau keselarasan antara filsafat dan agama, atau
antara akal dan wahyu. Menurutnya antara keduanya tidaklah bertentangan
karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan
kebenaran itu adalah satu (tidak banyak). Ilmu filsafat meliputi ketuhanan,
keesaan-Nya, dan keutamaan serta ilmu-ilmu selain yang mengajarkan
bagaimana jalan memperoleh apa-apa yang bermanfaat dan menjauhkan dari
apa-apa yang mudarat. Hal seperti ini juga dibawa oleh para rasul Allah, dan juga
mereka menetapkan keesaan Allah dan memastikan keutamaan yang diridhai-
Nya.
Atas dasar itulah menurut Al-Kindi kita wajib berterima kasih kepada para
pendahulu kita yang telah memberi kita ukuran kebenaran. Jika mereka tidak
membekali kita dengan dasar-dasar pikiran yang membuka jalan bagi kebenaran,
pastilah kita tidak akan dapat, sekalipun kita telah mengadakan penyelidikan
yang lama dan tekun, menemukan prinsip utama yang benar atas dasar
penarikan kesimpulan kita yang kabur, dan yang dari generasi ke generasi telah
terbuka sejak dahulu hingga sekarang.
Tujuan ungkapan Al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi
umat Islam. Usaha yang ia lakukan cukup menarik dan bijaksana. la mulai dengan
membicarakan kebenaran. Sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan
bahwa kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati tanpa
mempersoalkan sumbernya, sekalipun, misalnya, sumber itu dari orang asing.
Kemudian, usaha berikutnya ia masuk pada persoalan pokok, yakni filsafat. Telah
dipaparkan bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh rasul.
Oleh karena itu, sekalipun ia datang dari Yunani, maka kita, menurut Al-Kindi,
wajib mempelajarinya, bahkan lebih jauh dari itu, kita wajib mencarinya.
Agaknya untuk memuaskan semua pihak, terutama orang-orang Islam yang
tidak senang pada filsafat, dalam usaha pemanduannya ini, Al-Kindi juga
membawakan ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya menerima dan mempelajari
filsafat sejalan dengan anjuran Al-Qur’an yang memerintahkan pemeluknya
untuk meneliti dan membahas segala fenomena di alam semesta ini. Di antara
ayat-ayatnya adalah sebagai berikut.20
1. SuratAl-Nasyr[59]:2
.... Maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan.
2- SuratAl-A'raf [7]:185
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan
segala sesuatu yang diciptakan Allah ......
3. SuratAI-Ghasyiyat [88]: 17-20

BAB II Al- Kindi Hlm. 24


apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan
langit, bagaimana ia ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia
ditegakkan. Dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.
4. SuratAl-Baqarah[2]:164
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam
dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air
itu dia hidupkan bumi sesudah mati dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis
hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebenaran Allah bagi kaum
yang memikirkan.
Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran filosofis
terhadap Al-Qur’an, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal
dan antara filsafat dan agama. Lebih lanjut ia kemukakan bahwa pemaduan
antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan berikut.
1. Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.
2. Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling
bersesuaian.
3. Menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.21
Seperti dimaklumi bahwa filsafat merupakan pengetahuan tentang hakikat
segala sesuatu, maka dalam hal ini termasuk di dalamnya masalah ketuhanan,
etika, dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Begitu pula agama
memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu pengetahuan, kapan dan di mana
pun juga, walaupun sampai ke negeri jauh, misalnya, Cina sekalipun, bahkan ia
menempatkan pakar ilmu pengetahuan pada peringkat yang tinggi.22 Ilmu yang
dimaksudkan di sini tentu terkandung di dalamnya ilmu filsafat, apalagi
kebenaran yang ditawarkannya serasi atau sesuai dengan kebenaran yang
dikedepankan wahyu.
Al-Kindi juga menghadapkan argumennya kepada orang-orang agama yang
tidak senang terhadap filsafat dan filosof. Jika ada orang yang mengatakan bahwa
filsafat tidak perlu, mereka harus memberikan argumen dan menjelaskannya.
Usaha pemberian argumen tersebut merupakan bagian dari pencarian
pengetahuan tentang hakikat. Untuk sampai pada yang dimaksud, secara logika,
mereka perlu memiliki pengetahuan filsafat. Kesimpulannya bahwa filsafat harus
dimiliki dan dipelajari.
Dalam tulisannya Kammiyat Kutub Aristoteks, Al-Kindi mengemukakan beberapa
perbedaan antara filsafat dan agama sebagai berikut.
1. Filsafat adalah ilmu kemanusiaan yang dicapai oleh filosof dengan berpikir,
belajar, dan usaha-usaha manusiawi. Sementara itu, agama adalah ilmu
ketuhanan yang menempati peringkat tertinggi karena diperoleh tanpa proses
belajar, berpikir, dan usaha manusiawi, melainkan hanya dikhususkan bagi
para rasul yang dipilih Allah dengan menyucikan jiwa mereka dan
memberinya wahyu.23
2. Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan
pemikiran atau perenungan. Sementara itu, agama (Al-Qur’an) jawabannya
menunjukkan kepastian (mutlak benar) dan tidak memerlukan pemikiran
atau perenungan, seperti firman Allah yang disampaikan Rasulullah Saw.

BAB II Al- Kindi Hlm. 25


ketika ia ditanya orang tentang siapa yang menghidupkan tulang belulang
yang telah rapuh. Untuk lebih jelasnya, dapat dikemukakan teks ayat surat (QS
Yasin [36]-.78-81) sebagai berikut:
. . . siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur
luluh? Katakanlah: la akan dihidupkan oleh Allah yang menciptakannya kali
yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk, yaitu Allah
yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu
nyalakan api dari kayu itu." Dan tidakkah Allah yang menciptakan langit dan
bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, Dia berkuasa.
Dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui
3. Filsafat menggunakan metode logika, sedangkan agama menggunakan metode
keimanan.
Dari uraian yang dipaparkan di atas dapat dilihat bahwa sikap Al-Kindi
tentang filsafat dan agama tidaklah konsisten. Pada satu kesempatan ia
menyamakan tingkat kepastian yang diberikan oleh kedua jenis ilmu ini. Namun,
pada kali yang lain, ia meletakkan pengetahuan rasional lebih rendah daripada
pengetahuan kenabian. Agaknya, ketidakkonsistenannya ini ada kaitannya
dengan ilmu falsafat sebagai disiplin ilmu baru yang ia perkenalkan kepada dunia
Islam. Hal ini terekam dari pernyataannya yang berbunyi: "Yang paling luhur dan
mulia di antara segala karya manusia adalah karya filsafat, yang definisinya
adalah ilmu segala sesuatu berikut kebenaran-kebenarannya sebatas
kemampuan manusia."24 Jelas sekali bahwa filosof pertama dalam Islam ini tidak
bermaksud memasukkan filsafat ke dalam dunia Islam dari pintu depan dan
mengusir agama dari pintu belakang. Filsafat dan berfilsafat merupakan
kebutuhan manusia dan tidak dilarang dalam Islam.
Kesimpulannya, Al-Kindi merupakan pionir dalam melakukan usaha
pemaduan antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu. la
melempangkan jalan bagi Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd yang datang
kemudian. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan
peranan yang besar dan penting di "pentas" filsafat Islam.

C. Filsafat Ketuhanan
Tulisan Al-Kindi yang membicarakan ketuhanan antara lain Fi al-Falsafat al-
Ula dan Fi Wahdaniyyat Allah wa Tandhi Jirm al-'Alam. Dari tulisan-tulisan tersebut
dapat dilihat bahwa pandangan Al-Kindi tentang ketuhanan sesuai dengan ajaran
Islam dan bertentangan dengan pendapat Aristoteles, Plato, dan Plotinus. Allah
adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. la
mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud
yang sempurna dan tidak didahului wuijud lain. Wujud-Nya tidak berakhir,
sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. la adalah Maha Esa yang tidak dapat
dibagi-bagi dan tidak ada zat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. la tidak
melahirkan dan tidak dilahirkan.
Benda-benda yang ada di alam ini, menurut Al-Kindi, mempunyai dua
hakikat: hakikat sebagai juz'i (al-haqiqat juz'iyyat) yang disebut 'aniah dan hakikat

BAB II Al- Kindi Hlm. 26


sebagai kulli (al-haqiqat kulliyyat), dan ini disebut mahiah, yaitu hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk genus (jins) dan species (nau').25
Tujuan akhir dalam filsafat Islam adalah untuk memperoleh pengetahuan
yang meyakinkan tentang Allah. Allah dalam filsafat Al-Kindi, tidak mempunyai
hakikat dalam arti 'aniah dan mahiah. Tidak 'aniah karena Allah bukan benda yang
mempunyai sifat fisik dan tidak pula termasuk dalam benda-benda di alam ini.
Allah tidak tersusun dari materi (al-hayula) dan bentuk (al-shurat). Akan tetapi,
Allah juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah karena Allah tidak
merupakan genus atau species. Bagi Al-Kindi, Allah adalah unik. la hanya satu dan
tidak ada yang setara dengan-Nya. Dialah Yang Benar Pertama (al-haqq al-Awwal)
dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Selain dari-Nya, semuanya
mengandung arti banyak.26
Berdasarkan uraian di atas ternyata Al-Kindi lebih mengesakan Allah
dibandingkan dengan kaum Mu'tazilah yang selama ini dianggap demikian
rasional. Pada penafiannya terhadap 'aniah dan mahiah dari ke-Mahaesaan Allah,
Al-Kindi memiliki pandangan yang mirip dengan pandangan Mu'tazilah yang
menafikan sifat dari zat Allah. Akan tetapi, ketika Mu'tazilah menyatakan bahwa
Tuhan itu mengetahui dengan ilmu-Nya dan ilmu-Nya adalah zat-Nya (Alim bi ‘lmih
wa 'ilmuh zatuh); berkuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah zat-
Nya (qadir bi qudratih wa qudratuh zatuh)7 dan seterusnya Al-Kindi ternyata telah
meninggalkan pandangan ini. Selain memberikan sebutan baru bagi Allah, Al-
Kindi juga menyatakan bahwa Allah itu hanya bisa dilukiskan dengan kata-kata
negatif: Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya, Allah tidak berbentuk, Allah tidak
berbilang, Allah tidak berhubungan, Allah tidak berbagi. la adalah Maha Esa
(wahdat) dan yang selain-Nya berbilang.28 Dengan demikian, nafi al-shifat
(peniadaan sifat) bagi Mu'tazilah ini berarti Allah mempunyai hakikat, sedangkan
bagi Al-Kindi Allah tidak punya hakikat. Dilihat dari sisi ini, pandangan Mu'tazilah
yang menyandang gelar kehormatan kaum rasionalisme dalam Islam, bisa
dianggap musyrik. Jadi, Al-Kindi dalam mengesakan Allah amat menekankan
ketidaksamaan-Nya dengan ciptaan-Nya.
Sesuai dengan paham yang ada dalam Islam, Allah, bagi Al-Kindi, adalah
Pencipta alam semesta dan mengaturnya, yang disebut dengan ibda'. Pendapatnya
ini berbeda dengan pandangan Aristoteles yang mengatakan bahwa Allah sebagai
Penggerak Pertama yang tidak bergerak.29 Di sini terlihat Al-Kindi sekalipun
terpengaruh oleh filsafat Yunani, ia tidak begitu saja menerima ide-ide yang ada di
dalamnya, tetapi ia menyesuaikannya dengan ajaran Islam.
Adapun alam, menurut Al-Kindi, sebagai ciptaan Allah beredar menurut
aturan-Nya (sunatullah) tidak kadim, tetapi mempunyai permulaan.30 la
diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (creatio ex nihilo) atau menurut istilah
yang digunakannya izh-har al-syai' 'an laisa.31 Pengertian kadim, menurut Al-
Kindi, adalah tidak berpermulaan.
Pendapat Al-Kindi tentang diciptakannya alam dari ketiadaan sejalan dengan
pandangan kaum teolog Muslim, tetapi berbeda dengan pendapat para filosof
Yunani dan bertentangan dengan pendapat kaum filosof Muslim. Sementara itu,
dalam Al-Qur’an sendiri tidak dijelaskan secara tegas, apakah alam semesta
diciptakan dari materi yang sudah ada atau dari ketiadaan.
Untuk membuktikan adanya Allah, Al-Kindi memajukan tiga argumen:
1. baharunya alam;
BAB II Al- Kindi Hlm. 27
2. keanekaragaman dalam wujud;
3. kerapian alam.
Tentang dalil atau argumen baharunya alam telah lazim dikenal di kalangan
kaum teolog sebelum Al-Kindi. Akan tetapi, Al-Kindi mengemukakannya secara
filosofis. la berangkat dari pertanyaan, apakah mungkin sesuatu menjadi sebab
bagi wujud dirinya? Dengan tegas Al-Kindi menjawab, bahwa itu tidak mungkin
karena alam ini mempunyai permulaan waktu dan setiap yang mempunyai
permulaan akan berkesudahan (mutanahi). Justru itu setiap benda, ada yang
menyebabkan wujudnya dan mustahil benda itu sendiri yang menjadi sebabnya.
Ini berarti bahwa alam semesta baharu dan diciptakan dari tiada oleh yang
menciptakannya, yakni Allah.32
Tentang argumen yang kedua, keanekaragaman dalam wujud, kata Al-Kindi
dalam alam empiris ini tidak mungkin ada keanekaragaman tanpa keseragaman
atau sebaliknya. Terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan secara
kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau yang merancangnya. Sebagai
penyebabnya mustahil alam itu sendiri, dan jika alam yang menjadi sebab ('illat)-
nya akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Sementara
itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Justru itu, sebab atau 'illat-
nya harus yang berada di luar alam sendiri, yakni Zat Yang Maha Baik, Maha Mulia,
dan lebih dahulu adanya dari alam, yang disebut dengan Allah Swt. 33
Dalam uraian di atas, Al-Kindi menyebut dua sebab atau 'illat: pertama, sebab
yang sebenarnya dan aksinya adalah ciptaan dari ketiadaan (ibdar). la adalah Allah
Yang Maha Esa, Pencipta Tunggal alam semesta. Kedua, sebab yang tidak
sebenarnya. Sebab ini adanya lantaran sebab lain dan sebab-sebab itu sendiri
adalah sebab-sebab dari efek-efek lain. Sebab-sebab seperti ini jelas berkehendak
dan membutuhkan yang lain tanpa berkesudahan. la bukanlah dinamakan sebab
yang menciptakan alam ini.
Tentang argumen yang ketiga, kerapian alam, Al-Kindi menegaskan bahwa
alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang
mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tentu yang berada
di luar alam dan tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat
diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena yang terdapat di alam ini.
Zat itulah yang disebut dengan Allah Swt.34

D. Alam
Di dalam risalahnya yang berjudul al-Ibanat 'an al-'illat al-Fa'ilat al-Qaribat
fi kawn wa al-Fasad, pendapat Al-Kindi sejalan dengan Aristoteles bahwa benda di
alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila terhimpun empat 'illat, yakni:
1. al-'Unshuriyyat (materi benda);
2. al-Shuriyyat (bentuk benda);
3. al-Fa'ilat (pembuat benda, agent);
4. al-Tamamiyyat (manfaat benda).35
Selanjutnya, Al-Kindi membagi 'illat al-Fa'ilat menjadi qaribat (dekat) dan
ba'idat (jauh). 'illat yang dekat (qartbat) ada yang bertalian dengan alam dan ada
pula yang bertalian dengan Allah. Sementara itu, 'illat yang jauh (ba'idat) hanya
bertalian dengan Allah. Kalau dicontohkan dengan sebatang kapur tulis, pabrik

BAB II Al- Kindi Hlm. 28


yang memproduksi kapur disebut 'illat yang dekat (qartbat) dan manusia yang
menciptakan pabrik disebut 'illat yang jauh berasal dari alam (ba'idat thabi'iy).
Namun, pada hakikatnya yang menciptakan pencipta pabrik (manusia) tersebut
adalah 'illat ba'idat Ilahiy (sebab yang jauh dari Tuhan), yakni Allah.
Telah dikemukakan bahwa alam, menurut Al-Kindi, disebabkan oleh sebab
yang jauh, yakni Allah. la yang menciptakan alam dari tiada (creatio ex nihilo).
Tentang baharunya alam, Al-Kindi mengemukakan tiga argumen, yakni
gerak, zaman, dan benda.36 Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak
menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda.
Mustahil kiranya ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan akan berakhir.
Pada sisi lain, benda mempunyai tiga dimensi: panjang, lebar, dan tinggi.
Ketiga dimensi ini membuktikan bahwa benda tersusun dan setiap yang tersusun
tidak dapat dikatakan kadim.
Jika diandaikan, kata Al-Kindi, zaman kadim, bila ditelusuri ke belakang
tentu saja tidak akan sampai pada akhirnya, karena tidak mempunyai awal. Begitu
pula zaman yang tidak mempunyai awal pada masa lampau tentu ia tidak akan
sampai pada masa kita sekarang. Oleh sebab itu, zaman yang sampai pada masa
sekarang bukan kadim, tetapi baharu. Lebih lanjut Al-Kindi mengemukakan
beberapa argumen dalam menetapkan baharunya alam.37
1. Semua benda yang homogen, yang tiada padanya lebih besar ketimbang yang
lain, adalah sama besar.
2. Jarak antara ujung-ujung dari benda-benda yang sama besar, juga sama
besarnya dalam aktualitas dan potensialitas.
3. Benda-benda yang mempunyai batas tidak bisa tidak mempunyai batas.
4. Jika salah satu dari dua benda yang sama besarnya dan homogen ditambah
dengan homogen lainnya, maka keduanya menjadi tidak sama besar.
5. Jika sebuah benda dikurangi, maka besar sisanya lebih kecil daripada benda
semula.
6. Jika satu bagian diambil dari sebuah benda, lalu dipulihkan kembali
kepadanya, maka hasilnya adalah benda yang sama seperti semula.
7. Tiada dari dua benda homogen yang besarnya tidak mempunyai batas bisa
lebih kecil ketimbang yang lain.
8. Jika benda-benda yang homogen yang semuanya mempunyai batas
ditambahkan bersama, maka jumlahnya juga akan terbatas.
Dengan argumennya ini, Al-Kindi mengkaji ulang prinsip kadimnya alam yang
dikemukakan oleh Aristoteles. Lebih lanjut ia jelaskan sebagai berikut.
Seandainya alam ini tidak terbatas, lalu diambil sebagian, maka yang tinggal,
apakah terbatas, ataukah tidak terbatas? Jika yang tinggal terbatas, bila
ditambahkan kembali kepada bagian yang dipisahkan, maka hasilnya tentu
terbatas pula dan inilah yang benar, tetapi bertentangan dengan pengandaian
semula bahwa alam ini sebelum dibagi atau diambil sebagiannya, tidak terbatas.
Jadi, hasil dari penambahannya menjadi terbatas dan tidak terbatas, suatu
kontradiksi dan tidak dapat diterima. Sekiranya yang tinggal setelah diambil tidak
terbatas, sedangkan keseluruhannya sebelum diambil juga tidak terbatas, maka
berarti benda sama besar dengan bagiannya. Hal ini adalah kontradiktif dan tidak
bisa diterima. Akan tetapi, setelah penjumlahan keduanya menghasilkan lebih

BAB II Al- Kindi Hlm. 29


besar daripada yang sebelumnya, berarti yang tidak terbatas lebih besar daripada
yang tidak terbatas, maka hal ini merupakan kesimpulan yang tidak dapat
diterima.
Atas dasar itulah Al-Kindi berkesimpulan bahwa alam semesta ini pastilah
terbatas dan ia menolak secara tegas pandangan Aristoteles yang mengatakan
bahwa alam semesta tidak terbatas atau kadim. Telah dikemukakan bahwa
pendapat Al-Kindi tentang baharunya alam sama dengan pendapat kaum teolog
Muslim dan berbeda dengan pandangan kaum filosof Muslim yang datang
sesudahnya yang menyatakan bahwa alam ini kadim. Telah dijelaskan juga bahwa
Alquran hanya menginformasikan bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah Swt.
Akan tetapi, Alquran tidak menginformasikan tentang proses penciptaannya,
apakah dari tiada menjadi ada sehingga alam ini harus dikatakan hadis (baharu),
atau penciptaannya dari materi yang sudah ada semenjak azali, dengan arti
mengubah ada dari satu bentuk ke bentuk yang lain sehingga alam ini harus
dikatakan kadim.

E. Filsafat Jiwa
Tidak mengherankan bahwa pembahasan tentang jiwa menjadi agenda yang
penting dalam filsafat Islam. Hal ini disebabkan jiwa termasuk unsur utama dari
manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia. 38 Kaum
filosof Muslim memakai kata jiwa (al-nafs) pada apa yang diistilahkan Alquran
dengan al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk
nafsu, nafas, dan roh. Akan tetapi, kata nafsu dalam pemakaian sehari-hari
berkonotasi dengan dorongan untuk melakukan perbuatan yang ku-rang baik
sehingga kata ini sering dirangkaikan menjadi satu dengan kata hawa, yakni hawa
nafsu.
Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. tidak menjelaskan secara tegas
tentang roh atau jiwa. Bahkan Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam
menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu
adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.39 Justru itu, kaum filosof Muslim
membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof
Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, Al-Kindi juga mengatakan bahwa
jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam, dan
lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi (jauhar)-nya
berasal dari substansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan
cahaya dengan matahari.'10 Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan
berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan halus.41 Sementara itu,
jisim mempunyai hawa nafsu dan marah.
Argumen tentang bedanya jiwa dengan badan, menurut Al-Kindi adalah jiwa
menentang keinginan hawa nafsu. Apabila nafsu marah mendorong manusia
untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan
indikasi bahwa jiwa sebagai yang melarang tentu tidak sama dengan hawa nafsu
sebagai yang dilarang. Al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan
bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi
dan bentuk. Materi ialah badan dan bentuk ialah jiwa manusia. Hubungan jiwa
dengan badan sama dengan hubungan bentuk dengan materi. Bentuk atau jiwa
tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan dan begitu pula sebaliknya
BAB II Al- Kindi Hlm. 30
materi atau badan tidak pula bisa wujud tanpa bentuk atau jiwa. Pendapat ini
mengandung arti bahwa jiwa adalah baharu karena jiwa adalah form bagi badan.
Form tidak bisa wujud tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan yang
bersifat esensial, dan kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa.
Dalam hal ini pendapat Al-Kindi lebih dekat pada pendapat Plato yang
mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan acciden,
binasanya badan tidak membawa binasa pada jiwa. Namun, ia tidak menerima
pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam idea. Al-Kindi,
dalam tulisannya juga, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya:
daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyyat) yang terdapat di perut, daya marah
(al-quwwat al-ghadabiyyat) yang terdapat di dada, dan daya pikir (al-quwwat al-
'aqliyyat) yang berpusat di kepala.42
Manusia, menurut Al-Kindi, apabila meninggalkan segala yang berbentuk
empiris atau benda dan memusatkan pandangan pada hakikat-hakikat sesuatu,
niscaya akan terbuka baginya pengetahuan tentang yang ghaib dan mengetahui
rahasia-rahasia ciptaan. Akan tetapi, apabila tujuan manusia hidup di dunia ini
ingin mendapatkan kelezatan makan dan minum atau materi semata, maka akan
tertutup jalan bagi daya pikirnya untuk mengetahui hal-hal yang mulia dan tidak
mungkin sifatnya mencapai kualitas kesempurnaan atau kemuliaan menyerupai
sifat kesempurnaan dan kemuliaan Allah.43
Sebagaimana dimaklumi, Al-Kindi membandingkan daya bernafsu pada
manusia dengan babi, daya marah dengan anjing, dan daya pikir dengan malaikat.
Jadi, orang yang dikuasai oleh jiwa bernafsu, tujuan hidupnya seperti yang dimiliki
oleh babi; siapa yang dikuasai oleh nafsu marah, ia bersifat seperti anjing; dan
siapa yang dikuasai oleh daya pikir, ia akan mengetahui hakikat-hakikat dan
menjadi manusia utama yang hampir menyerupai sifat Allah, seperti bijaksana,
adil, pemurah, baik, mengutamakan kebenaran dan keindahan.44 Al-Kindi dalam
risalahnya menjelaskan akal. la gambarkan akal sebagai suatu potensi sederhana
yang dapat mengetahui hakikat-hakikat sebenarnya dari benda-benda.45 Akal,
menurutnya, terbagi menjadi empat macam: satu berada di luar jiwa manusia dan
yang tiga lagi berada di dalamnya.
1. Akal yang selamanya dalam aktualitas (al-'aql allazi hi al-fi'l abada). Akal
pertama ini berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi, dan selamanya dalam
aktualitas. Karena selalu berada dalam aktualitas, akal inilah yang membuat
akal yang bersifat potensi dalam jiwa manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal
ini ialah sebagai berikut:
a. la adalah Akal Pertama;
b. la selamanya dalam aktualitas;
c. la merupakan species dan genus;
d. Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir;
e. la tidak sama dengan akal potensial, tetapi lain daripadanya.46
2. Akal yang bersifat potensial (al-'qlu bi al-quwwat), yakni akal murni yang ada
dalam diri manusia yang masih raerupakan potensi dan belum menerima
bentuk-bentuk indrawi dan yang akali.
3. Akal yang bersifat perolehan (acquired intellect), ini adalah akal yang telah
keluar dari potensialitas ke dalam aktualitas, dan mulai memperlihatkan
pemikiran abstraksinya. Akan perolehan ini dapat dicontohkan dengan

BAB II Al- Kindi Hlm. 31


kemampuan positif yang diperoleh orang dengan belajar, misalnya tentang
bagaimana cara menulis. Penamaan perolehan, agaknya dimaksudkan oleh Al-
Kindi untuk menunjukkan bahwa akal dalam bentuk ini diperoleh dari akal
yang berada di luar jiwa manusia, yakni Akal Pertama yang membuat akal
potensial keluar menjadi akan aktualitas.
4. Akal yang berada dalam keadaan aktual nyata, ketika ia aktual, maka ia disebut
akal "Yang Kedua." Rumusan dalam bahasa Arabnya ialah: Akal dalam bentuk
ini merupakan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas. Ia dapat
diibaratkan dengan proses penulisan kalau seseorang sungguh-sungguh
melakukan penulisan.47
Kalau kita merujuk pada risalah Al-Kindi tentang akal, sebagai yang
dikemukakan oleh Abu Rayyan, niscaya kita mengetahui bahwa dalam persoalan
akal ini Al-Kindi nyaris mengutip secara penuh pendapat Aristoteles dan itu
dikatakannya secara jelas dalam risalahnya itu.48 Agaknya, Al-Kindi memang tidak
melakukan pembahasan mindalam tentang akal ini. Kendati demikian, apa yang
dilakukannya ini telah merupakan peretas jalan bagi pembahasan oleh kaum
filosof Muslim yang da tang sesudahnya. Jiwa yang bersih setelah berpisah dengan
badan pergi ke Alam Kebenaran atau Alam Akal, di atas bintang-bintang di dalam
lingkungan cahaya Allah, dekat dengan Allah dan dapat melihat-Nya. Di sinilah
letak kesenangan abadi dari jiwa.'49
Jadi, hanya jiwa yang sucilah yang dapat sampai ke Alam Kebenaran itu. Jiwa
yang masih kotor dan belum bersih harus mengalami penyucian terlebih dahulu.
Mula-mulanya ia harus pergi ke bulan, kemudian setelah berhasil membersihkan
diri di sana, dilanjutkan ke Markuri, dan seterusnya; naik setingkat demi setingkat,
sampai akhirnya, —sesudah benar-benar bersih— mencapai Alam Akal, dalam
lingkungan cahaya Allah dan melihat Allah.50 Di sini terlihat bahwa Al-Kindi tidak
percaya pada kekekalan hukuman terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada
akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke alam akal. Alhasil, bagi
Al-Kindi, jiwa adalah, sesuai dengan terminologi Alquran, khalidina fiha yang
dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan kekal, namun kekalnya
berbeda dengan Allah karena kekalnya dikekalkan Allah.
Harus diakui bahwa Al-Kindi belum mempunyai filsafat yang lengkap. la
telah berusaha mempertemukan filsafat dan agama atau akal dan wahyu, serta
lebih jauh lagi, mengislamkan ide-ide yang terdapat dalam filsafat Yunani.
Pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan pemikiran awal yang merintis jalan bagi
filosof Muslim sesudahnya. 

Catatan : Sumber Pengambilan


1 Muhammad Syafiq Gharbal, al-Mausu'at al-'Arabiyyat al-Muyassarat, (Kairo: Dar
al-Qalam & Franklin Foundation, 1965), hlm. 1383. Lihat juga: Fu'ad Al-
Ahwaniy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Qalam, 1962), hlm. 63.
2 Majid Fakhri, Sejarah Filasafat Islam, Terj. Mulyadhi Kartanegara, Jakarta:

Pustaka Jaya, t.t.) Cet. I, hlm. 109


3 Fu'ad Al-Ahwaniy, loc.cit.

4 Majid Fakhri, op.cii., hlm. 111.

BAB II Al- Kindi Hlm. 32


5 Musa Al-Musawi, Min Al-Kindi Ila Ibn Rusyd, (Beirut: Maktabat al-Fikr al-Jami'i,
1977), hlm. 54-55.
6 Ibnu Juljul, Thabaqat al-Athibba' wa al-Hukuma’ dikutip melalui George N. Atiyeh,

Al-Kindi: The Philosopher of The Arab, (Rawalpindi: Islamic Research In-


stitute, 1966), hlm. 6.
7Ahmad Fu'ad Al-Ahwaniy, al-Maddris al-Falsafiyyat, (Kairo: al-Dar al-Mishriyyat

1965), hlm. 126.


8Al-Musawi menyebutkan nama Hisyam Ibnu Al-Hakim dan Hisyam Al-Jawaliqi

sebagai dua orang non-Mu'tazilah yang juga berbicara tentang masalah


keadilan dan kemahaesaan Tuhan. Lihat: bukunya, op.cit., hlm. 55.
9 M.M. Syarif, (Ed.) History of Muslim Philosophy, vol. I, (Wisbaden: Otto

Horossowitz, 1963), hlm. 422.


10 Abd Al-Rahman Badwi (ed. & Pent.) al-Turas al-Yunani fi al-Hadharah al-

Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Nahdat al-Arabiyyat-1965), hlm. 124-125.


11 M.M. Syarif, loc.cit.

12 M.M. Syarif, Alam Pikiratt Islam, Peranan Umat Islam dalam Pengembangan Ilmu

Pengetahuan, Terj. Fuad Moh. Fachruddin, (Bandung: Diponegoro, 1979),


Cet. H, hlm. 81.
13Musa Al-Musawi, op.cit., hlm. 52-53.

14 M.M. Syarif, History, op.cit., hlm. 423.

15 George N. Atiyeh, op.cit., Appendik I, hlm. 148.

16 M.M. Syarif, History,loc.cit.

17 Ibid.

18 Abdus Salam, Sains dan Dunia Islam, Terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Salman UP,

1983), hlm. 11.


19 Abu Ridha, Rasa'il, I hlm. 97, dikutip melalui Majid Fakri, op.cit., hlm. 114-115.

20 Muhammad 'Athif Al-Iraqy, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 19?8),

hlm. 22-23.
21M.M. Syarif, History, op.cit., hlm. 425.

22 Lihat: QS Al-Baqarah [2:]31-32; Fathir [35]:28; Al-Zumar [39]:9; Al-Mujadilat

[58]: 11; dan Al-Alaq [96]: 1-5. Sejumlah hadis ikut mendorong umat Islam
untuk mencari ilmu pengetahuan, di antaranya 'Mencari ilmu wajib bagi
setiap Muslim." Lihat: Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid I, (Muqaddimat,
Bagian 17, Isa al-Baby al-Halabiy wa Syurakuhu, tt.), hlm. 81.
23 Kamal Al-Yaziji, al-Nushush al-Falsafiyyat al-Muyassarat, (Beirut: Daral-'Ilm li al-

Malayin, 1963), hlm. 74.


24 Muhammad All Abu Rayyan, al-Falsafat al-Islamiyyat, (Mathba'at M.K. al-

Iskandariyyat,: Syakhshiyatuha wa Mazahibuha, t.t), hlm. 345.


25 Harun Nasution, Falsafat dan Misticisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,

1973), hlm. 16.


26 lbid.

27Al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 49.

28 George N. Atiyeh, op.cit., hlm. 67. M.M.Syarif, History, op.cit., hlm. 428-429.

29 Ibid.

BAB II Al- Kindi Hlm. 33


30 lbid., hlm. 16-17.
31Muhammad 'Athif Al-'Iraqy, Dirdsdt fi Mazhab Faldsifat al-Masyriq, (Mesir: Dar

al-Ma'arif, 1973), hlm. 40.


32Hana Al-Fakhury, dan Khalil Al-Jarr, Tarikh al-Falsafat al-'Arabiyyat, (Beirut:

Cet. II, Mu'assasat li al-Thaba'at wa al-Nasyr, 1963), Cet. II, hlm. 368.
33 Muhammad Abu Riddah, Rasa'il Al-Kindi al-Falsafiyyat, (Kairo: Dar al-Fikr al-

'Arabiy, 1950), hlm. 142-143.


34 Hana Al-Fakhury et.al., op.cit., hlm. 369.

35 Muhammad 'Athif Al-'Iraqy, Tajdid fi al-Mazhab al-Falsafiyyat wa al-Kalamiyyat,

(Kairo: Dar al-Ma'arif, 1979), Cet. IV, hlm. 90-91.


36 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), Cet. II, hlm.

16.
37George N. Atiyeh, Al-Kindi Tokoh Filsafat Muslim, Terj. Kasidjo Djojo Suwarno,

(Bandung: Salman, 1983), hlm. 50-51.


38 Harun Nasution, Misticisme, op.cit., hlm. 13.

39Iihat: QS. Al-Isra' [17]: 85.

40Kamal Al-Yaziji, op.cit., hlm. 76.

41M.M. Syarif, History, op.cit., hlm. 432.

42Harun Nasution, Akal, op.cit., hlm. 9.

43Kamal Al-Yaziji, op.cit., hlm. 78.

44 Ibid., hlm. 78-79.

45 Goerge N. Atiyeh, The Philosopher, op.cit., hlm. 113.

46 Harun Nasution, Mistidsme, op.cit., hlm. 15-16. Dan Abu Rayyan, op.cit., hlm. 359-

360.
47Harun Nasution, ibid.

48 Abu Rayyan, op.cit., hlm. 359-361.

49Hana Al-Fakhury, ed.al., op.cit., hlm. 366-367.

50 Kamal Al-Yaziji, op.cit., hlm. 79-80.

BAB II Al- Kindi Hlm. 34

Anda mungkin juga menyukai