Anda di halaman 1dari 8

SITI HATIKA ZAHIRA XI-2

TUGAS 1
BAB 10
Al
Fara
Cendekiawan
bi muslim Al Farabi atau Abu Nashr memiliki
nama lengkap Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin
Tarkhan bin Al-Uzalagh Al-Farabi. Ia dilahirkan di Wasij,
sebuah desa dekat daerah Farab, Kazakhstan tahun 870 M/275
H.
Nama Al-Farabi tersebut diambil dari nama kota kelahirannya
tersebut, Kota Farab. Ayahnya adalah seorang opsir keturunan
Persia pada Dinasti Samaniyyah yang menguasai wilayah
Transoxiana, wilayah otonom Bani Abbasyyah.

Semasa kecil, Al-Farabi dikenal sebagai anak yang rajin dan


tekun belajar. Dalam aspek kebahasaan ia memiliki tutur
bahasa yang baik.

Mengutip dari buku Tokoh Filsafat Dunia, Al-Farabi mulai


mendalami ilmu pengetahuan seperti ilmu kebahasaan, filsafat,
hingga logika saat ia melakukan perjalanan ke Kota Baghdad
tahun 922 M.

Kota itu memang dikenal sebagai kota ilmu pengetahuan pada


masanya. Ia pun belajar di kota tersebut selama 10 tahun
lamanya.

Bersama Ibnu Suraj, ia mempelajari tata bahasa Arab.


Sementara untuk filsafat dan logika, Al-Farabi belajar di
bawah bimbingan Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus.
SITI HATIKA ZAHIRA XI-2

Saat dewasa, Al-Farabi pindah ke Damaskus dan bertemu


dengan seorang bangsawan Damaskus, Saif Al-Daulah
Hamdani. Ia pun diberi kepercayaan sebagai ulama dan
ilmuwan di istana. Siang harinya ia bekerja sebagai tukang
kebun dan belajar teks-teks filsafat pada malam harinya.

Meskipun sepanjang hidupnya akrab dengan kehidupan


istana bahkan diberikan imbalan yang besar oleh sang sultan,
namun Al-Farabi tetap konsisten menjalani hidup sederhana
dan tidak tertarik dengan kemewahan.

Al-Farabi dikenal sebagai cendekiawan muslim yang ahli di


bidang filsafat. Selain filsafat, ternyata ia juga menguasai
berbagai ilmu pengetahuan lainnya seperti, logika, fisika,
ilmu alam, kedokteran, kimia, ilmu perkotaan, ilmu
lingkungan, fiqih, ilmu militer, hingga musik.

Berkat ketertarikan dan kecerdasannya dalam memahami


pemikiran filsafat Aristoteles, ia mendapat julukan "Guru
atau Master Kedua (al-mu'allim at thani)" setelah Aristoteles,
seperti yang dinukil dari tulisan Siti Nutlaela dalam bukunya
Mulut yang Terkunci: 50 Kisah Haru Para Sahabat Nabi.

Bahkan Al-Farabi sempat disetarakan dengan Plato dan


Socrates. Karya di bidang filsafatnya yang terkenal adalah
Al-Madinah Al-Fadhilah yang isinya tentang pencapaian
kebahagiaan melalui kehidupan berpolitik.

Para filsuf Barat pun mengakui Al-Farabi sebagai


perpanjangan filsuf Yunani, seperti yang dilansir dari
SITI HATIKA ZAHIRA XI-2

Sesuai dengan buku Tokoh Filsafat Dunia, disebutkan bahwa


Al-Farabi mendefinisikan bahwa tujuan filsafat dan agama
memiliki tujuan yang sama, yaitu sama-sama mengetahui
semua wujud.

Bedanya jika filsafat menggunakan dalil-dalil yang kini dan


ditujukan golongan tertentu, sedangkan agama menggunakan
cara iqna'i (pemuasan perasaan), dan kiasan-kiasan hingga
gambaran yang ditujukan pada semua orang, bangsa, dan
negara.

Selain tentang pemikirannya di bidang filsafat, dilansir dari


buku Mulut yang Terkunci: 50 Kisah Haru Para Sahabat Nabi,
Al-Farabi juga menyumbangkan pemikirannya di dunia musik
dan menjadi orang pertama yang meletakkan dasar-dasar
tentang not musik.

Karyanya di bidang musik adalah Kitab Al-Musiqi Al Kabir


(Buku Besar Musik) yang membahas ilmu dasar tentang
musik. Bahkan buku ini menjadi rujukan penting bagi
perkembangan musik klasik barat.

Dalam buku The Attitude of Islam Towards Science and


Philosophy: A Translation of Ibn Rushd's (Averroës) Famous
Treatise Faslul-al-Maqal juga menyebutkan bahwa Al-Farabi
menulis beberapa risalah terkait teori dan seni musik, hingga
pembuatan alat musik
SITI HATIKA ZAHIRA XI-2

Ibnu Thufail

 Ia dikenal sebagai seorang filsuf, dokter, novelis, dan pejabat


pengadilan Arab Muslim dari Al-Andalus (Andalusia). Ia sering
pula disebut sebagai al-Andalusi atau al-Kurtubi al-Isybili.
Kaum Skolastik Kristen menyebutnya sebagai Abubacer.
Ia adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin
Muhammad bin Ibnu Thufail Al-Qaysi atau biasa dikenal
sebagai Ibnu Thufail atau Ibnu Tofail. Seorang filsuf muslim
dari sebuah kota kecil, Guadix, di Andalusia dan salah satu
keturunan suku Arab Kays, yang terkemuka.

Kiprah Abubacer
Ibnu Thufail diperkirakan lahir pada dekade pertama abad ke-6
H atau ke-12 M atau sekitar tahun 1105 M di Wadi Ash, Guadix,
sebelah timur laut Granada, Spanyol. Masa-masa pendidikannya
ia diajar oleh Ibnu Bajjah (Avempace). Namun, tidak banyak
yang dapat diungkap mengenai keluarga dan pendidikannya. Ia
praktik pertama kali sebagai dokter di Granada, kemudian
menjadi sekretaris gubernur tingkat provinsi.
Semasa hidup, Ibnu Thufail pernah menjabat sebagai sekretaris
SITI HATIKA ZAHIRA XI-2

Ia dikenal sebagai seorang filsuf yang sangat mencintai buku-


buku. Ibnu Thufail dikabarkan pernah membangun perpustakaan
yang besar dan lengkap berisi ribuan buku. Lewat pembacaan
dan informasi inilah yang membuat ia haus akan ilmu
pengetahuan.
Salah seorang muridnya, Al-Bitruji menyebut, Ibnu Thufail
sebagai qadli (hakim) yang bijak. Dalam banyak hal, Ibnu
Thufail selalu mempunyai pengaruh besar terhadap muridnya ini,
serta banyak merekrut sarjana-sarjana ke istana. Ibnu Thufail
pula yang memperkenalkan Ibnu Rusyd muda kepada Sultan dan
menganjurkannya sebagai penggantinya saat ia beristirahat pada
1182.
Ahli sejarah Abdul Wahid al-Mazzakusyi memberi sebuah
deskripsi mengenai pertemuan ini, yang diketahui dari laporan-
laporan Ibnu Rusydi sendiri. Pada kesempatan-kesempatan
seperti inilah sang Sultan juga menunjukkan luas
pengetahuannya tentang masalah-masalah kefilsafatan. Dinasti
Muwahhidun memang dikenal mengajarkan hal baru di bidang
teologi: Sistem teologi Asy’ari dan Al-Ghazali yang kemudian
dicap dan dianggap bid’ah.
Pada masa itu, banyak para politikus dan filsuf yang berpendapat
iman masyarakat tidak boleh diganggu gugat serta dianggkat
menjadi bahasan pengetahuan. Karenanya, wilayah filsafat dan
agama harus dipisahkan secara tegas. Namun di sinilah peran
dinasti Muwahhidun terhadap keberlanjutan filsafat (islam) di
era selanjutnya. Apresiasi yang begitu besar terhadap
pengetahuan dan kajian filsafat,mengalami periode emasnya,
meskipun singkat, di kerajaan mereka.
SITI HATIKA ZAHIRA XI-2

Karya fenomenal yang berbau filosofis-mistis ini bercerita


mengenai bagaimana akal pikiran mampu menangkap,
merenungkan, dan menyimpulkan bahwa segala sesuatu ada
yang menggerakan dan penggerak itu tiada lain adalah Tuhan
Pencipta Alam Semesta. Meskipun, karya-karya utama Ibnu
Thufail--seperti halnya Ibnu Sina--adalah memadukan sains
Yunani dengan kearifan Timur hingga menjadi pandangan
modern tentang dunia, sebagaimana juga menjadi keprihatinan
Ibnu Bajjah. Namun demikian, Ibnu Thufail bergerak lebih jauh.
Jika Ibnu Bajjah, sebagai contoh pemikir bebas, atau anggota
pemikir independen yang memunculkan 'negara' di dalam
negara--sebuah salinan dari model untuk masa-masa yang lebih
bahagia--maka Ibnu Thufail berusaha untuk mengembangkan
yang lebih otentik, dan bukan sekedar salinan. Ia kemudian
menggambarkannya ke dalam sebuah romansa, sebagaimana
disebut di muka, Hayy bin Yaqzhan yang berarti ‘Kehidupan dan
Pribadi yang Aktif Putra Kewaspadaan’.
SITI HATIKA ZAHIRA XI-2

Dalam buku tersebut, Ibnu Thufail berusaha membuktikan


kebenaran tesis kesatuan kebijaksanaan rasional dan mistis
melalui kisah fiktif, yang di dalam karya ini terdapat satu kisah
alegori tentang lelaki yang hidup sendiri di sebuah pulau yang
tanpa hubungan dengan manusia lainnya. Dalam karangan ini,
Ibnu Thufail menampilkan sebuah novel alegoris yang
mengisahkan seorang bayi yang terdampar di hutan dan dirawat
oleh seekor rusa sampai bayi itu dewasa.

Tanpa latar belakang sosial budaya, anak itu akhirnya dapat


tumbuh dewasa dengan intelegensi yang tinggi dan mampu
mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia
mampu menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai titik
Musyahadah (pandangan batin yang tidak dapat diragukan lagi),
serta akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati.

“..Setelah itu ia mendapatkan pengetahuan tentang alam,


bintang gemintang, Tuhan, dan wujudnya sendiri, sehingga
setelah menjalani tujuh masa selama tujuh tahun, ia mencapai
pengetahuan tertinggi, yakni visi sufi tentang Tuhan, Ia
mencapai kondisi ekstase mistik..” (Boer, 2019;258).

Melalui kisah tersebut, Ibnu Thufail sebenarnya ingin


memberikan solusi terhadap permasalahan yang ditimbulkan
oleh pertentangan antara filsafat dan agama, akal dan iman.
Seperti halnya Hayy, yang dalam novel tersebut digambarkan
akhirnya menyadari kebenaran itu memiliki dua wajah, yakni
SITI HATIKA ZAHIRA XI-2

Akhir Hayat

Selain pemikiran dan karya agung di atas, Ibnu Thufail, menurut


astronom al-Bitruji serta Ibnu Rusyd dalam komentarnya
terhadap Aristoteles Metaphysics, juga mempunyai banyak
gagasan orisinal di bidang astronomi. Dan gagasan itu ternyata
banyak memberi pengaruh kepada usaha-usaha yang dilakukan
oleh al-Bitruji untuk menyanggah dan sekaligus membuktikan
kekeliruan teori Ptolemaios lingkaran-lingkaran epicycles dan
exentrics.
Menurut Ibnu Khatib, Ibnu Thufail juga menulis dua buah
naskah tentang ilmu kedokteran yang banyak hubungannya
dengan karya medis Ibnu Rusyd, yakni al-Kulliyat. Ada juga
buku tentang kedokteran yang dapat dikatakan merupakan karya
Ibnu Thufail, yang setidaknya ditulis oleh dua orang muridnya
dan dipersembahkan kepada Ibnu Thufail, yaitu: Al-Bithruji
yang mengarang Kitab Al-Hai’ah dan karya Ibnu Rusyd yang
berjudul Fi al-Buqa’ al-Maskunah sa al-Ghair al-Maskunah Pada
tahun 578 H atau 1182 M, Ibnu Thufail berhubung usianya yang
telah lanjut, akhirnya  digantikan kedudukannya oleh Ibnu Rusyd
sebagai dokter pribadi sang Khalifah. Ibnu Thufail meninggal

Anda mungkin juga menyukai