Anda di halaman 1dari 4

Dalam sejarah filsafat Islam tidak dapat di pungkiri bahwa filosof muslim dalam filsafatnya

sendiri berangkat dari filsafat Yunani yang kemudian dikombinasikan dengan kitab suci
panutan islam yaitu Al-Qur’an sebagai pedoman utama. 

Filosof-filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari
apa yang dialami oleh filosof-filosof lain, dan pengaruh-pengaruh lingkungan dan suasana
terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya tidak bisa di pungkiri
bahwa dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-
prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri. Pemikiran-pemikiran para filsuf
muslim tidak hanya memberikan pengaruh pada perkembangan pemikiran dan keilmuan
Islam, tetapi juga memberikan pengaruh secara universal.

Adapun beberapa tokoh muslim yang mengkaji tentang filsafat diantaranya:

1. IBNU RUSYD
Nama lengkapnya Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, lahir di Cordova pada
tahun 520 H. Ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan
mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ayahnya adalah seorang hakim, dan
kakeknya yang terkenal dengan sebutan “Ibnu Rusyd kakek” (al-Jadd) adalah kepala hakim
di Cordova. Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap
filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingannya, karena menurut
riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tidak pernah terputus membaca dan menelaah kitab.
Karya Ibnu Rusyd meliputi berbagai ilmu seperti: fiqih, ushul, bahasa, kedokteran,
astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah
ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan.
Ibnu Rusyd adalah tokoh pemikir Islam yang paling kuat, paling dalam pandangannya,
paling hebat pembelaannya terhadap akal dan filsafat, sehingga ia benar-benar menjadi
filosof-pikiran dikalangan kaum Muslimin. Pada garis besar filsafatnya, ia mengikuti
Aristoteles dan berusaha mengeluarkan pikiran-pikirannya yang sebenarnya dari celah-
celah kata-kata Aristoteles dan ulasan-ulasannya.

2. AL-FARABI
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-
Farabi diambil dari nama kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M).
Ayahnya adalah seorang Iran dan menikah dengan seorang wanita Turkestan. Setelah
besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan
dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius.
Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan
mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita
maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika,
kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqih, dan mantik. Sebagian
besar karangan-karangan Al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat
Aristoteles, Plato, dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika, dan metafisika.
Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas pikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai
pengulas Aristoteles.

3. IBNU SINA

Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, di mana Khilafah Abbasiyah mengalami
kemunduran, dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khilafah
tersebut mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri,
sebagai pusat pemerintahan Khilafah Abbasiyah, dikuasai oleh golongan Bani Buwaih pada
tahun 334 H dan kekuasaan mereka berlangsung terus sampai tahun 447 H.
Ibnu Sina memberikan perhatiannya yang khusus terhadap pembahasan kejiwaan,
sebagaimana yang dapat kita lihat dari buku-buku yang khusus untuk soal-soal kejiwaan
atau pun buku-buku yang berisi campuran berbagai persoalan filsafat. Pengaruh Ibnu Sina
dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pemikiran Arab sejak abad
kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke-19 Masehi, terutama pada Gundissalinus, Albert
the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon, dan Dun Scott. Hidup Ibnu Sina penuh dengan
kesibukan bekerja dan mengarang; penuh pula dengan kesenangan dan kepahitan hidup
bersama-sama, dan boleh jadi keadaan ini telah mengakibatkan ia tertimpa penyakit yang
tidak bisa diobati lagi. Pada tahun 428 H (1037 M), ia meninggal dunia di Hamadzan, pada
usia 58 tahun.

4. AL-GHAZALI

Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali, bergelar Hujjatul
Islam, lahir tahun 450 H di Tus, suatu kota kecil di Khurassan (Iran). Al-Ghazali pertama-
tama belajar agama di kota Tus, kemudian meneruskan di Jurjan, dan akhirnya di Naisabur
pada Imam al-Juwaini, sampai yang terakhir ini wafat tahun 478 H/1085 M. kemudian ia
berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu’askar, dan dari padanya ia mendapat
kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun
lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah
Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil. Selama di Baghdad,
selain mengajar, juga mengadakan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran golongan
Bathiniyah, Isma’iliyyah, golongan filsafat dan lain-lain.
Pengaruh al-Ghazali di kalangan kaum Muslimin besar sekali, sehingga menurut pandangan
kaum Orientalis, agama Islam yang digambarkan oleh kebanyakan kaum Muslimin
berpangkal pada konsepsi al-Ghazali. Karyanya yang terbesar yaitu Ihya ‘Ulumiddin yang
artinya “Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hijjaz dan Tus, dan yang berisi
tentang paduan yang indah antara fiqih, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di
kalangan kaum Muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan luar Islam.
Pikiran-pikiran al-Ghazali telah mengalami perkembangan sepanjang hidupnya dan penuh
kegoncangan batin. Sehingga sulit diketahui kesatuan dan kejelasan corak pemikirannya
seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof-filosof dan terhadap aliran-aliran akidah
pada masanya. Namun demikian, al-Ghazali telah mencapai hakikat agama yang belum
pernah ditemukan oleh orang-orang sebelumnya dan mengembalikan kepada agama. Jalan
yang terdekat kepada Tuhan ialah jalan hati dan dengan demikian ia telah membuka pintu
Islam seluas-luasnya untuk tasawuf.

5. IBNU BAJAH

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Yahya, yang terkenal dengan sebutan
Ibnu-Shaigh atau Ibnu Bajah. Orang-orang Eropa pada abad-abad pertengahan menamai
Ibnu Bajah dengan "Avempace". Ibnu Bajah dilahirkan di Saragosta pada abad ke-11
Masehi. Tahun kelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil dan masa
mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah ialah bahwa ia hidup di Serville, Granada,
dan Fas; menulis beberapa risalah tentang logika di kota Serville pada tahun 1118 M, dan
meninggal dunia di Fas pada tahun 1138 M ketika usianya belum lagi tua. Menurut satu
riwayat, ia meninggal dunia karena diracuni oleh seorang dokter yang iri terhadap
kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya. 
Ibnu Bajah telah memberi corak baru terhadap filsafat Islam di negeri Islam barat dalam teori
ma’rifat (epistemologi, pengetahuan), yang berbeda sama sekali dengan corak yang telah
diberikan oleh al-Ghazali di dunia timur Islam, setelah ia dapat menguasai dunia pikir
sepeninggal filosof-filosof Islam.

6. IBNU THUFAIL

Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Thufail, dilahirkan di
Wadi Asy dekat Granada, pada tahun 506 H/1110 M. Kegiatan ilmiahnya meliputi
kedokteran, kesusasteraan, matematika dan filsafat. Ia menjadi dokter di kota tersebut dan
berulangkali menjadi penulis penguasa negerinya. Setelah terkenal, ia menjadi dokter
pribadi Abu Ya’kub Yusuf al-Mansur, khalifah kedua daru daulah Muwahhidin. Dari al-
Mansur ia memperoleh kedudukan yang tinggi dan dapat mengumpulkan orang-orang pada
masanya di istana Khalifah itu, di antaranya ialah Ibnu Rusyd yang diundang untuk
mengulas buku-buku karangan Aristoteles.
Buku-buku biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu Thufail yang menyangkut
beberapa lapangan filsafat, seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan sebagainya,
disamping risalah-risalah (surat-surat) kiriman kepada Ibnu Rusyd. Akan tetapi karangan-
karangan tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali satu saja, yaitu risalah Hay bin Yaqzan,
yang merupakan intisari pikiran-pikiran filsafat Ibnu Thufail, dan yang telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa.
Ibnu Thufail tergolong filosof dalam masa Skolastik Islam. Pemikiran kefilsafatannya cukup
luas termasuk metafisika. Dalam pencapaian Ma’rifatullah Ibnu Thufail menempatkan sejajar
antara akal dan syari’at. Pemikiran tersebut sebenarnya merupakan upaya yang tidak pada
tempatnya, sebab syari’at sumbernya adalah wahyu (yakni: dari Tuhan), sedangkan akal
merupakan aktifitas manusiawi. 

Anda mungkin juga menyukai