PENDAHULUAN
1
Filsafat dalam Islam berkembang melalui beberapa fase. Pada fase
pertama yang dilakukan ialah penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab
secara sistematis terjadi pada fase kedua dan berkembang pada masa Khalifah Al-
Ma’mun (813-833 Masehi).1
Adapun di dalam makalah ini, penulis hanya akan mencoba memunculkan dan
membahas tentang Pemikiran Ibnu Rusyd dan Kitabnya, Tahafut at-Tahafut al-
Falasifah, ditinjau dari segi al-Qur’an dan al-Hadits juga tinjauan filosofisnya,
seberapa pentingkah pemikiran filosof dan kitabnya tersebut bagi kita dan
kehidupan tentunya. Adakah korelasinya sikap dan mental tersebut dengan
pemikiran Ibnu Rusyd? Atau mungkin justru pemahaman filosof ini yang dapat
merubah pemikiran mereka!.
BAB II
1
Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, Jakarta : Dian Rakyat, 2008, hal. 12-13.
2
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta :
UI-Press, 1986, hal. 314.
2
PEMIKIRAN IBNU RUSYD DAN KITABNYA
TAHAFUT AT-TAHAFUT AL-FALASIFAH
Ibnu Rusyd lahir dikota Cordova, Andalusia, Spanyol. Andalusia pada saat
itu salah satu kota peradaban Islam yang perkembangannya begitu pesat serta
banyak menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muslim besar diantaranya adalah Ibnu
Thufail. Di sisi lain, Eropa masih berada pada zaman kegelapan dan kemunduran
serta terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages),
sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban
Islam di Andalusia, telah menjadi sebuah jembatan bagi Eropa untuk mengetahui
dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia
Islam akhirnya memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa.
3
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terjemahan M. Amin Abdullah, Rajawali,
Jakarta, 1989, hal. 161
3
terutama sejak kecil Ibnu Rusyd sudah mulai nampak kecerdasan dan
kejeniusannya.
Ibnu Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada
periode puncak perkembangan filsafat Islam. Keunggulannya terletak pada
kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar
terhadap perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari
Andalusia (Spanyol) ke seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi
pokok pangkal kebangkitan bangsa-bangsa Barat.
Pada tahun 1169 M. Ibnu Tufail membawa Ibnu Rusyd (ketika itu
umurnya 43 tahun) ke hadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi
perhatian kepada bidang ilmu, yaitu Abu Ya’qub Yusuf, yang memberinya
tugas untuk menyeleksi dan mengoreksi berbagai syarah (komentar) dan tafsir
karya-karya Aristoteles, sehingga ungkapan-ungkapannya lebih kena dan
bersih dari banyak cacat, karena keteledoran transkrip maupun kekeliruan
para penulis sejarah dan penafsir lainnya. Ketika Ibnu Tufail memasuki usia
senja tahun 1182 M., Ibnu Rusyd (dalam usia 56 tahun) menempati jabatan
sebagai dokter pribadi Sultan Ya’qub di istana Marakish.
Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan eksistensinya di dunia
filsafat terlebih setelah munculnya gerakan Averroisme di Barat yang
mencoba mengembangkan gagasan-gagasan rasional Ibnu Rusyd. Averroisme
merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat
Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-
Latin.4 Pada intinya adalah Ibnu Rusyd bukan hanya dikenal di dunia Islam
saja, di Eropa pun nama beliau sudah dikenal banyak ilmwuan-ilmuwan
terlebih beliau mampu dengan sempurna mengkritik pemikiran Aristoteles.
5
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd., t.t. hal. 97
6
Ibid hal. 99
7
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal. 165-167
5
Buku apendiks mengenai ilmu qadimnya Tuhan yang terdapat dalam buku
Fashl al-Maqal
Al-Da’awi. Buku tentang hukum acara di pengadilan
Durusun fi al-Fiqh.
Buku yang membahas beberapa masalah fiqh.
dan lain-lain
Berbagai karya Ibnu Rusyd di atas merupakan karya asli dari pemikiran Ibnu
Rusyd dalam berbagai bidang, seperti; filsafat, kedokteran, fiqh/ushul fiqh,
politik dan sebagainya. Selain itu, Ibnu Rusyd juga menghasilkan karya
ulasan atau komentar terhadap karya filosof-filosof sebelumnya seperti Ibnu
Sina, Plato, Aristoteles, Galen dan Porphiry, seperti: Urjazah fi al-Thibb,
Kitab al- Hayawan, Syarh al-Sama’ wa al-A’lam, Syarah Kitab Burhan,
Talkhis Kitab al-Akhlaq li Aristhuthalis, Jawami’ Siyasah Aflathun, dan
sebagainya.8 Akan tetapi, pada makalah ini penulis hanya akan memunculkan
pemikiran Ibnu Rusyd tentang Tahafut al-Tahafut al-Falasifah.
8
Ibid hal. 31-32
9
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, penyunting; Sutardji Calzoum Bachri, Pustaka
Firdaus, cetakan kedelapan, Jakarta, 1997, hal. 108
6
kitab ini ditulis saat Ibnu Rusyd mencapai puncak kematangan rasional dan
berpikir kira-kira saat berusia 50 tahun ke atas.
Indikasi kematangan ini misalnya terlihat tatkala Ibnu Rusyd
menggunakan kata yang sama untuk nama bukunya sebagaimana Al-Ghazali,
yaitu Tahafut yang berarti kontradiksi atau keruntuhan. Ibnu Rusyd tidak
secara gamblang menyebutkan kontradiksi siapakah yang dimaksud, tetapi cukup
disebutkan dengan Tahafut at-Tahafut, bukan Tahafut Al-Ghazali. Sebab, tidak
semua asumsi Al-Ghazali dibantah oleh Ibnu Rusyd. Namun, banyak pihak
meyakini bahwa karya itu dimaksudkan atas bantahannya terhadap Al-Ghazali
yang menyatakan tentang keruntuhan filsafat. Hal serupa juga terlihat dalam
karya Al-Ghazali dengan menyebut karyanya Tahafut al-Falasifah.
Penamaan tersebut dimaksudkan Al-Ghazali untuk menyerang keprofanan
pemikiran para filusuf, terutama dalam beberapa persoalan filsafat ketuhanan dan
kosmologi. Al-Ghazali tidak menyerang keseluruhan pemikiran filsafat. Namun,
ia menganggap ada sesuatu yang salah dengan pemikiran filsafat yang
dikemukakan banyak orang pada saat itu.
Tentu saja, tidak tepat memposisikan Al-Ghazali antipati terhadap filsafat
secara total, begitu pula mengklaim bahwa Ibnu Rusyd mengkritik keseluruhan
bantahan Al-Ghazali atas filsafat. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Sulaiman
Dunya dalam pengantar atas terjemahan kitab Tahafut al-Falasifah, kitab Al-
Ghazali ini ditulisnya ketika ia dalam fase skeptis ringan (asy-Syakk al-khafif),
yakni ketika ia belum mendapatkan petunjuk pada hakikat kebenaran sejati.
Sementara itu, Ibnu Rusyd dalam karyanya ini mengungkap faktor yang
menjadi pemicu kritik Al-Ghazali atas filsafat adalah Ibnu Sina yang tidak
menjabarkan secara komprehensif terutama tentang filsafat ketuhanan dan
kosmologi. Sehingga, pada dasarnya kitab ini pun selain ditujukan sebagai
sanggahan Tahafut al-Falasifah, secara tak langsung juga membantah pemikiran
Ibnu Sina.
Berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd mengikuti
pandangan para filsuf bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaannya sendiri.
Bagi filsuf, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap terjaga ke-
esaan-Nya, karena apabila Tuhan mengetahui keberagaman segala sesuatu, berarti
Tuhan juga mempunyai keberagaman dalam diri-Nya. Jalan pikiran ini akhirnya
7
meletakkan Tuhan untuk semata-mata berada dalam dzat-Nya sendiri dan tidak
ada yang lain.10
Di dalam filsafat Ibn Rusyd, dinyatakan bahwa Tuhan tidaklah mengetahui
soal-soal juziyat sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles. Pemikiran ini
didasarkan atas argumen sebagai berikut : yang menggerakkan itu, yakni Tuhan,
merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya.
Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan
pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan
yang diketahui. Oleh karena itu pula, tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zat-
Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan
Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil, artinya bahwa
pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan ini
tidak wajar. Oleh karena itu, sudah seharusnya Tuhan tidak mengetahui selain
dzat-Nya sendiri.
Argumen Aristoteles tersebut disetujui pula oleh Ibnu Sina, namun
dibantah keras oleh Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa mereka yang
mendakwa ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada
juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa.11
Jika ditelusuri lebih jauh, terdapat perbedaan antara Ibnu Rusyd, Al-
Farabi, dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide Neo Platonisme. Ia lebih sedikit
dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia menolak ide penciptaan dari tiada dan
menetapkan keabadian materi.
Dalam kitab ini, Ibnu Rusyd menyanggah asumsi Al-Ghazali atas filsafat
yang tertuang dalam bukunya yang bertajuk Tahafut al-Falasifah. Dalam
simpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 persoalan. Tujuhbelas masalah di
antaranya oleh Al-Ghazali dikategorikan bid’ah.
Di akhir bukunya, ada tiga perkara yang disimpulkan Al-Ghazali akan
menyebabkan kepada kekufuran. Ketiga hal tersebut yaitu pendapat filsuf bahwa
alam itu azali atau qadim (eternal in the past), pendapat filusuf bahwa Tuhan tidak
10
Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, Jakarta : Dian Rakyat, 2008, hal. 38
11
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 2004. Hal. 99
8
mengetahui hal-hal partikular (juz’iyyat), dan terakhir adalah paham filusuf yang
mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menariknya, ketajaman berpikir Ibnu Rusyd dengan menggunakan akal
rasional dapat diselaraskan dengan penafsiran agama secara rasional. Sekalipun,
interpretasi yang dihasilkan tetap sejalan dengan sumber agama, yaitu Alquran
dan Sunnah. Bahkan, Ibnu Rusyd tak segan berkesimpulan dalam kajiannya dan
menegaskan bahwa para filusuflah yang mampu menguak rahasia Alquran dan
mentakwilkannya.
Ibnu Rusyd berusaha melakukan klarifikasi atas persepsi Al-Ghazali.
Pembelaan terhadap para filusuf dilakukan dengan mengklarifikasi keberadaan
filsafat dan merumuskan harmonisasinya dengan agama.
Menurut Ibnu Rusyd, syariat merupakan jalan hidup yang benar, maka
tentu menyeru mempelajari sesuatu yang benar pula. Tidak terdapat pertentangan
antara syariat dan filsafat. Bahkan, agama menyerukan umat manusia untuk
berpikir dan berfilsafat. Karena sejatinya kebenaran tidak akan berlawanan
dengan kebenaran yang lain.
Sebaliknya akan semakin menguatkan, dan jika sesuai, itu tidak ada
persoalan. Tetapi, jika berselisih, harus dilakukan takwil (interpretasi) sehingga
bisa sesuai dengan pendapat akal. Terdapat beberapa ayat yang menyerukan
penggunaan akal untuk memaksimalkan peran akal diantaranya QS Al-Hasyr: 2,
QS Al-A’raf: 185, QS Al-An’am: 75, QS Al-Ghasiyah: 17, dan QS Ali-Imran: 191.
12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002,
hal. 117
9
ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak
pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai
dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah, masing-masing golongan tersebut
mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan
ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i sesuai denngan kepercayaan
mereka.13
Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-
dalil yang meyakinkan:
a. Dalil wujud Allah.
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang
pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak
sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai
ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang
dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dan
karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya
sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang-orang khusus
yang terpelajar.
b. Dalil ‘inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan).
Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan
manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan
manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan
kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang
sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang
mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Naba’:78:6-7
13
Ibid
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, CV. Diponegoro, Bandung 2007
10
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti
ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-
tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda
mati lalu terjadi kehidupan padanya, sehingga yakin adanya Allah yang
menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak diangkasa
tunduk seluruhnya kepada ketentuan-Nya. Karena itu siapa saja yang
ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui
hakikat segala sesuatu dialam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki
pada semua realitas ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut,
diantaranya Q.S, al-Hajj: 73
ِ ض ِرب مثَل فَاس تَ ِمعوا لَه إِ َّن الَّ ِذين تَ ْدعو َن ِمن د
ون اللَّ ِه لَ ْن خَي ْلُ ُق وا ذُبَابًا ُ ْ ُ َ ُ ُ ْ ٌ َ َ ُ َّاس ُ يَا أَيُّ َها الن
ِ ِ ِ
بُ ف الطَّال َ ُض ع َ ُاب َش ْيئًا ال يَ ْس َتْنق ُذوهُ منْه ُ َاجتَ َمعُ وا لَ هُ َوإِ ْن يَ ْس لُْب ُه ُم ال ُّذب
ْ َولَ ِو
وب
ُ َُوالْ َمطْل
Artinya: Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah
olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun
mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas
sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat
itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang
disembah. (QS. Al-Hajj:7315
15
Ibid
11
Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada
perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah,
Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara yaitu tasybih
dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar
keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis
memperbandingkan dua jenis ilmu itu.
BAB III
KESIMPULAN
17
Ibid, hal. 132
13
memberikan pemahaman yang lebih obyektif terhadap filsafat Aristoteles, karena
jika dipahami lebih lanjut, filsafat Aristoteles tidak bertentangan dengan ilmu
pengetahuan.
Ibnu Rusyd juga termasuk salah satu seorang filusuf Islam yang
mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus
dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan erat
dengan akal. Walau demikian, dalam pemikirannya selalu memperhatikan konteks
kehidupan masyarakat.
Dengan keterbukaan, ia menerima dengan baik ajaran dari para filsuf
sebelumnya, dan mampu menyatakan kembali ajaran-ajaran yang diperolehnya itu
dengan jernih. Dengan ketajaman pikiran, ia dapat melakukan pembedaan,
penyaringan terhadap ajaran-ajaran yang umumnya dijumpai melalui perantara
dengan cermat, sehingga kekeliruan ajaran yang sampai kepadanya dapat
dibersihkan kembali.
Dalam pemikiran hukum, Ibnu Rusyd menggunakan metode intiqa’i, yaitu
melihat berbagai pendapat para imam madzhab beserta dalil dan metoda yang
mereka gunakan, membandingkan dan memilih salah satu yang paling kuat dan
lebih sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, CV. Diponegoro, Bandung
2007
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002
Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1995
Nasution Harun, Prof. Dr. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta : UI-Press, 1986
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terjemahan M. Amin Abdullah,
Rajawali, Jakarta, 1989
Sudarsono, Drs. SH. M.Si., Filsafat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 2004
Umar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Cet.
Pertama, Bulan Bintang, Jakarta 1979
15