Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini, tidak terbantahkan lagi kemajuan teknologi yang semakin


modern dan canggih, krisis multidimensi telah mempengaruhi berbagai dimensi
kehidupan dan kualitas sumber daya manusia (SDM), termasuk semakin
terkikisnya nilai-nilai islami pada sebagian kelompok masyarakat, ditambah lagi
dengan kuantitas dekadensi moral manusia saat ini semakin tinggi, tidak heran
akan lebih banyak lagi munculnya kepercayaan-kepercaayan yang sifatnya
menyimpang dari aturan-aturan baik al-Qur’an maupun as-Sunnah (hadits Nabi
Muhammad SAW). Sebagai akibat dari kesemerawutan tersebut, tentunya akan
memudahkan hancurnya suatu peradaban bangsa di negeri ini. Oleh karena itu,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah menata sumber daya manusia
(SDM), di samping aspek intelektual juga aspek emosional dan spiritual yang
betul-betul harus ditata sedemikian rapi dan terukur.
Tidak dapat dipungkiri bahwa, akhri-akhir ini pula marak pemahaman dan
kepercayaan yang menyimpang dari ajaran yang telah diajarkan oleh Rasulullah
hingga menjadi keyakinan pasti dan ironisnya seolah-olah ada pembiaran dari
pihak tertentu yang akhirnya bukan hanya sebatas keyakinan pasti saja selebihnya
menjadi sebuah fenomena yang lumrah dan wajar. Begitupun dengan corak
pemikiran saat ini begitu beragam. Ada beberapa kemungkinan yang
menyebabkan hal tersebut terjadi;
Pertama, adanya salah pemahaman dalam menafsirkan sebuah ayat al-
Qur’an baik ayat yang berkaitan dengan jihad, ibadah, dan lain-lain. Sebab hal itu
lebih besar pengaruhnya terhadap sikap, perilaku, dan keyakinan seseorang jika
hal tersebut (salah pemahaman) betul-betul ter-realisasikan dalam kehidupan
sehari-hari orang atau kelompok tersebut. Celakanya lagi jika hal itu terjadi, maka
akan berimbas terhadap seseorang yang dipandang kemampuan keimanannya
lemah.
Kedua, adanya usaha-usaha kelompok tertentu yang dengan sengaja dan
terrencana ingin menghancurkan generasi-generasi muslim yang lemah imannya
tersebut dengan diiming-imingi berbagai macam kebahagiaan semu.

1
Filsafat dalam Islam berkembang melalui beberapa fase. Pada fase
pertama yang dilakukan ialah penerjemahan bagian-bagian yang menarik dari
filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Penerjemahan buku-buku ke bahasa Arab
secara sistematis terjadi pada fase kedua dan berkembang pada masa Khalifah Al-
Ma’mun (813-833 Masehi).1

Pada fase ketiga muncullah filsuf-filsuf seperti berikut ini :

1. Al-Kindi (801-873 Masehi) dengan teori perdamaiannya antara wahyu dan


akal dan antara agama dan filsafat.
2. Al-Farabi (870-950 Masehi) dengan teori penciptaan alam oleh Tuhan
melalui emanasi dan teori kenabiannya.
3. Ibnu Sina (980-1073 Masehi) dengan teori ruh yang perlu bersatu dengan
tubuh manusia untuk mencapai kesempurnaan.
4. Al-Ghazali (1058-1111 Masehi) dengan kritik pedasnya terhadap kaum
filsuf seperti diuraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
5. Ibnu Miskawaih (wafat 1030 Masehi) dengan filsafat akhlaknya.
6. Ibnu Bajjah (wafat 1138 Masehi) dengan teorinya bahwa manusia dengan
menyendiri dan meditasi dapat sampai pada kebenaran seperti dijelaskan
dalam buku Tadbir al-Mutawahhid.
7. Ibnu Thufail (wafat 1185 Masehi) yang menggambar dan menjelaskan
teori Ibnu Bajjah dalam Hayy bin Yaqzhan.
8. Ibnu Rusyd (1126-1198 Masehi) dengan pembelaannya terhadap kaum
filusuf dengan membawa argumen-argumen Al-Qur’an seperti diuraikan
dalam Tahafut al-Tahafut.2

Adapun di dalam makalah ini, penulis hanya akan mencoba memunculkan dan
membahas tentang Pemikiran Ibnu Rusyd dan Kitabnya, Tahafut at-Tahafut al-
Falasifah, ditinjau dari segi al-Qur’an dan al-Hadits juga tinjauan filosofisnya,
seberapa pentingkah pemikiran filosof dan kitabnya tersebut bagi kita dan
kehidupan tentunya. Adakah korelasinya sikap dan mental tersebut dengan
pemikiran Ibnu Rusyd? Atau mungkin justru pemahaman filosof ini yang dapat
merubah pemikiran mereka!.

BAB II
1
Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, Jakarta : Dian Rakyat, 2008, hal. 12-13.
2
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta :
UI-Press, 1986, hal. 314.
2
PEMIKIRAN IBNU RUSYD DAN KITABNYA
TAHAFUT AT-TAHAFUT AL-FALASIFAH

Ibnu Rusyd lahir dikota Cordova, Andalusia, Spanyol. Andalusia pada saat
itu salah satu kota peradaban Islam yang perkembangannya begitu pesat serta
banyak menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muslim besar diantaranya adalah Ibnu
Thufail. Di sisi lain, Eropa masih berada pada zaman kegelapan dan kemunduran
serta terkungkung dalam hegemoni kekuasaan gereja (The dark middle ages),
sehingga dapat dilihat dalam konteks sejarah bahwa dengan munculnya peradaban
Islam di Andalusia, telah menjadi sebuah jembatan bagi Eropa untuk mengetahui
dan mempelajari Ilmu pengetahuan khususnya filsafat. Dengan demikian dunia
Islam akhirnya memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan di Eropa.

A. Nama Lengkap Ibnu Rusyd


Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abul Walid Muhammad Ibnu
Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Rusyd. Ia dilahirkan di kota
Cordova, Andalusia, Spanyol pada tahun 520 H/1126 M. Ia adalah seorang
filosof Islam terbesar di Eropa pada abad pertengahan, beliau mempunyai
julukan di Eropa dengan sebutan Averoes.
Keluarga Ibnu Rusyd sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh
keilmuan. Kakeknya menjabat sebagai Qadhi di Cordova dan meninggalkan
karya-karya ilmiah yang berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Ibnu
Rusyd dari kecil tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang
besar sekali perhatiannya kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab
Qanun karya Ibnu Sina dalam kedokteran dan filsafat di kota kelahirannya
sendiri.3
Kesuksesan seorang Ibnu Rusyd tidak terlepas dari pantauan, didikan,
serta bimbingan kedua orang tuanya semasa kecil. Beliau selalu dibimbing

3
Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terjemahan M. Amin Abdullah, Rajawali,
Jakarta, 1989, hal. 161

3
terutama sejak kecil Ibnu Rusyd sudah mulai nampak kecerdasan dan
kejeniusannya.
Ibnu Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada
periode puncak perkembangan filsafat Islam. Keunggulannya terletak pada
kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar
terhadap perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari
Andalusia (Spanyol) ke seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi
pokok pangkal kebangkitan bangsa-bangsa Barat.
Pada tahun 1169 M. Ibnu Tufail membawa Ibnu Rusyd (ketika itu
umurnya 43 tahun) ke hadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi
perhatian kepada bidang ilmu, yaitu Abu Ya’qub Yusuf, yang memberinya
tugas untuk menyeleksi dan mengoreksi berbagai syarah (komentar) dan tafsir
karya-karya Aristoteles, sehingga ungkapan-ungkapannya lebih kena dan
bersih dari banyak cacat, karena keteledoran transkrip maupun kekeliruan
para penulis sejarah dan penafsir lainnya. Ketika Ibnu Tufail memasuki usia
senja tahun 1182 M., Ibnu Rusyd (dalam usia 56 tahun) menempati jabatan
sebagai dokter pribadi Sultan Ya’qub di istana Marakish.
Pengaruh Ibnu Rusyd ini semakin menunjukkan eksistensinya di dunia
filsafat terlebih setelah munculnya gerakan Averroisme di Barat yang
mencoba mengembangkan gagasan-gagasan rasional Ibnu Rusyd. Averroisme
merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan penafsiran filsafat
Aristoteles yang dikembangkan Ibnu Rusyd oleh pemikir-pemikir Barat-
Latin.4 Pada intinya adalah Ibnu Rusyd bukan hanya dikenal di dunia Islam
saja, di Eropa pun nama beliau sudah dikenal banyak ilmwuan-ilmuwan
terlebih beliau mampu dengan sempurna mengkritik pemikiran Aristoteles.

B. Karya/Pemikiran Ibnu Rusyd


Sebagai komentator Aristoteles, buah pikiran Ibnu Rusyd banyak
dipengaruhi oleh filosof Yunani. Pengaruhnya dikalangan istana tidak
4
Averroisme atau al-Rusydiyah al-Latiniyyah adalah gerakan intelektual yang
berkembang di Barat (Eropa) pada abad ke-14 hingga abad ke-17. pada prinsipnya
gerakan Averroisme berusaha mengembangkan gagasan pemikiran Ibnu Rusyd yang
rasional, filosofis dan ilmiah. Averroisme mendorong lahirnya renaisance di barat yang
pada gilirannya membawa orang-orang barat pada zaman modern dengan kemajuannya
yang pesat dalam bidang filsafat, sains, dan teknologi. Lih., Harun Nasution, Islam
Rasional, Bandung, Mizan, 1995, hal. 116
4
disenangi oleh kaum ulama dan fuqaha’. Bahkan dia dituduh membawa
filsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam. Akibatnya dia ditangkap
dan dan diasingkan kesuatu tempat bernama Lucena didaerah Cordova. 5
Tindakan kaum ulama dan fuqaha’ tidak hanya sampai di situ, bahkan
membawa pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak disenangi lagi.
Semua buku Ibnu Rusyd diperintahkan untuk dibakar, kecuali mengenai ilmu-
ilmu kedokteran, matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh
negeri sebagai penyeleweng dan menjadi kafir. Setelah Ibnu Rusyd
dipindahkan ke Maroko, ia meninggal di sana pada tahun 1198 dalam usia 72
tahun.6
Di antara karya Ibnu Rusyd yang populer adalah sebagai berikut :
 Tahafut al-Tahafut Al-Falasifah.
Buku yang terkenal dalam lapangan ilmu filsafat dan ilmu kalam. Buku ini
merupakan pembelaan Ibnu Rusyd terhadap kritikan al-Ghazali terhadap
para filosof dan masalah-masalah filsafat
 Al-Kasyf ‘an Manahij al-‘Adillah fi ‘Aqaid ahl al-Millah.
Buku yang menguraikan metode-metode demonstratif yang berhubungan
dengan keyakinan pemeluk agama.
 Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid.
Buku fiqh Islam yang berisi perbandingan mażhab (aliran-aliran dalam
fiqh dengan menyebutkan alasan masing-masing).
 Fashl al-Maqal Fi Ma Baina al-Himah Wa asy-Syirah Min al-Ittishal. Buku
yang menjelaskan adanya persesuaian antara filsafat dan syari’at.7
 Al-Mukhtashar al-Mustashfa fi Ushul al-Ghazali.
Ringkasan atas kitab al-Mustashfa al-Ghazali
 Risalah al-Kharaj.
Buku tentang perpajakan
 Kitab al-Kulliyah fi al-Thibb.
Ensiklopedia kedokteran
 Dhaminah li Mas’alah al-‘Ilm al-Qadim.

5
Muhammad Iqbal, Ibnu Rusyd., t.t. hal. 97
6
Ibid hal. 99
7
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, hal. 165-167
5
Buku apendiks mengenai ilmu qadimnya Tuhan yang terdapat dalam buku
Fashl al-Maqal
 Al-Da’awi. Buku tentang hukum acara di pengadilan
 Durusun fi al-Fiqh.
Buku yang membahas beberapa masalah fiqh.
 dan lain-lain
Berbagai karya Ibnu Rusyd di atas merupakan karya asli dari pemikiran Ibnu
Rusyd dalam berbagai bidang, seperti; filsafat, kedokteran, fiqh/ushul fiqh,
politik dan sebagainya. Selain itu, Ibnu Rusyd juga menghasilkan karya
ulasan atau komentar terhadap karya filosof-filosof sebelumnya seperti Ibnu
Sina, Plato, Aristoteles, Galen dan Porphiry, seperti: Urjazah fi al-Thibb,
Kitab al- Hayawan, Syarh al-Sama’ wa al-A’lam, Syarah Kitab Burhan,
Talkhis Kitab al-Akhlaq li Aristhuthalis, Jawami’ Siyasah Aflathun, dan
sebagainya.8 Akan tetapi, pada makalah ini penulis hanya akan memunculkan
pemikiran Ibnu Rusyd tentang Tahafut al-Tahafut al-Falasifah.

C. Filsafat Ibnu Rusyd tentang Tahafut al-Tahafut al-Falasifah

Sudah pada mafhum bahwa Ibnu Rusyd merupakan seorang komentator


filosof kenamaan Eropa yaitu Aristoteles, sehingga tidak mengherankan jika
pemikiran Ibnu Rusyd sudah dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd
menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya
Aristoteles dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk
aslinya. Selain dikenal dengan sebutan Averoes, di Eropa latin, Ibnu Rusyd juga
terkenal dengan sebutan Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles.
Sebagai juru tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d’Aphrodise
(filosof yang menafsirkan filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.9
Tidak ada catatan pasti, kapan Ibnu Rusyd menulis kitab Tahafut at-
Tahafut. Tetapi yang jelas, jika menilik kitabnya yang lain, seperti Fash al-Maqal
fima baina al-Hikmati wa as-Syariati min al-Ittishal (Kata Pemutus tentang
Pertemuan Agama dan Filsafat) dan Manahij al-Adilllah (Metode Pembuktian),

8
Ibid hal. 31-32
9
Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, penyunting; Sutardji Calzoum Bachri, Pustaka
Firdaus, cetakan kedelapan, Jakarta, 1997, hal. 108
6
kitab ini ditulis saat Ibnu Rusyd mencapai puncak kematangan rasional dan
berpikir kira-kira saat berusia 50 tahun ke atas.
Indikasi kematangan ini misalnya terlihat tatkala Ibnu Rusyd
menggunakan kata yang sama untuk nama bukunya sebagaimana Al-Ghazali,
yaitu Tahafut yang berarti kontradiksi atau keruntuhan. Ibnu Rusyd tidak
secara gamblang menyebutkan kontradiksi siapakah yang dimaksud, tetapi cukup
disebutkan dengan Tahafut at-Tahafut, bukan Tahafut Al-Ghazali. Sebab, tidak
semua asumsi Al-Ghazali dibantah oleh Ibnu Rusyd. Namun, banyak pihak
meyakini bahwa karya itu dimaksudkan atas bantahannya terhadap Al-Ghazali
yang menyatakan tentang keruntuhan filsafat. Hal serupa juga terlihat dalam
karya Al-Ghazali dengan menyebut karyanya Tahafut al-Falasifah. 
Penamaan tersebut dimaksudkan Al-Ghazali untuk menyerang keprofanan
pemikiran para filusuf, terutama dalam beberapa persoalan filsafat ketuhanan dan
kosmologi. Al-Ghazali tidak menyerang keseluruhan pemikiran filsafat. Namun,
ia menganggap ada sesuatu yang salah dengan pemikiran filsafat yang
dikemukakan banyak orang pada saat itu.
Tentu saja, tidak tepat memposisikan Al-Ghazali antipati terhadap filsafat
secara total, begitu pula mengklaim bahwa Ibnu Rusyd mengkritik keseluruhan
bantahan Al-Ghazali atas filsafat. Sebab, sebagaimana dijelaskan oleh Sulaiman
Dunya dalam pengantar atas terjemahan kitab Tahafut al-Falasifah, kitab Al-
Ghazali ini ditulisnya ketika ia dalam fase skeptis ringan (asy-Syakk al-khafif),
yakni ketika ia belum mendapatkan petunjuk pada hakikat kebenaran sejati.
Sementara itu, Ibnu Rusyd dalam karyanya ini mengungkap faktor yang
menjadi pemicu kritik Al-Ghazali atas filsafat adalah Ibnu Sina yang tidak
menjabarkan secara komprehensif terutama tentang filsafat ketuhanan dan
kosmologi. Sehingga, pada dasarnya kitab ini pun selain ditujukan sebagai
sanggahan Tahafut al-Falasifah, secara tak langsung juga membantah pemikiran
Ibnu Sina.
Berhubungan dengan pengetahuan Tuhan, Ibnu Rusyd mengikuti
pandangan para filsuf bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaannya sendiri.
Bagi filsuf, pandangan ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap terjaga ke-
esaan-Nya, karena apabila Tuhan mengetahui keberagaman segala sesuatu, berarti
Tuhan juga mempunyai keberagaman dalam diri-Nya. Jalan pikiran ini akhirnya

7
meletakkan Tuhan untuk semata-mata berada dalam dzat-Nya sendiri dan tidak
ada yang lain.10
Di dalam filsafat Ibn Rusyd, dinyatakan bahwa Tuhan tidaklah mengetahui
soal-soal juziyat sebagaimana yang diungkapkan oleh Aristoteles. Pemikiran ini
didasarkan atas argumen sebagai berikut : yang menggerakkan itu, yakni Tuhan,
merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya.
Oleh karena itu, pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan
pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan
yang diketahui. Oleh karena itu pula, tidak mungkin Tuhan mengetahui selain zat-
Nya sendiri. Sebab tidak ada suatu zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan menjadi sebab untuk adanya pengetahuan
Tuhan. Jadi, kalau Tuhan mengetahui hal-hal yang kecil, artinya bahwa
pengetahuan Tuhan itu disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan ini
tidak wajar. Oleh karena itu, sudah seharusnya Tuhan tidak mengetahui selain
dzat-Nya sendiri.
Argumen Aristoteles tersebut disetujui pula oleh Ibnu Sina, namun
dibantah keras oleh Al-Ghazali. Menurut Ibnu Rusyd, bahwa mereka yang
mendakwa ahli-ahli filsafat itu ialah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada
juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa.11
Jika ditelusuri lebih jauh, terdapat perbedaan antara Ibnu Rusyd, Al-
Farabi, dan Ibnu Sina pada pengaruh ide-ide Neo Platonisme. Ia lebih sedikit
dipengaruhi oleh ide Neo Platonisme. Ia menolak ide penciptaan dari tiada dan
menetapkan keabadian materi.
Dalam kitab ini, Ibnu Rusyd menyanggah asumsi Al-Ghazali atas filsafat
yang tertuang dalam bukunya yang bertajuk Tahafut al-Falasifah. Dalam
simpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 persoalan. Tujuhbelas masalah di
antaranya oleh Al-Ghazali dikategorikan bid’ah.
Di akhir bukunya, ada tiga perkara yang disimpulkan Al-Ghazali akan
menyebabkan kepada kekufuran. Ketiga hal tersebut yaitu pendapat filsuf bahwa
alam itu azali atau qadim (eternal in the past), pendapat filusuf bahwa Tuhan tidak

10
Abuhasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, Jakarta : Dian Rakyat, 2008, hal. 38
11
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 2004. Hal. 99
8
mengetahui hal-hal partikular (juz’iyyat), dan terakhir adalah paham filusuf yang
mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menariknya, ketajaman berpikir Ibnu Rusyd dengan menggunakan akal
rasional dapat diselaraskan dengan penafsiran agama secara rasional. Sekalipun,
interpretasi yang dihasilkan tetap sejalan dengan sumber agama, yaitu Alquran
dan Sunnah. Bahkan, Ibnu Rusyd tak segan berkesimpulan dalam kajiannya dan
menegaskan bahwa para filusuflah yang mampu menguak rahasia Alquran dan
mentakwilkannya.
Ibnu Rusyd berusaha melakukan klarifikasi atas persepsi Al-Ghazali.
Pembelaan terhadap para filusuf dilakukan dengan mengklarifikasi keberadaan
filsafat dan merumuskan harmonisasinya dengan agama.
Menurut Ibnu Rusyd, syariat merupakan jalan hidup yang benar, maka
tentu menyeru mempelajari sesuatu yang benar pula. Tidak terdapat pertentangan
antara syariat dan filsafat. Bahkan, agama menyerukan umat manusia untuk
berpikir dan berfilsafat. Karena sejatinya kebenaran tidak akan berlawanan
dengan kebenaran yang lain.
Sebaliknya akan semakin menguatkan, dan jika sesuai, itu tidak ada
persoalan. Tetapi, jika berselisih, harus dilakukan takwil (interpretasi) sehingga
bisa sesuai dengan pendapat akal. Terdapat beberapa ayat yang menyerukan
penggunaan akal untuk memaksimalkan peran akal diantaranya QS Al-Hasyr: 2,
QS Al-A’raf: 185, QS Al-An’am: 75, QS Al-Ghasiyah: 17, dan QS Ali-Imran: 191.

D. Pemikiran Ibnu Rusyd ditinjau dari segi al-Qur’an


Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum
Islam yang pertama dan utama dalam setiap dimensi kehidupan. Dalam
masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak
Pertama (muharrik al-awwal). Sifat positif yang dapat diberikan kepada Allah
ialah ”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud  Allah ialah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-
an tidak berbeda dari zat-Nya.12
Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan
pengaruh Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan
agama Islam yang dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan

12
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002,
hal. 117
9
ajaran Islam, tetapi menamakan Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak
pernah dijumpai dalam pemahaman Islam sebelumnya, hanya di jumpai
dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan Ibnu Sina.
Dalam pembuktian adanya Tuhan, golongan Hasywiyah, Shufiah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan falasifah, masing-masing golongan tersebut
mempunyai keyakinan yang berbeda satu sama lainnya, dan menggunakan
ta’wil dalam mengartikan kata-kata Syar’i sesuai denngan kepercayaan
mereka.13
Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-
dalil yang meyakinkan:
a. Dalil wujud Allah.
Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang
pernah dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak
sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Syara’, baik dalam berbagai
ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang
dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dan
karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya
sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang-orang khusus
yang terpelajar.
b. Dalil ‘inayah al-Ilahiyah  (pemeliharan Tuhan).
Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan
manusi. Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan
manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan
kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang
sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana. Ayat suci yang
mendukung dalil tersebut, diantaranya Q.S, al-Naba’:78:6-7

}٧{ ‫} َواجْلِبَ َال اَوتَ ًادا‬٦{ ‫رض ِمهٰ ًدا‬


َ َ ‫اَمَلْ جَنْ َع ِل ااْل‬
Artinya:  Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?,
dan gunung-gunung sebagai pasak? (QS. Al-Naba:6-7)14

c. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan).

13
Ibid
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, CV. Diponegoro, Bandung 2007
10
Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti
ciptaan pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-
tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda
mati lalu terjadi kehidupan padanya, sehingga yakin adanya Allah yang
menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak diangkasa
tunduk seluruhnya kepada ketentuan-Nya. Karena itu siapa saja yang
ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui
hakikat segala sesuatu dialam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki
pada semua realitas ini. Ayat suci yang mendukung dalil tersebut,
diantaranya Q.S, al-Hajj: 73

ِ ‫ض ِرب مثَل فَاس تَ ِمعوا لَه إِ َّن الَّ ِذين تَ ْدعو َن ِمن د‬
‫ون اللَّ ِه لَ ْن خَي ْلُ ُق وا ذُبَابًا‬ ُ ْ ُ َ ُ ُ ْ ٌ َ َ ُ ‫َّاس‬ ُ ‫يَا أَيُّ َها الن‬
ِ ِ ِ
‫ب‬ُ ‫ف الطَّال‬ َ ُ‫ض ع‬ َ ُ‫اب َش ْيئًا ال يَ ْس َتْنق ُذوهُ منْه‬ ُ َ‫اجتَ َمعُ وا لَ هُ َوإِ ْن يَ ْس لُْب ُه ُم ال ُّذب‬
ْ ‫َولَ ِو‬
‫وب‬
ُ ُ‫َوالْ َمطْل‬
Artinya:  Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah
olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain
Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun
mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas
sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat
itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang
disembah. (QS. Al-Hajj:7315

d. Dalil Harkah (Gerak.) D


alil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil
yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh
Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap
dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak
berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada
yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak
bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan
tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh
Aristoteles bahwa gerak itu qadim.
e. Sifat-sifat Allah.

15
Ibid
11
Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada
perbedaan alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah,
Ibn Rusyd mengatakan, orang harus menggunakan dua cara yaitu tasybih
dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar
keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis
memperbandingkan dua jenis ilmu itu.

E. Pemikiran Ibnu Rusyd ditinjau dari segi al-Hadits


Keberadaan dan perkembangan ilmu-ilmu Islam dimulai sejak
kerasulan Nabi Muhammad SAW. Pusaran ilmu itu ialah al-Qur’an dan as-
Sunnah atau hadis yang kemudian melahirkan berbagai cabang ilmu. Situasi
ini didukung oleh perkembangan bahasa Arab yang telah digunakan jauh
sebelum masa kerasulan Nabi Muhammad SAW, sehingga posisi bahasa Arab
mengambil peran penting bagi perkembangan ilmu Islam selanjutnya.
Kondisi seperti ini disebabkan oleh sumber ilmu Islam yang menggunakan
bahasa Arab sebagai medium komunikasi ke wilayah publik.
Adanya ekspansi umat Islam keberbagai wilayah turut memperkaya
khazanah intelektual muslim. Berbagai keilmuan Islam-pun lahir sebagai
bagian dari proses interaksi Islam dengan budaya-budaya lain, seperti Yunani,
Persia, India, dan lain sebagainya. Lahirnya bidang keilmuan seperti filsafat,
ilmu kalam [teologi Islam], dan tasawuf tidak bisa dilepaskan dari interaksi-
interaksi tersebut.
Berikut ini akan dipaparkan dinamika beberapa varian pemikiran Islam,
yang merupakan khazanah [turats] Islam yang senantiasa harus terus
dipelihara dan dijaga keberadaannya serta dikembangkan sesuai dengan
perubahan yang menyertai perputaran.
Kepercayaan bahwa manusia memiliki tiga dimensi, yaitu badan, akal,
dan ruh.16 Kemajuan, kebahagiaan, dan kesempurnaan kepribadian manusia
banyak bergantung kepada keselarasan dan keharmonisan antara tiga dimensi
pokok tersebut.
Sebagai agama fitrah, agama yang seimbang dan moderat dalam serba-
serbinya, Islam tidak hanya mengakui saja wujud tiga dimensi pokok dalam
Umar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. Pertama,
16

Bulan Bintang, Jakarta 1979, hal. 130


12
watak manusia. Malah Islam bertindak meneguhkan dan memantapkan lagi
bentuk wujudnya. Sebab manusia menurut Islam bukan lembaga tubuhnya,
atau hanya akal, atau hanya ruh saja, akan tetapi keseluruhan itu semua setiap
unsur saling melengkapi.
Islam tidak dapat menerima kekuatan material yang tidak disertai oleh
iman, belas-kasihan dan akhlak. Ia tidak melihat manusia itu menjadi raksasa
dalam aspek materialnya tetapi kerdil dalam aspek rohaninya. Islam juga
tidak dapat membenarkan akal merajalela, atau ilmu-ilmu menguasai
kehidupan tanpa kendali, atau berkembangnya faham kebendaan yang sempit.
Oleh karena itu, Islam berpendapat bahwa manusia hanya akan maju
dengan adanya iringan akal dan ruh, atau ilmu dan iman. Allah SWT.
berfirman :
“Tuntutan kehidupan akhirat dengan apa yang dikaruniakan oleh Allah
kepadamu dan jangan lupa bagian duniamu” (al-Qashash : 77)

Rasulullah SAW. bersabda :


ِ ِ
‫ك َحقًّا‬ َ ِ‫ا َّن لبَ َدن‬
َ ‫ك َعلَْي‬
“Sesungguhnya badanmu punya hak tertentu atasmu”
Beliau bersabda lagi :
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫ك َحقًّا فَأٰت ُك َّل ذ ْى َح ٍّق َحقَّه‬ َ ‫ك َحقًّا َواِل َ ْهل‬
َ ‫ك َعلَْي‬ َ ‫ك َحقًّا َولَن ْف ِس‬
َ ‫ك َعلَْي‬ َ ِّ‫ا َّن لَرب‬
َ ‫ك َعلَْي‬
“Sesungguhnya Tuhanmu punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu,
keluargamu ada ha katas dirimu, maka berikanlah yang berhak akan
haknya”17

BAB III
KESIMPULAN

Ibnu Rusyd adalah seorang pemikir yang berupaya melakukan berbagai


usaha pembelaanya terhadap  filsafat dengan menyatakan bahwa antara filsafat
dan syariat tidaklah bertentangan. Terhadap filsafat Aristoteles, ia berupaya untuk

17
Ibid, hal. 132
13
memberikan pemahaman yang lebih obyektif terhadap filsafat Aristoteles, karena
jika dipahami lebih lanjut, filsafat Aristoteles tidak bertentangan dengan ilmu
pengetahuan.
Ibnu Rusyd juga termasuk salah satu seorang filusuf Islam yang
mementingkan akal daripada perasaan. Menurutnya semua persoalan agama harus
dipecahkan dengan kekuatan akal. Dalam hal ini termasuk ayat-ayat berkaitan erat
dengan akal. Walau demikian, dalam pemikirannya selalu memperhatikan konteks
kehidupan masyarakat.
Dengan keterbukaan, ia menerima dengan baik ajaran dari para filsuf
sebelumnya, dan mampu menyatakan kembali ajaran-ajaran yang diperolehnya itu
dengan jernih. Dengan ketajaman pikiran, ia dapat melakukan pembedaan,
penyaringan terhadap ajaran-ajaran yang umumnya dijumpai melalui perantara
dengan cermat, sehingga kekeliruan ajaran yang sampai kepadanya dapat
dibersihkan kembali.
Dalam pemikiran hukum, Ibnu Rusyd menggunakan metode intiqa’i, yaitu
melihat berbagai pendapat para imam madzhab beserta dalil dan metoda yang
mereka gunakan, membandingkan dan memilih salah satu yang paling kuat dan
lebih sesuai.

DAFTAR PUSTAKA

 Abu Hasan Asy’ari, Ibnu Rusyd, Jakarta : Dian Rakyat, 2008


 Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, penyunting; Sutardji Calzoum Bachri,
Pustaka Firdaus, cetakan kedelapan, Jakarta, 1997
 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996

14
 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemah, CV. Diponegoro, Bandung
2007
 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2002
 Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung, Mizan, 1995
 Nasution Harun, Prof. Dr. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta : UI-Press, 1986
 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, Terjemahan M. Amin Abdullah,
Rajawali, Jakarta, 1989
 Sudarsono, Drs. SH. M.Si., Filsafat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 2004
 Umar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Cet.
Pertama, Bulan Bintang, Jakarta 1979

15

Anda mungkin juga menyukai