Anda di halaman 1dari 4

A.

Ibnu Rusyd (420-595 H/1126-1198 M)


Ibnu Rusyd adalah filsuf muslim yang terakhir muncul di dunia Islam belahan
barat. Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad Ibnu Rusyd, memiliki
nama kunyah Abu al-Walid, Oleh orang Perancis, Ibnu Rusyd dipanggil dengan
sebutan Averroes, sehingga di dunia barat, dia populer dengan sebutan Averroes. Ia
lahir di Kordoba pada tahun 520 H/1126 M dari keluarga hakim, dan wafat di
Maralesy (Maroko) pada tahun 595 H/1198 M.1
Ibnu Rusyd berasal dari keluarga ilmuwan. Ayah dan kakeknya adalah pecinta
ilmu, dan merupakan ulama yang sangat disegani di Andalusia pada masanya.
Ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad bin Muhammad (1083-1169 M./ 487-563 H),
seorang ahli fiqih dan pernah menjadi hakim di Cordova, sementara kakeknya,
Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd al-Faqih (1058-1126 M./ 450-520 H), ahli fiqih
mazhab Maliki, dan Imam masjid Cordova, serta pernah menjabat sebagai hakim
agung di Andalus. Derajat ilmuwan mengalir dalam tubuh Ibn Rusyd, sehingga ia pun
tumbuh menjadi seorang ilmuwan di segala bidang, yakni sebagai ahli hukum Islam
(faqih), dokter, ahli matematika, astronom, filosof, dan sebagainya. Ibn Rusyd juga
pernah menjadi hakim dan qadhi al-qudhat di andalusia.2
Pokok pikiran Ibn Rusyd yang paling istimewa ialah menghubungkan antara
agama (wahyu) dan filsafat (akal) atau secara kasarnya mempertemukan antara
Aristoteles dan Muhammad. Usaha rekonsiliasi ini dipandang ciri terpenting dalam
filsafat Islam. Menurut Ibn Rusyd, filsafat adalah mempelajari segala yang wujud
(maujudat) dan merenungkan sebagai suatu bukti tentang adanya Pencipta.
Ibn Rusyd menjelaskan bahwa segala yang ada ini sebagai suatu ciptaan
menujukkan adanya Penciptanya. Untuk mengetahui Pencipta tersebut harus
mengetahui ciptaan atau sunatullah-Nya. Justru itulah menurut Ibn Rusyd semakin
sempurna pengetahuan terhadap ciptaan-Nya niscaya semakin sempurna pula
pengetahuan tentang Sang Pencipta. Menurut Ibn Rusyd antara filsafat dan agama
tidak bertentangan, karena kebenaran tidaklah berlawanan dengan kebenaran tetapi
saling memperkuat. Dengan kata lain, filsafat adalah saudara agama, antara filsafat
dengan agama seperti halnya sahabat yang pada hakikatnya saling mencintai.3

1
Amroeni Drajat, Filsafat Islam (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2006),p.73.
2
Muhammad Thoyyib Madani, Ibnu Rusyd Dan Kontribusi Pemikirannya Terhadap Perkembangan
Ilmu Fiqih, Jurnal Kabilah Vol. 2 No. 1 Juni 2017,p.43.
3
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2014),p.252.
Ibnu Rusyd adalah pendiri pikiran merdeka sehingga khayalinya di atas atap
gereja Syktien di Vatikan karena ia dipandang sebagai filsuf free thinker. Dante dalam
Divine Comedia-nya menyebutnya “Sang Komentator” karena dia dianggap
komentator terbesar Aristoteles.4 Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan
jika pemikiran Ibnu Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani Kuno. Ibnu Rusyd
menghabiskan waktunya untuk membuat syarah atau komentator atas karya-karya
Aristoteles, dan berusaha mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya.
Di Eropa latin, Ibnu Rusyd terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru
tafsir Aristoteles.5
Beberapa ahli berpendapat, dari sekian banyak karya Ibn Rusyd yang bisa
diambil sebagai spirit perumusan dan pengembangan fikih emansipatoris, adalah tiga
bukunya Fashl al-Maql, al-Kashf `an Manhij al-Adillah dan Tahfut al-Tahfut (ditulis
berturut-turut pada tahun 1178, 1179, dan 1180) merupakan karya terpenting. Ketiga
buku ini memuat pandangan kontroversial Ibn Rusyd yang pernah menggemparkan
dunia Eropa pertengahan abad ke-13.
1.Kitab Fashl Al Maqal fima Baina Al Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal
(Kaitan Filsafat dengan Syariat) yang isinya menguraikan adanya keselarasan antara
agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan.
2. Kitab Al-Kasyf an Manahij al-Adillah fa `Aqaid al-Millah (Menyingkap berbagai
metode argumentasi ideologi agama-agama) yang menjelaskan secara terinci masalah-
masalah akidah yang dibahas oleh para filsuf dan teolog Islam.
3.Tahafut al-Tahafut (Kerancuan dalam kitab kerancuan karya al-Ghazali) yang
kandungan isinya membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan
al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan filsafat-filsafat kaum
Filosof).
4. Buku lainnya yang juga penting dalam bidang hukum Islam/fiqh, adalah Bidayah
al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid). Buku ini merupakan suatu studi
perbandingan hukum Islam, di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan
mengemukakan pendapat imam-imam mazhab.6

4
Ahmad Zainal Abidin, Riwayat hidup Ibn Rusyd ( Averroes) Filosof Islam Barat (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), p, 31.
5
Faturohman, Ibnu Rusyd dan pemikirannya, Jurnal Tsawarah Vol. 1 No. 1 (Januari-Juni), 2016,p.113
6
Rossi Delta Fitrianah, Ibn Rusyd (Averroisme) dan pengaruhnya di barat, Jurnal El-Afkar Vol. 7
Nomor 1, Januari-Juni,2018,p.20.
B. Nashiruddin ath-Thusi
Nashiruddin ath-Thusi lahir pada abad ke-13 M, masa ketika dunia Islam
diinvasi Mongol di bawah pimpinan Jenghis Khan (1206-1227). Salah satu guru Tusi,
Attar Nishapur, gugur dibunuh pasukan Mongol.Nashiruddin ath-Thusi sudah menjadi
anak yatim sejak usia muda. Sebelum wafat, sang ayah berpesan kepadanya untuk
menempuh pendidikan setinggi mungkin. Maka, sejak saat itu, Tusi tidak lelah untuk
mempelajari segala sesuatu, menimba ilmu kepada banyak guru.
Nashiruddin ath-Thusi menerima pendidikan pertamanya di kota tempat ia
lahir, Tus. Guru pertamanya bernama Kamal al-Din ibnu Yunus. Sejak kecil, Tusi
digembleng ilmu agama, seperti fiqih, ushul fiqih, hikmah, dan kalam, terutama
pemikiran Ibnu Sina dari Mahdar Fariduddin Damad dan matematika dari Muhammad
Hasib. Dari kampung halamannya, Tusi pindah ke Nishapur (masih termasuk Persia)
untuk belajar filsafat di bawah Farid al-Din Damad. Selain itu, ilmu matematika
didapatnya dari Muhammad Hasib. Nashiruddin ath-Thusi juga mempelajari sufi dan
teologi dari Attar Nishapur.
Setelah menuntaskan pendidikan di Nihshapur, Nashiruddin ath-Thusi pergi
ke Baghdad (kini Irak) yang pernah menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan
pada masa puncak keemasan peradaban Islam. Selama di Baghdad, Tusi
memperdalam lagi keilmuwannya dengan berguru kepada beberapa orang, termasuk
ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutbuddin, juga matematika dari Kamaluddin bin
Yunus, serta fiqih dan ushul dari Salim bin Bardan.
Dari situlah Nashiruddin ath-Thusi kemudian mendedikasikan sepanjang
hidupnya untuk mengembangkan berbagai ilmu pengetahuan seperti astronomi,
biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, seni, hingga ilmu agama Islam.7
Nasiruddin Al-Thusi merupakan seorang filosof yang pemikirannya
sangat berpengaruh tidak hanya pada tatanan pemikiran Islam, melainkan juga
mempengaruhi pemikiran-pemikiran masyarakat non-Islam di Barat. Filsosofi
yang digagas Al-Thusi didominasi oleh pemikiran mengenai alam metafisika yang
diiringi dengan pemahaman fikih. Tujuannya tidak lain adalah sebagai upaya dalam
membentuk kebijaksanaan dalam berpikir. Bagi Al-Thusi hukum fikih secara adat
masih terdapat banyak sekali perselisihan dan usaha yang dapat dilakukan untuk

7
Nurul Azizah, Biografi Nashiruddin ath-Thusi: Sejarah Pemikiran Ilmuwan Astronomi, diakses pada
https://tirto.id/biografi-nashiruddin-ath-thusi-sejarah-pemikiran-ilmuwan-astronomi-gry8 tanggal 05/03/2023
jam 10.52 WIB
dapat menyelesaikan persoalan tersebut adalah dengan mamadukan cara berpikir fiqih
dengan filsafat.
Selain fiqih, pemikiran filsafat Al-Thusi juga menggarap wilayah etika.
Seseorang dengan taraf keilmuan yang tinggi, namun minim dalam hal etika tidak
akan pernah mencapai kepada kesempurnaan. Etika memberikan pemahaman kepada
manusia mengenai batasan-batasan yang harus di taati demi mencapai kesejahteraan
bersama. Dengan demikian dalam pemkiran Al-Thusi, filsasat etika menjadi
komponen yang penting sebagai alat untuk dapat memudahkan para kaum
cendekiawan dalam menyaring setiap tingkah laku dan perbuatan, supaya tidak
menyimpang dari kemaslahatan umat.
Dalam bidang sosial politik, Al-Thusi lebih banyak memberikan pengertian
mengenai cara membentuk pemerintahan melalui pengoptimalan dalam tatanan
masyarakat. Pemikiran Al-Thusi mengenai politik benyak dipengaruhi oleh filsuf
Aristoteles, yang lebih menekankan prinsip demokrasi yang memberikan kebebasan
kepada rakyat untuk dapat menyampaikan aspirasi kepada penguasa.
Pada tahapan kemanusiaan, Al-Thusi menyertakan dua macam akhlak sehat.
Yang pertama akhlak sehat yang sudah ada sejak manusia diciptakan (akhlak sehat
secara fitrah). Yang keduaakhlak sehat secara syariat (akhlak sehat yang timbul
melalui pembelajaran dan pemahaman berdasarkan agama). Dengan demikian
maka jelaslah bahwa Al-Thusi adalah seorang filsuf multitalenta yang
memusatkan perhatiannya kepada berbagai macam disiplin ilmu, dan sikap
seperti inilah yang menjadi jalan bagi kaum mulimin untuk dapat membuka
jalan kemajuan agama Islam.8

8
Tartilla Yazofa, Indra Harahap, dkk, Pemikiran Nasiruddin Al-Thusi tentang Filsafat Islam, Jurnal
Pemikiran Tambusai Vol. 7 No. 1 Tahun 2023,p.2408.

Anda mungkin juga menyukai