Anda di halaman 1dari 25

REVIEW BUKU

JALAN HIDUP SUNAN GUNUNG JATI KARYA DR. EMAN SURYAMAN,M.M.

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Historiografi Islam

Dosen Pengampu : Nandang Sunandar, M.A

Di Susun oleh :

May Mauliawati 201350059

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN ADAB

UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

TAHUN AKADEMIK
2022
1.2 Identitas Buku

Judul : Jalan Hidup Sunan Gunung Jati: Sejarah Faktual dan


Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita Raja

Penulis : Dr. Eman Suryaman,M.M

Pengantar : Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj,M.A

Penerbit : Nuansa Cendekia

Tahun Terbit : 2015

Halaman : 220

2.2 Pendahuluan

Buku yang terdiri dari 5 Bab ini berisi sebuah catatan penting
sejarah bangsa Indonesia yang memuat kisah hidup Sunan Gunung Jati, Ia
seorang tokoh faktual, yang konstribusi gagasan dan kepemimpinannya

1
sanggup mengahadirkan pesona peradaban agung di tanah Jawa. Beragam
terobosan pemikiran dan strateginya dalam mengurus masyarakat menjadi
kekayaan berharga untuk diserap dalam membangun karakter generasi
muslim. Juga sangat menarik dijadikan sumber sejarah bagi siapa saja yang
mencintai keilmuan bidang budaya, sosial, politik, dan agama.

Saat membaca buku ini kita akan paham kemampuan manajerial


Sunan Gunung Jati sebagai seorang raja dibarengi dengan usaha yang tidak
mengenal lelah untuk melakukan perjalanan dakwah serta
kepemimpinannya yang sukses karena mampu mendialogkan universalitas
Islam dengan nilai-nilai budaya lokal. Tindakan dan pemikiran Sunan
Gunung Jati merupakan sebuah pola yang mesti menjadi inspirasi bagi
gerakan dan tindakan-tindakan kita sekarang ini, terutama dalam
menyiarkan Islam rahmatan lil-‘alamiin di bumi Nusantara.

3.2 Pembahasan

a) BAB I : Pendahuluan

Pada awal paragraf disinggung soal Indonesia yang krisis


multidimensional seperti krisis identitas. Lalu penulis membahas kenapa
Sultan Gunung Jati dijadikan sentral kajian untuk buku ini, karena Sunan
Gunung Jati bisa menjadi contoh teladan konsep kepemimpinan yang mampu
membuat negeri ini berdiri menjadi bangsa yang maju dan bermoral. Jadi,
setelah membaca Bab I ini reviewer mendapat gambaran dalam penulisan
buku ini adalah mengkaji sosok Sunan Gunung Jati dari segi kepemimpinan.

b) BAB II : Profil ketokohan Sunan Gunung Jati

 Sejarah hidup dan silsilah keturunan Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati lahir di Mesir pada 1448 M dengan nama Syarif
Hidayat atau Syarif Hidayatullah. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang
sangat religius dan terhormat. Dari sisi ayah, ia merupakan keturunan raja

2
Mesir yang bernama Syarif Abdullah dengan gelar Sultan Mahmud,
sedangkan ibunya bernama Nyai Rara Santang juga seorang keturunan
“darah biru” karena ia adalah putri Prabu Siliwangi. 1

Nah, Prabu Siliwangi yang merupakan kakek Sunan Gunung Jati


adalah seorang Hindu. Dalam buku ini saya menjadi tahu bahwa Prabu
Siliwangi menikah dengan Nyai Subang Larang dengan cara adu jurit
dengan Prabu Amuk Marugul yang kemudian dimenangkan oleh Raden
Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi. Saat menikahi Nyai Subang Larang,
Prabu Siliwangi masih beragama hindu. Dalam buku (Walisongo the
wisdom: Syiar 9 Wali 1 Abad 138-139) terdapat syarat pernikahan yakni ia
tidak boleh mengugat keyakinan Nyai Subang Larang (Islam) dan
keturunannya kelak harus beragama islam, namun di buku yang saya review
yang mengajukan syarat pernikahan adalah gurunya Nyai Subang Larang
yaitu Syaikh Hasanuddin. Namun saat saya searching di internet, ada
pendapat yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi masuk Islam saat
menikah Nyai Subang Larang. Tapi, pendapat itu belum terbukti
kebenarannya, karena dari dua buku yang saya baca Prabu Siliwangi masih
beragama Hindu.2

Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Larang,


lahirlah tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Rara Santang,
dan Raja Sengsara. Setelah kematian ibunya, Raden Walangsungsang
meninggalkan istana untuk pengembaraan dan memperdalam ilmu agama
Islam yang kemudian disusul adiknya Nyai Rara Santan. Dua bersaudara
tersebut bertemu di Gunung Merapi.3

Dalam pernyataan diatas dapat saya simpulkan bahwa Raden


Wulangsangsung dan Adiknya Nyai Rara Santang, sangat mencintai Ilmu
1
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.24
2
Dian Noviyanti, Walisongo, The Wisdom (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2019),p.138
3
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.25

3
Agama sehingga rela mengembara meninggalkan kenyamanan istana,
padahal Raden Wulangsangsung sudah ditetapkan sebagai Putra Mahkota.

Raden Walangsungsang dan adiknya tinggal di rumah Syaikh


Bayanullah, adik Syaikh Datuk Kahfi atau Syaikh Nurjati. Kemudian ia dan
adiknya berguru kepada Syaikh Abu Yazid. Di sini, terjadi sebuah peristiwa
penting, Nyai Rara Santang, diperistri oleh raja Mesir yang bernama
Maulana Sultan Mahmud dan bergelar Syarif Abdullah dari suku Bani
Hasyim putra Nurul Alim yang memerintah kota Ismailiyah dan wilayah
Palestina. Pada masa itu, seluruh negara Arab berada di bawah kekuasaan
Turki Usmani. Setelah menikah, Nyai Rara Santang diberi gelar Hj.
Syarifah Mudaim, dan kakaknya, Raden Walangsungsang, diberi gelar Haji
Abdullah Iman.4

Tentang keluarga Sunan Gunung Jati, diperoleh keterangan bahwa ia


mempunyai enam orang istri dan tujuh orang anak. Istri-istrinya adalah
sebagai berikut:

1.Nyai Babadan, putri Ki Gedheng Babadan.

2. Nyai Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuana.

3. Nyai Kuwunganten, adik Adipati Banten.

4.Ong Tien, seorang putri Cina.

5.Nyai Lara Bagdad.

6.Nyai Tepasari, putri Ki Gedheng Tepasari dari Majapahit. 5

Dalam paragraf ini menyebutkan Sunan Gunung Jati mempunyai


tujuh anak, namun pada paragraf berikutnya hanya menuliskan enam orang

4
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.29
5
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.30

4
anak, hal ini dikarenakan salah satu anak tersebut dari hasil pernikahan
Sunan Gunung Jati dengan putri Cina namun anaknya telah meninggal sejak
kecil dan belum ada nama. Maka bisa dikatakan hanya memilki enam anak
saja dari istri ketiga, kelima dan keenam yang masing-masing istrinya
melahirkan dua orang putra dan putri. Adapun putra-putri Sunan Gunung
Jati adalah sebagai berikut:

1. Ratu Winaon

2. Pangeran Sabakingking atau Pangeran Hasanuddin

3. Pangeran Jaya Kelana

4. Pangeran Brata Kelana

5. Nyai Ratu Ayu

6. Pangeran Muhammad Arifin atau Pangeran Pasarean. 6

Buku yang didasarkan pada babad dan historiografi ini dengan gaya
penulisan yang mengalir mampu merekontruksi silsilah Sunan Gunung Jati
buktinya pada subtema dalam bab dua kita dapat mengetahui secara runtut
informasi Kakek Nenek Sunan Gunung Jati, lalu pertemuan antara ayah dan
ibunya dan berakhir ke daftar istri-istri dan anak-anaknya Sunan Gunung
Jati.

Pada sub tema ini juga dijelaskan bahwa Sunan Gunung Jati dan
Falatehan adalah dua orang yang berbeda. Falatehan atau nama aslinya
Fadhil Khan adalah menantu Sunan Gunung Jati yang menikahi anaknya
bernama Ratu Ayu. Falatehan adalah panglima yang merebut Sunda Kelapa
dari tangan Portugis. Pada sampai akhir subtema ini juga tidak diberikan
pernyataan tentang masuk islamnya Prabu Siliwangi.

6
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.30

5
 Pengalaman Belajar Sunan Gunung Jati

Ketika berumur 20 tahun, Sunan Gunung Jati meminta izin kepada


Ibunya untuk pergi ke Makkah guna mempelajari ilmu Agama Islam.
Melihat tekadnya yang kuat maka ibunya mengizinkannya untuk menggapai
cita-citanya. Atas restu sang ibu, Syarif Hidayat berangkat ke satu arah, dan
tak lupa Ia mampir di Madinah untuk berziarah ke makam Rasulullah. 7

Kata “satu arah” dalam kalimat diatas harus dipahami secara


metaforik supaya esensinya dapat dipahami. Satu arah disini tidak mengacu
ke suatu tempat dalam pengertian fisik materi, tapi merupakan pengertian
yang bersifat ruhani.

Corak Islam di Cirebon, selain bernuansa Sufistik, juga dipengaruhi


oleh pemahaman Syi’ah. Pengaruh Syi’ah ini terlihat pada penulisan
silsilah Sunan Gunung Jati yang dikaitkan Rasulullah, Fatimah, Ali bin Abi
Thalib, Hasan, Husain, Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Ja’far ash-Shadiq,
dan seterusnya sampai pada Sunan Gunung Jati. Nama-nama diatas sampai
Ja’far ash-Shadiq merupakan imam-imam Syi’ah8

Mungkin maksud penulis adalah imam-imamnya orang Syi’ah.


Tapi, sepengetahuan saya Ali bin Abi Thalib, Fatimah, Hasan dan Husain
bukanlah penganut aliran` Syi’ah. Saat itu terjadi perang tahkim (arbitrase)
tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan
timbulnya golongan ketiga, al-khawarij, yakni orang-orang yang keluar dari
barisan Ali. Akibatnya diujung pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat
Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik yakni, Mu’awiyah, Syi’ah
(pengikut) Ali dan Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). 9

Nama lain dari Syarif Hidayat adalah Sayyid al-Kamil, Syaikh


7
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.36
8
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.40
9
Ahmadin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Penanda Media, 2000),p.53

6
Ibrahim Ibn Maulana Sultanil Mahmud al-Khibti, nama ini ia dapati setelah
melakukan pengembaraan ilmu. Pamannya yang memegang jabatan
sementara menggantikan ayahnya yang telah wafat, memberinya nama
Nurdin.

Pengembaraan Ilmu yang telah Sultan Sunan Gunung Jati lakukan


adalah bukti bahwa seorang ulama harus mempunyai ilmu yang tinggi. Ia
rela meninggalkan jabatan untuk melanjutkan cita-citanya. Akhirnya,
jabatan itu diserahkan kepada adiknya yang bergelar Sultan Syarif Nurullah.
Dari pernyataan penulis ini, bisa kita dapat ambil hikmah untuk
bersemangat mencari ilmu, apalagi ilmu Agama. 10

Guru-guru Syarif Hidayatullah: Syaikh Tajuddin al-Qurtubhi


Mekkah, Syaikh Atha’illah Syadzili Baghdad, Najmuddin al-Kubra
Mekkah. Jadi, Ia mencari ilmu ke Makkah, Bagdad, Mesir lalu pulang ke
Jawa.

 Menjadi guru agama

Syarif Hidayat mengawali dakwah ke daerah Gunung Sembung,


daerah ini termasuk wilayah Pasambangan. Syarif Hidayat mendirikan
pesantren. Ia memperluas wilayah dakwahnya ke daerah Babadan. Di
Babadan, Sunan Gunung Jati berhasil mengislamkan Ki Gedheng Babadan
dan menikah dengan putrinya, yaitu Nyai Mas Babadan. Selanjutnya Sunan
Gunung Jati melanjutkan tugasnya sebagai guru agama di daerah
Kuwungwanten, dan berhasil mengislamkan Adipati Kuwunganten bersama
pengikutnya.11

Dapat kita ketahui bahwa Sunan Gunung Jati, melakukan dakwah


ke daerah-daerah pedalaman yang jauh dari istana. Metode yang digunakan

10
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.41
11
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.46

7
juga menggunakan pendekatan tradisi budaya dan menjalin tali
persaudaraan yang baik. Contohnya keberhasilan dakwah Sunan Gunung
Jati di Banten tidak terlepas dari hubungan baiknya dengan penguasa
setempat yang dirintis sebelum menjadi guru di Banten. Sunan Gunung Jati
juga melakukan pendekatan dakwah dengan saluran pernikahan.

c) BAB III : Islamisasi di Jawa Barat dan Kepemimpinan Sunan Gunung Jati

 Sejarah Masuknya Islam di Cirebon

Tahapan masuknya Islam di Cirebon dan Jawa Barat pada periode


awal. Pertama, perdagangan, terjalin hubungan yang baik antara negeri-
negeri Islam dengan Kepulauan Nusantara yang berlangsung semenjak awal
abad Masehi. Kedua, budaya. Ketiga, perkawinan. Hal ini membuat Islam
sangat mudah diterima dan beradaptasi dengan kultur masyarakat
setempat.12

Fase-fase kontak kontak sosial antara pedagang Muslim dengan


penduduk setempat. Fase pertama, telah mulai terjalin antara pedagang-
pedagang Arab dengan penduduk Nusantara semenjak awal Masehi. Fase
kedua, kontak sosial itu dibuktikan dengan adanya kerajaan Islam Samudera
Pasai di Aceh dengan raja pertamanya Malik al-Saleh yang wafat bulan
Ramadhan. Pada fase ketiga, telah terjadi perkembangan Islam di
Nusantara, yang ditandai dengan dijadikannya Samudera Pasai sebagai
pusat penyebaran Islam yang meluas ke daerah lain, seperti pesisir
Sumatera, Semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Hitu, Ternate, Tidore, dan
Lombok.13

 Cirebon sebagai pusat islamisasi Jawa Barat

Pada sekitar paruh abad ke-15 dan ke-16-an, Cirebon merupakan


12
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.51
13
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.53

8
pangkalan penting dalam jalur pelayaran dan perdagangan antarpulau.
Cirebon sempat menjadi kota pelabuhan dan lalu lintas perdagangan
internasional pada masanya. Pedukuhan kecil menjadi cikal bakal pusat
penyebaran Islam ke daerah sekitarnya. 14

Cirebon sebagai pusat penyebaran Islam di Jawa Barat mulai


menampakan eksistensinyaa ketika Pangeran Cakrabuana atau Raden
Walangsungsang, yang sekembali dari Makkah bergelar Haji Abdullah
Iman, memimpin Nagari Caruban Larang yang sebelumnya hanya berfungsi
sebagai Pangraksa Bumi. Bahkan ia membangun fasilitas umum, seperti
perkampungan, pelabuhan, dan jalan raya guna menunjang dakwah Islam.

Dalam menjalankan pemerintahan, kerajaan Cirebon sangat


memperhatikan nasab dalam kekuasaan pemerintahan hal ini untuk
mempertahankan kesinambungan kekuasaan sebelumnya, yakni kerajaan
Hindu. Adanya pelegitimasian ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena
dalam tradisi Jawa, silsilah dan garis keturunan sangat diperhatikan. 15

 Sunan Gunung Jati sebagai Ulama dan Guru Agama Islam

Menjadi guru agama adalah cita-cita Sunan Gunung Jati sejak


masih remaja. Ia tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
masalah hukum Islam dan akidah, tetapi juga tasawuf. 16

Saat membaca sub tema pada bab ini, saya mendapatkan


pengulangan pernyataan penulis. Apa yang sudah dibahas ditulis kembali
hal ini menjadikan pemborosan pembahasaan yang kemudian tidak singkat,
jelas dan padat.

14
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.56
15
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.60
16
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.64

9
Reviewer dapat mengetahui bahwa cara Sunan Gunung Jati
menyebarkan Islam melalui mempelajari karakter dan watak rakyat kecil.
Strategi ini menguntungkan karena sebelum tampil ke pusat kekuasaan, ia
terlebih dahulu telah dikenal masyarakat. Baik di daerah Cirebon dan
Banten. Sunan Gunung Jati sangat bertoleransi dengan budaya-budaya
lokal.17

Wali Songo di Tanah Jawa dapat dikategorikan: Pertama,


Waliyullah, adalah pemegang kekuasaan spiritual (spiritual power). Kedua,
Waliyul Amri, adalah pemegang political power (kekuasaan politik).
Ketiga, Wali yang memegang kedua peran diatas, yaitu sebagai Waliyullah
dan Waliyul Amri. Sunan Gunung Jati termasuk dalam kategori ketiga.

Sementara itu, dalam menjalankan peran kewaliannya, Sunan


Gunung Jati dan para wali lain di Tanah Jawa pada masa itu memakai
beberapa metode pendekatan, antara lain adalah:

1. Metode mau'izhah hasanah. Metode ini dipakai untuk


menghadapi tokoh-tokoh khusus atau orang terpandang di tengah-tengah
masyarakat, seperti bupati, adipati, raja, dan bangsawan. Para tokoh tersebut
diperlakukan secara khusus dan istimewa yang terkadang terjadi pertemuan
secara pribadi atau melalui yang berisi keterangan dan pemahaman tentang
ajaran Islam Selain mengirimkan surat, para wali terkadang menyampaikan
pesan dakwahnya melalui peringatan-peringatan yang lemal lembut,
bertukar pikiran dari hati ke hati dengan penuh toleransi dan pengertian
terhadap pendirian dan kepercayaan tokoh-tokoh masyarakat yang
bersangkutan. Metode ini juga pernah dipakai oleh Rasulullah ketika
menyampaikan dakwah Islam kepada para pembesar pada masa itu, seperti
surat yang disampaikan oleh Rasulullah kepada raja Habsyi dan Yaman.
Tujuannya adalah menyampaikan nilai-nilai kebenaran yang datang dari
Allah.
17
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.66

10
2.Metode al-hikmah. Metode ini sangat melekat pada para wali,
termasuk Sunan Gunung Jati. Melalui metode kearifan ini, ajaran-ajaran
Islam disampaikan baik secara populer, atraktif, maupun sensasional. Cara
ini digunakan terutama untuk menghadapi masyarakat awam. Dengan
sangat bijaksana, masyarakat awam didekati secara massal, dan terkadang
di luar kebiasaan yang menimbulkan ketertarikan masyarakat umum. Selain
oleh Sunan Gunung Jati, metode ini juga dipakai oleh Sunan Kalijaga.
Dengan hikmah dan kebijaksanaan, para wali mampu berdakwah dengan
menggunakan kultur lokal yang dimodifikasi secara Islam. Dengan strategi
ini, masyarakat tidak. merasa asing terhadap apa yang disampaikan, di
samping pesan pesan yang disampaikan juga sangat mudah diterima.

3.Metode tadarruj atau tarbiyatul-ummah. Metode ini digunakan


untuk mengklasifikasikan garapan dakwah, peta dakwah yang disesuaikan
dengan faktor pendidikan, serta lingkungan dan budaya agar dakwah Islam
mudah dimengerti oleh umat. Hal ini sejalan dengan anjuran Rasulullah:
kallimun-nása alá qadri 'uqulihim yaitu berbicaralah pada umat sesuai
dengan kesanggupan mereka untuk menerima dan memahami. Dengan
demikian, ajaran Islam menjadi ajaran yang cocok untuk setiap kultur
zaman dan waktu (li kulli zaman wa makan). Dengan memperhatikan setiap
jenjang bakat dan kecenderungan audiens, dakwah jadi mudah diterima.
Untuk merealisasikan metode dakwahnya, para wali juga membuat
kurikulum pengajaran terutama untuk lingkungan lembaga-lembaga
pendidikan, seperti pesantren.

4. Metode kaderisasi. Metode ini dimulai dengan membentuk


kader-kader dakwah yang kemudian dikirim ke daerah yang memang belum
tersentuh oleh ajaran Islam. Metode kaderisasi ini sangat efektif terutama
untuk menyentuh daerah-daerah pedalaman yang memang belum mengenal
ajaran Islam sama sekali.

5. Pembagian peta dakwah di antara anggota Dewan Wali. Metode

11
ini dilakukan agar terjadi kerjasama yang baik dalam menjalankan dakwah
sesuai dengan pembagian wilayah yang disepakati. Ini terlihat dengan
ditetapkannya Sunan Gunung Jati dalam musyawarah Dewan Wali yang
diketuai oleh Sunan Ampel untuk mengembangkan dakwah di daerah
Cirebon, dan setelah Sunan Ampel meninggal, kedudukannya sebagai ketua
Dewan Wali digantikan Sunan Gunung Jati. Meskipun dalam hal ini
terdapat pembagian wilayah, komunikasi di antara mereka tetap terjalin
dengan baik dan koordinasi selalu dilakukan.

6. Metode syûra (musyawarah). Metode ini merupakan sarana


untuk curah pendapat para wali dalam mengevaluasi kegiatan dakwah yang
dilakukan. Dalam musyawarah ini, tidak hanya dibahas masalah umat
semata, namun terkadang juga masalah mistik atau tasawuf yang memang
merupakan 'makanan' para wali dalam rangka pendekatan diri kepada Allah
supaya diberi bimbingan dalam menjalankan tugas dakwah. 18

 Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin pemerintahan

Cirebon mengalami puncak kejayaannya sebagai kerajaan Islam


pada masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati. Kejayaan ini tidak hanya
terbatas pada aspek politik ekonomi, tetapi juga dalam bidang sosial budaya
dan pendidikan Islam. Bukti-bukti kejayaan masa lalu tersebut masih ada
sampai sekarang, baik di bidang seni, seperti seni lukis, pahat, kaligrafi,
pertunjukan, membatik, arsitektur Islam yang bercorak Jawa, dan penulisan
naskah-naskah kuno, maupun dalam bidang pendidikan, yaitu berdirinya
banyak pesantren di sekitar Cirebon.

Banyak peran kepemimpinan yang dijalankan oleh Sunan Gunung


Jati, yaitu sebagai seorang guru agama Islam, seseorang wali, pemimpin
politik, dan pemimpin para wali di Tanah Jawa. Multiperan ini tidak
terlepas dari tiga otoritas kepemimpinan diatas yang dimilikinya. Peran ini

18
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.69

12
sangat jarang ditemui dalam diri seorang pemimpin biasa.

Salah satu peninggalan Sunan Gunung Jati yang berharga sampai


sekarang bukanlah warisan dalam wujud harta benda atau bangunan, tetapi
dalam bentuk nasihat atau petuah-petuah tentang ajaran moral, kedisiplinan,
ketakwaan, dan keberanian dalam menegakkan kebenaran. 19

d) BAB IV : Ajaran Kepemimpinan Sunan Gunung Jati

 Sunan Gunung Jati diantara Wali Songo

Banyak perbedaan pendapat mengenai penetapan siapa saja yang


termasuk ke dalam walisongo. Perbedaan diantara umatku adalah rahmat.
perbedaan ini wajar yang terpenting tidak saling menyalahkan. Namun para
ulama dan Sejarawan menetapkan bahwa yang masuk ke dalam lingkungan
Wali Songo hanya berjumlah delapan orang wali.

Diantaranya adalah: (1) Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang


berkedudukan di Ampel, Surabaya. (2) Raden Paku (Sunan Giri) yang
berkedudukan di Giri, Gresik. (3) Sayyid Jeb (Raden Abdul Qadir, Sunan
Gunung Jati) yang berkedudukan di Cirebon. (4) Makhdum Ibrahim (Sunan
Bonang) yang berkedudukan di Tuban, (5) Masih Munat (Sunan Drajat)
yang berkedudukan di Drajat (daerah yang terletak antara Tuban dan
Sedayu), (6) Alim Abu Hurayrah (Sunan Majagung) yang berkedudukan di
Majagung, (7) Ja'far Shadiq (Raden Undung, Sunan Kudus) yang
berkedudukan di Kudus, (8) Raden Mas Said (Sunan Kalijaga) yang
berkedudukan di Kadilangu (Wildan, 2003 275-276).20

Untuk kasus Maulana Malik Ibrahim, meskipun diakui sebagai


pembuka jalan dan perintis penyebaran Islam di Tanah Jawa, namun ia
tidak termasuk ke dalam kelompok Wali Songo. Alasannya, karena tokoh
19
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.84
20
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.90

13
tersebut hidup pada masa yang jauh sebelum terbentuknya Dewan Wali
Songo dan wafat pada tahun 1419 M.

Dalam buku ini menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar ajarannya


sesat tanpa dijelaskan alasannya, membuat salah paham dan bingung
pembaca. Hal ini seolah menyudutkan Syekh Siti Jenar. Apalagi ada
pernyataan bahwa beliau di eksekusi dengan keris Kantanaga milik Sunan
Gunung Jati di Masjid Agung Cirebon oleh Sunan Kudus. Hal ini menjadi
catatan pembaca untuk mengkaji juga tentang sejarah syekh siti jenar secara
rinci agar tidak ada kesalahpahaman.

Di kalangan Wali Songo, kedudukan Sunan Gunung Jati sebagai


pemimpin para wali atau Wali Quthb juga diakui. Meskipun dari Sisi usia,
ia tergolong lebih muda daripada wali yang lain, namun keluasan ilmu yang
dimilikinya, pemahamannya yang mendalam tentang ajaran Islam, serta
kearifannya sebagai seorang pemimpin menjadikannya dihormati di
kalangan Wali Songo. Ini terbukti ketika ia diminta untuk memimpin
upacara penobatan dua orang Sultan Demak, yaitu Adipati Unus menjadi
Sultan Demak II (1518 M) yang menggantikan kedudukan ayahnya, Raden
Patah yang sudah wafat, dan kemudian Raden Trenggono menjadi Sultan
Demak III, yang mengantikan kedudukan kakaknya, Adipati Unus yang
tewas dalam pertempuran di laut melawan Portugis. 21

 Strategi Politik dan Kultural

Sebelum diangkat menjadi Tumenggung oleh pamannya sendiri,


Sunan Gunung Jati sudah merintis usaha pendekatan kepada tokoh-tokoh
masyarakat di sekitar Cirebon, seperti menikahi putri Ki Gedhe Babadan.
Dakwah Sunan Gunung Jati melalui pendekatan Sosial dengan cara
memahami karakter masyarakat pedalaman.

21
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.93

14
Salah satu gerakan politik Sunan Gunung Jati adalah mendirikan
kerajaan Islam di Cirebon dan melepaskan diri dari Pajajaran. Sunan
Gunung Jati berhasil melakukan ekspansi ke barat dibantu pasukan kerajaan
Islam demak yang dipimpin Fadhil Khan atau Falatehan. Setalah Sunda
Kelapa jatuh ke tangan Cirebon, untuk pembenahan pemerintahan disana,
Sunan Gunung Jati mengangkat Fadhil Khan sebagai Adipati. Untuk
kebijakan luar negeri, Sunan Gunung Jati mengangkat Haji Tan Eng Hoat
(Haji Ifdil Hanafi) sebagai duta perdagangan Cirebon untuk menjalan
hubungan dagang dengan negeri Cina. Tan Eng Hoat sangat memahami
kecenderungan pasar di negeri asalnya dan bisa membaca peluang
kerjasama yang dapat dijalin dengan negeri Cina tersebut. 22

Hubungan Cirebon dengan Demak semakin diperkokoh, selain


bidang militer, maka diperluas di bidang sosial dan budaya. Contohnya
dibangunnya Masjid Agung Sang Ciptarasa pada tahun 1480, yang dibantu
utusan Demak , yaitu Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga
sendiri akhirnya menikah dengan wanita Cirebon.

Menurut Reviewer, seperti yang telah disinggung pada halaman


sebelumnya, pendekatan dakwah yang dilakukan Wali Songo dengan
Saluran Perkawinan, tujuannya adalah mengeratkan kesatuan etnis yang ada
di Cirebon pada masa itu sehingga tidak ada lagi kelompok etnis imperior
dan superior. Jadi, tidak ada lagi kasta dalam hubungan sosial.

Sunan Gunung Jati membangun benteng pertahanan yang


mengelilingi ibu kota dengan ketinggian 2 m diatas areal seluas 50 hektar
lengkap dengan beberapa pintu gerbang, salah satunya adalah Lawang
Gada. Tujuannya adalah untuk memperkokoh pertahanan di dalam ibu kota
kerajaan. Selain itu, juga dibangun jalan raya untuk akses keluar-masuk dari
alun-alun Keraton Pakungwati ke Pelabuhan Muara Jati, yang berfungsi
untuk memudahkan pedagang-pedagang luar dan utusan-utusan kerajaan
22
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.94

15
lain bertemu dengan penguasaan Cirebon.23

Dalam pernyataan diatas, bisa reviewer ketahui salah satu strategi


kultural Sunan Gunung Jati dengan membangun fasilitas negara untuk
kesejahteraan rakyat terlebih pada bidang ekonomi, contohnya dibangun
Pelabuhan Muara Jati yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas
pendukungnya Seperti mercusuar, bengkel kapal, dan pasar. Pelabuhan ini
menjadi pintu gerbang perekonomian Cirebon.

 Sistem dan Corak Kepemimpinan Sunan Gunung Jati

Sebagai seorang wali, prinsip kepemimpinan Sunan Gunung Jati


yakni shalat berjamaah. Seorang imam merupakan pemimpin bagi
makmumnya yang mengayomi, bukan penguasa. Jika Imam salah maka
berdampak buruk juga pada makmum. Seorang imam mempunyai
pertanggungjawaban dunia dan akhirat, tanggung jawab ini mengharuskan
seorang imam berhati-hati dalam menjalankan kepemimpinannya. Menurut
Sultan Sepuh, filosofi ini ditulis sebuah keraton yang berbunyi: dangdang
manuk kembangkanigaran (seorang pemimpin harus memberi pengayoman
bagi masyarakat yang lemah). Pemimpin harus memberikan ketentraman
lahir batin kepada masyarakatnya.24

Menurut Reviewer, Kepemimpinan Sunan Gunung Jati ini sejalan


dengan teori humanis yakni setiap kebijakan yang dikeluarkan selalu
berpihak pada orang banyak. Bukan hanya urusan duniawi, Sunan Gunung
Jati dengan berfilosofi pemimpin adalah imam shalat artinya ia bertanggung
jawab penuh pada urusan agama juga. Pemimpin seperti Sunan Gunung Jati
ini yang sangat kita butuhkan. Sunan Gunung Jati dijuluki Muhammad yang
memakai blangkon. Sistem dan simbol-simbol kekuasaannya bernuansakan
tradisi, tetapi ruhnya adalah ruh Islam.
23
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.93
24
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.96

16
 Nilai-nilai moral dalam ajaran kepemimpinan Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati meninggalkan nilai-nilai hidup yang bisa


dipedomani oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, selain sebagai Waliyul Amri, Sultan Gunung Jati
juga sebagai Waliyullah. Ia memberi nafas Islam pada sistem dan strategi
kepemimpinannya. Nilai-nilai ini terangkum dalam pepatah-petitih yang
diwariskannya. Berkaitan dengan pepatah-petitih Sunan Gunung Jati,
mengelompokkannya ke dalam empat aspek, yaitu: (1) pepatah-petitih yang
berkaitan dengan ketakwaan dan keimanan, (2) pepatah-petitih yang
berkaitan dengan kedisiplinan, (3) pepatah-petitih yang berkaitan dengan
kearifan dan kebijakan, dan (4) pepatah-petitih tentang kesopanan dan
tatakrama.25

e) BAB V : Etika Kepemimpinan Sunan Gunung Jati dan Pembangunan Moral


Bangsa

 Nilai-nilai kepemimpinan Sunan Gunung Jati dan Kontribusinya dalam


pembangunan moral bangsa

Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran kepemimpinan Sunan


Gunung Jati, sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, dapat
dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu menyangkut nilai nilai (1)
ketakwaan dan keimanan, (2) kedisiplinan, (3) kearifan dan kebijaksanaan,
(4) kesopanan dan tatakrama. Keempat nilai ini, dalam lapangan kajian
etika dan moral, dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu etika
teistik (theistic ethic), etika kepribadian (personality ethic), dan etika sosial
(social ethic).

Etika teistik memberikan penjelasan dan penyelesaian atas


persoalan-persoalan hidup manusia dalam hubungan dengan Sang Pencipta,

25
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.103

17
alam semesta dan lingkungan. Etika kepribadian akan memberikan
penjelasan dan penyelesaian atas persoalan-persoalan hidup manusia dalam
hubungannya dengan diri sendiri.26

Menurut Reviewer, Sunan Gunung Jati selalu mengajarkan kita


untuk kembali kepada-Nya dan juga selalu bermanfaat kepada sesama
manusia. Hablum minallah hablu minannas. Pengajaran Ilmu dan
Akhlaknya santun selalu membekas di hati siapapun orang yang pernah
ditemuinya, hal inilah yang menjadi warisannya, setelah wafatpun akan
selalu di kenang dan ilmunya menjadi amal jariyah ketika diamalkan.

 Etika Kepemimpinan Sunan Gunung Jati dalam budaya dan tradisi

Peradaban Islam yang dibangun Sunan Gunung Jati telah


mengubah cara pandang dunia yakni Tuhan sebagai Zat mutlak, bukan
manusia sebagaimana yang dikemukakan barat.27

Menurut Reviewer, jika peradaban Islam di Cirebon, Banten dan


Jawa dapat mengubah cara pandang dunia berarti sangat diperhitungkan
keberhasilan yang telah Sunan Gunung Jati lakukan dalam memimpin
pemerintahan dan menyiarkan Islam.

Dalam Kepemimpinan Sunan Gunung Jati telah terjadi tradisi pada


bulan-bulan tertentu dan perayaan-perayaan keislaman yang berasal dari
tradisi Wali Songo, termasuk Sunan Gunung Jati, seperti upacara sekanten
yang ditujukan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Prosesi upacara ini biasanya dimulai tujuh hari sebelum tanggal 12 Rabi’ul
Awal. Pada puncak acara, diadakan pembacaan Barzanji dan sedekah sultan
atau dikenal dengan grebeg, yakitu membagi-bagikan makanan sebagai
hadiah dari sultan kepada rakyatnya. Di Cirebon, kegiatan ini biasanya

26
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.130
27
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.149

18
dipusatkan di Masjid Agung Sang Ciptarasa.28

Menurut Reviewer, Upacara ini disamping sarat dengan simbol-


simbol yang mengandung pesan moral, melambangkan pengayoman
seorang pemimpin terhadap rakyatnya dengan membagi berkah melalui
sedekah atau selamaten.

 Ajaran Kepemimpinan Sunan Gunung Jati dan Pancasila sebagai etika


kepemimpinan di Indonesia

Kandungan nilai-nilai Pancasila yang memahami manusia sebagai


monopluralis, yang terdiri dari susunan kodrat, sifat kodrat, kedudukan
kodrat, dan hakikat kodrat mempunyai keselarasan dengan ajaran Sunan
Gunung Jati. Dalam ajaran Islam, pemahaman manusia sebagai makhluk
ruhani dan juga makhluk jasmani sangat jelas. Ibadah yang ditekankan
dalam ajaran kepemimpinan Sunan Gunung Jati adalah untuk
meningkatkan potensi keruhanian seseorang yang merupakan esensi
kemanusian.29

Menurut Reviewer nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran


kepemimpinan Sunan Gunung Jati dapat dijadikan landasan untuk
membangun etika bangsa yang didasarkan pada Pancasila, karena kedua
ajaran tersebut saling melengkapi, bahkan menjadi ruh bagi Pancasila itu
sendiri.

28
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.151
29
Eman Suryaman, Jalan Hidup Sunan Gunung Jati (Bandung : Nuansa Cendekia,
2015),p.165

19
4.2 Penutup

 Rangkuman

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan yang


dijalankan oleh Sunan Gunung Jati adalah perpaduan antara dua kekuasaan,
yaitu kekuasaan politik (political power) dan kekuasaan spiritual (spiritual
power). Kekuatan politik adalah kedudukan Sunan Gunung Jati sebagai
pemimpin negara yang berfungsi mengendalikan dan mengatur urusan
negara. Sementara itu, kekuasaan spiritual adalah kedudukannya sebagai
wali quthb, yaitu pemimpin para wali yang mempunyai kewenangan dalam
menetapkan dan mengambil keputusan hukum berkaitan dengan masalah
hukum syariat atau hukum agama. Dengan sistem pemerintahannya yang
bersifat monarki konstitusi, di atas raja ada penasihat yang diketuai oleh
Pangeran Cakrabuana.

Sementara itu, dari sisi spiritual, pertimbangannya dan sekaligus


penasihatnya adalah Tanah Jawa. para wali di Azas dari sistem
kepemimpinan Sunan Gunung Jati adalah desentralisasi. Pada saat
kekuasaan pusat tidak sanggup mengurus wilayah yang sudah begitu
banyak dan luas, maka diberikan kekuasaan otonom bagi penguasa lokal.
Adapun corak pemerintahan Sunan Gunung Jati pada masa itu adalah
bercorak kerajaan. Raja menjadi pemimpin tertinggi yang dibantu oleh
pemimpin-pemimpin pemerintahan lokal dan para penasihat kerajaan. Atau
lebih tepatnya, pola pemerintahan kerajaan di pesisir dengan pelabuhan
menjadi lokasi vital yang menopang keberlangsungan pemerintahan,
dengan struktur pemerintahan adalah tumenggung sebagai pemimpin
tertinggi, kemudian diikuti oleh panglima pasukan para dipati, senopati, dan
pemimpin wilayah, yaitu para Ki Gede.

Pemerintahan yang dibangun Sunan Gunung Jati masih mengadopsi


nilai-nilai kepemimpinan dari tradisi Sunda dan Jawa, tetapi ruh
keislamannya lebih kental. Ini terlihat dari keteladanan sebagai uswatun

20
hasanah yang ditampilkannya yang berbeda dengan penguasa-penguasa
Jawa sebelumnya dan juga sesudahnya. Di samping itu, terlihat banyaknya
tempat ibadah dan pesantren tempat menimba ilmu yang dibangun oleh
Sunan Gunung Jati. Dan yang lebih penting adalah dijadikannya masjid
sebagai pusat kegiatan umat dan tempat bermusyawarah untuk memecahkan
persoalan umat dan persoalan negara. Dijadikannya masjid sebagai pusat
kegiatan dan musyawarah ini mencontoh pola yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah dan juga khalifah setelah Rasulullah. Masjid adalah simbol
menyatunya kekuasaan dunia dengan kekuasaan akhirat, sehingga ada
keseimbangan antara lahir dan batin, antara mikrokosmos dan
makrokosmos.

Nilai-nilai etis dan moral dalam sistem kepemimpinan Sunan


Gunung Jati tertuang dalam pepatah-petitih dan perilaku kepemimpinannya.
Nilai-nilai pepatah-petitihnya mengandung ajaran luhur yang harus dimiliki
oleh seorang pemimpin yang secara garis besar dikategorikan ke dalam
empat kelompok, yaitu ajaran tentang keimanan dan ketakwaan, ajaran
tentang kearifan, ajaran tentang kedisiplinan, dan ajaran tentang tatakrama
dan kesopanan. Keempat ajaran ini dapat dikelompokkan ke dalam etika
teistik, etika kepribadian, dan etika sosial.

Etika teistik menekankan pada masalah keimanan dan ketakwaan,


dan merupakan pondasi yang membuat kokohnya bangunan individu,
masyarakat, negara, dan bangsa. Etika kepribadian berkaitan dengan
pembangunan karakter dan moralitas individu, yang dalam hal ini dibagi
dua, yaitu kepribadian yang berkaitan dengan kedisiplinan dan kepribadian
yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan Kemudian ada etika sosial
yang menekankan pada persoalan persoalan yang berkaitan dengan
hubungan manusia dengan manusia lain dan dengan alam semesta. Etika
sosial ini, dalam ajaran Sunan Gunung Jati, terlihat dengan jelas dalam
pepatah-petitihnya tentang kesopanan.

21
Nilai-nilai kepemimpinan Sunan Gunung Jati yang terdapat dalam
pepatah-petitih dan perilaku kepemimpinannya mempunyai pengaruh dan
relevansi dalam pembangunan moral kepemimpinan Indonesia dewasa ini.
Hal itu karena nilai-nilai moral dan etika dalam kepemimpinan Sunan
Gunung Jati mempunyai filosofi sangat dalam yang berakar pada tradisi dan
budaya bangsa Indonesia dan mampu untuk dipahami dan diterjemahkan
sesuai dengan konteks kekinian. Di samping itu, kandungan nilai-nilai
dalam sistem kepemimpinan Sunan Gunung Jati dapat dikatakan sebagai
nilai-nilai etika universal (universal ethic). Prinsip-prinsip nilainya cocok
untuk setiap zaman dan waktu, seperti keimanan, kearifan, kejujuran,
kedisiplinan, dan kemanusian. Ia merupakan kekayaan tradisi bangsa pada
masa lalu yang masih relevan untuk zaman sekarang.

Krisis kepemimpinan, moral, etika dan kepercayaan, atau krisis


multi dimensional, telah melanda bangsa Indonesia. Hhilangnya nilai-nilai
keimanan, kejujuran, kedisiplinan, keadilan serta kemanusiaan, rentannya
disintegrasi, dan meningkatnya perilaku kejahatan membutuhkan nilai-nilai
kearifan lokal dari tradisi masa lalu yang mengakar pada budaya bangsa
sebagaimana yang terdapat dalam nilai-nilai kepemimpinan Sunan Gunung
Jati. Selain itu, nilai nilai kepemimpinan Sunan Gunung Jati mempunyai
keselarasan dengan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila, seperti nilai-nilai
keimanan atau ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, keadilan dan
kerakyatan, dan bahkan menjadi ruh bagi bangunan konstitusi bangsa
Indonesia.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Penanda Media, 2000

Noviyanti, Dian. Walisongo, The Wisdom, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2019

Suryaman, Eman. Jalan Hidup Sunan Gunung Jati, Bandung : Nuansa Cendekia,
2015

23

Anda mungkin juga menyukai