Anda di halaman 1dari 21

KEDUDUKAN SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM,

SUNNAH TASYRI’IYYAH DAN GHAIRU TASYRI’IYYAH

DOSEN PENGAMPU: DR. N. ONENG NURUL BARIYAH, M.Ag.,

MAKALAH DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS

MATA KULIAH STUDI AS-SUNNAH

DISUSUN:
Mach Faiz Fathurazi 20210520100003
Abdul Khalik 20210520100001
Nirwan Dwi Putra 20210520100013

PRODI MAGISTER STUDI AS-SUNNAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar.
Shalawat serta salam tak lupa kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
telah membawa umatnya dari zaman jahiliyah kezaman Islamiyah.
Terselesaikannya makalah dengan judul “Kedudukan Sunnah dalam Syari’at
Islam, Sunnah Tasyri’iyyah dan Ghairu Tasyri’iyyah” ini merupakan hasik
kerja kami yang tidak terlepas dari dukungan banyak pihak, baik berupa dukungan
do’a, semangat, sumbangan pemikiran dan bahan-bahan yang dibutuhkan bagi
penyempurnaan makalah ini.
Tak ada gading yang retak, Kami menyadari dan mehami dalam penyusunan
makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, untuk
itu kami menerima dengan senang hati kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran dan kritik sangat
penulis harapkan dari seluruh pihak dalam proses membangun mutu makalah ini.

Cirendeu, …… Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... i


Daftar Isi............................................................................................................... ii

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................... 2
D. Manfaat ......................................................................................................... 2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Sunnah ....................................................................................... 3
B. Sunnah Tasyri’iyyah dan Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah ................................ 8

BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan .................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sunnah adalah penafsiran praktis terhadap Al-Qur’an, implementasi
realistis, dan juga implementasi ideal Islam. Sunnah menurut bahasa
(etimologi) berarti tradisi yang biasa dilakakan (adat kebiasaan), dan jalan yang
dilalui baik terpuji maupun tercela.
Sunnah dalam kedudukan Islam memiliki kedudukan yang sangat penting.
Di mana hadis merupakan salah satu sumber hukum ke dua setelah Al-Qur’an.
Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa adanya hadis. Memakai Al-Qur’an tanpa
mengambil hadis sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang
tidak mungkin, karena Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa menggunakan
hadis. Kaitannya dengan kedudukan hadis/sunnah disamping Al-Qur’an
sebagai sumber ajaran Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber pertama
sedangkan hadis merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara Al-
Qur’an dan hadis karena keduanya adalah wahyu Allah.
Sunnah Tasyri’iyah adalah sunnah yang berkaitan dengan risalah kenabian
sehingga umatnya berada pada garis keniscayaan untuk menerimanya. Dalam
pendapat lain dikatakan bahwa sunnahTasyri’iyah adalah sunnah yang muncul
dari kapasitas Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai risalah.
Pada umumnya Sunnah Rasul itu terdiri dari ucapan, perbuatan dan
ketetapannya yang mempunyai hukum yang mesti diikuti (Sunnah
Tasyri’iyah). Umpamanya, perbuatan yang muncul dari beliau dalam bentuk
penyampaian risalah dan penjelasannya terhadap Al-Qur’an tentang beberapa
masalah ibadah yang bersifat umum dan mutlak, seperti menjelaskan bentuk
dan tata cara shalat dan lainnya. Karena itu, apa yang datang dari beliau
hendaklah diterima dengan ketaatan sepenuh hati sebagai bukti seseorang
dianggap beriman pada Rasul SAW dan apa yang beliau larang haruslah
dihindari.

1
Sunnah Ghairu Tasyri’iyah, yaitu Sunnah yang tidak mesti diikuti dan
tidak mengikat.Misalnya ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW yang
timbul dari hajat insani dalam kehidupan keseharian beliau, seperti makan, cara
berpakaian, urusan pertanian dan lainnya. Kalau perbuatan tersebut memberi
suatu petunjuk tentang tata cara makan dan minum, berpakaian dan lainnya,
maka menurut pendapat jumhur ulama hukum mengikutinya adalah sunnat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kedudukan Sunnah?
2. Bagaimana Sunnah Tasyri’iyyah dan Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah?

C. Tujuan
1. Mengetahui Kedudukan Sunnah
2. Mengetahui Sunnah Tasyri’iyyah dan Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah

D. Manfaat
1. Untuk pemakalah, lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan
Kedudukan Sunnah dalam Syari’at Islam, Sunnah Tasyri’iyyah dan
Ghairu Tasyri’iyyah.
2. Untuk pembaca, dapat menjadi referensi bacaan hal-hal yang berkaitan
dengan Perihal Kedudukan Sunnah dalam Syari’at Islam, Sunnah
Tasyri’iyyah dan Ghairu Tasyri’iyyah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Sunnah
Sunnah adalah penafsiran praktis terhadap Al-Qur’an, implementasi
realistis, dan juga implementasi ideal Islam. Sunnah menurut bahasa
(etimologi) berarti tradisi yang biasa dilakakan (adat kebiasaan), dan jalan yang
dilalui baik terpuji maupun tercela. Sunnah juga berarti lawan dari bid’ah yaitu
mengerjakan amalan agama tanpa didasari oleh tradisi atau tata cara agama,
kemudian ia mengada-ada (membuat bid’ah). Sedangkan sunnah menurut
istilah, antara lain dikemukakan para ulama sebagai berikut:
1. Menurut para Ahli Hadis, sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi
SAW. baik berupa perkataan, taqrir, pengajaran, keadaan, maupun
perjalanan hidup beliau, baik yang terjadi sebelum maupun sesudah di
angkat menjadi Rasul.
2. Menurut Ahli Ushul, sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi
SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (ketetapan) yang
mempunyai hubungan dengan hukum.
3. Sunnah menurut ahli ushul hanya perbuatan yang dapat dijadikan dasar
hukum Islam. Jika suatu perbuatan Nabi tidak dijadikan dasar hukum
seperti makan, minum, tidur, berjalan, buang air, dan lain-lain maka
pekerjaan biasa sehari-hari tersebut tidak dinamakan sunnah.
4. Menurut Ahli Fiqih, sunnah adalah suatu amalan yang diberi pahala
apabila dikerjakan dan tidak diberi siksa apabila ditinggalkan.
5. Menurut ulama Ushul Fiqih sunnah dilihat dari segi hukum sesuatu yang
datang dari Nabi tetapi hukumnya tidak wajib, diberi pahala bagi yang
mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya.
Contohnya seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain.
6. Menurut Ibnu Taimiyah, sunnah adalah adat (tradisi) yang telah berulang
kali dilakukan oleh masyarakat, baik yang termasuk ibadah ataupun tidak.

3
7. Menurut Dr. Taufiq Sidqy, sunnah ialah thariqat (jalan) yang dipraktekkan
oleh Rasulullah saw. terus-menerus dan diikuti oleh para sahabat beliau.
8. Menurut Prof Dr.T. M. Hasbi Ash- Shiddieqy, sunnah ialah suatu amalan
yang dilaksanakan oleh Nabi SAW secara terus- menerus dan di nukilkan
kepada kita dari zaman ke zaman dengan jalan mutawatir”. Jadi Nabi
melaksanakan amalan itu beserta para sahabat, para sahabat
melaksanakannya bersama tabiin, dan demikian seterusnya dari generasi
ke generasi sampai pada kita sekarang ini.
Dari beberapa pengertian sunnah tersebut dapat disimpulkan bahwasannya
sunnah menurut ulama hadis lebih bersifat umum yaitu meliputi segala sesuatu
yang datang dari Nabi dalam bentuk apapun, baik yang berkaitan dengan
hukum ataupun tidak. Sedangkan sunnah menurut ulama ushul fiqih dibatasi
dengan hal-hal yang berkaitan dengan hukum saja sedangkan perbuatan sehari-
hari seperti makan, minum, dan lain sebagainya tidak termasuk sunnah. Jadi
definisi sunnah yang paling relevan untuk dijadikan pegangan adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya (atau selain itu).
Sunnah dalam kedudukan Islam memiliki kedudukan yang sangat penting.
Di mana hadis merupakan salah satu sumber hukum ke dua setelah Al-Qur’an.
Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa adanya hadis. Memakai Al-Qur’an tanpa
mengambil hadis sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang
tidak mungkin, karena Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa menggunakan
hadis. Kaitannya dengan kedudukan hadis/sunnah disamping Al-Qur’an
sebagai sumber ajaran Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber pertama
sedangkan hadis merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara Al-
Qur’an dan hadis karena keduanya adalah wahyu Allah.
Nabi Muhammad saw. sendiri memberitahukan kepada umatnya bahwa di
samping Al-Qur’an juga masih terdapat suatu pedoman yang sejenis dengan
Al-Qur’an, untuk tempat berpijak dan berpandangan sebagaimana sabda Nabi
Muhammad SAW. yang artinya sebagai berikut, “wahai umatku,

4
sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan menyamainya” (HR. Abu Daud,
Ahmad, dan al-Turmudzi).
Tidak diragukan lagi bahwa yang menyamai (semisal) Al-Qur’an itu
adalah sunnah/hadis, yang merupakan pedoman untuk mengamalkan dan
ditaati sejajar dengan Al-Qur’an. Dan sekaligus sebagai salah satu dasar
penetapan hukum Islam setelah Al-Qur’an.
Menurut Al-Syathihi kedudukan sunnah/hadits berada di bawah Al-
Qur’an karena:
1. Al-Qur’an diterima secara Qath’i (meyakinkan), sedangkan hadits di
terima secara zhanni, kecuali Hadits Mutawatir. Keyakinan kita kepada
hadis hanyalah secara global, bukan secara detail. Sedangkan Al-Qur’an
baik secara global maupun secara detail diterima secara meyakinkan.
2. Hadis ada kalanya menerangkan sesuatu yang bersifat global dalam Al-
Qur’an, ada kalanya memberi komentar terhadap Al-Qur’an dan ada
kalanya membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan oleh Al-Qur’an.
Jika hadis berfungsi menerangkan atau memberi komentar terhadap Al-
Qur’an, maka status hadis tidak sama dengan derajat Al-Qur’an yang
diberi penjelasan. Al-Qur’an pasti lebih utama daripada hadis.
3. Di dalam Hadits sendiri terdapat petunjuk mengenai hal tersebut, yakni
Hadits menduduki posisi ke dua setelah Al-Qur’an. Sedangkan menurut
pendapat Mahmud Abu Rayyah, posisi as-sunnah atau Al- Hadits itu
berada di bawah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an sampai kepada umat Islam
dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikitpun. Al-Qur’an
datangnya dengan Qath’i Al-wurud, yaitu kepastian jalannya sampai
kepada kita dan Qath’i Al-tsubu, yaitu eksistensi atau ketetapannya
meyakinkan atau pasti. Sedangkan hadits atau as-sunnah sampai kepada
umat islam tidak semuanya mutawatir, tetapi kebanyakannya adalah
diterima dengan periwayatan tunggal (ahad). Kebenarannya ada yang
Qath’i (pasti) dan Zhanni (diduga benar), karena masih banyak hadits yang
tidak sampai kepada umat Islam. Disamping itu, banyak pula Hadits-hadits
daif.

5
Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an secara umum adalah untuk menjelaskan
makna kandungan Al-Qur’an sangat dalam dan global. Karena tidak semua
ayat-ayat Al-Qur’an dapat dipahami secara tekstual. Al-Qur’an menegaskan
bahwa Rasulullah memiliki tugas untuk menjelaskan maksud dan tujuan
firman-firman Allah. Hadis memiliki hubungan yang erat sekali dengan Al-
Qur’an, bahkan sulit dibayangkan Al-Qur’an berjalan tanpa hadis.
Seperti diinformasikan Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 67, tugas utama
dan pertama Nabi Muhammad SAW. adalah menyampaikan Al-Qur’an secara
keseluruhan. Namun sekalipun demikian, tugas kerasulan Nabi Muhammad
SAW bukanlah seperti petugas pos yang hanya mementingkan sampainya surat
ke alamat yang dituju tanpa peduli tahu isinya, melainkan juga dibebani tugas
untuk menjelaskan maksud Al-Qur’an dan sekaligus mempraktikkan isi ajaran-
ajarannya.
Hadits-hadits Nabi dalam kaitannya terhadap Al-Qur’an mempunyai
fungsi sebagai berikut:
1. Bayan Taqrir
Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan
oleh Al-Qur’an. Maksudnya ialah bahwasannya hadis menjelaskan apa
yang sudah dijelaskan Al-Qur’an, misalnya Hadis tentang Sholat, Zakat,
Puasa, Haji.
2. Bayan Tafsir
Penjelasan (tafsir) yang diberikan hadis terhadap Al-Qur’an ada 3
macam, yaitu Hadis memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-
Qur’an yang masih mujmal atau global (Bayan Al-Mujmal), hadis
memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih terbatas di dalam Al-
Qur’an (Taqyiq Al-Mutlaq), memberikan kekhususan (Takhshish) ayat-
ayat Al-Qur’an yang bersifat umum (Tahkshis Al-‘amm), dan Hadis
memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit di dalam Al-
Qur’an (Tawdih Al-musykil).

6
3. Bayan Tasyri’i
Hadis menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an. Ketetapan hadis merupakan ketetapan yang bersifat
tambahan atas hal-hal yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hukum-
hukum yang hanya berdasarkan Hadist semata.
4. Bayan Naskhi
Ketetapan Hadist bisa mengubah hukum dalam Al-Qur’an maksudnya
hadis dapat menghapus (Nasakh) hukum yang diterangkan dalam Al-
Qur’an.
Jadi, hubungan antara sunnah dan Al-Qur’an sangat erat keduanya tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena keduanya berdasarkan
wahyu yang datang dari Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk
disampaikan kepada umatnya, hanya proses penyampaiannya dan
periwayatannya yang berbeda. Sunnah mempunyai peran yang utama yakni
menjelaskan Al-Qur’an baik secara tersurat maupun tersirat, sehingga tidak ada
istilah pertentangan antara keduanya.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa As-sunnah berfungsi
sebagaibayan, penjelas, dari ayat-ayat Al-Quran. Dalam banyak kasus,
ayat-ayat Al-Quran tidak akan dapat dipahami atau dilaksanakan bila tidak
memperhatikan bayan yang pernah diberikan oleh Nabi SAW. Tanpa
pengetahuan tentang As-sunnah, niscaya tidak mungkin mengetahui
dan memahami maksud dari ayat-ayat Al-Quran sebagaimana mestinya.
Umat Islam mempercayai bahwa dasar utama ajaran Islam adalah Al-
Quran, dan untuk memahami serta untuk mengejawantahkan ajaran yang ada
di dalamnya diperlukan As-sunnah. Atas dasar pemahaman demikian, dapat
ditegaskan bahwa Al-sunnah adalah dasar kedua ajaran Islam. Dengan
demikian, ajaran Islam tidak hanya yang termuat di dalam Al-Quran saja, tetapi
juga terungkap di dalam As-sunnah. Bila ingin mengetahui bagaimana
Islam mengatur suatu urusan, maka perlu dicari ketentuan dan aturannya
di dalam keduanya, Al-Quran dan Al-sunnah. Sebaliknya, berbagai

7
ketentuan dan aturan yang tidak ada di dalam Al-Quran dan Al-sunnah tentu
saja tidak dapat dikatakan sebagai ajaran Islam.
Di samping Al-Quran, hanyalah As-sunnah yang harus dijadikan dasar
atau landasan dalam ber-Islam. Dalam sejarah perkembangan Islam, memang
ada orang yang tidak menganggap bahwa As-sunnah adalah dasar ajaran Islam.
Mereka berpendapat bahwa Islam hanya didasarkan atas ajaran yang termaktub
di dalam Al-Quran saja. Hanya saja, kelompok yang biasa dikenal dengan
golongan inkar As-sunnah ini hanya terdiri dari segelintir orang. Mereka
termasuk kelompok sempalan di tengah-tengah umat Islam. Argumentasi
penolakan mereka terhadap As-sunnah sangat lemah, bahkan tidak sejalan
dengan penegasan Al-Quran sendiri.
Para ulama merumuskan bahwa penjelasan yang diberikan oleh As-
sunnahterhadap ayat-ayat Al-Quran dapat berbentuk sebagai bayan Al-tafsir,
rincian atau uraian lebih lanjut dari apa yang dinyatakan di dalam Al-Quran,
atau bayan Al-taqrir, konfirmasi atau penegasan terhadap pernyataan ayat-ayat
Al-Quran,bayan Al-tasyri’, keterangan tambahan terhadap ketentuan-
ketentuan yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam Al-Quran. Rincian
tentang berbagai bentukbayan ini dapat dilihat lebih jauh di dalam buku-buku
Ushul Fikih.

B. Sunnah Tasyri’iyyah dan Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah


1. Sunnah Tasyri’iyyah
Sunnah Tasyri’iyah adalah sunnah yang berkaitan dengan risalah
kenabian sehingga umatnya berada pada garis keniscayaan untuk
menerimanya. Dalam pendapat lain dikatakan bahwa sunnahTasyri’iyah
adalah sunnah yang muncul dari kapasitas Nabi Muhammad SAW sebagai
penyampai risalah.
Pada umumnya Sunnah Rasul itu terdiri dari ucapan, perbuatan dan
ketetapannya yang mempunyai hukum yang mesti diikuti (Sunnah
Tasyri’iyah). Umpamanya, perbuatan yang muncul dari beliau dalam
bentuk penyampaian risalah dan penjelasannya terhadap Al-Qur’an

8
tentang beberapa masalah ibadah yang bersifat umum dan mutlak, seperti
menjelaskan bentuk dan tata cara shalat dan lainnya. Karena itu, apa yang
datang dari beliau hendaklah diterima dengan ketaatan sepenuh hati
sebagai bukti seseorang dianggap beriman pada Rasul SAW dan apa yang
beliau larang haruslah dihindari.
Konsep Islam tentang sunnah bersumber dari apa diutusnya Rasul,
karena Al-Quran memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
mencontoh perilaku rasul, dinyatakan sebagai teladan dan agung, maka
perilaku Rasul lalu menjadi “ideal” bagi kaum muslimin dan muslimat
dengan dasar wahyu. Otoritas pokok bagi umat Islam adalah Al-Quran.
Meskipun demikian, Al-Quran juga menyatakan bahwa Rasulullah adalah
penafsir ayat-ayat Al-Quran.
Sunnah Tasyri’iyah adalah Sunnah yang mengandung unsur
pensyariatan bersifat abadi, dan berlaku untuk semua ruang dan waktu
(‘am) serta tidak terpengaruh dengan perubahan zaman.
Banyak sekali hadits atau sunnahTasyri’iyah yang ditemukan dalam
hadis. Yang termasuk sunnah Tasyri’iyah adalah Apa saja yang berasal
dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan
risalah kenabiannya, seperti penjelasan beliau terhadap maksud al-Qur’an,
tentang hukum halal dan haram, tentang aqidah dan ahlak atau hal-hal yang
berkaitan dengannya. Sunnah Nabi yang demikian ini mengikat secara
umum kepada setiap individu muslim sampai hari qiyamat:

‫ الَ يَ ِحلُّ َد ُم‬:‫س ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع ْنهُ قَال‬ َ ُ‫سعُ ْو ٍد َر ِض َي هللا‬ ْ ‫ع َِن اب ِْن َم‬
،‫الزانِي‬ َّ ُ‫ الثَّ ِيب‬:ٍ‫س ْو ُل هللاِ إِالَّ ِب ِإحْ دَى ثَالَث‬ُ ‫ش َه ُد أَ ْن الَ إِ َلهَ إِالَّ هللاُ َوأَنِي َر‬
ْ َ‫س ِل ٍم ي‬
ْ ‫ا ْم ِر ٍئ ُم‬
َ ‫ق ِل ْل َج َما‬
)‫ع ِة (رواه بحر ومسلم‬ ُ ‫س ِبالنَّ ْف ِس َوالتَّ ِاركُ ِل ِد ْينِ ِه ا ْل ُمفَ ِار‬
ُ ‫َوالنَّ ْف‬

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud radiallahuanhu dia berkata: Rasulullah


SAW bersabda: Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa
tidak ada ilah selain Allah dan bahwa saya (Rasulullah) adalah utusan
Allah kecuali dengan tiga sebab: Orang tua yang berzina, membunuh

9
orang lain (dengan sengaja), dan meninggalkan agamanya berpisah dari
jamaahnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim).

2. Sunnah Ghairu Tasyri’iyyah


Menurut Al-Dahlawi pengertian hadis ghairu tasyri’iyyah, yaitu hadis
yang tidak termasuk dalam jalan penyampaian risalah (ma laisa min bab
tabligh al-risâlah). Tabligh al-risalah merupakan hadis atau sunnah Nabi
yang substansinya berkaitan dengan perintah dalam ajaran Islam.
Sedangkan ghairu tabligh al-risalah adalah hadis atau sunnah Nabi yang
tidak berkaitan dengan perintah ajaran agama Islam. Jika Muhammad
berada dalam posisi ini, maka tidak wajib ditaati, sebab kapasitasnya
adalah sebagai manusia biasa. Al-Dahlawi menyandarkan pendapatnya ini
pada hadis Nabi:
‫ي َوأَحْ َم ُد ْب ُن َج ْع َف ٍر‬ُّ ‫ع ْب ِد ا ْلعَ ِظ ِيم ا ْلعَ ْنبَ ِر‬
َ ُ‫اس ْبن‬
ُ َّ‫عب‬َ ‫ام ُّي َو‬ ِ ‫الرو ِمي ِ ا ْليَ َم‬
ُّ ‫َّللا ْب ُن‬
ِ َّ ‫ع ْب ُد‬ َ ‫َح َّدثَنَا‬
َ ُ‫ض ُر ْب ُن ُم َح َّم ٍد َح َّدثَنَا ِعك ِْر َم ُة َوه َُو ا ْبن‬
‫ع َّم ٍار َح َّدثَنَا أَبُو‬ ْ َّ‫ي قَالُوا َح َّدثَنَا الن‬ ُّ ‫ا ْل َم ْع ِق ِر‬
‫سلَّ َم ا ْل َمدِينَةَ َو ُه ْم‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫ِيج قَا َل قَ ِد َم نَ ِب ُّي‬
َ ‫َّللا‬ ٍ ‫شي ِ َح َّدثَنِي َرافِ ُع ْب ُن َخد‬ ِ ‫النَّ َجا‬
‫ص َنعُهُ َقا َل َل َع َّل ُك ْم لَ ْو‬ ْ َ‫َيأْبُ ُرو َن ال َّن ْخ َل َيقُولُو َن يُ َل ِق ُحو َن ال َّن ْخ َل َف َقا َل َما ت‬
ْ ‫ص َنعُو َن َقالُوا ُك َّنا َن‬
‫صتْ قَا َل فَذَك َُروا َذ ِلكَ لَهُ فَقَا َل ِإنَّ َما أَنَا َبش ٌَر‬ َ َ‫لَ ْم تَ ْف َعلُوا كَانَ َخي ًْرا فَتَ َركُو ُه فَنَفَضَتْ أَ ْو فَنَق‬
َ ‫ِإذَا أَ َم ْرت ُ ُك ْم ِبش َْيءٍ ِم ْن دِي ِن ُك ْم فَ ُخذُوا ِب ِه َو ِإذَا أَ َم ْرت ُ ُك ْم ِبش َْيءٍ ِم ْن َرأْي ٍ َف ِإنَّ َما أَنَا َب‬
‫ش ٌر َقا َل‬
َّ‫ي فَنَفَضَتْ َولَ ْم َيشُك‬ َ َ‫ِعك ِْر َمةُ أَ ْو ن‬
ُّ ‫حْو َهذَا قَا َل ا ْل َم ْع ِق ِر‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Ar Rumi Al
Yamami dan 'Abbas bin 'Abdul 'Azhim Al 'Anbari dan Ahmad bin Ja'far
Al Ma'qiri mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami An Nadhr bin
Muhammad; Telah menceritakan kepada kami 'Ikrimah yaitu Ibnu
'Ammar; Telah menceritakan kepada kami Abu An Najasyi; Telah
menceritakan kepadaku Rafi' bin Khadij dia berkata; Ketika Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam datang ke Madinah, para penduduk Madinah
sedang menyerbukkan bunga kurma agar dapat berbuah yang hal itu biasa
mereka sebut dengan 'mengawinkan', maka beliaupun bertanya: apa yang
sedang kalian kerjakan? Mereka menjawab: Dari dulu kami selalu

10
melakukan hal ini. Beliau berkata: 'Seandainya kalian tidak
melakukannya, niscaya hal itu lebih baik.' Maka merekapun
meninggalkannya, dan ternyata kurma-kurma itu malah rontok dan
berguguran. Ia berkata: lalu hal itu diadukan kepada beliau dan beliaupun
berkata: 'Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, oleh karenanya
apabila aku memerintahkan sesuatu dari urusan dien (agama) kalian, maka
ambillah (laksanakanlah) dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada
kalian berdasar pendapatku semata, maka ketahuilah bahwa sungguh aku
hanyalah manusia biasa. -Ikrimah berkata: kurang lebih seperti itu. Al
Ma'qiri berkata: maka iapun berguguran, -dan dia tidak meragukan hal itu.
Menurut al-Dahlawi, yang termasuk dalam kategori ghairu
tasyri’iyyah atauma laisa min bab tabligh al-risalah ini adalah: pertama,
ilmu-ilmu tentang pengobatan (medis). Rasulullah Saw melalui sabdanya
mengatakan bahwa obat penyakit ini adalah itu dan obat penyakit ini
adalah ini, padahal Rasulullah Saw bukanlah diutus sebagai tabib atau
dokter yang tugasnya menyembuhkan penyakit fisik atau mengajarkan
dunia pengobatan, melainkan sebagai seorang Nabi yang membawa
risalah. Kalaupun beliau pernah berkata tentang masalah pengobatan,
maka bukan bagian dari hukum dan risalah, tetapi sebagai bagian dari sisi
kemanusiaan beliau.
Karena itu, berobat dengan apa yang pernah disebutkan Nabi tidak
berkonsekuensi hukum wajib. Seringkali kita mendapatkan Rasulullah
mengatakan tentang suatu obat, maka seolah-olah penggunaannya menjadi
bagian dari syariat Islam. Padahal ketika itu perkataan Muhammad
bukanlah sebagai seorang Nabi yang mengajarkan pensyariatan
obatobatan itu, tetapi lebih sebagai seorang yang hidup di suatu masa dan
wilayah tertentu, dan sebagai bagian dari masyarakat yang punya
pergaulan luas, wajar kalau beliau memiliki pengetahuan yang banyak
termasuk dalam masalah obat-obatan. Contohnya adalah hadist-hadist
berikut ini:

11
‫سلَ َمةَ ع َْن ُم َح َّم ِد ب ِْن‬ ْ َ‫ش ْيبَةَ َح َّدثَنَا أ‬
َ ‫س َو ُد ْبنُ عَا ِم ٍر َح َّدثَنَا َح َّما ُد ْب ُن‬ َ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَك ِْر ْب ُن أَ ِبي‬
‫س َّل َم َقا َل ِإ ْن كَانَ فِي‬ َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫سلَ َمةَ ع َْن أَ ِبي ه َُري َْرةَ ع َْن ال َّن ِبي‬
َ ‫ع ْم ٍرو ع َْن أَ ِبي‬ َ
ُ‫َاو ْو َن ِب ِه َخ ْي ٌر فَا ْل ِح َجا َمة‬
َ ‫ش َْيءٍ ِم َّما تَد‬
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Aswad bin 'Amir telah menceritakan kepada
kami Hammad bin Salamah dari Muhammad bin 'Amru dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
'Sekiranya ada sesuatu yang lebih baik yang dapat kalian gunakan untuk
pengobatan, maka itu adalah hijamah (bekam).
‫عيَ ْينَةَ ع َْن‬
ُ ُ‫س ْفيَانُ ْبن‬ُ ‫اح قَ َاال َح َّدثَنَا‬ َّ ‫ش ْيبَ َة َو ُم َح َّم ُد ْبنُ ال‬
ِ َّ‫صب‬ َ ‫َح َّدثَنَا أَبُو بَك ِْر ْب ُن أَ ِبي‬
َ ‫ص ٍن َقالَتْ َد َخ ْلتُ ِباب ٍْن ِلي‬
‫علَى‬ َ ‫ت ِم ْح‬ ٍ ‫َّللا ع َْن أ ُ ِم قَي‬
ِ ‫ْس ِب ْن‬ ِ َّ ‫ع ْب ِد‬
َ ‫َّللا ب ِْن‬ ُ ‫الز ْه ِري ِ ع َْن‬
ِ َّ ‫ع َب ْي ِد‬ ُّ
َّ‫غ ْرنَ أَ ْو َال َد ُكن‬
َ ‫علَ ْي ِه ِم ْن ا ْلعُ ْذ َر ِة فَقَا َل ع ََال َم تَ ْد‬
َ ُ‫س َّل َم َو َق ْد أَ ْع َل ْقت‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ َّ ‫ص َّلى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ال َّن ِبي‬
‫ط ِب ِه ِم ْن ا ْلعُ ْذ َر ِة َويُلَ ُّد‬ ُ ‫س َع‬ ْ َ‫س ْب َعةَ أ‬
ْ ُ‫ش ِف َي ٍة ي‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم ِب َهذَا ا ْلعُو ِد ا ْل ِه ْندِي ِ فَ ِإنَّ ِفي ِه‬
َ ‫ق‬ ِ ‫ِب َهذَا ا ْل ِع َال‬
ٍ ‫َّللا ْب ُن َو ْه‬
‫ب‬ َ ‫ي َح َّدثَنَا‬
ِ َّ ‫ع ْب ُد‬ ُّ ‫ح ا ْل ِمص ِْر‬ َّ ‫ب َح َّدثَنَا أَحْ َم ُد ْب ُن ع َْم ِرو ب ِْن ال‬
ِ ‫س ْر‬ ِ ‫ت ا ْل َج ْن‬ِ ‫ِب ِه ِم ْن ذَا‬
‫صلَّى‬َ ِ ‫ص ٍن ع َْن النَّبِي‬ َ ْ‫ت ِمح‬ ِ ‫ْس بِ ْن‬ ٍ ‫َّللا ع َْن أ ُ ِم قَي‬ ُ ‫ب ع َْن‬
ِ َّ ‫عبَ ْي ِد‬ ٍ ‫ش َها‬ ِ ‫س ع َْن اب ِْن‬ ُ ُ‫أَ ْنبَأَنَا يُون‬
َ ‫س أَ ْعلَ ْقتُ يَ ْعنِي‬
ُ‫غ َم ْزت‬ ُ ُ‫سلَّ َم بِنَحْ ِو ِه قَا َل يُون‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫َّللا‬
َّ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu
Syaibah dan Muhammad bin Ash Shabah keduanya berkata; telah
menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari Az Zuhri dari
Ubaidullah bin Abdullah dari Ummu Qais binti Mihshan dia berkata, "Aku
mengunjungi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersama anakku yang baru
saja saya obati kerongkongannya dengan tanganku, maka beliau bersabda:
"Dengan maksud apa kamu mengobati penyakit tenggorokan anakmu
dengan memasukkan jemari tangan? Gunakanlah kayu India, karena
padanya terdapat tujuh ragam penyembuhan, dan dapat di masukkan
sebagai obat tetes hidung untuk dapat menyembuhkan penyakit
kerongkongan dan dapat pula menjadi penyembuh dari penyakit radang
selaput dada." Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin 'Amru bin As
Sarh Al Mishri telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb telah

12
memberitakan kepada kami Yunus dari Ibnu Syihab dari Ubaidillah dari
Ummu Qais binti Mihshan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti
hadits di atas, Yunus mengatakan, "Arti a'laqtu adalah menusuk dengan
jari."
Kedua, ilmu-ilmu yang didapatkan melalui pengalaman. Hal ini
seperti pesan yang tercakup 19 Muhammad ibn Yazid Abu ‘Abdillah al-
Qazwaini, Sunan Ibn Majah, juz. 2, 240. 20 Abu Isa Muhammad bin Isa al
Sulami al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H), juz.
3, 291. dalam hadis “lebih baik jika kalian terdorong untuk memperoleh
untuk jihad seekor kuda hitam yang punya cahaya keputih-putihan di
dahinya.” Begitu juga dengan anak panah yang dilepaskan saat
peperangan, meskipun hadisnya menyebutkan bahwa “siapa yang
melepaskan anak panah di medan perang, maka dia akan mendapat ini dan
ini.”
Padahal intinya adalah ikut beperang dan bukan pada penggunaan
anak panahnya. Di zaman sekarang ini, senjata yang kita gunakan bukan
lagi anak panah, tetapi senapan otomatis, pelontar granat atau roket. Begitu
juga denga kayu ara’ yang sering digunakan untuk bersiwak (menggosok
gigi), bukan pada kayunya, namun pada menggosok giginya. Bahwa kayu
ara’ itu punya khasiat ini dan itu, silahkan saja. Tetapi Islam tidak pernah
menetapkan bahwa siwak yang menggunakan kayu ara’ saja yang
disunnahkan.
Ketiga, berbagai topik yang biasa Nabi bicarakan layaknya
pembicaraan orang kebanyakan. Keempat, segala hal yang berkaitan
dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya juz’iyyah (temporal) dan bukan
sebagai kebijakan yang berlaku selamanya bagi seluruh umat, seperti hadis
tentang ramal. Kelima, segala hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan
Nabi dan bukan masalah ibadah (ritual keagamaan), misalnya cara tidur
Nabi, cara berjalan, cara berpakaian, dan lain-lain. contohnya adalah hadis
tentang jenggot. Jenggot hanyalah kebiasaan yang terjadi di kalangan
orang Arab, walaupun ada teks hadisnya. Memelihara jenggot tidaklah

13
wajib, walaupun Nabi membiarkan jenggot, karena jenggot merupakan
bagian dari tradisi Arab ketika itu. Walaupun sunnah tersebut adalah
sunnah ghairu tasyri’iyyah yang menurut al-Dahlawi dan beberapa ulama
yang pro klaim sunnah ghairu tasyri’iyyah bahwa sunnah jenis ini tidak
memiliki otoritas dalam syariat sehingga tidak berkaitan dengan pahala
dan dosa, tetapi kalau sunnah ini diamalkan semata-mata untuk taqlid
kepada Rasulullah Saw dengan tidak membebani diri, maka itu akan
terhitung sebagai ibadah karena telah dianggap mengikuti Rasulullah Saw.
Misal yang lain, dalam salah satu kasus yang dianggap ghairu tasyri’iyyah,
Rasululah senantiasa mendahulukan kaki kanan untuk masuk ke Masjid
ataupun ke rumah beliau, makan dengan tangan kanan, mendahulukan kaki
kiri ketika hendak masuk ke kamar mandi, lebih senang menggunakan
pakaian berwarna putih, tidak menyukai makanan yang berbau menyengat
seperti bawang putih, mengenakkan gamis, dan lain sebagainya.
Terkadang juga sebuah hadis yang dianggap ghairu tasyri’iyyah
adalah upaya Nabi untuk membedakan umat Islam dengan kaum Yahudi
dan Nasrani. Misalnya hadis yang memerintahkan untuk menyisir rambut
menjadi belah dua. Itu adalah reaksi Nabi ketika melihat bahwa kaum
Yahudi sering menyisir rambut mereka ke depan dan kaum Nashrani
menyisir rambut mereka lebih condong ke arah kanan. Kemudian beliau
bersabda “Khallifuhum fi umurihim” (berbedalah kalian dengan mereka
pada seluruh aspek kehidupan mereka). Jika sekarang kita mengamalkan
hadis-hadis tersebut dengan tujuan mengikuti Nabi untuk membedakan
diri dengan kaum Yahudi dan Nashrani, apakah kita tidak dihitung
melaksanakan ibadah dan mendapat pahala? Kadang-kadang pula sebuah
sunnah yang datang dari Rasulullah tersebut membawa manfaat untuk
kemaslahatan. Misalnya hadis tentang minum sambil berdiri yang beliau
larang. Ternyata mengandung manfaat bagi kesehatan bahwa kalau kita
minum sambil berdiri, maka akan mudah terkena penyakit. Apabila kita
tinggalkan hal tersebut dengan niat untuk mengikuti Rasulullah dan
menjaga kesehatan apakah tidak dihitung ibadah dan membawa ganjaran

14
pahala? Demikian juga pengikutan terhadap keperibadian Nabi didasari
oleh rasa cinta kepada beliau, misalnya seseorang tidak memakan suatu
makanan karena tidak mengetahui apakah Rasulullah pernah
melakukannya dan itu ia niatkan semata-mata karena rasa cinta kepada
Rasulullah Saw, apakah ia tidak mendapatkan pahala atas iktikad baik dan
niat baiknya tersebut? Deskripsi di atas menurut penulis jelas mendapat
pahala dan dihitung ibadah, karena niat yang tulus dari pelakunya jelas
akan mendatangkan ganjaran.
Disinilah seharusnya titik temu antara pemikiran al-Dahlawi dengan
ulama- ulama yang kontra dengan klaim sunnah ghairu tasyri’iyyah yaitu
semua sunnah yang datang dari Rasulullah terutama sunnah tasyri’iyyah
ataupun sunnah ghairu tasyri’iyyah sekalipun kalau 5 diamalkan
semampunya yang tidak membebani diri dengan niat mengikuti
Rasulullah, dan rasa cinta kepada beliau akan terhitung sebagai ibadah
dalam rangka taqarrub ‘ila Allah. Sekarang ada kecenderungan sebagaian
umat Islam dalam memberikan tekanan yang berlebihan terhadap aspek
permanensi (alsawâbit) ketimbang yang dinamis (almutaghayyirat), 24
aspek al-ittiba’ (cara hidup dengan mengikuti pola yang sudah ada) lebih
menonjol ketimbang aspek al-ibda’ (cara hidup dengan menempuh jalan
baru yang belum parnah dirambah sebelumnya). Preseden masa lalu selalu
dijadikan model yang permanen untuk mengontrol serta mengendalikan
perubahan yang terjadi, sehingga gerak perubahan ke masa depan menjadi
terhambat.
Hadis kategori ghairu tasyri’iyyah adalah hadis yang berasal dari sifat
kemanusiaan Muhammad dan tidak wajib untuk ditiru, tapi hanya ideal
untuk ditiru. Prinsip-prinsip pemahaman hadis Nabi yang ditawarkan oleh
alDahlawi ini sangat urgen, mengingat pemahaman atas kedudukan hadis
Nabi harus relevan dengan dirinya dan pada saat yang sama menjadi
relevan dengan masyarakat sekarang ini. Relevan dengan dirinya sendiri
berarti kandungan maknanya terbatas pada nilai-nilai yang dikandungnya,

15
sedangkan relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini berarti bahwa
relevansi tersebut berlangsung pada pemahaman yang rasional.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sunnah adalah penafsiran praktis terhadap Al-Qur’an, implementasi
realistis, dan juga implementasi ideal Islam. Sunnah menurut bahasa
(etimologi) berarti tradisi yang biasa dilakakan (adat kebiasaan), dan jalan
yang dilalui baik terpuji maupun tercela.
2. Sunnah dalam kedudukan Islam memiliki kedudukan yang sangat penting.
Di mana hadis merupakan salah satu sumber hukum ke dua setelah Al-
Qur’an. Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa adanya hadis.
3. Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an secara umum adalah untuk menjelaskan
makna kandungan Al-Qur’an sangat dalam dan global.
4. Sunnah Tasyri’iyah adalah sunnah yang berkaitan dengan risalah kenabian
sehingga umatnya berada pada garis keniscayaan untuk menerimanya.
Dalam pendapat lain dikatakan bahwa sunnahTasyri’iyah adalah sunnah
yang muncul dari kapasitas Nabi Muhammad SAW sebagai penyampai
risalah.
5. Menurut Al-Dahlawi pengertian hadis ghairu tasyri’iyyah, yaitu hadis
yang tidak termasuk dalam jalan penyampaian risalah (ma laisa min bab
tabligh al-risâlah).

17
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, M. Syuhundi, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa, 1987.


Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah, 2008.
Hasan, Ahmad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung:Pustaka, 1984.
Imam An-Nawawi, Matn-Arba'in, Jakarta: Cahaya Ummat: 2008.
Mahmud Saltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar al-Qalam, l966.
Muhaimin, Abdul Mujib, dan Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi
Islam, Jakarta: Prenada Media, 2007.
Smeer, Zein B., Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis, Malang: UIN-
Malang Press, 2008.
Tarmizi, M. Jakfar, Otoritas Sunnah non Tasyri’iyah Menurut Yusuf Al-
Qardhawi, Jokjakarta: Ar Ruzz Media, 2011.
Anonim, ‘Hadist Shohih Muslim Nomor 4357-Kitab Keutamaan’,
https://www.hadits.id/hadits/muslim/4357, diunduh pada 16/10/2021,
pukul 19:01
Anonim, ‘Hadits Sunan Ibnu Majah No. 3467 - Kitab Pengobatan’,
https://www.hadits.id/hadits/majah/3467, diunduh pada 16/10/2021,
pukul 19:32
Anonim, ‘Hadits Sunan Ibnu Majah No. 3453 - Kitab Pengobatan’,
https://www.hadits.id/hadits/majah/3467, diunduh pada 16/10/2021,
pukul 19:32
http://www. ulumulhadits.com. diakses pada Senin, 18 Oktober 2021. Pukul:
15.42
Johar Arifin, M. Ridwan Hasbi, ‘Klasifikasi Sunnah Tasyri’iyah dan Ghairu
Tasyri’iyah Perspektif Pemikiran Ahmad Syah Waliyullah Al-Dahlawi’,
http://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/Anida/article/view/12500/6203, diunduh pada
16/10/2021, pukul 18:45

18

Anda mungkin juga menyukai