Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian


keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits, banyak sekali jenis hadist yang menjadi topik kajian
pembahasan di berbagai lingkup belajar, terutama kajian ilmur islam yang menjadikan hadist sebagai
salah satu dasar penguat topik kajian islam. Beberapa orang kemudian mempertanyakan sumber dan
kedhoifan hadist tersebut. setelah melihat pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan
dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan saja, orang – orang akhirnya mampu untuk
mengetahui kedhohifan hadist tersebut bahkan mampu membedakan pembagian – pembagian hadist.
Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan
matan.

Untuk mengetahui tinjauan pembagian hadits maka penulis hanya akan membahas pembagian
hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi

2. Bagaimana pembagian hadits dari segi kualitas


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits dari segi Kuantitas Perawi

Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas
atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang membaginya menjadi tiga
bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni
hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri,
tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dikemukakan oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya,
Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama
ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan
merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad1.

1. Hadits Mutawatir

a. Pengertian Hadits Mutawatir

Mutawatir secara kebahasaan adalah isim fa’il dari kata al-tawatur, yang berarti al-tatabu, yaitu
berturut – turut. Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan
logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan ini terus menerus
berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir

Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

‫عنَ كَانََ مـَا‬ ُ ‫عةَ بِ َِه أَخ َب ََر َمح‬


َ َ‫سوس‬ َ ‫ل َمبلَغـا الكـَث َرَِة فِى َبلـَغُوا َجمــَا‬ ُ ‫علـَى ت ََوا‬
َُ ‫ط ُؤهُمَ ا َدَة َ ََالع تُحِ ي‬ َ ‫ب‬
َِ ‫الكـَـ ِذ‬

Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat
berbohong.

Kata amr hissi dalam definisi ini maksudnya adalah sesuatu yang dapat di jangkau oleh para
perawinya melalui pancaindra, seperti pendengaran dan penglihatan. Dalam hal ini, tidaklah di sebut

1
Para ulama yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada dua, yaitu Mutawatir dan Ahad. Lihat
Mahmud al – Thahhan, Taisir Mushthalah al – Hadits ( Beirut: Dar Al – Qur’an al – Karim, 1339 H/1979M),h.18.
mutawatir apabila suatu informasi yang diriwayatkan itu di peroleh bukan melalui pancaindra, seperti
melalui proses berfikir atau penggunaan daya nalarnya2.

b. Syarat Hadits Mutawatir

berdasarkan definisi mengenai Hadis Mutawatir di atas, para Ulama hadis selanjutnya
menetapkan bahwa suatu Hadis dapat dinyatakan sebagai Mutawatir apabila telah memenuhi kriteria
tertentu. Kriteria tersebut ialah sebagai berikut :

1) Hadis Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini bahwa
mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Beberapa ulama berpendapat jumlah minimal
perawi adalah sepuluh . Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadis
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar
Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu
merupakan awal bilangan banyak. Abu al – Thayyib, menjelaskan jika di analogikan kepada saksi
dalam qadzf; ada yang mengharuskan 20 orang, karena diqiyaskan kepada Al – Qur’an surat 8,
Al – Anfal : 64. Penentuan jumlah tersebut sebenarnya adalah kreatif, karena yang menjadi
tujuan utamanya adalah terpenuhinya syarat nomor tiga yaitu mustahilnya mereka untuk
bersepakat melakukan dusta atas berita yang mereka riwayatkan.

2) jumlah tersebut harus terdapat setiap lapisan atau tingkatan sanad.

3) mustahil menurut adat bahwa mereka dapat sepakat untuk berbuat dusta.

4) sandaran riwayat mereka adalah pancaindera, yaitu dapat dijangkau oleh pancaindera
(mahsusat) umpamanya melalui pendengaran atau penglihatan3.

Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-benar
dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu merupakan hasil
renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari dalil yang lain,
maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.

c. Macam-macam mutawatir

Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :

1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang sama, serta
kandungan hukum yang sama, contoh :

َُ ‫سو‬
َ‫ل قـَا َل‬ َ ‫سلَّ ََم‬
ُ ‫علَي َِه هللا َر‬ َ ‫ب َمنَ َو‬ ََّ َ‫عل‬
ََ َ‫ي َكذ‬ َِ َّ‫الن‬
َ َ‫ار مِ نََ َمقعَ َدَهُ فـَليَتَبَ َّوأ‬

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia
siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.

2
Ibid
3
Mahmud al – Thahhan, Taisir Mushthalah al – Hadia, h. 19.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits
ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.

2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits yang
diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna yang sama
tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengangkat
tangannya ketika berdo’a.

‫)ومسلم البخارى رواه( اإلستسقاء فى إال دعائه من شئ فى ابطه بياض رؤي حتى يديه وسلم عليه صلى هللا رسول رفع م مسى ابو قال‬

Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua tangannya
dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’
(HR. Bukhori dan Muslim)

3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW,
kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh
generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id,
shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama
dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.

Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi, maka
Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat
mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi)
memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir
jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits
serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk
sepakat berdusta terhadap hadits yang diriwayatkannya.

Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :

a) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang disusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad


‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.

b) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin
Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)

c) Qathfu al – Azhar oleh Al-Sayuti. Kitab ini adalah ringkasan dari kitab yang pertama diatas.

d. Hukum dan Kedudukan Hadis Mutawatir


status dan hukum hadis Mutawatir adalah qat’I al-wurud, yaitu pasti keberadaannya dan
menghasilkan ilmu yang dharuri (pasti).oleh karenanya adalah wajib bagi umat islam untuk menerima
dan mengamalkannya.4

2. Hadits Ahad

a. Pengertian Hadis Ahad

Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” . Khabar al –
Wahid adalah kabar yang diriwayatkan oleh satu orang jadi, kata ahad berarti satuan, yakni angka
bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh
orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan
kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak
sampai pada tingkatan mutawatir.

Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.

1. Hadits Masyhur

Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan menurut
istilah ada beberapa definisi, antara lain :

ُ‫ار َواَه‬
َ َ ‫ص َحا َب َِه مِ نََ مـ‬ َ ‫ص َحا َب َِه َبع ََد ت ََـواتِر َح ََّد َيبلُ َُغ ال‬
َّ ‫ع َددَ ال‬ َّ ‫َبع ِدهِمَ َومِ نَ ال‬

“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan mutawatir,
kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”

Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus shahih
adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu
Umar.

‫فَل َيغسِلَ ال ُجم َع َهُ َجا َء ُك َُم اِذَا‬

“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”

Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-ketentuan
hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:

َ‫ال‬ َ َ‫ال‬
َ ‫ض َر ََر‬ َ ‫ار ََو‬
ََ ‫ضـــ ِ َر‬

“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”

4
Al – Thahhan, Taisir, h. 19
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih dan
hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :

َ ‫ضــهَ ال َِعل َِم‬


َُ‫طلَب‬ َ ‫ل عــَـلَي فَ ِري‬
َِ ‫َو ُمس ِل َمــــهَ ُمسلِمَ ُك‬

“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”

Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam enam macam5:

1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW membaca
do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan Zakwan. (H.R.
Bukhari, Muslim, dll).

2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga
dikalangan orang awam, seperti :

ََ ‫ســـــل ََِم َمنَ ال ُمس ِل َُم‬


َ ََ‫َوي ِدَِه لِســـَـا ِن َِه مِ نَ ال ُمس ِل ُمون‬

3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :

‫ل نَ َهي‬ ُ ‫صلَّي هللاَِ َر‬


ََ ‫سو‬ َ ‫سلَّ ََم‬
َ ‫علَيــــ َِه‬
َ ِ‫هللا‬ َ ‫عنَ َو‬
َ ‫الغ ََر َِر بَي َِع‬

“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”

4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :

‫اب اجت َ َه ََد ث ََُّم ال َحا ِك َُم َحك َََم اِذَا‬ َ َ ‫ان فَلـَــ َهُ فَـــأ‬
ََ ‫ص‬ َِ ‫َــــم َواِذَا أَج َر‬
ََ ‫طَأ َ ََّم َُث فَاجت َ َه ََد َحك‬
َ ‫أَجرَ فَلـ َ َهُ أَخَــــ‬

“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian ijtihadnya
benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya
itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).

5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

ََ ‫ع َرفُونِي فَ ِبي الخَلقََ فَخَلـَقتَُ أُع ِر‬


َُ‫ف أَنَ فَأَح َببتَُ َمخ ِفيًّا كَنزا ُكنت‬ َ

“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka kuciptakan
makhluk dan merekapun mengenal-Ku

6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling fasih
mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.

Para ulama telah menghimpun hadis – hadis tersebut kedalam beberapa kitab, di antaranya:

a) Al – Maqashid al – Hasanah fima Isytahara min al – Hadits ‘ala al – Asinah, karya Al Sakhawi;

5
Ibid.,h. 365;Id. Al – Mukhtashar al Wajiz fi’ Ulum al – Hadits (Beirut: Mu’assasah al – Risalah,1991), h. 126: Zain al
– Din ‘ Abd al Rahim ibn Husain al – ‘Iraqi, Al – taqyid wa al – Idhah Syarh MUQADDIMAH IBN AL – Shalah ( Beirut:
Dar al – Fikr,1981), H. 263.
b) Kasyf al – Khafa ‘ wa Muzil al – Ilbas fima isytahara min al – Hadits ‘ala Alsinat al – Nas, karya Al
– ‘Ijlawani ; dan
c) Tamyiz al Thayyib min al – Khabits fima Yaduru ‘ala Alsinat al – Nas min al – Hadits, karya Ibn
al Daiba’ al – Syaybani.6

2. Hadits Ghairu Masyhur

Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz
menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz
adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”

Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat


perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat
yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits
‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan hanya
yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh
dua rawi, contoh hadits ‘aziz :

َ َُ‫ـاس َو َولــ ِ ِدَِه َوالِـ ِدَِه مِ نَ إِلَي َِه أ َ َحبََّ أَكُونََ َحتَّي أ َ َح ُد ُكمَ يُؤمِ ن‬
َ‫ال‬ َ ِ َّ ‫عِينََ ََأَجم َوالنـ‬

“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang tuanya,
anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi ilmu
hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.

Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya
terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi”.

Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bisa berkaitan dengan personalitasnya,
yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi
itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi
lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi bisa terjadi pada
awal, tengah atau akhir sanad.

6
Al – Thahhan, Taisir, h. 24.
B. Pembagian Hadits dari segi Kualitas Sanad dan Matan-nya

Ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan-nya, atau berdasarkan kuat lemahnya. Hadis terbagi
menjadi dua golongan yaitu : Hadis Maqbul dan Hadis Mardud.7

Yang dimaksud dengan hadis Maqbul adalah Hadis yang memenuhi syarat – syarat qabul, yaitu
syarat untuk dapat di terima sebagai dalil dalam perumusan hukum atau untuk beramal dengannya.
Hadis maqbul ini terdiri atas Hadis shahih dan Hadis hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan hadis
mardud adalah hadis yang tidak memenuhi syarat – syarat qabul, dan hadis mardud dinamai juga
dengan Hadis Dha’if.

1. Hadits shahih
a. Pengertian hadis shahih

Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli
memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :

1) Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttasil) melalui
periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada
kejanggalan dan tidak ber’illat”.

2) Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan
oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”

Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah :

a) sanadnya bersambung.

b) perawinya bersifat adil.

c) perawinya bersifat dhabith.

d) matannya tidak syaz.

e) matannya tidak mengandung ‘illat.

b. contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

ِ ‫م قَ َرأ َ فِي ْال َم ْغ ِر‬.‫سمِ ْعتُ َرسُ ْو َل هللاِ ص‬


‫ب‬ َ ‫ع ْن أَبِ ْي ِه قَا َل‬ ْ ‫ع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ُجبَي ِْر ب ِْن ُم‬
َ ‫طع ِِم‬ َ ‫ب‬ َ ٌ‫ف قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا َما ِلك‬
ٍ ‫ع ِن اب ِْن ِش َها‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
ُ ‫ع ْبدُهللاِ ْبنُ ي ُْو‬
َ ‫س‬
)‫الط ْو ِر “(رواه البخاري‬ ُّ ِ‫ب‬

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf ia berkata : telah mengkhabarkan kepada kami
milik dari ibnu syihab dari Muhammad bin Jubair bin Math’ami dari ayahnya ia berkata : aku pernah
mendengar rasulullah saw.membaca dalam sholat maghrib surat at – thur” (H.R. BUKHARI, kitab adzan )

7
Shubhi al – Shalih, ‘ Ulum al – Hadits wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al – Ilm li al _ Malayin ), 1973),h, 141; M. ‘
Ajjaj al – Khathib, Ushul al – Hadits, h. 303; Mahmud al – Thahhah, Taisir, h.31.
1) Hadits Shahih li-Dzatihi

Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir,
diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat yang
tercela.

2) Hadits Shahih li-Ghairihi

Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan li-dazatihi, lalu
ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat menjadi hadits
shahih li-ghairihi

d) Kehujahan Hadits Shahih

Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil
syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam
soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang
berhubungan dengan aqidah.

Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadits mutawatir. oleh
karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan aqidah.

e) Tingkatan Hadits Shahih

Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih itu tergantung tinggi dan rendahnya kepada ke-dhabit-an
dan keadilan para perowinya. Berdasarkan martabat seperti ini, para muhaditsin membagi tingkatan
sanad menjadi tiga yaitu:

Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad
dari Imam Malik bin Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.

Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama
diatas. Seperti periwayatan sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.

Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadits yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan
kedua. seperti periwayatan Suhail bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.

Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi menjadi tujuh tingkatan, yang secara
berurutan sebagai berikut:

1) Hadits yang disepakati oleh bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),

2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori saja,


3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim saja,

4) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,

5) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,

6) Hadits yang diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,

7) Hadits yang dinilai shahih menurut ulama hadits selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti
persyratan keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.

Kitab-kitab hadits yang menghimpun hadits shahih secara berurutan sebagai berikut:

1) Shahih Al-Bukhari (w.250 H).

2) Shahih Muslim (w. 261 H).

3) Shahih Ibnu Khuzaimah (w. 311 H).

4) Shahih Ibnu Hiban (w. 354 H).

5) Mustadrok Al-hakim (w. 405).

6) Shahih Ibn As-Sakan.

7) Shahih Al-Abani.

2. Hadits Hasan

a. Pengertian hadis hasan

Dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫ ) الحسن‬bermakna al-jamal (‫ )الجمال‬yang berarti
“keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam. Namun,
yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :

َ‫ل اآل َحا ََد َو َخ َب ُر‬


َِ ‫ل ِبنَق‬
َِ ‫عد‬ َُ ‫ص‬
َ َ‫ل الضَّبطَِ ت َام‬ َّ ‫الَ ُم َعلَّلَ غَي َُر ال‬
ِ َّ ‫سنَ َِد ُمت‬ َِ ‫ ِلذَا ِت َِه الصَّحِ ي‬. َ‫َف فَاءِ ن‬
َ ‫ح ه ََُو شَاذَ َو‬ َُ ‫ضب‬
ََّ ‫ط خ‬ َ ‫ِلذَا ِت َِه فَل ُحسنَُ ال‬

khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung
sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya
disebut hasan Lidztih.

Dengan kata lain hadits hasan adalah :

َ‫ل َما ه َُو‬ َ َّ ‫سنَ ُدَهُ ات‬


ََ ‫ص‬ َ ‫ل‬
َِ ‫ل بِنَق‬
َِ ‫ل الذِي العَد‬ ُ ‫ضب‬
ََّ َ‫ط َهُ ق‬ َ ‫َوال ِعلَّ َِه الشذُو َِذ مِ نََ َو َخ‬
َ َّ‫ل‬
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang
sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat. Secara etimologi adalah merupakan
shifat musyabbahah, yang berarti al – jamal , yaitu ‘indah” , “bagus”.

Kriteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi
kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan
dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih.

b. Contoh hadits Hasan

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Urfah
Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :

ُ ‫ِلي السِتِينََ بَينََ َما ا ُ َّمتِي أَع َم‬


َ‫ار‬ ََ ‫ذَالِكََ يَ ُجو َُز َمنَ َوأَقَل ُهمَ السَّبعِينََ ا‬

“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.

c. Macam-macam Hadits Hasan

Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi
dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.

Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala
criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi penjelasan diatas.

Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :

َُ ‫ف ال َحدِي‬
َ‫ث ه َُو‬ َّ ‫ي اِذَا ال‬
َُ ‫ضعِي‬ ََ ‫ق مِ نَ ُر ِو‬ َ ‫مِ ن َه ُ أَق َوي أَوَ مِ ثلُ َه ُ أُخ َري‬
َِ ‫ط ِري‬

“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.

َ‫ف ه َُو‬
َُ ‫ضعِي‬ ُ َ‫سبَبَُ َيَ ُكنَ َولـَم‬
َّ ‫ط ُرقُ َهُ تَعَ َّد َدتَ اِذَا ال‬ َ ‫ضع ِف َِه‬ َّ ُ ‫أَوكِذبُ َه‬
َ ََ‫الرا ِوي فِسق‬

“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik atau
dustanya perawi.8

Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bisa naik manjadi hasan lighairih dengan dua
syarat yaitu :

1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.

8
Ibid h. 45 -46.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti hafalan kurang atau
terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas perawi.

d. Kehujjahan hadits Hasan

Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua fuqaha
sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat
dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian muhadditsin yang
mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-
Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.

3. Hadits Dha’if

a. Pengertian Hadis Dha’if

Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (‫ )الضعيف‬berarti lemah lawan dari
Al-Qawi (‫ )القوي‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak
memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :

َ‫صفَ َهُ يَج َمعَ لَمَ َما ه َُو‬


ِ ‫ن‬
َِ ‫س‬ ُ
َ ‫ش ُروطِ َِه مِ نَ شَرطَ بِفَق َِد ال َح‬

Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak
terpenuhi.

Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :

َ‫صفَ َهُ يَج َمعَ لَمَ َما ه َُو‬


ِ َِ‫ن الصَّحِ يح‬
َِ ‫س‬
َ ‫َوال َح‬

Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.

Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan
shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith,
terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat)
pada sanad atau matan.

b. contoh hadits Dha’if

hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujaimi
dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

َ‫ضا أَت َي َو َمن‬


َ ِ‫ل بِ َما َكف َََر فَقَدَ كَا ِهنَا أَوَ ُدب َُِر مِ نَ أ َ ِوام َرأَهَ َحائ‬
ََ ‫علَي اُن َِز‬
َ َ‫ُم َح َّمد‬
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan belakang (dubur)
atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW.

Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif oleh para
ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar : ‫ لَ ِينَ فِي َِه‬padanya lemah.

c. Hukum periwayatan hadits dhaif

Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif terdapat
kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil
dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan
meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :

1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah

2) Tidak menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi, berkaitan dengan
masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-
sebagainya.

Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan bentuk kata
aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup
menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : ‫ي‬ ََ ‫ ُر ِو‬diriwayatkan,
ََ ‫ نُ ِق‬dipindahkan,
‫ل‬ ‫ي فِيمِ ا‬
ََ ‫ يُر ِو‬pada sesuatu yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan
karena berhati-hati (ikhtiyath).

d. Pengamalan hadits dhaif

Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi menjadi 3
pendapat, yaitu :

1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail al a’mal)
atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in.
pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.

2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam masalah hokum
(ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat
dari pendapat para ulama.

3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji yang
menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa persyaratan
sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
a) Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau dituduh
dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan berlaku pasiq dan bid’ah
baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).

b) Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam (hadits
maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang membatalkan hokum
pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).

c) Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati semata
atau ikhtiyath.

e. Tingkatan hadits dhaif

Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif
atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat diamalkan
sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah
mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembagian hadits jika ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad. hadits mutawatir dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu : mutawatir ma’nawi
dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu
masyhur, kemudian ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.

Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu hadits mutawatir
dan hadits ahad yaitu hadist yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits yang dahif

Hadis Shahih dan Hadis Hasan yaitu hadis yang memenuhi syarat – syarat qabul , sedangkan
Hadis Dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi syarat – syarat qabul, ketiganya terbagi atas beberapa
bagian sesuai dengan syarat – syarat tertentu..

B. Saran-saran

Sebagai pencari ilmu khususnya ilmu hadits hendaklah benar-benar mengetahui secara detail
pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, agar timbul ke ihtiyathan
kita dalam menyampaikan hadits,dalam penyampaiannya pun haruslah mengetahui kshahihan hadist
tersebut dan salah satu cara membedakan keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-
pembagian hadits. Hal ini bertujuan untuk menghindari diri dri golongan orang – orang yang
menyampaikan hadist palsu.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt.yang telah memberikan kemudahan kepada kami untuk menyusun
makalah ini. Tanpa pertolongan – Nya mungkin penyusunan makalah ini tidak dapat selesai pada
waktunya.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memahami dan mengetahui pembagian hadis baik dari segi
kuantitas perawi maupun dari segi kualitas sanad dan matan-nya. Penyusun mengucapkan terimakasih
kepada Dosen mata kuliah Ulumul Hadis yang telah membimbing kami dalam penyelesaian makalah ini.
Tak lupa pula ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusun dalam mencari
sumber – sumber informasi pendukung dalam penyelesaian makalah ini.

semoga makalah ini dapat menambah wawasan tambahan yang lebih luas kepada pembaca. Dalam
penyusunannya, makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, untuk itu penyusun dengan penuh
harap memohon saran dan kritikannya agar dapat menjadi acuan penyusun dalam menyusun makalah –
makalah berikutnya.

Samata,06 Oktober 2019

penyusun

Anda mungkin juga menyukai