Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULU
A. Latar Belakang
Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Quran, diakui oleh hampir
seluruh umat islam, hanya kelompok kecil umat islam yang menolak hadits sebagai sumber
ajaran Islam yang dikenal dengan ingkar al-sunnah. Tidak diragukan lagi bahwa sunnah
Rasulullah S.A.W. menempati posisi yang tinggi dalam agama Islam, oleh karena selain sunnah
merupakan sumber ketetapan hukum yang kedua setelah al-Quran. Sunnah juga merupakan
sebuah pengetahuan baik keagamaan yaitu hal-hal yang berkaitan dengan alam gaib yang sumber
satu-satunya adalah wahyu, seperti yang berkaitan dengan Allah, malaikat, kitab-kitab Allah,
rasul-rasul Allah, syurga dan neraka, hari kiamat dan tanda-tandanya, kejadian-kejadian diakhir
zaman, ataupun pengetahuan yang berkaitan dengan aspek kemanusiaan, seperti yang berkaitan
dengan pendidikan, kesehatan dan perekonomian umat.
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250 M.). Dalam sejarah,
puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar tahun
(650-1000 M.) Pada masa ini telah hidup ulama besar, yang tidak sedikit jumlahnya, baik
di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan
lainnya. Dalam proses perkembangannya ilmu hadits mengalami beberapa kemajuan dalam
tingkat kualitasnya, hal ini didukung karena adanya perkembangan pemikiran yang lahir dari
para pemikir-pemikir modern yang berkecimpung dalam dunia penelitian hadits. Oleh karenanya
banyak sudah kitab-kitab khusus yang membahas tentang hadits-hadits. Baik dari segi
pembagiannya ataupun ilmu-ilmu yang mendukung adanya pembukuan hadits. Dan juga dalam
perkembangananya hadits juga membutuhkan berbagai ilmu yang membahas tentang bagaimana
caranya memahami hadits. Dalam hal ini kami kelompok 1 diberi tugas untuk membuat makalah
menguraikan yang berjudul Pembagian Hadits berdasarkan Perawi dan Matan serta
menjelaskan Hadits Maudhu.
Yang akan kami rumuskan sebagai berikut :
B. Rumusan Masalah

1. Pembagian Hadits Berdasarkan


A. Perawi dan B. Matan ?
2. Apa Pengertian Hadits Maudhu ?

II. PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits berdasarkan Perawi


Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas
atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan
menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya
menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk
ke dalam hadits ahad, ini disponsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr
Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama
ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan
merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
a. Hadits Mutawatir
1) Pengertian
Mutawatir menurut bahasa, isim fail musytaq dari at-tawatur artinya at-tatabu’ (berturut-turut).
Agus Solahudin dan Agus Suyadi (2013:129). Sedangkan menurut istilah Hadits mutawatir yaitu
khabar yang didasarkan pada panca indra yang dikabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil
menurut adat mereka bersefakat untuk mengkabarkan berita itu dengan dusta.
a) Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk
berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan didasarkan pada panca indra.
b) Hadits yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca indra orang banyak yang menurut
adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dosa.
Selanjutnya menurut muhadditsin, segala berita yang tidak bersandar pada panca indra, seperti
menyifatkan sifat-sifat manusia, baik itu yang terpuji maupun yang tercela dan segala berita yang
diriwayatkan oleh banyak orang tapi mereka berkumpul untuk bersepakat membacakan berita-
berita dusta, tidak dapat dikategorikan hadits mutawatir.
Sanad sebuah hadits terdiri dari sekian orang mulai dari orang pertama yang menerima hadits itu
Rasulullah SAW hingga Imam Mukharij (pengumpul) hadits. Jumlahnya bisa lima atau enam
orang. Orang pertama dalam sanad itu biasanya sahabat Rasul SAW, kemudian orang
sesudahnya adalah tabi’i, orang sesudahnya tabi’i it-tabi’iy dan seterusnya. Jadi yang dikatakan
sebagai hadits mutawatir, ialah apabila sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut
jumlahnya banyak, demikian pula orang sesudahnya yaitu tabi’in, jumlahnya juga harus
banyak, hingga generasi akhir sanad hadits itu.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka hadits mutawatir dapat dijelaskan dengan ilustrasi
berikut. Seperti kita ketahui, bahwa hadits itu lahir sekitar empat belas abad yang lalu. Hadits
tidak mungkin sampai ketengah-tengah kita kecuali atas jasa para rawi pada tiap-tiap generasi,
dari generasi sahabat hingga generasi para kolektor hadits. Jika jumlah para sahabat yang
menjadi rawi pertama suatu hadits itu jumlahnya banyak, begitu juga pada periode tabi’in, tabi’
tabi’in, hingga penulis kitab, maka hadits tersebut disebut dengan hadits mutawatir.
Dari beberapa definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang berdasarkan panca indranya baik itu indra penglihatan maupun
indra pendengaran yang mustahil mereka bersefakat untuk berdusta/berbohong dari awal sanad
sampai akhir sanad.

2) Syarat Mutawatir
Dari sepuluh referensi buku yang ada, ada tiga syarat bahwa suatu hadits dikatakan mutawatir
yaitu sebagai berikut:
a) Pemberitaan hadits yang disampaikan oleh para rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
panca indera, baik indra penglihatan maupun pendengaran. Biasanya ditandai dengan lapadz ‫راينا‬
‫ لمسنا‬,‫ سمعنا‬, dan sebagainya Oleh karena itu, informasi yang didasarkan hasil pemikiran akal
(logika) tidaklah disebut sebagai mutawatir.
b) Banyaknya rawi sampai pada jumlah, yang menurut adat mustahil mereka bermufakat dusta.
Menurut Abu al-Thayib jumlah perawinya 4 orang, ashhab al-Syafi’i menyatakan 5 orang, dan
ulama lain menyatakan pula perawinya mencapai 20 orang atau 40 orang. Al-Isthakhari
menetapkan yang paling baik minimal 10 orang, sebab jumlah sepuluh itu merupakan awal
bilangan banyak.
c) Adanya keseimbangan jumlah rawi diawal thabaqah/sanad, dipertengahan dan selanjutnya
dalam bilangan mutawatir. Oleh karena itu, bila suatu hadits diriwayatkan oleh sepuluh sahabat
misalnya kemudian diterima oleh lima orang tabi’iy dan seterusnya hanya diriwayatkan oleh
tabi’ tabi’in, tidaklah dinamakan hadits mutawatir. Sebab, jumlah rawi-rawinya tidak seimbang
anatara thabaqah pertama, kedua dan seterusnya.

3. Klasifikasi Hadits Mutawatir


Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua yaitu mutawatir lafzhi dan
mutawatir ma’nawi. Sebagian ulama yang lain membaginya menjadi tiga yaitu mutawatir
lafzhi, ma’nawi dan amali.

a) Hadits Mutawatir Lafzhi


Hadits Mutawatir Lafzhi, ialah hadits yang mutawatir lapadz, hukum dan maknanya sesuai
antara riwayat yang satu dengan riwayat yang lainnya. Contoh :
ِ َّ‫ي ُمتَعَ ِمدًا فَ ْليَت َ َب َّوأْ َم ْقعَدَهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬ َ َّ‫َم ْن َكذ‬
َّ َ‫ب َعل‬
“ Barang siapa yang berdusta atas namaku, hendaklah ia bersiap-siap menduduki tempat
duduknya dineraka (H.R. Bukhari)”
Menurut Abu Bakar al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan sebagian
ulama mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lapadz dan
makna yang sama.
Berat dan ketatnya kriteria hadits mutawati lafzhi seperti diatas, menjadikan jumlah hadits ini
sedikit. Menurut Ibnu Hibban dan Al-Hazimi, bahwa hadits mutawatir dengan ta’rif ini tidak
diperoleh. Ibnu Al-Shalah yang diikuti oleh Al-Nawawi menetapkan, bahwa hadits mutawatir
lafzhi sedikit sekali

b) Hadits Mutawatir Ma’nawi


Hadits Mutawatir Ma’nawi ialah hadits yang maknanya mutawatir tetapi lafalnya tidak atau
secara lebih jelasnya Hadits Mutawatir Ma’nawi ialah hadits yang lapadz dan maknanya
berlainan antara satu riwayat dengan riwayat yang lain, tetapi terdapat persesuaian makna secara
keseluruhan. Contoh :
‫اء‬ِ َ‫اْل ْستِ ْسق‬ِ ْ ‫اء ِه اِالَّ فِي‬ ِ ‫ش ْيءٍ ِم ْن دُ َع‬ َ ‫اض اِ ْب‬
َ ‫ط ْي ِه فِي‬ ُ َ‫ي بَي‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫سلَ َم يَدَ ْي ِه َحتَّى ُر ِؤ‬ َ ‫َما َرفَ َع‬
“Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdoa selain dalam doa shalat istisqa dan
beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya”) Mutfaq ‘alaih)
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali (kalau dikumpulkan ada 100
hadits) antara lain :
‫َكانَ يَ ْرفَ ُع يَدَ ْي ِه َحد َْو َم ْن ِكبَ ْي ِه‬
“Rasul SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pudak beliau”
Misalnya seorang meriwayatkan bahwa Hatim memberikan seekor unta kepada seorang laki-laki.
Sementara yang lain meriwayatkan bahwa Hatim memberikan seekor kuda kepada seorang laki-
laki dan yang lainnya lagi mengatakan bahwa Hatim memberikan beberapa dinar kepada seorang
laki-laki demikian seterusnya. Dari riwayat-riwayat tersebut kita dapat memahami, bahwa Hatim
adalah seorang pemurah, sifat pemurah Hatim ini kita pahami, melalui jalan khabar mutawatir
ma’nawi.
Hadits mutawatir ma’nawi pada umumnya dilaporkan dari tempat yang berbeda. Contohnya
hadits “al-hawdh” (yaitu tempat air minum orang-orang mukmin nanti pada hari akhirat sebagai
keistimewaan Rasul saw), diriwayatkan oleh lebih dari tiga puluh sahabat (menurut Imam al-
Baihaqi).
c) Hadits Mutawatir amali
Hadits Mutawatir amali ialah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa ia dari agama dan
telah mutawatir dikalangan umat islam bahwa nabi saw mengajarkannya atau menyuruhnya atau
selain dari itu. Dari hal itu dapat dikatakan soal yang telah disepakati.
Mutawatir amali adalah hadits mutawatir yang terkait dengan perbuatan rasulullah saw yang
disaksikan dan dicontoh oleh para sahabat, diteruskan juga oleh generasi setelahnya dengan
tanpa ada perbedaan. Contohnya adalah berita-berita yang menerangkan waktu dan rakaat shalat,
shalat jenazah, shalat ‘ied, hijab perempuan yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa
amal yang telah menjadi kesepakatan , ijma.
Para Ulama dan segenap umat islam sepakat pendapatnya, bahwa hadits mutawatir memberi
ilmu zharuri, yakni suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberikan oleh
hadits mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qat’i (pasti).
b. Hadits Ahad
Hadits ahad ialah hadits yang para perawinya tidak sampai pada jumlah rawi hadits mutawatir,
tidak memenuhi persyaratan hadits mutawatir dan tidak pula mencapai derajat mutawatir,
sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits : “hadits yang tidak mencapai derajat
mutawatir” , “Hadits yang tidak sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadits mutawatir, baik
rawinya itu seorang, dua, tiga, empat, lima atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak
memberi pengertian bahwa hadits itu bilangan tersebut masuk kedalam hadits mutawatir”.
Ahad adalah bentuk jamak dari kata ‘wahid’ yang berarti satu. Khabar ahad yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh rentetan satu orang, satu orang perawi. Menurut istilah ahli hadits, khabar
ahad adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh beberapa orang perawi, namun
tidak sampai pada derajat mutawatir, atau tidak sampai memenuhi syarat-syarat mutawatir.
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi. Angka ‘satu’ memberikan
kesan akan jumlah yang sedikit. Dengan demikian, bisa dikatakan juga hadits ahad berarti hadits
yang diriwayatkan oleh jumlah rawi yang sedikit.
Secara Istilah hadits ahad banyak didefinisikan oleh para ulama yaitu khabar yang jumlah
perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadits mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga,
empat, lima dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak
mencapai jumlah perawi hadits mutawatir.
Menurut Munzier Suparta dan Utang Ranuwijaya (1996:92) yang dikutip dari Mahmud At-
Tahnan ada ulama yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat mutawatir.
Secara Sederhana, hadits ahad adalah suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syarat-syarat
mutawatir atau hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mencapai derajat
mutawatir.
Jadi dapat disimpulkan hadits ahad adalah hadits yang para rawinya tidak sampai pada jumlah
rawi hadits mutawatir, tidak memenuhi persyaratan mutawatir dan tidak pula mencapai derajat
mutawatir.
Berdasarkan jumlah rawi tiap-tiap thabaqoh, maka hadits ahad dapat dibagi menjadi tiga macam;
masyhur, ‘aziz dan gharib.
1) Hadits Masyhur
Secara bahasa, masyhur merupakan bentuk isim maf’ul dari kata “syahara” yang berarti
mengumumkan atau menyiarkan. Karenanya “masyhurun” berarti yang disiarkan atau yang
diumumkan. “masyhurun” juga berarti populer atau terkenal. Zuhdi Rifa’i (2009:115). Kemudian
As-Shidieqy mengemukakan bahwa hadits masyhur menurut bahasa adalah muntasyir, yaitu
sesuatu yang sudah tersebar, Hadits Masyhur menurut bahasa, ialah al-intisyar wa az-zuyu’ yakni
sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Sedangkan menurut istilah yang dikemukakan oleh
ulama usal yaitu : “ Hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai
ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat, dan demikian pula setelah
mereka.
Contoh : “Barang siapa pergi shalat jum’at maka hendaklah ia mandi” (Riwayat Al-Jamaah).
Hadits Masyhur yaitu hadits yang mempunyai jalur-jalur sanad yang terbatas, tetapi lebih dari
dua perawi dari setiap thabaqoh.
Hadits Masyhur bisa juga disebut hadits mustafidh, walaupun terdapat perbedaan, yakni bahwa
pada hadits mustafidh jumlah rawinya tiga orang atau lebih, sejak thabaqoh pertama, kedua
sampai terakhir. Sedangkan hadits masyhur jumlah rawinya untuk tiap thabaqoh tidak harus tiga
orang. Jadi, hadits pada thabaqot pertama atau kedua hanya diriwayatkan oleh seorang perawi
namun pada thabaqoh selanjutnya diriwayatkan oleh banyak rawi, maka hadits itu termasuk juga
hadits masyhur. Contoh :
‫ت َواِ َّن َما ِل ُك ِل ْام ِرىءٍ َما ن ََوى‬ ِ ‫اِنَّ َما اْْل َ ْع َما ُل ِباالنِيَا‬
“Bahwasanya amal-amal itu dengan niat dan bagi tiap-tiap seorang itu memperoleh apa yang ia
niatkan” (Riwayat Mutafaq ‘alaih).
Hadits tersebut pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh ‘Umar sendiri, pada thabaqah
kedua hanya diriwayatkan oleh Alqamah sendiri, kemudian pada thabaqah ketiga diriwayatkan
oleh orang banyak, antara lain : ‘Abd Al-Wahab, Malik, Al-Laits, Hammad dan Sufyan.
Hadits masyhur ada yang shahih dan ada pula yang dhaif. Kriteria masyhur dari suatu hadits
tidak identik dengan keshahihannya sebab peninjauan shahih dan tidaknya suatu hadits
bergantung pada shahih tidaknya rawi, sanad, dan keadaan sanadnya bukan pada
kemasyhurannya. Bahkan, istilah masyhur bagi suatu hadits adakalanya bukan karena jumlah
rawi, tetapi berdasarkan pada sifat ketenarannya dikalangan para ahli ilmu tertentu atau
dikalangan masyarakat.
Dari segi ini, maka hadits masyhur tersebut terbagi pada :
a) Masyhur dikalangan muhaditsin dan lainnya, seperti hadits :
َ ‫س ِل َم ْال ُم ْس ِل ُم ْونَ ِم ْن ِل‬
‫سا ِن ِه َو َي ِد ِه‬ َ ‫ال ُم ْس ِل ُم َم ْن‬
“Seorang muslim itu ialah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan
lidah dan tangannya” (H.R. Bukhari dan Muslim)
b) Masyhur dikalangan ilmu tertentu seperti ahli fiqih, nahwu, ushul fiqih, tasawuf dan lain-
lainnya, seperti hadits yang masyhur dikalangan ulama fiqih saja :
‫ار ْال َمس ِْج ِد إِ َّال فِي ال َمس ِْجد‬
ْ ِ ‫ص ََلة َ ِل َج‬َ ‫َال‬
“tidaklah sah shalat bagi orang yang berdekatan dengan masjid, selain shalat didalam masjid”
(Riwayat Al-daruqutni dari Abu Hurairah r.a)
Hadits yang masyhur dikalangan ulama ushul fiqih :
‫الن ْس َيانُ َو َما ا ْست ُ ْك ِره ُْوا َعلَ ْي ِه‬ ِ ‫طا ُء َو‬ َ ‫ُر ِف َع َع ْن أ ُ َّم ِتى ْال َخ‬
“Terangkanlah (dosa) dari umatku, kekeliruan, lupa dan perbuatan yang mereka lakukan karena
terpaksa. (Riwayat At-Thabrani dari Ibnu Abas r.a)
c) Masyhur dikalangan umum, seperti hadits :
‫علَى فَ َر ٍس‬ َ ‫َّاء ِل َح ٌّق َوا ِْن َجا َء‬ ِ ‫ِللس‬
“Bagi si peminta-minta ada hak, walaupun datang dengan kuda” (Riwayat Ahmad dan Al-Nasai
dari Abu Hurairah)
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits masyhur secara bahasa berasal
dari kata “masyhurun/muntasyir/al-intisyar wa az-zuyu’ ”yang berarti terkenal atau populer.
Sementara secara istilah hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi
bilangannya tidak sampai ukuran bilangan mutawatir.
2) Hadits ‘Aziz
‘Aziz bisa berasal dari ‘azza-ya ‘izzu yang berarti la yakadu yujadu atau qalla wa nadar (sedikit
atau jarang adanya), dan bisa berasal dari ‘azza-ya’azzu berarti qawiya (kuat). Sedangkan
menurut istilah yaitu hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua thabaqot
sanad. Walaupun pada thabaqot lainnya perawinya lebih dari dua orang perawi. Dinamakan
sedikit karena sedikit kwantitasnya, atau bertambah kuat dengan adanya sanad lain yang
menguatkan.
Selanjutnya Ash-Shidieqy mengemukakan bahwa ‘aziz menurut bahasa adalah Asy-
Syafief (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shobul ladzi la yuqwa ‘alaih (yang
sukar diperoleh) dan Al-Qawiyu (yang Kuat). Sedangkan Rahman mengemukakan ‘aziz secara
istilah adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut
terdapat pada satu thabaqoh saja, kemudian orang-orang meriwayatkanya.
Hadits ‘Aziz yaitu hadits yang bukan hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap
thabaqohnya, tetapi selagi pada salah satu thabaqoh didapati dua orang rawi, maka hadits itu
disebut hadits ‘aziz.
Contoh sebagai berikut :
a) Hadits ‘aziz pada thabaqoh pertama :
‫نَحْ نُ ْاْل ِخ ُر ْونَ السَّابِقُ ْونَ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬
“Kami adalah orang-orang terakhir didunia yang terdahulu pada hari kiamat”. (Riwayat Ahmad
dan An-Nasai)
Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqoh) pertama yakni huzaifah ibn Al-
Yaman dan Abu Hurairah. Hadits tersebut pada thabaqoh kedua sudah menjadi masyhur sebab
melalui periwayatan Abu Hurairah, hadits tersebut diriwayatkan oleh tujuh orang.
b) Hadits ‘aziz pada thabaqoh kedua :
َ‫اس اَجْ َم ِعيْن‬ ِ َّ‫َاليُؤْ ِمنُ أ َ َحد ُ ُك ْم َحتَّى أ َ ُك ْونَ أ َ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن نَ ْف ِس ِه َو َوا ِل ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬
“Tidak sempurna iman seorang darimu sehingga aku lebih dicintai dari pada ia mencintai diri
sendiri, orang tuanya, anak-anknya dan manusia seluruhnya” (Riwayat Mutafaq ‘alaih(
Hadits tersebut diterima oleh sahabat Anas ibn Malik (Thabaqoh pertama), kemudian diterima
oleh Qatadah dan ‘Abd Al-‘Aziz (Thabaqoh kedua) dan seterusnya sampai thabaqoh empat.
Sebagaimana hadits masyhur, maka hadits ‘aziz pun ada yang shahih, hasan dan dhaif, ke ‘azizan
suatu hadits tidak identik dengan shahih tidaknya nilai hadits.
Jadi dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hadits ‘aziz secara bahasa berasal
dari “ ‘azza-ya ‘izzu” yang berarti sedikit atau jarang adanya atau “ ‘azza-ya’azzu ” yang berarti
kuat atau juga Asy-Syafief (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shobul ladzi la
yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh) dan Al-Qawiyu (yang Kuat). Sedangkan menurut istilah
hadits ‘aziz ialah hadits yang rawinya tidak kurang dari dua orang pada setiap thabaqahnya atau
selagi pada salah satu thabaqahnya didapati dua orang rawi, maka hadits tersebut dinamakan
hadits ‘aziz.
3) Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti Al-Munfarid (menyendiri) atau Al-Ba’id an Aqoribihi (jauh dari
kerabatnya). Ulama ahli hadits mendefinisikan hadits gharib sebagai hadits yang diriwayatkan
oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu
imamnya maupun selainnya.
Kemudian Ash-Shidieqy mengemukakan bahwa gharib menurut bahasa (1) adalah ba’idun ‘anil
wathani (yang jauh dari tanah) dan (2) kalimat yang sukar dipahami. Adapun menurut istilah
menurut Ath-Thahhan yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi.
Hadits Gharib yaitu hadits yang terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Penyendirian rawi tersebut dapat terjadi :
a) Mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadits tersebut selain
rawi itu sendiri.
b) Mengenai sifat atau keadaan rawi, artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda dengan sifat atau
keadaan rawi-rawi yang lain yang diriwayatkan hadits tersebut.
Berdasarkan pada bentuk penyendirian, maka terbagilah hadits gharib pada dua macam :
a) Hadits Gharib Muthlaq, yakni hadits yang terdapat penyendirian sanad mengenai jumlah
personalia rawi, contoh :
‫ان‬
ِ َ ْ ‫اْل‬
‫م‬ ‫ي‬ ِ ْ َ‫ش ْعبَةٌ ِمن‬ ُ ‫ش ْعبَةً َو ْال َحيَا ُء‬ ُ َ‫س ْبعُ ْون‬ َ ‫ض ٌع َو‬ ِْ
ْ ‫اْل َمانُ ِب‬
“Imam itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang, malu itu salah satu cabang dari imam”.
(Riwayat Mutafaq’alaih)
b) Hadits Gharib Nisbi, yakni hadits yang terdapat penyendirian dalam sifat atau keadaan
tertentu seorang rawi:
(1) Penyendirian tentang sifat keadilan dan kedhabitan dan ketsiqatan rawi, contoh :
‫ت السَّا َعةُ َوا ْنش ََّق ْالقَ َم ُر‬ ِ َ‫أن ْال َم ِج ْي ِد َوا ْقت ََرب‬ ِ ‫ط ِر بِق َو ْالقُ ْر‬ ْ ‫ض َحى َو ْال ِف‬ْ َ ‫سلَّم يَ ْق َرأ ُ فِي ْاْل‬
َ ‫صلى هللا َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫َكانَ َر‬
َ ِ‫سو ُل هللا‬
“konon Rasulullah saw pada hari raya qurban dari hari raya fitri membaca surat qaaf dan surat al-
Qamar”. (Riwayat Muslim)
(2) Penyendirian tentang kota atau tempat tinggal tertentu, yakni hadits yang hanya
diriwayatkan oleh para rawi dari kota/daerah tertentu saja. Misalnya Basrah, Kufah atau Madinah
saja, contoh :
ُ‫ب َو َما تَ َيس ََّر ِم ْنه‬ ِ ‫ ا َ ْن نَ ْق َرأ َ ِبفَا ِت َح ِة ْال ِكتَا‬.‫م‬.‫س ْو ُل هللاِ ص‬ ُ ‫ا َ َم َرنَا َر‬
“Rasulullah memerintahkan kepada kita agar membaca al-Fatihah dan surat mudah dari Al-
Quran”.(Riwayat Abu Dawud)
Hadits ini diterima oleh Abu Dawud dari Abu Walid al-Thayasili dari Hamam dari Qatadah dari
Abu Nasharoh dan Said yang kesemuanya berasal dari basrah.
(3) Penyendirian tentang meriwayatkan dari rawi tertentu. Contoh :
‫ق َوت َ َم ٍر‬ َ ِ‫ص ِفيَّةَ ب‬
ٍ ‫س ْو ِب‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ اَ ْو لَ َم‬.‫م‬.‫ي ص‬ َّ ‫ا َ َّن نَ ِب‬
"Sesunggunya Nabi saw mengadakan walimah untuk shafiyah dengan jamuan makanan yang
terbuat dari tepung gandum dan kurma”
Dalam sanad hadits tersebut, terdapat seorang rawi bernama wa’il yang meriwayatkan hadits
tersebut dari anaknya (Bakr ibn Wa’il). Sedang perawi yang lain tidak ada yang meriwayatkan
demikian.
Dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hadits gharib secara bahasa ialah
Al-Munfarid (menyendiri) atau Al-Ba’id an Aqoribihi (jauh dari kerabatnya), asing, terasing atau
menyendiri, ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari tanah) dan kalimat yang sukar dipahami.
Sedangkan menurut istilah ialah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi atau hadits yang
terdapat penyendirian rawi dalam sanadnya dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
B. Pembagian Hadits Berdasarkan Matan
Kata “matan” atau “al-matn” menurut bahasa berarti “punggung jalan atau tanah yang tinggi”,
membelah, mengeluarkan, mengikat, sedangkan menurut istilah ahli hadits, matan yaitu :
“ Perkataan yang disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW, yang disebutkan sanadnya”
Secara umum, matan dapat diartikan sebagai perkataan yang berasal/tentang Nabi, dan juga
berasal/tentang sahabat/Tabi’in.
Adapun pembagian Hadits dari segi matan dapat dilihat dari penentuan tinggi rendahnya
tingkatan suatu hadits bergantung matan. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan dua
orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi.
Jika dua buah hadits memiliki rawi (sanad) yang sama jumlahnya dan keadaannya, maka hadits
yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an, lebih tinggi
tingkatannya dari pada hadits yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat Al-Qur’an.
Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadits sebagai
sumber hukum atau sumber Islam.

1. Hadits Shahih
Shahih menurut bahasa adalah sah,benar, sempurna, tidak ada celanya, bersih dari
cacat.Menurut istilah yaitu hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi yang
adil dan dhabith dari rawi lain yang (juga) adil dan dhabith sampai akhir sanadnya, dan hadits itu
tidak syaz(janggal) serta tidak mengandung illat. Batasan hadits shahih yang di berikan para
ulama yaitu;
:
“Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi
ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”

Mengenai matannya sebuah hadits dapat dikatakan shahih apabila :


Pengertian yang terkandung dalam matan tidak bertentangan dengan ayat Al-Quran atau hadits
mutawatir walaupun keadaan rawinya sudah memenuhi syarat.
Pengertian dalam matan tidak bertentangan dengan pendapat yang disepakati (ijmak) ulama,
atau tidak bertentangan dengan keterangan ilmiah yang kebenaranya dapat dipastikan secara
sepakat oleh para ilmuwan.
Tidak ada kejanggalan lainya, jika dibandingkan dengan matan hadits yang lebih tinggi
tingkatan dan kedudukanya.
Hadits shahih dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
Hadits shahih lizatih adalah hadits yang memenuhi secara lengkap syarat-syarat hadits shahih
(shahih karena dirinya)
Hadits sahih Li Gairih adalah hadits dibawah tingkatan sahih yang menjadi hadits sahih karena
diperkuat oleh hadits-hadits yang lain.sendainya hadits tersebut tidak diperkuat oleh hadits-
hadits lain maka hadits tersebut hanya akann menjaadi hadits hasan.

2. Hadits Hasan
Menurut bahasa, Hasan berarti bagus atau baik,sesuatu yang disenangi dan dicondongi nafsu.
Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya. Menurut Imam
Turmuzi hadits hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut
kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang
dicurigai berdusta, matan hadisnya tidak janggal, diriwayatkan melalui sanad yang lain pula
yang sederajat.. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.”
Definisi hadits hasan menurut ibnu Hajar. adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil, (tetapi) tidak begitu kuat daya ingatnya, bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat
illat serta kejanggalan pada matanya. Hadits Hasan termasuk hadits yang Makbul, biasanya
dibuat hujjah buat sesuatu hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.
Menurut Ajaj al-Khatib hadits hasan adalah:

Artinya:
“Hadits yang bersambung sanadnya,yang diriwayatkan oleh perawi yang adil yang lebih rendah
kedhabithannya tanpa adanya syaz dan illat.”
Contoh hadits hasan;
Imam Ahmad berkata,”Yahya bin Said meriwayatkan hadits kepadaku,bapakku dari
kakekku,katanya”Aku bertanya:
Artinya:
“Ya Rasulullah,kepada siapakah aku harus berbakti?.”Rasulullah menjawab.”kepada
ibumu”.Kataku”Kepada siapa lagi?”.Rasuluullah menjawab “Kepada ibumu”.Kemudian aku
bertanya lagi.”kemudian kepada siapa?”Beliau menjawab”Kepada ibumu,kemudian
bapakmu,kemudian kerabat terdekat dan selanjutnya……….”(HR. Imam Ahmad)
Ada dua jenis hadits hasan, yaitu hasan li dzati-hi dan hasan li-ghairihi. Dikatakan hasan li
dzatihi sebab kualitas hasan-nya muncul karena memenuhi syarat tertentu, bukan karena faktor
lain di luarnya. Sedangkan hadits hasan li ghairihi adalah hadits yang didalamnya terdapat
perawi yang belum tegas kualitasnya, tetapi bukan perawi pelupa atau sering melakukan
kesalahan dalam riwayatnya.Tetapi hadits dhaif yang rawinya buruk hafalannya,tidak dikenal
identitasnya,dan mudallis (menyembunyikan cacat).Hadits dhaif ini dapat naik statusnya menjadi
hadits hasan lighairihi karena dibantu hadits lain yang semisal dan semakna atau bisa juga karena
banyak banyak yang meriwayatkannya.
Contoh hadits hasan sahih li gairih adalah hadits tentang menyikat gigi (bersiwak) menjelang
shalat, yang diriwayatkan oleh Turmuzi dan Abu Hurairah.
Contoh hadits hasan li gairih, adalah :
Artinya : “Rasulullah SAW bersabda : “merupakan hak atas kaum muslimin, mandi pada hari
jum’at”.

3. Hadits Dhaif
Hadits Dhaif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang
lemah tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah.
Menurut Nur al-Din’Athrt’,Hadits dhai’f adalah:

“Hadits yang yang hilang satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul”
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif.
Artinya : “hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits sahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadits hasan.
Secara tegas disebutkan bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan hadits sahih dan hadits
hasan) hilang, berarti hadits itu dinyatakan sebagai hadits dhaif. Jika yang hilang itu dua atau tiga
syarat, seperti perawinya tidak adil, tidak dhabith dan terdapat kesanggalan dalam matan, maka
hadits ini adalah hadits dhaif yang sangat lemah.
Contoh hadits dhaif :
“Rasulullah SAW melaknat wanita-wanita penziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan
kuburan sebagai mesjid dan menerangkannya dengan lampu-lampu”

Secara garis besar yang menyebutkan suatu hadits digolongkan menjadi hadits dhaif dikarenakan
dua hal yaitu : gugurnya rawi dalam sanadnya dan adanya cacat pada rawi atau matan. Yang
dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu, dua atau beberapa rawi, yang
seharusnya ada dalam satu sanad, baik pada permulaaan sanad, pertengahan, maupun akhir.
Hadits yang cacat rawi atau matanya, atau kedua-duanya digolongkan hadits dhaif. Banyak
macam cacat yang dapat menimpa para rawi atau menimpa matan, diantaranya pendusta, pernah
berdusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah merupakan cacat-cacat, yang ,masing-masing
dapat menghilangkan sifat dhaqbith rawi. Banyak keliru, banyak paham, buruk hapalan, lalu
mengusahakan hapalan dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya, merupakan cacat-cacat, yang
masing-masingnya menghilangkan sifat dhabith pada rawi. Adapun cacat matan, misalnya
terdapat sisipan ditengah-tengah lafaz hadits atau lafaz hadits itu diputar balikkan sehingga
memberikan pengertian yang berbeda denga maksud lafaz yang sebenarnya.
Berdasarkan sifat matannya hadits dhaif dapat di kategorikan dalam dua bentuk yaitu:
Hadits Mauquf, yaitu:
“Berita yang hanya di sandarkan sampai kepada shahabat saja ,baik yang di sandarkan itu
perkataan atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus”
Contoh hadits mauquf adalah:
“Konon Ibnu Umar r.a berkata:”Bila kau berada di waktu sore, jangan menunggu datangnya
pagi hari, dan bila berada di waktu pagi jangan menunggu datangnya sore hari.Ambillah dari
waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari hidupmu untuk persediaan
matimu.”(HR Bukhari)
Hadits ini dikatakan hadits mauquf sebab kalimat tersebut adalah perkataan Ibnu Umar
sendiri,tidak aada petunjuk kalau itu sabda dari Rasulullah saw.Yang ia ceritakan bahwa
Rasulullah saw memegang bahunya sambil bersabda:
“Jadilah kamu di dunia ini bagaikan orang asing atau orang yang lewat di jalan”.
Pada prinsipnya hadits mauquf tidak dapat dijadikan sebagai hujjah,kecuali ada qarinah yang
menunjukkan(menjadikan) marfu’.
Hadits Maqtu’
Hadits maqtu’ ialah :
“Perkataan atau perbuatan dari seorang tabi’iy serta di mauqufkan padanya baik sanadnya
bersambung, maupun tidak”

Contoh hadits maqtu’adalah perkataan Haram bin Jubair, seorang tabi’iy besar,uajrnya:
“Orang mu’in itu bila telah mengenal Tuhannya ‘Azza wa Jalla, niscaya ia mencintainya, dan
bila ia mencintainya, Allah menerimanya.”
Suatu hadits dikatakan maqtu’ ,dalam pemabahasan matan yakni matannya tidak dinisbahkan
kepada Rasulullah saw atau shahabat.Hadits maqtu’ tidak dapat dijadikan hujjah.

2. PENGERTIAN HADIST MAUDHU’


A. PENGERTIAN HADIST MAUDHU’
Hadist maudhu’ adalah hadist buatan dan palsu yang dinisbatkan seakan-akan berasal dari Nabi
SAW. Hadist maudhu’ sering dimasukkan ke dalam jenis hadist dha’if yang disebabkan oleh
tidak terpenuhinnya syarat ke adilan periwayat, Sementara ada sebagian ulama yang tidak
memasukkan hadist maudhu’ kedalam jenis hadist dha’if tetap merupakan bagian tersendiri.
Pengertian hadist maudhu’ adalah hadist yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, dengan
dusta dan tidak ada kaitanyang hakiki dengan Rasulullah.Bahkan, sebenarnya ia bukan hadist,
hanya saja paraulma menamainny hadist mngingat adanya anggapan rawinya bahwa hal
ituadalah hadist.
Indikasi ke-maudhu’ an hadist yang berkaitan dengan sanad:
1. Periwayatnya dikenal sebagai pendusta, dan tidak ada jalur lain yang periwayatnya tsiqoh
meriwayatkan hadist itu.
2. Periwayatnya mengakui sendiri membuat hadist tersebut.
3. Ditemukan indikasi yang semakna dengan pengakuan memalsukan hadist seperti seorang
periwayat yang meriwayatkan hadist dari orang yang dinyatakannya wafat sebelum ia sendiri
lahir.
B. SEJARAH MUNCULNYA HADIST MAUDHU’
Masuknya secara misal penganut agama lain ke dalam Islam, yang merupakan akibat
dari keberhasilan dakwah Islamiyah ke seluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi
faktor munculnya hadist-hadist palsu. Kita tidak bisa menafikkan bahwa masuknya mereka ke
Islam, di samping ada yang benar-benar ikhlas tertarik dengan ajaran Islam yang dibawa oleh
para da’i, ada juga segolongan mereka yang menganut agama Islam hanya karena terpaksa
tunduk pada kekuasaan Islam pada waktu itu. Golongan ini kita kenal dengan kaum munafik.
Penyebaran hadist maudhu’ pada masa pemerintahan Utsman bin Affan mulai
menaburkan benih-benih fitnah, tetapi pada masa ini belum begitu meluas karena masih banyak
sahabat ulama yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu
hadist. Para sahabat ini mengetahui bahaya dari hadist maudhu’ karena ada ancaman yang keras
dikeluarkan olen Nabi Muhammad SAW terhadap orang yang memalsukan hadist.
Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadist Maudhu’:
1. Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah
Pertentangan di antara umat islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap
khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifahan digantikan oleh Ali bin Abi
Thalib.
Umat islam pada masa itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti golongan
yang ingin menuntut bela terhadap kematian khalifah Utsman dan golongan yang mendukung
kekhalifahan Sayyidina Ali (Syi’ah). Setelah perang Siffin, muncul pula beberapa golongan
lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah.
Di antara golongan-golongan tersebut, untuk mendukung golongannya masing-masing,
mereka membuat hadist palsu. Yang pertama dan yang paling banyak membuat hadist maudhu’
adalah dari golongan Syi’ah dan Rafidhah.
2. Asanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi, dan Nasrani yang
senantiasa menyimpan dendam terhadap agama islam. Mereka tidak mampu untuk melawan
kekuatan islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka
menciptakan sejumlah besar hadist maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran islam.
Faktor ini merupakan factor awal munculnya hadist maudhu’. Hal ini berdasarkan
peristiwa Abdullah bin Saba’ yang mencoba memecah-belah umat Islam dengan mengaku
kecintaannya kepada Ahli Bait. Sejarah mencatatbahwa ia adalah seorang Yahudi yang berpura-
pura memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, ia berani menciptakan hadist maudhu’ pada saat
masih banyak sahabat ulama masih hidup.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari kalangan orang zindiq ini, adalah:
a. Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist maudhu’ tentang hukum
halal-haram. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin Sulaiman, Walikota Bashrah.
b. Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far Al-Mashur.
c. Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin Abdillah.
3. Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah
Mereka membuat hadist-hadist palsu dengan tujuan menarik orang untuk lebih mendekatkan diri
kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau dorongan-dorongan untuk
meningkatkan amal, melalui hadist tarhib wa targhib (anjuran-anjuran untuk meninggalkan yang
tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya baik) dengan cara berlebihan.
4. Menjilat Para Penguasa untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ulama-ulama membuat hadist palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para penguasa
sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta.
Sebab-sebab Pemalsuan Hadist dan kelompok-kelompok Pemalsuannya;
1. Sebab pemalsuan hadis yang pertama kali muncul adalah adanya prselisihan yang melanda
kaum Muslimin yang bersumber pada fitnah dan kasus-kasus yang mengikutinya yakni umat
Islam menjdi beberapa kelompok.
2. Permusuhan terhadap Islam dan untuk menjelek-jelekkannya. Yaitu upaya yang ditempuh
oleh orang-orang zindik, lebih-lebih oleh keturunan bangsa-bangsa yang terkalahkan oleh umat
Islam.
3. Upaya untuk memperoleh fasilitas duniawi, seperti pendekatan kepada pemerintah atau
upayamengumpulkan manusia ke dalam majelis,seperti yang dilakukan oleh para juru cerita dan
para peminta-minta. Dampak negative kelompok ini sangat besar.
Kepalsuan yang terjadi pada hadis seorang rawi tanpa disengaja, seperti kesalahannya
menyandarkan kepada Nabi SAW.
a) Pemberantasan Hadis Palsu dan Media Terpenting untuk Memberantasnya
Para ulama mengambil langkah untuk memerangi pemalsu hadis dan menghindarkan bahaya
para pemalsu. Untuk itu, merekamenggunakan berbagai metodologi yang cukup untuk
kesimpulannyasebagaiberikut:
Meneliti karakteristik para rawi dengan mengamati tingkah laku dan riwayat mereka.
b) Memberi peringatan keras kepada para pendusta dan mengungkap-ungkap kejelekan mereka,
mengumumkan kedustaan mereka kepada para pemuka masyarakat.
c) Pencarian sanad hadis, sehingga mereka tidak menerima hadis yang tidak bersanad, bahkan
hadis yang demikian mereka anggap sebagai hadis yang batil.
d) Menguji kebenaran hadis dengan membandingkannya dengan riwayat yang melalui jalur lain
dan hadi-hadis yang telah diakui keberadaannya.
e) Menetapkan pedoman-pedomanuntuk mengungkapkan hadis maudhu’.
f) Menyusun kitab himpunan hadis-hadis maudhu’ untuk memberi penerangan dan peringatan
kepada masyarakt tentang keberadaan hadis-hadis tersebut.
CIRI-CIRI HADIS MAUDHU’
1. Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad
a. Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta).
b. Pengakuan dari si pembuat sendiri.
c. Kenyataan sejarah mereka tidak mungkin bertemu, misalnya ada pengakuan dari seorang
rawi bahwa ia menerima hadist dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru
tersebut, atau lahir sesudah guru tersebut meninggal.
d. Keadaan rawi dan factor-faktor yang mendorongnya membuat hadist maudhu’.
2. Ciri-ciri yang Terdapat pada Matan
a. Keburukan susunan lafazhnya
b. Kerusakan maknanya.
Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada rawinya
1. Mengakui telah memalsukan hadis, seprti Abu ‘Ishmah Nuh bin Abu Maryam dan
Maisarah bin ‘Abdi Rabbih.
2. Tidak sesuai dengan fakta sejarah, sperti yang terjadi pada al-Ma’mun bin Ahmad yang
menyatakan bahwa al-Hasan menerima hadis dari Abu Hurairah sehubungan dengan adanya
perbedaan pendapat dalam masalah-masalahini.
3. Ada gejala-gejala para rawi bahwa ia berdusta dengan hadis yang besangkutan.
Ciri-ciri Hadis Maudhu’ pada Matan.
a) Kerancuan redaksi atau makna hadis.
b) Setelah diadakan penelitian terhdap suatu hadis ternyata menurut ahli hadis tidak terdapat
dalam hafalan para rawidan tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis, setelah penelitiandan
pembukuan hadis sempurna.
c) Hadisnya menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
d) Hadisnya bertentangan dengn petunjuk Al-Quran yang pasti.
KITAB-KITAB YANG MEMUAT HADIST MAUDHU’
1. Al-Maudhu’ ‘Al-Kubra, karya Ibn Al-Jausy (Ulama yang paling awal menulis dalam ilmu
ini)
2. Al-La’ali Al-Mashnu’ah fi Al-Ahadist Al-Maudhu’ah, karya As-Suyuthi.
3. Tanzihu Asy-Syari’ah Al-Marfu’ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah Al-Maudhu’ah, karya Ibnu
‘Iraq Al-Kittani.
4. Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, karya Al-Albani.

PENUTUP
Kesimpulan

Pembagian hadits bila ditinjau dari perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu :
mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi tiga
yaitu hadits Masyhur, hadits Aziz, dan Hadits Garib.

Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas matannya dapat dibagi menjadi dua
macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah hadits
yang dahif.
Daftar Pustaka

M. Alfatih suryadilaga dkk, ulumul hadist, teras, Jogjakarta maret 2010, hal 36

Rahman, fatchur. 1968. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Yogyakarta: PT Alma’ Arif.


Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers
Prof. KH. Mustafa Yakub, M.A, Dasar – Dasar Ilmu Hadits
Drs. Yusuf Saefullah, M.Ag, Pengertian Ilmu Hadits
Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa mmmmCendekia.
Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia
Thahhan, Mahmud. 2007. Intisari Ilmu Hadits. Malang : UIN-Malang Press
Uwayd ,Salah Muhammad Muhammad. 1989. Taqrib Al-tadrib . Beirut : Dar al-mmmmKutub
al-Imliyyah
Agus Solahudin. Ulumul Hadist. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Kasman. Hadist Dalam Pandangan Muhammadiyah. Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka. 2012.
Nurrudin, Ulumul Hadis.PT Remaja Rosdakarya Bandung. Cetakan pertama. 2012

Anda mungkin juga menyukai