Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULIAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur’an. hadits merupakan
perkataan, perbuatan, ketetapan dari Rasulullah saw. apabila dilihat dari segi riwayat, penyampaian
hadits secara lisan sesuatu keterangan dari Rasul maka jadilah hadits yang mempunyai kualitas yang
bertingkat – tingkat. ada yang kuat ada yang lemah. sedangkan dalam menyampaikan sebuah hadits ,
terkadang nabi berhadapan dengan orang - orang yang jumlah nya amat banyak, terkadang dengan
beberapa orang, terkadang pula hanya dengan satu atau dua orang saja.
Disamping itu hadits nabi dalam kaitannya dengan Al-Qur’an mempunyai fungsi menetapkan
dan memperkuat hukum – hukum yang ada dalam Al- Qur’an. Maka dalam hal ini kedudukannya
sama - sama menjadi sumber hukum. Begitu pula hadits memberikan perincian dan penafsiran ayat –
ayat Al- Qur’an yang masih global. hadits yang dijadikan pegangan dasar hukum sesuatu perbuatan
haruslah diyakini benar – benar akan kebenarannya.ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits
ditinjau dari segi kuantitas atau jumlah perawi nya. Ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian
yakni hadis mutawatir, masyhur dan ahad. ada juga yang membaginya menjadi dua yakni hadits
mutawatir dan ahad. segolongan ulama ada yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian dari hadits Ahad.
Sedangkan ulama lain ,menurut mereka hadits Masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri
sendiri, akan tetapi bagian dari hadits Ahad. mereka membagi menjadi dua bagian Mutawatir dan
Ahad.pembukuan hadits secara resmi jaraknya begitu jauh dari masa Rasulullah saw. Jaraknya kurang
lebih 100 tahun setelah kodifikasi Al- Qur’an. Situasi tersebut menimbulkan keraguan Sebagian orang
terhadap keotentikan hadits,musibah dalam sejarah periwayatan hadits ditandai dengan adanya
pemalsuan hadits,sehingga menambah keraguan orang terhadap hadits. 1

1
Endang Soetari, Ilmu Hadits : Kajian Riwayah Dan Dirayah (Bandung : Mimbar Pustaka, 2012), h.2.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari hadits Mutawatir,Masyhur , Ahad serta pembagiannya ?
2. Apa konsekuensi pengingkaran hadits Mutawatir,Masyhur dan Ahad ?
3. Apa saja perbedaan pendapat para ulama tentang kehujjahan hadits Ahad ?
4. Apa saja kehujjahan hadits Ahad dalam persoalan Aqidah ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari hadits mutawatir, Masyhur, Ahad, serta pembagiannya .
2. Untuk mengetahui konsekuensi pengingkaran hadits mutawatir, Masyhur, Ahad .
3. Untuk mengetahui perbedaan pendapat para ulama tentang kehujjahan hadits Ahad.
4. Untuk mengetahui kehujjahan hadits Ahad dalam persoalan Aqidah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Klasifikasi Hadits Secara Kuantitas.


A.Pengertian hadits mutawatir, Masyhur , Ahad serta pembagiannya
Hadits adalah perkataan ( sabda) , perbuatan , ketetapan dan persetujuan dari Nabi
Muhammad Saw yang dijadikan landasan syariat islam.
Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadits yang ditinjau dari segi kuantitas ini.
Maksud dari segi kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber
adanya suatu hadits. Para ahli ulama ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu
hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, ada juga yang membaginya hanya dua saja yaitu
hadits mutawatir, dan ahad.

Pendapat pertama yang menjadikan hadits masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian
dari hadits ahad, dianut oleh sebagian ahli ushul, salah satunya Abu Bakar Al-Jassas (305-370 H).
Pendapat kedua diikuti oleh kebanyakan ulama ushul dan ilmu kalam, menurut mereka hadits
masyhur bukan merupakan hadits yang berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadits ahad,
sehingga mereka membaginya menjadi dua macam saja yaitu mutawatir dan ahad.

1. Hadits Mutawatir
Kata mutawatir berasal dari kata ( tawatara – yatawataru – tawaturan fahuwa mutawatirun ). 2
yang secara bahasa merupakan isim fa’il , dari at -tawatur yang berarti berturut – turut.3
Secara bahasa, mutawatir artinya: berturut-turut, beruntun.

Secara istilah:

‫الحديث الذي رواه عدٌد كثير في ُك ّل طبقٍة من طبقاته يستحيل اّتفاُقهم وتواطؤهم على الكذب‬

‫بحيث يكون رواته كذلك من أّول اإلسناد إلى آخره دون انقط والُم ستنُد إليهم الحّس‬

“Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada tiap tingkatan
sanadnya. Yang karena banyaknya itu, mustahil para perawi itu bersepakat atau bersekongkol untuk
berdusta. Dan banyaknya perawi itu ada pada awal tingkatan sanad hingga akhir, tanpa putus. Dan
sandaran periwayatan itu adalah indera.”

Secara etimologi,kata mutawatir berarti : Mutatabi’ ( beriringan tanpa jarak ).dalam


terminology ilmu hadits , hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau
kebiasaan,mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus
berlangsung.semenjak thaqabat pertama sampai thaqabat terakhir.

Syarat – syarat hadits mutawatir :


2
Majma ‘ al -Lughah al – Arabiyyah, Al -Mu’jam al – Wajiz, ( Mesir : Ihya’ al -Turats, 1980 ), h.659.
3
Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, cet.I, terj. Mifdhol Abdurrahman, ( Jakarta : Pustaka Al –
Kautsar, 2014 ), h. 110.

3
1. diriwayatkan banyak perawi, dan dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk
berdusta.Para ulama hadits berbeda pendapat tentang minimal jumlah perawi hadits
mutawatir.diantara mereka ada yang berpendapat paling sedikit 5 orang sebagaimana
dikemukakan oleh Baqilani , astukhriy berpendapat paling sedikit 10, pendapat lain ada yang
mengatakan 40 orang, 70 orang bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih.tapi pendapat
yang lebih kuat minimal 10 orang.4

2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thaqabat pertama dan thaqabat berikutnya.

3. Menurut kebiasaan , mustahil mereka sepakat untuk berdusta. misalnya jika para perawi
dalam sanad itu datang dari berbagai negara yang berbeda, jenis yang berbeda dan pendapat
yang berbeda pula. sejumlah para periwayat ini secara logika mustahil terjadi adanya
kesepakatan bohong tidaklah digolongkan mutawatir.5
Berdasarkan tanggapan panca indra : harus benar - benar dari hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri . biasanya menggunakan lafadz :’’kami telah mendengar
kata ‫سمعنا‬(kami telah mendengar), ‫رأينا‬
kami telah melihat), (kami telah ‫لمسنا‬
menyentuh), dan sebagainya. Jika sekiranya berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain atau hasil istinbath dari dalil yang lain
maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.

‘’Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka,
dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah ). (Q.S al – An’am 6 : 116).6

Pembagian Hadits Mutawatir :

1. Hadits mutawatir Lafdzi

Hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna
yang sama serta kandungan hukum yang sama.

Contoh :

:‫ َقاَل َر ُسوُل ِهَّللا صلى هللا عليه وسلم‬: ‫َع ْن َأِبى ُهَر ْيَر َة َقاَل‬

‫ْأ‬
‫َم ْن َك َذ َب َع َلَّى ُم َتَعِّم ًدا َفْلَيَتَبَّو َم ْقَعَد ُه ِم َن الَّناِر‬

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda, :
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas nama ku, maka hendaklah dia bersiap – siap
menduduki tempatnya diatas api neraka “.

4
Jalaluddin Al -Suyuthi. Tadrib al – Rawiy, cet.III, ( Kairo : Dar al- Turats, 2005), h.397
5
Ibid, h.398.
6
Moh. Nor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits , ( Jakarta : Guang Pesada Pres, 2008 ) .h. 30.

4
Menurut Abu Bakar Al-Sairy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara
marfu’ oleh 40 sahabat. Ibnu al- shalkah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62
orang sahabat. Abun Qasim Ibn Manduh berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh
lebih dari 80 sahabat. sebagian lagi mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 100,
bahkan An – Nawawi menyatakan hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.

2.Hadits Mutawatir Ma’nawi

Hadis Mutawatir Ma’nawi ialah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara
satu riwayat dengan riwayat yang lain, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum. Hal
ini sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadis: Hadis yang berlainan bunyi dan
maknanya, tetapi dapat diambil makna yang umum”

Contoh : Hadis tentang mengangkat tangan Ketika berdoa

‫َك اَن الَّنِبُّي َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اَل َيْر َفُع َيَد ْيِه ِفيَ َش ٍْي ء ِم ْن ُد َع ِاِئِه ِإاَّل ِفي ااِل ْس ِتْس َقٍاِء َو ِإَّنُه َيْر َفُع َح َّتى ُيَر ى َبَياُض ِإْبَطْيِه‬
‘’Nabi Saw mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam
shalat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih – putih kedua
ketiaknya’’ (H.R. Bukhari ).

Hadits – hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali, lebih dari 100
hadits.7

3. Hadits Mutawatir ‘Amali

Yaitu amalan agama ( ibadah ) yang dikerjakan oleh nabi Muhammad Saw,kemudian
diikuti oleh para sahabat,kemudian diikuti oleh Tabi’in dan seterusnya,diikuti oleh generasi
sampai sekarang.8

Jadi hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi ,tetapi hanya
berupa pengalaman saja tanpa redaksi atau lafal. jenis hadits ini banyak jumlah nya dan
banyak kita temukan.

Contoh : hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah,dan
sebagainya.

2.Hadits Masyhur
Masyhur menurut bahasa artinya “Nampak” sedangkan menurut istilah adalah hadits yang
diriwayatkan oleh tiga perawi atau lebih pada setiap thabaqha ( tingkatan ) dan belum
mencapai batas mutawatir. hadits ini dikatakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan
masyarakat.
Contoh hadis Masyhur :

7
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, ( Jakarta : Hamzah,2010). h.13
8
Ibid.h. 14

5
‫ِإَّنالَّلَهاَل َيْقِبُض اْلِع ْلَم اْنِتَز اًعاَيْنَتِز ُع ُهِم ْناْلِعَباِد َو َلِكْنَيْقِبُض اْلِع ْلَمِبَقْبِض اْلُعَلَم اِءَح َّتىِإَذ اَلْم ُيْبِقَعاِلًم ااَّتَخ َذ الَّناُس‬
‫ُرُء وًس اُج َّهااًل َفُسِئُلواَفَأْفَتْو اِبَغْيِر ِع ْلٍم َفَض ُّلواَو َأَض ُّلوا‬

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan
tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak
tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh,
ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (HR.
Bukhari, Muslim, At-Thabrani, dan Ahmad dari empat orang sahabat).9

Status hadits masyhur ada tiga :


a. Hadits masyhur shahih adalah hadits masyhur yang telah memenuhi ketentuan –
ketentuan hadits shahih,baik pada sanad maupun matan nya.Contoh hadits Ibnu Umar.10

)‫ِإَذ اَج اَء َأَح ُد ُك ُم اْلُج ُم َعَة َفْلَيْغ َتِس ْل (رواه البخارى‬

Artinya: “Bagi siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jum’at, hendaknya ia
mandi.” (HR. Bukhari)

b. Hadits masyhur Hasan adalah hadits masyhur yang sudah memenuhi ketentuan –
ketentuan hadits hasan,baik pada sanad maupun matan

‫َالَضَر َر َو َالِضَر اَر‬

Artinya: “Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri dan orang lain).”

c. Hadits masyhur Dhaif adalah hadits masyhur yang tidak mempunyai syarat- syarat hadits
shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matan nya,seperti hadits

‫َطَلُب الِع لِم َفِر ْيَض ٌة َع َلى ُك َّل ُم ْس ِلٍم َو ُم ْسِلَم ٍة‬

Artinya: “Menuntut ilmu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan.”

Macam – macam hadits masyhur


Dari segi lingkungan tersebarnya,maka hadits masyhur terbagi menjadi banyak bagian ,
yaitu:
9
Munzier Suparta, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Cet, 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal.133.

10
Munzier Supatra, Ilmu Hadis, cet.3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 111

6
 Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw,
membaca doa qunut sesudah ruku’
 Masyhur dikalangan ahli hadits,ulama lain dan dikalangan orang umum
 Masyhur dikalangan ahli fiqh
 Masyhur dikalangan ushul fiqh
 Masyhur dikalangan ahli sufi
 Masyhur dikalangan ulama- ulama Arab
 Masyhur dikalangan orang awam.

3. Hadits Ahad
“satu’’, hadits Ahad berarti hadits yang diriwayatkan oleh satu orang. Ada pun dari segi terminologi,
hadits Ahad adalah hadits yang jumlah rawi nya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak
memenuhi syarat mutawatir dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.
Dari segi periwayatannya hadits Ahad dibagi menjadi 3 bagian yaitu : hadits masyhur, hadits Gharib,
hadits Aziz. ketiga hadits tersebut tidak dapat dilepas dari status shahih dan dhaif. Sehingga ketiganya
bisa jadi ada yang shahih,hasan ataupun dhaif.

2.Hadits Gharib,
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri).11 Ulama ahli hadits
mendefinisikan hadits gharib sebagai hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi
yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya
maupun selainnya.12 secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. secara istilah
adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri.

Penyendirian rawi tersebut dapat terjadi:


 Mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadits
tersebut selain rawi itu sendiri.
 Mengenai sifat atau keadaan rawi, artinya sifat atau keadaan rawi itu berbeda
dengan sifat dan keadaan rawi-rawi yang lain yang meriwayatkan hadits
tersebut. 13

Berdasarkan bentuk penyendirian tersebut, maka gharib terbagi menjadi dua macam,
yaitu:
 Hadits gharib mutlak, adalah hadits yang terdapat penyendirian sanad
mengenai jumlah personalia rawi.
 Hadits gharib nisbi, adalah hadits yang terdapat penyendirian dalam sifat atau
keadaan tertentu seorang rawi, diantaranya: penyendirian tentang sifat
keadilan dan kedhabitan rawi; penyendirian tentang kota atau tempat tinggal
tertentu; penyendirian tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu.14
11
Munzier Supatra, Ilmu Hadis, cet.3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.118.

12
Ibid 118
13
Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hal. 129.

14
Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hal. 129 -131.

7
3.Hadits ‘Aziz,
Aziz : yang sedikit,yang gagah ,atau yang kuat.Aziz menurut istilah adalah suatu hadits
yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawi nya.

Contoh :
)‫َالُيْؤ ِم ُن َأَح ُد ُك ْم َح َّتى أُك ْو َن أَح َّب إَلْيِه ِم ْن َو اِلِدِه َو الَّناِس َأْج َم ِع يَن (رواه البخرى ومسلم‬
Artinya: “Tidaklah beriman seseorang diantara kamu, hingga aku lebih dicintai
daripada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.” (HR. Bukhari-
Muslim)

B .Konsekuensi pengingkaran hadits Mutawatir,Masyhur,dan Ahad


Pembagian hadits dari segi jumlah periwayatnya, menjadi sangat penting apabila
dikaitkan dengan kedudukan dan fungsi hadits sebagai salah satu sumber hujjah dalam Islam.
Para pakar Islam sepakat bahwa hadits Mutawatir membawa berita yang pasti kebenarannya
sejajar dengan kebenaran yang terdapat dalam al-Qur’an. Sehingga disimpulkan bahwa orang
yang menolak hadits Mutawatir sama halnya dengan menolak al-Qur’an.

Muhammad al-Ghazali juga mengikuti pendapat para ulama tentang pembagian hadits
Nabi Muhammad saw. menurutnya, ulama telah melakukan upaya sangat besar untuk
memilah dan meneliti hadits-hadits yang benar-benar datangnya dari Nabi Muhammad saw.
Tidak ada usaha manusia yang pernah dilakukan selektif itu untuk menjaga warisan manusia,
seperti besarnya usaha yang dilakukan ulama hadits untuk meneliti kebenaran informasi
tentang Rasulullah saw. Hal ini terbukti dari kategori-kategori hadits yang dibuat oleh
ulama.15
Hadits Mutawatir sudah pasti shahih, sehingga tidak dibahas lagi dalam ilmu
sanad/mustalhah hadits, karena ilmu hadits membaha siapakah perawi hadits itu, seorang
muslim, adil, dhabit ataukah tidak, bersambung-sambung sanadnya atau tidak dan seterusnya.
Hanya yang perlu dibahas dalam hadits mutawatir adalah apakah jumlah perawi yang
meriwayatkan itu sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah yang sama memberitakan itu
berdusta atau tidak, baik berdusta dengan jalan mufakat atau kebetulan saja, demikian pula
keadaan yang melatarbelakangi berita itu, terutama bila bilangan perawi itu tidak begitu
banyak jumlahnya. Karena hadits mutawatir sudah pasti shahih, wajib diamalkan tanpa ragu-
ragu baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni baik
mengenai ubudiyah maupun muamalah. Dan hadits mutawatir memberikan faedah qath’i
(yakin), sehingga bagi orang yang menginggkari hadits mutawatir dihukumi keluar dari
agama Islam dan termasuk kafir. Sedangkan hadits ahad membrikan faedah dhanni (diduga
keras akan kebenarannya) wajib diamalkan kalau sudah diakui akan keshahihannya.

Para Muhaqqiqin menetapkan bahwa hadits ahad yang shahih diamalkan dalam
bidang amaliyah baik masalah-masalah ubudiyah maupun masala-masalah muamalah, tidak

15
Bustami dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.
109-110.

8
dalam bidang aqidah atau keimanan, karena keimanan/keyakinan harus ditegakkan atas dasar
dalil yang qath’i sedangkan hadits ahad hanya memberikan faedah dhanni. Oleh karena itu
mempercayai suatu i’tiqat yang hanya berdasarkan dalil dhanni tidak dapat dipersalahkan dan
hadits ahad tidak dapat menghapuskan hukum dari al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah
mutawatir, demikian pendapat imam Asy-Syafi’i. Dan menurut Ahludh dhahir (pengikut
Daud Adh Dhahiri) bahwa hadits ahad juga tidak boleh dipakai untuk mentahksish ayat-ayat
al-Qur’an yang ‘amm (bersifat umum), pendapat ini diikuti oleh ulama Hambali.16

Imam asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Menurut hemat saya, tidak boleh bagi
seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits Ahad, kemudian ia menghalalkan dan
mengharamkan sesuai dengannya, akan tetapi la juga menolak hadits sepertinya (dalam
beberapa hal) kecuali jika ia memiliki hadits yang bertolak belakang dengannya akan lebih
kuat atau orang yang riwayat-nya diambil lebih tsiqah (terpercaya) baginya dan orang yang
meriwayatkan kepadanya dengan riwayat yang berbeda, atau orang yang meriwayatkannya
bukan hafizh (orang yang hafal hadits). Atau orang itu dicurigai/dituduh berdusta atau perawi
yang di atasnya tertuduh (berdusta) atau karena hadits itu mengandung kemungkinan dua
makna hingga dita'wil dan salah satu maknanya diambil. Bila tidak karena alasan ini, maka
apa yang diperbuatnya itu adalah satu kesalahan yang tidak bisa dimaafkan.

Syaikh al-Islam rahimahullah dalam karangannya yang berjudul "Rafu al-Malam min
A'immati al-A'lam" telah menyebutkan 10 sebab mengapa ulama tidak
mengambil/mengamalkan hadits Nabi, insya Allah jika terdapat salah satu sebab pada
mereka, dapat dimaklumi. Di antara sebab itu adalah:
1) Hadits itu tidak sampai kepadanya.
2) Hadits itu sampai kepadanya tetapi menurutnya hadits itu tidak shahih karena lupa atau salah
menilai, atau karena ia tidak menemukan makna yang dimaksudnya saat berfatwa, atau ia
meyakini hadits itu tidak mengandung makna yang dimaksud.
3) Meyakini, bahwa hadits tersebut bertentangan dengan sesuatu yang menunjukkan
kelemahannya atau menunjukkan, bahwa hadits itu telah mansukh (tidak berlaku/ dihapus),
atau harus di ta'wil.

Maka nyatalah, bahwa setiap keadaan punya hukum tersendiri. Orang yang menolak
hadits karena sebab ini, maka ia bisa dimaklumi. Tetapi yang menolaknya tanpa alasan
kecuali hanya fanatik saja, maka hal itu tidak di-perbolehkan.

seperti terdapat dalam Q.S. An-Nahl ayat 83 : Artinya : “Mereka mengetahui nikmat Allah,
kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.”

16
Moh. Anwar, Ilmu Mushtalhah Hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal. 30-31.

9
C.Perbedaan Pendapat Ulama tentang kehujjahan Hadits ahad

Perbedaan pendapat di sini terjadi antara dua kelompok atau madzhab. Pertama,
madzhab mayoritas ulama kalam. Mereka ini terdiri dari golongan Asy’ari, Maturidi dan
ulama Ushul; baik dari kalangan Hanafi, Maliki, Al-Syafi’i. Madzhab kedua, mereka terdiri
dari golongan ahli hadits. Tokoh utamanya adalah Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebagian
riwayatnya.
Kelompok pertama berpendapat bahwa hadits ahad saja tidak dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan persoalan akidah. Kelompok kedua berpendapat bahwa hadits ahad persis
sama dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir. Semua hadits ahad yang shahih itu dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan akidah.

Ada dua faktor yang melatarbelakangi perbedaan pendapat ini, yaitu :


 Cukupkah Menetapkan Persoalan Akidah Hanya dengan Dugaan?
Pertama, jelas adanya ayat-ayat al-Qur’an yang berulang kali menyebutkan bahwa
Allah SWT mencela orang-orang yang mengikuti dugaan dalam menetapkan persoalan
akidah. Allah berfirman dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an, diantaranya dalam surat An-
Najm :28 yang artinya :
“Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada
berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS. An-Najm: 28)

Kalau dugaan itu dibenarkan, sudah barang tentu Allah SWT tidak akan mencela
orang-orang musyrik dan ahli kitab atas perbuatan mereka mengikuti dugaan mengenai suatu
persoalan yang menuntut adanya kepastian dan keyakinan. Karena itulah Allah SWT tidak
akan membolehkan umat Islam sendiri mencontoh jejak mereka dengan mengikuti dugaan
yang dicela itu dalam masalah aqidah.17

 Apakah Hadits Ahad itu Merupakan Ilmu yang Meyakinkan?


Pendapat yang kedua ini ialah, apakah hadits ahad itu berarti ilmu yang pasti dan
meyakinkan. Itulah maksud ilmu manakala dikatakan secara mutlak. Dalam masalah ini ada
tiga penddapat yang masyhur, yaitu:
Pertama, hadits ahad itu tidak berarti suatu kebenaran ilmu yang bersifat yakin secara
mutlak. Baik itu ada bukti lain atau tidak. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulam Ushul
Fiqh dan para ahli kalam. Pendapat ini juga merupakan pendapat tiga imam mujtahid; Abu
Hanifah, Malik dan Al-Syafi’i. Mereka mengatakan bahwa hadits ahad itu tidak berarti suatu
kebenaran ilmu yang bersifat yakin. Ia hanya berarti kewajiban untuk mnegamalkan. Mereka
menolak pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad berarti ilmu yang pasti dan
meyakinkan. Pendapat itu menurut mereka jelas-jelas salah. Sebab hadits ahad itu jelas
mempunyai beberapa kemungkinan. Adanya beberapa kemungkinan ini sudah tentu
menghilangkan kepastian. Barangsiapa mengingkari kenyataan ini maka dia itu
membodohinya dan menyesatkan akal pikirannya sendiri.

17
Yusuf Al-Qardhawy, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1998), hal. 105.

10
Ahli hadits berlainan pendapat tentang kedudukan hadits Ahad, diantara pendapat
tersebut adalah:
 Segolongan ulama, diantara mereka Al-Qasyani sebahagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu
Daud mengatakan, bahwa kita tiada wajib beramal dengan hadits Ahad.
 Jumhur ulama Ushul menetapkan, bahwa: Hadits Ahad menghasilkan dhann. Oleh karena
itu, wajib diamalkan sesudah diakui keshahihannya. Semua sahabat, Tabi’in, Tabit
Tabi’in dan imam-imam agama agama yang mujtahidin mengamalkan hadits Ahad
sesudah mereka akui keshahihannya. Jika ada diantara sahabat yang menolak sesuatu
hadits Ahad, maka itu dikarenakan mereka tidak mengakui keshahihannya.18

D. Kehujjahan Hadits Ahad Dalam Persoalan Aqidah


yang dimaksudkan dengan kata “aqidah” itu adalah masalah-masalah aqidah yang
sangat mendasar dan pokok, misalnya rukun aqidah; yakni tentang wujudnya Allah SWT dan
bahwa Allah SWT itu Maha Esa dan segala sesuatu bergantung kepada-Nya, Yang tidak
melahirkan dan tidak pula dilahirkan, dan tak ada seorangpun yang menyamai-Nya, Yang
Maha Awal tanpa permulaan dan Yang Maha Akhir tanpa kesudahan, dan Yang Maha
mengetahui segala sesuatu, Maha berkuasa atas segala sesuatu, bersifat segala kesempurnaan
dan tehindar dari segala kekurangan.

Yang termasuk persoalan aqidah disini adalah bahwa Nabi Muhammad adalah
Rasulullah, Nabi terakhir, Allah SWT telah menurunkan Al-Qur’an sebagai bukti yang jelas,
dan mukjizat yang abadi, Al-Qur’an itu sama sekali tidak mengandung kesalahan dari segi
manapun juga, dan ia diturunkan dari Allah SWT Yang Maha bijaksana dan Maha Terpuji.

Misalnya juga masalah beriman kepada kebangkitan, bahwa Allah SWT akan
membangkitkan mereka dari kubur dan menghimpun mereka semuanya pada suatu hari yang
tidak diragukan kedatangannya, Allah juga akan memperhitungkan amal perbuatan hamba-
Nya di dunia; juga mengenai memberikan balasan yang setimpal, serta keberadaan surga dan
neraka.

Juga termasuk mengenai Malaikat yang tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah
SWT. Mereka mengerjakan apa saja yang diperintahkan Allah. Juga Allah menurunkan kitab-
kitab yang sebagiannya telah disebutkan dan diceritakan di dalam Al-Qur’an.

Semua ini merupakan masalah-masalah aqidah yang sangat mendasar. Tidak seorang
Muslim pun yang mempertanyakan kebenarannya. Karena semua ini telah ditetapkan dengan
teks-teks nash Al-Qur’an yang jelas dan tegas, serta dengan pengertianyang sudah pasti. Oleh
karena itu ini tidak memerlukan kepada penegasan lagi dengan sunnah. Informasi yang
dibawa sunnah merupakan pengukuhan dan penegasan terhadap apa yang diwahyukan di
dalam al-Qur’an atau merupakan penjelasan mendetail mngenai hal tersebut.

18
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal.
100.

11
Akan tetapi kalau yang dimasudkan dengan kata “aqidah” dalam masalah ini adalah
masalah yang berkaitan dengan persoalan furu’iyah (partikular aqidah). Misalnya pertanyaan
dua Malaikat di dalam kubur, mengenai kenikmatan dan adzab kubur. Syafa’at dihari kiamat
bagi orang-orang yang berbuat dosa besar, persoalan titian, timbangan amal perbuatan, dan
masalah-masalah yang lain yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an tetapi terdapat dalam
sunnah yang shahih, atau terdapat dalam al-Qur’an akan tetapi dengan kalimat yang
mengundang penakwilan, baik jauh dan dekat. Mengenai masalah ini tak seorang pun dari
ulama ahli al-sunnah menentang keshahihan dan kewajiban untuk mengimaninya, dengan
riwayat hadits itu shahih riwayatnya dan pemahamannya jelas, serta hal itu mamsih dalam
batas rasionable artinya hal itu bukan merupakan suatu kemustahilan menurut pandangan
akal.19
Para pemegang pendapat yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak memberikan
informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka tersebut
dengan kerangka berfikir: tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah 'Aqidah karena
masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang pasti (Qath'iy) .

Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima khabar ahad (hadits ahad) di dalam
masalah 'Aqidah, kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi
tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah. Jika tidak demikian,
maka kabar seperti itu ditolak dan dianggap bathil, kecuali bila mengandung interpretasi yang
bukan dipaksa-paksakan. Teori berpikir kaum Mu'tazilah ini diamini oleh kebanyakan kaum
Ahli Kalam (mutakallimin) dari tokoh Asya'irah (Madzhab Asy'ariyyah) seperti Abu al-
Ma'aliy al-Juwainiy dan al-Fakhr ar-Raziy.

Untuk membantah pendapat ini, cukup dengan menyatakan pernyataan sebelumnya


bahwa hadits ahad yang dipertegas dengan dalil-dalil penguat dapat memberikan informasi
pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin) sebab alasan utama yang dijadikan pegangan oleh
mereka yang menolak tersebut hanyalah : hadits ahad tidak boleh dijadikan hujjah di dalam
masalah-masalah 'Aqidah karena informasi yang diberikannya bersifat dhanni (tidak pasti)
dan tidak dapat memberikan informasi ilmu.

Menurut Muhammad Al-Ghazali, hadits mutawatir cakupan nya cukup luas. Yaitu
mencakup persoalan aqidah, hukum dan muamalah. Selain itu hadits mutawatir juga akan
mendatangkan ketenangan jiwa bagi pengamalnya. Sementara hadits ahad hanya
menghasilkan dugaan kuat (dhann al-‘ilmi) atau pengetahuan yang bersifat dugaan, dan
cakupannya hanya dalam cabang-cabang hukum syariah, bukan pada dasar agama. Hadits
mutawatir terjamin kualitas dan pengamalannya, baik secara keseluruhan maupun sebagian,
sementara hadits-hadits ahad tidak demikian.
Jadi, Muhammad Al-Ghazali hanya menerima hadits-hadits mutawatir untuk
persoalan dasar dalam Islam, seperti persoalan aqidah dan hukum. Ia tidak setuju penggunaan
hadits-hadits ahad dalam persoalan-persoalan dasar agama, karena hadits-hadits ahad hanya
mendatangkan informasi dhanni.20
19
Yusuf Al-Qardhawy, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1998), hal. 109-111.

20
. Bustami dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
hal.110.

12
Demikianlah pembahasan tentang mutawatir dan ahad. Hadits Mutawatir oleh jumhur
ulama dianggap qath’i sehingga bisa dijadikan hujjah dan wajib diamalkan. Sedangkan ahad
dinilai zhanni, tetapi dapat dijadikan dasar hujjah dengan syarat-syarat tertentu boleh
diamalkan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Para ahli ulama mengelompokkan hadits dari segi kuantitas menjadi tiga bagian, yaitu
hadits mutawatir, masyhur, dan ahad, ada juga yang membaginya hanya dua saja yaitu
hadits mutawatir, dan ahad.
Hadits mutawatir adalah "suatu hadits yang dapat ditangkap panca indera dan diriwayatkan
oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan

13
mereka mungkin berkumpul dan bersepakat untuk dusta". Persyaratan hadits
mutawatir adalah "hadits yang diriwayatkan dari kelompok ke kelompok pada tiap
tataran (thabaqoh) dengan jumlah perawi yang banyak, sehingga akal menyatakan mustahil
mereka sepakat untuk bohong, dan proses tersebut dapat diindera oleh panca
indera". Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi menjadi dua bagian,
yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir ma'nawiy.
Hadits masyhur adalah hadits yang memiliki sanad terbatas yang lebih dari dua atau
setidaknya diriwayatkan oleh tiga orang. Hadits masyhur dari segi diterima atau ditolak,
dibagi menjadi 3 bagian, yaitu shahih, hasan, dan dha’if.
Hadits Ahad adalah "hadits yang periwayatannya tidak mencapai jumlah banyak
orang, hingga tidak mencapai mutawatir. Hadits Ahad yang ditinjau dari segi jumlah rawi
dalam sanadnya, dibagi menjadi 3 macam, yaitu: Hadits gharib, Hadits 'aziz dan Hadits
masyhur, disebut juga al-Mustafidh.
Faktor penentu dan utama sebuah hadits dikategorikan shahih atau tidak adalah
kualitas atau kredibilitas perawi, apakah dia seorang terpercaya (tsiqah) atau seorang tertuduh
berdusta. Ketika satu hadits diriwayatkan oleh sedikit orang, atau katakan satu orang saja, ia
tidak otomatis telah dikategorikan dha'if (lemah).
Dalam hal ini, Kaum Mu'tazilah tidak menerima khabar ahad (hadits ahad) di dalam
masalah 'Aqidah, kecuali bila sealur dengan Akal/logika, baru dapat dijadikan argumentasi
tetapi itupun hanya dalam rangka sebagai penegas/penguat bukan hujjah.
Hujjah disinonimkan dengan kata burhan, yaitu argumentasi yang valid, sehingga
dihasilkan kesimpulan yang dapat diyakini dan dipertanggungjawabkan akan
kebenarannya. Hujjah terbagi kepada Hujjah ‘Aqliyyah (Argumentasi Rasional/Akal), dan
Hujjah Naqliyyah (Argumentasi Dogmatikal/Doktrin).
Para pemegang pendapat kedua diatas, yang menyatakan bahwa hadits ahad tidak
memberikan informasi pasti (yang bersifat keilmuan dan yaqin), melandasi pendapat mereka
tersebut dengan kerangka berfikir : tidak boleh berhujjah dengannya di dalam masalah
'Aqidah karena masalah 'Aqidah bersifat Yaqiniyyah yang hanya memerlukan sesuatu yang
pasti (Qath'iy) .
B. Saran
Untuk para pembaca agar lebih memperdalam lagi pengetahuannya tentang
Pembagian Hadits menurut kuantitas agar membawa kepribadian setiap individu lebih
mengenal para Sejarahwan yang telah bersusah-payah berjuang menyebarkan Agama Islam
sehingga kita sekarang bisa menikmati hidup dibawah naungan Agama Islam. Untuk lebih
memahami tentang pembahasan yang ada pada makalah ini, disarankan untuk para pembaca
mencari referensi lain yang berkaitan dengan materi pada makalah ini. Dan semoga dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya, bagi para pembaca umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Endang Soetari, Ilmu Hadits : Kajian Riwayah Dan Dirayah (Bandung : Mimbar Pustaka, 2012), h.2.

Majma ‘ al -Lughah al – Arabiyyah, Al -Mu’jam al – Wajiz, ( Mesir : Ihya’ al -Turats, 1980 ), h.659.

14
Manna’ Al Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, cet.I, terj. Mifdhol Abdurrahman, ( Jakarta : Pustaka Al –
Kautsar, 2014 ), h. 110.
Jalaluddin Al -Suyuthi. Tadrib al – Rawiy, cet.III, ( Kairo : Dar al- Turats, 2005), h.397

Moh. Nor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits , ( Jakarta : Guang Pesada Pres, 2008 ) .h. 30.

Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, ( Jakarta : Hamzah,2010). h.13

Munzier Suparta, Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadits, Cet, 2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal.133.

Munzier Supatra, Ilmu Hadis, cet.3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 111

Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits, (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), hal. 129.

Bustami dan M. Isa, Metodologi Kritik Hadis, Cet. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 109-110.

Moh. Anwar, Ilmu Mushtalhah Hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal. 30-31.

Yusuf Al-Qardhawy, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban, Cet. 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998), hal. 105.

M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 100.

15

Anda mungkin juga menyukai