Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga saya berhasil
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul Pembagian
Hadits . Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai indikator-indikator
yang berkaitan dengan pembagian hadits
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, saya sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................
BAB I
i
ii
iii
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................
B. Rumusan Masalah......................................................................
C. Tujuan.........................................................................................
1
1
1
PEMBAHASAN
A. Pembagian Hadits Sari Segi Kuantitas Perawi...........................
B. Pembagian hadits dari segi Kualitas...........................................
2
7
13
13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
14
BAB II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian
tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan
dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan
dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan
beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian
hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan,
bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah
perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya
akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.
B. Rumusan Masalah
1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi
2. Pembagian hadits dari segi kualitas
C. Tujuan
1. Menjadikan kita kritis dalam pengambilan hukum yang menyangkut tentang
hadits.
2. Berpedoman dengan hadits yang benar-benar dapat di terima keberadaanya.
3. Dapat membedakan hadits-hadits dari segi kebenaran dan kehujjahanya.
BAB II
PEMBAHASAN
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil
menurut tradisi mereka sepakat berbohong.[2]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama mutaakhirin tentang
syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits
mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini
membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau
Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna
yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku,
maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi
menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Manawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits
yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan,
mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang
meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdoa.
()
Abu Musa Al-Asyari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
mengangkat kedua tangannya dalam berdoa hingga nampak putih kedua ketiaknya
kecuali saat melakukan doa dalam sholat istisqo (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh
Tabiin, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits
nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya.
Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma di kalangan ulama dikategorikan
sebagai hadits mutawatir amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits
mutawatir lafzhi, maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutwatir lafzhi tidak mungkin ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia
menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya
jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir
jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki
riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga dapat diketahui
dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits yang
diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah
sebagai berikut :
1)
2)
Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad
bin Jafar Al-Kattani (w. 1345 H)[5]
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti satu
jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan.
Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan,
atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam
kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya
tidak sampai pada tingkatan mutawatir.[6]
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu
masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti sesuatu yang sudah tersebar dan popular.
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang
setelah mereka.
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur
yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad
maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi
ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti
hadits Nabi yang berbunyi:
tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syaratsyarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti
hadits :
menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan
kedalam :
1)
Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah
SAW membaca doa qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdoa atas
golongan Riil dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2)
Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain,
dan juga dikalangan orang awam, seperti :
3)
Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.
4)
Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan
kemudian ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan
pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu
pahala (pahala Ijtihad).
5)
6)
Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, Kami orang-orang Arab yag
paling fasih mengucapkan (dha) sebab kami dari golongan Quraisy.[7]
Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan
dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak berillat.
Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak berillat.
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah :
1) sanadnya bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4)
matannya tidak syaz, dan 5) matannya tidak mengandung illat.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu ( ) bermakna al-jamal ()
yang berarti keindahan. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits
hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh
Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :
.
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak berillat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih.
Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang
adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak illat.
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya
terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya
harus
zamm (sempurna),
sedangkan
dalam
hadits
hasan,
kurang sedikit
c.
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2)
Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti
hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul)
identitas perawi.
3. Hadits Dhaif
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif ()
berarti lemah lawan dari Al-Qawi ( )yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini
karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima
sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
9
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa
syarat yang tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung
(muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik
dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (Illat) pada
sanad atau matan.[9]
b. contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram
dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada
dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari
apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang
dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib
memberikan komentar :
padanya lemah.
Tidak menjelaskan hokum syara yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah mauizhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
10
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni malum) yang meyakinkan (jazam)
kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni
majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :
dipindahkan,
diriwayatkan,
Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal
(Fadhail al amal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu
sayyid An-Nas dari Yahya bin Main. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu
Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-amal atau dalam
masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka
berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-amal, mauizhah, targhib (janji-janji
yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi
beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani,
yaitu berikut :
Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu) atau
dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan
berlaku pasiq dan bidah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (mamul bih) seperti hadits muhkam
(hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang
membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya).
Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati
semata atau ikhtiyath.
e. Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah
tidak terlalu dhaif atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk
kedhaifannya tidak dapat diamalkan sekalipun dalam fadhail al-amal. Menurut Ibnu
11
Hajar urutan hadits dhaif yang terburuk adalah mawdhu, matruk, muallal, mudraj,
maqlub, kemudian mudhatahrib.[10]
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi
dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi
menjadi 3 bagian yaitu : mutawatir manawi dan mutawatir amali. Sedangkan hadits
ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan
ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi
dua macam yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi
dua macam yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan
hadits mardud adalah hadits yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui
pembagian hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya
timbul ke ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan
keshahihan suatu hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan
nanti kita termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
13
DAFTAR PUSTAKA
http://bodohtapisemangat.blogspot.co.id/2015/03/makalah-alquran-hadis.html
https://jonikawijaya.wordpress.com/makalah/makalah-ulumul-hadits-pembagianhadits/
Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
IIIIIIMahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits: PokokIIIIIIPokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008.
hlm. 86.
[2] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm.
131.
[3] M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.
[4] Ibid, hlm. 88
[5] Ibid. Hlm. 91
[6] Ibid. Hlm. 90
[7] Ibid. hlm. 93
[8] Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.
[9] Ibid. hlm. 164
[10] Ibid. hlm. 167.
[1]
14