Anda di halaman 1dari 14

ULUMUL QUR’AN

“PENGUMPULAN & PENERTIBAN AL QUR’AN”

OLEH :
KELOMPOK 9
MARLINA ( 19.1300.083 )
PARADILLAH ( 19.1300.084 )

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PAREPARE


TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha Esa, Syukur alhamdulillah,
merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah Swt, yang karena
bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah makalah berjudul "Al-Qur’an
dan Sejarah Pengumpulan serta Penertibannya"
Shalawat bernada salam, kami sanjung sajikan kepangkuan nabi besar
Muhammad saw, dengan adanya beliau, Alhamdulillah sampai saat ini kami dapat
menyusun sebuah makalah.

Makalah ini kami buat berdasarkan buku penunjang yang kami baca. Dan untuk lebih
menarik peminat pembaca makalah ini kami ikut sertakan beraneka ragam yang kami petik
pada buku perpustakaan. Kami menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini, oleh karna itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pihak
manapun yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan
datang.

Parepare, 15 November 2019

Penyusun

Kelompok IX
DAFTAR ISI

Hal.
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 4
A. LATAR BELAKANG ................................................................................................................... 4
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................................................... 4
C. TUJUAN PENULISAN ................................................................................................................. 4
BAB II..................................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................................................... 5
A. PENGUMPULAN QUR’AN DALAM ARTI MENGHAFALNYA PADA MASA NABI ...... 5
B. PENGUMPULAN AL-QUR’AN DALAM ARTI PENULISANNYA PADA MASA NABI .. 6
C. PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA ABU BAKAR AS SHIDIQ .......................... 9
D. PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA USMAN ..................................................... 10
E. TERTIB AYAT DAN SURAH ................................................................................................ 11
BAB III ................................................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................................................ 13
A. KESIMPULAN ......................................................................................................................... 13
B. SARAN ..................................................................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Rasulullah adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis karena itu beliau
tidak membukukan atau mencatat Al-Qur’an sendiri. Beliau memerintahkan para sahabat
yang dipercayainya sebagai penulis wahyu untuk menuliskan wahyu yang turun kepada
Rasullulah di atas pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit kayu, dan tulang
belulang hewan. Semua ayat yang turun ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan, tetapi
semua wahyu tersebut belum terhimpun dalam satu mushaf. Meskipun demikian, Rasullulah
saw memberikan isyarat tentang peletakan surat dan urutan ayat dalam Al-Qur’an.
Orisinalitas Al-Qur’an senantiasa terjaga karena malaikat Jibril as membacakan
kembali ayat demi ayat Al-Qur’an kepada Rasullulah saw pada malam-malam
bulanRamadhan pada setiap tahunnya. Selain itu, para sahabat senantiasa menyetorkan
hafalan maupun tulisan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah mereka hafal dan mereka tulis kepada
Rasullulah SAW.
Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf.
Catatan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama’ telah
menyampaikan bahwa segolong dari mereka, di antaranya Ali bin Abu Thalib ra, Muadz bin
Jabal raUbay bin Ka’ab ra, Zaid bin Tsabit ra, dan Abdullah bin Mas’ud ra, telah menghafal
seluruh isi Al-Qur’an pada masa Rasullulah.
Untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an, Rasulullah memerintahkan para sahabat
untuk tidak menuliskan sesuatupun yang berasal dari mulut beliau kecuali Al-Qur’an. Hal ini
sangat wajar dan tepat karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa Hadits dan Al-Qur’an
tidak bercampur aduk satu sama lainnya sehingga untuk mencegah hal ini maka Rasullulah
dengan petunjuk Allah melarang penulisan apapun dari Rasulullah kecuali Al-Qur’an.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian pengumpulan Al-Qur’an?
b. Bagaimana sejarah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah Saw.?
c. Bagaimana sejarah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As shidiq?
d. Bagaimana sejarah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan?

C. TUJUAN PENULISAN
a. Mengetahui apa itu pengumpulan Al-Quran
b. Mengetahui bagaimana sejarah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW
c. Mengetahui sejarah pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As Shidiq
d. Mengetahui sejarah Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGUMPULAN QUR’AN DALAM ARTI MENGHAFALNYA


PADA MASA NABI

Rasulullah SAW adalah hafidz Qur’an pertama, dan beliau sangat menganjurkan para
sahabat untuk menghafal setiap kali turun sehingga wahyu berikutnya tidak akan turun
sebelum wahyu pertama belum di hafal Rasulullah SAW.
Rasulullah saw. sangat menyukai wahyu, beliau senantiasa menunggu turunnya wahyu
dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti yang dijanjika Allah:

َّ‫َوقُ ْرء َج ْمعَهُۥ َعلَ ْينَا ِإن‬


َ َ ‫انَهُۥ‬
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya [di dadamu] dan [membuatmu
pandai] membacanya.” (al-Qiyaamah: 17)
Oleh sebab itu beliau hafidh [penghafal] al-Qur’an pertama dan merupakan contoh
paling baik bagi para shahabat dalam menghafalnya, Sebagai realisasi kecintaan mereka
kepada pokok agama dan sumber risalah. Al-Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun
lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai
sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati,
sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat. Hal itu karena
umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah
mereka lakukan dengan catatan di hati mereka.
Setiap kali menerima wahyu, Nabi Muhammad SAW lalu menghafalkannya.
Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol Malaikat Jibril. Setelah itu Nabi Muhammad SAW
segera mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk menyampaikan wahyu yang baru
diterimanya. Rasulullah pun menyuruh para sahabat untuk menghafal wahyu yang
diterimanya serta memberikan petunjuk letak urutan ayat itu dan tata cara penulisannya.
Para sahabat langsung menghafalnya diluar kepala setiap kali Rasulullah menerima
wahyu. Hal ini biasa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya)
orang Arab yang biasa menjaga Turast ( peninggalan nenek moyang mereka) diantaranya
berupa syair atau cerita dengan media hafalan dan mereka masyhur dengan kekuatan daya
hafalannya.
Imam Bukhori menyebutkan 7 (tujuh) hafidz shahabat dizaman Rasulullah
SAW yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’dal, Muaz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakam, dan Abu Darda. Imam ibn Hajjar menambahkan Sa’id bin
‘Ubaid dengan julukannya Al-Qori.
Penyebutan para hafidh yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena
beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan Sunan menunjukkan bahwa para shahabat
berlomba menghafal al-Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka
untuk menghafalkannya. Mereka membacanya dalam shalat tengah malam, sehingga alunan
suara mereka terdengar bagai lebah. Rasulullah pun sering melewati rumah-rumah orang
Anshar dan berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca al-Qur’an di
rumah-rumah.

Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Bukhari dengan tiga riwayat di atas,
diartikan bahwa mereka itulah yang hafal seluruh isi al-Qur’an di luar kepala dan mereka
telah menunjukkan hafalannya di hadapan Nabi, serta isnad-isnadnya sampai ke kita. Sedang
para hafidh yang lainnya –yang berjumlah banyak- tidak memenuhi hal-hal tersebut; terutama
karena para sahabat telah tersebar ke berbagai wilayah dan sebagian mereka menghafal dari
yang lain. Cukuplah sebagai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh dalam
pertempuran di sumur “ma’uunah” semuanya disebut Qurraa’, sebanyak tujuh puluh orang
sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih. Al-Qurtubi mengatakan: “Telah terbunuh tujuh
puluh orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi sejumlah itu
dalam pertempuran di sumur Ma’uunah.”

Al-Hafiz Az-Zahabi menyatakan dalam Tobaqqotul Quraa’ bahwa jumlah qari itu
adalah jumlah mereka yang menunjukkan hafalan di hadapan Rasulullah SAW dan sanad-
sanadnya sampai kepada kita secara bersambung, sedangkan sahabat yang hafal Qur’an
namun sanadnya tidak sampai kepada kita adalah lebih banyak lagi.

Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa para hafidh al-Qur’an di masa
Rasulullah amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegang pada hafalan dalam penukilan di
masa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibn Jazari (:Muhammad bin Muhammad, terkenal
dengan nama Ibnul Jazari, pengarang kitab an-Nasyr fil Qiraa’aatil ‘Asyr, wafat 833 H), para
guru qari pada masanya menyebutkan: “Penukilan al-Qur’an dengan berpegang pada hafalan-
bukannya pada mushaf-mushaf dan kitab-kitab- merupakan salah saatu keistimewaan yang
diberikan Allah kepada umat ini.”

Al-Hafiz Az-Zahabi menyatakan dalam Tobaqqotul Quraa’ bahwa jumlah qari itu
adalah jumlah mereka yang menunjukkan hafalan di hadapan Rasulullah SAW dan sanad-
sanadnya sampai kepada kita secara bersambung, sedangkan sahabat yang hafal Qur’an
namun sanadnya tidak sampai kepada kita adalah lebih banyak lagi.

B. PENGUMPULAN AL-QUR’AN DALAM ARTI PENULISANNYA


PADA MASA NABI
Proses penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW sangatlah sederhana.
Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang
belulang dan berbagai tempat lainnya. Selain para sekretaris Nabi Muhammad SAW tersebut,
para sahabat juga melakukannya tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW.
Pada tahap yang pertama, kita tahu bahwa sahabat-sahabat Nabi yang hafal Al-Qur’an
diluar kepala seperti Abdullah bin mas’ud, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab dan lain-lain.
Diantara faktor yang mendorong mereka menghafal Al-Qur’an adalah kecintaan mereka
terhadap Al-Qur’an dan penghargaan Nabi serta sahabat lainnya terhadap mereka yang
mempunyai hafalan banyak.
Berbeda halnya dengan pengertian yang kedua, yaitu menuliskan Al-Qur’an, maka
dalam periwayatan disebutkan bahwa nabi selalu menyuruh para sahabatnya menulis Al-
Qur’an segara setelah Al-Qur’an diturunkan. Mereka yang terlibat dalam penulisan wahyu
kurang lebih 40 orang, suatu jumlah yang cukup besar. Agar konsentrasi para sahabat hanya
kepada Al-Qur’an, maka nabi melarang para sahabatnya mencatat selain Al-Qur’an. . Beliau
ingin agar Al-Qur’an dan hadits tidak ditulis pada halaman kertas yang sama agar tidak
terjadi campur aduk serta kekeliruan.
Rasulullah SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada
para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang
para sahabat untuk menulis hadits beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al-
Qur’an. Rasulullah bersabda : “ Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Qur’an,
barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya.
Biasanya sahabat menuliskan Al-Qur’an pada media yang terdapat pada waktu itu
berupa ar-Riqa’ (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Akhtaf (tulang binatang),
al ‘Usbu (pelepah kurma). Sedangkan hadist yang menguatkan bahwa penulisan Al-Qur’an
telah terjadi pada masa Rasulullah SAW, adalah hadits yang di takhrij (dikeluarkan) oleh al-
Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas ra, ia berkata :” Suatu saat kita
bersama Rasulullah SAW, dan kita menulis Al-Qur’an (mengumpulkan) pada kulit binatang.”
Rasulullah SAW telah mengangkat para penulis wahyu seperti Muawiyah, Zaid bin
tsabit, ‘Ubay bin Ka’ab, Khalid bin Al-Walid, dan sabi bin Qays. Disamping itu para
shahabatpun menulis sendiri wahyu untuk dirinya sendiri. Zaid bin Tsabit berkata “ Kami
menyusun Qur’an di hadapan Rasulullah pada kulit binatang”.
Rasulullah SAW menyuruh para penulis wahyu untuk mencatat setiap wahyu yang
diterimanya. Sehingga Al-Qur’an yang terhimpun di dalam dada mereka masing-masing
dialihkan ke dalam bentuk tulisan. Terkadang para sahabat menulis ayat-ayat yang turun
kepada beliau, meskipun Rasulullah SAW tidak menyuruh mereka untuk menulis.

Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan
Al-Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut.
Para sahabat senantiasa menyodorkan Al-Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk
hafalan maupun tulisan. Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam
satu mushaf, yang dimiliki oleh seseorang belum tentu dimiliki oleh seseorang yang lain.
Rasulullah berpulang ke Rahmatullah disaat Al-Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam
mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan diatas, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan,
atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara
terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf
yang menyeluruh (lengkap). Pada saat sebelum nabi wafat, belum diperlukan membukukan
Al-Qur’an dalam satu mushaf, sebab nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu
kewaktu. Sesudah berakhir masa turunnya al-qur’an dengan wafatnya Rasulullah, maka
Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para khulafaturrasyidiin sesuai
dengan janji-Nya yang benar kepada ummat tentang jaminan pemeliharaan Al-qur’an dan hal
ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.
Sementara itu, upaya pengumpulan Al-Quran dalam arti penulisan juga sudah
ada masa itu, meskipun belum dalam kondisi yang seperti sekarang. Penulisannya
masih berfariasi dan dalam lembaran-lembaran yang terpisah atau dalam bentuk ukiran
pada beberapa jenis benda yang dapat mereka jadikan sebagai alas tulis-menulis ketika
itu. Setiap kali Nabi selesai menerima ayat-ayat Al-Quran yang diwahyukan
kepadanya, Nabi lalu memerintahkan kepada para shahabat tertentu untuk
menuliskannya di samping juga menghafalnya. Penulisan ayat-ayat al-Quran tidaklah
seperti yang kita saksikan sekarang. Selain karena mereka belum mengenal alat-alat
tulis, Al-Quran hanya ditulis pada kepingan-kepingan tulang, pelepah korma, atau batu-batu
tipis, sesuai dengan peradaban masyarakat waktu itu.
Penertiban dan susunan ayat-ayat Al-Quran langsung diatur oleh Nabi Saw.
sendiri berdasar bimbingan Jibril yang menjadi perantara Allah. Dalam hal ini, para ulama
sepakat mengatakan bahwa cara penyusunan Al-Quran yang demikian itu adalah
tauqify, artinya susunan surah-surah dan ayat-ayat-ayat Al-Quran seperti yang kita
saksikan di berbagai mushaf sekarang adalah berdasarkan ketentuan dan petunjuk yang
diberikan Rasulullah sesuai perintah dan wahyu dari Allah Swt. Dengan demikian,
tidak ada tempat dan peluang ijtihad dalam penertiban dan penyusunannya.
Meskipun semua urutan surah dan ayat-ayatnya disusun berdasarkan kehendak
dan petunjuk Rasulullah, namun Nabi tidak memandang perlu untuk menghimpun ayat-
ayat yang ada pada setiap surah dalam berbagai shahifah karena jumlahnya tidak
terhitung, di samping juga tidak perlu menghimpun semua cara pencatatan Al-Quran di
dalam satu mushaf. Dengan demikian, penulisan Al-
Quran pada masa Nabi itu tidak terkumpul
dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Akan tetapi yang jelas bahwa di saat Rasulullah berpulang ke rahmatullah, Al-Quran
telah dihafal dan ditulis dalam mushaf dengan susunan seperti yang disebutkan di atas. Ayat-
ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau ditertibkan ayat-ayatnya saja dan
setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah, dan penulisannya supaya
dipertimbangkan mencakup “ tujuh huruf ” yang menjadi landasan turunnya Al-Quran.
Adapun kepada para shahabatnya yang terpilih untuk menulis Al-Qur’an guna
memperkuat hafalan mereka. Di antara para penulis wahyu Al-Quran terkemuka
adalah shahabat pilihan yang ditunjuk Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan
indah tulisannya seperti Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu
Sufyan dan Ubay bin
Kaab. Apabila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskannya
dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan Al-Quran
pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati, atau Al-Quran yang terhimpun
di dalam dada akhirnya menjadi kenyataan tertulis.
Selain dari yang disebut diatas, masih banyak lagi para pencatat wahyu dari
kalangan shabahat yang menuliskan Al-Quran atas kemauan sendiri, tanpa diperintah
Nabi. Mereka pada saat itu menuliskannya pada lembaran kulit, daun-daunan, kulit
kurma, permukaan batu, pelepah kurma, tulang-belulang unta atau kambing yang telah
dikeringkan, dan mereka jadikan sebagai dokumen pribadinya.
Belum terkumpulnya Al-Qur’an dalam satu mushaf dizaman Rasulullah karena :
1. Turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, membuat ia tidak mungkin
dibukukuan.
2. Adanya ayat yang dimansukh selama proses penurunan.
3. Susunan turunnya ayat dan surat tidak teratur menyebabkan perubahan susunan
tulisan.
4. Jarak waktu turunnya ayat terakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW sangat
pendek (Sembilan hari).
5. Banyaknya penghafal Al-Qur’an dan segala fitnah dapat diatasi sehingga tidak
ada alasan yang kuat untuk membukukannya.

C. PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA ABU BAKAR AS


SHIDIQ
Kaum muslimin melakukan konsensus untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq
sebagai khalifah sepeninggal Nabi Saw. Pada awal pemerintahan Abu Bakar, terjadi
kekacauan akibat ulah Musailamah al-Kazzab beserta pengikut-pengikutnya.Mereka menolak
membayar zakat dan murtad dari Islam. Pasukan Islam yang dipimpin Khalid bin al-Walid
segera menumpas gerakan itu. Peristiwa tersebut terjadi di Yamamah tahun 12 H. Akibatnya,
banyak sahabat yang gugur, termasuk 70 orang yang diyakini telah hafal al-Qur’an.
Setelah syahidnya 70 huffazh, sahabat Umar ibn Khattab meminta kepada
khalifah Abu Bakar, agar al-Qur’an segera dikumpulkan dalam satu mushaf.Dikhawatirkan
al-Qur’an itu secara berangsur-angsur hilang, seandainya al-Qur’an itu hanya dihafal saja,
karena para penghafalnya semakin berkurang.
Semula khalifah Abu Bakar itu ragu-ragu untuk mengumpulkan dan membukukan
ayat-ayat al-Qur’an, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Tapi setelah beliau
shalat istikharah, kemudian beliau mendapat kesesuaian pendapat dengan usul sahabat Umar
bin Khattab.
Pada waktu munaqasyah antara khalifah Abu Bakar dengan sahabat Umar diundang
pula penulis wahyu pada zaman Rasul yang paling ahli yaitu Zaid bin Tsabit. Kemudian ia
menyetujui pula akan gagasan itu. lalu dibentuklah sebuah tim yang dipimpin Zaid bin Tsabit
dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas suci tersebut. Pada mulanya, Zaid keberatan,
tetapi akhirnya juga dapat diyakinkan. Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit, mengingat
kedudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman, dan kecerdasan serta kehadirannya pada
masa pembacaan Rasulullah Saw yang terakhir kalinya.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati-
hati di bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama dalam penulisan tersebut adalah
ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis dan dicatat di hadapan Nabi Saw dan hafalan para
sahabat. Di samping itu, untuk lebih hati-hati, catatan-catatan dan tulisan al-Qur’an tersebut
baru benar-benar diakui berasal dari Nabi Saw bila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Dalam rentang waktu kerja tim Zaid pernah suatu kali menjumpai kesulitan, mereka
tidak menemukan naskah ayat 128-129 surah at-Taubah.
Padahal, banyak sahabat penghafal al-Qur’an termasuk Zaid sendiri jelas-jelas menghafal
ayat tersebut.Akhirnya, naskah ayat tersebut ditemukan juga di tangan seorang yang bernama
Abu Khuzaimah al-Anshari.
Hasil kerja Zaid yang telah berupa mushaf al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar
sampai akhir hayatnya.Setelah itu berpindah ke tangan Umar ibn Khattab.Sepeninggal Umar
mushaf disimpan oleh Hafshah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas, diketahui bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang
memerintahkan penghimpunan al-Qur’an. Umar bin al-Khattab adalah pelontar idenya serta
Zaid bin Tsabit adalah pelaksana pertama yang melakukan kerja besar penulisan al-Qur’an
secara utuh dna sekaligus menghimpunnya ke dalam satu mushaf.
Dalam masalah pengumpulan al-Qur’an ini, sedikitnya ada tiga pertanyaan yang perlu
mendapat perhatian:
1. Mengapa Abu Bakar ragu-ragu dalam masalah pengumpulan al-Qur’an padahal
masalahnya sudah jelas baik dan diwajibkan oleh Islam?
Hal ini karena Abu Bakar khawatir kalau-kalau orang mempermudah terhadap usaha
menghayati dan menghafal al-Qur’an, dan mencukupkan diri dengan hafalan yang tidak
mantap. Dan dikhawatirkan mereka hanya berpegang dengan apa yang ditulis pada mushaf,
sehingga akhirnya mereka lemah untuk menghafal al-Qur’an.
2. Mengapa Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit sebagai ketua?
Karena Zaid adalah orang yang betul-betul mempunyai pembawaan dan kemampuan
yang tidak dimiliki sahabat yang lain, dalam hal mengumpulkan al-Qur’an. Ia adalah sahabat
yang hafidz, ber-IQ tinggi, sekretaris wahyu yang menyaksikan sajian akhir wahyu, wara’
serta besar tanggung jawabnya, lagi sangat teliti.
3. Apakah maksud kata-kata Zaid bin Tsabit: “Sampai aku menemukan akhir surat at-
Taubah dari Abu Khuzaimah al-Anshari yang tidak ada pada orang lain.”
Hal tersebut tidak berarti bahwa ayat ini tidak ada pada hafalan Zaid dan sahabat-
sahabat yang lain, karena mereka menghafalnya. Akan tetapi, beliau bermaksud hendak
mengkompromikan antara hafalan dan tulisan serta dalam rangka kehati-hatian.Dan karena
langkah lurus itulah, sempurna pulalah al-Qur’an.
Adapun karakteristik penulisan al-Qur’an pada masa Abu Bakar ini adalah:
1. Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan
penelitian yang cermat dan seksama.
2. Meniadakan ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh.
3. Seluruh ayat yang ada telah diakui kemutawatirannya.
4. Dialek Arab yang dipakai dalam pembukuan ini berjumlah 7 (qira’at) sebagaimana
yang ditulis pada kulit unta pada masa Rasulullah.

D. PENGUMPULAN AL-QUR’AN PADA MASA USMAN


Masa pemerintahan usman ditandai dengan berbagai macam penaklukan. Lebih
kurang enam tahun lamanya waktu yang diperlukan untuk penaklukan-penaklukan tersebut.
Oleh karena perhatiannya pemerintah dan kaum muslimin banyak yang tercurah kepada
penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan islam, masalah pengajaran al-qur’an diserahkan
sepenuhnya kepada mereka yang hafal al-qur’an dan sanggup untuk itu.
Pengumpulan al-Qur’an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan punya motif berbeda
dengan pengumpulan al-Qur’an dimasa Abu Bakar, Jika motif Abû Bakar mengumpulkan al-
Qur’an karena khawatir akan hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari
banyaknya para penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif ‘Utsmân
adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai ragam bacaan.

Pada masa ‘Utsman ini Islam telah tersebar luas dan kaum Muslimin telah hidup
berpencar ke berbagai pelosok. Di berbagai daerah telah terkenal Qira’at sahabat yang
mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk setempat. Penduduk Syam memakai Qira’at Ubay
bin Kaab, penduduk Kuffah memakai Qira’at Abullah bin Mas’ud, penduduk di wilayah
lainnya menggunakan Qira’at Abu Musa al-Asy’ary. Tidak jarang terjadi pertentangan
mengenai masalah bacaan dikalangan pengikut sahabat-sahabat tersebut, hingga kemudian
pertentangan tersebut memuncak menjadi perpecahan dikalangan Muslimin sendiri.[14]

Kondisi semacam ini kemudian didengar oleh Hudaifah bin Yaman. Ketika Hudaifah
mengetaui hal tersebut, maka dengan sesegera mungkin beliau melaporkannya kepada
Khalifah ‘Utsman agas segera ditindak lanjuti. Setelah mendapatkan laporan tersebut,
‘Utsman segerah mengirim surat kepada Hafshah yang berisikan perintah untuk memberikan
al-Qur’an yang telah dibukukan Zaid sebelumnya untuk kemudian diperbanyak dan
disebarluaskan ke seluruh penjuru. Untuk membukukan al-Qur’an tersebut, ‘Ustman
mengutus empat orang sahabat untuk membukukan al-Qur’an, dari keempat orang tersebut
tiga diantaranya adalah muhajirin dan satu orang lainnya adalah kaum anshar, empat orang
tersebut adalah : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin
al-Harits bin Hisyam.
Dalam melakukan pembukuan tersebut, keempat orang tersebut berpegang pada
arahan dari ‘Utsman, yaitu :
 Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah dibukukan oleh Zaid bin Tsabit sebagai acuan
pokok dan dumber utama dalam penulisan al-Qur’an.
 Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebu dalam hal penulisan dan urutannya, dan
apabila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para anggota panitia, maka mengacu
berdasarkan dialek Quraisy karena al-Qur’an diturunkan dengan dialek Quraisy.
 Dan al-Qur’an tidak ditulis kecuali berdasarkan persetujuan antara para panitia, dan para
sahabat bersepakat bahwa al-Qur’an yang telah dibukukan tersebut sebagai al-Qur’an
sebagaimana yang diturunkan kepada Rasulullah.

Usaha yang dilakukan oleh ‘Ustman tersebut mendapatkan apresiasi yang sangat
dikalangan sahabat, sehingga hasil dari usaha tersebut mendapat pengakuan dari kalangan
sahabat dan mereka meyakini bahwa al-Qur’an yang dikumpulkan oleh ‘Utsman tersebut
telah sesuai dan sama persis dengan al-Qur’an yang ada pada masa Nabi Muhammad. Baik
dari segi urutan ayat (Tartibul Ayat), maupun urutan Surat (Tartibus suwar), maupun
Qira’atnya. Mushaf ‘Utsman yang telah mendapatkan pengakuan dari para sahabat tersebut
kemudian disebarkan dan menjadi pegangan dalam penulisan al-Qur’an hingga saat ini yang
dikenal dengan Mushaf atau Rasm ‘Ustmany.

E. TERTIB AYAT DAN SURAH


Ulama berpendapat bahwa tertib ayat adalah bersifat tauqifi sesuai dengan
petunjuk Rasulullah SAW, akan ke-izmaannya, maka banyak para ‘Ulama yang telah
mengatakannya, diantaranya Az-Zarkasyi dalam Al-Burhan, dan Abu Ja’far dalam al-
Munasabat, di situ ia berkata:” Tentang penertiban ayat-ayat dalam setiap surat Al-Qur’an
adalah tauqifi dari Rosulluah SAW, ini adalah suatu perkara yang tidak lagi diperselisihkan
oleh seluruh umat Muslim”.
Imam As-Suyuti berkata :” Ijma dan Nash yang serupa menegaskan tertib ayat itu
adalah tauqifi tanpa diragukan lagi”.
Hadits Rasulullah SAW:” Utsman bin Abil ‘As berkata:” Aku tengah duduk di
samping Rosulullah SAW, tiba-tiba pandangannya menjadi tajam lalu kembali seperti
semula, kemudian sabdanya,” Jibril telah datang kepadaku agar aku meletakkan ayat ini di
tempat anu dari surat An-Nahl {16}: 90” .
Nama-nama surah Al-Qur’an ditetapkan secara tauqifi, . Ada beberapa surah yang
memilki lebih dari satu nama, misalnya Al-Fatihah memiliki 20 nama diantaranya: Fatihatul
Kitab, Ummul Kitab, Ummul Qur’an, As-Sab’ul, Matsani, dll. Al Bar’ah juga dinamakan At
Taubah. Al Isra’ juga dinamakan Banu Israil.
Adapun mengenai tertib surah terjadi perbedaan pendapat, pertama, bersifat tauqifi,
dengan alasan bahwa Rosulullah SAW telah membaca beberapa surah secara tertib di dalam
shalatnya. Kedua, bersifat ijtihadi, dengan alasan adanya perbedaan terdapat perbedaan tertib
di dalam mushaf-mushaf shahabat, dan adanya keraguan Utsman ra mengenai
keberadaan QS. Al Anfal dan QS. Al Bara’ah. Ketiga, Sebagai tauqifi dan ijtihad], karena
sebagian tertib surah ada dalilnya dan ada yang tidak, dari ketiga pendapat itu berikut ini
penjelasannya:
1. Menurut Manna’ Al Qatthan, Pendapat pertama paling kuat, beliau
berargumentasi dengan pendapat Abu Bakar Ibnu Ambari yang mengatakan bahwa
Allah SWT telah menurunkan Qur’an seluruhnya di langit dunia,
sedangkan Jibril senantiasa memberitahukan Rosulullah Saw dimana letaknya ayat
Al-Qur’an. Al Kirmani mengatakan bahwa tertib surah seperti saat ini adalah seperti
di louh al mahfudz dan menurut tertib inilah Rosulullah Saw membacanya pada Jibril
as setiap tahun dibulan Ramadhan. Lalu Al-Qatthan mengatakan bahwa seandainya
itu ijtihadi, tentu shahabat akan tetap berpegng pada mushaf mereka bukan
mushaf Usmani.
2. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani mengatakan bahwa susunan surah Al-
Qur’an didasarkan pada Ijtihad shahabat namun mengarah pada ijma’ shahabat.
Beliau mengatakan bahwa hadits Imam Ahmad di atas adalah shahih menurut Ibnu
Hibban dan Al-Hakim. An Nabhani pun mengatakan bahwa Rosulullah Saw dalam
malamnya pernah membaca surah An-Nisa’ sebelum Ali Imran.
3. Menurut Ibnu Hajjar bahwa tertib sebagian besar surah Al-Qur’an tidak dapat
ditolak adalah bersifat tauqifi, namun mungkin juga yang telah tertib pada waktu itu
hanyalah bagian mufasshal, bukan yang lain.
Ketiga pendapat di atas tidak didukung dengan hadits Rosulullah Saw yang secara
tegas menjelaskan tertib surah Al-Qur’an. Namun dapat dikatakan bahwa ketiganya
(terutama pendapat pertama dan kedua) memberikan konsekwensi yang sama, bahwa
tertib surah pada Al-Qur’an saat ini wajib diikuti.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Upaya yang dilakukan Rasulullah untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak
terlupakan atau terhapus dari ingatan dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal
Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya
sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam
upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan
Nabi.
Pembukuan al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar didasari oleh kekhawatiran al-
Qur’an akan hilang jika tidak dikumpulkan karena telah banyak para Qari’ yang meninggal
dan Mushaf al-Qur’an masih tercecer. Atas desakan ‘Umar akhirnya Abu Bakar berkenan
untuk membukukannya dengan memerintahkan Zaid untuk membukukan al-Qur’an.
Pembukuan al-Qur’an yang dilakukan pada masa ‘Ustman didasari oleh perpecahan
dikalngan sahabat akibat perbedaan bacaan yang mereka gunakan sehingga ‘Utsman
memerintahkan untuk membukukan ulang Mushaf yang sudah ada dimasa Abu Bakar dan
menyebar luaskan diseluruh penjuru. Untuk melakukan tugas tersebut ‘Utsman
memerintahkan empat orang sahabat yaitu : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’id bin
al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam.
Jumhur ‘Ulama sepakat bahwa urutan Ayat al-Qur’an adalah Tauqifi berdasarkan
perintah dari Allah yang disampaikan oleh Rasulullah. Sedangkan untuk urutan Surat,
‘Ulama terbagi atas dua pendapat yaitu : Pertama, urutan Surat sebagian adalah Tauqifi,
sebagian lain berdasarkan Qia’at sahabat. Kedua, urutan surat dalam al-Qur’an sepenuhnya
Tauqifi dari Allah.

B. SARAN
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan
kata dan kalimat yang kurang jelas ataupun kurang dimengerti. Karena kami hanyalah
manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kekhilapan. kami juga sangat mengharapkan
saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi kami sebagai penulis.
Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Badruddin Muhammad bin Abdullah az-Zarkasy, al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, Cairo : Dar
at-Turats, tt.
Mana’ Qathan, 1995. Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an, Cairo : Maktabah Wahbah.
H.M. Rusdi Khalid, 2011. Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Alauddin Universiti Press :
Makassar.
Muhammad Abdul Adzim az-Zarqany, 1995. Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I,
Beirut : Dar al-Kitab al-`Araby.
Philip K. Hitti, 2013. History of The Arabs, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta,.
http://rezalfajmi.blogspot.com/2015/05/pengumpulan-dan-penertiban-al-quran.html
Al-Qattan, Manna Khalil, 2012, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa
Umar, Nasaruddin, 2008, Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-
Qur’an), Jakarta: Al-Gazali Centre
Amal, Taufik Adnan, 2001, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Yogyakarta: Forum Kajian
Budaya dan Agama
http://holongmarinacom.blogspot.com/2016/12/al-quran-dan-sejarah-pengumpulan-serta.html

Anda mungkin juga menyukai