Anda di halaman 1dari 15

KETATANEGARAAN PADA MASA BANI ABBAS

BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang
Dinasti Bani Abbas ditegakkan secara revolusi diatas sisa-sisa
kekuatan Bani Umayyah. Setelah berhasil menggulingkan Marwan II, khalifah
terakhir Bani Umayyah pada tahun 750 M, Abu Al-Abbas al-saffah
memproklamirkan berdirinya kerajaan Bani Abbas. Meskipun Bani al-saffah
merupakan pendiri dinasti ini, orang yang berjasa mengembangkannya adalah
Abu Ja’far al-manshur.
Kebijakan terpenting yang dilakukan al-Manshur adalah memindahkan
ibukota kerajaan ke Baghdad pada tahun 145 H/762 M. Pada mulanya, pusat
pemerintahan Abbasiyah adalah kufah. Namun ini kurang aman, karena kufah
merupakan basis pendukung syi’ah yang sangat pro Ali
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pemerintahan pada masa Bani Abbas?
2. Aspek apa sajakah yang ada pada sistem pemerintahan Bani Abbas?

C. Tujuan
1. Ingin mengetahui sistem pemerintahan pada masa Bani Abbas
2. Ingin mengetahui aspek pada sistem pemerintaha masa Bani Abbas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Revolusi Bani Abbasiyah dan keruntuhan Bani Umayyah
Pada tahun 132 h pemerintahan bani umayyah jatuh lalu, keturunan al
abbas naik  untuk menduduki khilfah. Dalam kejadian tersebut ada revolusi
besar yang oleh para sejarawan yang hendak di tafsirkan. Dengan segala
berbagai pemikiran  berpendapat bahwa revolusi tersebut adalah revolusi dari
bangsa persia terhadap pemerintahan arab. Banyak sejarawan berpendapat
tersebut. Pendapat tersebut pun di ajarkan kesekolah-sekolah menengah dan
melekat di benak masyarakat. Namun pada permulaan abad ini, sebagian
orientalis, terutama willhouzen dalam “Ad-Daulah Al-Arabiyyah”
mengingatkan bahwa pendapat tersebut tidak benar. Revolusi bukan dari
bangsa Persia untuk melawan bangsa Arab. Tetapi revolusi untuk melawan
Bani Umayyah saja. Tujuannya untuk mengubah pemerintahan Bani Umayyah
menjadi Bani Abbasiyah. Sebagian sejarawan arab yang mengikuti pendapat
tersebut.
Orang yang berpendapat seperti ini akan berhadapan dengan kesulitan-
kesulitan yang berkaitan dengan sanggahan terhadap pendapat bahwa revolusi
tersebut adalah revolusi bangsa Persia. Karena, Abu Muslim orang yang
mengomandani revolusi tersebut adalah orang Persia dari Kabilah Khadasy.
Serta tempatnya juga adalah di Persia, yaitu Khurasan namun ada sesuatu
yang lebih penting dari hal itu, yaitu Ibrahin bin Muhammad bin Ali, orang
yang menyebarkan propaganda Abbasiyah, pernah berwasiat kepada Abu
Muslim sesuai dengan riwayat yang ada didalam karya-karya tarikh, ia berkata
“ jika engkau bisa untuk tidak meninggalkan lidah Arab di Khurasan,
lakukanlah.”[1]
1. Perpindahan propaganda dari keluarga Ali ke keluarga Al Abbas
Diceritakan bahwa Abu Hasyim mengenal Muhammad bin Ali sebagai
orang yang memiliki ilmu, pemahaman, dan pengetahuan yang tinggi. Abu
Hasyim tidak memiliki pewaris lalu ia berwasiat kepada Muhammad bin
Ali untuk menggantikannya. Lalu propaganda pun berpindah kepadanya.
[2]
2. Permulaan peperangan kondisi Bani Umayyah ketika itu sedang ada dalam
keadaan kacau. Dalam tubuh Bani Umayyah telah terjadi banyak celah.
orang-orang yang melihat dan menggunakan pikirannya tentang hal
tersebut akan melihatnya dengan jelas. Bani Umayyah telah diserang oleh
banyak musuh, secara khusus kita bisa menghitung ada empat musuh
Orang – orang muhallab dan pengikut mereka, terutama setelah
tahun tersebut. Dengan demikian, mereka telah menjadikan diri sendiri
sebagai musuh bangsa Yaman. Orang – orang muhallab adalah orang-
orang Azdi Yaman
Al – Mawalli, mereka membayar pajak dengan jumlah yang sangat
besar tetapi tidak diperlakukan seperti bangsa Arab, mereka mendapatkan
tekanan dari mana-mana. Tentu saja mereka adalah musuh negara.
Diantara kedua golongan tersebut ada musuh kuat Bani Umayyah,
yaitu syi’ah Alawiyah, sebagaimana kita ketahui dalam periode selalu
melakukan berbagai revolusi dalam beberapa waktu, revolusi mereka
padam kebencian dan permusuhan pun semakin kuat.
Kelompok keempat membenci bani ummayyah, Bahkan membenci
islam. Mereka adalah seorang persia yang tidak beriman dengan sempurna,
dan masih memilihara agama dahulu, seperti Rawandi Kharrumi dan
Manu.[3]
3. Daerah – daerah yang siap menerima propaganda
- Khufah
- Hijaz
- Khurasan

4. Sarana Propaganda
Muhammad bin Ali tidak melupakan kegunaan propaganda yang
ada di Kufah, disana pun dia mendirikan pusat propaganda yang bergerak
ke khurasan secara diam-diam. Adapun ia tinggal di Humaymah, tempat
yang sangat cocok. Humaymah terletak dilintasan haji tetapi tidak dekat
dengan Madinah, dengan demikian dilihat dari sisi geografis Muhammad
bin Ali membuat rencana yang rapi,detail,dan cerdas. Hal itu ditambahkan
dengan sarana berupa komunikasi, dia menjadikan para pedagang dan
tukang sebagai sekutunya.mereka bisa mengelilingi kerajaan Islam dan
berhubungan dengan sekutunya dengan siapa pun sesuai dengan kehendak
mereka. Dengan demikian, mereka bisa menyampaikan propaganda.
5. Fase – fase Propaganda
Pertama kali muncul propaganda pada tahun 103 H, pada tahun
tersebut Muhammad bin Ali bin Abdillah bin Abbas mengirimkan 12
utusan kekhurasan untuk melakukan propaganda. Diantara utusan tersebut
adalah 8 orang dari bangsa Arab dan 4 orang dari non Arab. Setiap utusan
memiliki hubungan dengan sejumlah tokoh yang menyebarkan
propaganda tanpa harus siapa yang memimpin mereka. Mereka melakukan
aktivitas dengan sangat rahasia.
Pada tahun 103 H propaganda dilakukan dengan formula baru,
yaitu ketika Muhammad bin Ali mengutus seorang laki-laki yang
memahami khurasan bernama Khaddasy karena usahanya, propaganda
abbasiyah ikut bangkit. Namun dia mulai berhubungan dengan orang-
orang yang memiliki pandangan-pandangan ekstrim seperti Al-
Kharramiyah sebuah mazhab hedonis. Orang-orang syi’ah moderat pun
marah kepadanya. Mereka meminta Muhammad bin Ali untuk
menahannya, tetapi Muhammad bin Ali mengelak terhadap sikap
Khaddasy tersebut. Pada tahun tersebut penguasa Bani Umayyah
menangkap Khaddasy dan membunuhnya. Hal tersebut terjadi pada masa
118 H.
Gerakan propaganda sementara vakum hingga tahun 125 H. Pada
tahun tersebut Muhammad bin Ali meninggal. Lalu tugas pun beralih
kepada anaknya Ibrahim. Semenjak tahun tersebut propaganda membuat
formulasi baru, Ibrahim mengatur,menguatkan, dan mengontrol
propaganda dengan cermat. Dia memberikan sifat baru kepada gerakan
tersebut.
Dia mengatakan kepada propagandis dan mengizinkan mereka
untuk menyebutkan bahwa bai’at dilakukan karena ridho ahlul bait.
Dengan kata lain merelakan ahlul bait melakukan balas dendam, ahlul bait
mencakup Bani Abbasiyah dan Bani Alawiyyin.
Disamping itu Ibrahim meletakkan pemikiran yang bisa
mengobarkan semangat syi’ah dia mengatakan bahwa aktivitasnya adalah
utnuk membalas para syuhada ahlul bait. Dengan hal tersebut dia telah
meletakkan pemikiran dan tujuan bagi bai’at tersebut. Tujuan tersebut
adalah untuk membangkitkan ruh balas dendam para tabiin.
6. Program Piagam Propaganda
“aku berjanji kepada kalian dengan kitab Allah Azza Waa Jalla,
sunnah Nabinya dan taat untuk ridho ahlul bait Rasulullah. Kalian harus
menjaga janji dan piagam Allah, serta bertolak, pergi, dan berjalan ke
Baitullah. Kalian tidak boleh meminta rezeki dan makanan hingga
pemimpin kalian memulainya, jika salah seorang kalian musuh ditangkap,
kalian jangan menghinanya kecuali dengan perintah pemimpin kalian.”
Dari piagam tersebut tampak bahwa taat kepada pemimpin adalah
sebuah kewajiban tanpa harus ditanyakan lagi.
B. Ketatanegaraan pada masa Bani Abbas
Dinasti Bani Abbas ditegakkan secara revolusi diatas sisa-sisa Bani
Umayyah, setelah menggulingkan Marwan II. Khalifah terakhir Bani
Umayyah pada tahun 750 M,  Abu Al-Saffah, memproklamirkan berdirinya
kerajaan Bani Abbas.[4] Meskipun Al-Saffah merupakan pendiri dinasti ini
orang yang berjasa mengembangkannya adalah Abu Ja’far Al-Mansur (137-
159 H/754-775 M).
Kebijakan terpenting yang dilakukan Al-Mansur adalah memindahkan
ibukota kerajaan ke baghdad pada tahun 154 H. Pada mulanya pusat
pemerintahan Abbasiyah adalah di Kufah namun kota ini kurang aman sebab,
Kufah merupakan basis pendukung syi’ah yang sangat pro Ali. Oleh sebab itu
Al-Saffah memindahkannya ke Hasyimiyah dekat Kufah. Namun disini juga
masih belum aman dari oposisi syi’ah, karena dekat dengan Kufah, akhirnya
pada masa Al-Mansyur ibukota dipindahkan ke Baghdad. Pilihan ini sangat
tepat karena posisinya yang strategis terletak di Delta sungai tigris. Dari
sinilah khalifah Al Mansyur melakukan konsulidasi menetapkan bangunan
kerajaan dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan. Selanjutnya para
penerusnya mengembangkan dan memajukan dinastinya dalam berbagai
bidang.[5]
Sistem pemerintahan yang dikembangkan Bani Abbas merupakan
pengembangan dari bentuk yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Bani Abbas
mengembangkan sistem pemerintahan dengan mengacu pada 4 aspek yaitu :
· Aspek khilafah
· Aspek wijara
· Aspek khitabah
· Aspek hijabah
1. Aspek Khilafah
Berbeda pada pemerintahan Bani Umayyah sebelumnya, Bani
Abbas menyatukan kekuasaan agama dan politik. Perhatian mereka
terhadap agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan politis, yaitu untuk
memperkuat posisi dan meligitimasi kekuasaan mereka terhadap rakyat.
Pemanfaatan bahasa agama dalam pemerintahan ini terlihat pertama kali
dalam pernyataan Al-Mansyur bahwa dirinya adalah waki Allah dibumi-
Nya. Pernyataan ini telah menggeser khalifah sebelumnya dalam islam.
Pernyataan Al Mansyur menunjukkan bahwa khalifah memerintah
berdasarkan mandat Tuhan, bukan pilihan rakyat. Oleh karenanya,
kekuasaannya adalah suci dan mutlak serta harus dipatuhi oleh umat,
karena khalifah berkuasa dalam masalah politik kenegaraan dan agama
sekaligus. Para khalifah Bani Abbas akhirnya mengklaim diri mereka
sebagai bayang-bayang Tuhan dimuka bumi dan khalifah Tuhan, bukan
khalifah nabi. Ironisnya absolutisme kekuasaan khalifah didukung pula
oleh pemikiran-pemikiran tokoh sunni yang hidup pada masa daulah Bani
Abbas berkuasa. Ibnu Abi Rabi’ Al Mawardi, Al Ghazali, dan Ibnu
Taimiyah adalah beberapa tokoh sunni yang mendukung gagasan
kekuasaan mutlak sakralnya kehidupan mereka. Al Ghazali bahkan
berpendapat bahwa sumber kekuasaan adalah dari Tuhan dan diberikan
kepada hambanya. Karenanya kekuasaan khalifah yang mendapatkan
mandat dari Tuhan tidak boleh diganggu apalagi diturunkan.[6]
2. Aspek Wijarah
Aspek wijarah adalah satu aspek dalam kenegaraan yang
membantu tugas-tugas kepala negara. Orang yang membantu dalam
pelaksanaan tersebut dinamakan wajir. Sebelum masa bani abbas, wijarah
memang telah ada tapi belum terlembaga. Wajir ini bertugas sebagai
tangan kanan khalif    ah. Dia menjalankan urusan-urusan kenegaraan atas
nama khalifah. Dia berhak mengangkat dan memecat pegawai
pemerintahan, kepala daerah bahkan hakim. Wajir juga berperan
mengordinasi departemen-departemen.
Berdasarkan hal ini al-mawardi ahli tata negara pada masa bani
abbas, membagi wajir pada dua bentuk. Pertama wajir al-tafwidh, yaitu
wajir yang memiliki kekuasaan luas memutuskan berbagai kebijaksanaan
kenegaraan. Ia juga merupakan kordinator kepala-kepala departemen.
Wajir ini dapat dikatakan sebagai perdana mentri. Kedua wajir al-tanfidh
yaitu wajir yang hanya bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan yang
digariskan oleh wajir tafwidh. Ia tidak berwenang menentukan kebijakan
sendiri.[7]
3. Aspek kitabah
Besarnya pengaruh wajir-wajir dalam pemerintahan membutuhkan
tenaga-tenaga untuk membantu tugas-tugasnya. Dalam mengordinasi
masing-masing departemen. Untuk itu, wajirpun mengangakat katib untuk
menempati pos-posnya di antara jabatan katib-katib inia adalah katib al-
rasa’il, kati al-kharaj, katib al-jund, katib al-shyurthah, dan katib al-qahdi.
Sesuai dengan namanya, para katib(kutab) betugas dalam bidang masing-
masing. Diantara jabatan katib yang paling strategis dan penting adalah
jabatan katib al-rasa’il. Ia bertugas mengumumkan keputusan undang-
undang, menyusun dan mengkonsep surat politik dengan bahasa yang baik
dan indah sebelum disahkan oleh khalifah serta mengeluarkan surat-surat
resmi negara. Katib al-rasa’il ini dapat disebut juga asisten pribadi
khalifah atau sekretaris negara, karena dia duduk berdampingan dengan
khalifah dalam menentukan kebijaksanaan negara dan mengumumkannya
kepada masyarakat.[8]
Tampaknya ada perbedaan tugas antara kepala dewan dan katib.
Kepala dewan(wajir tanfidh) bertugas mengurung departemen yang
mereka pimpin dan menjalankannya sesuai dengan petunjuk khalifah atau
wajir tafwidh. Adapun katib bertugas mengawasi administrasi
departemen  ia bertugas dalam bidang kesekretariatan pada masing-masing
departemen.

4. Aspek hijabah
Hijabah berarti pembatas atau penghalang. Dalam sistem politik
Bani Abbas, hajib (petugas hijab) berati pengawal khalifah, sebab tugas
dan wewenang mereka adalah menghalangi dan membatasi agar tidak
semua orang bebas bertemu dengan khalifah Bani Abbas. Mereka bertugas
menjaga keselamatan dan keamanan khalifah. Pada masa khulafa al-
rasyidun hijabah ini tidak ada dan tidak dibutuhkan siapa saja boleh
bertemu dengan khalifah kapan saja tanpa ada halangan. Bahkan khalifah
bergaul membaur bersama-sama mereka secara intens. Setelah terjadi
pembunuhan pada diri khalifah Ali, Mu’awiyah, sebagaimana disebutkan
diatas sebelumnya bersikap lebih hati-hati. Ia memutuskan bahwa tidak
sembarang orang bertemu dengan khalifah. Pada masa Bani Abbas,
protokoler ini lebih diperketat. Orang tidak diperkenankan masuk istana
dan bertemu dengan khalifah kecuali untuk hal-hal yang sangat penting.
Bila ada tamu yang datang, hajib terlebih dahulu menanyakan maksud dan
tujuannya. Setelah itu barulah hajib memutuskan boleh tidaknya ia
bertemu dengan khalifah, kalaupun boleh hajib sendiri yang
mengantarkannya kepada khalifah.
Jadi dapat dipahami bahwa hajib ini kurang lebih sama dengan
pengawal pengamana presiden (paspampres) pada masa sekarang. Harun
Nasution menyebutkannya bahwa hajib dapat dikatan sebagai kepala
rumah tangga istana. Bahkan hajib yang kuat bisa memiliki kekuasaan
yang besar dari wajir.
Selain empat aspek tersebut diatas, untuk urusan daerah (provinsi),
Bani Abbas mengangkat kepala daerah (Amir) sebagai pembantu mereka.
Ketika mereka masih kuat, sistem pemerintah ini bersifat sentralistik. Semua
kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang diwakili oleh wajir.
Namu setelah kekuasaan pusat lemah, masing-masing Amir berkuasa penuh
mengatur pemerintahannya sendiri. Hingga pada akhirnya banyak daerah yang
melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Pada masa tersebut timbullah dinasti-
dinasti kecil, baik dibarat maupun timur Baghdad. Dibagian barat timbul
dinasti idrisi (marokku 788-974 M), Al-Khalabi (tunis 800-969 M). Dan
thulun (868-905 M). Adapun di Timur Baghdad berdiri istana antara lain
dinasti Thahiriyah (Khurasan,874-974 M), Saffariyah (sijistan, 867-803 M)
dan Samaniyah, (balkh 874-999 M). Dinasti ini muncul karena pemberontakan
pemimpin lokal yang berhasil, lalu mendirikan pemerintahan sendiri, kedua
kekuasaan gubernur yang diangkat khalifah semakin kuat, sehingga tidak mau
diganti. Akhirnya ia melepaskan diri dari kekuasaan pusat (Baghdad) dan
mengangkat anaknya sebagai penggantinya.
Pada Al-Saffah daerah kekuasaan Bani Abbas menjadi dibagi 12
provinsi. Pemerintah daerah (Amir) dibagi tiga keamiran, yaitu : imarah
istikfa, imarah istilah, dan imarah khashshah. Masing – masing imarah
mempunyai wewenang dan tugas yang jelas. Imarah istikfa bertugas mengatur
dan menggaji tentara daerah, memungut pajak,menjadi imam,dan menegakkan
pelaksanaan hukum. Imarah istilah bertugas sebagai dalam masalah ketertiban
umum, yaitu semacam kepolisian daerah (POLDA). Imarah khashshah
bertugas menangani ketentaraan.
Seperti halnya pada masa Bani Umayyah, kekuasaan yudikatif (Al-
Sulthah Al-Qadha’iyah) dibagi kepada bidang hisbah, Al-qadha dan Al-
Mazhalim. Tugas dan kewenangan mereka juga tidak berbeda pada masa
sebelumnya. Namun selain bidang tersebut, Bani Abbas juga membentuk
lembaga peradilan militer (Qadhi Al-Askar atau Qadhi Al-Jund). Khalifah
sendiri juga menyediakan waktu-waktu tertentu untuk menangani perkara-
perkara khusus.
Dalam prekonomian, sumber pendapatan terbesar negara bersal dari
pajak. Pada masa harun al-rasyid, pemasukan negara dari sektor ini mencapai
272 juta dirham dan 4,5 juta dinar. Sementara pada masa al-mu’tashim, pajak
yang berhasil terkumpul meningkat sebesar 314.271.350 dirham dan
5.502.000 dinar. Daerah-daerah pengumpul pajak tersebut tercatat sebagai
berikut:
· Sawad di irak, 114.357.650 dirham
· Al-ahwaz, 23.000.000 dirham
· Persia, 24.000.000 dirham
· Kirman, 6.000.000 dirham
· Mikran, 1.000.000 dirham
· Isfahan, 105.000.000 dirham
· Sijistan, 1.000.000 dirham
· Khurasan, 27.000.000 dirham
· Hulwan, 9.000.000 dirham
· Mahim, 9.800.000 dirham
· Hamadzan, 1.700.000 dirham
· Masbidzan, 1.200.000 dirham
· Mahjan qaysan, 3.000.000
· Igharin 3.000.000
· Qum dan kaisan 3.000.000
· Azarbaijan 4.500.000 dirham
Selain pajak, sumber negara lainnya adalah pertanian, perdagangan,
dan industri. Untuk menunjang sektor – sektor ini khalifah awal Bani Abbas
membangun jembatan, irigasi dan memnfaatkan pupuk. Disamping itu,
pemerintah mendirikan sekolah-sekolah pertanian. Peningkatan ini turut
mendorong peningkatan pajak. Namun demikian, pemerintah juga berhati-hati
menetapkan pajak. Disaat hasil pertanian menurun, pemerintah pun
menurunkan besarnya pajak.
Setelah mengalami kemajuan tersebut lambat laun pemerintahan Bani
Abbas pun mengalami kemunduran dan kelemahan, hingga akhirnya pada
1258 M daulat ini hancur diserang oleh tentara mongol dibawah pimpinan
hulaghu khan. Menurut Watt kemunduran ini disebabkan oleh faktor-faktor
luasnya wilayah yang harus dikendalikan, meningkatnya ketergantungan
kepada tentara bayaran dan sulitnya keuangan negara.
Disamping itu banyaknya daerah yang melepaskan diri dari Baghdad
dan merosotnya penerimaan pajak yang merupakan sektor andalan. Sementara
besarnya pengaruh orang-orang non Arab menyebabkan pengluaraan negara
membengkak. Bani Abbas akhirnya tidak ubahnya seperti “ayam sakit”,
sehingga tentara mongol dapat menghancurkan imperium ini dengan mudah.
Pada tahun 1258 berakhirlah Bani Abbas selama 500 tahun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada tahun 132 h pemerintahan bani umayyah jatuh lalu, keturunan al
abbas naik  untuk menduduki khilfah. Dalam kejadian tersebut ada revolusi
besar yang oleh para sejarawan yang hendak di tafsirkan. Dengan segala
berbagai pemikiran  berpendapat bahwa revolusi tersebut adalah revolusi dari
bangsa persia terhadap pemerintahan arab. Banyak sejarawan berpendapat
tersebut. Pendapat tersebut pun di ajarkan kesekolah-sekolah menengah dan
melekat di benak masyarakat.
Dinasti Bani Abbas ditegakkan secara revolusi diatas sisa-sisa Bani
Umayyah, setelah menggulingkan Marwan II. Khalifah terakhir Bani
Umayyah pada tahun 750 M,  Abu Al-Saffah, memproklamirkan berdirinya
kerajaan Bani Abbas.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat memberi informasi tentang sejarah
ketatanegaraan pada masa bani abbas kepada pembaca, dan semoga pembaca
pun dapat memahami apa yang sudah ada didalam makalah ini. Apabila
makalah ini memiliki banyak kesalahan, penulis harapkan kritik dan saran dari
pembaca.
[1] Yusuf Al-Isy, Dinasti Abbasiyah  (Jakarta: Pustaka Al – Kautsar, 2007),
hal.10.

[2] Ibid, hlm.10.

[3] Ibid, hlm.11

[4] Muhammad Iqbal, Fiqh siyasah kontekstualisasi doktrin politik islam (Jakarta:


Kencana, 2014), hlm. 97.

[5] Ibid, hlm.98.

[6] Ibid, hlm.99.

[7] Ibid, hlm. 100.

[8] Ibid, hlm.102.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Isy, Yusuf, Dinasti Abbasiyah, Jakarta: Pustaka Al – Kautsar, 2007, hal.10.

Iqbal, Muhammad, Fiqh siyasah kontekstualisasi doktrin politik islamJakarta:


Kencana 2014, hlm. 97.

Anda mungkin juga menyukai