Anda di halaman 1dari 19

IBNU SINA DAN IBNU MISKAWAIH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

FILSAFAT ISLAM

Disusun Oleh Kelompok 6:

Nur Izzatul Ulya (D01219044)


Zulfa Ainia (D01219051)
Moh. Auliya Rizqy Akbar (D91219128)

Dosen Pengampu :

Muhammad Yusron Maulana El-Yunusi, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat serta karunia-Nya kepada kami untuk menyelesaikan
tugas filsafat Islam ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta
salam tetap tercurahkan dan terlimpahkan kepada baginda
Rasulullah SAW yang telah melimpahkan nikmat dan rahmat-
Nya kepada kita semua.

Dalam makalah ini kami membahas tentang “Filsafat


Islam menurut Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih” dilihat dari judul
makalah ini, makalah ini penting untuk dipelajari mahasiswa
dalam memahami latar belakang serta pemikiran filsafat Islam
menurut Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih.

Kami selaku penyusun mengucapkan terimakasih


kepada Muhammad Yusron Maulana El- Yunusi, M. Pd yang
telah membimbing dalam manulis makalah ini. Kami selaku
penyusun juga menyadari bahwa tugas filsafat Islam ini jauh
dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan di
dalamnya. Oleh karena itu kami sangat mengharap kritik dan
saran dari pembaca budiman agar makalah ini menjadi lebih
baik lagi. Kami juga memohon maaf atas kekurangan dalam
penyusunan tugas filsafat Islam ini dan yang terakhir, kami
berharap agar tugas filsafat Islam ini dapat bermanfaat bagi
semua mahasiswa dan dapat menjadi referensi untuk
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, 18 Maret 2020

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar....................................................................ii

Daftar Isi..............................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................1
C. Tujuan Masalah.....................................................2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Ibnu Sina.......................................4


B. Pemikiran Filsafat Islam menurutIbnu Sina...........8
C. Latar Belakang Ibnu Miskawaih...........................10
D. Pemikiran Filsafat Islam menurut Ibnu Miskawaih12
E. Perbedaan pemikiran filsafat Islam menurut Ibnu Sina dan
Ibnu Miskwaih
…………………………………………………………………15

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................13
B. Saran...................................................................14

Daftar Pustaka

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak orang mengatakan bahwa filsafat itu sulit untuk
dipahami, namun mereka tidak sadar bahwa setiap saat
dipertemukan dengan filsafat itu sendiri. Mereka belum tahu
jika filsafat adalah suatu pemikiran atau pendapat kritis dari
seseorang tentang suatu masalah. Pemikiran ini didasari
karena pemahaman dan pengetahuan yang tinggi dari filsuf.
Dasar pemikiran filsuf Islam Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih
yang melatar belakangi adanya makalah ini. Atas semua
pengalaman, pengetahuan, dan pencarian kebenaran yang
mereka temukan menggugah kami untuk memadukan
pemikiran keduanya dan menjadi tolak banding bagaimana
pemikiran filsafat yang telah mereka uraikan.
Ibnu Sina disebut-sebut sebagai Father of Doctor atau bapak
para dokter karena ia sudah menorehkan banyak karya dan jasa
yang besar dalam dunia kedokteran. Sedangkan Ibnu Miskawaih
mendapatkan gelar sebagai guru ketiga setelah Aristoteles dan
al-Farabi serta mendapatkan gelar sebagai Bapak Etika Islam
yang telah merumuskan semua dasar etika dalam kitabnya yang berjudul
Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq1. Semua sumber filsafat etika yang
dimiliki Ibnu Miskawaih berasal dari pengalamannya sendiri, peradaban Persia,
dan ajaran syariat Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang dari Ibnu Sina?
2. Bagaimana latar belakang dari Ibnu Miskawaih?
3. Apa saja perbedaan dan persamaan pemikiran filsafat Islam
antara Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih?

1
Sirajuddin Zar, “ Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya”(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), 128-129.

4
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui latar belakang dari Ibnu Sina.
2. Mengetahui latar belakang dari Ibnu Miskawaih.
3. Mengetahui peersamaan dan perbedaan pemikiran filsafat
Islam antara Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Ibnu Sina

1. Biografi

Abu Ali al-Hussain Ibn Abdillah Ibn Hasan Ali Ibn Sina 2, adalah nama panjang
dari salah seorang tokoh filsuf Muslim yang dikenal dengan Ibnu Sina atau
Avicenna. Ibnu Sina juga dikenal sebagai dokter-filsuf muslim as-Syaikh ar-Rais
(syekh tertinggi). Ia lahir pada tahun 980 Masehi pada bulan Agustus yang
bertempat di Afshanah, desa dekat Bukhara yang sekarang menjadi wilayah
Uzbekistan. Ibnu Sina merupakan putra dari hasil pernikahan Abdullah dengan
Saterah dari Baikh. Ayah Ibnu Sina adalah seorang Pejabat tinggi (Gubenur) pada
masa Dinasti Samaniah, tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Samaniah Nuh II bin
Mansyur.3

Pada usia yang ke lima tahun, Ibnu Sina beserta keluarganya pindah ke Kota
Bukhara, yang merupakan tempat pusatnya para intelek. Dan disinilah ayah Ibnu
Sina menaruh perhatiannya kepada tokoh Ulama’ besar sekaligus ahli Matematika
terbesar di masanya, yakni Ismail al-Zahid dan Abu ‘Abdillah al-Natili. Melalui
ulama’ ini, Ibnu Sina mampu menguasai ilmu logika dan matematika. Bahkan
pemahaman Ibnu Sina mendahului pemahaman dari gurunya. sebelum berusia 10
tahun Ibnu Sina mempelajari bahasa Persia dan Arab hingga ia berhasil menghafal
dan `menguasai al-Qur’an dengan mudah. Seperti yang ia katakan dalam
otobiografinya: “saya telah menghafal al-Qur’an dan melengkapinya dengan studi
al-Qur’an, serta mempelajari bagian-bagian terpenting dari kesusastraan Arab, dan
sebegitu jauhnya hingga orang-orang ingin tau lebih jauh tentang apa yang telah

2
Badiatul Muchlisin Asti dan Junaidi Abdul Munif, 105 Tokoh Penemu dan perintis dunia, (Jakarta: PT. Buku
Kita, 2009).
3
Yanuar Arifin, Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Diva Press, 2018).

6
saya dapatkan.”

Setelah mempelajari ilmu matematika dan logika sebagai ilmu pertamanya, ia


melanjutkan dengan memperdalam ilmu fisika dan kedokteran, yakni melalui Abu
Sahl Isa ibn Yahya al-Masihi al-Jurjani dan Abu Mansyur Hasan ibnu Nuh al-
Qamari.4 Karena ketekunan dan kecerdasannya, pada usia yang ke 17 ia mampu
menguasai berbagai macam ilmu seperti: matematika, logika, fisika, dan kedokteran
yang ia pelajari melalui seorang guru. Serta ilmu-ilmu lain seperti: geometri,
astronomi, teologi, hukum islam, dan metafisika yang ia pelajari secara otodidak
(tanpa seorang guru).

Ia mengawali profesinya sebagai seorang dokter. Hingga akhirnya ia terkenal


karena telah berhasil mengobati seorang penguasa Dinasti Samaniah, Nuh bin
Mansyur (905-1005 M). Dan sebagai imbalan, raja Mansyur ingin memberikan
hadiah yang besar, akan tetapi Ibnu Sina menolaknya. Ia hanya ingin diperbolehkan
dengan leluasa masuk ke perpustakaan Istana Samaniah yang sangat besar. Ia
mengatakan “semua buku yang aku inginkan ada di situ, bahkan aku menemukan
banyak buku dan kebanyakan orang tidak pernah mengetahui namanya, aku
sendiripun tidak pernah melihatnya, dan mungkin tidak akan pernah melihatnya lagi.
Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu, dan semaksimal mungkin aku
memanfaatkannya.”

Tidak lama kemudian, Ibnu Sina pergi mengembara dari satu tempat ke tempat
yang lain. Berawal dari mengembara ke Transoxiana dan Iran, sambil bekerja pada
penguasa-penguasa setempat. Setelah beberapa tahun tinggal di Iran, Ibnu Sina
pindah ke Teheran. Dan disana ia mendirikan sebuah klinik kesehatan kecil sebagai
tempat bereksperimen dan merawat pasien yang sakit. Akan tetapi tidak lama terjadi
penyerangan di Teheran, dan ia pindah lagi ke Hamadan. Di Hamadan diangkat ia
menjadi seorang wazir, yakni pada masa Dinasti Hamdani selama dua periode.
Kesuksesannya tersebut membuat banyak pihak merasa cemburu, sampai
mengakibatkan ia di pecat dan dipenjarakan karena pemikirannya dianggap
merugikan sang penguasa, yang padahal tipu daya dari musuh-musuhnya.

Ibnu Sina menghabiskan hidupnya dengan mengembara dan menuntut ilmu.


Selain itu, ia juga mengajar di sekolah yang terletak di Isfahan, Iran. Hingga

4
Husayn Fattahi, Novel-Biografi Ibnu Sina Tawanan Benteng Lapis Tujuh (Jakarta: Zaman, 2011).

7
akhirnya ia wafat pada tahun 1037 M diusia ke 58 tahun karena mengalami
semacam kelelahan mental parah dan pada saat itu banyak terjadi kerusuhan politik
di daerah yang ia tempati, kegiatan akademisnya sempat terhenti dan karya-karyanya
juga banyak yang dihancurkan oleh sang penguasa, sehingga kesehatannya
terganggu.5 hingga pada waktu itu ia terpaksa harus kembali ke Hamadan, lalu
meninggal diwaktu perjalanan dan dimakamkan di Hamadan, Iran. Karya-karya
yang telah ditulisnya ada 276. Dalam perayaan ke seribu tahun kematiannya, ia
dinobatkan sebagai Father of Doctor (bapak para dokter) dan menjadi ilmuan yang
dikenang sepanjang masa.6

2. Karya-karya Ibnu Sina

a. Al-Qanun fi at-Thibb atau The Canons of Medicine (peraturan-peraturan


Kedokteran) yang menjadi ensiklopedi terlengkap didalam bidang kedokteran, dan
yang memuat risalah pengobatan perpaduan antara tabib Muslim dengan sumber
pengobatan kuno.7

b. Al-Syifa (pengobatan), yang berisi tentang penyembuhan yang terdiri dari 18


jilid.8 Isi dari buku al-Syifa adalah meliputi empat bagian, yakni:

1) Logika, yang meliputi dasar karangan aristoteles tentang logika, juga terdapat
segala materi dari penulis-penulis Yunani.

2) Fisika, bagian-bagian yang termasuk kosmologi, meteorologi, udara, waktu,


kekosongan, dan gambaran.

3) Matematika, berisi tentang aritmatika, ilmu musik, dan lain-lain.

4) Metafisika, bagian falsafah yang menggabungkanpokok pemikiran ibnu sina


dengan aristoteles dengan elemen-elemen Neo platonisme dan menyusun ide-
ide Yunani dengan Mitos.

c. Al-Najat, di dalam risalah al-Najat dan Isyarat berisi tentang perpduan antara dua
5
R.A Gunadi, Khazanah Orang Besar Islam Dari Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol (Jakarta: Republika,
2003).
6
Muchlisin Asti dan Junaidi Abdul Munif, 105 Tokoh Penemu dan perintis dunia.
7
Gunadi, Khazanah Orang Besar Islam Dari Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol.
8
Ibid,.

8
kategori utama dalam filsafat, yaitu pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis.

d. Al-Isyarat wa al-Tanbihat (Isyarah dan Penjelasan).

e. Dam’s Sanamayi Ala’I, merupakan kitab yang ditulis menggunakan bahasa Parsi
seperti kitab al-Najat dan yang dipersembahkan kepada penguasa yang bijak.

f. Mantiq al-Masyriqiyyin (Logika Timur).

g. ‘Uyun al-Hikmah (Mata Air Hikmah)

h. Al-Magest (Buku tentang Astronomi)

i. Al-Ma’ad

j. Kitab al-Majmu’, yang berisi tentang bidang ilmu matematika

k. Kitab al-Hasil wa al-Mahsul, yang terdiri dari dua puluh satu jilid, yang berisi
tentang sains.

l. Kitab Birr wa Lyhm, yang berisi tentang etika.

Ia juga meninggalkan esai, dan beberapa yang terpenting adalah Hayy ibn
Yaqzhan, Risalah al-Thair, Risalah al-’Isyq, Tahshil al-Sa’adah. Juga menulis
beberapa puisi dalam al-Urjuzanfi al-Thibb, al-Qashidah al-Muzdawiyah, dan al-
Qashidah al-’Ainiyah.

Selain karya-karya populer tersebur, Ibnu Sina juga menulis beberapa risalah
tentang qadha’ dan qadar yang menyebabkan ia dipenjara dan dibuang di Benteng
Fardjan, di dekat Hamadan. Risalah tersebut adalah Fi Sirr al-Qadar (tentang
Rahasia Qadar), fi al-Qadla’ wa al-Qadar (tentang Qadla’ dan Qadar), dan al-
Risalah al-Arsyiyyan (risalah tentang singgasana Tuhan).9 Adapula kitab yang
ditulisnya selama dipenjara, yaitu Kitab al-Hidayah dan Kitab al-Qalam. .

Karya-karya Ibnu Sina yang selamat dari pemusnahan oleh lawan-lawan


politiknya adala Kitab al-Inshaf yang berisi tentang arbitrase filsafat timur dan barat,
Lisan al-’Arab, dan sebagian yang telah disebutkan. Dalam karya-karya Ibnu Sina

9
Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika Dalam Islam Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik,
Dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti (Yogyakarta: Narasi, 2008).

9
berkisar membahas tentang filsafat sains dan filsafat agama.10

3. Pemikiran Ibnu Sina

a. Filsafat Jiwa

Dari segi kejiwaan yang ada pada Ibnu Sina pada garis besarnya dibagi
menjadi dua bagian, yaitu dari segi fisika dan metafisika. Dari segi fisika
membicarakan tentang berbagai macam jiwa yaitu, jiwa tumbuhan, jiwa binatang,
dan jiwa manusia. Juga membahas tentang kebaikan-kebaikan jiwa manusia, indera
dan lain-lain. Sedangkan dari segi metafisika, ialah membicarakan tentang wujud
hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.

Pemikiran terpenting Ibnu Sina yang dipaparkan oleh Harun Nasution adalah
filsafat tentang jiwa. Ibnu Sina membagi jiwa menjadi tiga bagian:

1) Jiwa tumbuh-tumbuhan (nafs nabatiyyah) yaitu kesempurnaan yang sangat


dibutuhkan oleh makhluk hidup, karena dengannya makhluk hidup dapat
tumbuh dan berkembang biak dan memakannya. Jiwa Tumbuhan juga
mempunyai tiga kekuatan, yaitu kekuatan menyerap makanan (gizaiyah),
kekuatan pertumbuhan (quatun namiyyah), dan kekuatan perkembangbiakan
(quatun tawaludiyyah).

2) Jiwa binatang (nafs haiwaniyyah) yaitu sebagai pelengkap dari kesempurnaan


manusia, dengan jiwa ini ia dapat bergerak dan berpikir

3) Jiwa manusia (nafs insaniyyah) yaitu jiwa kesempurnaan manusia, yang


dengan kekuatan ini ia dapat berbuat dengan dorongan dari akalnya, meneliti,
membandingkan, dan mengambil kesimpulan serta menemukan suatu
pemikiran yang hanya dapat diterima oleh akal.

Jiwa manusia mencakup daya praktis dan daya teoritis. Daya praktis
berhubungan dengan badan, sedangkan daya teoritis meliputi empat tingkatan:

a) Akal materil, yang hanya berpotensi untuk berpikir dan belum dilatih.

b) Akal habitus, yaitu akal yang mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal
yang abstrak
10
Silfia Hanani, Dialog Filsafat Dengan Teologi Tuhan Dan Alam Dalam Perbincangan Filosof Ibnu Sina Dan
Teolog Al-Ghazali (Bandung: Humaniora, 2004).

10
c) Akal aktual, yaitu akal yang telah mampu berpikir hal-hal abstrak

d) Akal mustafad, yaitu akal yang mampu berpikir tentang hal-hal yang
abstrak tanpa daya upaya.

Jadi, sifat seseorang tergantung pada jiwa yang manakah dari ketiga macam
jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika
jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang
tersebut telah menyerupai binatang. Begitupun sebaliknya, jika jiwa manusia yang
berkuasa atas dirinya, maka orang tersebut akan menyerupai malaikat yang dekat
dengan kesempurnaan. Dalam hal ini, daya praktis memiliki peran yang paling
penting dalam mengontrol hawa nafsu, sehingga tidak menghalangi daya teoritis
untuk membawa manusia kepada tingkat yang lebih tinggi dalam mencapai
kesempurnaan.11

b. Filsafat Wujud/Ketuhanan

Rancangan argumentasi Ibnu Sina mengenai eksistensi Tuhan yang disebut


sebagai argumen melalui kemungkinan (dalil al-jawaz). dalam hal ini Ibnu Sina
membaginya menjadi tiga:

1) Wujud niscaya (wajib al-wujud), merupakan wujud yang harus ada dan tidak
boleh tidak ada.

2) wujud mungkin (mumkin al-wujud), merupakan wujud yang boleh saja ada atau
tidak ada.

3) Wujud mustahil (mumtani’ al-wujud), merupakan wujud yang keberadaannya


tidak terbayangkan oleh akal.

Ibnu Sina juga membicarakan tentang sifat-sifat Zat Niscaya Ada. Paling
utamanya adalah keesaan mutlak, yang menafikan segala bentuk kejamakan,
ketersusunan, dan keterbagian, baik secara esensial, maupun eksistensial.

c. Filsafat Wahyu dan Nabi

Gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang penting dan telah
diusahakan oleh Ibnu Sina dalam membangun empat tingkatan: Intelektual,

11
Zaptulkhan, Pengantar Filsafat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2019).

11
Imajinatif, Keajaiban, dan Sosio politis. Keempat tingkatan ini memberi kita
petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak, dan arah pemikiran keagamaan. Jadi
wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan
menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham
belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian,
wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak
pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan
kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol. Nabi
perlu menjadi seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi memang
hanya nabi pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.

B. Latar Belakang Ibnu Miskawaih

1. Biografi Ibnu Miskawaih


Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Maskawaih.
Beliau lahir di kota Rayy, Iran pada tahun 330 Hijriyah/ 932 Masehi dan meninggal
pada tahun 421 Hijriyah/ 1030 Masehi di Isfahan, Iran. Mayoritas ulama seperti Al-
Khwarizmi, Ats-Tsa’labi, Abi Hayyan at-Tauhidi, Abi Sulaiman al-Manthiqi, dan
ulama yang lainnya menyebut Ibnu Miskawaih dengan Miskawaih saja, karena arti
Miskawaih adalah seharum minyak misyik. Julukan ini disematkan kepadanya
karena beliau memiliki keluhuran budi pekerti, akhlak yang terpuji, dan keluasan
dalam ilmu pengetahuan.12
Ibnu Miskawaih melewatkan seluruh masa hidupnya pada masa kekhalifahan
Abasiyyah yang mayoritas penduduknya bermadzhab syi’ah dan mendapat julukan
Abu al-Khazan karena memperoleh kepercayaan dari khalifah al-Malik Adhud’ Al-
Daulah bin Buwaih. Kekhalifahan ini berlangsung selama 524 tahun, mulai dari
tahun 132 Hijriyah/750 Masehi sampai 654 Hijriyah/ 1258 Masehi. Ibnu Miskawaih
aktif dalam dunia politik saat itu, beliau meninggalkan Rayy menuju Baghdad dan
mengabdi kepada istana Pangeran Buwaihi sebagai bendaharawan dan beberapa
jabatan lainnya. Ibnu Miskawaih merupakan salah satu cendekiawan muslim yang
berkonsentrasi pada bidang filsafat akhlak/etika. Beliau adalah orang yang paling
berjasa dalam mengkaji akhlak secara ilmiah. Dibuktikan saat masa Buwaihi, Ibnu
Miskawaih diangkat menjadi sekretaris dan pustakawan.13 Selain itu, beliau juga
12
Yanuar Arifin, “Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam” (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), 58.

13
Lalu Muhammad Nurul Wathoni, “Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Kurikulum 2013” (Ponorogo: CV Uwais

12
gemar dalam mempelajari berbagai disiplin keilmuan yang lainnya seperti sejarah,
filsafat, kedokteran, pendidikan, hadits, fiqih, sastra,bahasa, dan kimia. Dapat
dikatakan beliau termasuk intelektual yang menolak dikotomi keilmuan antara ilmu
umum dan agama.
Ibnu Miskawaih merupakan keturunan dari bangsa Persia. Sebelum masuk ke
agama Islam, beliau merupakan pemeluk agama Magi, yakni agama yang percaya
kepada bintang-bintang. Namun, setelah kedatangan Islam di tanah Persia beliau
memutuskan untuk masuk ke agama Islam. Sejak saat itulah semangatnya dalam
menuntut ilmu dan mendakwahkan agama Islam semakin besar dan menggebu-gebu.
Perjalanan pendidikan Ibnu Miskawaih tidak banyak diketahui, bahkan
Abuddin Nata menyetakan tidak menjumpai data sejarah yang rinci tentang Ibnu
Miskawaih. Namun, beberapa keterangan menjelaskan bahwa beliau belajar sejarah
dari Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadhi, belajar ilmu filsafat dari Ibnu al-
Akhmar, dan ilmu kimia dari Abu Thayyib. Selain itu, beliau banyak bergaul dengan
para cendekiawan muslim lainnya seperti Abu Hayyat at-Tauhidi, Yahya bin ‘Adi,
dan juga Ibnu Sina.14
Ibnu Miskawaih mendapatkan gelar sebagai Guru Ketiga (al-Mualimin al-
Tsalits) setelah Aristoteles dan al-Farabi. Selain itu, beliau juga mendapatkan gelar
sebagai Bapak Etika Islam yang telah merumuskan semua dasar etika dalam
kitabnya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq. 15 Semua sumber
filsafat etika yang dimiliki Ibnu Miskawaih berasal dari pengalamannya sendiri,
peradaban Persia, dan ajaran syariat Islam.

2. Karya-karya Ibnu Miskawaih


Sejarah mencatat bahwa Ibnu Miskawaih merupakan salah satu sejarawan
besar dari kalangan Islam yang kono kemasyhurannya melebihi para pendahulunya,
seperti Ath-Thabrani.16 Beliau juga dikenal sebagai seorang dokter, penyair, dan ahli
bahasa. Keahliannya dalam berbagai bidang ilmu dapat dibuktikan dengan karya

Inspirasi Indonesia, 2018), 126.

14
Abuddin Nata, “Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam” (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2000), 5.

15
Sirajuddin Zar, “ Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya”(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), 128-129.

16
Abuddin Nata, “Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam” (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2000), 6.

13
tulisnya yang beragam, mencakup berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut
karya-karya Ibnu Miskawaih:
a. Tartib as Sa’adah
b. Al Musthafa
c. Jawidan Khirad
d. As Syaribah
e. Risalah fi al-Lazhat wa al-Alam
f. Risalah fi at-Thabi’at
g. Risalah fi Jauhar an-Nafs
h. Maqalat an-Nafs wa al-‘Aql
i. Fi Isbat as-Shuwar al-Rubaniyat allati la Yahulu Lana
j. Mini Kitab al-‘Aql wa al-Ma’qul
k. Ta’rif li Miskawaih Yumayyizu bihi bain ad-Dabr wa az-Zaman
l. Risalah fi Jawab fi Su’ali ibnu Miskawaih Ila Abi Hayyan ash-Shauli fi
Haqiqat al-‘Adl
m. Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq17
n. Thaharat al-Nafs
o. Al-Fauz Al-Akbar
p. Al-Fauz Al-Asghar
q. Tajarub al-Umam
r. Uns al-Farid
s. Al-Jami
t. Al-Siyab
u. On the Simple Drugs
v. On the Compisition of the Bajats
w. Kitab al-Ashrubah18

3. Pemikiran Ibnu Miskawaih


Gayanya yang menyatukan pemikiran abstrak dan pemikiran praktis
membuat pemikiran Ibnu Miskawaih sangat berpengaruh. Padahal beliau hanya
menampilkan aspek-aspek kebijakan dari kebudayaan sebelumnya, terkadang
juga menyediakan ulasan praktis tentang masalah-masalah moral yang sulit untuk
17
Ibid., 6.

18
Fakhry Zamzam, “Perekonomian Islam: Sejarah dan Pemikiran” (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), 142.

14
diuraikan. Tetapi filosofinya yang logis dapat menunjukkan koherensi dan
konsistensi.
a. Ketuhanan
Tuhan bagi Ibnu Miskawaih adalah Zat yang jelas atau tidak jelas. Jelas
karena Tuhan adalah yang haq (benar) berarti terang, sedangkan tidak jelas
karena kelemahan akal manusia untuk menangkapnya dan banyaknya kendala
kebendaan yang menutupinya. Tentu saja ketidaksamaan wujud manusia dengan
wujud Tuhan menjadi pembatas. Menurut Ibnu Miskawaih, entitas pertama
yang memancar dari Tuhan adalah akal yang aktif, yaitu tanpa perantara sesuatu
pun yang bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal yang aktif
inilah timbul jiwa dan dengan perantara jiwa tersebut muncullah planet.
Pancaran terus-menerus dari Tuhanlah yang dapat memelihara tatanan di alam
ini, sekiranya pancaran Tuhan tersebut behenti, maka akhirlah kemajuan dan
kehidupan ini.19
b. Kenabian
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa semua manusia membutuhkan nabi
sebagai sumber informasi untuk mengetahui sifat-sifat keutamaan dan yang
terpuji dalam kehidupan sehari-hari. Nabi adalah manusia pilihan yang
memperoleh hakikat kebenaran karena pengaruh akal aktif atau daya
imajinasinya hakikat-hakikat yang sama juga diterima oleh filsuf. Nabi adalah
pembawa ajaran suci dari Tuhan. Perbedaan filsuf dan Nabi terletak pada cara
memperolehnya, para filsuf memperoleh dari bawah ke atas, yaitu dari daya
indrawi naik ke daya khayal dan naik lagi ke daya pikir sehingga dapat
berhubungan dan dapat menangkap hakikat kebenaran dari akal aktif.
Sedangkan para Nabi memperoleh secara langsung dariakal aktif sebagai rahmat
Tuhan. Jadi sumber kebenaran yang diperoleh antara Nabi dan filsuf adalah
sama, yaitu akal aktif.
c. Akhlak
Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang akhlak memiliki ciri khas tersendiri.
Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh para filsuf Yunani seperti Aristoteles
dan Plato serta filsuf muslim seperti al-Farabi, al-Kindi, dan ar-Razi. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa Ibnu Miskawaih membuka diri untuk belajar filsafat
dari dunia Barat (Yunani) dan juga Timur (Islam).
19
Surwoko Soemowinoto, “Filsafat Ilmu Keperawatan” (Jakarta: Salemba Medika, 2008), 77-78.

15
Corak pemikiran Ibnu Miskawaih dapat dikategorikan ke dalam tipologi
etika filosofi atau etika rasional, yaitu pemikiran tentang etika yang banyak
terpengaruh oleh para filsuf terutama dari Yunani. 20 Dengan kata lain, landasan
pemikirannya pada rasio atau akal. Namun, tidak dipungkiri bahwa
pemahamannya juga bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.
Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa akhlak terbagi menjadi dua, yaitu
akhlak yang thabi’i sebagai bakat dasar atau bawaan dan akhlak yang berasal
dari pembiasaan dan latihan. Namun, beliau berpendapat bahwa tidak ada
akhlak manusia yang tidak dapat berubah karena manusia diciptakan untuk
menerima suatu watak dan berubah-ubah dengan pendidikan dan pergaulan.
Oleh karena itu watak manusia dapat dididik melalui proses pendidikan.
Terkait pembahasan akhlak menurut Ibnu Miskawaih, beliau tidak
mengambil diskursus dari ayat-ayat suci al-Qur’an atau Hadits. Menurutnya
akhlak dalam islam dibangun atas fondasi kebaikan dan keburukan. Segala
sesuatu yang dianggap baik oleh fitrah dan akal maka termasuk bagian dari
akhlak yang baik. Sedangkan sesuatu yang dianggap jelek oleh fitrah dan akal
maka ia termasuk akhlak yang buruk.
d. Kemanusiaan
Secara garis besar, Ibnu Miskawaih memandang manusia sebagai makhluk
paripurna (insan kamil) yang mempunyai berbagai daya. Setidaknya ada tiga
daya menurut Ibnu Miskawaih yaitu daya bernafsu sebagai daya terendah, daya
berani sebagai daya pertengahan, dan daya pikir sebagai daya tertinggi. 21 Ketiga
daya inilah yang merupakan unsur ruhani manusia.
Asal kejadian dari unsur-unsur ruhani berupa daya nafsu dan daya
berani ialah materi. Sementara, daya berpikir asal kejadiannya ialah dari ruh
Tuhan yang suci. Oleh karena itu, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa kedua
daya yang berasal dari unsur materi pasti akan hancur bersama dengan
hancurnya raga. Sementara daya berpikir tidak akan mengalami kehancuran
meskipun badan manusia telah hancur karena ruh Tuhan bersifat kekal.

C. Perbedaan Pemikiran Ibnu Sina dan Ibnu Miskawaih

20
Majid Fakhry, “Etika dalam Islam” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), 22.

21
Abuddin Nata, “Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam” (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2000), 7.

16
Eksistensi dan sifat jiwa yang diterangkan oleh Ibnu Maskawaih seperti itu
ternyata memiliki kekuatan, yaitu:
1. Kekuatan rasioanl atau daya pikir (quwwah natiqah), yang disebut juga
dengan quwwah Malikiah, merupakan fungsi jiwa yang tertinggi, kekuatab
berfikir dan melihat fakta, yang dipergunakan dari dalam badan adalah otak yang
berfungsi sebagai alat.

2. Kekuatan apetitif atau maarah (quwwah ghadabiyah), yaitu keberanian


dalam menghadapi resiko, ambisi terhadap kekuasaan, kedudukan dan juga
kehormatan. Kekuatan ini di sebut juga dengan daya kekuasaan. Sedangkan daya
yang di gunakan dari dalam diri disebut dengan hati.
3. Kekuatan gairah atau nafsu (quwwah syahwiyah) yang disebut juga dengan
quwwah bahimiah, yang berarti daya hewani, seperti dorongan nafsu makan,
keinginan terhadap kelezatan makanan, minuman, seksualitas dan segala macam
kenikmatan inderawi (al-ladzizay al-hissiyah). Alat yang digunakan dari dalam
badan adalah perut.
Pemikiran ibnu sina

Esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut:


1.Esensi tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibn
Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Contoh, adanya sekarang ini juga
kosmos lain di samping kosmos yang ada.
2.Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud.
Contoh, alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya
akan hancur menjadi tidak ada.
3.Esensi yang tak boleh tida mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Yang serupa ini
disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.

BAB III
PENUTUP

17
A. Kesimpulan
Abu Ali al-Hussain Ibn Abdillah Ibn Hasan Ali Ibn Sina, adalah nama
panjang dari salah seorang tokoh filsuf Muslim yang dikenal dengan Ibnu Sina
atau Avicenna. Ibnu Sina juga dikenal sebagai dokter-filsuf muslim as-Syaikh
ar-Rais (syekh tertinggi). Ia lahir pada tahun 980 Masehi pada bulan Agustus
yang bertempat di Afshanah, desa dekat Bukhara yang sekarang menjadi
wilayah Uzbekistan. Ibnu Sina merupakan putra dari hasil pernikahan Abdullah
dengan Saterah dari Baikh. Ayah Ibnu Sina adalah seorang Pejabat tinggi
(Gubenur) pada masa Dinasti Samaniah, tepatnya pada masa kekuasaan Sultan
Samaniah Nuh II bin Mansyur.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu
Maskawaih. Beliau lahir di kota Rayy, Iran pada tahun 330 Hijriyah/ 932
Masehi dan meninggal pada tahun 421 Hijriyah/ 1030 Masehi di Isfahan, Iran.
Mayoritas ulama seperti Al-Khwarizmi, Ats-Tsa’labi, Abi Hayyan at-Tauhidi,
Abi Sulaiman al-Manthiqi, dan ulama yang lainnya menyebut Ibnu Miskawaih
dengan Miskawaih saja, karena arti Miskawaih adalah seharum minyak misyik.
Julukan ini disematkan kepadanya karena beliau memiliki keluhuran budi
pekerti, akhlak yang terpuji, dan keluasan dalam ilmu pengetahuan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Yanuar. Pemikiran-Pemikiran Emas Para Tokoh Pendidikan Islam, Yogyakarta: Diva
Press. 2018.

Asti, Badiatul Muchlisin dan Junaidi Abdul Munif, “105 Tokoh Penemu dan perintis dunia,
Jakarta: PT. Buku Kita, 2009.

Fakhry, Majid. “Etika dalam Islam” Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Fattahi, Husayn. Novel-Biografi Ibnu Sina Tawanan Benteng Lapis Tujuh. Jakarta: Zaman,
2011.

Gunadi, R.A Khazanah Orang Besar Islam Dari Penakluk Jerussalem Hingga Angka Nol.
Jakarta: Republika, 2003.

Hanani, Silfia Dialog Filsafat Dengan Teologi Tuhan Dan Alam Dalam Perbincangan
Filosof Ibnu Sina Dan Teolog Al-Ghazali. Bandung: Humaniora, 2004.

Nata, Abuddin “Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam; Seri Kajian Filsafat Pendidikan
Islam” Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

Sholikhin, Muhammad. Filsafat dan Metafisika Dalam Islam Sebuah Penjelajahan Nalar,
Pengalaman Mistik, Dan Perjalanan Aliran Manunggaling Kawula-Gusti.
Yogyakarta: Narasi, 2008.

Sirajuddin Zar, “ Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya” Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2009.

Soemowinoto, Surwoko “Filsafat Ilmu Keperawatan” Jakarta: Salemba Medika, 2008.

Wathoni, Lalu Muhammad Nurul “Filsafat Pendidikan Islam: Analisis Filosofis Kurikulum
2013” Ponorogo: CV Uwais Inspirasi Indonesia, 2018.

Zamzam, Fakhry. “Perekonomian Islam: Sejarah dan Pemikiran” Jakarta: Prenadamedia


Group, 2019.

Zaptulkhan, Pengantar Filsafat Islam. Yogyakarta: IRCiSoD, 2019.

19

Anda mungkin juga menyukai