Anda di halaman 1dari 7

9 Ciri Al qur'an Mushaf Utsmani

Al Qur'an Mushaf Utsmani mempunyai 9 ciri, yaitu: 1. Terdiri dari 484 halaman, dari halaman 2 sampai dengan halaman 485 2. Setiap juz dimulai pada awal halaman ganjil, kecuali Juz 1 yang dimulai dari halaman 2 3. Setiap juz terdiri dari 16 halaman, kecuali juz 1 dan juz 30 yang masingmasing berisi 15 dan 21 halaman 4. Setiap halaman hanya berisi 18 baris, ayat dan non ayat, kecuali halaman 2, 3, dan 485 yang masing-masing berisi 7, 7, dan 10 baris, ayat dan non ayat. 5. Setiap halaman diawali dengan permulaan ayat dan diakhiri dengan akhir ayat, kecuali halaman 484, ayat ke-4 Surat al lahab terpotong dan bersambung dengan awal halaman 485. 6. Jumlah ruku' ada 558, termasuk 1 ruku' pada surat Al Fatihah 7. Basmalah bukan ayat, melainkan payung segala surat, kecuali surat attaubah. Ayat ke-7 surat al fatihah dimulai dari kata ghoiril 8. Jumlah ayat ada 6236. 9. Ummul Kitab adalah Al Fatihah + 4 ayat pertama Surat Al Baqoroh, halaman 2 dan 3. Sumber: Intelegensi Spiritual, Dr. Hidayat Nataatmadja

Otentisitas Dan Otoritas Al-Quran


12 October 2009 Leave a comment Go to comments

Oleh M. Shiddiq Al-Jawi Pendahuluan Menurut keimanan umat Islam, al-Quran adalah kitab suci (sakral) karena ia merupakan wahyu Allah yang tidak ada mengandung keraguan (QS 2: 2) dan kebatilan (QS 41: 42). Namun, sakralitas al-Quran tersebut terus-menerus digerogoti oleh kaum orientalis dan para pengikutnya, seperti kaum liberal. Mereka berusaha keras menghancurkan sakralitas al-Quran dengan berbagai cara. Di antaranya dengan cara menggugat otentisitas dan otoritas al-Quran. Gugatas otentisitas al-Quran pada gilirannya jelas akan mengguncang otoritas (kehujjahan) al-Quran, atau mengancam kedudukan al-Quran sebagai hujjah atau dalil syariat pertama bagi segala ajaran Islam. Jika otoritas al-Quran ini sudah bisa dihancurkan, kaum orientalis tentu berharap akan dapat pula meruntuhkan seluruh sumber ajaran Islam lainnya seperti as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Itulah tujuan akhir mereka yang sangat keji. Orientalisme dan al-Quran

Orientalisme merupakan studi yang dilakukan intelektual Barat untuk mempelajari situasi Timur; khususnya yang menyangkut sejarah, agama, bahasa, etika, seni, tradisi, dan adat-kebiasaannya (Bath, 2004: 19). Walau terkesan ilmiah dan canggih, orientalisme sebenarnya merupakan salah satu sarana yang dimanfaatkan Barat untuk melakukan penjajahan terhadap Dunia Islam (Baharun, 1997: 87-92). Khusus berkaitan dengan studi al-Quran, tujuan orientalisme bukanlah untuk mengimani dan mengamalkan al-Quran, melainkan untuk membuat keraguan terhadap keabsahan al-Quran sebagai wahyu Allah (Baharun, 1997: 62; Bath, 2004: 19). Hal itu tidak mengherankan, sebab asumsi dasar orientalisme memang bukan keimanan, tetapi kekafiran sekaligus kebencian dan kedengkian yang mendalam terhadap Islam. Ini bisa dibuktikan dengan sikap mereka yang sangat kurang ajar terhadap Rasulullah saw. yang mulia. Orientalis Arthur Jeffery dalam artikelnya, "The Quest of The Historical Mohammad," yang dimuat dalam jurnal The Muslim World XVI/14, hlm. 338 (terbit 1926), tanpa segan menyebut Rasulullah saw. sebagai gembong perampok (the robber chief) (Arif, 2005: 13). Sebelum itu, Dante, intelektual Italia, pada abad ke-18 menulis Divina Comedia (Komedi Ketuhanan), sebuah karya sastra imajinatif bernada dagelan yang menggambarkan Nabi Muhammad saw. berada di kerak neraka paling bawah (Baharun, 1997: 44). Masya Allah! Menjawab Serangan Orientalis Menurut Ugi Suharto (2004), orientalisme menyerang al-Quran melalui 3 (tiga) jalan: (1) melalui periwayatan al-Quran; (2) melalui penemuan manuskrip lama tentang qirah (ragam bacaan al-Quran); (3) melalui berbagai argumentasi intelektual untuk meragukan al-Quran. Berikut penjelasan serangan-serangan itu dan jawabannya. Jalan pertama: periwayatan. Jalan ini ditempuh orientalis dengan mengajukan berbagai riwayat untuk menggoyahkan keabsahan Mushaf Utsmani. Sebagaimana diketahui, Mushaf Utsmani sampai kepada kita melalui jalur periwayatan dari para periwayat alQuran secara mutawtir; dari periwayat generasi tbi at-tbin, para tbin, para sahabat, dan dari Rasulullah saw. Sebagian tbin dan tbi at-tbin telah menghimpun riwayat-riwayat itu dalam kitab-kitab dan menerangkan sanad-nya (jalur periwayatannya) (Ibnu Khalil, 2000: 63). Nah, para orientalis menggunakan riwayat tertentu dengan tujuan agar riwayat yang sebelumnya telah tertolak itu dapat diterima kembali oleh umat Islam. Orientalis mengajukan berita adanya beberapa mushaf yang dimiliki sahabat yang tidak sama dengan Mushaf Utsmani, seperti Mushaf Ibnu Masud dan Mushaf Ubay bin Kaab. Sebagai contoh: mereka mengetengahkan riwayat bahwa dalam Mushaf Ibnu Masud bunyi QS Ali Imran (3) ayat 19 adalah: Inna ad-dna inda Allhi al-hanifiyah (Abdush Shabur Syahin, Trikh al-Qurn, hlm. 132). Orientalis juga mengajukan kembali riwayat

yang menyatakan Mushaf Ibnu Masud tidak mengandung surat al-Falaq dan surat an-Nas (Al-Qattan, 2001: 203). Di sini orientalis berharap, umat Islam mempercayai riwayat ini dan menjadi ragu-ragu apakah surat al-Falaq dan surat An-Nas termasuk al-Quran atau tidak. Jalan pertama ini, yaitu melalui periwayatan, adalah jalan buntu bagi orientalis. Mereka telah gagal. Kaum orientalis tidak akan mampu merusak keabsahan Mushaf Utsmani yang telah mantap dengan dasar Ijma Sahabat yang tak dapat diperselisihkan lagi (Syahin, 1966: 150). Orientalis tak akan mampu mengguncang posisi Mushaf Utsmani, sebab mushaf ini disandarkan pada riwayat mutawtir, yaitu periwayatan oleh banyak orang yang menurut kebiasaan mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Ke-mutawtir-an ini dapat dibuktikan, misalnya, dengan jumlah penghapal al-Quran yang mencapai jumlah mutawtir. Pada peristiwa Bir Maunah gugur 70 syuhada yang hapal al-Quran, demikian pula dalam Perang Yamamah. (Al-Hasan,1983: 87). Para ulama dan para ulama ushul seluruhnya pun telah sepakat bahwa al-Quran adalah apa yang diriwayatkan secara mutawtir dari Nabi saw. (Ash-Shabuni, At-Tibyn f Ulm al-Qurn, hlm. 8). Karena itu, apa yang diriwayatkan secara ahad (bukan mutawtir) tentang bunyi bacaan suatu ayat, bukan termasuk al-Quran. Mengomentari Mushaf Ibnu Masud yang mengandung qirah yang menyalahi Mushaf Utsmani, Ibnu Hayyan dalam AlBahr al-Muhth I/159 berkata, "Qirah itu hanyalah riwayat ahad kalau pun itu bisa dianggap sahih. Karena itu, jangan dipertentangkan dengan apa yang telah terbukti secara mutawtir). (Syahin, 1966: 96 & 132). Namun, meski demikian, kata Ibnu Hayyan, qirah semacam itu dapat dianggap sebagai tafsir. (Ibn Hayyan, Al-Bahr al-Muhth, III/240). Jadi, bacaan inna ad-dna inda Allhi al-hanfiyah bukanlah bagian dari alQuran, karena diriwayatkan secara ahad (bukan mutawtir), meskipun kata alhanfiyah itu dapat dianggap sebagai salah satu tafsir kata al-Islm (QS 3: 19). Namun demikian, ia tetap tidak bisa digunakan sebagai dalil pembenar untuk konsep teologi inklusif yang digembar-gemborkan kaum liberal. Sebab, mereka mengartikan al-hanfiyah sebagai sikap lapang dada yang dapat menerima kebenaran agama lain. Kalau mereka jujur, mereka mestinya mengekspos juga qirah ahad serupa (sebagai tafsir) dari Ubay bin Kaab yang justru menegaskan, bahwa al-hanfiyah itu adalah Islam itu sendiri; bukan Yahudi, bukan Kristen, bukan Majusi. Sebab, qirah ahad dari Ubay itu berbunyi: Inna ad-dna inda Allhi al-hanfiyah, l al-yahudiyah wa l an-nashrniyah wa l al-majsiyah (Al-Qurthubi, Al-Jmi li Ahkm al-Qurn, IV/43; Syahin, 1966: 132). Mengenai riwayat bahwa Mushaf Ibnu Masud tidak mengandung surat al-Falaq dan surat an-Naas, para ulama telah memberikan jawaban. Imam An-Nawawi dalam Al-Majm Syarh al-Muhadzdzab berkata, "Kaum Muslim sepakat bahwa kedua surat itu (al-Falaq dan surat an-Nas) dan al-Fatihah termasuk al-Quran. Siapa saja yang mengingkarinya, walau sedikit saja, ia adalah kafir. Sementara itu, riwayat yang diterima dari Ibnu Masud adalah batil, tidak sah."

Ibn Hazm berpendapat, riwayat tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama Ibnu Masud (Al-Qattan, 2001: 203). Jalan Kedua: manuskrip lama. Jalan ini antara lain ditempuh Gerd R. Puin. Orientalis ini mengajukan penemuan mushaf tua di Shana (Yaman) yang konon mengandung qirah yang lebih awal dari qirah tujuh (al-qirah as-sabu) yang terkandung dalam Mushaf Utsmani, meskipun mushaf temuan itu tidak lengkap dan sangat berbeda dengan Mushaf Utsmani. Puin ingin membuktikan, qirah-qirah yang berbeda dengan Mushaf Utsmani memang ada faktanya, bukan sekadar pemberitaan (riwayat). Jadi, jalan ini setingkat lebih canggih daripada jalan periwayatan di atas. Namun, jalan ini tetap jalan yang buntu. Sebab, paradigma kaum orientalis itu adalah al-qirah tbiah li ar-rasm (reading follows the text/ragam bacaan itu mengikuti tulisan/teks). Ini salah. Paradigma yang benar mengenai rasm (tulisan/teks) al-Quran adalah ar-rasm tbi li ar-riwyah (tulisan/teks itu haruslah mengikuti riwayat (Ugi Suharto, 2004). Jadi, prinsip yang disepakati ialah al-Quran itu pada asalnya adalah qirah (bacaan, recitation) yang diperdengarkan melalui periwayatan dari mulut ke mulut (dari syaikh/guru kepada muridnya), barulah kemudian rasm (tulisan/teks) mengikutinya. Proses transmisi ini dilakukan dengan sanad yang bersambung secara mutawtir, bersumber dari Rasulullah saw., lalu diteruskan riwayatnya dari generasi ke generasi (Arif, 2005). Jadi, penemuan manuskrip Shana oleh Puin tersebut tidak ada nilainya sama sekali, karena hanya bewujud teks tanpa informasi periwayatan sama sekali. Mengapa orientalis keliru dalam masalah ini? Sebab, paradigma yang mereka pakai adalah paradigma untuk Bibel (Perjanjian Lama dan Baru), yang mereka paksakan untuk al-Quran. Dalam kasus Bibel, yang memegang peran utama memang bukti fisik berupa tulisan/teks (manuscript evidence) dalam bentuk lembaran papirus, skroll, dan sebagainya; bukan periwayatan mutawtir sebagaimana al-Quran. Itulah pangkal kekeliruan orientalis seperti Puin, Jeffery, dan Wansbrough (Arif, 2005). Jalan Ketiga: argumentasi intelektual. Jalan ini ditempuh orientalis dengan membuat berbagai macam argumentasi yang bertujuan menciptakan keraguan terhadap al-Quran. Contohnya adalah orientalis R. Blachere yang menuduh Mushaf Utsmani sebagai proyek pribadi Utsman atau hanya didasarkan pada dominasi golongan Quraisy. Tuduhan ini, sayangnya, lalu diamini dan disepakati secara fanatik oleh aktivis kelompok Liberal, seperti Ahmad Baso. Terhadap tuduhan jahat itu, dapat dijawab bahwa: Pertama, tuduhan itu tidak dengan sesuai fakta. Sebab, Mushaf Utsmani itu adalah hasil penggandaan dari mushaf yang sebelumnya telah dihimpun oleh Abu Bakar. Mushaf ini dihimpun

Abu Bakar dari hapalan banyak sahabat dan dari lembaran-lembaran otentik yang ditulis di hadapan Nabi saw. dan pada masa beliau. Zaid bin Tsabit ra. yang bertugas mengumpulkan dan menggandakan mushaf itu tidaklah bekerja sendiri, tetapi bersama-sama dengan sejumlah besar sahabat. Lalu Mushaf Utsmani itu pun disepakati oleh semua sahabat dan seluruh kaum Muslim, tanpa melihat lagi kaum Quraisy atau bukan Quraisy. Jadi, jelas bahwa Mushaf Utsmani adalah karya bersama umat Islam, bukan proyek pribadi Utsman, apalagi hasil hegemoni Quraisy. Lalu atas dasar apa mereka menuduh secara bodoh bahwa Mushaf Utsmani adalah proyek pribadi Utsman dan lahir akibat dominasi Quraisy? (Syahin, op.cit., hlm. 117). Kedua, andaikata benar Mushaf Utsmani hanya ambisi politik pribadi Utsman, bukan untuk kemaslahatan segenap umat Islam, tentu para sahabat akan mengecam keras dan memprotes Utsman habis-habisan. Faktanya, seluruh sahabat, tanpa kecuali, setuju terhadap penyusunan Mushaf Utsmani, termasuk perintah Utsman membakar mushaf-mushaf selain Mushaf Utsmani. Ali bin Abi Thalib ra. berkata tentang pembakaran mushaf selain Mushaf Utsmani, "Sekiranya Utsman tidak melakukannya, aku akan melakukannya!" Suatu saat Ali bin Abi Thalib mendatangi kota Kufah, lalu seorang lelaki menemuinya dan mencela Utsman yang telah menyusun Mushaf Utsmani itu. Ali berkata, "Diam kamu! Karena Utsman melakukannya sudah sepengetahuan kami (sahabat)! Sekiranya aku berkuasa sebagaimana Utsman berkuasa, aku akan melakukan hal yang sama." (Syahin, ibid., hlm. 117). Ketiga, tidak benar tuduhan Baso bahwa Mushaf Ibnu Masud yang menyebutkan bunyi QS Ali Imran (3) ayat 19, Inna ad-dna inda Allhi al-hanfiyah diabaikan oleh Utsman hanya karena Ibnu Masud tidak merepresentasikan kekuasaan Quraisy. Penolakan ini karena Mushaf Ibu Masud adalah riwayat ahad, bukan mutawtir. Ini dapat mengancam persatuan umat. Lagi pula, andaikata benar Mushaf Utsmani adalah representasi kekuasaan Quraisy, tentu semua isi Mushaf Ibnu Abbas akan dimasukkan ke dalam Mushaf Utsmani. Sebab, Ibnu Abbas jelas dari golongan Quraisy karena beliau adalah anak paman Rasulullah saw. Faktanya, ada qirah Mushaf Ibnu Abbas yang riwayatnya ahad sehingga tidak terdapat dalam Mushaf Utsmani. Misalnya qirah Ibnu Abbas tentang QS AlBaqarah ayat 198, yang berbunyi: Laysa alaikum junhun an tabtagh fadhlan min Rabbikum f mawsim al-hajj. (Al-Husaini, 1983: 23). Kalimat f mawsim al-hajj ternyata tidak ada dalam al-Quran sekarang (Mushaf Utsmani). Jadi, tuduhan bahwa Mushaf Utsmani merupakan representasi kekuasaan Quraisy, tidak ada faktanya. Itu hanya sekadar imajinasi intelektual yang liar, murahan, dan tidak berdasar. Penutup Sesungguhnya serangan orientalis (dan pengikutnya) terhadap otentisitas al-Quran tidak akan berhasil. Sebab, al-Quran sekarang memang terbukti otentik, karena

diriwayatkan dari generasi ke generasi secara mutawtir dan meyakinkan. Jadi, alQuran yang kita baca sekarang adalah benar-benar sama dengan yang dibaca oleh Rasulullah saw. Karena itu, dengan sendirinya, berbagai upaya untuk meragukan otoritas (kehujjahan) al-Quran juga tidak akan pernah berhasil. Mahabenar Allah Swt. yang berfirman: [ Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benarbenar memeliharanya. (QS al-Hijr [15]: 9). Wallhu alam bi ash-shawb. [] Daftar Pustaka Ahmadi, Ali. 2005. Al-Qiraat dan Orisinalitas al-Quran. Jurnal Al-Insan. Edisi 1 Tahun I Januari 2005, hlm. 51-62. Al-Hasan, M. Ali. 1983. Al-Manr f Ulm al-Qurn. Amman: Mathbaah AsySyarq wa Maktabatuha. Al-Husaini, Muhammad bin Alawi Al-Maliki. 1983. Zubdah al-Itqn f Ulm alQurn. Jeddah: Darusy Syuruq. Arif, Syamsudin. 2005. Al-Quran, Orientalisme, dan Luxemberg. Jurnal AlInsan. Edisi 1 Tahun I Januari 2005, hlm. 9-26. Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press. -. 2004. "Kritik Arthur Jeffery Terhadap Al-Quran." Islamia. No. 2 Th. I JuniAgustus 2004, hlm. 7-19. Al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran (Mabhits f Ulm alQurn). Terjemahan oleh Mudzakir AS. Cetakan VI. Jakarta-Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. Ash-Shabuni, M. Ali. 1985. At-Tibyn f Ulm al-Qurn. Beirut: Alam AlKutub. Baharun, Mohammad. 1997. Isu Zionisme Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bathh, Hasanain. 2004. Anatomi Orientalisme: Menguak Tujuan dan Bahaya Orientalisme Serta Cara Umat Menghadapinya (Dirsat f al-Istisyrq). Terjemahan oleh M. Faisal Muchtar. Yogyakarta: Menara Kudus Jogjakarta

Khadhar, Lathifah Ibrahim. 2005. Ketika Barat Memfitnah Islam (Al-Islm f alFikr al-Gharbi). Terjemahan oleh Abdul Hayyie Al-Kattanie. Jakarta: Gema Insani Press. Ibnu Khalil, Atha`. 2000. Taysr al-Wushl il al-Ushl. Beirut: Darul Ummah. Suharto, Ugi. 2004. Upaya Meruntuhkan Kewibawaan Mushaf Utsmani dari Dahulu Sehingga Kini. Makalah Workshop Pemikiran dan Peradaban Islam, Depok, 27-29 Pebruari 2004. Syahin, Abdush Shabur. 1966. Trkh al-Qurn. Kairo: Darul Qalam.

Anda mungkin juga menyukai