Anda di halaman 1dari 9

A.

Respon muslim terhadap globalisasi

Islam sangatlah relevan sebagai ajaran global. Persoalannya kemudian, bagaimana


memosisikan Islam dalam percaturan globalisasi? Istilah globalisasi dapat dipahami pada dua
level pertama, globalisasi sebagai alat karena merupakan wujud keberhasilan ilmu
pengetahuan dan teknologi, terutama dibidang komunikasi. Sebagai alat, globalisasi bersifat
netral. Artinya, ia bermakna positif ketika dimanfaatkan untuk tujuan yang baik. Sebaiknya,
ia dapat berakibat negatif ketika dipergunakan secara salah.

Kedua, globalisasi sebagai ideologi. Pada level ini, globalisasi mempunyai


arti subjektif dan netraitasnya sangat berkurang. Oleh karena itu, tidak aneh kalau kemudian
tidak sedikit yang menolaknya. Sebagai ideologi, globalisasi berpotensi memicu terjadinya
banturan nilai, yakni nilai yang di anggap sebagai ideologi globalisasi dan nilai agama,
termasuk agama islam. Disinilah agama-agama termasuk islam harus memberikan respon1
Dalam hal ini, dapat digarisbawahi bahwa Islam sebagai ajaran global yang
memiliki ajaran universal merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari
globalisasi. Menyikapi problema globalisasi, maka prinsip-prinsip ajaran Islam yang
universal bisa dijadikan dasar berpijak bagi umat muslim. Di sinilah, pemafhuan yang tepat
terhadap nash menjadi syarat yang harus dipenuhi. Islam pada prinsipnya satu secara
akidah, tetapi pada bidang-bidang yang lainnya, boleh jadi berbeda, atau malah
bertentangan. Namun demikian, semua itu secara keseluruhan tetap berada dalam naungan
Islam. Dalam menyikapi globalisasi ekonomi yang merupakan bagian dari realita saat ini,
Islam sebagai sebuah ajaran moralitas memberikan batasan-batasan agar tidak terjadi
eksploitasi antara manusia yang satu dengan yang lain. Islam menghendaki persamaan
(musawwah) atas prinsip harta tidak hanya beredar di kelompok-kelompok tertentu saja.
Perilaku ekonomi Islam bertujuan untuk menyejahteraan semua pihak. Prinsip utama dari
ekonomi Islam di era global adalah:
1. Tauhid: keesaan dan kedaulatan Allah Swt. Konsepsi ini menuntut adanya kepatuhan
terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan tanpa syarat. Dalam konsepsi ini, eksistensi
manusia dipersatukan dalam ketaatan kepada Allah, yang akan berimplikasi pada
aktivitas ekonomi, yaitu tidak ada diskriminasi.
2. Keadilan: hal ini penting karena keadilan menjadi suatu titik tolak dalam membangun
kesejahteraan hidup. Dari sini akan muncul kedinamisan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
3. Tanggung jawab: dalam prinsip ekonomi Islam, setiap pelaku ekonomi harus
bertanggung jawab, baik dari sisi akses ataupun aktivitasnya kepada diri sendiri dan
masyarakat ataupun bangsa. Demikian juga tidak dibolehkan terjadi kerusakan ekologi
sebagai akibat manfaat teknologi yang berlebihan. Prinsip ekonomi Islam ini muncul
dalam rangka melakukan kritik dan solusi atas banyaknya kekurangan yang terdapat
dalam ekonomi kapitalis (Nagwi 1993:50-51).
Pada aspek budaya, Islam memiliki kebudayaan sendiri yang kosmopolit, tetapi
Islam juga mengakui eksistensi kebudayaan lokal. Kosmopolitanisme budaya Islam
dibentuk oleh budaya lokal, tempat Islam itu tersebar. Sebagai bukti konkret, kita mengenal
Islam Jawa, Islam Madura, Islam Iran dan lain sebagainya, yang meskipun secara kultur
tidak sama, tetapi tetap dalam kesatuan Islam. Islam pada waktu berasimilasi yang
membentuk tatanan kebudayaan baru yang khas.
Pada aspek pendidikan, tawaran yang hendak disampaikan oleh Islam adalah
pendidikan yang integralistik. Berbeda dengan pendidikan umum dewasa ini, Islam tidak
1
Emest Gellner, Menolak Posmodernisme (Bandung: Penerbit Mizan, 1994),hal. 17.
menghendaki dualisme pendidikan. Pendidikan selain diperuntukkan untuk mencapai
‘kebahagiaan’ dunia, juga seyogyanya diwarnai dengan nilai-nilai transendensi kepada Sang
Maha Pendidik, yaitu Allah Swt. Pendidikan seharusnya mengutamakan kepentingan
moralitas sebagai bagian yang esensial dalam tata kehidupan manusia. Namun, tidak berarti
antipati terhadap modernisme yang merupakan produk Barat. Oleh karena itu, pendidikan
merupakan sistem bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang
berangkat dari ajaran alquran dan sunah, sebagai pembaharuan pemikiran yang dapat
merespon tantangan zaman tanpa mengabaikan aspek teologis dogmatis, dan sebagai sarana
untuk menumbuhkembangkan sikap dan mental manusia yang benar-benar bertakwa kepada
Tuhan YME tanpa mengenal batas akhir. (Nagwi1993:31).
Pada aspek teknologi, Islam menghendaki teknologi yang tepat guna, dalam arti,
tidak hanya memberikan kemudahan dan kenyamanan, tetapi juga tetap menempatkan
manusia sebagai subjek penentu. Teknologi juga tidak boleh mengeksploitasi alam secara
membabi buta sehingga merusak ekosistem yang ada. Globalisasi yang berangkat dari
penggunaan teknologi yang merusak ekologi inilah yang dilarang dalam Islam.
Pada aspek seni, terutama seni musik yang relatif paling cepat perkembangannya
dibanding dengan seni yang lain, suasana globalnya sangatlah nampak, suatu bentuk musik
yang menjadi top di suatu wilayah bisa dengan cepat diadopsi wilayah lain, sebagaimana
yang terjadi dalam dunia mode dan pakaian. Oleh sebab itu, penyebaran dari aspek yang
disebutkan di atas, kita harus memfilternya agar pengaruh globalisasi tidak membawa
dampak yang negatif secara signifikan2. Alasanya adalah pertama, islam sebagai agama
memiliki basis sejarah yang kuat dan landasan yang kokoh. Selama umat islam mampu
memahami dengan benar agama mereka, dan menghayati secara utuh tujuan dan target serta
mutiara yang terkandung di dalamnya, umat islam tidak perlu hawatir dengan globalsasi ,
kedua, globalisasi adalah realitas yang tidak mungkin ditolak sehingga sikap penloakan
adalah sikap yang percuma. Ketiga, kita tidak bisa terus pura-pura tidak tahu bahwa kita
hidup bersama komunitas-komnitas dunia lainya. Revolusi komunikasi dan informasi tidak
lagi menyediakan ruang untuk isolasi diri.

B. Islam tradisional

Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris “tradition” yang artinya tradisi3.  Sedangkan kata
tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan,
kebiasaan, dan ajaran yang turun temurun dari leluhur.4alam bahasa Arab kata tradisi
merupakan salah satu makna dari kata “sunnah” selain makna norma, aturan, dan
kebiasaan.5 Sedangkan kata “sunnah” mempunyai arti segala yang dinukilkan dari Nabi
SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup,
baik sebelum Nabi diangkat menjadi rasul atau sesudahnya.6

2
Syufaat,” Dakwah Melawan Globalisasi”, Jurnal Komunika Vol. 2,No.1,
3
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1979, cet.VII, Hal.
599
4
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1991, cet.XII, Hal.
1088
5
Munir  Baalbaki, Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Surabaya : Halim Jaya, 2006,
Hal..483
6
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag., Ulumul Hadis, Bandung : Pustaka Setia, 2013, cet.III Hal. 19
Islam Tradisional mengandung pengertian yang luas, karena tradisi pada umumnya difahami
sebagai hasil perlembagaan praktik-praktik keagamaan yang diyakini bersumber pada
syariah, maka tradisionalisme islam diyakini oleh para pendukungnya sebagai Islam murni.7

Atas dasar pengertian ini, maka kaum orientalis Barat menyebut kepada setiap orang yang
berpegang teguh kepada al-Sunnah Rasulullah SAW. Bahkan kepada mereka yang berpegang
teguh kepada al-Qur’an sebagai kaum tradisionalis. Hal yang demikian itu mereka dasarkan
pada pandangannya, bahwa al-Qur’an merupakan warisan ajaran dari Tuhan yang bersifat
abadi, sedangkan sunnah merupakan warisan ajaran dari Nabi Muhammad SAW.8

Baharuddin Ahmad (1994) mengatakan bahwa menurut masyarakat tradisional Tuhan adalah
dasar atau asas dari segala-galanya. Secara teoritis golongan tradisional atau perennial
menganggap bahwa kehadiran Tuhan itu sesuatu yang nyata, Tuhan hidup dalam segala
tradisi, mengatasi sejarah dan masa. Manusia adalah tafsiran Tuhan dalam arti Tuhanlah yang
merancang dan merencanakan kelahiran manusia dan alamnya melalui “tipe induk”
atau a’yan tsabita dalam istilah Ibnu ‘Arabi.

Realitas langit merupakan realitas objektif dan realitas bumi merupakan realitas subjektif.
Karena itu jika berbicara mengenai tingkatan ilmu, ilmu keagamaan bagi masyarakat
tradisional merupakan ilmu tertinggi (karena paling objektif), dan ilmu teknologi adalah ilmu
terendah. Dalam pandangan tradisionalis, setiap yang modern bisa dicampuradukkan antara
satu dengan yang lain (sintesis). Bagi yang spiritual atau tradisional tidak boleh
dicampuradukkan, karena perlu diketahui mana yang lebih utama. Pencampuradukkan berarti
menyamaratakan semuanya sekaligus. Padahal dalam perspektif tradisional terdapat hierarki,
ada yang horizontal dan vertikal, ada pula yang luar dan yang dalam.

Pada prinsipnya kaum tradisionalis yakin bahwa kebudayaan, pemikiran, dan kebudayaan
modern adalah buruk, karena tidak berasaskan prinsip keagamaan dan keruhanian. Dimensi
social adalah dimensi kedua, sedangkan individual adalah yang utama atau hakikat ada di
dalam diri. Manusia bersosialisasi jika ada keperluan saja. Ulama tradisionalis tidak mau
melakukan adaptasi dan kompromi termasuk menerima kemajuan IPTEK yang berasal dari
barat karena mereka berpendapat bahwa barat adalah musuh islam, maka baik politik maupun
budyanya harus ditolak. Mereka berpandangan bahwa umat islam tidak perlu mengikuti
pemikiran barat, karena islam adalah agama yang sempurna. Ulama tradisionalis lebih
cenderung kembali ke masa lalu dalam usaha mencari jawaban Islam terhadap tantangan
masa kini. Mereka yakin bentuk kehidupan umat Islam abad ketujuh sudah sempurna dan
tidak perlu diubah dan disesuaikan dengan abad baru.

Dari sini terlihat bahwa filsafat tradisi atau perennialis menentang segala bentuk kemodernan
terutama dalam hal teknologi dan estetika. Hal itu dikarenakan kedua hal tersebut telah
memberikan kerusakan pada roh manusia sehingga merupakan manifestasi atau kenyataan

7
Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal. 270
8
DR. H. Abuddin Nata, M.A., Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2001, Hal. 141
zaman gelap, zaman akhir, iron age, zaman tanzibah, zaman penghisaban, yaitu zaman
manusia kehilangan Tuhan dan makna.9

Dalam perkembangan selanjutnya, Islam tradisionalis tidak hanya ditunjukkan kepada


mereka yang berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah saja, tetapi juga kepada
produk-produk pemikiran (hasil ijtihad) para ulama yang dianggap unggul dan kokoh dalam
berbagai bidang keilmuan. Pemikiran para ulama dalam berbagai bidang yang pada
hakikatnya merupakan hasil penalaran terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah tersebut harus
dipegang teguh dan tidak boleh diubah. Dalam hal demikian Islam tradisionalis tidak lagi
membedakan antara ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dengan ajaran yang
merupakan hasil pemahaman terhadap keduanya.

Ciri-Ciri Islam Tradisionalis

Berikut ini adalah ciri-ciri dari Islam Tradisionalis, yaitu10:

Bersifat eksklusif (Tertutup), yaitu maksudnya Islam Tradisionalis tidak mau menerima
pemikiran, pendapat, saran yang berasal dari luar terutama dalam bidang keagamaan.

TIdak dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat ajaran dengan yang non ajaran.
Maksudnya Islam tradisionalis menganggap semua hal yang ada hubungannya dengan agama
sebagai ajaran yang harus dipertahankan.

Berorientasi ke belakang. Maksudnya Islam tradisionalis menilai bahwa berbagai keputusan


hukum yang diambil oleh para ulama di masa lampau merupakan contoh ideal yang harus
diikuti.

Cenderung tekstualis-literalis. Maksudnya Islam Tradisionalis cenderung memahami ayat-


ayat al-Qur’an secara tekstualis tanpa melihat latar belakang serta situasi sosial yang
menyebabkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut diturunkan. Akibatnya jangkauan pemakaian suatu
ayat sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu saja, tanpa mampu menghubungkannya pada
situasi lain yang memungkinkan dijangkau oleh ayat yang dimaksud. Sedangkan dengan
cirinya yang literalis, Islam tradisionalis kurang dapat menangkap pesan atau makna yang
terkandung di belakang suatu ayat. Akibatnya mereka meniru segala macam yang
dicontohkan Nabi dan ulama masa lampau, seperti cara Nabi berpakaian berikut modelnya
seperti mengenakan jubah, berjanggut, memakai sorban, dll.

Cenderung kurang menghargai waktu, maksudnya Islam Tradisionalis cenderung melakukan


sesuatu tanpa memperhitungkan waktu yang dikeluarkan.

Cenderung tidak mempermasalahkan tradisi yang terdapat dalam agama.

Cenderung lebih mengutamakan perasaan daripada akal pikiran. Maksudnya mereka


cenderung melakukan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk konsumsi perasaan, walaupun
untuk itu mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dalam kaitan ini, Islam
9
Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal..270
10
DR. H. Abuddin Nata, M.A., Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2001, Hal. 141-145
tradisionalis banyak terlihat dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual keagamaan seperti
memperbanyak dzikir, berdo’a, mengadakan selametan bersama, dan sebagainya tanpa
diimbangi dengan usaha yang keras di bidang keduniaan.

Cenderung bersifat Jabariyah dan teoritis, yaitu sikap pasrah, tunduk dan patuh pada Tuhan
diiringi dengan keyakinan bahwa segala sesuatu jika Tuhan mengizinkan akan terjadi. Namun
hal tersebut harus diimbangi dengan usaha yang berpengaruh terhadap keputusan Tuhan.

Kurang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Maksudnya Islam tradisionalis
sering melakukan pekerjaan dengan cara-cara yang mereka lakukan sejak dahulu kala, tanpa
disertai dengan upaya untuk memperbaiki cara kerja yang lebih efisien, efektif, cepat, dan
tepat.

Jumud dan Statis, maksudnya adalah Islam tradisionalis cenderung tidak mau mengikuti
perubahan dan mempertahankan apa-apa yang dipandangnya sudah baik sejak dahulu, tanpa
mempertanyakan secara kritis apakah apa-apa yang mereka pertahankan itu masih cukup dan
mampu bersaing dengan kekuatan lain.

Islam Tradisional di Indonesia

Pada beberapa gerakan Islam tradisional pengaruh kebudayaan lokal cukup kuat dalam
implementasi ritual keagamaan, bahkan secara kultural dapat dikatakan bersifat sinkretik. Hal
ini membuat tradisi pada wilayah tertentu melebur dengan praktik keagamaan masyarakat di
daerah tersebut. Gerakan Islam di Indonesia yang pernah berada atau masih bertahan pada
jalur tradisional diantaranya adalah Nahdhatul Ulama, tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah, dan
gerakan Jama’ah Tabligh. Beberapa dari gerakan ini telah mengalami banyak perkembangan
dan memiliki kecenderungan modernitas dalam aktivitasnya.

Nahdhatul Ulama

Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) dipandang sebagai pelembagaan tradisi keagamaan yang
sudah mengakar di wilayah Jawa. Kultur masyarakat Jawa sebagai tempat kelahiran NU
memberikan banyak pengaruh pada karakteristik gerakan dakwah NU selanjutnya. Peleburan
antara tradisi lokal dengan praktik keagamaan adalah salah satu karakteristik yang menjadi
ciri khas masyarakat NU. Sejak awal berdirinya NU dipandang sebagai organisasi para ulama
tua di daerah pedesaan yang secara agama bersifat kultural, secara intelektual sederhana,
secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politik bersifat oportunis. Namun anggapan ini
berkembang sebelum tahun 1970-an. Perkembangan NU pada tahun 1970-an mulai
menunjukkan bahwa NU telah menjadi sebuah organisasi yang progresif. Hal ini ditunjukkan
melalui dinamika NU pada masa orde baru yang sudah dapat bereaksi terhadap kebijakan
pemerintah pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa NU mengalami perubahan pada
orientasinya.

Pada masa pembentukan awal NU adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang
mengumpulkan ulama dari berbagai daerah untuk melawan kolonialisme, namun pada
perjalanannya NU pun memasuki ranah politik dan bergabung dengan Masyumi hingga
selanjutnya berdiri sendiri sebagai partai politik.
NU lahir dari kultur masyarakat penganut Ahlussunnah wal Jama’ah, upaya untuk
melembagakan kulturnya didorong oleh situasi kolonialisme yang melahirkan gerakan sosial-
politik. Pelembagaan kultur NU juga menjadi salah satu upaya untuk pembelaan kalangan
Islam tradisional di Jawa terhadap arus pembaruan yang mulai masuk ke Indonesia.

Sejak awal terbentuknya NU merupakan penganut Ahlussunnah wal Jama’ah Sebuah paham


keagamaan di kalangan NU yang bersumber pada kitab al-Quran dan al-Sunnah. Secara
harfiah Ahlussunnah wal Jama’ah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad dan sahabat-
sahabatnya. Secara ringkas berarti segolongan pengikut jejak Nabi Muhammad yang di dalam
melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di atas garis yang dipraktikkan oleh sahabat Nabi.

K.H. Bisri Mustofa, seorang ulama asal Rembang, mengartikan Ahlussunnah wal


Jama’ah sebagai faham yang berpegang teguh kepada tradisi. Aspek yang mencerminkan hal
tersebut terdapat dalam bidang hukum-hukum Islam karena Ahlussunnah wal
jama’ah menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali). Dalam praktik keagamaan, para kiai merupakan penganut kuat madzhab Syafi’i,
sedangkan dalam hal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam
Abu Mansur al-Maturidi. Aspek lainnya yang juga mencirikan paham Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah dalam bidang tasawuf yang menganut dasar-dasar Imam Abu Qosim al-
Junaidi.

Operasionalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah seperti inilah yang membedakannya


dengan kalangan pembaru  yang juga mengatakan dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal
Jama’ah, namun hanya berpegang pada al-Quran dan Sunnah. Ajaran Ahlussunnah wal
Jama’ah yang dianut oleh NU berbeda dengan yang dianut oleh umat Islam lain, hal ini
karena ajaran yang diterapkan dan dipraktikkan oleh kiai NU disesuaikan dengan kondisi
masyarakat Indonesia. Faham Ahlusunnah wal Jama’ah yang dipegang oleh para kiai
mempunyai arti yang lebih sempit dari pengertian faham yang mengikuti tradisi Nabi
Muhammad dan Ijma’ para sahabat. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah di sini mencirikan
konsep dari Islam tradisi. Ajaran agama berakulturasi dengan kehidupan kultural dan sosial
masyarakat Indonesia.

Aspek tradisi pada keagamaan yang dipegang oleh NU akhirnya melahirkan sikap-sikap yang
menjadi ciri khas normatif organisasi NU. Sikap-sikap tersebut diantaranya adalah sikap
tengah yang  berintikan tentang prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil
dan lurus di tengah kehidupan bersama, sikap toleran terhadap perbedaan, terutama hal-hal
yang bersifat cabang dari sebuah pemahaman, serta dalam soal kemasyarakatan dan
kebudayaan. Sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, manusia, lingkungan
hidupnya, serta menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang, sikap
selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat
bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjerumuskan dan
merendahkan nilai-nilai kehidupan.

Dalam memandang dunia, NU menjadikan tasawuf sebagai salah satu ajaran yang bersatu
dengan konsep keagamaannya. Tasawuf adalah pedoman bagi adanya perilaku berahlak.
Bentuk perilaku ini adalah tarekat, yang didalamnya terdapat dzikir berulang-ulang.  NU
menjadikan tasawuf sebagai bagian dari ibadah, dan ibadah dipandang sebagai hal yang akan
membawa  seseorang menuju perjalanan akhirat. Karena itu seluruh kehidupan di dunia ini
penuh dengan peribadatan. Meskipun demikian, faham keagamaan NU adalah sebuah nilai
yang dinamis, tidak berhenti pada penyerahan diri kepada Tuhan, dan bukan faham
keagamaan yang tidak menghiraukan kehidupan dunia. Namun sebaliknya, kehidupan dunia
disubordinasikan dalam rangkuman nilai Ilahiah sebagai sumber nilai tertinggi.

Pada persoalan-persoalan hukum, NU merupakan pengikut madzhab Imam Syafi’i yang


dikenal sebagai “jalan tengah” dari dua Imam sebelumnya yakni Imam Hanafi dan Imam
Maliki. Imam Hanafi adalah Imam yang terkenal dengan rasionalitasnya dalam menetapkan
hukum-hukum, sedangkan Imam Maliki dikenal dengan tradisionalisnya.  Penerimaan
madzhab bagi NU tidaklah mutlak, melainkan melewati diskusi panjang yang pada akhirnya
menghasilkan konsensus.

Kedudukan ulama pada NU sangatlah  penting, penghormatan yang tinggi terhadap ulama
merupakan refleksi dari tradisi berfikir yang menggunakan madzhab. Hal ini tidak terlepas
dari sosok ulama itu sendiri, fungsi, dan tugasnya. Memiliki pengalaman atas ilmu yang
diemban adalah salah satu hal yang membuat seseorang dikatakan sebagai ulama. Selain
sebagai pengemban ilmu yang bermanfaat, seorang ulama haruslah sekaligus menjadi
pelaksana dari ilmunya dan melakukan penyiaran terhadap ilmu yang diemban. Seorang
ulama haruslah senantiasa mempunyai komitmen terhadap tugas menyiarkan dan
memasyarakatkan ilmunya guna memberikan informasi, bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakatnya. Seorang ulama juga harus tunduk sepenuhnya kepada Al-Quran dan memiliki
kesadaran terhadap kepastian terjadinya janji dan ketentuan Tuhan. Hal kutural lain yang
harus dimiliki oleh seorang ulama adalah sikap rendah hati.

Untuk memperoleh gelar ulama memerlukan pengakuan dari masyarakat atas kepribadian
seseorang secara utuh. Pada struktur sosial masyarakat pedesaan yang memiliki ulama, maka
ulama tersebut memiliki posisi elite atau lebih tepatnya sebagai elite tradisional.  Seorang
ulama memiliki otoritas yang tinggi, hal ini tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang
dimilikinya melainkan juga atas dasar keturunan dan kemampuan seseorang dalam
menguasai sumber-sumber nilai dan pengetahuan yang menjadi dasar bagi bangunan dan
kebudayaan masyarakat tersebut. Ada tiga sumber otoritas yang dimiliki ulama di pedesaan,
ia adalah keturunan atau keluarga dekat dari ulama sebelumnya. Kedua adalah kedalaman
ilmu serta perilakunya, dan yang ketiga ia adalah ”tuan tanah”. Lewat tiga sumber otoritas
yang dimiliki ini ulama menjadi tempat bergantung masyarakat disekitarnya untuk
mendapatkan jalan keluar bagi berbagai persoalan.

Beberapa aspek pada NU yang telah dijelaskan diatas seperti madzhab, tasawuf, dan
kedudukan ulama merupakan hal-hal yang menggambarkan ciri tradisional. Akulturasi antara
kebudayaan lokal  dengan aktivitas keagamaan juga menjadi indikasi yang mencirikan NU
sebagai sebuah gerakan Islam tradisional. Kondisi ini tidaklah statis, pada perjalanannya NU
berdinamisasi dengan dunia Islam kontemporer. Progresivitas NU mulai terlihat pada tahun
1970-an, terutama setelah deklarasi “kembali ke khittah 1926”. Pemaparan mengenai NU
pada masa awal pembentukan ini bermaksud memberikan gambaran mengenai aspek
tradisional yang muncul di tubuh NU sebagai salah satu gerakan Islam di Indonesia11.

11
Intan Dwi Kemala, Gerakan Islam Literatur, Jakarta : FIB UI, 2008, Hal.39-46
Daftar pustaka

Sujati,Budi.2018.Sejarah Perkembangan Globalisasi dalam Dunia Islam.Peradapan dan Pemikiran


Islam.2(2),105-107.

Syufaat.2008.Dakwah Melawan Globalisasi.Komunika.2(1),83.

Tahdits.2015.Islam Tradisionalis Modernis dan Fudamentalis. www.tahdits.wordpress.com.(diakses


tanggal 29 Oktober2019)

Anda mungkin juga menyukai