B. Islam tradisional
Kata tradisi berasal dari bahasa Inggris “tradition” yang artinya tradisi3. Sedangkan kata
tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan,
kebiasaan, dan ajaran yang turun temurun dari leluhur.4alam bahasa Arab kata tradisi
merupakan salah satu makna dari kata “sunnah” selain makna norma, aturan, dan
kebiasaan.5 Sedangkan kata “sunnah” mempunyai arti segala yang dinukilkan dari Nabi
SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup,
baik sebelum Nabi diangkat menjadi rasul atau sesudahnya.6
2
Syufaat,” Dakwah Melawan Globalisasi”, Jurnal Komunika Vol. 2,No.1,
3
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1979, cet.VII, Hal.
599
4
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1991, cet.XII, Hal.
1088
5
Munir Baalbaki, Rohi Baalbaki, Kamus Al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Surabaya : Halim Jaya, 2006,
Hal..483
6
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag., Ulumul Hadis, Bandung : Pustaka Setia, 2013, cet.III Hal. 19
Islam Tradisional mengandung pengertian yang luas, karena tradisi pada umumnya difahami
sebagai hasil perlembagaan praktik-praktik keagamaan yang diyakini bersumber pada
syariah, maka tradisionalisme islam diyakini oleh para pendukungnya sebagai Islam murni.7
Atas dasar pengertian ini, maka kaum orientalis Barat menyebut kepada setiap orang yang
berpegang teguh kepada al-Sunnah Rasulullah SAW. Bahkan kepada mereka yang berpegang
teguh kepada al-Qur’an sebagai kaum tradisionalis. Hal yang demikian itu mereka dasarkan
pada pandangannya, bahwa al-Qur’an merupakan warisan ajaran dari Tuhan yang bersifat
abadi, sedangkan sunnah merupakan warisan ajaran dari Nabi Muhammad SAW.8
Baharuddin Ahmad (1994) mengatakan bahwa menurut masyarakat tradisional Tuhan adalah
dasar atau asas dari segala-galanya. Secara teoritis golongan tradisional atau perennial
menganggap bahwa kehadiran Tuhan itu sesuatu yang nyata, Tuhan hidup dalam segala
tradisi, mengatasi sejarah dan masa. Manusia adalah tafsiran Tuhan dalam arti Tuhanlah yang
merancang dan merencanakan kelahiran manusia dan alamnya melalui “tipe induk”
atau a’yan tsabita dalam istilah Ibnu ‘Arabi.
Realitas langit merupakan realitas objektif dan realitas bumi merupakan realitas subjektif.
Karena itu jika berbicara mengenai tingkatan ilmu, ilmu keagamaan bagi masyarakat
tradisional merupakan ilmu tertinggi (karena paling objektif), dan ilmu teknologi adalah ilmu
terendah. Dalam pandangan tradisionalis, setiap yang modern bisa dicampuradukkan antara
satu dengan yang lain (sintesis). Bagi yang spiritual atau tradisional tidak boleh
dicampuradukkan, karena perlu diketahui mana yang lebih utama. Pencampuradukkan berarti
menyamaratakan semuanya sekaligus. Padahal dalam perspektif tradisional terdapat hierarki,
ada yang horizontal dan vertikal, ada pula yang luar dan yang dalam.
Pada prinsipnya kaum tradisionalis yakin bahwa kebudayaan, pemikiran, dan kebudayaan
modern adalah buruk, karena tidak berasaskan prinsip keagamaan dan keruhanian. Dimensi
social adalah dimensi kedua, sedangkan individual adalah yang utama atau hakikat ada di
dalam diri. Manusia bersosialisasi jika ada keperluan saja. Ulama tradisionalis tidak mau
melakukan adaptasi dan kompromi termasuk menerima kemajuan IPTEK yang berasal dari
barat karena mereka berpendapat bahwa barat adalah musuh islam, maka baik politik maupun
budyanya harus ditolak. Mereka berpandangan bahwa umat islam tidak perlu mengikuti
pemikiran barat, karena islam adalah agama yang sempurna. Ulama tradisionalis lebih
cenderung kembali ke masa lalu dalam usaha mencari jawaban Islam terhadap tantangan
masa kini. Mereka yakin bentuk kehidupan umat Islam abad ketujuh sudah sempurna dan
tidak perlu diubah dan disesuaikan dengan abad baru.
Dari sini terlihat bahwa filsafat tradisi atau perennialis menentang segala bentuk kemodernan
terutama dalam hal teknologi dan estetika. Hal itu dikarenakan kedua hal tersebut telah
memberikan kerusakan pada roh manusia sehingga merupakan manifestasi atau kenyataan
7
Mambaul Ngadimah, Ebook Potret Keberagaman Islam Indonesia, Ponorogo, 2008, Hal. 270
8
DR. H. Abuddin Nata, M.A., Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada,
2001, Hal. 141
zaman gelap, zaman akhir, iron age, zaman tanzibah, zaman penghisaban, yaitu zaman
manusia kehilangan Tuhan dan makna.9
Bersifat eksklusif (Tertutup), yaitu maksudnya Islam Tradisionalis tidak mau menerima
pemikiran, pendapat, saran yang berasal dari luar terutama dalam bidang keagamaan.
TIdak dapat membedakan antara hal-hal yang bersifat ajaran dengan yang non ajaran.
Maksudnya Islam tradisionalis menganggap semua hal yang ada hubungannya dengan agama
sebagai ajaran yang harus dipertahankan.
Cenderung bersifat Jabariyah dan teoritis, yaitu sikap pasrah, tunduk dan patuh pada Tuhan
diiringi dengan keyakinan bahwa segala sesuatu jika Tuhan mengizinkan akan terjadi. Namun
hal tersebut harus diimbangi dengan usaha yang berpengaruh terhadap keputusan Tuhan.
Kurang menghargai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Maksudnya Islam tradisionalis
sering melakukan pekerjaan dengan cara-cara yang mereka lakukan sejak dahulu kala, tanpa
disertai dengan upaya untuk memperbaiki cara kerja yang lebih efisien, efektif, cepat, dan
tepat.
Jumud dan Statis, maksudnya adalah Islam tradisionalis cenderung tidak mau mengikuti
perubahan dan mempertahankan apa-apa yang dipandangnya sudah baik sejak dahulu, tanpa
mempertanyakan secara kritis apakah apa-apa yang mereka pertahankan itu masih cukup dan
mampu bersaing dengan kekuatan lain.
Pada beberapa gerakan Islam tradisional pengaruh kebudayaan lokal cukup kuat dalam
implementasi ritual keagamaan, bahkan secara kultural dapat dikatakan bersifat sinkretik. Hal
ini membuat tradisi pada wilayah tertentu melebur dengan praktik keagamaan masyarakat di
daerah tersebut. Gerakan Islam di Indonesia yang pernah berada atau masih bertahan pada
jalur tradisional diantaranya adalah Nahdhatul Ulama, tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah, dan
gerakan Jama’ah Tabligh. Beberapa dari gerakan ini telah mengalami banyak perkembangan
dan memiliki kecenderungan modernitas dalam aktivitasnya.
Nahdhatul Ulama
Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU) dipandang sebagai pelembagaan tradisi keagamaan yang
sudah mengakar di wilayah Jawa. Kultur masyarakat Jawa sebagai tempat kelahiran NU
memberikan banyak pengaruh pada karakteristik gerakan dakwah NU selanjutnya. Peleburan
antara tradisi lokal dengan praktik keagamaan adalah salah satu karakteristik yang menjadi
ciri khas masyarakat NU. Sejak awal berdirinya NU dipandang sebagai organisasi para ulama
tua di daerah pedesaan yang secara agama bersifat kultural, secara intelektual sederhana,
secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politik bersifat oportunis. Namun anggapan ini
berkembang sebelum tahun 1970-an. Perkembangan NU pada tahun 1970-an mulai
menunjukkan bahwa NU telah menjadi sebuah organisasi yang progresif. Hal ini ditunjukkan
melalui dinamika NU pada masa orde baru yang sudah dapat bereaksi terhadap kebijakan
pemerintah pada masa itu. Hal ini menunjukkan bahwa NU mengalami perubahan pada
orientasinya.
Pada masa pembentukan awal NU adalah sebuah organisasi sosial keagamaan yang
mengumpulkan ulama dari berbagai daerah untuk melawan kolonialisme, namun pada
perjalanannya NU pun memasuki ranah politik dan bergabung dengan Masyumi hingga
selanjutnya berdiri sendiri sebagai partai politik.
NU lahir dari kultur masyarakat penganut Ahlussunnah wal Jama’ah, upaya untuk
melembagakan kulturnya didorong oleh situasi kolonialisme yang melahirkan gerakan sosial-
politik. Pelembagaan kultur NU juga menjadi salah satu upaya untuk pembelaan kalangan
Islam tradisional di Jawa terhadap arus pembaruan yang mulai masuk ke Indonesia.
Aspek tradisi pada keagamaan yang dipegang oleh NU akhirnya melahirkan sikap-sikap yang
menjadi ciri khas normatif organisasi NU. Sikap-sikap tersebut diantaranya adalah sikap
tengah yang berintikan tentang prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil
dan lurus di tengah kehidupan bersama, sikap toleran terhadap perbedaan, terutama hal-hal
yang bersifat cabang dari sebuah pemahaman, serta dalam soal kemasyarakatan dan
kebudayaan. Sikap seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, manusia, lingkungan
hidupnya, serta menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang, sikap
selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat
bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjerumuskan dan
merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dalam memandang dunia, NU menjadikan tasawuf sebagai salah satu ajaran yang bersatu
dengan konsep keagamaannya. Tasawuf adalah pedoman bagi adanya perilaku berahlak.
Bentuk perilaku ini adalah tarekat, yang didalamnya terdapat dzikir berulang-ulang. NU
menjadikan tasawuf sebagai bagian dari ibadah, dan ibadah dipandang sebagai hal yang akan
membawa seseorang menuju perjalanan akhirat. Karena itu seluruh kehidupan di dunia ini
penuh dengan peribadatan. Meskipun demikian, faham keagamaan NU adalah sebuah nilai
yang dinamis, tidak berhenti pada penyerahan diri kepada Tuhan, dan bukan faham
keagamaan yang tidak menghiraukan kehidupan dunia. Namun sebaliknya, kehidupan dunia
disubordinasikan dalam rangkuman nilai Ilahiah sebagai sumber nilai tertinggi.
Kedudukan ulama pada NU sangatlah penting, penghormatan yang tinggi terhadap ulama
merupakan refleksi dari tradisi berfikir yang menggunakan madzhab. Hal ini tidak terlepas
dari sosok ulama itu sendiri, fungsi, dan tugasnya. Memiliki pengalaman atas ilmu yang
diemban adalah salah satu hal yang membuat seseorang dikatakan sebagai ulama. Selain
sebagai pengemban ilmu yang bermanfaat, seorang ulama haruslah sekaligus menjadi
pelaksana dari ilmunya dan melakukan penyiaran terhadap ilmu yang diemban. Seorang
ulama haruslah senantiasa mempunyai komitmen terhadap tugas menyiarkan dan
memasyarakatkan ilmunya guna memberikan informasi, bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakatnya. Seorang ulama juga harus tunduk sepenuhnya kepada Al-Quran dan memiliki
kesadaran terhadap kepastian terjadinya janji dan ketentuan Tuhan. Hal kutural lain yang
harus dimiliki oleh seorang ulama adalah sikap rendah hati.
Untuk memperoleh gelar ulama memerlukan pengakuan dari masyarakat atas kepribadian
seseorang secara utuh. Pada struktur sosial masyarakat pedesaan yang memiliki ulama, maka
ulama tersebut memiliki posisi elite atau lebih tepatnya sebagai elite tradisional. Seorang
ulama memiliki otoritas yang tinggi, hal ini tidak hanya ditentukan oleh ilmu yang
dimilikinya melainkan juga atas dasar keturunan dan kemampuan seseorang dalam
menguasai sumber-sumber nilai dan pengetahuan yang menjadi dasar bagi bangunan dan
kebudayaan masyarakat tersebut. Ada tiga sumber otoritas yang dimiliki ulama di pedesaan,
ia adalah keturunan atau keluarga dekat dari ulama sebelumnya. Kedua adalah kedalaman
ilmu serta perilakunya, dan yang ketiga ia adalah ”tuan tanah”. Lewat tiga sumber otoritas
yang dimiliki ini ulama menjadi tempat bergantung masyarakat disekitarnya untuk
mendapatkan jalan keluar bagi berbagai persoalan.
Beberapa aspek pada NU yang telah dijelaskan diatas seperti madzhab, tasawuf, dan
kedudukan ulama merupakan hal-hal yang menggambarkan ciri tradisional. Akulturasi antara
kebudayaan lokal dengan aktivitas keagamaan juga menjadi indikasi yang mencirikan NU
sebagai sebuah gerakan Islam tradisional. Kondisi ini tidaklah statis, pada perjalanannya NU
berdinamisasi dengan dunia Islam kontemporer. Progresivitas NU mulai terlihat pada tahun
1970-an, terutama setelah deklarasi “kembali ke khittah 1926”. Pemaparan mengenai NU
pada masa awal pembentukan ini bermaksud memberikan gambaran mengenai aspek
tradisional yang muncul di tubuh NU sebagai salah satu gerakan Islam di Indonesia11.
11
Intan Dwi Kemala, Gerakan Islam Literatur, Jakarta : FIB UI, 2008, Hal.39-46
Daftar pustaka