Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

METODOLOGI STUDI ISLAM


DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER
DOSEN : Drs. H Misran Nuryanto, M.Pd.I

Disusun Oleh:
Anisa Husadani
Julia Alfiani W S
Fatimah Azzahra
PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI (PIAUD)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) BANI SALEH
BEKASI 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Metodologi
Studi Islam, dengan judul: Dinamika Islam Kontemporer.
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik
sehingga makalah ini terselesaikan. Kami menyadari sepenuhnya bahwa
makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman
dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan
segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan dunia pendidikan.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Bekasi, 14 Maret 2023

Kelompok 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu
dipengaruhi oleh konfigurasi politik penguasa artinya ada pemikiran dan
gerakan menjadi “mazhab” penguasa dan sebaliknya, ada yang dilarang
banhkan dibrangkus dengan menjaga “statibilitas”.
Mengamati dinamika pemikiran dan gerakan islam di Indonesia
sangat menarik karena ada sejumlah paradox dan gesekan yang cukup
tajam terutama pasca reformasi sehingga dengan bergulirnya era
reformasi membutuhkan pembacaan ulang terhadap pemikiran dan
gerakan islam Indonesia, karena berbagai pemikiran dan gerakan islam
yang pada mulanya terbungkam oleh kekuatan orde baru kembali muncul
dan berusaha membangkitkan kembali romantisme masa lalu.
Seiring dengan perkembangan zaman, dunia semakin menjadi
modern, semakin menjadi global dan universal. Tetapi sebelum mencapai
zaman atau masa modern tersebut, harus melewati dimana zaman masih
sangat tradisional dengan keterbatasan.
Dinamika Islam Kontemporer, merupakan kalimat yang sangat tidak
familiar. Banyak yang tidak mengetahui apa maksud dari Dinamika Islam
kontemporer tersebut. Dari materi tersebut, maka akan banyak timbul
pertanyaan mulai dari: apa itu islam kontemporer, mengapa disebut islam
kontemporer.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Dinamika Islam Kontemporer?
2. Apa itu Modernisme dan Postmodernisme?
3. Apa itu Islam Liberal dan cara menghindarinya?
4. Apa perbedaan Islam Kultural dan Sruktural?
5. Apa perbedaan Post Tradisionalisme Islam, Jihad dan Teror?
1.3 Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Materi
Metodologi Studi Islam dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan
masalah. Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan penulis dan pembaca tentang Dinamika Islam Kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Islam Kontemporer
Menurut Taufiqullah (1991:5), secara etimologi, Islam berasal dari
bahasa Arab. Berasal dari kata salima yang berarti selamat sentosa.
Pendapat ini dipegangi oleh hamper semua ahli, khususnya para ulama
Islam. Selanjutnya dari kata salima yang berarti selamat sentosa di atas,
dibentuk mutaadi (transtitif) yang menjadi aslama yang artinya memelihara
diri, tunduk patuh dan taat. Orang yang melakukan asalama atau masuk
Islam dinamakan Muslim.
Islam merupakan agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan
kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw. Secara istilah
adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang dating
dari Allah swt. bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari Nabi
Muhammad saw.
Kata kontemporer yang berasal dari kata “co” yang artinya bersama
dan “tempo” yaitu waktu. Jadi menurut kata, kontemporer adalah waktu
bersamaan. Secara umum, kontemporer artinya, kekinian, modern, atau lebih
tepatnya adalah sesuatu yang sama dengan kondisi waktu yang sama atau
saat ini. Maka, islam kontemporer adalah islam yang pada masa modern atau
masa kini.

2.2 Modernisme dan Postmodernisme

A. Modernisme
Modernisme secara etimologi berasal dari kata “modern”. Muncul dari
kata “modernus” (latin) yang artinya sekarang. Merupakan tatacara hubungan
manusia dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Hassan Hanafi, tulang
punggung modernisme ialah rasionalisme, kebebasan demokrasi, pencerah-
an, dan humanisme.

Modernisme merupakan suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian


manusia, berdasarkan logika yang bersumber dari daya nalar pemikiran.
Sikap dan cara berfikir yang disesuaikan dengan tuturan zaman. Mencapai
kebenaran pengetahuan dalam kehidupan peradaban modern, sehingga
mempengaruhi tingkat intelektualitas paling tinggi.

Modernisme didasarkan pada penggunaan akal dan pikiran yang logis untuk
memperoleh pengetahuan. Rasio manusia dianggap mampu menyelami ke-
nyataan faktual menemukan hukum-hukum maupun dasar-dasar esensial dan
universal dari kenyataan, yang bermuara pada postmodernisme.

B. Postmodernisme
Pada awalnya, kata postmodern tidak muncul dalam filsafat ataupun
sosiologi. Dalam arsitektur dan sastra. Arsitektur dan sastra postmodern
merupakan pengembangan dari gaya arsitektur dan sastra modern yang to-
taliter, mekanis dan kurang human. Postmodernisme merupakan reaksi
terhadap kemajuan zaman dan teknologi, muncul sebagai bentuk penolakan
terhadap pemikiran logis (modern).

Berdasarkan asau usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris


yang artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini
muncul pertama kali pada bidang seni oleh Federico de Onis tahun 1930.
Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee tahun 1947. Setelah itu
berkembang dalam bidang-bidang lain seperti  sastra, filsafat, arsitekur, studi
literatur, dan ilmu sosial.

Post-modernisme merupakan suatu kondisi atau keadaan. Menitik beratkan


perhatiannya pada perubahan dalam bidang seni, ekonomi, politik, dan
kultural (Giddens 1990; Jenkins, 1995: 6). Suatu kondisi masyarakat tidak lagi
diatur oleh prinsip produksi. Melainkan reproduksi informasi dimana sektor
jasa media, menjadi faktor yang paling menentukan.

Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran


digantikan oleh emosi dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan
tidak lebih dari sebuah konstruk sosial. Kebenaran disamakan dengan
kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok.
C. Modernisme vs. Postmodernisme

Modernisme dimulai pada tahun 1890 dan berlangsung sampai sekitar


tahun 1945. Postmodernisme dimulai setelah Perang Dunia II terutama
setelah tahun 1968, melewati era Perang Dingin. Modernisme didasarkan
pada penggunaan akal dan pikiran logis untuk memperoleh pengetahuan.
Di sisi lain, postmodernisme menentang penggunaan pemikiran logis.
Pemikiran selama era postmodernisme didasarkan pada dasar yang tidak
ilmiah dan proses berpikir irasional sebagai reaksi terhadap modernisme.
Sifat hirarkis dan terorganisir serta determinasi iptek menandai modernisme.
Sebaliknya, postmodernisme didasarkan pada anarkisme, non-totaliter, dan
ketidakpastian.
Pendekatan modernisme bersifat obyektif, teoritis, dan analitis;
sedangkan pendekatan postmodernisme didasarkan pada subjektivitas.
Perbedaan mendasar lain antara modernisme dan postmodernisme adalah
bahwa pemikiran modernisme berkisar tentang pencarian kebenaran abstrak
dalam hidup, sementara pemikir postmodernisme percaya bahwa tidak ada
kebenaran universal.
Modernisme mencoba membangun sebuah pandangan dunia yang
koheren sedangkan postmodernisme berusaha menghapus perbedaan status
tinggi – rendah. Pemikiran modernisme percaya pada belajar dari
pengalaman masa lalu dan mempercayai teks yang menceritakan masa lalu.
Di sisi lain, pemikiran postmodernisme menentang setiap kebenaran
dalam teks yang menceritakan masa lalu dan menjadikan itu tidak ada
gunanya pada masa kini. Cendekiawan modernisme mempelajari suatu
subjek secara mendalam untuk kemudian menganalisanya. Hal ini tidak
terjadi dengan pemikir postmodernisme. Mereka percaya akan penampilan
luar dan bermain di permukaan serta tidak peduli dengan kedalaman subjek.
Modernisme menganggap karya asli sebagai otentik sementara pemikir
postmodernisme mendasarkan pandangan pada hiper-realitas, mereka bisa
sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang disebarkan melalui media.
Selama era modernisme, seni dan karya sastra karya dianggap sebagai
kreasi unik dari seniman. Orang-orang serius dalam memproduksi seni dan
karya sastra.
Selama era postmodernisme, seiring berkembangnya komputer dan
media, karya seni dan sastra mulai disalin dalam bentuk digital. Orang tidak
lagi percaya seni dan karya sastra memiliki satu makna unik. Mereka lebih
percaya untuk memberikan makna sendiri terhadap karya sastra dan seni.

2.3 Islam Liberal dan Cara Menghindarinya.

A. Islam Liberal
Pemahaman atau pemikiran liberalisme adalah satu istilah diantara
istilahistilah untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak
masa Reformasi Gereja yang mana menandakan berakhirnya abad
pertengahan. Disebut dengan istilah liberal, secara harfiah mempunyai arti
“bebas dari batasan” karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang
bebas dari aturan dan pengawasan geraja dan raja. Kata liberlisme barasal
dari bahasa latin yaitu liber yang memiliki arti bebas atau merdeka, sampai
mengujung abad 18 Masehi, kata ini sangat berkaitan erat dengan konsep
manusia pada saat itu yang merdeka setelah dibebaskan. (budak). Oleh
karena itu muncul lah istilah liberal arts yang artinya pengetahuan ini sangat
berguna dan harus dimiliki oleh manusia yang merdeka. Islam liberal dilihat
dari segi makna maka akan terlihat sangatlah kontradiktif, islam berasal dari
bahasa arab yang artinya pasrah atau tunduk patuh sementara kata liberal
berasal dari bahasa Eropa lebih tepatnya yunani yang artinya bebas.
Disamping itu liberalisme dalam artian barat memiliki arti yang positif, akan
tetapi jika dibawa ke dunia Timur terutama dunia Islam maka sudah terlanjur
memilki konotasi yang buruk dan negatif. Ia lebih banyak difahami sebagai
faham liarisme yang tidak mau tunduk kepada prinsip-prinsip, aturan-aturan,
kaidah-kaidah apapun kecuali keliaran itu sendiri. Tetapi meskipun demikian
jelas-jelas istilah tersebut sangat bertentangan atau memaksakan sehingga
menjadikan sebagai satu istilah Islam liberal untuk dapat diterima dalam
wacana dalam pemikiran islam. Para peneliti berbeda-beda dalam
mendefiniskan Islam liberal, Charlez Kurzman memberikan karakter dasar
dari apa yang disebut Islam liberal (Liberal Islam) sebagai berikut:
“Terdapat berbagai versi liberalisme Islam, tetapi satu elemen yang
umum adalah kritiknya baik terhadap tradisi Islam adat maupun Islam
revivalis, yang oleh kaum liberal disebut “keterbelakangan” (backwardness)
yang, dalam pandangan mereka, menghalangi dunia Islam untuk menikmati
“buah” modernitas: kemajuan ekonomi, demokrasi, hak-hak hukum, dan
sebagainya. Di samping itu tradisi liberal berpendapat bahwa Islam, jika
dipahami secara benar, sejalan dengan – atau bahkan perintis jalan
bagiliberalisme barat.”

Ada dua hal bagi Kurzman yang menjadi karakter dasar Islam liberal.
Pertama, kritis terhadap tradisi Islam adat dan Islam Revivalis yang
menyebabkan keterbelakangan umat Islam.
Kedua, berkeinginan meraih kemajuan dengan mengedepankan nilai-nilai
Islam yang ternyata sejalan dengan nilai-nilai liberalisme Barat seperti
Demokrasi, kemajuan Ekonomi, hak-hak hukum dan sebagainya. Yang di
maksud oleh Kurzman sebagai Islam Adat adalah kelompok Islam yang
mengkombinasikan kebiasaan daerah dengan kebiasaan umum yang berlaku
didunia Islam.

Istilah ini sebanding dengan istilah “Islam Tradisional” yang populer


lebih dahulu dikalangan para peneliti tentang gerakan islam di Indonesia
seperti dalam karya klasik Deliar Noer. 9 Sedangkan Islam revivalis ia
sepadankan dengan Islamisme, Fudamentalisme, dan Wahabisme. Tradisi ini
menyerang interpretasi adat yang kurang memberi perhatian tehadap inti
doktrin islam. Definisi ini hampir serupa dengan yang diberikan oleh Kamal
Hassan, yaitu pokok pikiran yang mengikat berbagai pemikiran Islam liberal
ini adalah selalu mendahulukan apa yang mereka sebut terhadap nilai-nilai
Islam yang paling universal daripada formalitas praktik-prakti ajaran Islam.
Niali-nilai ini secara sengaja atau tidak ternyata berkonsekuensi
dengan nilai-nilai humanisme dan skularisme yang dipromosikan barat.Zuly
qodir memberikan definisi yang lebih rigid terhadap Islam liberal, terutama
dalam konteks Indonesia, yaitu mereka yang memiliki pemahaman inklusif
terhadap Islam dengan ciri-crinya sebagai berikut:
1) menempatkan al-Qur’an dan hadits sebagai kitab terbuka untuk
diinterpretasikan tanpa harus terpaku pada satu bentuk intrpretasi yang
sifat hegemonic,
2) melakukan rekonsiliasi antara keimanan dan modernitas,
3) bersedia mengadopsi sistem konstitusi dan kebudayaan dunia modern,
4) memiliki kebebasan dan menginterpretasi agama,
5) mengikuti pendidikan gaya modern dengan mengadopsi rasionalitas,
6) tidak berfikir sektarian sehingga dapat memahami perbedaan pandangan
yang muncul tanpa melakukan penghakiman atas pihak lain yang
berbeda,
7) mengakui adanya pluralisme agama,
8) bersifat inklusif-toleran dalam beragam,
9) berfikir dan bersifat terbuka melampaui batas-batas garis pemikiran
organisasi keagamaan NU maupun Muhammadiyah, sekalipun banyak
intelektual liberal di negeri ini yang berlatar belakang NU dan
Muhammadiyah,
10) tidak berminat pada gagasan pemberlakuan syariat Islam yang
diformalisasi
11) memiliki teologi pluralis-inklusif, bukan eksklusif.

Definisi yang disampaikan oleh Qodir memerinci lebih jelas mengenai


identitas Islam liberal yang diajukan Kurzman dan Hassan. Melalui definisi ini,
cukup jelas perbedaan gerakan Islam Liberal ini dengan gerakan modernisme
Islam atau reformisme Islam sperti Muhammadiyah, Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia, dan lainnya yang telah ada lebih dahulu.

Sejarah Islam Liberal di Indonesia


Kelahiran Islam liberal di Indonesia terbagi menjadi tiga fase yang
berawal dari tahun 1970 kemudian berlangsung kepada pertumbuhan kedua
dan perkembangannya setelah reformasi.
1. Kelahiran Pemikiran Islam Liberal di Indonesia
Periode kemunculan Islam liberal ini dimulai pada tahun 1970 an. Bila
diberbagai belahan dunia lain seperti Mesir, India, Syiria dan beberapa
negara Arab lainnya pemikiran ini lebih dahulu muncul, yaitu sekitar paruh
waktu pertama abad 20, yang di Indonesia berbarengan dengan munculnya
gerakan-gerakan Islam Modernis, maka di Indonesia pemikiran Islam liberal
ini baru muncul pada tahun 1970-an ini.
Ada dua alasan yang dapat kita simpulkan mengapa di Indonesia muncul
lebih belakangan.
Pertama, sejak lama tradisi pemikiran di Indoneisa masi belum menampakkan
tradisi sebagai “produsen” pemikiran, melainkan hanya sebagai “konsumen”.
Umat Islam di Indonesia lebih bersifat sebagai penerima apa yang telah
berkembang di dunia luar, terutama Timur Tengah, yang dianggap sebagai
pusat kekuatan dan penyebaran Islam. belum banyak pemikiran-pemikiran
Islam asli Indonesia yang disebarluaskan ke Timur tengah. Kasus terjadi
sebaliknya. Karena itu, apabila tokoh-tokoh Indonesia yang memiliki pengaruh
luas di dunia Islam, ia harus bersentuhan dengan Timur Tengah, seperti para
ulama yang berkarir dan terkenal di Timur Tengah, seperti Syekh Nawawi Al-
Bantani, Syekh Mahfuz Termasi, Syekh Yusuf Al-Makassari, Syekh Ahmad
Khatib Minangkabau, dan Syekh Abdul Shamad Palembang.

Kedua, tahun 1970-an baru baru dimungkinkan munculnya pemikiran Islam


liberal ini karena pada tahun-tahun inilah intelektual Islam yang mendapat
pengaruh pemikiran Islam liberal dari Timur Tengah mulai muncul seperti
Harun Nasution dan Abdurrahman Wahid. Dalam konteks ini keduanya
mendpatkan banyak pengaruh dari pemikir-pemikir Islam liberal di Mesir.
Tokoh-tokoh yang mengambil ilmu di Mesir sebelum kedua orang ini seperti
Mahmud Junus, Abdul Kahar Muzakkir, M. Rasjidi, dan lainnya tidak
terpengaruh dengan pemikiran Islam liberal. Mereka malah tercatat sebagai
pembela sistem dan kurikulum Universita Al-Azhar yang dinilai oleh para
pemikir liberal Mesir sebagai orang orang yang kolot dan terbelakang. 13 Harun
Nasution dan Abdurrahman Wahid yang memeilki pengaruh paling mendalam
dalam penyebaran pemahaman Islam liberal di Indonesia, Harun Nasution
sangat berperan dalam penyebaran Islam liberal di IAIN, sedangkan
Abdurrahman Wahid memiliki pengaru yang besar di Nahdhatul Ulama (NU).
Pemikiran Islam liberal pada umumnya selalu dikaitkan dengan Nurchalis
Madjid. Perstiwa pertama yang mengaitkan Islam liberal dengan Nurchalis
Madjid yang digadang sebagai pencetus Islam liberal adalah pidatonya pada
acara silaturahmi Idhul Fithri pada tanggal 3 Januari 1970,dan diikuti oleh
berbagai macam ormas-ormas Isalm. Dalam pidatonya Madjid
menyampaikan tentang keadaan umat Islam yang jumud (mendek) akibat
terus menerus mengulang keinginan memperjuangkan berdirinya kembali
negara Islam melalui partai-partai. Madzjid mengusulkan satu jargon yang
kontrovesrsial “Islam Yes, Partai Islam No!” ia juga mengatakan umat Islam
perlu melakukan “sekularisasi” pemikiran, berpikir bebas dan terbuka. Untuk
itu pula diperlukan kelompok pembaharuan yang “liberal”.

2. Pertumbuhan Generasi Kedua


Setelah pemikiran-pemikiran yang berhaluan Islam liberal mucul ke
publik, baik melalui tulisan-tulisan Nurchalis Madjid di media masa maupun
kurikulum di IAIN, maka perkembangannya menjadi semakan pesat dan
meluas. Semakin banyak orang yang bergerak di belakang ide-ide
pembaharuan Nurchalis Madjid dan ide-ide rasionalnya Harun Nasution
mengindikasikan bahwa pengaruh itu terus meluas, sekalipun kadar pengaruh
pada orang-orang yang menerimanya sangat mungkin tidak sama dan sulit
juga dilakukan penguuran secara pasti. Namun yang pasti, pemikiran Islam
liberal yang dicetuskan itu tidak berhenti sampai pada pelemparan wacana.
Ada banyak sekali faktor yang mendukung semakin berkembangnya
pemikiran Islam liberal ini diantarnya: terlibat intelektual-intelektual Islam
liberal ini di berbagai lembaga kaderisasi intelektual seperti organuisasi
kemahasiswaan dan perguruan tinggi, juga berbagai orams Islam seperti NU
dan Muhammadiyah. Selai itu, faktor dukungan dari pemerintah yang
memasilitasi berkembangnya model pemikiran ini juga turut memperkuat
tersebarnya pemikiran Islam liberal. Juga tersebarnya ide-ide yang
menjadikan pemikiran ini tersebar sehingga memungkinkan pemikiran Islam
liberal ini menjadi salah satu pemikiran yang dapat di apresiasi dari berbagai
kalangan, gagasan dan ide yang di sampaiukan Nurchalis Madjid sangatlah
banyak dan dia berikan kepada kaderisasi HMI, disamping itu juga
Abdurraman Wahid sangat berperan dalam memberikan ide ideya seperti,
mengajak kepada Pluralisme Agama, pribumisasi Islam, kesetaraan gender
dll.

3. Islam Liberal Setelah Reformasi


Seiring terbukanya kran kebebasan berpendapat dan menyampaikan
gagasan, dalam konteks sejarah pemikiran Isalam pu terjadi perubahan yang
cukup penting, sekalipun petanya masi belum beranjak dari peta lama yang
muncul sejak zaman orde baru. Pada masa orde baru polarisasi pemikiran
Islam antara kelompok “tradisionalis” dan “modernis” 17 yang menjadi poros
pemikiran utama pada paruh pertama abada ke 20 sedikit demi sedikit
bergeser dengan munculnya satu varian pemikiran baru yang dalam
penelitian ini disebut sebagai “Islam Liberal”. Eksponennya terdiri dari
intelektual-intelektual yang sebelumnya cenderung kepada kelompok
“tradisionalis” seperti Abdurrahman Wahid dan Nurchalis Madjid dari kalangan
NU, dan sebgaian lain kepada kelompok “modernis” seperti Harun Nasution
dan Munawir Sajdzali yang dibesarkan dalam tradisi Muhammadiyah.
Munculnya kelompok Islam liberal ini tidak menghentikan polarisasi, hanya
menggeser plarisasi dari tradisionalis-modernis ke polarisasi lain, yaitu
polarisasi kelompok Islam liberal dengan pengkritiknya. Beberapa peneliti
barat menyebut kelompok anti-Islam liberal ini sebgai kelompok
“fundamentalis”, “konservatid”, dan ada pula yang menyebut sebagai
kelompok dakwah. Sebagaimana kelompok Islam liberal, pendukung anti-
Islam liberal pun sama-sama berasal dari kelompok tradisionalis maupun
modernis. Peristiwa paling mencolok adalah dukungan NU dan
Muhammadiyah secara institusi atas fatwa haram pemikiran skularisme,
pluralisme, dan liberalisme pada mukhtamar masing-masing 2004-2005.
Kemudian dukungan ini bergulir sampai fatwa MUI tahun 2005 yang para
tokoh-tokohnya berasal dari dua organisasi terbesar wakil kelompok
tradisionalis dan modernis tersebut. Penentang fatwa MUI tahun 2005 inipun
muncul dari kalangan NU dan Muhammadiyah seperti dari Abdurrahman
Wahid (NU) dan Abdul Munir Mulkhan (Muhammadiyah). Kebebasan
menyampaikan pendapat pada Era Reformasi ini dimanfaatkan secara
antusias oleh para intelektual Islam liberal. Sejak orde baru mereka
sebetulnya sudah berani menyampaikan pemikiran-pemikiran meraka ke
publik, namun saat ini, mereka semakin berani. Bahkan mereka dengan
sangat terbuka menyatakan haluan pemikiran mainstream mereka, yaitu
“liberal”. Momen sejarah yang menandai keberanian mereka tampil di publik
secara vulgar adalah pada saat didirikannya Jaringan Islam Liberal (JIL) di
Jakarta pada tahun 2001. Ahmad Ali Nurdin menyebut lahirnya JIL ini sebagai
respon terhadap berdirinya organisasi-organisasi Islam yang disebut sebgaai
fundamentalis radikal seperti MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), FPI (Front
Pembela Islam), Laskar Jihad, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), KISDI (Komite
Islam untuk Solidaritas Dunia Islam)

Cara Menyikapi Islam Liberal


Berikut ini beberapa prinsip dasar yang harus tetap kita yakini dan kita
pelihara di tengah dahsyatnya kecamuk golombang pemikiran yang
sesat dan menyesatkan yang dihembuskan oleh sekelompok orang yang
tergabung dalam lingkaran syetan JIL (Jaringan Islam Liberal),
pengusung faham Islam Inklusif atau pun Pluralisme. Mereka
berkeyakinan, bahwa semua agama adalah sama, tidak boleh
mengatakan agama sendiri (Islam) yang benar, sebab semuanya adalah
benar, semua menuju Tuhan, hanya penamaan Tuhan dan cara
beribadahnya saja yang berbeda. Dengan memahami prinsip-prinsip
dasar agama Islam, mudah-mudahan kita tidak akan mudah diombang-
ambingkan oleh syubhat/kerancuan yang mereka lontarkan, insya Allah.

Prinsip-prinsip dasar yang dimaksud yakni:

•    Prinsip pertama; Kita meyakini dengan sepenuh hati dan seyakin-
yakinnya, bahwa hanya Allah yang berhak kita sembah. Dia tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak ada sesuatu apa pun yang
menyerupai-Nya.

•    Prinsip ke-dua ; Kita yakini, bahwa satu-satunya jalan keselamatan


yang dapat mengantarkan kita kepada keridhaan Allah adalah
menempuh jalan hidup di atas ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad, Shalallaahu alaihi wasalam .
•    Prinsip ke-tiga; Kita yakin dengan sepenuh hati, bahwa Islam telah
mewakili dan sekaligus menghapus (muhaiminan `alaih) agama-agama
yang pernah diturunkan Allah sebelumnya.
•    Prinsip ke-empat ; Kita wajib mengafirkan mereka (nonmuslim) atau
menyebut mereka sebagai orang kafir.
•    Prinsip ke-lima ; Kita tidak boleh melakukan tindakan tidak beradab,
anarkisme, pembunuhan, perusakan dan kekerasan terhadap siapa pun,
terhadap orang muslim ataupun orang kafir.
2.4 Perbedaan Islam Kultural dan Struktural

Di Indonesia yang merupakan negara yang dengan berbagai macam


organisasi dan corak pemahaman tentang Islam tentunya mempunyai
berbagai cara dan metode dalam mensyiarkan agama Islam. Dan tentunya
keduanya semakin menambah kazanah dan keberagaman keislaman yang
ada di Indonesia. Melalui kedua metode di atas tentunya bukan menjadi
sebuah alasan umat Islam.
Indonesia untuk bercerai-berai. Karena sudah saatnya umat Islam di
Indonesia menanggalkan segala perbedaan yang memicu terjadinya
perpecahan umat Islam. Peran pemerintah mutlak diperlukan sebagai fungsi
kontrol dalam membina ukhuwah islamiah yang tetap dalam kerangka
Bhineka Tunggal Ika.
a) Islam Kultural
Jauh sebelum agama Islam yang dibawa para pedagang Gujarat,
Indonesia sudah banyak terdapat paham dan tradisi yang sudah berurat
berakar. Hal ini terjadi karena paham dan tradisi masyarakat pada waktu itu
sudah terpengaruh agama Hindu, Budha dan agama-agama primitif lainnya
yang terlebih dahulu ada di bumi nusantara ini. Sehingga dalam prakteknya,
Hukum yang ada dalam Al-quran dan Hadist banyak dipahami dan
dipraktekkan tidak lepas dari paham atau ajaran yang sudah ada
sebelumnya. Akibatnya, budaya atau kultur tersebut sangat mempengaruhi
mereka dalam penghayatan dan pemahaman akan keislaman. Dari sinilah
timbul istilah “Islam Kultural”. Islam Kultural adalah Islam sebagaimana
terdapat dalam Al-quran dan Hadist. Namun pemahaman, penghayatan, dan
prakteknya dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan orang yang
memahaminya.
Dalam agama Islam, meskipun antara agama dan budaya itu berbeda,
namun keduanya saling mempengaruhi. Islam Kultural lebih mengarah pada
tujuan dari suatu pengalaman agama, tidak mempersoalakan apa dan
bagaimana tujuan itu dapat dicapai karena perbuatan adalah memohon
berkah dan rahmat dari Allah. Di Indonesia mayoritas warga Nahdliyin
cenderung menggunakan penghayatan yang dipengaruhi oleh budaya
setempat. Contoh yang masih ada sampai sekarang adalah budaya tahlilan 7
hari, 40 hari dan mendhak (bahasa Jawa) yang menurut para ahli sejarah
merupakan hasil perpaduan budaya Hindu dan Islam.
Islam Kultural memberikan keanekaragaman dalam mengajak
masyarakat untuk mencintai Islam dengan cara-cara yang tidak kaku dan
menyesuaikan keadaan kebudayaan setempat sehingga Islam tidak lagi
menjadi agama yang kaku, melainkan menjadi agama yang luwes. Kaku yang
dimaksud adalah penyebaran yang tidak harus menggunakan metode atau
cara yang dilakukan di negara Arab pada umumnya dalam mensyiarkan
agama Islam.

Salah satu problem keagaman dewasa ini adalah ketegangan antara


agama dan kebudayaan. Sebagian kalangan cenderung menolak mentah-
mentah apapun yang dianggap ‘bukan dari agama’, sehingga muncul gerakan
purifikasi atau ini. Sayangnya, gerakan purifikasi agama yang radikal
cenderung mengambil jalan kekerasan dan tidak toleran terhadap sistem
etika dan keagamaan di luar dirinya.

Dalam hal ini kebudayaan menjadi sangat penting dalam rangka


membangun toleransi. Toleransi tidak bisa diusung jika Islam hadir dengan
wajah kaku tanpa adanya asimilasi dengan kebudayaan yang telah ada jauh
sebelum Islam masuk ke Indonesia. Dalam hal ini pemerintah juga harus bisa
mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa kebudayaan yang ada ini
merupakan sebuah bentuk kearifan lokal yang harus dihargai dan
dilestarikan.

b) Islam Struktural

Islam struktural merupakan salah satu metode dakwah dalam


mensyiarkan agama Islam. Islam struktural bukan merupakan sebuah bentuk
perlawan dari Islam kulktural. Metode struktural lebih menggunakan cara-cara
yang terkoordinasi dengan baik dalam melakukan syiar Islam. Dakwah ini
betul-betul serius dan intensif mengupayakan Islam menjadi bentuk dan
mempengaruhi dasar negara. Kecenderungan dakwah ini sering mengambil
bentuk dan masuk dalam kekuasaan, terlibat dalam proses eksekutif,
yudikatif, dan legislatif serta bentuk-bentuk struktur sosial kenegaraan
lainnya.

Aktivitas dakwah Islam struktural lebih sering menggunakan dan


memanfaatkan struktur sosial, politik ekonomi guna menjadikan Islam sebagai
basis Ideologi negara, atau setidaknya memanfaatkan perangkat negara
untuk mencapai tujuannya. Dalam bidang sosial misalnya, kelompok Islam
yang anti barat cenderung enggan untuk memanfaatkan fasilitas PMI (Palang
Merah Indonesia), karena mereka menganggap lambang PMI sangat
cenderung pada simbol salib pada agama Kristen. Kelompok ini lebih memilih
BSM (Bulan Sabit Merah) sebagai media untuk melakukan bantuan sosial.
BSM oleh kelompok Islam struktural dianggap lebih mewakili media sosial
yang berwajah Islam.

Islam struktural walaupun cenderung anti barat tetapi didalam


pelaksanaannya tidak ada keinginan untuk mendirikan sebuah negara Islam.
Mereka hanya menginginkan agar agama dan negara tidak dapat dipisahkan
atau diparsialkan sehingga agama dan negara dapat bersatu. Kemunculan
Islam struktural pada masa sekarang cenderung dimotori oleh anak-anak
muda, atau dalam hal ini adalah Mahasiswa. Pada mulanya mereka
mengadakan halaqah-20[[13] ]. Muhamad Ali, “Keberagaman Multikuluralis”,
dalam Kompas, (Jakarta, 25 Oktober 2002), hal. VI halaqah kajian keislaman
yang kemudian berlanjut dengan keinginan mereka untuk masuk pada dunia
perpolitikan. Tujuan mereka untuk masuk kedalam politik dikarenakan
lemahnya penguasaan bidang hukum dari kalangan pendukung Islam politik
itu sendiri. Mereka cenderung menguasai persoalan-persoalan administratif
dan mobilisasi masa. Tujuan akhirnya adalah institusionalisasi politik Islam,
yang dianggap sebagai jalan yang tepat memperbaiki sistem politik yang
korup dan mengabaikan kepentingan Islam. Dengan masuk kedalam sistem
perpolitikan diharapkan dapat memberikan perubahan yang berarti bagi
agama Islami itu sendiri.

Organisasi Muhammadiyah dan NU juga bisa digolongkan kedalam


dakwah yang struktural, karena organisasi ini juga sangat mempengaruhi
terhadap kemajuan bangsa ini. Organisasi ini banyak mengakomodir
aktivitas-aktivitas keislaman yang melahirkan para cendekiawan yang
pemikiran-pemikirannya sangat berguna untuk kemajuan agama Islam. Islam
struktural hanya merupakan sebuah pengistilahan metode atau cara dakwah
oleh sebagian atau sekelompok Islam yang ingin memasukkan sendi-sendi
Islam di segala bidang. Baik menggunakan metode kultural atau secara
struktural, metode-metode ini diharapkan membawa kemajuan yang positif
bagi agama Islam.
2.5 Perbedaan Post Tradisionalisme Islam, Jihad dan Teror

1. Post Tradisionalisme Islam


Istilah “Post-Tradisionalisme” pertama kali muncul ketika ISIS (Institute
for Social and Institutional Studies), sebuah LSM yang dikelola oleh anak-
anak muda NU di Jakarta, menyelenggarakan diskusi untuk mengamati
kemunculanya gairah baru intelektual di kalangan anak muda NU pada Maret
2000 di Jakarta.

Gema dari wacana ini terus meluas terutama ketika LKiS menjadikan
“postra” sebagai landasan ideologinya dalam strategis planning pada Mei
2000 di Kaliurang Yogyakarta. Ideologi itu pula yang kemudian menjadi judul
buku terjemahan Ahmad Baso atas sejumlah artikel Muhammad Abed al-
Jabiri. Sampai di sini, meskipun kata postra sudah tersebar, namun belum
ada tanggung jawab ilmiah sama sekali mengenai basis epistemologis istilah
tersebut.

 Buku terjemahan Ahmad Baso, meskipun memakai kata “Post-


Tradisionalisme Islam” namun di dalamnya tidak menjelaskan sama sekali
apa sebenarnya makna istilah postra itu sendiri. Beberapa bulan kemudian,
dua aktifis ISIS, Muh Hanif Dhakiri dan Zaini Rahman memberikan sedikit
muatan dengan menerbitkan buku berjudul Post-Tradisionalisme Islam,
Menyingkap Corak dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000).

ISIS kemudian menerbitkan sebuah bulletin yang diberi nama “Postra”.


Wacana postra semakin matang ketika Lakpesdam NU melakukan kajian
yang agak serius mengenai tema ini dalam jurnal Taswirul Afkar No. 9 tahun
2000. Setelah itu, postra telah benar-benar menjadi wacana public dan
banyak diperbincangkan orang dalam berbagai diskusi, seminar dan juga
liputan media masa.

Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, post-tradisionalisme


Islam pertama-tama harus dilihat sebagai sebuah gerakan “lompatan tradisi”.
Gerakan ini berangkat dari sebuah tradisi yang terus menerus berkembang,
diasah dengan sedemikian rupa, diperbaharui, dan kemudian didialogkan
dengan modernitas, intinya adalah mencoba melakukan kontekstualisasi
tradisi Islam klasik pada ranah kondisi dan konteks kekinian.

Sehingga menjadi mungkin terjadinya pembaruan tradisi yang tentunya


sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya. Dari satu sisi memang
terjadi kontinuitas, namun di sisi yang lain juga terjadi diskontinuitas dari
bangunan tradisi sebelumnya. Tradisi baru ini umumnya merupakan
“pembaruan pemikiran” yang seringkali berisi sebuah gugatan terhadap
tradisinya sendiri.

Sebagaimana dalam arus pembaruan pemikiran Islam yang lain, post-


tradisionalisme Islam digunakan untuk menyebut gerakan yang memiliki ciri-
ciri tertentu, yang secara kategorial tidak bisa disebut modernis, neo-
modernis, dan tidak bisa pula disebut tradisionalis, atau neo-tradisionalis
istilah ini memang masih debatable, yakni belum memiliki gambaran
epistemologis yang jelas.

Meski demikian, dapat dikatakan bahwa post-tradisionalisme Islam


merupakan anti tesis dari tradisi itu sendiri, mereka yang berjuang keras
untuk membumikan tradisi di era kekinian berpendapat bahwa tradisi Islam
pada era klasik sudah banyak yang tidak bisa digunakan, untuk tidak
mengatakan sama sekali, sehingga perlu adanya rekontruksi kembali dengan
menentukan sikap secara jelas dalam melihat tradisi Islam yang lebih
kontekstual.

Post-tradisionalisme Islam menjadikan tradisi sebagai basis


epistemologinya, yang ditransformasikan secara meloncat, yakni membentuk
tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya dengan jangkauan yang
sangat jauh untuk memperoleh etos progresif dalam transformasi dirinya.

Tradisi di sini adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita,
yang berasal dari masa lalu, baik itu masa lalu kita (muslim) ataupun masa
lalu orang lain (non muslim). Tradisi ini mencakup: 1) tradisi maknawi, yang
berupa tradisi pemikiran dan budaya; 2) tradisi material, seperti monument
dan benda-benda masa lalu; 3) tradisi kebudayaan, yakni segala sesuatu
yang kita miliki pada masa lalu; 4) tradisi kemanusiaan universal, yaitu segala
sesuatu yang hadir ditengah kita, namun berasal dari masa lalu orang lain.

Sikap kritis terhadap tradisi menjadi sangat penting agar terhindar dari
keterbelengguan dan kekangan orotitas tradisi. Hal itu dilakukan dengan
“mengobyektivisme” dan “merasionalisasi” atas tradisi. Obyektivisme berarti
menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan dirinya sendiri. Sedangkan
merasionalisasi berarti menjadikan tradisi lebih kontektual dengan kondisi
kekinian.

Dua pendekatan tersebut dapat dilihat sebagai sebuah rumusan


pendekonstruksian terhadap tradisi sehingga ia dapat selalu aktual sepanjang
masa. Tradisi dengan demikian tidak melulu berkutat pada masa lalu dengan
segala konservatifnya, tetapi ia selalu kontekstual dalam menetapkan nilai-
nilai instrumental dalam menghadapi tantangan zaman.

Selama ini ada cara pandang yang keliru terhadap teks keagamaan,
dimaana teks menjadi tujuan akhir dan dapat menundukkan semua realitas.
Problem ini semakin rumit jika dikaitkan dengan kenyataan lain bahwa telah
terjadi pembungkaman terhadap berbagai kemungkinan tafsir terhadap
sebuah teks sehingga melahirkan penafsiran tunggal melalui otoritas.
Akibatnya, teks keagamaan yang semula “corpus terbuka” berubah menjadi
“corpus tertutup”. Teks keagamaan harus dilihat sebagai produk sejarah,
karenanya tidak terlepas dari hukum-hukum sejarah.

Dalam konteks kritik terhadap wacana tradisi klasik, teriakan Hasan


Hanafi cukup menarik untuk menembus ironi kesejarahan agama. Ilmu
ketuhanan, baik teologi, fikih, politik, maupun tasawuf tak lebih merupakan
ilmu tentang manusia. Karenanya, ilmu-ilmu tersebut bukan merupakan ilmu
suci, melainkan merupakan ilmu sosial yang dikonstruksi dari nilai-nilai
kemanusiaan dan merefleksikan berbagai peristiwa dan konflik dalam
masyarakat.
Dalam konteks demikian, ijtihad kalangan post-tradisionalisme Islam
mesti disikapi dengan arif. Apa yang dicoba tawarkan kalangan postra Islam,
merupakan “vitamin” yang dapat meningkatkan kadar dinamika pemikiran
Islam yang hingga tahapan tertentu telah mengalami stagnasi, hingga
akhirnya pemikiran-pemikiran mereka yang terkadang “subversif” itu tidak
disikapi dengan bantahan secara apologis, apalagi sampai menuduh kafir dan
halal darahnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka akan terjadi proses
pemiskinan dan akhirnya stagnasi intelektual.

Dengan melihat gagasan-gagasan post-tradisionalisme Islam


sebagaimana diajukan di atas, maka sangat jelas dibutuhkan restrukturisasi
paradigma filosofis dalam tradisi keislaman yang berlangsung sejak dulu
hingga kini. Proyek pembaruan pemikiran Islam yang didengungkan oleh
kalangan post-tradisionalisme Islam, sampai batas tertentu, jelas merupakan
masukan terhadap dekonstruksi-rekonstruksi tradisi Islam klasik.

2. Jihad
Jihad adalah bentuk islam mashdar dari kata jahad-yujahidu-jihadan
mujahada. Dalam tradisi fiqh terjadi ortodoksi dan penyempitan makna.
Menurut Moh. Guntur Romli dan A. Fawaid Sjadzili makna jihad berada dalam
arti perang. Pada umumnya kebanyakan kitab fiqh yang membahas tentang
jihad akan berkisar pada perang dan harta rampasan perang. Menurut
bahasa Arab jihad adalah sighat mashdar dari Lafal Al-Jahd berarti al-
Masyaqqah (kesulitan) sementara Al-Juhd berarti al-taqah (kemampuan,
kekuatan). Secara etimologi, makna jihad adalah kesungguhan dalam
mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai tujuan. Sedangkan Secara
terminologi jihad memiliki makna makro dan mikro. Pengertian secara makro
mengandung makna yang luas yang tidak hanya diartikan perang dengan
fisik, tetapi juga mencakup perjuangan non-fisik seperti melawan hawa nafsu.
Sedangkan pengertian jihad secara mikro jihad hanya diartikan peperangan
saja. Menurut Al-Raghib al Asfahani, jihad secara makro yakni berjuang
melawan musuh yang dengan terang-terangan menyerang, berjuang
menghadapi setan, serta berjuang melawan hawa nafsu. Jihad tidak hanya
diartikan perang saja, karena ada pula jihad non-perang (damai) yang juga
diakui dalam syariat Islam. Maka definisi jihad yang dapat mencakup
keduanya yaitu kesungguhan dalam mengerahkan segala kemampuan baik
dalam peperangan perkataan maupun dalam melakukan segala sesuatu yang
disanggupi. 1 Salih Ibn Abdullah Al-Fauzan menyebarkan 5 sasaran jihad,
yaitu :
1. Jihad melawan hawa nafsu, meliputi pengendalian diri dalam menjalankan
perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
2. Berjihad melawan setan yang merupakan musuh bagi umat manusia,
karena setan memiliki komitmen untuk menggoda dan memalingkan manusia
agar berbuat keji.
3. Jihad menghadapi orang-orang yang suka berbuat maksiat (orang-orang
yang durhaka) dan orang-orang yang menyimpang dari kalangan orang-orang
mukmin.
4. Jihad melawan orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang berpura-pura
masuk Islam dan beriman tetapi hati mereka sebenarnya masih mengingkari
Allah dan kerasulan Muhammad SAW.
5. Jihad melawan orang-orang kafir untuk menghadapi mereka digunakan
metode perang.

Pengertian jihad secara khusus menurut Muhammad Sa‟id Ramadan


al Buti, yaitu meliputi perjuangan dan upaya yang dilakukan pada masa Nabi
Muhammad SAW. Menurutnya, jihad adalah berdakwah mengajak kaum
muslim atau musyrik kepada jalan Allah. Menurut Depag RI jihad berarti
berperang untuk menegakkan Islam dan melindungi orang-orang Islam,
memerangi hawa nafsu, mendermakan harta benda untuk kebaikan umat
Islam dan memberantas yang batil dan menegakkan yang hak. Dalam Al
Qur‟an, “Berapa banyaknya Nabi yang berperang bersamanya kaum Rabbani
yang banyak. Mereka tidak menjadi gentar karena berbagai cobaan yang
menimpanya di jalan Allah; dan tidak pula mereka menjadi lemah dan
menyerah. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersabar.” (Ali Imran: 146).
Dalam riwayat diceritakan. Ada seorang Nabi yang berperang
memimpin Ummatnya menghadapi orang-orang kafir. Sebelum musuh
dikalahkan, ternyata matahari hampir terbenam. Padahal dalam aturan
perang waktu itu, kalau matahari sudah terbenam, seluruh peperangan harus
dihentikan. Maka Nabi itu segera memerintahkan matahari berhenti berputar.
Dia meminta matahari tidak terbenam dulu, sampai dia dan pasukannya
berhasil mengalahkan musuh. Kedudukan JIHAD bersifat suci, luhur, mulia.
Keberadaannya dibatasi oleh adab-adab Syariat. Misalnya, dalam
peperangan melawan orang-orang kafir, pasukan Islam tidak boleh
menghancurkan rumah-rumah ibadah, tidak boleh menghancurkan ternak,
tanam-tanaman, tidak boleh menganiaya orangtua, anak anak, dan kaum
wanita. Tidak boleh mengejar musuh yang melarikan diri, tidak boleh
membunuh tentara yang menyerah, berperang sesuai kesepakatan dengan
musuh, dll. Hal ini menjadi bukti nyata, bahwa JIHAD bukan urusan
“kacangan” yang bisa dilakukan sesuka hati. Ia benar-benar dibingkai dengan
adab yang luhur.

Bentuk-bentuk Jihad
Secara semantis, term jihad mengandung arti yang sangat luas. Objek,
macam atau bentuknya dalam Al-Qur‟an diungkapkan secara variatif. Dilihat
dari keluasan arti tersebut, term jihad bisa dikelompokkan kepada term
agama yang berdimensi ibadah, dakwah, politik (hukum), teologi dan tasawuf.
Secara periodik, muatan term ini mengalami proses dinamika yang selalu
relevan dengan perkembangan peradaban manusia. Jihad yang dibutuhkan
sesuai tuntutan ruang dan waktu. Untuk melihat keluasan arti jihad dalam Al-
Qur‟an, berikut ini akan dikemukakan bentuk-bentuk jihad dalam Al-Qur‟an.

1. Jihad dengan Al-Qur’an ( Al-jihad bi al-Qur’an )


Salah satu fungsi Al-Qur‟an adalah sebagai peringatan. Fungsi ini untuk
pertama kalinya menjadi tanggung jawab Rasulullah Saw sebagai penerima
pertama wahyu Al-Qur‟an, baru kemudian menjadi tanggung jawab setiap
orang islam. Di samping diangkat sebagai Rasul penerima wahyu, ia juga
berperan sebagai pemberi peringatan kepada umat manusia, baik terhadap
orang kafir maupun orang Islam. Dengan demikian, baik Al-Qur‟an maupun
Rasulullah Saw kedua duanya berfungsi sebagai pemberi peringatan. Fungsi
ini kemudian sangat penting untuk diperjuangkan dalam kehidupan
beragama. Oleh karena itu, upaya mensosialisasikannya dianggap sebagai
jihad.

2. Jihad dengan Harta ( Al-jihad bi al-amwal )


Perintah jihad dengan harta dalam Al-Qur‟an melalui ayat-ayat tentang jihad
tidak dijelaskan secara langsung ke dalam bentuk konkretnya. Al-Qur‟an
hanya menegaskan, berjihadlah dengan harta di jalan Allah SWT ( wajahidu
bi amwalikum fi sabilillah ). Dalam kaitan jihad dengan harta ini, Al-Qur;an
melalui ayat-ayat tentang jihad hanya menyuruh dan menggambarkan orang-
orang yang berjihad dengan harta, tidak menjelaskan secara langsung
bentuk-bentuknya. Perintinya dalam Al-Qur‟an selalu mendahului jihad
dengan jiwa (al-jihad bi annafs).

3. Jihad dengan Jiwa Raga ( al-jihad bi an-nafs )


Penyertaan term al-jihad dengan term an-nafs terulang sebanyak 8 kali
dengan semuanya terdapat dalam kelompok ayat Madaniyah. Penggabungan
atau penyertaan kedua term ini atas dapat dipahami sebagai salah satu
bentuk jihad dalam Al-Qur‟an yaitu jihad dengan menggunakan jiwa raga (al-
jihad an-nafs).

3. Teror
Sering kita jumpai berbagai wacana tentang terorisme, baik yang
berskala regional maupun internasional. Namun hingga kini untuk
merumuskan suatu definisi tentang terorisme sendiri sangatlah sulit. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan cara pandang dari setiap individu maupun
kelompok2 dalam memahami dan menyikapi suatu tindakan teror. Misalnya
mengenai pemahaman tentang istilah tindakan kekerasan. Satu pihak
berpendapat bahwa semua tindakan kekerasan bisa dikategorikan sebagai
aksi terorisme namun ada pengelompokan (menurut Al-Juhani dan Izzuddin).
Sedangkan pihak yang lain menanggapi bahwa tidak semua tindakan
kekerasan dapat dikategorikan sebagai aksi terorisme (menurut Azyumardi
Azra). Terlepas dari kesulitan-kesulitan mendefinisikan terorisme, terdapat
sejumlah definisi antara lain :
Secara etimologis, terorisme memliki beberapa pengertian, yakni :
1. Sikap menakut-nakuti.
2. Penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk tujuan-tujuan politik.
3. Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha
mencapai tujuan, praktek-praktek tindakan teror.
4. Setiap tindakan yang menimbulkan suasana ketakutan dan keputusasaan.

Adapun definisi terorisme secara terminologis yang disimpulkan dari


pendapat para ahli dalah setiap tindakan atau ancaman yang dapat
mengganggu keamanan orang banyak baik jiwa, harta, maupun
kemerdekaannya yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun negara.

Jenis-jenis terorisme
Teror dalam arti menakuti memiliki banyak jenis dan tingkatan. Di antaranya
ada yang sudah disepakati dan ada pula yang masih diperdebatkan. Di sini,
kami akan lebih berusaha dalam menggarisbawahinya.
1. Teror Sipil (Irhab Madaniy)
Termasuk teror yang disepakati, yang hampir tidak ditentang oleh seorang
pun serta oleh semua syariat dan konstitusi adalah teror sipil.4 Ini adalah
teror yang mengancam hidup dan kehidupan sipil dan sosial melalui
kelompok kelompok kriminal. Inilah yang dilakukan oleh para perampok dan
sejenisnya, yang merampas harta, menumpahkan darah, dan bertindak
sesuka hati terhadap orang-orang dan harta milik mereka dengan kekuatan
bersenjata.

2. Teror Penjajahan
Jenis teror paling menonjol yang kita saksikan di dunia hingga sekarang
adalah teror penjajahan. Yang dimaksud teror penjajahan adalah upaya
sebuah negara untuk menguasai negara lain melalui kekuasaan keji untuk
menduduki tanahnya, dan sebuah kekuasaa menundukkan bangsanya
maupun negarahnya dan bertindak sewenang-wenang terhadap penentuan
nasibnya. Seringkali kita menemukan negara yang mengalami penjajahan
melakukan perlawanan dengan perlengkapan yang terbatas, sehingga
ditindas oleh “kekuatan colonial” yang lebih unggul. Mereka menumpas
dengan kejam tanpa peduli, dan memaksa penduduk asli negara itu agar
tunduk dan menyerah

3. Teror Negara
Teror yang tercela menurut syariat dan hukum positif serta agama dan moral
adaah teror negara kepada warganya atau keada sekelompok dari mereka
yang berbeda ras, agama, madzhab, politik5 atau yang lainnya, dan
menggunakan kekuatan materiilnya militer dan tentara yang dimiliki untuk
mengekang dan membungkam para penentangnya, atau kadanng-kadang
melakukan pemusnahan atau pembersihan, baik seluruhnya maupun
sebagian. Ini adalah contoh dahlu yang dikenal sejarah sejak zaman dahulu
dan masih berlangsung di tengah manusia hingga sekarang.

4. Teror Internasional
Pada masa sekarang kita melihat jenis teror yang lain yang kadang lebih
berbahaya daripada semua jenis teror yang ada, yaitu yang kita sebut dengan
“Teror Internasional” karena dilakukan dalam skala internasional, oleh semua
negara. Itulah teror yang dilakukan oleh Amerika Serikat sekarang atas
negaranegara di Timur dan Barat. Amerika Serikat ingin memaksa seluruh
dunia agar berjalan mengikuti langkahnya, tunduk pada keinginan politiknya,
memusuhi siapa saja yang memusuhinya, memandang baik apa yang
dipandangnya baik.
Anehnya teror terbuka seperti ini dilakukan dengan dalih perang melawan
teror. Lalu apa teror itu Menurut mereka teror adalah apapun yang dipandang
oleh Amerika Serikat sebagai teror. Slogan yang didengung-dengungkan oleh
Amerika Serikat dan dipegang seluruh dunia adalah “siapa saja yang
melawan kami berarti mereka teroris”.

5. Teror Politik
Teror politik yaitu teror dalam menghadapi sistem politik yang berkuasa. Teror
ini berupa tindakan keras terhadap pemerintah ata salah seorang pejabatnya
atau salah satu lembaganya dengan memberikan tekanan guna mewujudkan
tuntutan tertentu, seperti pembebasan tawanan atau tahanan, pengusiran dari
tanah yang dijajah, atau penolakan pembayaran tebusan untuk
membebaskan tawanan. Menurut tujuan dan caranya, teror politik dibagi 2:
a) Teror Legal
Dalam kasus pertama tujuan dan cara yang legal teror tersebut bukan
dilarang, dan tidak sepantasnya disebut teror.
Diantara hal-hal yang tidak diperdebatkan adalah bahwa pembelaan tanah air
dalam melawan agresor penjajah merupakan perkara legal bagi penduduk
negara itu, dan tidak diingkari baik oleh syariat, hukum positif, maupun
konvensi internasional dalam bidangnya . Termasuk dalam jenis ini adalah
perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan tanah air mereka: para
pemukim Israel, baik laki-laki maupun perempuan serta penawanan atau
penculikan terhadap tentara Zionis untuk pembebasan tahanan atau tawanan
dari rakyat Palestina, atau untuk mengusir pendudukan dan militernya dari
tanah air.

b) Teror Ilegal
Adalah teror yang tujuan dan caranya tidak sah. Teror ini diharamkan dan
merupakan kemungkaran olehnhya . Contohnya adalah penculikan hakim,
jaksa, dan pejabat yang dilakukan oleh kelompok-kelompok mafia di Eropa
dan lain-lain untuk memaksakan tuntutan-tuntutan tertentu, seperti
pembebasan anggota kelompok mereka dan lain-lain yang tidak diragukan
keilegalannya. Maka tujuan dan cara mereka ini tentu saja tidak sah
menurutnya. Jenis teror seperti ini tidak diakui oleh agama, moral, adat dan
hukum manapun, dan menyebabkan ketidaknyamanan bagi kehidupan
manusia. Termasuk jenis ini adalah teror Zionis, yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi teror Zionis: Al-Hajanah, Argon, dan lain-lain.
Adapun jika tujuannya legal sedangkan caranya tidak legal, itupun teror yang
tidak dapat dibenarkan karena islam tidak mengakui prinsip “Tujuan
membenarkan cara”, dan tidak menerima pencapaian tujuan yang mulia
dengan cara yang tidak bersih.
BAB III
KESIMPULAN

Secara etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab. Berasal dari kata
salima yang berarti selamat sentosa. Kata kontemporer yang berasal dari
kata “co” yang artinya bersama dan “tempo” yaitu waktu. Jadi menurut
kata, kontemporer adalah waktu bersamaan. Secara umum, kontemporer
artinya, kekinian, modern, atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang sama
dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini. Maka, islam kontemporer
adalah islam yang pada masa modern atau masa kini.

Modernisme secara etimologi berasal dari kata “modern”. Muncul dari


kata “modernus” (latin) yang artinya sekarang. Merupakan tatacara hubungan
manusia dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Hassan Hanafi, tulang
punggung modernisme ialah rasionalisme, kebebasan demokrasi, pencerah-
an, dan humanisme.

Berdasarkan asal usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa


Inggris yang artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern.
Post-modernisme merupakan suatu kondisi atau keadaan. Menitik beratkan
perhatiannya pada perubahan dalam bidang seni, ekonomi, politik, dan
kultural. 

Islam Liberal, disebut dengan istilah liberal, secara harfiah


mempunyai arti “bebas dari batasan” karena liberalisme menawarkan konsep
kehidupan yang bebas dari aturan dan pengawasan geraja dan raja. Kata
liberlisme barasal dari bahasa latin yaitu liber yang memiliki arti bebas atau
merdeka.

Cara Menyikapi Islam Liberal


Prinsip-prinsip dasar yang dimaksud yakni:

•    Prinsip pertama; Kita meyakini dengan sepenuh hati dan seyakin-
yakinnya, bahwa hanya Allah yang berhak kita sembah. Dia tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak ada sesuatu apa pun yang
menyerupai-Nya.

•    Prinsip ke-dua ; Kita yakini, bahwa satu-satunya jalan keselamatan


yang dapat mengantarkan kita kepada keridhaan Allah adalah
menempuh jalan hidup di atas ajaran Islam yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad, Shalallaahu alaihi wasalam .
•    Prinsip ke-tiga; Kita yakin dengan sepenuh hati, bahwa Islam telah
mewakili dan sekaligus menghapus (muhaiminan `alaih) agama-agama
yang pernah diturunkan Allah sebelumnya.
•    Prinsip ke-empat ; Kita wajib mengafirkan mereka (nonmuslim) atau
menyebut mereka sebagai orang kafir.
•    Prinsip ke-lima ; Kita tidak boleh melakukan tindakan tidak beradab,
anarkisme, pembunuhan, perusakan dan kekerasan terhadap siapa pun,
terhadap orang muslim ataupun orang kafir.

Perbedaan Islam Kultural dan Struktural


“Islam Kultural”. Islam Kultural adalah Islam sebagaimana terdapat
dalam Al-quran dan Hadist. Namun pemahaman, penghayatan, dan
prakteknya dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan orang yang
memahaminya.
Islam struktural merupakan salah satu metode dakwah dalam
mensyiarkan agama Islam. Islam struktural bukan merupakan sebuah bentuk
perlawan dari Islam kulktural. Metode struktural lebih menggunakan cara-cara
yang terkoordinasi dengan baik dalam melakukan syiar Islam.

Perbedaan Post Tradisionalisme Islam, Jihad dan Teror


Post Tradisionalisme dapat dikatakan bahwa post-tradisionalisme Islam
merupakan anti tesis dari tradisi itu sendiri, mereka yang berjuang keras
untuk membumikan tradisi di era kekinian berpendapat bahwa tradisi Islam
pada era klasik sudah banyak yang tidak bisa digunakan, untuk tidak
mengatakan sama sekali, sehingga perlu adanya rekontruksi kembali dengan
menentukan sikap secara jelas dalam melihat tradisi Islam yang lebih
kontekstual.
Jihad
Menurut Al-Raghib al Asfahani, jihad secara makro yakni berjuang melawan
musuh yang dengan terang-terangan menyerang, berjuang menghadapi
setan, serta berjuang melawan hawa nafsu. Jihad tidak hanya diartikan
perang saja, karena ada pula jihad non-perang (damai) yang juga diakui
dalam syariat Islam. Maka definisi jihad yang dapat mencakup keduanya yaitu
kesungguhan dalam mengerahkan segala kemampuan baik dalam
peperangan perkataan maupun dalam melakukan segala sesuatu yang
disanggupi.
Teror
Secara etimologis, terorisme memliki beberapa pengertian, yakni :
1. Sikap menakut-nakuti.
2. Penggunaan kekerasan dan intimidasi, terutama untuk tujuan-tujuan politik.
3. Penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha
mencapai tujuan, praktek-praktek tindakan teror.
4. Setiap tindakan yang menimbulkan suasana ketakutan dan keputusasaan.
Adapun definisi terorisme secara terminologis yang disimpulkan dari
pendapat para ahli dalah setiap tindakan atau ancaman yang dapat
mengganggu keamanan orang banyak baik jiwa, harta, maupun
kemerdekaannya yang dilakukan oleh perorangan, kelompok ataupun negara.
Daftar Pustaka

 https://www.academia.edu/45135353/
Makalah_MSI_kelompok_13_Dinamika_Islam_Kontemporer
 https://www.bladjar.com/perbedaan-modernisme-dan-
postmodernisme/
 https://analisadaily.com/berita/arsip/2016/6/4/241612/modernisme-
dan-postmodernisme/
 https://irfanotes.wordpress.com/2013/02/27/islam-struktural-dan-
islam-kultural-sebuah-pendekatan-dakwah/
 https://www.studocu.com/id/document/universitas-mulawarman/
pendidikan-agama-islam/post-tradisionalisme-islam/46506438

Anda mungkin juga menyukai