Anda di halaman 1dari 20

DINAMIKA ISLAM KONTEMPORER

Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metode Studi Islam

Dosen Pengampu : Dra. Beti Susilawati, S. Kom., M.Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 11

1. M. Chairul Fadhli (2311010277)

2. Silvanni Maulida (2311010136)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2024/2025
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas semua
kehendak-Nya kami berhasil menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu
yang berjudul “Dinamika Islam Kontemporer”. Semoga pembuatan makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan
pengetahuannya. Dalam pembuatan makalah ini, tentunya tidak terlepas dari
bantuan beberapa pihak. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih kepada :

1. Dra. Beti Susilwati, S.Kom., M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah.

2. Orang tua dan teman-teman yang telah membantu dan mendukung kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini apabila terdapat banyak kekurangan dan


kesalahan, kami meminta maaf yang sebesarnya-besarnya sehingga sangat
diperlukannya saran dan kritikan yang membangun untuk menjadi lebih baik dalam
perbaikan makalah.

Bandar Lampung, 05 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


KATA PENGANTAR .......................................................................................ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................iii


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Post-modernisme dan Modernisme Islam ........................................ 3

B. Islam Liberal .................................................................................... 5

C. Islam Kultural dan Islam Struktural ................................................. 6

D. Post-tradisionalisme Islam, Jihad, dan Teror................................... 7

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ..................................................................................... 13
B. Saran ................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika Islam kontemporer umumnya ditandai dengan lahirnya suatu
kesadaran baru atas keberadaan tradisi di satu sisi dan keberadaan modernitas di
sisi yang lain, serta bagaimana sebaiknya memandang keduanya. Maka “tradisi dan
modernitas” (al-turâts wa alhadâtsah) merupakan isu pokok dalam Dinamika Islam
kontemporer.1 Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu
dipengaruhi oleh konfigurasi politik penguasa. Artinya, ada pemikiran dan gerakan
menjadi “mahzab” penguasa dan sebaliknya, ada yang dilarang, bahkan dibrangus
demi menjaga “stabilitas”.

Dinamika dan gerakan islam di Indonesia sangat menarik karena ada sejumlah
paradoks dan gesekan yang cukup tajam, terutama pasca reformasi sehingga dengan
bergulingnya era reformasi dibutuhkan pembacaan terhadap pemikiran dan gerakan
ulang di Indonesia. Hal ini karena berbagai pemikiran dan gerakan islam yang
semula terbungkam oleh kekuatan Orde Baru kembali muncul dan berusaha
membangkitkan romantisme masa lalu.

Dari sinilah, muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan islam, baik islam
politik maupun islam kultural sehingga membentuk varian yang sangat beragam.
Berbagai varian pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia sebenarnya dapat
ditelusuri akar-akarnya sangat jelas sehingga dapat dipetakan menjadi dua arus
pemikiran yang sangat dominan, yaitu literalisme dan liberalisme. Pemahaman
islam literal dan gejala fundamentalisme islam cenderung menafikan pluralisme
pemahaman keagamaan dan pluralisme agama.2

Krisis pemikiran keislaman yang orisinal demikian bukan khas Indonesia, tapi
problem dunia Islam secara umum. Kondisi tersebut antara lain disebabkan karena
dominasi pandangan “ tradisional-konservatif” islam yang hampir dalam semua

1
Marwan, N. (2016). Metodologi Studi Islam. Pekanbaru: Cahaya Firdaus.
2
Fridiyanto, F. (2020). DINAMIKA SOSIAL PESANTREN DI INDONESIA. Al Mashaadir :
Jurnal Ilmu Syariah, 1.

1
segi-segi pemikiran Islam. Munculnya gerakan – gerakan seperti Post-Modernisme
dan Neo-Modernisme Islam, Islam Liberal, Islam Kultural, Post-Tradisionalisme
Islam, menunjukkan adanya keberagaman dalam pemikiran para cendekiawan
muslim baik yang tradisonal maupun modern/ kontemporer. Inilah dinamika dalam
Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan bijaksana.3

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:
1. Apa yang dimaksud post-modernisme dan modernisme islam?
2. Apa yang dimaksud islam liberal?
3. Apa yang dimaksud islam kultural dan islam struktural?
4. Apa yang dimaksud postradionalisme Islam, jihad dan teror?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut:


1. Untuk mengetahui definisi post-modernisme dan modernisme islam.
2. Untuk mengetahui definisi islam liberal.
3. Untuk mengetahui definisi islam kultural dan islam struktural.
4. Untuk mengetahui definisi postradionalisme islam, jihad dan teror.

3
Ibda, H. (2017). RELASI NILAI NASIONALISME DAN KONSEP HUBBUL WATHAN
MINAL IMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM. International Journal Ihya’ ’Ulum Al-Din., 19.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Post-modernisme dan Modernisme Islam

1. Modernisme Islam

Istilah "modern" berasal dari bahasa Latin "modo”, yang berarti kini just now.
Meskipun telah muncul pada akhir abad ke-5, digunakan untuk membedakan
keadaan orang Kristen dan orang Romawi dari masa pagan yang telah lewat, istilah
modern lebih digunakan untuk menunjuk periode sejarah setelah abad pertengahan,
yaitu dari tahun 1450 sampai sekarang. Dari istilah-istilah "modern”, sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, lahir istilah lain, seperti "modernisme", "modernitas”,
dan "modernisasi”. Meskipun istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda-beda
karena berasal dari akar kata yang sama, pengertian yang dikandungnya tidak dapat
lepas dari akar kata yang dimaksud, yaitu "modern”. 4

Istilah "modernisme" misalnya, oleh Ahmed dengan merujuk pada Oxford


English Dictionary, didefinisikan sebagai "pandangan atau metode modern,
khususnya kecenderungan untuk menyesuaikan tradisi, dalam masalah agama, agar
harmonis dengan pemikiran modern. Modernisme diartikan sebagai fase terkini
sejarah dunia yang ditandai dengan percaya pada sains, perencanaan, sekularisme,
dan kemajuan. Keinginan untuk simetri dan tertib, keinginan akan keseimbangan
dan otoritas, juga menjadi karakter modernisme. Periode ini ditandai oleh ke-
yakinannya terhadap masa depan, sebuah keyakinan bahwa utopia dapat dicapai,
bahwa ada sebuah tata dunia yang mungkin. Mesin, proyek industri besar, besi,
baja, dan listrik, semua itu dianggap dapat digunakan manusia untuk mencapai
tujuan ini. Gerakan menuju industrialisasi dan kepercayaan pada yang fisik,
membentuk ideologi yang menekankan materialisme sebagai pola hidup.
Sementara modernitas dipahami sebagai efek dari modernisasi.5

Di Indonesia, modernisasi direspons positif oleh Nurcholish Madjid.


Menurutnya, modemisasi identik atau hampir identik dengan rasionalisasi.

4
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
5
Sholihan. (2008). Modernitas dan Postmodernitas Agama. Semarang: Walisongo Pers.

3
Modernisasi melibatkan proses pemeriksaan secara saksama pemikiran serta pola
aksi lama yang tidak rasional, dan menggantikannya dengan pemikiran dan pola
aksi baru yang rasional. 6

2. Post-modernisme/Neomodernisme

Setelah modernisme tampil dalam sejarah sebagai kekuatan progresif yang


menjanjikan pembebasan manusia dari belenggu keterbelakangan dan irasionalitas.
Beberapa dekade terakhir ini, "proyek" modemisme yang hebat itu digugat oleh
gerakan yang kemudian dikenal dengan "post-modernisme”.

Sebagai gerakan kultural-intelektual, post-modernisme telah muncul pada tahun


1960-an, yang bermula dari bidang seni arsitektur dan merambah ke dalam bidang-
bidang lain, baik sastra, ilmu sosial, gaya hidup, filsafat maupun agama. Gerakan
post-modernisme lahir di Eropa dan menjalar ke Amerika serta ke seluruh dunia
bagai luapan air yang tidak terbendung.

Secara sederhana, post-modernisme atau neomodernisme dapat diartikan


dengan "pemahaman modernisme baru”. Neomodernisme dipergunakan untuk
memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak
beberapa dekade terakhir yang merupakan sintesis, setidaknya upaya sintesis antara
pola pemikiran tradisionalisme dan modernisme. Jelasnya, pola neomodernisme
berusaha menggabungkan dua faktor penting, yaitu modernisme dan
tradisionalisme, sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa keduanya mempunyai
sisi kelemahan. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai
pemikiran yang tegar, bahkan kaku, sedangkan tradisionalisme Islam merasa cukup
kaya dengan berbagai pemikiran klasik Islam, tetapi justru dengan kekayaan itu,
para pendukung pemikiran ini sangat berorientasi pada masa lampau dan sangat
selektif menerima gagasan-gagasan modemisasi.7 Lebih jauh lagi, Post-
modernisme telah melontarkan kritik tajam terhadap wacana modernisme dan

6
Sholihan. (2008). Modernitas dan Postmodernitas Agama. Semarang: Walisongo Pers.

7
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

4
kapitalisme mutakhir, walaupun modernisme menawarkan berbagai impian-impian
yang menggiurkan dunia melalui ciptaan sains dan tekhnologi.8

Dalam studi keislaman, istilah neomodernisme diintroduksir oleh seorang tokoh


gerakan pembaharu Islam asal Pakistan Fazlur Rahman (1988). Adapun gejala
neomodemisme islam di Indonesia menurut G Barton, mula terlihat pada tahun
1970-an yang dimotori oleh genera muda terpelajar. Umumnya, mereka yang
berpendidikan modern, tetapi yang pasti mereka adalah generasi yang sudah matang
pemikirannya dan dibesarkan oleh berbagai pengalaman. Mereka terdiri atas kaum
cerdik yang memiliki pemikiran brillian dan selalu memicu kontroversi. Karena
tema tema yang mereka aktualisasikan cukup mendasar, filosofis, dan bemuansa
sosial, banyak mendapat respons positif.

B. Islam Liberal
1. Pengertian Islam Liberal

(Alismail, 2016) Liberalisme merupakan paham kebebasan, artinya manusia


memiliki kebebasan. Bebas, karena manusia mampu berpikir dan bertindak sesuai
dengan apa yang diinginkan. Prinsip- pinsip liberalisme adalah kebebasan dan
tanggung jawab. Tanpa adanya sikap tanggung jawab, tatanan masyarakat liberal
tidak akan pernah terwujud.9

Pengertian mengenai Islam liberal sebagai arus baru gerakan Islam di Indonesia
mengacu pada penelitian yang dirumuskan oleh Nurkhalik Ridwan mengenal Islam
liberal progresit. Menurut Ridwan (1998), Islam liberal dapat dirumuskan dengan
beberapa hal:
a. Kelompok pembaru Muslim yang memisahkan masalah publik sebagai hal yang
perlu dimusyawarahkan dengan komunitas bangsa, sedangkan masalah praktik
ritual diserahkan pada masing-masing pihak.

8
Farida, I. (2013). Toleransi Antarumat Beragama Masyarakat. KOMUNITAS: International
Journal of Indonesian Society and Culture, 5(1), 14-25.
9
Fachruddin Azmi, M. (2021). Liberalization of Islamic Education. International Journal of
Islamic Education, Research and Multiculturalism (IJIRM), 3(3), 172-183.

5
b. Islam liberal progresif yang berporos pada pandangan bahwa syariat masih perlu
ditafsir ulang, perlu dibedakan Islam sebagai din yang universal dalam cita-cita
etik dan moralnya.
c. Konteks politik, yaitu naiknya neorevivalisme dan fundamentalisme dalam
kontestansi pemikiran dan politik yang berhasil melepaskan diri dari jerat
marginalisme dan melibatkan diri ke dalam pusaran pergulatan politik demokrasi.
d. Konteks kultural, yaitu derasnya arus pemikiran melalui berbagai media.

Adapun gagasan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur bahwa sebuah
pemikiran Islam dapat disebut liberal yaitu: pertama, melawan teokrasi, yaitu ide-
ide yang hendak mendirikan negara Islam. Kedua, mendukung gagasan demokratis.
Ketiga, membela hak-hak perempuan. Keempat, membela hak-hak non-Muslim.
Kelima, membela kebebasan berpikir. Keenam, membela gagasan kemajuan."
Siapa pun yang membela salah satu dari keenam gagasan di atas, maka bolehlah
disebut sebagai penganut gagasan Islam liberal.10 Dengan demikian, gagasan Islam
liberal berusaha memadukan Islam dengan situasi modernitas sebagai sesuatu yang
tidak dapat dielakkan, sehingga Islam tetap mampu menjawab perubahan sosial
yang secara terus-menerus terjadi. Islam harus tetap menjadi pengawal menuju
realitas kesejarahan yang hakiki di tengah pergolakan situasi modernitas dan era
globalisasi.

2. Munculnya Islam Liberal

Kemunculan istilah Islam liberal, menurut Luthfi, mulai dipopulerkan pada


tahun 1950-an. Akan tetapi, berkembang pesat, terutama di Indonesia pada tahun
1980-an, yaitu oleh tokoh utama dan sumber rujukan utama komunitas atau jaringan
Islam liberal, Nurcholish Madjid.

Oleh karena itu, Islam liberal sebenarnya tidak berbeda dengan gagasan-gagasan
Islam yang dikembangkan oleh Nurcholiss Madjid dan kelompoknya, yaitu
kelompok Islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara
formal oleh negara). Kelompok yang giat perjuangan sekularisasi, emansipasi
wanita, menyamarkan agama Islam dengan agama lain (pluralisme teologis),
memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.

10
Zuhdi, M. (2017). Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya. Religia, 15(2).

6
C. Islam Kultural dan Islam Struktural

1. Islam Kultural

Kata kultural berasal dari bahasa Inggris, culture yang berarti kesopanan,
kebudayaan, dan pemeliharaan. Teori lain mengatakan bahwa culture berasal dari
bahasa Latin cultura, yang artinya memelihara atau mengerjakan, mengolah.
Munculnya Islam kultural agak mudah dimengerti apabila kita memerhatikan ruang
lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup masalah seagamaan, seperti
teologi, ibadah, dan akhlak, tetapi juga mencakup nasalah keduniaan, seperti
masalah perekonomian, pertahanan keamanan dan lain-lain. Jika pada aspek
keagamaan peran Allah SWT dan Rasul yang dominan, pada aspek keduniaan,
peran manusialah yang paling dominan.

Islam kultural mengalami pengembangan pengertian dari yang kemukakan di


atas. Islam kultural selanjutnya muncul dalam bentuk sikap yang lebih
menunjukkan inklusivitas, yaitu sikap yang tidak mempermasalahkan bentuk atau
simbol dari pengamalan agama, tetapi lebih mementingkan tujuan dan misi
pengamalan tersebut. Dalam hubungannya ini, kita menjumpai ajaran tentang zikir
yang mewujud alam menyebut nama Allah sekian ratus kali dengan menggunakan
alat semacam tasbih, batu, memasang tulisan kaligrafi pada dinding rumahan
sebagainya.

2. Islam Struktural

Dari istilah-istilah "struktural”, sebagaimana yang telah disebutkan dalam lahir


istilah lain, yaitu strukturalisme. Strukturalisme adalah paham atau pandangan yang
menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan milk struktur yang sama dan
tetap. Dengan kata lain, strukturalisme merupakan gerakan pemikiran filsafat yang
mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai
struktur yang sama tetap.

a. Ciri Strukturalisme

Ciri khas strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan objek melalui
penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat intrinsikmya tidak terikat oleh waktu dan

7
penetapan hubungan antara fakta atau sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek
(hierarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat).

b. Gagasan Strukturalisme

Gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan


studi interdisipliner tentang gejala budaya dan dalam mendekatkan ilmu
kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam, Akan tetapi, introduks metode struktural
dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk
mengangkat strukturalisme pada status system filosofis.

D. Post-tradionalisme Islam, Jihad, dan Teror

1. Hakikat Post-tradionalisme

a. Definisi Post-tradisional

Sebenarnya, sulit untuk merumuskan definisi yang bisa menjelaskan seluruh


kompleksitas post-tradisionalisme. Marzuki Wahid (1986), mendefinisikan post-
tradisionalisme sebagai suatu gerakan melompat tradisi yaitu upaya pembaharuan
tradisi yang merupakan upaya pembaharuan tradisi secara terus-menerus dalam
rangka berdialog dengan modernitas sehingga menghasilkan tradisi baru (new
tradition) yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.11

Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru, post-


tradisionalisme merupakan gerakan yang lahir dengan proses yang panjang dan
berakar pada pemikir pencerahan tempo dulu. Dari geneologi intelektual inilah,
post-tradisionalisme Islam melalu fase fase awal pembentukan hingga perumusan
metodologi dan praksis sosial politik. Fase pertama merupakan fase pembentukan
dan peng ayaan ide, baik dalam pemikiran maupun aksi politik. Pada fase ini
muncul beberapa perdebatan gagasan, seperti nasionalisme, pribumsa sekularisas,
feminisme, hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah asosiyah), dan sebagainya.

11
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

8
b. Perumusan Metodologi Post-tradisional

Perumusan metodologi post-tradisionalisme Islam menghasilkan paradigma


baru pemikiran Islam yang dirumuskan sebagai kritik nalar (naqd al-aql) ataupun
telah kontemporer (qira’ah muashirah) terhadap tradisi. Muhammad Abid Al-Jabir,
Muhammad Arkoun, dan Nashir Hamid Abu Zaid merupakan sederet nama yang
berusaha melakukan konstruksi todologis bagi post-tradisionalisme.

Sebagai gerakan, post-tradisionalisme Islam di Indonesia menjadi konstruksi


intelektualisme yang berpijak dari dinamika budaya lokal Indonesia dan bukan
tekanan dari luar yang berinteraksi secara terbuka dengan berbagai jenis kelompok
masyarakat, seperti buruh, petani, LSM, dan gerakan feminisme, yang kemudian
membawa gerakan ini tidak hanya bersinggungan dengan tradisi Islam, tetapi juga
pemikiran kontemporer, baik dari tradisi liberal, radikal, sosialis Marxia, post-
strukturalis, dan post-modernis juga gerakan feminisme dan civil society.12

c. Pandang Post-tradisional Islam

Post-tradisionalisme Islam berpandangan bahwa sesungguhnya tidak mungkin


melakukan rekonstruksi pemikiran dan kebudayaan dari ruang sejarah yang
kosong. Artinya, betapapun kita bersemangat untuk melampaui zaman yang sering
disebut sebagai kemunduran umat Islam, kita harus mengakui bahwa khazanah
pemikiran dan kebudayaan yang kita muliki adalah kekayaan yang sangat berharga
untuk dikembangkan sebagai try point merumuskan tradisi baru.13

Perlu diketahui, pengertian post-tradisionalisme Islam tentang tradisi berbeda


dengan pemahaman kaum neomodernisme Islam yang membaca tradisi melalui
optik Al-Quran dan hadis yang diadakan transenden, turun dari langit, lengkap, dan
mencakup segala hal. Singkatnya, bukan sebagai bagian dari dinamika sejarah

12
Firmansyah, F. (2021). Kelas Bersama dalam Mewujudkan Nilai-Nilai Moderasi Pendidikan
Islam Melalui Budaya Sekolah Multikultural. Turatsuna : Jurnal Keislaman Dan Pendidikan.
13
Misrawi, Z. (2001). Dari Tradisional Menuju Post-:Tradisional: Geliat Pemikiran Baru Islam
Arab. Tashwirul Afkar, 1321.

9
yang berubah-ubah. Dalam pengertian inilah, kita diperkenalkan dengan kenyataan
tradisi Islam yang historis yang sifatnya membumi.

d. Aliran Post-tradisional Islam

Post-tradisionalisme Islam terbagi dalam tiga (aliran). Pertama, sayap eklektis


(al-qiraah al-intiqalyah). Sayap ini dikehendaki adanya kolaborasi antara
originalitas (al-asalah) dan dernitas (al-murasharah) dalam rangka membangun
"teori analisis dan menyingkap rasionalitas dan irasionalitas dalam tradisi.

Kedua sayap revolusioner (al-giralah at-tatswiniyah). Sayap ini berkehendak


untuk mengajukan proyek pemikiran baru yang mencerminkan revolusi dan
liberalisasi pemikiran keagamaan. Sayap kedua ini sebagaimana diwakili Hasan
Hanafi mengusulkan tiga cara dalam tradisi dan pembaharuan, yaitu menganalisis
pembentukan dan latar belakang tradisi dan mencermati tradisi tersebut berlawanan
dengan kemaslahatan umum.

Ketiga sayap dekonstruktif (al-ghrach at-tafkiyah). Sayap ini berusaha


membongkar tradisi secara komprehensif sehingga menyentuh ranah metodologis.
Sayap ini mengkaji tradisi berdasarkan epistemologi modern, seperti post-
struktualisme dan post-modernisme.14

2. Hakikat Jihad

Islam merupakan agama kedamaian, agama rahmatan l'alamin, dan agama yang
memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada umat nya. Islam mengatur
kehidupan penganutnya mulai dari yang paling urgen sampai pada hal-hal yang
tampak sepele karena ajaran Islam bersifat universal yang masuk ke seluruh sendi
kehidupan umat Islam juga mengatur kehidupan umatnya melalui syariat. Hal
tersebut bertujuan agar kehidupan umat Islam lebih terarah ke jalan yang lurus.

Salah satu dari sekian banyak ajaran Islam yang masuk kategori furuyah adalah
jihad. Jhad secara harfiah berasal dari kata jahoda yang berarti gigih berusaha
dengan sepenuh tenaga, jiwa, dan raga. Lebih lanjut, jihad dalam Istilahnya berarti

14
Misrawi, Z. (2001). Dari Tradisional Menuju Post-:Tradisional: Geliat Pemikiran Baru Islam
Arab. Tashwirul Afkar, 1321.

10
perjuangan yang sungguh-sungguh di jalan Allah SWT. dengan seluruh
kemampuan, baik dengan harta, jiwa, lisan maupun lainnya.

Begitu pentingnya jhad dalam Islam, Nabi Muhammad SAW. bersabda,


"Barang siapa mati, sedang ia tidak pernah berjihad dan tidak mempunyai keinginan
untuk jihad, maka ia mati dalam satu cabang kemunafikan. Bahkan, Al-Qur’an
menyebut kata jihad sebanyak 30 kali. Akan tetapi, kata jihad dalam Al-Qur’an
mengalami perubahan sesuai dengan keadaan dan struktur masyarakat pada saat
awal-awal Islam.

Lebih dari itu, para ulama memberikan tambahan definisi bahwa jihad berasal
dari kata juhd atau jahd. Juhd berarti mengeluarkan tenaga, usaha atau kekuatan,
sedangkan kata jahd berarti kesungguhan dalam bekerja. Ibn Qayim Al-Jauziah
dalam salah satu karyanya, Zad Al-Ma’ad, membagi jihad menjadi empat bagian,
yaitu jihad terhadap nafsu, jihad terhadap setan, jihad terhadap orang kafir, dan
jihad terhadap orang munafik. Kemudian, Imam Raghib Al-fahan, seorang ahli
bahasa Al-Qur’an membagi jihad dalam tiga bagian, yaitu berjuang melawan
musuh nyata berjuang melawan setan, dan berjuang melawan nafsu.15

Dari dua pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan tentang definisi jhad, yaitu
"Menggunakan atau mengeluarkan tenaga daya usaha atau kekuatan untuk melawan
suatu objek tercela yang dapat mengancam keselamatan hidup umat Islam dalam
menegakkan agama Allah SWT”. Kata jihad mempunyai hubungan dengan kata
qital yang disambung dengan frase fisabilillah, yaitu di jalan Allah SWT. Hal ini
menjadi kesaksian bahwa tujuan perang dalam agama Islam hanya untuk
menegakkan agama Allah SWT, bukan untuk keperluan lain. Al-Qur’an menyebut
jihad dan qital yang diringi oleh kalimat fisabilillah sebanyak 50 kali.

Seiring dengan perkembangan zaman, jhad juga mengalami perkembangan


karena kita tidak selalu berjihad di jalan Allah SWT. melalu peperangan untuk
menegakkan agama. Jihad terbagi lagi menjadi dua yaitu jihad asghar dan jihad
akbar. Ahad di medan perang (al-qital) termasuk pada kategori jihad asghar

15
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

11
(perjuangan kecil). Al-Qur’an menetapkan bahwa jihad asghar hanya boleh
dilakukan apabila ada komando dari pemerintah. Hal ini telah berlaku ketika Nabi
berada di Madinah dan mendirikan pemerintahan di sana. Pada zaman Nabi, jenis
jihad ini dilakukan karena umat Islam mendapat tekanan dari orang kafir dan orang
munafik yang nyata-nyata memusuhi Islam.

Lebih lanjut, jihad besar bukanlah jihad di medan perang, melainkan jihad
melawan nafsu (jihad an-nafs) dan itu termaktub pada salah satu sabda Nabi ketika
pulang dari Perang Badk yaitu "Kita kembali dari jihad yang kecil menuju jihad
yang besar, yaitu jihad melawan nafsu Jenis jihad yang kedua adalah jihad melawan
hawa nafsu. Nabi Muhammad SAW diutus ke bumi untuk memperbaiki akhlak
manusia. Oleh karena itu, jihad yang besar adalah memperbaiki akhlak dengan
mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan yang menjerumuskan ke
dalam lembah kehinaan.

Itulah jenis-jenis jihad dalam ruang lingkup permasalahan yang umum. Akan
tetapi, seiring dengan perkembangannya, para ulama memberikan klasifikasi yang
lebih spesifik. Salah satunya adalah jihad melawan godaan setan dan jihad dengan
harta. Atas dasar itulah, Nabi sangat menekankan jihad pada diri setiap Muslim.

Pada hakikatnya, jihad adalah prinsip utama dalam akidah Islam. Islam tersebut
secara harlah berarti berusaha keras, tekun bekerja, berjuang dan mempertahankan.
Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang secara spiritual dan materi dalam
Islam. Kesalehan, pengetahuan kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan
tidak dimungkinkan tanpa jihad, yaitu tanpa kerja keras berkesinambungan dan
tekun. Oleh karena memberikan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut
ilmu menyembuhkan orang yang sakit, menegakkan kebenaran dan keadilan,
bahkan dengan risko pribadi yang besar, semua itu adalah bentuk jihad.16

16
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

12
3. Memahami Terorisme

Dasar flosofis terorisme bertungu pada dua pilar yang fundamental yaitu dasar
ontologis dan dasar epistemologis. Dasar ontologi terorisme adalah keyakinan yang
mutlak fundamental dan merupakan core values (nilai-nilai utama) dari seluruh
gerakan, strategi, dan dasar pembenaran ideologis. Secara ontologis, terorisme
adalah state of affairs, yaitu suat keberadaan peristiwa yang terjadi di tengah-tengah
kehidupan manusia. Keberadaan suatu peristiwa selalu memiliki hubungan
kausalitas antar manusia. Artinya, manusialah yang menjadi penyebab adanya
peristiwa terorisme, bukan agama yang diyakininya, bukan kitab-kitab dan bukan
teks-teks suci. Ringkasnya, hakikat terorisme tertuju pada subjeknya, yaitu
manusia. Para teroris telah mengangkat dirinya tanpa hak sebagai algojo algojo
Tuhan, untuk mencabut nyawa manusia. Tuhan Yang Mahakuasa sama sekali tidak
mungkin memerlukan bantuan manusia untuk menghancurkan alam dan isinya
yang telah diciptakan-Nya.

4. Perbedaan Jihad dengan Terorisme

Menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI), terorisme adalah tindakan kejahatan


terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman terhadap
kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, merugikan
kesejahteraan masyarakat. Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang
diorganisasi dengan baik (well-organized) bersifat transnasional dan digolongkan
sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang tidak membedakan sasaran
(indiscriminative). Menurut Konvensi PBB tahun 1939, terorisme adalah segala
bertuk tindakan kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud
menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau
masyarakat luas.

Dari kedua definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan
(crime) yang mengancam kedaulatan negara (against state/nation), melawan
kemanusiaan (against humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan
kekerasan. Definisi lain menyatakan bahwa: (1) terorisme bukan bagian dari
tindakan perang, sehingga seyogianya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal,
termasuk juga dalam situasi diberlakukannya hukum perang (2) sasaran sipil

13
merupakan sasaran utama terorisme. Dengan demikian, penyerangan terhadap
sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme; (3) meskipun
sering dilakukan untuk menyampaikan tuntutan politik, aksi terorisme tidak dapat
disebut sebagai aksi politik.

Dari uraian tersebut, jelas perbedaan antara terorisme dan jihad. Pertama
terorisme bersifat merusak (ifsad) dan anarkis/chaos (faudha). Kedua, terorisme
bertujuan untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain.
Ketiga, terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sebaliknya, jihad
bersifat perbaikan (islah), sekalipun sebagian dilakukan dengan berperang, Jihad
bertujuan untuk menegakkan agama Allah dan/atau membela hak pihak yang
terzalimi. Jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syariat
dengan sasaran musuh yang sudah jelas.

Oleh karena itu, menurut MUI, hukum melakukan terror secara qath’i adalah
haram, dengan alasan apapun, apalagi jika dilakukan di negeri yang damai (dar ash-
shulh) dan negara muslim seperti Indonesia. Adapun hukum jihad adalah wajib bagi
yang mampu dengan beberapa syarat. Pertama, untuk membela agama dan
menahan agresi musuh yang menyerang terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga
kemaslahatan atau perbaikan, menegakkan agama Allah SWT, dan membela hak-
hak yang terariaya. Ketiga, terikat dengan aturan, seperti musuh yang jelas, tidak
boleh membunuh orang-orang tua renta, perempuan, dan anak-anak yang tidak ikut
berperang.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari uraian singkat di atas adalah:

1. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai pemikiran yang tegar,


bahkan kaku, sedangkan, post-modernisme atau neomodernisme dapat diartikan
dengan "pemahaman modernisme baru”. Neomodernisme dipergunakan untuk
memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak
beberapa dekade terakhir yang merupa kan sintesis, upaya sintesis antara pola
pemikiran tradisionalisme dan nodemisme. Mudahnya, pola neomodemisme
berusaha menggabungkan dua faktor penting, yaitu modernisme dan
tradisionalisme.
2. Islam liberal sebenarnya tidak berbeda dengan gagasan-gagasan Islam yang
dikembangkan oleh Nurcholish Madjid dan kelompoknya, yaitu kelompok Islam
yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal oleh negara).
Kelompok yang giat memperjuangkan sekularisasi, emansipasi wanita,
menyamarkan agama Islam dengan agama lain (pluralisme teologis),
memperjuangkan demokrasi Barat, dan sejenisnya.
3. Pada prinsipnya, Islam kultural muncul dalam bentuk sikap yang lebih
menunjukkan inklusivitas, yaitu sikap yang tidak mempermasalahkan bentuk atau
simbol dari suatu pengamalan agama, tetapi lebih mementingkan tujuan dan misi
dari pengamalan tersebut.
4. Sebagai gerakan yang berhasrat untuk melahirkan tradisi baru, post-tradisionalisme
merupakan gerakan yang lahir dengan proses yang panjang dan berakar pada
pemikir pencerahan tempo dulu. Dengan berjalannya waktu dan berkembangnya
zaman, Islam pun mengalami perkembangan dengan munculnya gerakan-gerakan,
seperti post-modernisme dan neomodernisme Islam, Islam liberal, Islam kultural,
post-tradionalisme Islam, yang menunjukkan adanya perkembangan keberagaman
dalam pemikiran para cendekiawan Muslim, baik yang tradisional maupun
modern/kontemporer. Inilah dinamika dalam Islam yang harus disikapi dengan
inklusif dan bijaksana.

15
C. Saran

Demi kesempurnaan makalah ini, kami mengharapkan masukan dan kritik yang
membangun. Hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
Dinamika Islam Kontemporer, sehingga dapat menjadi rujukan dalam pembuatan
makalah selanjutnya yang lebih sempurna.

16
DAFTAR PUSTAKA

Fachruddin Azmi, M. (2021). Liberalization of Islamic Education. International


Journal of Islamic Education, Research and Multiculturalism (IJIRM), 3(3), 172-
183.
Farida, I. (2013). Toleransi Antarumat Beragama Masyarakat. KOMUNITAS:
International Journal of Indonesian Society and Culture, 5(1), 14-25.
Firmansyah, F. (2021). Kelas Bersama dalam Mewujudkan Nilai-Nilai Moderasi
Pendidikan Islam Melalui Budaya Sekolah Multikultural. Turatsuna :
Jurnal Keislaman Dan Pendidikan.
Fridiyanto, F. (2020). DINAMIKA SOSIAL PESANTREN DI INDONESIA. Al
Mashaadir : Jurnal Ilmu Syariah, 1.
Ibda, H. (2017). RELASI NILAI NASIONALISME DAN KONSEP HUBBUL
WATHAN MINAL IMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM. International
Journal Ihya’ ’Ulum Al-Din., 19.
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Marwan, N. (2016). Metodologi Studi Islam. Pekanbaru: Cahaya Firdaus.
Misrawi, Z. (2001). Dari Tradisional Menuju Post-:Tradisional: Geliat Pemikiran
Baru Islam Arab. Tashwirul Afkar, 1321.
Sholihan. (2008). Modernitas dan Postmodernitas Agama. Semarang: Walisongo
Pers.
Zuhdi, M. (2017). Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya. Religia, 15(2).

17

Anda mungkin juga menyukai