Disusun Oleh :
Kelompok 11
2024/2025
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah Yang Maha Esa, atas semua
kehendak-Nya kami berhasil menyelesaikan tugas makalah dengan tepat waktu
yang berjudul “Dinamika Islam Kontemporer”. Semoga pembuatan makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk menambah wawasan dan
pengetahuannya. Dalam pembuatan makalah ini, tentunya tidak terlepas dari
bantuan beberapa pihak. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih kepada :
1. Dra. Beti Susilwati, S.Kom., M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah.
2. Orang tua dan teman-teman yang telah membantu dan mendukung kami dalam
menyelesaikan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
A. Post-modernisme dan Modernisme Islam ........................................ 3
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika Islam kontemporer umumnya ditandai dengan lahirnya suatu
kesadaran baru atas keberadaan tradisi di satu sisi dan keberadaan modernitas di
sisi yang lain, serta bagaimana sebaiknya memandang keduanya. Maka “tradisi dan
modernitas” (al-turâts wa alhadâtsah) merupakan isu pokok dalam Dinamika Islam
kontemporer.1 Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu
dipengaruhi oleh konfigurasi politik penguasa. Artinya, ada pemikiran dan gerakan
menjadi “mahzab” penguasa dan sebaliknya, ada yang dilarang, bahkan dibrangus
demi menjaga “stabilitas”.
Dinamika dan gerakan islam di Indonesia sangat menarik karena ada sejumlah
paradoks dan gesekan yang cukup tajam, terutama pasca reformasi sehingga dengan
bergulingnya era reformasi dibutuhkan pembacaan terhadap pemikiran dan gerakan
ulang di Indonesia. Hal ini karena berbagai pemikiran dan gerakan islam yang
semula terbungkam oleh kekuatan Orde Baru kembali muncul dan berusaha
membangkitkan romantisme masa lalu.
Dari sinilah, muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan islam, baik islam
politik maupun islam kultural sehingga membentuk varian yang sangat beragam.
Berbagai varian pemikiran dan gerakan keislaman di Indonesia sebenarnya dapat
ditelusuri akar-akarnya sangat jelas sehingga dapat dipetakan menjadi dua arus
pemikiran yang sangat dominan, yaitu literalisme dan liberalisme. Pemahaman
islam literal dan gejala fundamentalisme islam cenderung menafikan pluralisme
pemahaman keagamaan dan pluralisme agama.2
Krisis pemikiran keislaman yang orisinal demikian bukan khas Indonesia, tapi
problem dunia Islam secara umum. Kondisi tersebut antara lain disebabkan karena
dominasi pandangan “ tradisional-konservatif” islam yang hampir dalam semua
1
Marwan, N. (2016). Metodologi Studi Islam. Pekanbaru: Cahaya Firdaus.
2
Fridiyanto, F. (2020). DINAMIKA SOSIAL PESANTREN DI INDONESIA. Al Mashaadir :
Jurnal Ilmu Syariah, 1.
1
segi-segi pemikiran Islam. Munculnya gerakan – gerakan seperti Post-Modernisme
dan Neo-Modernisme Islam, Islam Liberal, Islam Kultural, Post-Tradisionalisme
Islam, menunjukkan adanya keberagaman dalam pemikiran para cendekiawan
muslim baik yang tradisonal maupun modern/ kontemporer. Inilah dinamika dalam
Islam yang harus disikapi dengan inklusif dan bijaksana.3
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:
1. Apa yang dimaksud post-modernisme dan modernisme islam?
2. Apa yang dimaksud islam liberal?
3. Apa yang dimaksud islam kultural dan islam struktural?
4. Apa yang dimaksud postradionalisme Islam, jihad dan teror?
C. Tujuan Penulisan
3
Ibda, H. (2017). RELASI NILAI NASIONALISME DAN KONSEP HUBBUL WATHAN
MINAL IMAN DALAM PENDIDIKAN ISLAM. International Journal Ihya’ ’Ulum Al-Din., 19.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Modernisme Islam
Istilah "modern" berasal dari bahasa Latin "modo”, yang berarti kini just now.
Meskipun telah muncul pada akhir abad ke-5, digunakan untuk membedakan
keadaan orang Kristen dan orang Romawi dari masa pagan yang telah lewat, istilah
modern lebih digunakan untuk menunjuk periode sejarah setelah abad pertengahan,
yaitu dari tahun 1450 sampai sekarang. Dari istilah-istilah "modern”, sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, lahir istilah lain, seperti "modernisme", "modernitas”,
dan "modernisasi”. Meskipun istilah tersebut mempunyai arti yang berbeda-beda
karena berasal dari akar kata yang sama, pengertian yang dikandungnya tidak dapat
lepas dari akar kata yang dimaksud, yaitu "modern”. 4
4
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
5
Sholihan. (2008). Modernitas dan Postmodernitas Agama. Semarang: Walisongo Pers.
3
Modernisasi melibatkan proses pemeriksaan secara saksama pemikiran serta pola
aksi lama yang tidak rasional, dan menggantikannya dengan pemikiran dan pola
aksi baru yang rasional. 6
2. Post-modernisme/Neomodernisme
6
Sholihan. (2008). Modernitas dan Postmodernitas Agama. Semarang: Walisongo Pers.
7
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
4
kapitalisme mutakhir, walaupun modernisme menawarkan berbagai impian-impian
yang menggiurkan dunia melalui ciptaan sains dan tekhnologi.8
B. Islam Liberal
1. Pengertian Islam Liberal
Pengertian mengenai Islam liberal sebagai arus baru gerakan Islam di Indonesia
mengacu pada penelitian yang dirumuskan oleh Nurkhalik Ridwan mengenal Islam
liberal progresit. Menurut Ridwan (1998), Islam liberal dapat dirumuskan dengan
beberapa hal:
a. Kelompok pembaru Muslim yang memisahkan masalah publik sebagai hal yang
perlu dimusyawarahkan dengan komunitas bangsa, sedangkan masalah praktik
ritual diserahkan pada masing-masing pihak.
8
Farida, I. (2013). Toleransi Antarumat Beragama Masyarakat. KOMUNITAS: International
Journal of Indonesian Society and Culture, 5(1), 14-25.
9
Fachruddin Azmi, M. (2021). Liberalization of Islamic Education. International Journal of
Islamic Education, Research and Multiculturalism (IJIRM), 3(3), 172-183.
5
b. Islam liberal progresif yang berporos pada pandangan bahwa syariat masih perlu
ditafsir ulang, perlu dibedakan Islam sebagai din yang universal dalam cita-cita
etik dan moralnya.
c. Konteks politik, yaitu naiknya neorevivalisme dan fundamentalisme dalam
kontestansi pemikiran dan politik yang berhasil melepaskan diri dari jerat
marginalisme dan melibatkan diri ke dalam pusaran pergulatan politik demokrasi.
d. Konteks kultural, yaitu derasnya arus pemikiran melalui berbagai media.
Adapun gagasan yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur bahwa sebuah
pemikiran Islam dapat disebut liberal yaitu: pertama, melawan teokrasi, yaitu ide-
ide yang hendak mendirikan negara Islam. Kedua, mendukung gagasan demokratis.
Ketiga, membela hak-hak perempuan. Keempat, membela hak-hak non-Muslim.
Kelima, membela kebebasan berpikir. Keenam, membela gagasan kemajuan."
Siapa pun yang membela salah satu dari keenam gagasan di atas, maka bolehlah
disebut sebagai penganut gagasan Islam liberal.10 Dengan demikian, gagasan Islam
liberal berusaha memadukan Islam dengan situasi modernitas sebagai sesuatu yang
tidak dapat dielakkan, sehingga Islam tetap mampu menjawab perubahan sosial
yang secara terus-menerus terjadi. Islam harus tetap menjadi pengawal menuju
realitas kesejarahan yang hakiki di tengah pergolakan situasi modernitas dan era
globalisasi.
Oleh karena itu, Islam liberal sebenarnya tidak berbeda dengan gagasan-gagasan
Islam yang dikembangkan oleh Nurcholiss Madjid dan kelompoknya, yaitu
kelompok Islam yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara
formal oleh negara). Kelompok yang giat perjuangan sekularisasi, emansipasi
wanita, menyamarkan agama Islam dengan agama lain (pluralisme teologis),
memperjuangkan demokrasi Barat dan sejenisnya.
10
Zuhdi, M. (2017). Dakwah Dan Dialektika Akulturasi Budaya. Religia, 15(2).
6
C. Islam Kultural dan Islam Struktural
1. Islam Kultural
Kata kultural berasal dari bahasa Inggris, culture yang berarti kesopanan,
kebudayaan, dan pemeliharaan. Teori lain mengatakan bahwa culture berasal dari
bahasa Latin cultura, yang artinya memelihara atau mengerjakan, mengolah.
Munculnya Islam kultural agak mudah dimengerti apabila kita memerhatikan ruang
lingkup ajaran Islam yang tidak hanya mencakup masalah seagamaan, seperti
teologi, ibadah, dan akhlak, tetapi juga mencakup nasalah keduniaan, seperti
masalah perekonomian, pertahanan keamanan dan lain-lain. Jika pada aspek
keagamaan peran Allah SWT dan Rasul yang dominan, pada aspek keduniaan,
peran manusialah yang paling dominan.
2. Islam Struktural
a. Ciri Strukturalisme
Ciri khas strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan objek melalui
penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat intrinsikmya tidak terikat oleh waktu dan
7
penetapan hubungan antara fakta atau sistem tersebut melalui pendidikan.
Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek
(hierarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat).
b. Gagasan Strukturalisme
1. Hakikat Post-tradionalisme
a. Definisi Post-tradisional
11
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
8
b. Perumusan Metodologi Post-tradisional
12
Firmansyah, F. (2021). Kelas Bersama dalam Mewujudkan Nilai-Nilai Moderasi Pendidikan
Islam Melalui Budaya Sekolah Multikultural. Turatsuna : Jurnal Keislaman Dan Pendidikan.
13
Misrawi, Z. (2001). Dari Tradisional Menuju Post-:Tradisional: Geliat Pemikiran Baru Islam
Arab. Tashwirul Afkar, 1321.
9
yang berubah-ubah. Dalam pengertian inilah, kita diperkenalkan dengan kenyataan
tradisi Islam yang historis yang sifatnya membumi.
2. Hakikat Jihad
Islam merupakan agama kedamaian, agama rahmatan l'alamin, dan agama yang
memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada umat nya. Islam mengatur
kehidupan penganutnya mulai dari yang paling urgen sampai pada hal-hal yang
tampak sepele karena ajaran Islam bersifat universal yang masuk ke seluruh sendi
kehidupan umat Islam juga mengatur kehidupan umatnya melalui syariat. Hal
tersebut bertujuan agar kehidupan umat Islam lebih terarah ke jalan yang lurus.
Salah satu dari sekian banyak ajaran Islam yang masuk kategori furuyah adalah
jihad. Jhad secara harfiah berasal dari kata jahoda yang berarti gigih berusaha
dengan sepenuh tenaga, jiwa, dan raga. Lebih lanjut, jihad dalam Istilahnya berarti
14
Misrawi, Z. (2001). Dari Tradisional Menuju Post-:Tradisional: Geliat Pemikiran Baru Islam
Arab. Tashwirul Afkar, 1321.
10
perjuangan yang sungguh-sungguh di jalan Allah SWT. dengan seluruh
kemampuan, baik dengan harta, jiwa, lisan maupun lainnya.
Lebih dari itu, para ulama memberikan tambahan definisi bahwa jihad berasal
dari kata juhd atau jahd. Juhd berarti mengeluarkan tenaga, usaha atau kekuatan,
sedangkan kata jahd berarti kesungguhan dalam bekerja. Ibn Qayim Al-Jauziah
dalam salah satu karyanya, Zad Al-Ma’ad, membagi jihad menjadi empat bagian,
yaitu jihad terhadap nafsu, jihad terhadap setan, jihad terhadap orang kafir, dan
jihad terhadap orang munafik. Kemudian, Imam Raghib Al-fahan, seorang ahli
bahasa Al-Qur’an membagi jihad dalam tiga bagian, yaitu berjuang melawan
musuh nyata berjuang melawan setan, dan berjuang melawan nafsu.15
Dari dua pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan tentang definisi jhad, yaitu
"Menggunakan atau mengeluarkan tenaga daya usaha atau kekuatan untuk melawan
suatu objek tercela yang dapat mengancam keselamatan hidup umat Islam dalam
menegakkan agama Allah SWT”. Kata jihad mempunyai hubungan dengan kata
qital yang disambung dengan frase fisabilillah, yaitu di jalan Allah SWT. Hal ini
menjadi kesaksian bahwa tujuan perang dalam agama Islam hanya untuk
menegakkan agama Allah SWT, bukan untuk keperluan lain. Al-Qur’an menyebut
jihad dan qital yang diringi oleh kalimat fisabilillah sebanyak 50 kali.
15
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
11
(perjuangan kecil). Al-Qur’an menetapkan bahwa jihad asghar hanya boleh
dilakukan apabila ada komando dari pemerintah. Hal ini telah berlaku ketika Nabi
berada di Madinah dan mendirikan pemerintahan di sana. Pada zaman Nabi, jenis
jihad ini dilakukan karena umat Islam mendapat tekanan dari orang kafir dan orang
munafik yang nyata-nyata memusuhi Islam.
Lebih lanjut, jihad besar bukanlah jihad di medan perang, melainkan jihad
melawan nafsu (jihad an-nafs) dan itu termaktub pada salah satu sabda Nabi ketika
pulang dari Perang Badk yaitu "Kita kembali dari jihad yang kecil menuju jihad
yang besar, yaitu jihad melawan nafsu Jenis jihad yang kedua adalah jihad melawan
hawa nafsu. Nabi Muhammad SAW diutus ke bumi untuk memperbaiki akhlak
manusia. Oleh karena itu, jihad yang besar adalah memperbaiki akhlak dengan
mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan yang menjerumuskan ke
dalam lembah kehinaan.
Itulah jenis-jenis jihad dalam ruang lingkup permasalahan yang umum. Akan
tetapi, seiring dengan perkembangannya, para ulama memberikan klasifikasi yang
lebih spesifik. Salah satunya adalah jihad melawan godaan setan dan jihad dengan
harta. Atas dasar itulah, Nabi sangat menekankan jihad pada diri setiap Muslim.
Pada hakikatnya, jihad adalah prinsip utama dalam akidah Islam. Islam tersebut
secara harlah berarti berusaha keras, tekun bekerja, berjuang dan mempertahankan.
Dalam banyak hal, jihad berarti etika kerja yang secara spiritual dan materi dalam
Islam. Kesalehan, pengetahuan kesehatan, keindahan, kebenaran, dan keadilan
tidak dimungkinkan tanpa jihad, yaitu tanpa kerja keras berkesinambungan dan
tekun. Oleh karena memberikan diri dari kesombongan dan kerendahan, menuntut
ilmu menyembuhkan orang yang sakit, menegakkan kebenaran dan keadilan,
bahkan dengan risko pribadi yang besar, semua itu adalah bentuk jihad.16
16
Kodir, K. A. (2020). Metodologi Studi Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
12
3. Memahami Terorisme
Dasar flosofis terorisme bertungu pada dua pilar yang fundamental yaitu dasar
ontologis dan dasar epistemologis. Dasar ontologi terorisme adalah keyakinan yang
mutlak fundamental dan merupakan core values (nilai-nilai utama) dari seluruh
gerakan, strategi, dan dasar pembenaran ideologis. Secara ontologis, terorisme
adalah state of affairs, yaitu suat keberadaan peristiwa yang terjadi di tengah-tengah
kehidupan manusia. Keberadaan suatu peristiwa selalu memiliki hubungan
kausalitas antar manusia. Artinya, manusialah yang menjadi penyebab adanya
peristiwa terorisme, bukan agama yang diyakininya, bukan kitab-kitab dan bukan
teks-teks suci. Ringkasnya, hakikat terorisme tertuju pada subjeknya, yaitu
manusia. Para teroris telah mengangkat dirinya tanpa hak sebagai algojo algojo
Tuhan, untuk mencabut nyawa manusia. Tuhan Yang Mahakuasa sama sekali tidak
mungkin memerlukan bantuan manusia untuk menghancurkan alam dan isinya
yang telah diciptakan-Nya.
Dari kedua definisi tersebut dapat dipahami bahwa terorisme adalah kejahatan
(crime) yang mengancam kedaulatan negara (against state/nation), melawan
kemanusiaan (against humanity) yang dilakukan dengan berbagai bentuk tindakan
kekerasan. Definisi lain menyatakan bahwa: (1) terorisme bukan bagian dari
tindakan perang, sehingga seyogianya tetap dianggap sebagai tindakan kriminal,
termasuk juga dalam situasi diberlakukannya hukum perang (2) sasaran sipil
13
merupakan sasaran utama terorisme. Dengan demikian, penyerangan terhadap
sasaran militer tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan terorisme; (3) meskipun
sering dilakukan untuk menyampaikan tuntutan politik, aksi terorisme tidak dapat
disebut sebagai aksi politik.
Dari uraian tersebut, jelas perbedaan antara terorisme dan jihad. Pertama
terorisme bersifat merusak (ifsad) dan anarkis/chaos (faudha). Kedua, terorisme
bertujuan untuk menciptakan rasa takut dan/atau menghancurkan pihak lain.
Ketiga, terorisme dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Sebaliknya, jihad
bersifat perbaikan (islah), sekalipun sebagian dilakukan dengan berperang, Jihad
bertujuan untuk menegakkan agama Allah dan/atau membela hak pihak yang
terzalimi. Jihad dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syariat
dengan sasaran musuh yang sudah jelas.
Oleh karena itu, menurut MUI, hukum melakukan terror secara qath’i adalah
haram, dengan alasan apapun, apalagi jika dilakukan di negeri yang damai (dar ash-
shulh) dan negara muslim seperti Indonesia. Adapun hukum jihad adalah wajib bagi
yang mampu dengan beberapa syarat. Pertama, untuk membela agama dan
menahan agresi musuh yang menyerang terlebih dahulu. Kedua, untuk menjaga
kemaslahatan atau perbaikan, menegakkan agama Allah SWT, dan membela hak-
hak yang terariaya. Ketiga, terikat dengan aturan, seperti musuh yang jelas, tidak
boleh membunuh orang-orang tua renta, perempuan, dan anak-anak yang tidak ikut
berperang.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
15
C. Saran
Demi kesempurnaan makalah ini, kami mengharapkan masukan dan kritik yang
membangun. Hasil makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
Dinamika Islam Kontemporer, sehingga dapat menjadi rujukan dalam pembuatan
makalah selanjutnya yang lebih sempurna.
16
DAFTAR PUSTAKA
17