MAKALAH
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Dirasah Islamiyah
DOSEN PENGAMPU :
DISUSUN OLEH :
REZA SYARIPUDDIN
2102010005
NURUL MUTHMAINNA
2102010015
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya. Atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis
bisa menyusun dan menyelesaikan makalah tentang “Islam Liberal dan Islam
Tradisional” ini dengan baik dan tepat waktu guna memenuhi tugas mata kuliah
Dirasah Islamiyah.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3
A. Islam Liberal.......................................................................................3
B. Islam Tradisonal (Tradisionalisme)..................................................24
BAB III PENUTUP...............................................................................................30
A. Kesimpulan.......................................................................................30
B. Saran.................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam di Indonesia merupakan Islam terbesar di dunia, itu yang sering kita
dengar dari orang-orang terutama di media. Diantara kelompok Islam di
Indonesia ada yang disebut Islam tradisionalis. Ide tentang paham tradisionalis
buka merupakan hal baru. Di dunia Barat ide tersebut muncul pada abad ke-18
dan 19. Pada masa itu pengertian tradisi cenderung pada bentuk tertentu, seperti:
mitos, legenda, cerita rakyat, hukum adat, sastra lisan dan ritual keagamaan. Lain
halnya dengan dunia Islam, di dunia Islam, ide tersebut telah ada bahkan sebelum
masa pra-Islam. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa Nabi Muhammad saw. di
utus dengan membawa syareat Islam yang beberapa elemennya merupakan tradisi
umat terdahulu, seperti: ibadah shalat, puasa, haji dan banyak lagi ibadah yang
lainnya.1
Namun ide tersebut baru mengemuka sebagai gerakan sosial keagamaan
pada abad ke-20. Kemunculan Islam Tradisionalis merupakan reaksi terhadap
perubahan sosial akibat moderenitas yang cenderung melupakan tradisi Islam
tradisionalis yang dimaksudv dalam konteks ini menurut Zamakhsyari Dhofir,
seperti dikutip oleh Iva Yulianti Umdatul Izzah, adalah muslim yang terikat
dengan kuat oleh pikiran-pikiran ulama ahli fiqh, hadits, tafsir, tauhid dan
tasawuf yang berkembang abad 7 hingga abad 13. Mereka berhasil menghimpun
kekuatan yang besar selain karena pengikutnya yang banyak melebihi Islam
modern juga karena kuatnya solidaritas dan integritas mereka.
Perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia senantiasa menunjukkan
dinamika yang tak pernah berhenti. Hal ini menjadikan pemikiran keagamaan di
Indonesia menjadi objek penyelidikan ilmiah yang menarik. Perkembangan
pemikiran Islam di Indonesia mempunyai keterkaitan dengan dinamika
perkembangan pemikiran keagamaan yang terjadi di dunia Islam secara makro.
Salah satu wacana yang menarik dari kajian pemikiran Islam di Indonesia adalah
1
Asep Mulyaden, “Ideologis Islam Tradisinalis dalam Tafsir”, Jurnal Iman dan
Spritualis, Vol 1 No 2, April-Juni 2021, h.188
1
2
munculnya corak pemikiran Islam baru yang dikenal dengan sebutan Islam
liberal. 2
Meskipun kemunculan Islam liberal bukanlah hal yang baru, tetapi
kemunculannya cukup menghebohkan diskursus pemikiran keislaman di berbagai
belahan dunia. Kehadiran pemikiran Islam liberal ini telah menimbulkan pro dan
kontra dalam kalangan pemerhati pemikiran keislaman baik di Indonesia maupun
di dunia Islam pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
Lukman Hakim, “Mengenal Pemikiran Islam Liberal”, Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1,
April 2011, h.179
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam Liberal
3
4
istilah Islam Liberal (Liberal Islam). Islam liberal kian mendapat perhatian
publik setelah Paramadina menerbitkan edisi Indonesia buku Charles Kurzman
yang berjudul, Liberal Islam, A Sourcebook. Dalam bukunya ini Kuzman men-
definisikan Islam liberal sebagai sebuah kelompok yang secara kontras berbeda
dengan Islam adat (costumary Islam)5 dan Islam revivalis (revivalist Islam).
Dalam buku ini terhimpun tulisan-tulisan para pemikir dan intelektual terkemuka
di dunia Islam yang oleh editornya dikategorikan bercorak liberal seperti
Muhammad Iqbal, Ali Abd al-Raziq, Mahmud Muhamed Thaha, Fazlur Rahman,
Fatima Merniissi, Amina Wadud dan lain-lain. Ada dua pemikir Indonesia yang
tulisannya dimuat di sini yaitu Muhammad Nasir dan Nurcholish Madjid.
Istilah “Islam liberal” juga sering dilawankan dengan “Islam radikal”,
kedua istilah ini mengandung konotasi beragam dan sering konotasi itu di
kalangan kaum Muslim sendiri bersifat pejoratif. Sebahagian cenderung menolak
kategorisasi semacam ini dengan alasan bahwa Islam itu “satu” tidak bisa dibagi-
bagi dengan memberi kata sifat tertentu. Namun harus diakui bahwa secara
sosiologis, fenomena pemahaman dan ideologi, pengkategorisasian “Islam
radikal” dan sebaliknya “Islam liberal” adalah sebuah kenyataan.
Kaum fundamentalis dan ortodoks biasanya menolak pahaman liberal ini
dengan mengatakan bahwa liberalisme adalah paham yang menganut asas
kebebasan tanpa batas, dengan tidak menghiraukan nilai moral dan orang lain.
Padahal kaum liberal itu berfikir bahwa agama itu harus ditransformasikan
menjadi penalaran moral (moral reasoning). Kaum liberal justru membatasi
kebebasan, sepanjang tidak melanggar hukum dan hak orang lain. Dengan kata
lain, kaum liberal berorientasi pada kebebasan dalam kerangka hak-hak sipil dan
hak-hak asasi manusia pada umumnya. Kaum liberal menjadikan hak-hak asasi
manusia sebagai ukuran dan orientasi. Dengan demikian jika ada penafsiran
wahyu yang bertentangan dengan asas itu maka akan ditolak oleh kaum liberal.
Istilah “liberal” merujuk kepada keadaan atau sikap orang atau gerakan
tertentu yang bersedia menghargai gagasan atau perasaan orang lain, yang juga
mendukung perubahan-perubahan sosial, politik dan keagamaan melalui
“pembebasan” pemikiran dari pandangan dunia dan sikap literal, dogmatis,
5
reaksioner atau pro status qou. Manakala istilah “radikal” menurut pengertian
kamus secara sederhana merujuk kepada keadaan atau orang dan gerakan tertentu
yang menginginkan perubahan sosial, politik secara cepat dan menyeluruh yang
sering dilakukan dengan mengunakan cara-cara tanpa kompromi atau bahkan
kekerasan bukan dengan cara yang damai.
Islam Liberal dimaksudkan untuk member penekanan utama kepada
pengembangan ilmu pengetahuan, diskursus keadilan, keterbukaan, sikap
toleransi, dan perlunya membangun integritas moral kaum muslim dalam
membangun kebangsaan Indonesia. Islam Liberal bukan hanya memahami Islam
sebagai agama, tetapi lebih jauh Islam sebagai peradaban. Istilah Islam Liberal
merupakan pengembangan lebih mendalam dari pemikiran dan posisi Islam
Moderat sering dihadapkan dengan “Islam Radikal” di satu sisi dan Islam Liberal
yang jauh lebih sekular di sisi lain4.
Leonard Binder mengemukakan bahwa hal yang paling prinsipil dari
Islam liberal adalah adanya keterbukaan tafsir atas kitab suci, yakni Al-Quran
yang tidak boleh dipahami sebagai sesuatu yang sudah final, apa adanya tetapi
membutuhkan penafsiran-penafsiran yang terus menerus sehingga Islam tidak
berhenti merespon masalah sosial. Kebalikan dari Islam liberal adalah Islam
konservatif atau tradisionalis, iaitu mereka yang berpandangan bahwa kitab suci
Islam tidak memerlukan tafsir-tafsir yang macam-macam, kerana Islam sudah
sempurna dengan sendirinya. Dalam pandangan kalangan tradisionalis yang
selalu menolak pemikiran Islam liberal, Islam bukanlah agama evolutif, yang
berkembang mengikuti zaman. Islam adalah agama yang sudah sempurna sejak
awal. Kerana itu, konsep asas aqidah dan ibadah dalam Islam sudah bersifat final
dan tidak berkembang mengikuti proses dinamika sejarah, sebab Islam bukanlah
agama sejarah.
Bagi kalangan tertentu, penyebutan Islam liberal dipandang sebagai
wacana yang cederung disifatkan dengan dunia Barat. Oleh itu, Islam liberal
dipandang dengan penuh kecurigaan kerana dianggap dapat membawa kesan
4
Dewi Erowati, “Islam Liberal di Indonesia ”, Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol. 2,
No. 2, Maret 2016, h.18
6
5
Dewi Erowati, “Islam Liberal di Indonesia ”, Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, Vol.
2, No. 2, Maret 2016, h.19
8
6
Lukman Hakim, “Mengenal Pemikiran Islam Liberal”, Jurnal Substantia, Vol. 14, No.
1, April 2011, h.184
9
dalam Pancasila sejalan dengan ajaranajaran agama Islam. Oleh karena itu,
dalam pandangan kelompok ini, sama sekali tidak penting dan juga tidak
ada alasan bagi para pendukung Islam politik untuk meragukan keabsahan
Indonesia yang didasarkan pada ideologi non agama (Pancasila).Kedua,
sepanjang sejarah politik Orde Baru, umat Islam belum pernah berada dalam
posisi mampu membangun politik yang kuat, kecuali tahun 1955, dan itupun
tidak berlangsung lama. Dalam kondisi seperti itu, umat Islam tidak mampu
memainkan perannya dalam birokrasi, bahkan di Kementrian Agama. Yang
terjadi adalah adanya proses peminggiran sistematis oleh rezim Orde Baru
sehinggaaktivis Islam politik benar-benar tidak berkutik. Ketiga,
memulihkan citra Islam terutama aktivis politik muslim sebagai musuh
negara. Masuknya beberapa cendekiawan muslim dalam cabinet Soeharto
periode 1992 dan 1997 adalah bukti konkret bahwa cendekiawan muslim
dan juga aktivis Islam politik telah mengubah orientasi politiknya secara
lebih akomodatif. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Wahid
Institute, LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) di Yogyakarta, Jadul
Maula dan sebagainya.
2. Liberal Radikal
Yang dimaksud adalah mereka yang berpandangan bahwa
ketidakadilan yang terjadi selama ini disebabkan karena adanya struktur
sosial yang timpang, baik yang dianut oleh negara maupun oleh individu.
Bagi kalangan intelektual muslim liberal radikal, ketimpangan sosial yang
terjadi antara si kaya dan si miskin, serta antara perempuan dan laki-laki
disebabkan oleh struktur sosial yang tidak adil. Oleh karena itu, intelektual
liberal radikal, dengan meminjam istilah dari para feminis kemudian
mempopulerkan idiom personal is political. Di bidang teologi, kelompok
intelektual muslim liberal radikal sebagian besar mengikuti madzhab
Teologi Pembebasan, yang memakai paradigm sosial konflik atau Marxian
yang diadopsi dengan beberapa modifikasi. Perjuangan kaum feminis yang
mengadopsi Teologi Pembebasan adalah bahwa agama harus diarahkan
untuk membebaskan perempuan dari segala bentuk penindasan dalam
14
masyarakat, baik dari struktur sosial, hukum, moral maupun agama, yang
ditonjolkan adalah perubahan pemahaman keagamaan yang lebih
mengedepankan keadilan gender dan keadilan sosial secara terus-menerus.
Hal ini harus dilakukan sebab agama menurut kaum feminis ditafsirkan
dengan memakai ideology patriarkhi yang menyudutkan perempuan.
Termasuk dalam kelompok ini adalah aktivis LSM khususnya para feminis,
Rahima dan solidaritas perempuan, Jaringan Islam Liberal dan Freedom
Institute.
3. Liberal Moderat
Komunitas muslim liberal moderat merupakan faksi yang mampu
menggairahkan pemikiran Islam liberal di Indonesia. Faksi ini tidak
menjadikan Islam sebagai ideologi politik maupun mencitacitakan Islam
politik yang menuntut Islam harus terlibat dalam pengambilan kebijakan
negara secara langsung. Perhatian utama Islam liberal moderat yang
berhubungan dengan dimensi politik terlihat lebih mementingkan isi
daripada bentuk. Dalam persoalan partai Islam misalnya faksi Islam liberal
moderat tidak memperdulikan label sebuah partai tersebut Islam atau tidak.
Yang penting bagi mereka adalah apakah partai tersebut memperjuangkan
keadilan, kebenaran, kejujuran, dan demokrasi. Dalam konteks ini, benarlah
jika cendekiawan muslim seperti Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat,
Amin Abdullah, Munir Mulkhan berpandangan bahwa esensi dari partai
politik adalah etika politik. Dalam konteks hubungan antara agama dan
negara, cendekiawan muslim liberal moderat berpandangan bahwa
hubungan agama dan negara tidak lagi harus bersifat formalis skripturalis,
tetapi substansialis. Nilai-nilai substansial ini yang sebenarnya lebih penting
diperjuangkan ketimbang unsur-unsur formalitasnya. Di sisi lain, dalam
kaitannya dengan pemahaman terhadap doktrin Islam, Komaruddin Hidayat
berpendapat bahwa doktrin Islam yang termaktub dalam Al Qur’an dan
hadits nabi haruslah dibaca sebagai teks yang membutuhkan pemahaman
dan penafsiran. Oleh karena itu, tradisi memahami teks haruslah bersifat
kritis, yakni dengan model hermeneutik. Institusi dalam kelompok ini
15
4. Liberal Transformatif
Pemikiran Islam liberal transformative merupakan tipe pemikiran
yang agak lain dibandingkan dengan karakteristik pemikiran liberal lainnya.
Prinsip pemikiran ini adalah mencoba mempertanyakan kembali paradigma
mainstream yang ada dan ideologi yang tersembunyi didalamnya, sekaligus
berusaha menemukan paradigm alternatif yang diharapkan akan mampu
mengubah struktur dan super struktur yang menindas rakyat serta membuka
kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya.
Mengikuti perspektif transformatif, salah satu masalah yang dihadapi rakyat
justru karena adannya diskursus pembangunan dan struktur yang timpang
dalam sistem yang ada. Para pemikir liberal transformative adalah Moeslim
Abdurrahman, Mansour Fakih, Abdurrahman Wahid, dll. Moeslim
berpendapat bahwa Islam sudah seharusnya mampu menghadirkan
perspektif yang memihak. Gagasan Moeslim Abdurrahman adalah cita-cita
Islam transformatif, yaitu sebuah majinasi yang berkembang, sebuah
gagasan dan pemikiran kaum muslim sendiri untuk menerjemahkan
referensi kewahyuan itu dalam pergulatan sejarah yang nyata, bukan hanya
dalam wacana. Berdasarkan itu, pemikiran Moeslim Abdurrahman
dimaksudkan dalam kerangka transformatif. Ada gagasan Islam yang harus
menjadi bagian dari transformasi masyarakat sehingga masyarakat Islam
tidak terbelakang dan marjinal. Islam harus berani kritis atas persoalan yang
muncul di lapangan sehingga dibutuhkan keberania melakukan tafsir
transformatif atas wahyu Al Qur’an.
rasional adalah sebuah hal yang wajar. Meskipun di lain pihak juga ada
warisan yang masih dapat diterima dan dilanjutkan. Bersikap moden (to be
modern) adalah keharusan yang mutlak, kemodenan (modernity) itu sendiri
adalah relatif sifatnya, keberananya terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu
yang sekarang dianggap sebagai sebuah kebenaran dan moden belum tentu
menjadi benar dan moden pada masa yang akan datang. Bagaimanapun
sesebuah hasil pemikiran mestilah dilihat secara kontekstual sehingga
menjadi hidup dan mempunyai nilai. Hal ini dikeranakan perumusan sebuah
hasil ijtihad tidak lepas dari pengaruh subjektiviti mujtahid beserta
lingkungan yang melingkupinya. Oleh itu, Hasil ijtihad ini haruslah
ditempatkan pada posisinya secara porporsional sehingga mampu
memberikan insiprasi dari produk para pemikir terdahulu yang telah
memberikan jawaban terhadap permasalahan atau cabaran zaman pada
masanya.
Menurut pandangan ini kebenaran penafsiran keagamaan adalah
relatif yang kebenarannya sangat terhantung pada ruang dan waktu. Oleh
itu, dalam pemahaman ajaran agama secara utuh senantiasa diperlukan
usaha reinterpretasi ajaran agama mengikut kebutuhan tempatan dan
cabaran semasa. Tentu sahaja pandangan yang seperti ini akan secara
langsung bertentangan dengan pandangan orang-orang tradisionalisme yang
cenderung otoritarian, yang berusaha mem pertahankan nilai-nilai yang
baku. Kerana usaha reinterpretasi ajaran agama ini pada asasnya menentang
arus umum yang berlaku, maka pemikiran Islam liberal akan selalu
menimbulkan kontroversi terutamanya dari kalangan tradisionalis. Bagi
pemikir Islam liberal, untuk memahami agama tidak cukup hanya dengan
memahami sumber-sumber ajarannya sahaja.
Dalam pandangan mereka betapapun sumber ajarannya satu dan
transenden, ajaran itu akan senantiasa mengalami proses aktualisasi ke
dalam realitas sosial penganutnya. Aktualisasi itu setidaknya dipengaruhi
oleh kecenderungan corak pemahaman dan penafsiran terhadap doktrin.
Dari pandangan seperti ini pemikir Islam liberal berkeyakinan bahwa
20
sebuah hasil pemahaman terhadap ajaran Islam itu bukan sebuah kebenaran
absolut, melainkan sebuah kebenaran yang sangat relatif dalam erti bahwa ia
sangat berkaitan dengan tempat dan masa.
3. Memihak Kepada Kaum Minoritas dan Tertidas
Islam liberal selalu berpijak pada panafsiran Islam yang memihak
keapada kaum minoritas yang tertindas dan termarginalkan. Dalam
pandangan Islam liberal, semangat Islam selalu menginginkan perlawanan
terhadap setiap struktur sosial-politik yang melakukan praktek ketidakadilan
atas minoritas. Minoritas yang dimaksudkan disini adalah minoritas agama,
puak, ras, gender, budaya, politik dan ekonomi. Oleh itu salah satu landasan
liberalisme Islam adalah pembelaan manusia dari ketertindasan kaum
minoritas yang dilakukan oleh kaum majoriti. Pembaharu Islam liberal
mengklaim bahwa agama Islam adalah pembebas manusia dari
ketertindasan dan penghambaaan terhadap banyak Tuhan selain Allah. Oleh
kerana itu mereka manyatakan bahwa semangat liberalisme itu dengan
sendirinya inheran di dalam Islam. Dalam konteks seperti disebutkan di
atas, maka oleh sebahagia kelompok mengartikan Islam itu sebagai
bahagian dari teologi Pembebasan (liberation theology). Pada tahun 1980-an
misalnya, seorang pemikir Mesir, Hassan Hanafi, mengajukan konsep yang
dia sebut ”kiri Islam”. Salah satu intinya adalah bahwa Islam is the
liberation religion, Islam adalah agama yang membebaskan. Tumpuan
utamanya adalah pembebasan kaum Muslim dan kaum tertindas, termasuk
kaum minoritas.
Dalam perkembangan Islam di Indonesia, pembelaan terhadap kaum
minoritas ini nampak jelas dalam pemikiran Abdurrahman Wahid. Beliau
sering melakukan pembelaan terhadap sejumlah kes yang menyangkut hak
asasi manusia seperti hak kaum minoritas, penghormatan tehadap non
muslim, hingga kepada kes yang ia pandang sebagai ketidakadilan,
termasuk yang dilakukan sejumlah kelompok kaum muslim terhadap
saudara sesama muslim lainnya. Misalnya, Abdurrahman Wahid tanpa ragu
membela Ulil Abshar Abdala, intelektual NU yang juga tokoh muda “Islam
21
Islam dalam sebuah negara bukanlah hal yang perlu diperjuangkan, yang
penting adalah bagaimana secara substansi ajaran Islam itu boleh
dilaksanakan oleh setiap individu. Permasalahan agama bukanlah wilayah
yang harus diurus oleh pemerintah, oleh kerana itu pelaksanaan syariat
Islam sebagai sebuah sistem hukum tidak diperlukan.
Pemikiran seperti di atas dapat diamati dari pemikiran Ali Abd al-
Raziq yang mengatakan bahwa syariah tidak menyebutkan bentuk khas dari
negara. Kerana itu penerapan syariat Islam bukanlah keharusan bahkan
membolehkan pembentukan domokrasi-demokrasi liberal. Islam
menyerahkan bentuk pemerintahan kepada temuan pemikiran manusia.
Dalam hal ini Nurcholish Madjid mengatakan bahwa, secara normatif baik
dalam al-Quran maupun Hadits tidak ditemukan perintah yang mutlak untuk
mendirikan negara Islam. Bahkan sama sekali tidak didapati istilah itu.
Dalam konteks ini salah satu wacana Islam liberal adalah tentang
negara sekular. Dalam konsep negara sekular ini menyatakan bahwa negara
tidak turut campur tangan dalam urusan agama. Bagi mereka negara harus
netral dari campur tangan terhadap agama. Berazaskan pada kenyataan di
atas Islam liberal menolak penerapan syariat Islam oleh nergara, kerana
negara tidak berhak mencampuri urusan keyakinan masyarakatnya.
Pemikiran Islam liberal ingin melepaskan diri dari kekuasaan-kekuasaan
kesultanan yang menggunakankan simbol-simbol ke-agamaan. Mereka
merasa khawatir kalau agama dipergunakan untuk kepentingan politik akan
terjadi penyimpangan dalam penafsiran agama.
Kalangan Islam liberal berpadangan yang berorientasi sekuler, yaitu
mem-bedakan antara masalah iman dan ilmu pengetahuan dan antara agama
dan negara. Hal ini diasaskan pada kenyataan bahwa masyarakat muslim di
seluruh dunia itu hidup dalam lingkungan masyarakat yang majemuk
dengan kepel-bagaiannya. Justru itu, kalangan Islam liberal
mengembangkan paham pluralisme. Pluralisme dalam hal ini tidak bisa
didefinisikan sebagai pandangan yang mengganggap semua agama itu sama,
bahkan pluralisme mengakui kepelbagaian agama sebagai sunnatullah. Asas
23
9
Asep Mulyaden, “Ideologis Islam Tradisinalis dalam Tafsir”, Jurnal Iman dan
Spritualis, Vol 1 No 2, April-Juni 2021, h.189
25
kata tradisi biasanya diidentikkan dengan kata sunnah yang secara harfiah berarti
jalan, tabi'at, perikehidupan.
Dalam perkembangan selanjutnya, tradisionalisme tidak hanya ditujukan
kepada orang yang berpegang teguh kepada al-Qur'an dan al-Sunnah saja
(pemahaman secara tekstual), tapi termasuk "produk-produk" pemikiran (hasil
ijtihad) para ulama yang dianggap unggul dan kokoh dalam berbagai bidang
keilmuan seperti fiqh (hukum Islam), tafsir, teologi, tasawuf dan sebagainya.
Pemikiran para ulama dalam berbagai bidang, pada hakekatnya merupakan hasil
penalaran terhadap al-Qur'an dan al-Sunnah, sehingga hasil penalaran bukanlah
sesuatu yang tidak boleh diubah. Dengan demikian kaum tradisionalis tidak
membedakan antara ajaran yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah dengan
ajaran yang merupakan hasil pemahaman terhadap keduanya.
Tradisionalisme merupakan ajaran filsafat dan teologi yang menolak adanya
kesanggupan manusia menemukan kebenaran sendiri. Mereka berpendapat bahwa
semua kebenaran harus diturunkan melalui perwahyuan Ilahi. Tradisional-isme
pernah menjadi reaksi terhadap pandangan rasionalisme dan materialisme abad ke-19
di Barat, yang memutlakkan otonomi akal-budi, dengan usaha-usaha untuk kembali
kepada kondisi-kondisi tradisionalis keagamaan, kesusilaan, sosial, dan politik. 10
Dalam arti yang lebih umum, tradisionalisme berarti penghargaan yang
berlebihan pada tradisi, dan segala sesuatu yang terjadi masa lampau (dalam ilmu,
seni, kepercayaan dan adat).
Tradisionalisme dianggap juga sebagai dasar munculnya pemikiran
konservatif. (Konservatif secara harfiah berasal dari bahasa Inggris conservative
yang berarti kolot, kuno. Sedangkan dalam pengertian yang umum digunakan,
konservatif mengacu kepada suatu keadaan atau sifat dari sesuatu yang tetap dan
tidak mau mengikuti perubahan walaupun keadaan sudah menghendaki adanya
perubahan tersebut. Hal ini muncul dari sikap yang terlampau berhati-hati dalam
menerima hal-hal baru karena khawatir hal-hal baru tersebut merugikan
kehidupan. Lihat: Hasan Shadily, 1984: 227) Dengan demikian tradisionalisme
merupakan suatu paham yang berpegang teguh kepada al-Qur'an dan al-Sunnah
10
Syamsuar Syam, “Tradisionalisme Islam”, Jurnal Dakwah dan Ilmu Komunikasi,copy
right al hikmah 2018, h.21
26
memunculkan Islam dengan corak modern dengan meniru gaya hidup ala
bangsa eropa, padahal corak ke-Islaman model dari bangsa eropa tidak
sesuai dengan masyarakat di nusantara.
Perjalanan Islam tradisional semakin kuat di saat kemerdekaan
bangsa Indonesia telah hadir dalam kehidupan masyarakat. Bahkan Islam
tradisional dengan gencar mendirikan berbagai pendidikan melalui pondok
pesantren maupun dalam bentuk pendidikan lain, tetapi dalam perjalanan
selanjutnya Islam tradisonal semakin menghadapi beragam tantangan yang
kuat dari dominasi bangsa barat dan para pejuang khilafah. Sehingga Islam
trdaisional semakin di anggap sebagai budaya yang ketinggalan zaman.
Bahkan ada istilah Islam konservatif yang di alamatkan penganut Islam
tradisional, tetapi stigma yang paling menyakitkan Islam tradisonal di
anggap sebagai pengejawantahan terhadap nenek moyang yang jauh dari
Nilai-nilai ke-Islaman.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah makalah yang kami buat mudah – mudahan apa yang kami
paparkan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita semua untuk lebih
mengenal Islam Liberal dan Islam Tradisional . Kami menyadari apa yang
kami paparkan dalam makalah ini tentu masih belum sesuai apa yang di
harapkan,untuk itu kami berharap masukan yang lebih banyak lagi dari guru
pengampu dan teman – teman semua.
DAFTAR PUSTAKA