Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

KAUM MODERNIS KONTEMPORER


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pengantar Study Islam
Yang dibina oleh Dr Arif Muzayin Shofwan, M.Pd

Oleh:

Nurdiana (2186236014)
Lely putri rahayu (2186236020)
Reni zuliati (2186236022)

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA


FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

November 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah serta inayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Pembelajaran Tematik Terpadu tanpa halangan suatu
apapun. Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar
Studi Islam . Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak
khususnya kepada:
1. Bapak Arif Muzayin Shofwan, M.Pd, selaku dosen pengampu mata kuliah
Pembelajaran pengantar study islam yang telah turut serta memberi
dukungan kepada penulis.
2. Teman – teman dan semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Diharapkan makalah ini dapat menambah wawasan para mahasiswa untuk
mengetahui dan memahami tentang pengertian dari kaum modernis kontemporer
Namun dengan ini kami menyadari bahwa makalah ini belum mencapai taraf
kesempurnaan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca agar kami bisa menyempurnakan dan memperbaiki makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan senantiasa mendapatkan ridho Allah Swt.

Blitar, November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL........................................................................................................ i

KATA PENGANTAR.................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah...................................................................................... 1

C. Tujuan........................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN

A.Biografi dan pemikiran Nurcholis Madjid ................................................ 2

B. Biografi dan pemikiran Harun Nasution .................................................. 6

C. Biografi dan pemikiran Amien Rais.......................................................... 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................ 7

B. Saran.......................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 8
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran Nurcholish terutama dalam soal teologi adalah pemikiran yang
destruktifdan dekonstruktif terhadap Islam serta kurang peduli kritik. Namun
terlanjurterjadi kristalisasi pemujaan bahkan pengkultusan, sehingga terlalu
banyak orang yang memujanya dan masih terlalu sedikit yang mengkritiknya.
Bahkan sepeninggalnyapun pemikiran Nurcholish bukan saja disakralkan bahkan
dikembangkan oleh penerusnya dengan bahasa dan bentuk yang lebih liberal.

Amien Rais adalah salah satu pilar penting politik di Indonesia yang ikut
membidani lahirnya reformasi dan berakhirnya era pemerintahan Orde Baru.
Sejak di bangku kuliah Amien Rais sudah aktif di berbagai organisasi
kemahasiswaan, di antaranya adalah menjadi salah satu pendiri Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) dan menjabat sebagai Sekretaris Lembaga DAkwah
Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Yogyakarta.

Harun Nasution, sebuah buku yang ditulis oleh sahabat dan yang mengenal
sosok Harun Nasution, dikisahkan Harun kecil adalah anak yang selalu
mempertanyakan segala sesuatu. Pertanyaan-pertanyaan kritis anak itu sering kali
merepotkan orang tua dan guru-guru di sekolah.

Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin mengkaji secara ilmiah terkait


maksud- maksud dari persyaratan tersebut terutama tentang kaum modernis
kontemporer diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Harun Nasution dan
Muhammad Amien Rais.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pemikiran Nurkholis Madjid tentang Kaum modernis
kontemporer?
2. Bagaimana Pemikiran Harun Nasution Tentang Kaum Modernis
Kontemporer?
3. Bagaimana Pemikiran Muhammad Amien Rais tentang Kaum modernis
kontemporer?
C. Tujuan
1. Mengetahui pemikiran Nurkholis Madjid tentang kaum modernis
kontemporer.
2. Mengetahui pemikiran Harun Nasution Tentang Kaum Modernis
kontemporer.
3. Mengetahui pemikiran Muhammad amien Rais tentang Kaum Modernis
Kontemporer.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Nurcholis Madjid

Prof. Dr. Nurcholish Madjid, M.A. (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau
populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan
budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktivis & kemudian Ketua
Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia menjadi satu-satunya tokoh yang
pernah menjabat sebagai ketua Umum HMI selama dua periode. Ide dan
gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah menimbulkan kontroversi
dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. Nurcholish
pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina, sampai dengan
wafatnya pada tahun 2005.
Pemikiran Nurcholish terutama dalam soal teologi adalah pemikiran yang
destruktif dan dekonstruktif terhadap Islam serta kurang peduli kritik. Namun
terlanjur terjadi kristalisasi pemujaan bahkan pengkultusan, sehingga terlalu
banyak orang yang memujanya dan masih terlalu sedikit yang mengkritiknya.
Bahkan sepeninggalnyapun pemikiran Nurcholish bukan saja disakralkan bahkan
dikembangkan oleh penerusnya dengan bahasa dan bentuk yang lebih liberal.
Pemikiran tentang sekulerisme, liberalisme dan pluralisme sudah ditabur benihnya
oleh Nurcholish yang kemudian dikembangkan oleh penerusnya dengan bentuk
yang lebih ekstrim dan liar.

Jaiz (2003) menuduhnya sebagai orang yang paling bertanggungjawab


dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menafikan hukum Tuhan, karena JIL ini
pada prakteknya adalah meneruskan dan mengembangkan apa yang sudah dimulai
Nurcholis sejak 1970an. Bahkan merasa perlu membuat buku khusus yang berisi
kritik-kritik tidak saja terhadap pemikirannya, melainkan juga terhadap pribadinya
sebagai orang yang pintar bersilat pemikiran, pendukung kesesatan, dan tokoh
yang tidak jujur dan tidak konsisten.

1. Pandangan Apresiatif

Empatik Kelompok yang apresiatif terhadap pemikiran Nurcholish adalah


kelompok yang berusaha memahami substansi gagasan itu tanpa mempersoalkan
istilah-istilah yang dipakai dan implikasinya. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan pemikiran Nurcholish sangat diminati dan bahkan pribadinyapun
dianggap pemikir muslim garda depan di Indonesia, diantaranya adalah;
1) Wacana pemikiran Nurcholish dianggap memiliki tingkat liberalitas,
progresivitas, dan ekspresivitas yang tinggi;
2) Pemikirannya ditopang oleh penguasaan khazanah intelektual modern dan
klasik yang diracik secara segar;
3). Memiliki basis sosial yang bisa diandalkan untuk menyebarkan gagasan-
gagasannya dan di tengah basis sosialnya di kalangan Islam menengah (akademisi
santri), gagasan-gagasan Nurcholish menentang arus utama
, 4). Wilayah gagasannya menjangkau alam spektrum yang luas, mencakup
teologi, kemodernan, keindonesiaan bahkan politik dan Negara (Ridwan, 2002:3).
Dalam dunia keilmuan Indonesia Nurcholish adalah sebuah fenomena. Sifat
fenomenalnya dapat dilihat bahwa Nurcholish dengan pemikirannya mampu
melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu dalam masyarakat
Indonesia baik yang bersifat institusional maupun literer. Secara institusional bisa
terlihat dalam wujud dan kinerja spesifik organisasi HMI di masa
kepemimpinannya yang sering disebut Ciputat Intellectual Community (CIC)
(Bustaman, 2004 :349).
Tapi pengaruh institusional paling menonjol adalah yayasan Paramadina.
Melalui lembaga ini meletakkan pengaruhnya bukan hanya pada sosialisasi
pemikiranpemikirannya melainkan juga terbentuknya komunitas pendukung dari
kalangan santri kota. Menurut Teba (2004:5), pemikiran Nurcholish itu memiliki
landasan sufistik yang kuat, yang membuat dia berfikir inklusif, sehingga lebih
mementingkan substansi dari pada formalisme, esoterik daripada eksoterisme, isi
daripada kulit.

Dengan landasan ini pemikirannya selalu disertai dengan perspektif,


wawasan, dan komitmen moral yang kuat. Indikasi bahwa pendekatan sufistiknya
Nurcholish adalah pendapatnya bahwa Islam itu terdiri dari domain iman, ibadah,
amal shaleh dan akhlak mulia. Semua pemikirannya baik keagamaan dan sosial
politiknya mengacu pada empat hal ini secara terintegratif. Integrasi empat unsur
ajaran itu secara utuh merupakan pendekatan tasawuf. Sebab teologi hanya bicara
iman, fiqih.
Namun menurut Kuswanto (2007) dalam konteks ini pendekatan sufistik yang
dimaksud bukanlah kecenderungan sufi yang asosial dan anti dunia, melainkan
neosufisme. Beliau mencoba melakukan kontekstualisasi ajaran sufi yang
substansinya sufisme memandang keduanya penting untuk mencapai spiritual
yang hakiki. Neo-sufisme ini menekankan sikap optimis terhadap dunia dan
melibatkan diri dalam masyarakat secara lebih intens dan aktif, sebab dunia dan
masyarakat adalah tempat mengeksploitasi amal untuk mengayuh prospek
transendental.

2. Pandangan kritis - resisten

Sebagai ikon pembaharuan Islam, pemikirannya tidak lepas dari kontroversi ±


kontroversi di zamannya bahkan hingga saat ini. Sebagai tokoh pertama kali yang
melontarkan gagasan penyegaran kembali pemikiran Islam, Nurcholish sering
diposisikan secara antagonis oleh lawan-lawan yang menentangnya akibat mis
interpretasi atas ide liberalisme, pluralisme dan sekulerismenya (El Guyani,
2008).

Sejak awal munculnya, bagi sebagian kalangan umat Islam pemikiran


Nurcholish mengundang kontroversi atau bahkan diskursus wacana politik.
Gagasan tentang modernisasinya dinilai kontroversial dan pemikiran yang keluar
dari orang yang percaya kepada nya dianggap sebagai intelektual yang
menyimpang dan sekaligus memiliki link dengan Yahudi. Menurut Rasyidi
kesalahan Nurcholish saat itu adalah ia mengaitkan sekulerisasi dengan tauhid
sehingga seolah-olah Islam memerintahkan sekulerisasi dalam arti tauhid.

Dalam pandangan HM Rasyidi, gagasan Nurcholish tentang sekularisasi


yang memisahkan kekuasaan agama dan negara adalah bukan kata-kata orang
yangpercaya kepada membaca Injil, seperti yang ada dalam Matheus kepada
penguasa duniawi hal-hal yang berurusan dengan urusan duniawi dan Pendapat
Nurcholish yang mengatakan bahwa konsep negara Islam adalah distorsi
hubungan proporsional antara agama negara membuktikan kekacauan dan
kenaifan pikiran Nurcholis yang tidak memahami (Jaiz, 2004:131-135).

Nurcholish kemudian makin menimbulkan kontroversinya ketika


menyampaikan pemikiran keagamaan di TIM pada 21 Oktober 1992 dengan
pidatonya yang berjudul Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan di
Indonesia.

Dalam buku Anatomi Budak Kufar dalam Perspektif Muhammad Yazqan


mengecam bahwa pidato itu merupakan puncak gagasan Nurcholish yang
menyeret umat ke dalam kubangan atheisme baru yang akan simbol berhalaisme
dan anak didik orientalisme. Isi pidatonya merupakan sindiran dan kecaman yang
keras kepada bangkitnya fundamentalisme di Indonesia sebagamana berikut:
Sebagai sesuatu yang hanya memberikan hiburan ketenangan semu atau
paliative, kultus dan fundamentalisme sama bahayanya dengan narkoba. Namun
narkoba menampilkan bahayanya hanya melalui pribadi yang tidak memiliki
kesadaran penuh, baik secara perorangan maupun kelompok sehingga tidak akan
membentuk gerakan sosial dengan suatu bentuk kedisiplinan keanggotaan.
Adapun kultus dan fundamentalisme dengan sendirinya melahirkan gerakan
disiplin yang tinggi. Maka penyakit ini justru lebih berbahaya daripada yang
pertama, sebagaimana mereka memandang narkoba dan alkoholisme merupakan
ancaman kepada kelangsungan daya tahan bangsa, maka mereka juga
berkeyakinan bahwa kultus dan fundamentalisme adalah ancaman yang tidak
kurang gawatnya (Jaiz, 2004:131-135).

Armas (2003:17) berpendapat bahwa gagasan sekularisasi yang diusung


Nurcholish adalah pengaruh Harvey Cox dan Robert N Bellah yang
mengelaborasi gagasannya dari konsepsi dan sejarah Kristen. Hanya dimodifikasi
dan dicarikan justifikasinya dalam Islam, dengan mengabaikan perbedaan prinsip
antara konsepsi dan sejarah antara Kristen dan Islam.

Lalu Husaini (2005) menjelaskan bahwa pemikiran Nurcholish terutama


dalam soal teologi adalah pemikiran yang destruktif dan dekonstruktif terhadap
Islam serta kurang peduli kritik. Namun terlanjur terjadi kristalisasi pemujaan
bahkan pengkultusan, sehingga terlalu banyak orang yang memujanya dan masih
terlalu sedikit yang mengkritiknya. Bahkan pemikiran Nurcholish bukan saja
disakralkan bahkan dikembangkan oleh penerusnya dengan bahasa dan bentuk
yang lebih liberal.

Pemikiran tentang sekulerisme, liberalisme dan pluralisme sudah ditabur


benihnya oleh Nurcholish yang kemudian dikembangkan oleh penerusnya dengan
bentuk yang lebih ekstrim dan liar. Jaiz (2003) menuduhnya sebagai orang yang
paling bertanggungjawab dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menafikan
hukum Tuhan, karena JIL ini pada prakteknya adalah meneruskan dan
mengembangkan apa yang sudah dimulai Nurcholis sejak 1970an. Bahkan merasa
perlu membuat buku khusus yang berisi kritik-kritik tidak saja terhadap
pemikirannya, melainkan juga terhadap pribadinya sebagai orang yang pintar
bersilat pemikiran, pendukung kesesatan, dan tokoh yang tidak jujur dan tidak
konsisten.

3. Pandangan kritis ± independen

Kelompok ketiga adalah kelompok yang berusaha menempatkan kelebihan


dan kelemahan gagasan-gagasan pemikiran Nurcholish secara seimbang dan
proporsional, tidak resistensi, sekaligus tidak memihak. Dengan memakai pisau
analisis ala hermeneutika dan pendekatan sosio historis hidup, Ridwan (2002)
melakukan ektra analisis dan pembongkaran terhadap asumsi asumsi dasar
pemikiran dan gagasan Nurcholish tentang sekulerisasi, liberalisasi dan pluralisme
bahwa pemikiran Nurcholish walaupun banyak memakai pendekatan humanistik,
namun bukan humanisme riil (fakta kemanusiaan), karena pemikirannya sama
sekali tak bersentuhan dengan tema pembelaan terhadap kaum lemah yang
termarginalkan baik secara ekonomi maupun politik. Gagasan Nurcholis,
utamanya tentang pluralisme, justru lebih sebagai alat untuk melakukan
pembelaan terhadap basis sosial komunitasnya (Islam Borjuis) dalam kontelasi
kekuasaan rezim yang berkuasa. Dengan kata lain, pemikiran Nurcholish menjadi
alat komunitasnya untuk melakukan simbiosisme dengan kekuasaan, dan agar
komunitasnya bisa masuk dan diterima banyak kalangan

Dari uraian tentang sejarah hidup dan pemikiran Nurcholish Madjid di atas
dapat dipahami bahwa ide pokok pemikiran Nurcholis berporos pada
persenyawaan dan dialektika dari tiga tema besar, keislaman, keindonesiaan, dan
kemodernan.

Gaya pemikirannya merupakan campuran yang rumit dan multi perspektif


antara teologi, pemikiran keagamaan, analisis politik, dan sosiologi akademisnya.
Masingmasing tema pemikirannya saling berkelindan dan bersifat interdependensi
dengan tema lainnya. Oleh karena itu gugus pemikirannya tidak bisa dianalisis
secara fragmentatif dan terpisah sama sekali satu sama lainnya; karena dialektika
dan kesatuan ketiga ide besar itu juga melahirkan ide-ide pendukung yang
berfungsi memperkuat konstruksi seluruh bangunan idenya yakni neo
modernisme, integrasi dan pembangunan. Adapun yang mempersatukan
keseluruhan konstruksi bangunan idenya adalah teologi inklusifnya yang
dibangunnya dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan analisis-analisis
normatif-historis, juga pendekatan klasik dan modern yang menjadi ciri khas
pemikirannya.

Konsep dasar inklusivisme ini, menurut Nurcholish Madjid, merupakan


sejumlah titik terang yang bisa menjadi petunjuk ke arah kehidupan keagamaan
yang humanis, damai, dan penuh toleransi di tengah keanekaragaman paham dan
keyakinan yang ada di tengah masyarakat Indonesia. Sejumlah titik terang yang
menjadi dasar inklusivisme, menurut Nurcholish diantaranya adalah tema tentang
kesinambungan agama-agama, pencarian titik temu (kalimah sawa) diantara
semua kitab suci, pengertian ahl al-kitab yang mencakup semua umat beragama
dengan kitab suci yang memuat ajaran dasar monoteisme; pencarian kebenaran
yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan, dan pengertian Islam yang dikembalikan
kepada makna generiknya.
Teologi inklusif ini dibangun Nurcholish dengan pertama-tama memaknai
islam sebagai sikap penyerahan diri yang meliputi bukan saja agama Islam yang
dibawa Nabi Muhammad, tetapi juga menginclude agama-agama Abrahamic lain
yang hanif. Kemudian tesis Nurcholish ini diperkuat juga dengan interprestasinya
yang meluaskan makna ahl al-kitab bukan sekedar merujuk pada agama Yahudi
dan Nasrani sebelum Nabi Muhammad SAW saja, melainkan sebagai simbol dan
pengakuan kitab suci. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh atau akibat logis dari
paham inklusivismenya (Kartanegara, 2000:139).

Implikasinya, maka dalam pespektif Nurcholish, semua agama secara


esoteris berada pada kedudukan yang sama (equal), sah, dan egaliter sebagai jalan
menuju kebenaran. Klaim kebenaran dan keselamatan; bahwa satu agama saja
yang benar dan yang akan selamat; tidak boleh dimonopoli secara ekslusif dan
sektarian oleh satu agama manapun, termasuk Islam, karena hal itu justru akan
bertentangan dengan makna islam itu sendiri sebagai sikap kepasrahan universal
yang inklusif. Kemudian setelah mengemukakan argumen-argumen teologisnya,
Nurcholish juga menguatkan pandangan inklusivismenya dengan menapaktilasi
sejarah peradaban Madinah yang inklusif, dimana Muhammad SAW telah
membangun dasar-dasar pluralisme ketika Ia bersedia menerima eksistensi agama
lain, Yahudi, Nasrani, dan lainnya yang secara semiotis terkandung dalam makna
ahl al-kitab.

Bila dianalisis secara cermat, pemikiran inklusivisme Nurcholish ini


bukanlah sekeder pemikiran teologi murni yang berdiri sendiri, karena ia
dibangun justru dalam konteks sebagai prasyarat untuk menciptakan bangsa yang
terbuka. Dalam perspektif Nurcholish, dengan intensivikasi hubungan-hubungan
sosial berskala global, setiap negara termasuk Indonesia, bukan saja menghadapi
potensi ledakan pluralisme dari dalam, melainkan tekanan keragaman dari luar.

Oleh karena itu teologi inklusif ini merupakan salah satu upaya beliau
dalam merumuskan hubungan antara Islam dan negara yang dapat diterima secara
teologis, ideologis, dan rasional. Namun demikian, pemikiran teologi Nurcholis
yang sangat inklusif itu tentu saja secara ideologis sangat mendapatkan reaksi
keras dari pihak lain pada awalnya bahkan hingga saat ini. Hal ini dikarenakan
dalam konteks religiusitas masyarakat Indonesia, teologi ekslusif yang
berkeyakinan bahwa agama Islam adalah satu satunya jalan kebenaran dan
keselamatan yang yang sah justru masih menjadi mainstream. Dalam pandangan
eklsusif ini terdapat demarkasi yang jelas antara agama yang benar - sesat, antara
Islam - kafir. Islam dan non Islam secara ideologi diposisikan secara diametral.

Sikap resisten yang tinggi sebagian umat Islam terhadap paham


inklusivisme Nurcholis ini karena paham itu dianggap melangkahi dan
menyimpang dari kelaziman pemikiran arus utama, dianggap sebagai
pengingkaran dan penghianatan terhadap keumuman.

Revolusi paradigma eksklusivisme ke arah inklusivisme juga


dikhawatirkan membawa implikasi pada de-institusionalisasi agama dan berakhir
pada paham relativisme kebenaran. Secara khusus Inklusivisme yang diawali
dengan memaknai term islam pertama-tama tidak dimengerti sebagai sebuah
agama, melainkan sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan yang lapang dan
terbuka, tidak sempit, toleran, tanpa kefanatikan dan tanpa semangat sektarian ini;
justru bergera ke arah de-institusionalisasi agama. Karena kalau islam tidak
pertama-tama melainkan sebagai sikap kepasrahan kepada Allah, dan sikap
semacam itu terdapat juga di luar agama Islam, yang tidak harus dalam agama
Islam, tapi bisa juga di agama lain Kristen, Hindu, Budha dan lainnya. Dengan
demikian Nurcholish diklaim telah meletakkan islam anonim dalam lebar dan tak
terbatas, juga berujung pada relativisme kebenaran. Penolakan yang muncul
terhadap pandangan inklusivisme ini, disamping disebabkan karena adanya
perbedaan pemikiran yang sangat fundamental, secara sosial-politik, pada awal
digulirkannya tahun 70-an, inklusivisme dipandang sebagai ide yang antagonistik
yang membahayakan kehidupan politik umat Islam yang pada politik yang justru
masih mengukuhkan perbedaan identitas kolektif berbasis agama(Gaus, 2010).

Oleh karena itu, untuk waktu yang lama, inklusivisme Nurcholis masih menjadi
wacana minoritas elit, karena disamping dalam konteks sosio-historis pemikiran
mainstream umat Islam di Indonesia masih memiliki kecenderungan

ekslusivisme, oleh para penolaknya, inklusivisme dianggap kehilangan relevansi


dan tidak memiliki pijakan historisnya, karena pemikiran yang menganggap
semua agama itu sah, disaat ketegangan antar agama masih sering terjadi, disaat
kecurigaan dan sikap apriori antar agama satu sama lain masih terus berlangsung,
disaat tensi ketegangan dan koflik horisontal antar agama masih sering terjadi;
pemikiran teologi inklusif secara psikologis dianggap sebuah pemikiran yang
kehilangan empati dan keberpihakannya secara emosional terhadap kondisi
internal umat Islam.

B. Harun Nasution

Harun Nasution adalah putra Batak yang lahir 25 September 1919 di


Pematang Siantar, daerah Tapanuli Utara Sumatra Utara. Ayahnya bernama Abdul
Jabar Ahmad yang merupakan tokoh agama dan penghulu di Kabupaten
Simalungun. Sedangkan ibunya bernama Maemunah, gadis dari Boru Tapanuli.
Ibunya adalah putri seorang ulama yang pernah tinggal di Mekah dan pandai
berbahasa Arab. Lahir di keluarga religius membuatnya mengenal dasar-dasar
keilmuan islam sejak dini ditanamkan kepada Harun kecil.

Sejak kecil ia memiliki sikap ulet dan gigih dalam setiap pekerjaan, terutama
dalam hal belajar. Hal itu terbukti dari riwayat pendidikan dan prestasi yang ia
capai. Dimulai dari pendidikan dasar milik Belanda Hollandsch Inland School
(HIS) Selama tujuh tahun, lulus pada tahun 1934 dengan predikat siswa terbaik.
Di sekolah ini Harun muda berkesempatan mempelajari bahasa Belanda dan ilmu
umum. Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke Modern Islamietische
Kweekschool (MIK)

di Bukittinggi. Meski merupakan sekolah keagamaan, sekolah yang didirikan oleh


Syekh Jamil Jambek ini juga sudah menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Murid-murid pun berpakaian layaknya yang di sekolah Belanda,
menggunakan pantalon dan berdasi. Sikap kritis dan progresif Harun mulai
terasah disini, terutama pada beberapa hukum-hukum islam yang selama ini
dipahami oleh keluarga dan masyarakatnya yang dianggapnya kurang tepat.
Misalnya, dari sekolah ini misalnya Harun mendapatkan pandangan bahwa
menyentuh anjing itu tidak najis dan tidak perlu berwudhu untuk memegang
mushaf. Pandangan-pandangan yang tidak berkembang di wilayah nusantara
sebelum kedatangan gelombang pemikiran pan-Islamisme. pandangan-pandangan
tersebut terdengar sampai orang tua Harun dan membuat mereka
mengkhawatirkan Harun. Orang tuanya kemudian mengirimkannya belajar di
Mekkah. Namun, ia merasa tidak betah karena kondisi Mekkah menurutnya jauh
lebih terbelakang dibandingkan kehidupannya saat di Sumatra dahulu. Ia pun
lebih memilih pindah ke Universitas Al-Azhar, Kairo tepatnya di Fakultas
Ushuludin. Namun, ia hanya bertahan satu tahun di Al-Azhar. Ia pun pindah ke
American University Cairo dengan jurusan ilmu-ilmu sosial dan meraih gelar
sarjana muda (BA) pada tahun 1952.

Setelah itu, ia bekerja di perusahaan swasta dan sempat bekerja di Kedutaan


Indonesia di Kairo. Melalui karir diplomatiknya, ia mengenal seorang gadis Mesir
yang kemudian ia persunting sebagai istri bernama Sayyidah. Sekitar tahun 1953
ia berpindah ke Jakarta dan bekerja di Departemen Luar Negeri antara tahun
1953-1960. Berkat penguasaan bahasa asingnya yang mumpuni, karirnya
merangkak naik sampai diangkat menjadi sekretaris III pada Kedutaan Besar
Republik Indonesia (KBRI) di Brussel.

Setelah mundur dari kedutaan, Harun Nasution memperoleh beasiswa


dari Institute of Islamic Studies di Universitas McGill, Montreal, Kanada dan
meraih gelar S2 pada tahun 1965. Di universitas yang sama, Harun melanjutkan
studinya dan meraih gelar doktor di bidang studi Islam pada tahun 1968 dengan
disertasi The Place Is Reasson in Abduh’s Theology: Its Impact on His
Theological System and Views  Kelak, gagasan-gagasan dalam disertasinya ini
yang akan banyak ia bicarakan sebagai bagian dari ide rasionalisme Islam.

 Memimpin dan Mentransformasi IAIN Jakarta

Mengemban gelar doktor, Harun mengabdikan diri menjadi tenaga pengajar di


beberapa universitas,  diantaranya adalah IAIN (sekarang UIN) Jakarta, IKIP
(sekarang UNJ) Jakarta dan kampus lainya. Ia kemudian diangkat menjadi rektor
IAIN Jakarta selama sebelas tahun dari tahun (1973-1984). Jabatan terakhirnya di
IAIN Jakarta adalah menjadi pimpinan program Pascasarjana (sekarang bernama
Sekolah Pascasarjana) IAIN Jakarta.

Salah satu gagasannya dalam mentransformasi IAIN adalah perombakan


orientasi pendidikan Islam di IAIN. Ia menambahkan kurikulum seperti filsafat,
kalam, tasawuf, perbandingan mazhab, perbandingan agama dan lain-lain yang
semakin membuka cakrawala berpikir dan memancing gairah diskusi masyarakat
muslim. UIN Jakarta saat ini mengabadikan nama Harun Nasution sebagai nama
gedung auditorium di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Sebagai seorang akademisi, salah satu pandangannya adalah kesimpulan


bahwa kemunduran umat Islam terjadi karena meninggalkan rasionalitas, dan
terlalu condong kepada faham fatalistik ala Jabariyah. Efek dari pendapatnya
tersebut, ia disebut sebagai pemikir liberal dan penjaja teologi Muktazilah,
kelompok yang dianggap sesat dan kafir oleh banyak tokoh. Bahkan
dalam Majalah Tempo edisi 12 oktober 1998 diceritakan bahwa suatu hari
Muhamad Hatta mantan wakil presiden menanyakan kenapa tesisnya tidak
dipublikasikan. Ia menjawab takut terjadi reaksi negatif di masyarakat.

Benar saja, ketika Harun Nasution menjelaskan isi tesisnya yang


menyimpulkan bahwa Muhamad Abduh pembaharu islam asal Mesir adalah
seorang muktazilah. Salah seorang tokoh yang ada di sampingnya mengucapkan
“na’udzubillah” mengisyaratkan ketidak sukaanya terhadap pemikiran muktazilah.

Meski gelombang kontroversi menyelimuti kehidupannya, tetapi kiprah,


khidmah dan jasa-jasanya untuk kemajuan agama dan bangsa tidak boleh kita
menutup mata akan itu. Menurut Nurcholish Majid, Harun Nasution adalah
“pembuka” pintu untuk mendekati wahyu melalui rasio. Dan itu adalah satu
langkah dari ribuan langkah yang memang harus ditempuh. Tokoh lain
Komarudin Hidayat juga meluruskan bahwa seekstrim apapun pemikir islam,
wahyu tetap menjadi pijakan utama. Hanya saja mereka memberi porsi akal lebih
banyak dari yang lain.

 Karya-Karya Harun Nasution

Karya-karya Prof. Dr. Harun Nasution yang sampai hari ini masih dijadikan
rujukan oleh masyarakat dalam mendalami agama islam. Di antaranya adalah:

1. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,

2. Teologi Islam: Aliran-Aliran, Analisa dan Perbandingan,

3. Filsafat Agama, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam (1978),

4. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Akal


dan Wahyu Dalam Islam,

5. Muhamad Abduh dan Teologi Rasional Muktazilah,


6. Islam Rasional.  Warisan keilmuan ini adalah bukti kebesaran seorang
Harun Nasution yang memberi warna dalam dinamika pemikiran islam
Indonesia.
Pada 18 September 1998 beliau dipanggil menghadap tuhan dengan
mewariskan sumbangan pemikiran untuk islam dan bangsa Indonesia

Semangat modernitas inilah yang membentuk kepribadian Harun, termasuk


dalam menjalankan ajaran Islam. Nantinya, ia dikenal sebagai tokoh pembaharu
Islam di Indonesia yang mengedepankan akal dan pikiran ketimbang adat, tradisi,
atau ritual-ritual yang dianggapnya menghambat kemajuan kaum Muslimin. Pilih
Kairo Ketimbang Mekkah Sejatinya, Harun enggan pergi ke Arab Saudi. Jika
boleh memilih, ia lebih senang melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Namun,
demi menghormati kehendak ibunda tercinta, Harun akhirnya berangkat juga ke
Mekkah meski kemudian ia tidak kerasan di sana. Harun Nasution lahir di
Pematang Siantar, Sumatera Utara, pada 23 September 1919. Ayahnya adalah
seorang pedagang asal Mandailing sekaligus dikenal sebagai qadhi atau penghulu.
Ayah Harun bertipikal fatalis, selalu berserah diri kepada Tuhan tentang apa yang
sedang dan akan terjadi. Keberadaan orang-orang Belanda di Indonesia, misalnya,
bagi ayah Harun sudah menjadi ketentuan yang digariskan Allah. Belanda akan
pergi jika Allah menghendaki. Maka, ia tidak ingin anak-anaknya, termasuk
Harun, ikut terlibat dalam arus pergerakan nasional yang sedang menghangat di
tanah air kala itu. Namun, Harun sejak dini sudah mengecap pendidikan modern,
selain tentu saja mendalami agama Islam. Ia menuntaskan sekolah dasarnya di
HIS (Hollandsch-Inlandsche School) yang dibentuk pemerintah kolonial untuk
anak-anak pribumi. Setelah lulus dari HIS, Harun melanjutkan studi ke Moderne
Islamietische Kweekschool (MIK) di Bukittinggi. Ini adalah sekolah guru tingkat
menengah pertama swasta yang dikelola ulama pembaharu Islam asal Sumatera
Barat, Abdul Gafar Jambek. Kehidupan sekolah di MIK bernuansa modern,
murid-muridnya berdasi laiknya orang Eropa, bahasa Belanda pun menjadi bahasa
pengantarnya. Menurut Aqib Suminto dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran
Islam: 70 Tahun Harun Nasution (1989), sekolah ini juga mengajarkan bahwa
memelihara anjing boleh-boleh saja, atau tidak perlu bersuci dulu jika memegang
kitab suci (hlm. 7). Ayah dan terutama ibunda Harun rupanya khawatir, lantas
mengirimnya ke Mekkah. Namun, ia benar-benar merasa tidak bisa menikmati
kehidupan asing di negeri itu. Orangtua Harun akhirnya menyerah dan
membolehkannya kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo. Selain itu, ia juga
menjalani studi di American University of Cairo.

Kuliahnya di Al-Azhar terbengkalai lantaran kiriman uang terhambat akibat


Perang Dunia II. Namun, setelahnya Harun masih sempat meraih gelar sarjana
muda dari American University of Cairo (hlm. 14). Kala itu, Indonesia sudah
merdeka. Harun pun memutuskan pulang ke tanah air, bekerja untuk Departemen
Luar Negeri RI dan ditempatkan Arab Saudi, Belgia, serta Mesir. Seperti dicatat
Ris'an Rusli dalam Pemikiran Teologi Islam Modern (2018), Harun meneruskan
studi ke Al-Dirasah Al-Islamiyyaħ di Mesir dan McGill University di Kanada.
Setelah menerima gelar master dan kemudian doktor (Ph.D), ia kembali lagi ke
Indonesia hingga akhirnya resmi menjabat Rektor IAIN Syarif Hidayatullah sejak
1973 (hlm. 240). Memadukan Wahyu dengan Akal “Harapanku memang cuma
satu. Pemikiran asy’ariyah mesti diganti oleh pemikiran rasional mu'tazilaħ,
pemikiran para filosof atau pemikiran rasional,” sebut Harun Nasution seperti
dikutip Suminto (hlm. 61). Asy’ariyah kerap dianggap sebagai aliran yang
mewakili golongan Islam tradisional. Sebaliknya, mu'tazilaħ merupakan
kelompok Islam rasional. Mu'tazilaħ inilah yang dipegang teguh Harun dan
diperkenalkan kembali ke Indonesia. Harun sangat terinspirasi dengan pemikiran
tokoh gerakan modernisme Islam dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905),
yang dianggapnya selaras dengan teologi rasional mu'tazilaħ. Disertasinya pun
mengangkat tentang sosok ini, yakni berjudul “The Place of Reason in Abduh’s
Theology: Its Impact on His Theological System and Views.” Terkait ini, Harun
menuangkan kecocokan pemikirannya dengan Muhammad Abduh melalui buku
berjudul Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1996). Salah
satunya tentang sikap jumud yang oleh Abduh disebut sebagai penyebab utama
kemunduran umat Islam (hlm. 174). Baca juga: Kiai Dahlan & Muhammadiyah:
Usaha Melumat Kejumudan Umat Pemikiran Abduh ini sangat mengena dalam
pemahaman Harun. Menurutnya, yang juga menjadi penyebab kemunduran umat
Islam di Indonesia tidak lain adalah kejumudan. Ia mengidentikkan ini dengan
golongan asy’ariyah yang disebutnya bersifat sangat jabariah atau terlalu
menyerah kepada takdir. Sebagaimana ditelaah Warkum Sumitro dan kawan-
kawan dalam Konfigurasi Fiqih Poligini Kontemporer: Kritik Terhadap Paham
Ortodoksi Perkawinan Poligini di Indonesia (2014), Harun sependapat dengan
Abduh bahwa sumber utama ajaran Islam juga dari akal manusia. Islam
memandang akal mempunyai kedudukan tinggi sehingga Islam adalah agama
yang rasional (hlm. 38). Bagi Harun, mempergunakan akal adalah salah satu dasar
dalam beragama Islam. Iman seseorang tidak akan sempurna jika tidak didasarkan
pada akal. Dalam Islam-lah, menurutnya, agama dan akal pertama kali bisa
berdampingan. Harun meyakini potensi akal harus dimanfaatkan untuk mencapai
kemajuan umat Islam yang terwujud dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan modern yang berdasar kepada sunatullah, tambahnya, tidak
bertentangan dengan Islam. Kedua-duanya bersumber dari Allah. Islam mesti
sesuai dengan ilmu pengetahuan, demikian pula sebaliknya. Dalam bukunya yang
menjadi rujukan utama para mahasiswa IAIN, Teologi Islam: Aliran-aliran,
Sejarah, Analisa, Perbandingan (1986), Harun menyatakan bahwa perpaduan
pemikiran Abduh dan konsep mu'tazilaħ mampu membawa masyarakat menjauh
dari kekacauan, bahkan tanpa turunnya wahyu sekalipun (hlm. 47). Namun, bukan
berarti Harun menentang konsep wahyu dalam meyakini Islam dan keilahian
Tuhan. Harun justru selalu memadukan wahyu dengan akal selaku dua unsur
utama yang saling melengkapi. Ia meyakini, Alquran sebagai wahyu Allah
memandang akal sebagai sesuatu yang sangat penting. Akal, menurut Harun, amat
berguna bagi manusia untuk membedakan mana kebaikan dan mana keburukan—
hal-hal yang juga termaktub dalam kitab suci. Maka, Harun sangat tidak tertarik
dengan ulama-ulama yang menimbulkan paham taklid buta di kalangan umat dan
menyebabkan orang Islam berhenti menggunakan akalnya. Sikap seperti itu
bahkan dipandang Harun bertentangan dengan Alquran dan Hadis (Harun, 1996:
175). “Pembicaraanku seringkali terlalu filosofis. Maka setiap kali aku diminta
untuk berbicara di masjid, kubilang tidak bisa. Aku tidak bisa bercerita dongeng
kepada mereka. Sebab, dongeng tidak masuk akal bagiku.” Apa yang dilakukan
Harun, dengan segenap pro dan kontra yang menyertainya, semata-mata demi
kebangkitan umat Islam. Jika umat Islam ingin bangkit, kata Harun, tidak harus
dilakukan dengan emosi keagamaan yang meluap-luap dan justru berpotensi
menjadi bumerang, melainkan berdasarkan pemikiran yang dalam, menyeluruh,
dan filosofis terhadap Islam itu sendiri. Guru Pembaharu Islam Indonesia Harun
Nasution melakukan sejumlah gebrakan di Indonesia kendati tidak semua
kalangan sepakat dengan pembaharuan Islam yang dibawanya. Salah satu yang
dihadirkan Harun adalah gagasan Islam sebagai agama yang dinamis.
Menurutnya, seperti yang ia tulis dalam Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran
(1995), manusia yang mutlak terpelihara dari kesalahan hanya Nabi Muhammad.
Dengan kata lain, hasil ijtihad para ulama bersifat relatif alias tidak mustahil untuk
direformasi. Harun membayangkan Islam yang lincah dalam menghadapi
tantangan zaman dengan cara ini (hlm. 122). Gebrakan Harun lainnya adalah
ketika menjabat sebagai Rektor IAIN (kini UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak
1973. Sedari awal, Harun sudah menyiapkan rencana perombakan. Baca juga:
Sejarah UII dan UIN Hingga Hasrat Mewujudkan UIII “Aku sudah siap dengan
konsep. Sejak aku masih di luar negeri, aku sudah mendengar kondisi IAIN,
bahwa pemikiran di IAIN sangat sempit,” tutur Harun seperti dikutip dari
Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (2006: 179)
karya Adian Husaini. Dan benar. Ia merombak kurikulum IAIN secara
revolusioner. Tidak hanya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, melainkan seluruh
IAIN di Indonesia. Harun menilai, kurikulum IAIN yang selama ini berorientasi
fikih harus diubah karena akan menimbulkan kejumudan di kalangan mahasiswa
dan membuat pikiran mereka tumpul. Beruntung, pergaulan Harun yang luas,
termasuk dengan dukungan Menteri Agama Abdul Mukti Ali, membuat
perombakan tersebut berjalan sesuai rencana. Diakui Harun, banyak akademisi
IAIN yang tidak sepaham dengannya, tapi memilih diam. “Barangkali karena di
belakangku ada Menteri Agama.” Harun juga mengusulkan dibentuknya forum
musyarawah antar-agama agar tiada lagi saling curiga antara pemeluk agama yang
satu dengan yang lain. Disebutkan dalam buku Masalah Hubungan Antar Umat
Beragama di Indonesia (1978), usul itu mengemuka dalam diskusi panel di Jakarta
pada 16-17 April 1975 yang dihadiri perwakilan dari agama Islam, Katolik,
Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan aliran kepercayaan (hlm. 60). Baca juga:
KH Anwar Musaddad: Anti-Makar, Menolak Negara Islam Tidak dipungkiri,
sepak-terjang Harun memang sempat menimbulkan pergolakan di kalangan kaum
Muslimin. Namun, sekali lagi, itu semata-mata dilakukannya demi kemajuan
Islam. Dan Islam, menurutnya, harus mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan serta kemajuan zaman. Pengaruh pemikiran Harun ternyata cukup
kuat dan melekat. Sebagai seorang pengajar, ia juga diteladani murid-muridnya. Ia
pun menjadi guru bagi para cendekiawan Muslim Indonesia selanjutnya, meski
tokoh-tokoh yang meneladani pemikiran Harun ini seringkali dicap liberal.
Gebrakan Harun dalam mereformasi IAIN, misalnya, diakui mantan Menteri
Agama Munawir Sjadzali, yang berkata: “Kiranya tidak berlebihan jika saya
katakan bahwa kehadiran beliau di dalam keluarga besar IAIN telah menghasilkan
pola pikir yang maju dan menggalakkan keberanian berpendapat serta
keterbukaan terhadap dunia luar. Berpulangnya Ulama Penggagas Islam
Nusantara Begitu pula dengan Nurcholish Madjid alias Cak Nur. “Orang semacam
Harun Nasution,” sebut Cak Nur, “telah memberikan ‘bekas’ terhadap
perkembangan keIslaman di IAIN seperti menghasilkan suatu gejala umum di
mana orang berani berdiskusi secara terbuka, berani mempertanyakan pandangan
atau doktrin yang sudah mapan dan tidak melihat doktrin itu sebagai taken for
granted.” Harun Nasution wafat di Jakarta pada 18 September 1998 dengan
meninggalkan warisan berupa seabrek pemikiran cemerlang. Tahun 2015 lalu,
Presiden Joko Widodo menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada
Prof. Dr. Harun Nasution sebagai Tokoh Pengembang Budaya Moderat.
Sepanjang Ramadan hingga lebaran, redaksi menyuguhkan artikel-artikel yang
mengetengahkan pemikiran para cendekiawan dan pembaharu Muslim zaman
Orde Baru dari berbagai spektrum ideologi. Kami percaya bahwa gagasan mereka
bukan hanya mewarnai wacana keislaman, tapi juga memberi kontribusi penting
bagi peradaban Islam Indonesia. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik
"Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
C. Muhammad Amien Rais

Prof. Dr. H. Muhammad Amien Rais MA atau disebut Amien Rais. Beliau
beragma islam dan lahir di Surakarta , jawa tengah pada hari Rabu , 26 April
1944. Zodiac beliau Taurus dan beliau warga Indonesia, nama ayahnya Syuhud
Rais dan ibunnya bernama Sudalmiyah . Istrinya bernama Kusnariyati Sri
Rahayu.. mereka dikaruniai anak yang bernama, Ahmad Mumtaz Rais, Abdul
Rozaq Rais , Hanafi Rais.
Amien Rais adalah salah satu pilar penting politik di Indonesia yang ikut
membidani lahirnya reformasi dan berakhirnya era pemerintahan Orde Baru.
Sejak di bangku kuliah Amien Rais sudah aktif di berbagai organisasi
kemahasiswaan, di antaranya adalah menjadi salah satu pendiri Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (IMM) dan menjabat sebagai Sekretaris Lembaga DAkwah
Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Yogyakarta. Mengikuti
keinginan ayahnya, Amien Rais mengambil kuliah bidang politik di Universitas
Gadjah Mada. Ternyata memang di bidang inilah Amien berkembang pesat.
Skripsinya yang menyoroti politik luar negeri Israel berhasil mendapatkan nilai A
dan Amien Rais berkesempatan melanjutkan studi hingga program doktoral di
beberapa universitas ternama luar negeri. Disertasinya menyorot soal Timur
Tengah dan semakin memperdalam dua bidang kajian yang sangat lekat dengan
hidup Amien Rais, yaitu politik dan Islam.

Sepulangnya ke Indonesia, Amien Rais mengepalai Pusat Pengkajian Strategi


dan Kebijakan yang dinaungi Yayasan Mulia Bangsa Yogyakarta. Lembaga ini
mengkaji dan meneliti kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk memperkuat
negara. Dengan pengalamannya di banyak negara dan studi politik yang
dilakukannya selama bertahun-tahun, Amien Rais memiliki pengetahuan yang
sangat luas terutama soal hak asasi manusia dan demokrasi. Dengan bekal
tersebut, Amien Rais tidak tinggal diam melihat kebobrokan di dalam negara
Indonesia, beliau sering mengkritik banyak hal dalam pemerintahan. Bersama
dengan para tokoh nasional lain, beliau mendirikan ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia).

Telah aktif menulis sejak di masa sekolah, suara dan kritik Amien Rais juga
diserukan melalui tulisan, salah satunya dengan menjadi penulis tetap di Harian
Umum Republika dan menulis sejumlah buku tentang politik dan Islam. Beliau
adalah tokoh yang vokal menyerukan pendapat dan terang-terangan mengkritik
kebobrokan pemerintahan Orde Baru yang saat itu masih berkuasa. Ketika kondisi
perekonomian Indonesia semakin lemah, Amien Rais termasuk tokoh nasional
yang menyerukan reformasi total dalam pemerintahan dan menuntut lengsernya
presiden Soeharto. Di tahun 1998, Amien Rais mendirikan Partai Amanat
Nasional (PAN), partai yang membawa aspirasi perjuangan Muhammadiyah
untuk negara. Amien Rais menjadi ketua umumnya dan diajukan menjadi calon
presiden di Pemilu tahun 1999 dan 2004. Gagasan Amien Rais memberikan
pengaruh yang besar di politik nasional dan kestabilan negara, salah satunya
adalah dengan membentuk Poros Tengah saat persaingan politik nasional sedang
memanas memperebutkan kursi kepresidenan setelah BJ Habibie. . Atas manuver-
manuver politiknya untuk bangsa Indonesia, Amien Rais disebut-sebut sebagai
Bapak Bangsa. Usai Pemilu tahun 2004, Amien Rais memutuskan untuk kembali
menjadi akademisi di kampus, dan tetap bergiat di Muhammadiyah dan partainya,
PAN. Riset dan analisa oleh Somya Samita
# Pendidikan
 George Washington University (postdoctoral degree, 1988-1989)
 Chicago University, Chicago, USA (gelar Ph.D dalam ilmu politik 1984)
 Al-Azhar University, Cairo, Mesir (1981)
 Notre Dame Catholic University, Indiana, USA (1974)
 Fakultas Sosial Politik Universitas Gajah Mada (lulus 1968)
# Karir

 Ketua MPR (1999-2004)


 Ketua Umum Partai Amanat Nasional, 1999
 Ketua Muhammadiyah (1995-2000)
 Anggota Grup V Dewan Riset Nasional (1995-2000)
 Peneliti Senior di BPPT (1991)
 Direktur Pusat Kajian Politik (1988)
 Wakil Ketua Muhammadiyah (1991)
 Asisten Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (1991-1995)
 Pengurus Muhammadiyah (1985)
 Dosen pada FISIP UGM (1969-1999)
# Penghargaan

 Zainal Zakse Award dari tabloid Mahasiswa Indonesia dan Harian Kami
 Karya/Penelitian:
 Prospek Perdamaian Timur Tengah 1980-an (Litbang Deplu RI)
 Perubahan Politik Eropa Timur (Litbang Deplu)
 Kepentingan Nasional Indonesia dan Perkembangan Timur Tengah1990-
an (Litbang Deplu)
 Zionisme: Arti dan Fungsi (Fisipol, UGM)
 Melawan Arus: Pemikiran dan Langkah Politik Amien Rais Jakarta:
Serambi, 1999
 Amien Rais Menjawab Isu-isu Politik Kontroversialnya, Bandung: Mizan,
1999
 Amien Rais Sang Demokrat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998
 Suara Amien Rais, Suar Rakyat, Jakarta: Gema Insani Press, 1998
 Membangun Kekuatan di Atas Keberagaman, Yogyakarta: Pustaka SM,
1998
 Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial,
MenegakkanAmar Ma’ruf Nahi Munkar, Bandung: Zaman Wacana Mulia,
1998
 Tauhid Sosial, Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan,
1998
 Melangkah Karena Dipaksa Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
 Mengatasi Krisis dari Serambi Masjid, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
 Suksesi dan Keajaiban Kekuasaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
 Refleksi Amien Rais, Dari Persoalan Semut Sampai Gajah, Jakarta, Gema
Insani Press, 1997
 Visi dan Misi Muhammadiyah, Yogyakarta: Pustaka SM, 1997
 Demi Kepentingan Bangsa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
 Tangan Kecil, Jakarta: UM Jakarta Press, 1995
 Moralitas Politik Muhammadiyah, Yogyakarta: Penerbit Pena, 1995
 Keajaiban Kekuasaan, Yogyakarta: Bentang Budaya-PPSK, 1994
 Timur Tengah dan Krisis Teluk, Surabaya: Amarpress, 1990
 Politik Internasional Dewasa Ini, Surabaya: Usaha Nasional, 1989
 Cakrawala Islam, Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan, 1987
 Tugas Cendekiawan Muslim, Terjemahan Ali Syariati, Yogyakarta:
Salahuddin Press, 1985
 Politik dan Pemerintahan di Timur Tengah, PAU-UGM
 Orientalisme dan Humanisme Sekuler, Yogyakarta: Salahuddin Press,
1983
# Telaah Atas Hubungan Islam dan Negara Periode 1985 -2000
Adalah hal yang sulit (mustahil) bahwa suatu aktivitas keduniaan sepenuhnya
terbebaskan atau terlepas dari pengaruh nilai-nilai agama. Dalam konteks
keindonesiaan, politik sebagai salah satu segmen kegiatan dimaksud, juga tidak
dapat dilepaskan dari Islam, sebagaimana aktivitas politik Muslim sendiri itu pun
mustahil kosong dari pengaruh agama. Atas dasar pertimbangan bahwa
pandangan seseorang terhadap realitas politik tidak terlepas dari pengaruh cara
pandang terhadap agamanya, maka begitu pun pemahaman Amien Rais tentang
politik terkait dengan relasi antara Islam dan negara, juga tidak terlepas dari
pemahamannya terhadap agama.

Atas dasar itu, penelitian pemikiran Amien difokuskan pada tiga bahasan
utama. Pertama, pandangan Amien tentang keagamaan yang mencakup tauhid,
syari’ah, dan normativitas historisitas agama. Kedua, pandangan Amien tentang
konsep negara yang meliputi politik dan kekuasaan, prinsip-prinsip dasar negara
dan signifikansi negara. Ketiga, hubungan politika ntara Islam dan negara yang
terdiri dari politik sebagai media dakwah, paradigma relasi Islam dan negara,
relasi Islam dan negara dalam bangunan politik negara.

Paradigma pemikiran Amien, pada dasarnya bermuara pada konsep tauhid,


yang mewujud dalam kerangka syari’ah. Dalam pandangannya, tauhid melahirkan
prinsip-prinsip universal yang dapat dijadikan sebagai sumber etik-moral bagi
seluruh tatanan kehidupan, baik kehidupan keagamaan, ekonomi, sosio-kultural,
maupun politik dan kenegaraan. Model pemahaman keagamaan Amien bertumpu
pada dua pendekatan. Pertama, pendekatan skripturalistik, digunakan untuk
memahami persoalan-persoalan yang secara tekstual dijelaskan oleh al-Qur’an
dan Sunnah, seperti ketentuan ukuran waris 1 berbanding 2. Untuk persoalan ini,
Amien tidak menerima penafsiran ulang. Kedua, pendekatan subtansialistik,
digunakan untuk memahami persoalan-persoalan yang ketentuannya tidak
dijelaskan secara eksplisit oleh kedua sumber ajaran Islam tersebut, seperti
ketentuan model dan penyelenggaraan suatu negara. Dalam hal ini, Amien
menerima penafsiran ulang

Berhubung tauhid dipahami Amien sebagai sentrum bagi seluruh kehidupan


Muslim, maka politik menurutnya harus bersumber dari moralitas dan etika
tauhid. Jika tidak, politik akan berjalan tanpa arah dan bermuara pada
kesengsaraan orang banyak. Dalam konteks ini, hubungan politik antara Islam dan
negara dalam pandangan Amien tidak mengenal adanya sekularisasi dalam artian
pemisahan negara dari moralitas agama secara ekstrem. Karena hal ini, dalam
keyakinanya bertentangan dengan konsep tauhid.

Berdasar pada argumentasi bahwa persoalan relasi Islam dan negara tidak
termasuk yang dijelaskan ketentuannya secara eksplisit oleh al-Qur’an dan
Sunnah, serta syari’ah hanya memberikan prinsip-prinsip dasar bagi pengelolaan
suatu negara, maka konsep pemahaman persoalan ini, menurut Amien masih tetap
dapat ditafsirkan kembali. Model pandangan keagamaan ini berimplikasi pada
paradigma pemikiran politik Amien, terutama relasi antara Islam dan negara, tidak
bersifat legal-formalistik, melainkan lebih bersifat substansialistik. Oleh karena
itu, dalam pandangannya, selama penyelenggaraan suatu negara ditegakkan di atas
prinsip-prinsip dasar Islam (keadilan, persamaan, musyawarah, persaudaraan,
kebebasan dan pertanggungjawaban, selama itu pula mekanismenya dipandang
sebagai Islami.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dilihat dari implikasi pemikiran-pemikirannya, Nurcholish Madjid adalah
seorang yang mampu membangunkan gerak dimanis tradisi berfikir kritis
ditengah mandegnya dinamika pemikiran Islam di Indonesia. Namun layaknya
sebuah pemikiran, ia selalu menimbulkan pro dan kontra, demikian juga
Nurcholish Madjid. Oleh karena itu, apresiasi dan penghargaan yang tulus dan
tinggi layak dialamatkan oleh umat Islam terhadap segala kontribusinya tanpa
harus umat kehilangan daya kritis nya sebagaimana yang telah diajarkan sendiri
oleh beliau, sehingga pemikirannya dapat dilanjutkan, diaktualisasikan dan
bahkan dibaharukan sesuai situasi dan kondisi, agar umat Islam tidak lagi
mengalami stagnasi.
Pengaruh pemikiran Harun ternyata cukup kuat dan melekat. Sebagai seorang
pengajar, ia juga diteladani murid-muridnya. Ia pun menjadi guru bagi para
cendekiawan Muslim Indonesia selanjutnya, meski tokoh-tokoh yang meneladani
pemikiran Harun ini seringkali dicap liberal. Gebrakan Harun dalam mereformasi
IAIN, misalnya, diakui mantan Menteri Agama Munawir Sjadzali, yang berkata:
“Kiranya tidak berlebihan jika saya katakan bahwa kehadiran beliau di dalam
keluarga besar IAIN telah menghasilkan pola pikir yang maju dan menggalakkan
keberanian berpendapat serta keterbukaan terhadap dunia luar.
Atas dasar pemikiran itu, penelitian pemikiran Amien difokuskan pada tiga
bahasan utama. Pertama, pandangan Amien tentang keagamaan yang mencakup
tauhid, syari’ah, dan normativitas historisitas agama. Kedua, pandangan Amien
tentang konsep negara yang meliputi politik dan kekuasaan, prinsip-prinsip dasar
negara dan signifikansi negara. Ketiga, hubungan politika ntara Islam dan negara
yang terdiri dari politik sebagai media dakwah, paradigma relasi Islam dan negara,
relasi Islam dan negara dalam bangunan politik negara.
B. Saran
1. Bagi pembaca diusahakan tetap mempelajari dari beberapa buku yang lain
agar pengetahuannya lebih luas.
2. Jika masih belum faham bisa bertanya kepada yang ahli karna
pembelajaran tentang thaharah ini sangat penting bagi kehidupan kita
sehari hari.
DAFTAR PUSTAKA

Dari : https://media.neliti.com/media/publications/177568-ID-nurcholish-
madjid-dan-pemikirannya-diant.pdf
Dari : https://bincangsyariah.com/khazanah/biografi-prof-dr-harun-nasution-
pembawa-gagasan-rasionalisme-ala-muktazilah-di-iain/
Dari : https://tirto.id/memadukan-wahyu-dan-akal-berislam-ala-harun-nasution-
cKpv
Dari : https://m.merdeka.com/muhammad-amien-rais/profil/
Dari : https://uinsgd.ac.id/pandangan-m-amien-rais-tentang-politik-islam-
indonesia-telaah-atas-hubungan-islam-dan-negara-periode-1985-2000/

Anda mungkin juga menyukai