Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM NURCHOLISH MADJID DAN GUS DUR


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam
Dosen pengampu
H.Saihul Atho Ah,S.Ag,M.Pd.I

Disusun oleh :
Kelompok 10:

1. Moh Hilmi Santosa (2101012171)


2. Siti latifatus solekha. (2101012176)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS KH.A.WAHAB HASBULLAH
TAMBAKBERAS JOMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah , Taufiq dan
Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah dapat digunnakan sebagai salah satu
acuan ,petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi.
Makalah ini kami akui masih banyak kurangnya ,oleh karena itu kami harapkan kepada
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bisa membangun kesempurnaan
makalah ini.

Jombang, 10 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................1
1.3 Tujuan ..............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................3
1.1 Pemikiran Kalam Nurcholish Madjid...............................................................3
2.2 Pemikiran Kalam Gus dur................................................................................4
BAB III PENUTUP..........................................................................................................9
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................9
3.2 Saran.................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Nurchalish Madajid dan Abdurahman Wahid merupakan pemikir Keislaman dan
kemodernan yang berlatar belakang pesantren. Keduanya Menempuh pendidikan di
berbagai lembaga dan baik di dalam negeri Maupun di luar negeri, sehingga sepulangnya
di kemudian hari, membuat Pemikiran keduanya terasa jauh melampaui zamannya,
mendobrak Kemapanan, dan membongkar kekolotan-kekolotan yang ada.Pemikiran
Nurchalish Madjid banyak dipengaruhi oleh promotornya Saat di Chicago University, ia
berada di bawah bimbingan Fazlur Rahman, Seorang cendekiawan muslim yang
mengusung gagasan Neomodernisme Sebagai pendobrakan terhadap kekakuan pemikiran
Islam saat itu.
Abdurahman Wahid sendiri terbentuk dalam kultur tradisional yang Antimainstream
tradisional. Kendati ia produk asli pesantren secara Genealogi darah maupun keilmuan,
namun yang dipelajari dan dicacahnya Bukan saja kitab-kitab kuning, akan tetapi juga
buku-buku filsafat, sejarah, Kesusastraan, majalah-majalah berbasa asing yang kemudian
hari Membuatnya mengalami kegelisahan intelektual sehingga ia memutuskan Untuk
melakukan pengembaraan intelektual ke luar negeri.

1.2 umusan Masalah


Penulis telah menulis beberapa masalah yang akan di bahas didalam makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasaan bab ini , adapun masalah yang akan kami bahas antara lain:
1. Mengkaji pemikiran kalam Nurcholish Majid
2. Mengkaji pemikiran kalam Gus dur (Abdurrahman Wahid)

1.3 Tujuan
1. Agar dapat mengetahui dan memahami pemikiran kalam Nurcholish majid
2. Agar dapat mengetahui dan memahami pemikiran kalam gus dur ( Abdurrahman
Wahid)

1
BAB 1
PEMBAHASAAN

A. Kalam Nurcholish Majid


1. Riwayat hidup dan pendidikan Nurcholish Majid
Nurcholish Madjid adalah seorang putra kelahiran Mojoanyer, Jombang, Jawa Timur,
tanggal 17 Maret 1939 Masehi. Bertepatan dengan 26 Muharram 1358 Hijriyah. Dia
dilahirkan dari kalangan keluarga pesantren. Ayahnya adalah K.H Abdul Madjid, seorang
kyai jebolan pasentren Tebuireng, Jombang, yang didirikan oleh pendiri Nahdatul Ulama
(NU) Hadaratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang mana beliau adalah salah seorang diantara
Faunding Father Nahdatul Ulama. Sementara ibunya adalah adik dari Rais Akbar NU dari
ayah seorang aktivis Syarikat Dagang Islam (SDI) di Kediri yang bernama Hajjah Fathonah
Mardiyyah. Nurcholish Madjid lahir sebagai anak sulung dari empat bersaudara. Panggilan
Nucholish Madjid yang terkenal adalah panggilan Cak Nur. Keseharian beliau adalah apabila
pagi beliau belajar di sekolah rakyat, sorenya ia mengaji di Madrasah al-Whathaniyyah,
pimpinan ayah kandungnya sendiri. Ayahnya kebetulan mempunyai koleksi buku yang
terbilang lengkap, sehingga Nurcholish Madjid saat kecil dari pada bermain lebih baik
membaca kitab-kitab yang dimiliki ayahnya. Nurcholish Madjid meninggal pada tanggal 29
agustus 2005 dalam usia 66 tahun. Ia adalah salah satu dari pemikir Islam terbaik Indonesia
yang telah mengontribusi pemikiran-pemikiran keislaman kontemporer, khususnya dalam apa
yang ia sebut pada tahun 1990 sebagai mempersiapkan umat Islam Indonesia memasuki
zaman modern.
Masa kecil Nurcholish Madjid dihabiskan sebagai santri di Pondok Pesantren Salafiyah
Darul Ulum Rejoso, Jombang dan Pondok Pe-santren Modern Darussalam Gontor.
Selanjutnya, ia mealanjutkan pendidikan di IAIN Syarif Hidayatullah, dan memulai
kiprahnya sebagai aktivis HMI, hingga menjadi Ketua Umum, bahkan terpilih menjadi
Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) dan sebagai Wakil Sekretaris
Umum International Islamic Federation of Student Organization (IIFSO).
Sumbangan terbesarnya bagi HMI adalah ia merumuskan Nilai-nilai Dasar Perjuangan
(NDP), yang menjadi Nilai-nilai Identitas Kader (NIK) yang masih digunakan oleh kader
HMI hingga sekarang. Dokumen itulah yang menjadi awal kiprahnya sebagai intelektual
muda, dengan gagasan pembaharuan Islam. Berkat kiprahnya yang menakjubkan, ia dijuluki
sebagai “Natsir Muda”. Namun ide-ide pembaharuannya segera menuai kontroversi. Mula-
mula, ia memproklamirkan keharusan umat Islam melalui proses modernisasi, yang pada

5
masa itu masih ditentang keras oleh tokoh-tokoh Islam. Selanjutnya, ia melontarkan jargon
“Islam Yes, Partai Islam No,” di tengah besarnya ekspektasi umat Islam ter-hadap satu-
satunya partai Islam saat itu, yaitu PPP. Idenya yang paling kontroversial adalah tentang
sekularisasi, di mana ia menyerukan ke-harusan umat menjalani proses sekularisasi untuk
terlepas dari kejumudan. Melalui itu, ia menyeru-kan kebebasan berpikir, pentingnya the idea
of progress, sikap terbuka, dan keharusan pem-baruan yang liberal. Tak kurang, Harun
Nasution pun mengkritik gagasan tersebut. Selanjutnya, Nurcholish menyerukan gagasan
desakralisasi, yaitu proses memilah antara yang sakral (ukhrawi) dan yang profan (duniawi).
Salah satunya, ia memberi contoh radikal dengan menerjemahkan “la ilaha illa Allah” dengan
“tiada tuhan selain Tuhan.”

2.Pemikiran kalam Nurcholish majid


a. Konsep Tauhid
Menurut Nurcholish, manusia berpotensi untuk terjerumus ke dalam agama palsu
(pseudo-religion). Tauhid adalah pembebas dari belenggu tersebut. Oleh sebab itu, untuk
membebaskan diri dari belenggu tersebut, manusia harus menyatakan “La ilaha ...” (“tidak
ada sesuatu tuhan apa pun...”), kemudian mengucap “illa Allah” (“kecuali Allah”). Itulah
kalimat al-nafy wa al-itsbat, (negasi-konfirmasi) yang memecahkan persoalan syirk dan
menegaskan keesaan Allah, dengan cara mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya untuk
memperoleh perkenan atau ridla-Nya. Manusia sendiri, jika tidak mendapatkan hidayah yang
benar, cenderung ke arah politeisme (syirk). Karena itulah, nabi-nabi tidak hanya
mengajarkan bahwa Tuhan itu ada, tetapi yang lebih penting, Tuhan itu Ada dan Maha Esa,
dan manusia diperintahkan untuk hanya memuja Dia Yang Maha Esa. Inilah ajaran tauhid.
Nurcholish menyatakan bahwa ateisme adalah persoalan kecongkakan manusia yang hendak
mengandalkan dirinya sendiri (akal dan ilmu pengetahuan) untuk “memahami” Tuhan. Dari
sudut pandang Islam, percobaan untuk “memahami Tuhan” itu pasti gagal, dan wajar sekali
jika muncul kesimpulan dari kaum ateis bahwa Tuhan tidak ada, kegagalan itu bermula dari
keterbatasan akal manusia, khususnya akal modern yang hampir a priori membatasi diri
hanya kepada hal-hal empiris secara materialistik.

b. Konsep Taqwa, Iman dan Ihsan


Menurut Nurcholish Madjid, taqwa merupakan simpul pesan keagamaan universal
kepada seluruh umat manusia. Maka Al-Quran meletak-kan taqwa sebagai satu-satunya
kriteria kemulia-an manusia. Inilah kriteria yang paling objektif yang menjadi dasar

6
hubungan antar-bangsa, ras, suku, individu, suatu kriteria yang menjadikan hidup lebih
dinamis, karena di sini orang berlomba-lomba dalam kebaikan.
Taqwa, menurut Nurcholish, sering diartikan atau diterjemahkan sebagai “sikap takut
kepada Tuhan”, atau “sikap menjaga diri dari perbuatan jahat”, atau “sikap patuh memenuhi
segala kewajiban serta menjauhi larangan Tuhan”. Meskipun penjelasan tersebut menurut-
nya mengandung kebenaran, ia menganggap bahwa arti kata tersebut tidaklah mencakup
seluruh pengertian taqwa itu sendiri. Selanjutnya Nurcholish menyatakan bahwa taqwa
sesungguh-nya adalah “kesadaran ketuhanan”. Untuk mencapai taqwa itu, maka pertama
manusia harus iman kepada Allah. Iman itulah yang akan melahirkan tata nilai berdasarkan
ketuhanan, yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan.
Selanjutnya, manusia harus berbuat ihsan. Menurut Nurcholish, dorongan ihsan merupakan
„bakat primordial‟ manusia, yang bersumber dari hati nurani. Berdasarkan paparan tersebut,
dapat dipa-hami bahwa menurut Nurcholish, taqwa, iman dan ihsan merupakan tiga simpul
pesan keagamaan yang dibawa Al-Quran kepada sekalian umat manusia, yang tak
terpisahkan satu sama lain. Dari sini dapat dipahami bahwa Nurcholish tidak sedikit pun
meninggalkan aspek-aspek tradisional pemikiran Islam, di tengah corak pemikirannya yang
modern.

c. Fitrah, Din dan Islam


Fitrah, din dan Islam merupakan tiga konsep yang tak terpisahkan bagi Nurcholish
Madjid. Menurut Nurcholish, fitrah menggambarkan adanya perjanjian primordial manusia
dengan Tuhannya. Perjanjian tersebut adalah menyangkut agama (din), dan satu-satunya
agama yang diakui adalah islam, yaitu agama yang berlandaskan prinsip kepasrahan penuh
kepada Allah SWT. Sikap pasrah kepada Allah itulah yang menjadikan Islam sebagai agama
yang universal. Kesadaran akan makna hakiki Islam inilah, menurut Nurcholish, yang
menjadikan seseorang sebagai muslim sejati, yaitu seorang yang menganut ajaran agama
Islam yang konsisten pada sikap pasrahnya kepada Allah SWT.

d. Konsep Khalifah
Perkataan Arab khalifah memiliki arti “pengganti” atau “wakil”. Maka menurut
Nurcholish, makna penunjukkan Adam sebagai khalifah Allah di bumi, bahwa ia harus “me-
neruskan” ciptaan Allah dengan mengurusnya dan mengembangkannya sesuai dengan
“mandat” yang diberikan Allah. Selain itu, kisah penciptaan Adam mem-perlihatkan
keunggulan manusia atas malaikat berupa ilmu yang tidak dapat dikuasai malaikat. Dengan

7
alat ilmu itu pula, manusia dapat mengoptimalkan potensi emosinya secara positif. Maka
dalam Rancangan Besar (Grand Design) Ilahi, kisah tersebut merupakan isyarat penobatan
manusia sebagai penguasa bumi, yang bertugas membangun dan mengembang-kan bumi ini
atas nama Allah, yakni dengan penuh tanggung jawab kepada Allah, dengan selalu mengikuti
pesan-pesan Tuhan dalam menjalankan “mandat” yang diberikan kepada-nya.

e. Wahyu dan Akal


Nurcholish menyatakan bahwa wahyu bukan fenomena empirik, sehingga tidak
terjangkau oleh sains. Di sinilah garis pembatas antara wahyu dan akal. Akal adalah alat
sains. Ia merupakan fenomena empirik dan rasional, sehingga akal tidak mampu menjangkau
fenomena ruhani. Itulah sebabnya, menurut Nurcholish, kaum ateis tidak mampu mem-
buktikan keberadaan Tuhan dengan akalnya. Maka wajar jika kaum ateis itu menyatakan
Tuhan sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, karena akal memang tidak mampu
menjangkau-nya. Hal yang tidak wajar, menurut Nurcholish, adalah jika seseorang
menganggap bahwa suatu hal yang tidak terjangkau oleh kemampuan akal berikut perangkat-
perangkat pengetahuannya, dan menyebabkan ketidaktahuan, lalu ia meng-anggap bahwa
sesungguhnya sesuatu itu tidak ada. Faktanya adalah bahwa masalah ketuhanan, termasuk
juga wujud-wujud alam keruhanian, memang tidak bisa didekati dengan cara saintisme.
Dengan demikian, Nurcholish meyakini keterbatasan kemampuan akal manusia. Karena
itulah, dalam pandangan Nurcholish, manusia memerlukan alat bantu informasi atau “berita”
yang dalam bahasa Arabnya adalah “naba’un” yang dari situ terambil istilah nabi (orang yang
mendapat berita). Berita-berita atau kabar yang dibawa oleh para nabi itulah yang disebut
wahyu. Ringkasnya, betapa pun hebatnya ke-mampuan akal manusia, manusia tetap me-
merlukan wahyu untuk mendapatkan informasi-informasi ilahiyah yang tidak dapat dijangkau
oleh akal.

B. Pemikiran Kalam Gus dur (Abdurrahman Wahid)

1. Riwayat hidup dan pendidikan Gus dur (Abdurrahman Wahid)

KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa

Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang

berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan

8
nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan

kehormatan khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.

Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup

terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama

(NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren

pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan

sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949,

sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar

Jombang.

Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari

Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari

Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan

Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir

Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais,

Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya

ditemukan di Trowulan.Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya

Jombang menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai

Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah sebuah

organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah

deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke

Jombang dan tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia

melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya

ditunjuk sebagai Menteri Agama.

Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD

Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi

9
beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia

akibat kecelakaan mobil.Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah

menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke

Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.

Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah

Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah

ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga

menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah

madrasah.  Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya

Jaya.

Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan

pendidikan di  Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun

1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas remedial sebelum belajar

bahasa Arab dan belajar islam. Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan

bukti bahwa sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil kelas

remedial.

Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir.  Ia menikmati

hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola.

Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi  Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari

asosiasi tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada

tahun 1965 ia memulai belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa

dan menolak metode belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang diberikan.

Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia bekerja
peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan
di Jakarta dan yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari
upaya tersebut.  Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar

10
universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang
ditugaskan menulis laporan. Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi
karena Gus Dur tidak setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah
G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya.
Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas
Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun
pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan
keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah Asosiasi
tersebut.
Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu,
Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden,
namun ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas
tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada
tahun 1971. Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di
Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual 
muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan
Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren
di seluruh Jawa. Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari
pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin
luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin
akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur
membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. Akhirnya
ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas.
Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai komentator
sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar sehingga
membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.
Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya
memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk
mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual  kacang dan mengantarkan es. Pada
tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980.
Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984.
Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur
menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat

11
dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya
pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda

dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik

kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta

maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga

dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah

mengatakan bahwa anggota MPR RI seperti anak TK. Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur

menjabat sebagai Presiden RI. Musuh-musuh politiknya memanfaatkan benar kasus

Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang

tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat

mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan

ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan

Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit

tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi

memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek)

menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan

huruf Tionghoa. Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk

melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat

Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai

Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional. Tahun 2004, Gus Dur kembali

berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun keinginan ini kandas karena ia tidak lolos

pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.

Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang

bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar

12
Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang

Yudhoyono.

Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat

sebagai presiden, ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku seringkali

dibacakan atau jika saat menulis seringkali juga dituliskan. Ia mendapatkan serangan stroke,

diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur pun pergi menghadap sang khalik

(meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,

Jakarta pada pukul 18.45 WIB.

2. Pemikiran kalam Gus dur (Abdurrahman Wahid)

a. Pribumisasi islam

Berkaitan dengan ide pribumisasi Islam, Gus Dur berargumen bahwa agama Islam dan

budaya mempunyai independensi masing-masing, akan tetapi keduanya mempunyai wilayah

yang tumpang tindih. Agama Islam bersumberkan wahyu dan memiliki normanya sendiri.

Karena bersifat normatif, maka ia cenderung permanen, sedangkan budaya adalah buatan

manusia, karena ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk

selalu berubah. Perbedaan ini tidak menghalangi kemungkinan manifestasi kehidupan

beragama dalam bentuk budaya. Di sinilah adanya akomodasi atau rekonsiliasi. Proses itu

harus dilakukan secara alami, bukan terpaksa dan itulah terjadinya pribumisasi.Hal-hal yang

dipribumisasikan berupa manifestasi kebudayaan Islam belaka. Bukan ajaran yang

menyangkut inti keimanan dan peribadatan formal. Islam tetap Islam di mana saja berada.

Namun tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya. Dalam proses, pembauran Islam

dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus

tetap pada sifat Islamnya. Al-Quran harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat,

sebab hal ini telah merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-Quran hanyalah untuk

mempermudah pemahaman, bukan menggantikan al-Quran. Untuk kasus Jawa, misalnya,

13
pribumisasi bukanlah penjawaan atau sinkretisasi, sebab pribumisasi Islam hanya

mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal dalam merumuskan hukum-hukum agama

tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi

agar norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan budaya dengan mempergunakan peluang

yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada

ushul fiqih dan kaidah fiqih. Berhubungan dengan masalah pribumisasi, Gus Dur bertutur

bahwa “saya tetap mengimbau agar kita menghargai budaya melalui sebuah upaya

pribumisasi Islam. Intinya bagaimana sebanyak mungkin menyerap adat dan budaya lokal ke

dalam Islam. Sebagaimana telah dilakukan oleh para wali zaman dahulu. Misalnya, kita toh

sudah biasa melihat bunga ditaburkan di makam, yang dicap sebagai bid’ah oleh kalangan

tertentu. Padahal tak ada maksud lain kecuali ngemong kepada cara penguburan sebelum

Islam. Demikian pula hitungan selamatan orang meninggal. Praktek ini kita jadikan sebagai

wadah ibadah, atau dasar fadhail a’mal.”Menurut Gur Dur, jika umat Islam menolak

melakukan pribumisasi, maka umat Islam lebih mundur dari prestasi para wali. Hal ini

menyebabkan Islam tidak bisa melayani dunia di luar pesantren. Lanjutannya adalah dunia

luar akan direbut oleh orang lain. Saat ini telah didirikan ‘pesantren al-Kitab’ oleh orang-

orang Katolik. Mereka melihat ada kesempatan untuk masuk melalui budaya lokal, sementara

umat Islam sendiri lupa bahwa pesantren merupakan hasil perkembangan budaya lokal itu.

Bahkan kata ‘pesantren’ sendiri tidak terdapat dalam kamus Islam, melainkan sumbangan

dari budaya lokal (berasal dari bahasa Pali). Bentuk lain dari pribumisasi budaya seperti

arsitektur masjid Indonesia kuno yang selalu mempunyai atap tiga lapis, sebagaimana yang

sekarang dipopulerkan lagi oleh masjid bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.

Atap tiga lapis menggambarkan iman, Islam dan ihsan. Hal ini diambil dari simbolisasi masa

Hindu-Budha yaitu lapis sembilan yang banyak terdapat di Bali. Bagi wali songo, sembilan

14
lapis disisakan tiga saja disertai dengan penggantian makna. Artinya mereka tidak hanya

mengambil bentuk budayanya saja, tetapi memberinya dengan muatan-muatan Islam.

b. Humanitarianisme Universal

Pandangan humanitarianisme Gus Dur tertanam kuat dari pemahamannya terhadap

Islam. Seluruh karyanya, terutama esai, menjelaskan betapa Gus Dur meyakini benar bahwa

ekspresi Islam paling benar hanya dapat diraih ketika ‘semangat hukum’, hakikat, dijadikan

hal yang paling utama dari pada yang tersurat dalam hukum. Menurut Berton, keyakinan ini

dekat sekali dengan dua tema lainnya yaitu rasionalitas dan pendirian bahwa melalui usaha-

usaha rasional yang terus menerus Islam akan lebih dari sekadar mampu menghadapi

tantangan modernitas. Terlebih lagi, Gus Dur berpandangan bahwa justru humanitarianisme

Islamlah – menyangkut ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial – yang

mendorong seorang Muslim tidak seharusnya takut kepada pluralitas yang ada dalam

masyarakat modern, sebaliknya harus meresponnya dengan positif.

15
BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan

Secara garis besar, aspek pemikiran kalam Nur-chlish Madjid terangkum dalam 5 (lima)
konsep kalam, yaitu: 1 tauhid, 2 taqwa, iman dan ihsan, 3 fitrah, din dan islam, 4 khalifah,
dan 5 wahyu dan akal. Dalam meletakkan suatu konsep kalam, ia selalu bertolak dari ayat-
ayat suci al-Quran yang menurutnya merupakan risalah asasiyah yang menjadi tugas para
cendekiawan untuk memahami dan menggalinya agar dapat menangkap pesan-pesan pokok
al-Quran dan menyampaikannya kepada umat sebagai dasar untuk menghadapi persoalan-
persoalan kekinian.

b. Saran

Melalui makalah ini kami berharap semoga pembahasannya sedikit banyak ini dapat
dipahami oleh pembaca, selain itu kami sebagai penyusun mohon maaf apabila masih
terdapat kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca, untuk kesempurnaan makalah ini . Dan juga pembaca

16
disarankan untuk membaca referensi lain sehingga dapat memunculkan ide yang bisa
membangun dan melengkapi makalah ini.

Daftar Pustaka

Ali, Fachry, Kritik dan Aspirasi Atas Pemikiran Dr. Nurcholis Madjid, Jakarta: 3 Juli 1997.

Nafis, Muhammad Wahyuni. Cak Nur Sang Guru Bang-sa: Biografi Pemikiran Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, Jakarta: Kompas, 2014.

Rakhmat, Jalaluddin, et.al. Prof, Dr. Nurcholis Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu
sampai Guru Bangsa, Edisi Revisi, Cet; II. Yogyakarta: Pener-bit; Pustaka Pelajar,2003.

Suhanda (ed.), Gus Dur Santri Par Excellence: Teladan Sang Guru Bangsa ,Jakarta: Kompas,
2010. Shofiyullah, K.H. Wahid Hasyim: Sejarah Pemikiran dan Baktinya bagi Agama dan
Bangsa (Jombang: Pondok Pesantren Tebuireng, 2011)

17
10

Anda mungkin juga menyukai