Disusun oleh :
Kelompok 10:
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat, Inayah , Taufiq dan
Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah dapat digunnakan sebagai salah satu
acuan ,petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik lagi.
Makalah ini kami akui masih banyak kurangnya ,oleh karena itu kami harapkan kepada
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bisa membangun kesempurnaan
makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................1
1.3 Tujuan ..............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................3
1.1 Pemikiran Kalam Nurcholish Madjid...............................................................3
2.2 Pemikiran Kalam Gus dur................................................................................4
BAB III PENUTUP..........................................................................................................9
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................9
3.2 Saran.................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Agar dapat mengetahui dan memahami pemikiran kalam Nurcholish majid
2. Agar dapat mengetahui dan memahami pemikiran kalam gus dur ( Abdurrahman
Wahid)
1
BAB 1
PEMBAHASAAN
5
masa itu masih ditentang keras oleh tokoh-tokoh Islam. Selanjutnya, ia melontarkan jargon
“Islam Yes, Partai Islam No,” di tengah besarnya ekspektasi umat Islam ter-hadap satu-
satunya partai Islam saat itu, yaitu PPP. Idenya yang paling kontroversial adalah tentang
sekularisasi, di mana ia menyerukan ke-harusan umat menjalani proses sekularisasi untuk
terlepas dari kejumudan. Melalui itu, ia menyeru-kan kebebasan berpikir, pentingnya the idea
of progress, sikap terbuka, dan keharusan pem-baruan yang liberal. Tak kurang, Harun
Nasution pun mengkritik gagasan tersebut. Selanjutnya, Nurcholish menyerukan gagasan
desakralisasi, yaitu proses memilah antara yang sakral (ukhrawi) dan yang profan (duniawi).
Salah satunya, ia memberi contoh radikal dengan menerjemahkan “la ilaha illa Allah” dengan
“tiada tuhan selain Tuhan.”
6
hubungan antar-bangsa, ras, suku, individu, suatu kriteria yang menjadikan hidup lebih
dinamis, karena di sini orang berlomba-lomba dalam kebaikan.
Taqwa, menurut Nurcholish, sering diartikan atau diterjemahkan sebagai “sikap takut
kepada Tuhan”, atau “sikap menjaga diri dari perbuatan jahat”, atau “sikap patuh memenuhi
segala kewajiban serta menjauhi larangan Tuhan”. Meskipun penjelasan tersebut menurut-
nya mengandung kebenaran, ia menganggap bahwa arti kata tersebut tidaklah mencakup
seluruh pengertian taqwa itu sendiri. Selanjutnya Nurcholish menyatakan bahwa taqwa
sesungguh-nya adalah “kesadaran ketuhanan”. Untuk mencapai taqwa itu, maka pertama
manusia harus iman kepada Allah. Iman itulah yang akan melahirkan tata nilai berdasarkan
ketuhanan, yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan.
Selanjutnya, manusia harus berbuat ihsan. Menurut Nurcholish, dorongan ihsan merupakan
„bakat primordial‟ manusia, yang bersumber dari hati nurani. Berdasarkan paparan tersebut,
dapat dipa-hami bahwa menurut Nurcholish, taqwa, iman dan ihsan merupakan tiga simpul
pesan keagamaan yang dibawa Al-Quran kepada sekalian umat manusia, yang tak
terpisahkan satu sama lain. Dari sini dapat dipahami bahwa Nurcholish tidak sedikit pun
meninggalkan aspek-aspek tradisional pemikiran Islam, di tengah corak pemikirannya yang
modern.
d. Konsep Khalifah
Perkataan Arab khalifah memiliki arti “pengganti” atau “wakil”. Maka menurut
Nurcholish, makna penunjukkan Adam sebagai khalifah Allah di bumi, bahwa ia harus “me-
neruskan” ciptaan Allah dengan mengurusnya dan mengembangkannya sesuai dengan
“mandat” yang diberikan Allah. Selain itu, kisah penciptaan Adam mem-perlihatkan
keunggulan manusia atas malaikat berupa ilmu yang tidak dapat dikuasai malaikat. Dengan
7
alat ilmu itu pula, manusia dapat mengoptimalkan potensi emosinya secara positif. Maka
dalam Rancangan Besar (Grand Design) Ilahi, kisah tersebut merupakan isyarat penobatan
manusia sebagai penguasa bumi, yang bertugas membangun dan mengembang-kan bumi ini
atas nama Allah, yakni dengan penuh tanggung jawab kepada Allah, dengan selalu mengikuti
pesan-pesan Tuhan dalam menjalankan “mandat” yang diberikan kepada-nya.
KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa
Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Adakhil yang
berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak cukup dikenal, maka diganti dengan
8
nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan
kehormatan khas Pesantren kepada seorang anak kiai yang berarti “abang atau mas”.
Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup
terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama
(NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren
pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan
sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949,
sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar
Jombang.
Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari
Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari
Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan
Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir
Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais,
Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya
ditemukan di Trowulan.Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya
Jombang menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai
Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah sebuah
organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah
deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke
Jombang dan tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia
melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya
Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD
Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi
9
beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia
akibat kecelakaan mobil.Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah
menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke
Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah
Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah
menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah
madrasah. Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya
Jaya.
Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan
pendidikan di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun
1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas remedial sebelum belajar
bahasa Arab dan belajar islam. Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan
bukti bahwa sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil kelas
remedial.
Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir. Ia menikmati
hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola.
Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari
asosiasi tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada
tahun 1965 ia memulai belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa
dan menolak metode belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang diberikan.
Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia bekerja
peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan
di Jakarta dan yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari
upaya tersebut. Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar
10
universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang
ditugaskan menulis laporan. Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi
karena Gus Dur tidak setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah
G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya.
Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas
Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun
pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan
keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah Asosiasi
tersebut.
Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu,
Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden,
namun ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas
tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada
tahun 1971. Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di
Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual
muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan
Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren
di seluruh Jawa. Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari
pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin
luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin
akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur
membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. Akhirnya
ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas.
Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai komentator
sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar sehingga
membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.
Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya
memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk
mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada
tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980.
Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984.
Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur
menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat
11
dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya
pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda
dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik
kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta
maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga
mengatakan bahwa anggota MPR RI seperti anak TK. Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur
Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang
tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat
mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan
Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit
tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi
Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek)
menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan
huruf Tionghoa. Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk
melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat
Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai
Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional. Tahun 2004, Gus Dur kembali
berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun keinginan ini kandas karena ia tidak lolos
Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang
bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar
12
Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono.
Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat
sebagai presiden, ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku seringkali
dibacakan atau jika saat menulis seringkali juga dituliskan. Ia mendapatkan serangan stroke,
diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur pun pergi menghadap sang khalik
(meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,
a. Pribumisasi islam
Berkaitan dengan ide pribumisasi Islam, Gus Dur berargumen bahwa agama Islam dan
yang tumpang tindih. Agama Islam bersumberkan wahyu dan memiliki normanya sendiri.
Karena bersifat normatif, maka ia cenderung permanen, sedangkan budaya adalah buatan
manusia, karena ia berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan cenderung untuk
beragama dalam bentuk budaya. Di sinilah adanya akomodasi atau rekonsiliasi. Proses itu
harus dilakukan secara alami, bukan terpaksa dan itulah terjadinya pribumisasi.Hal-hal yang
menyangkut inti keimanan dan peribadatan formal. Islam tetap Islam di mana saja berada.
Namun tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya. Dalam proses, pembauran Islam
dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus
tetap pada sifat Islamnya. Al-Quran harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat,
sebab hal ini telah merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-Quran hanyalah untuk
13
pribumisasi bukanlah penjawaan atau sinkretisasi, sebab pribumisasi Islam hanya
tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi
yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada
ushul fiqih dan kaidah fiqih. Berhubungan dengan masalah pribumisasi, Gus Dur bertutur
bahwa “saya tetap mengimbau agar kita menghargai budaya melalui sebuah upaya
pribumisasi Islam. Intinya bagaimana sebanyak mungkin menyerap adat dan budaya lokal ke
dalam Islam. Sebagaimana telah dilakukan oleh para wali zaman dahulu. Misalnya, kita toh
sudah biasa melihat bunga ditaburkan di makam, yang dicap sebagai bid’ah oleh kalangan
tertentu. Padahal tak ada maksud lain kecuali ngemong kepada cara penguburan sebelum
Islam. Demikian pula hitungan selamatan orang meninggal. Praktek ini kita jadikan sebagai
wadah ibadah, atau dasar fadhail a’mal.”Menurut Gur Dur, jika umat Islam menolak
melakukan pribumisasi, maka umat Islam lebih mundur dari prestasi para wali. Hal ini
menyebabkan Islam tidak bisa melayani dunia di luar pesantren. Lanjutannya adalah dunia
luar akan direbut oleh orang lain. Saat ini telah didirikan ‘pesantren al-Kitab’ oleh orang-
orang Katolik. Mereka melihat ada kesempatan untuk masuk melalui budaya lokal, sementara
umat Islam sendiri lupa bahwa pesantren merupakan hasil perkembangan budaya lokal itu.
Bahkan kata ‘pesantren’ sendiri tidak terdapat dalam kamus Islam, melainkan sumbangan
dari budaya lokal (berasal dari bahasa Pali). Bentuk lain dari pribumisasi budaya seperti
arsitektur masjid Indonesia kuno yang selalu mempunyai atap tiga lapis, sebagaimana yang
sekarang dipopulerkan lagi oleh masjid bantuan Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.
Atap tiga lapis menggambarkan iman, Islam dan ihsan. Hal ini diambil dari simbolisasi masa
Hindu-Budha yaitu lapis sembilan yang banyak terdapat di Bali. Bagi wali songo, sembilan
14
lapis disisakan tiga saja disertai dengan penggantian makna. Artinya mereka tidak hanya
b. Humanitarianisme Universal
Islam. Seluruh karyanya, terutama esai, menjelaskan betapa Gus Dur meyakini benar bahwa
ekspresi Islam paling benar hanya dapat diraih ketika ‘semangat hukum’, hakikat, dijadikan
hal yang paling utama dari pada yang tersurat dalam hukum. Menurut Berton, keyakinan ini
dekat sekali dengan dua tema lainnya yaitu rasionalitas dan pendirian bahwa melalui usaha-
usaha rasional yang terus menerus Islam akan lebih dari sekadar mampu menghadapi
tantangan modernitas. Terlebih lagi, Gus Dur berpandangan bahwa justru humanitarianisme
Islamlah – menyangkut ajaran Islam tentang toleransi dan keharmonisan sosial – yang
mendorong seorang Muslim tidak seharusnya takut kepada pluralitas yang ada dalam
15
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Secara garis besar, aspek pemikiran kalam Nur-chlish Madjid terangkum dalam 5 (lima)
konsep kalam, yaitu: 1 tauhid, 2 taqwa, iman dan ihsan, 3 fitrah, din dan islam, 4 khalifah,
dan 5 wahyu dan akal. Dalam meletakkan suatu konsep kalam, ia selalu bertolak dari ayat-
ayat suci al-Quran yang menurutnya merupakan risalah asasiyah yang menjadi tugas para
cendekiawan untuk memahami dan menggalinya agar dapat menangkap pesan-pesan pokok
al-Quran dan menyampaikannya kepada umat sebagai dasar untuk menghadapi persoalan-
persoalan kekinian.
b. Saran
Melalui makalah ini kami berharap semoga pembahasannya sedikit banyak ini dapat
dipahami oleh pembaca, selain itu kami sebagai penyusun mohon maaf apabila masih
terdapat kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca, untuk kesempurnaan makalah ini . Dan juga pembaca
16
disarankan untuk membaca referensi lain sehingga dapat memunculkan ide yang bisa
membangun dan melengkapi makalah ini.
Daftar Pustaka
Ali, Fachry, Kritik dan Aspirasi Atas Pemikiran Dr. Nurcholis Madjid, Jakarta: 3 Juli 1997.
Nafis, Muhammad Wahyuni. Cak Nur Sang Guru Bang-sa: Biografi Pemikiran Prof. Dr.
Nurcholish Madjid, Jakarta: Kompas, 2014.
Rakhmat, Jalaluddin, et.al. Prof, Dr. Nurcholis Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu
sampai Guru Bangsa, Edisi Revisi, Cet; II. Yogyakarta: Pener-bit; Pustaka Pelajar,2003.
Suhanda (ed.), Gus Dur Santri Par Excellence: Teladan Sang Guru Bangsa ,Jakarta: Kompas,
2010. Shofiyullah, K.H. Wahid Hasyim: Sejarah Pemikiran dan Baktinya bagi Agama dan
Bangsa (Jombang: Pondok Pesantren Tebuireng, 2011)
17
10