Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

“Pemikiran Kalam Ulama Modern”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aqidah Ilmu Kalam

Dosen pengampu : Prof. Dr. M. Yunan Yusuf

Disusun Oleh:

Afifah Salsabilla (11200510000078)

KPI 3B

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan
yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi
seluruh alam semesta.

Saya sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari
mata kuliah Akiqah Ilmu Kalam dengan judul “Pemikiran Kalam Ulama Modern”.

Disamping itu, tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Akiqah
Ilmu Kalam dan kepada semua pihak yang telah membantu saya selama pembuatan makalah
berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.

Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Saya mengharapkan kritik dan saran
terhadap makalah ini agar ke depannya dapat saya perbaiki. Demikian yang dapat saya
sampaikan, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi penyusun dan para
pembaca serta referensi bagi penyusun makalah yang sama di waktu yang akan datang.

Bengkulu, 10 Desember 2021

Penyusun
KATA PENGANTAR ............................................................ Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI .......................................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB I ...................................................................................... Error! Bookmark not defined.

PENDAHULUAN ....................................................................................................................1

A. Latar Belakang ................................................................ Error! Bookmark not defined.

B. Rumusan Masalah ........................................................... Error! Bookmark not defined.

C. Tujuan Penulisan ............................................................. Error! Bookmark not defined.

BAB II ..................................................................................... Error! Bookmark not defined.

PEMBAHASAN .......................................................................................................................1

A. Muhammad Abduh ......................................................... Error! Bookmark not defined.

B. Rasyid Ridha ................................................................... Error! Bookmark not defined.

C. Sayyid Ahmad Khan ....................................................... Error! Bookmark not defined.

D. Sayyid Amir Ali ............................................................. Error! Bookmark not defined.

E. Muhammad Iqbal ............................................................ Error! Bookmark not defined.

F. Abu al-A’la al Maududi ................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB III ................................................................................... Error! Bookmark not defined.

A. Kesimpulan .................................................................. Error! Bookmark not defined.

B. Saran ............................................................................ Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA Error! Bookmark not defined.


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sering dengan perkembangan zaman Ketika umat islam dalam kondisi yang
oleh Sayyid Qutub dapat digambarkan sebagai suatu masyarakat yang beku, kaku,
menutup rapat-rapat pintu ijtihad , mengabaikan peranan akal dalam memahami
syari’at Allah atau mengistimbatkan hukum-hukum, karena mereka merasa telah cukup
dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal
(jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat. Dengan kondisi tersebut maka
lahirlah para pembaharu-pembaharu Islam seperti Syekh Muhammad Abduh, Sayyid
Ahmad Khan, Rasyid Ridha, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, dan Abu al-A’la al
Maududi.
Islam dalam pandangan Iqbal bersifat tidak statis, tetapi dapat disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Pintu ijtihad tidak pernah tertutup karena ijtihad
merupakan ciri dinamika yang harus dilambangkan dalam Islam. Masih banyak lagi
pemikiran-pemikiran kalam para pembaharu tersebut. Untuk lebih jelasnya, marilah
kita simak isi makalah dibawah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Pemikiran Kalam Ulama Modern (Syekh Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad
Khan, Rasyid Ridha, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, dan Abu al-A’la al
Maududi.)
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami Pemikiran Kalam Ulama Modern (Syekh
Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, Rasyid Ridha, Sayyid Amir Ali,
Muhammad Iqbal, dan Abu al-A’la al Maududi.)
2. Mengetahui Riwayat Singkat Syekh Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan,
Rasyid Ridha, Sayyid Amir Ali, Muhammad Iqbal, dan Abu al-A’la al
Maududi.
3. Memenuhi tugas dosen Ilmu Kalam dan untuk menambah dan memperluas
wawasan serta ilmu pengetahuan khususnya dibidang Ilmu Kalam.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Muhammad Abduh

1. Riwayat Singkat Muhammad Abduh

Syekh Muhammad Abduh nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
Dilahirkan di desa Mahallat Nashr Kabupaten Al- Buhairah, Mesir, pada tahun 1849 M. mula-
mula Abduh dikirim ayahnya ke Mesjid Al-Ahmadi Tanta belakangan tempat ini menjadi pusat
kebudayaan selain al-Azhar. Setelah 2 tahun disana, ia memutuskan untuk kembali kedesanya
dan bertani seperti saudara-saudara dan kerabatnya. Pada saat umur 16 tahun, ia dikawinkan.
Atas dorongan dan bimbingan pamannya, Syekh Darwis, akhirnya ia menyelesaikan studinya.
Kemudian ia melanjutkan studi di Al-Azhar pada bulan Februari 1866 dan selesai pada tahun
1877 dengan gelar Alim, Abduh mulai mengajar di Al-Azhar, di Dar Al-Ulum dan dirumahnya
sendiri. Pada tahun 1899, Abduh diangkat menjadi Mufti Mesir. Kedudukan tinggi itu
dipegangnya sampai ia meninggal dunia.[1] Beliau wafat pada tanggal 11 juli 1905 di
Alexandria. Setelah banyak mewarisi peninggalan berharga bagi generasi selanjutnya.
Pembaharuan dalam pemikiran keislaman serta perbaikan dibidang politik dan ekonomi.

2. Pemikiran-Pemikiran Kalam Muhammad Abduh

a) Kedudukan akal dan fungsi wahyu

Ada dua pendapat persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran
Abduh, yaitu :

- Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat


perkembangan pengetahuan agama yakni dengan memahami langsung dari sumber pokoknya,
Al-Qur’an.

- Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di
kantor-kantor pemerintah maupun dalam tulisan-tulisan di media masa.

b) Kebebasan manusia dan fatalisme

Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempumyai kebebasan memilih,
yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia, namun tidak mempunyai
kebebasan absolut.
c) Sifat-sifat Tuhan

Harun Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi
Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.

d) Kehendak mutlak Tuhan. Tuhan tidak bersifat mutlak.

e) Keadilan Tuhan

Sifat ketidak adilan Tuhan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak
sejalan dengan kesempurnaan alam semesta.

f) Antrofomorfisme
Tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau ruh makhluk di alam
ini.

g) Melihat Tuhan

Kesanggupan melihat Tuhan hanya dianugerahkan kepada orang-orang tertentu di akhirat.

h) Perbuatan Tuhan

Wajib bagi Tuhan untuk berbuat yang terbaik bagi manusia.

B. Rasyid Ridha

1. Profile singkat

Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syama Al
Qalamuny. Lahir di desa Qolamun, Lebanon, Suriah pada tanggal 27 Jumadil Ula 1282 H. Ia
memakai gelar Sayyid karena ada sislsilah keturunan Imam al-Husein. Memulai pendidikan di
Madrasah Al-Wathaniah Al-Islamiyah di Tropoli. Madrasah yang didirikan oleh Syekh Husein
Al-jisr. Rasyid Ridha tumbuh sebagai pemikir pembaru islam dengan pengaruh tokoh pemikir
Syekh Husein Al-jisr, Sayyid Jamaluddin Al-Afghany dan Syekh Muhammad Abduh.

2.Pemikiran-Pemikiran Kalam Rasyid Ridha

Pemikirannya tumbuh dengan pengaruh Syekh Al-jisr tersebut. Sudah mulai berhubungan
dengan pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah Al-Urwat
al-Wustqa. Rasyid Ridho mempunyai kesempatan yang Panjang untuk berdialog dengan
Muhammad Abduh. Ia tumbuh sebagai pemikir pembaru Islam melalui pengaruh tokoh-tokoh
pemikir Syekh Husein Al-Jisr, Sayyod Jamaluddin Al-Afghany dan Syekh Muhammad Abduh.
Pandangannya tentang teologi bertolak dari kebebasan dalam berkehendak dan berbuat bagi
manusia. Paham fatalism diakibatkan oleh sikap Jabariyah yang memandangan bahwa manusia
tidak mempunyai kehendak dan perbuatan bebas. Menurut Rasyid Ridha, hal inilah yang telah
membawa kemunduran umat islam.

Sebaliknya orang Eropa mempunyai paham dinamika yang telah membawa kemajuan bagi
masyarakat eropa. Dinamika ini terkandung dalam ajaran tentang jihad, yakni bekerja keras
dan bersungguh-sungguh untuk menang dalam perjuangan. Kemudian ia berpendapat bahwa
akal mempunyai peranan penting dalam memahami ajaran agama. Dengan akal manusia
dituntun dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab ayat-ayat tentang ibadah datang dengan arti
yang tegas dan dapat dikembangkan.

Sifat-sifat Allah dalam penggambaran manusia yang dikenal dengan nama ayat-ayat tajassum,
dipahami oleh Rasyid Ridha dalam makna harfiahnya. Penggambaran bahwa Allah itu
mempunyai tangan, wajah dipahami secara harfiah tetapi dengan menambah keterangan bahwa
semua penggambaran itu tidak sama dengan manusia. Sejalan dengan itu Rasyid Ridha
berpendapat bahwa balasan yang diterima oleh manusia di akhirat tidak bersifat rohani, tetapi
bersifat jasmani.

C. Sayyid Ahmad Khan

1. Riwayat Singkat Sayyid Ahmad Khan

Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi pada tahun 1817. Menurut suatu keterangan, ia berasal dari
keturunan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Melalui Fatimah dan Ali. Neneknya, Sayyid
Hadi, adalah pembesar istana pada zaman Alamghir II (1754-1759). Karya pertamanya
adalah Asar As-Sanadid. Pada tahun 1878 ia juga mendirikan sekolah Mohammedan Anglo
Oriental College (MAOC) di Aligarh yang merupakan karyanya yang paling bersejarah dan
berpengaruh untuk memajukan umat Islam India.

2. Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan

Sayyid Ahmad Khan memiliki kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh di Mesir-
setelah Abduh berpisah dengan Jamaludin Al-Afghani dan kembali dari pengasingan. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat
penghargaan tinggi dalam pandangannya. Meskipun demikian, sebagai penganut ajaran Islam
yang taat dan percaya akan kebenaran wahyu, ia berpendapat bahwa akal bukanlah segalanya
dan kekuatan akal pun terbatas.
Ia mempunyai faham yang sama dengan faham Qadariyah. Menurutnya manusia telah
dianugerahi Tuhan berbagai macam daya, diantarnya adalah daya berpikir berupa akal, dan
daya fisik untuk merealisasikan kehendaknya.

Sejalan dengan faham Qadariyah yang dianutnya, ia menentang keras faham taklid. Sebagai
konsekuensi dari penolakannya terhadap taklid, Khan memandang perlu diadakannya ijtihad-
ijtihad baru untuk menyesuaikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dengan situai dan kondisi
masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.

Dapat disimpulkan pemikiran-pemikiran kalam Sayyid Ahmad Khan, antara lain:

1. Kedudukan Akal

Akal bukanlah segalanya dan kekuatan akal pun terbatas.

2. Kebebasan Manusia

Manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan.

3. Sayyid Ahmad Khan menolak adanya taklid percaya adanya hukum alam.

D. Sayyid Amir Ali

Sayyid Amir Ali adalah seorang pembaru pemikiran islam, sejarawan, dan ahli hukum. Ia
dilahirkan pada tanggal 6 April 1849 di Cuttack, Orissa, India, dan meninggal pada usia 79
tahun, tepatnya pada 3 Agustus 1928 di Sussex, Inggris. Ia merupakan keturunan dari keluarga
Arab Syi’ah, yakni dengan Ali ar-Ridlo, imam ke-8 syi’ah yang pada zaman kepimimpinan
Nadir Syah (1736-1747) atau pada pertengahan abad ke-18 pindah dari Khurasan, Persia ke
Mohan, Oudh di India, dan menetap disana. Sayyid Amir Ali memperoleh pendidikanya di
perguruan tinggi Hoogly (muhsiniyyah college) dekat kalkuta (calcutta). Disanalah ia
mempelajari bahasa Arab, bahasa Inggris, sastra Inggris, serta hukum Inggris. Pada tahun 1869,
ia melanjutkan pendidikan atau studinya ke Inggris, dan selesai pada tahun 1873 dengan
memperoleh gelar kesarjanaan muda di bidang hukum dan master di bidang sejarah . Dan pada
tahun yang sama, Ia berhasil menerbitkan karya pertama dengan judul A Critical Examination
of the Life and Teaching of Muhammed di Inggris. Buku pertama tersebut merupakan
interpretasi kaum modernis Muslim tentang Islam, yang telah menjadikanya terkenal baik di
Barat maupun di Timur.
Kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan, terlebih sejarah dan sastra telah terlihat sejak ia kecil,
dimana semenjak belajar di muhsiniyyah college, ia sudah membaca buku-buku penting
berbahasa Inggris, seperti : The Decline and Fall of the Roman Empire karya Gibbon, Paradise
Lost karya Milton, dan beberapa karya Shakespeare. Bahkan karya Gibbon telah telah selesai
ia baca pada saat usianya 12 tahun. Melalui buku-buku itulah timbul dalam dirinya kekaguman
terhadap kebangkitan orang islam (saracenic)
Setelah memperoleh gelar kesarjanaannya tersebut, Sayyid Amir Ali kembali ke India dan
bekerja pada berbagai lapangan penting, yakni sebagai guru besar dalam hukum islam,
pengacara, pegawai pemerintah Inggris, politikus dan penulis, serta ia terkenal aktif di bidang
politik.

Kegiatan politiknya dimulai Pada tahun 1877, dimana Sayyid Amir Ali mendirikan organisasi
yang di beri nama National Muhammadan Association, yakni sebuah organisasi sebagai wadah
persatuan ummat islam India yang bertujuan untuk membela kepentingan umat islam serta
untuk melatih dan melengkapi orang-orang Muslim India dengan pengalaman teknik politik
eropa. Organisasi politik tersebut segera tersebar dan telah menjadi organisasi nasioanal
diseluruh India, telah tercatat bahwasanya organisasi tersebut mempunyai 34 cabang di
berbagai tempat di India.

Pada tahun 1883 , Amir Ali diangkat menjadi salah satu dari ketiga anggota majlis Wakil Raja
Inggris atau Dewan Raja Muda (The Viceroy’s Council) di India, dia merupakan satu-
satunyaanggota islam dalam majlis tersebut. Dan pada tahun 1904, ia meninggalkan India dan
menetap di Inggris untuk selama-lamanya. Dan kemudian beristrikan orang Inggris.
Perpindahanya ke Inggris ini dilakukan setelah ia berhenti dari Pengadilan Tinggi Bengal, dan
pada tahun 1906 ia diangkat menjadi anggota The Judical Committee of the Privy Council.
Setelah berdirinya Liga Muslimin di India pada tahun 1906, ia membentuk cabang dari
perkumpulan tersebut di London, namun karena kecintaan dan kesetianya kepada Inggris, maka
tatkala Liga Muslimin India mengadakan kerja sama dengan Kongres Nasional India, ia
akhirnya mengundurkan diri dari Liga Muslimin.
2. Kegelisahan Akademik.

Munculnya Amir Ali sebagai pembaru pemikiran islam adalah merupakan kelanjutan dari
pembaharu-pembaru sebelumya. Ia merupakan wujud respon atas kemunduran umat islam
India, dimana umat islam lebih mundur dari umat Hindu.
Berangkat dari dasar itulah Amir Ali berusaha menyelidiki hal-hal apa yang menjadikan umat
muslim mundur. Karena ia berkeyakinan bahwa islam bukanlah merupakan agama
kemunduran, kalau umat islam masa lampau merupakan umat yang maju, lalu kenapa umat
islam masa sekarang tidak bisa maju? Pertanyaan itulah kiranya yang mendorong Amir Ali
untuk berupaya menemukan titik masalahnya..

3. Metodologi Berpikir.

Sayyid Amir Ali merupakan pemikir pertama yang kembali kepada sejarah lama untuk
membawa bukti bahwa agama islam bukanlah agama yang membawa kepada kemunduran,
melainkan agama yang rasional serta agama yang membawa kepada kemajuan. Hal tersebut
dibuktikan dengan sejarah islam klasik, dimana Islam mengalami kejayaan pada masanya.
Karena pemikiranya itulah para orientalis sering menyebutnya “seorang apologis” yakni
seorang yang rindu dan memuja kepada masa lampau.
Dalam salah satu bukunya yang berjudul The Spirit of Islam telah ia paparkan ajaran-ajaran
islam, baik mengenai tauhid, ibadah, hari akhirat, kedudukan wanita, perbudakan, sistem
politik, ilmu pengetahuan, pemikiran rasional-fillosofis dan sebagainya.
Metode penelitian yang digunakan Amir Ali dalam menguraikan gagasanya adalah dengan
metode perbandingan dengan menambah uraian-uraian rasional. Dimana ia terlebih dahulu
membawa ajaran-ajaran serupa dalam agama lain dan kemudian menjelaskan dan menyatakan
bahwa islam membawa perbaikan-perbaikan terhadap ajaran-ajaran tersebut, selanjutnya ia
memberi argumen-argumen untuk menyatakan bahwa ajaran tersebut tidak bertentangan
dengan akal.

Beberapa contoh yang kami singung disini adalah masalah poligami. Dalam bukunya
Amir Ali menyebutkan bahwasanya pada semua bangsa-bangsa Barat dimasa purbakala,
poligami dianggap sebagai suatu kebiasaan yang diperbolehkan. Dikalangan orang Hindu,
poligami (poligini-poliandri) dilakukan secara meluas. Orang-orang Babillonia, Assyria, Parsi,
Thracia, Lidia, Athena, serta orang-orang Arab dan Yahudi purpakala lainya, mereka
melakukan poligami tanpa batas.
Selanjutnya Amir Ali mengatakan bahwa dengan kedatangan Rasulullah diadakanlah
pembaharuan-pembaharuan yang mengakibatkan perbaikan yang luas dalam kedudukan kaum
wanita. Islam memberikan hak-hak yang sebelumnya tidak wanita punyai, dan diberinya hak-
hak yang tidak beda sama sekali dengan kaum laki-laki dalam menjalankan segala kkeuasaan
hukum dan jabatan.

Amir Ali beranggapan bahwasanya hukum qur’an yang berkembang mengajarkan


monogami, hal ini sebagaimana yang diajarka oleh oleh oleh ulama’-ulama’ mu’tazilah
pertama, yakni masa pemerintahan al-ma’mun. Poligami menurut Amir Ali bertentangan
dengan hukum islam.Kondisi yang memperbolehkan poligami terdapat pada masa primitif
yang telah lenyap. Adanya poligami menurut Amir Ali adalah tergantung pada keadaan, ada
masa-masa dimana poligami sungguh-sungguh perlu untuk memelihara wanita dari
kemiskinan dan kemelaratan. Dan dengan berubahnya keadaan serta majunya pemikiran-
pemikiran orang, maka secara lambat laun poligami ditinggalkan dan dilarang dngan tegas.
Dan poligami dianggap sebagai suatu kejahatan dan merupakan lembaga yang bertentangan
dengan ajaran islam.

Adapun berkenaan dengan masalah perbudakan,Amir Ali berpendapat bahwa hal


tersebut ada dalam sejarah hidupnmanusia dari dari semua bangsa, seperti : Yahudi, Yunani,
Romawi, dan Jerman. Agama kristen sebagai suatu sistem dan kepercayaan juga tidak
memprotes terhadap perbudakan dan tidak memberikan peraturan lain dan cara
memberantasnya, namun justru membiarkan berjalan apa adanya. Dan barulah ketika islam
datang, perbudakan secara perlahan-perlahan dan pasti dihapuskan oleh islammelaui berbagai
cara. Pemebebasan budak dijadikan sebagi salah satu bentuk sanksi hukuman bagi pelanggar
tindak pidana tau ajaran tertentu.
Pandangan lain yang dikemukakan oleh Amir Ali adalah berkenaan dengan akhirat, dimana
gagasan tentang kehidupan akhirat merupakan fenomena umum umat islam, Ia menyatakan
bahwasnya ajaran tentang akhirat mempunyai nilai yang sangat penting, karena dapat
menggerakkan sesorang untuk berbuat baik pada dirinya sendiri maupun orang lain. Dan
meninggalkan perbuatan tercela.
4. Penelitian Terdahulu

Sayyid Amir Ali merupakan salah satu dari murid Sayyid Ahmad Khan. Dalam
perjalanan kehidupanya ia pernah mengenyam pendidikan di akademi (sekolah) Aligarh, Yakni
sebuah akademi yang didirikan oleh Sayyid Ahmad Khan dengan nama Muhammedan Anglo
Oriental College (M.A.O.C). Sekolah tersebut merupakan pusat dari gerakan Aligarh, gerakan
yang berusaha menyebarkan ide-ide dari Sayyid Ahmad Khan. Sebuah gerakan yang menjadi
penggerak utama dan berpengaruh besar bagi terwujudnya pembaharuan dikalangan umat
islam india, termasuk Amir Ali. Pemikiran-pemikiran Amir Ali banyak banyak yang sejalan
dengan Sayyid Ahmad Khan.

5. Istilah-istilah Kunci dalam Penelitian

Sebagai tokoh pembaharu pemikiran islam, Sayyid Amir Ali memiliki gagasan-gagasan
maupun argumen-argumen yang tertuang dalam beberapa istilah kunci dalam pemikiranya,
yakni : politik, ijtihad, rasionalisme (pemikiran dan filsafat), serta ilmu pengetahuan.
Salah satu yang menjadikan Sayyid Amir Ali terkenal adalah aktifitasnya di bidang politik. Ia
mengemukakan gagasanya dengan mencoba merekonstruksi kembali apa yang telah
dilontarkan oleh pemikir pendahulunya, seperti Sayyid Ahmad Khan, dimana Amir Ali melihat
bahwa ide Ahmad Khan untuk memajukan umat islam india melalui pendidikan saja tidaklah
cukup, namun perlu dibarengai dengan adanya kegiatan politik. Jika kedudukan politik umat
islam India ini tidak dinaikkan, maka mereka akan kalah oleh komunitas hindu.

Pandangan Amir Ali tersebut kemudian diikuti oleh pembaharu islam berikutnya,
seperti :Sir Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah. Dalam masalah ijtihad, ia
berpendapat bahwasanya kemunduran umat islam pada saat ini adalah dilatarbelakangi adanya
anggapan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, serta adanya sikap berpegang teguh atau taqlid
kepada pendapat ulama’ abad ke-9 M yang tidak dapat mnegetahui kebutuhan abad 20.
Pendapat ulama’ yang disusun beberapa abad lalu masih diyakini dapat dipakai dan
diapliksikan pada zaman sekarang. Umat islam tidak percaya pada kekuatan akal, para ulama’
banyak yang menganggap pemakaian akal sebagai dosa, padahal nabi muhammad begitu
meninggikan akal. Dalam kaitanya dengan hal diatas, maka ijtihad tidak dapat dipisahkan
dengan rasionalisme serta kebebasan berkehendak manusia, al-qur’an bukanlah jiwa fatalism
tetapi jiwa kebebasan manusia dalam berbuat. Dalam mengukuhkan argumenya tersebut Amir
Ali membawa ayat al-qur’an (surah al-ra’d:11). Yang dimaksudkan bahwasanya perubahan
nasib tidak akan muncul bagi umat islam sebelum mereka berupaya merubahnya sendiri. Oleh
karenanya umat islam tidak terkungkung oleh pendapat-pendapat lama yang mungkin sudah
tidak relevan lagi bagi umat islam dizaman sesudahnya.

Mengutip lebih jauh apa yang diungkapkan oleh Harun Nasution bahwasanya Amir Ali
beranggapan bahwa islam bukanlah dijiwai oleh paham qadla’ dan qadar atau jabariyah, namun
dijiwai oleh paham qadariyah, yakni paham kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan
(free will and free act). Kedua paham yakni qadariyah dan rasionalisme itulah yang dianggap
telah menimbulakan peradaban islam di zaman klasik. Dan kalahnya aliran rasionalismedalam
islam telah membawa islam zaman sekarang mengalami kemunduran. Hal tersebut
sebagaimana yang diungkapkan oleh Amir Ali dalam bukunya The Spirit of Islam. Selain itu,
ijtihad sebagai sarana untuk menemukan berbagai solusi masalah haruslah bersifat rasional dan
hendaknya mampu memajukan umat islam dalam bidang ilmu pengetahuan. Dimana golongan
yang dianggap oleh Amir Ali memegang peranan penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan rasionalisme dalam islam adalah mu’tazilah. Dalam beberapa abad aliran
mu’tazilah tersebut telah mempengaruhi umat dan membawa kemajuan dalam bidang tersebut.
Ahli-ahli ilmu pengetahuan, sebagai dokter penyakit, ahli fisika, ahli matematika, ahli sejarah
kesemuanya masuk dalam golongan mu’tazilah. Ketiga aspek inilah (ijtihad-rasionalisme serta
ilmu pengetahuan) yang oleh Amir Ali dianggap akan bisa membawa kejayaan umat islam
sebagaimana telah dialami dan dibuktikan oleh para ilmuan periode awal dinasti Abbasiyah.

6. Konstribusi Pengembangan Keilmuan. Pemikiran-pemikiran Amir Ali diatas, tidak hanya


berpengaruh di India tetapi juga tersebar di bagian dunia islam lainya. Beberapa buku besar
karyanya seperti :

a) A Critical Examination of the Life and Teaching of Muhammed, .

b) The Spirit of islam (Api Islam, 1891)


c) A Short History of The Saracens (Sejarah Ringkas Kebangkitan Umat
Islam, 1899)

d) Islamic History and

e) Dari pemaparan diatas, dapat penulis simpulkan dalam beberapa poin, yakni

D. Muhammad Iqbal

1. Riwayat Hidup Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Ia berasal dari keluarga
kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal
saleh. Pada tahun 1895 ia pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat
kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota ini ia bergabung dengan perhimpunan
sastrawan yang sering diundang musyara'ah, yakni pertemuan - pertemuan di mana para
penyair membacakan sajak - sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih berkembang
di Pakistan dan India hingga kini. Di kota Lahore ini, sambil melanjutkan pendidikan
sarjananya ia mengajar filsafat di Government College. Pada tahun 1897 Iqbal
memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat.
Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold orientalis Inggris yang terkenal
yang mengajarkan filsafat Islam di College tersebut. Antara keduanya terjalin
kedekatan melebihi hubungan guru dan murid, sebagaimana tertuang dalam sajaknya
Bang-I Dara.

Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai
salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di Lahore. Sajak-sajaknya banyak
diminati orang. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang
spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.McTaggart. Iqbal
kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan doktornya
pada tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia.(
disertasi ini kemudian diterbitkan di London dalam bentuk buku, dan dihadiahkan Iqbal
kepada gurunya, Sir Thomas Arnold ).
Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kembali ke London untuk belajar di
bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas
London. Selama di Eropa Iqbal tidak pernah bosan menemui para ilmuwan untuk
mengadakan berbagai perbincangan tentang persoalan-persoalan keilmuan dan
kefilsafatan. Ia juga memperbincangkan Islam dan peradabannya. Di samping itu Iqbal
memberikan ceramah dan berbagai kesempatan tentang Islam. Isi ceramahnya tersebut
dipublikasikan dalam berbagai penerbitan surat kabar. Ternyata setelah menyaksikan
langsung dan mengkaji kebudayaan Barat, ia tidak terpesona oleh gemerlapan dan daya
pikat kebudayaan tersebut. Iqbal tetap concern pada budaya dan kepercayaannya. Pada
tahun 1935, ia jatuh sakit dan bertambah parah setelah istrinya meninggal dunia pada
tahun itu pula, dan ia meninggal pada tanggal 20 April 1935.

2. Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal

Dibandingkan sebagai teolog, Muhammad Iqbal sesungguhnya lebih terkenal sebagai


seorang filosof eksistensialisme. Sebagai seorang pembaharu, iqbal pun menyadari perlunya
umat Islam untuk melakukan pembaharuan agar keluar dari kemundurannya. Katanya,
kemunduran umat Islam disebabkan kebekuan umat Islam dalam pemikiran dan ditutupnya
pintu ijtihad. Hal inilah yang dianggapnya sebagai penyimpangan dari semangta Islam,
semangat dinamis dan kreatif. Lebih jauh ia menegaskan bahwa syariat pada prinsipnya tidak
statis, tetapi merupakan alat untuk merespon kebutuhan indiviu dan masyarakat karena Oslam
selalu mendorong terwujudnya perkembangan.

Islam dalam pandangan Iqbal menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam bersifat
statis. Islam, katanya mempertahankan konsep dinamis dan mengakui adanya gerak perubahan
dalam kehidupan social manusia. Oleh karena itu, manusia dengan kemampuan khudi-nya
harus menciptakan perubahan. Besarnya penghargaan Iqbal terhadap gerak dan perubahan ini
membawa pemahaman yang dinamis tentang Al-Qur’an dan hokum Islam. Tujuan
diturunkannya Al-Qur’an, menurutnya adalah membangkitkan kesadaran manusia sehingga
mampu menerjemahkan dan menjabarkan nas-nas Al-Qur’an yang masih global dalam realita
kehidupan dengan kemampuan nalar manusia dan dinamika masyarakat yang selalu berubah
inilah yang dalam rumusan fiqih disebut ijtihad.
Ijtihad disebut oleh Iqbal sebagai prinsip gerak dalam struktur Islam. Oleh karena itu, untuk
mengembalikan semangat dinamika Islam dan membuang kekakuan serta kejumudan hukum
Islam. Ijtihad harus dialihkan menjadi ijtihad kolektif.

a) Hakikat Teologi

Secara umum ia melihat teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimana, mendasarkan pada
esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Didalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa
“persamaan, kesetiakawanan dan kebebas merdekaan”.

b) Pembuktian Tuhan

Dalam pembuktian eksistensi Tuhan, Iqbal menolak argument kosmologis maupun ontologis.
Ia juga menolak argument teleologis yang berusaha membuktikan eksistensi Tuhan yang
mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, ia menerima landasan teleologis
yang imanen (tetap ada). Jadi, Iqbal telah menafsirkan Tuhan yang imanen bagi alam.

c) Jati Diri Manusia

Manusia hidup untuk mengetahui kepribadiannya serta menguatkan dan mengembangkan


bakat-bakatnya, bukan sebaliknya, yakni melemahkan pribadinya, seperti yang dilakukan oleh
para sufi yang menundukan jiwa sehingga fana dengan Allah.

d) Dosa

Iqbal secara tegas menyatakan dalam seluruh kuliahnya bahwa Al-Qur’an menampilkan ajaran
tentang kebebasan ego manusia yang bersifat kreatif. Allah telah menyerahkan tanggung jawab
yang penuh risiko ini, menunjukkan kepercayaan-Nya yang besar kepada manusia. Maka
kewajiban manusia adalah membenarkan adanya kepercayaan ini. Namun, pengakuan terhadap
kemandirian (manusia) itu melibatkan pengakuan terhadap semua ketidaksempurnaan yang
timbul dari keterbatasan kemandirian itu.

e) Surga dan Neraka

Surga dan neraka, adalah keadaan, bukan tempat. Neraka, menurut rumusan Al-Qur’an adalah
“api Allah yang menyala-nyala dan membumbung keatas hati”, pernyataan yang menyakitkan
mengenai kegagalan manusia. Surga adalah kegembiraan karena mendapatkan kemenangan
dalam mengatasi berbagai dorongan yang menuju kepada perpecahan. Tidak ada kutukan abadi
dalam Islam. Neraka, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, bukanlah kawah tempat
penyiksaan abadi yang disediakan Tuhan. Ia adalah pengalaman korektif yang dapat
memperkeras ego sekali lagi agar lebih sensitive terhadap tiupan angin sejuk dari
kemahamurahan Allah. Surga juga bahkan bukan merupakan tempat berlibur. Kehidupan itu
hanya satu dan berkesinambungan.

Abu al-A’la al-Maududi merupakan tokoh berpengaruh dalam pemikiran Modern Islam.
Maududi merupakan seorang idolog dan pemikir muslim kontemporer yang berpengaruh dan
sangat produktif menulis. Interpretasinya tentang Islam memberikan sumbangan penting pada
artikulasi pemikiran kebangkitan Islam serta mempengaruhi para pemikir dan aktivis muslim
dari maroko sampai Indonesia.

F. Abu al-A’la al-Maududi

1. Biografi Abu al-A’la al-Maududi :


Abu al-A’la al-Maududi adalah tokoh pembaharu yang dilahirkan di Aurangabad
(sekarang disebut Andra Pradesh), India, pada tanggal 3 Rajab 1321 H, bertepatan dengan 25
September 1903 M dan meninggal pada tahun 1978 M. Maududi adalah anak ketiga dari tiga
bersaudara. Menurut cerita dari ayah Maududi, nama tersebut adalah pemberian dari seorang
Sufi. Sekitar tiga tahun sebelum maududi lahir, seorang sufi memberitahukan bahwa ayah
Maududi akan dianugrahi Allah seorang anak laki-laki yang akan dihormati rakyat, Sufi itu
berpesan agar anak itu nantinya diberi nama Abul A’la.
Ayah Maududi bernama Syed Ahmad Hasan Maududi, lahir pada tahun 1855, Ayahnya
merupakan seorang pengacara yang mengikuti kuliah di Aligarh University. Maududi berasal
dari keluarga yang sangat terhormat. Keluarganya sangat terkenal dalam masalah keilmuan
dan dan Agama. Maududi memperoleh pendidikan dasar di lingkungan keluarganya. Setelah
itu ia memasuki madrasah Faqiniyat, sebuah sekolah menengah agama. Setelah tamat dari
madrasah ini, kemudian ia melanjutkan studinya ke jenjang pendidikan tinggi di Dar al-Ulum
di Hyderabad.P ada tahun 1919 ayah Maududi meninggal dunia, dan oleh karena itu ia terpaksa
meninggalkan bangku kuliahnya. Keadaan ini mendorong Maududi menempuh jalan otodidak
dalam menekuni pelajaran dari berbagai bidang ilmu. Maududi memiliki kemampuan
berbahasa Arab, Inggris, dan persia sehingga dengan keahlian yang ia miliki tersebut dapat
membuat dirinya mampu memperdalam pengetahuannya. Al-Maududi memulai karirnya dari
bidang kawartwanan, yaitu sejak ia berusia 15 tahun. Pada tahun 1920, ia diangkat sebagai
editor surat kabar berbahasa Urdu, Taj, yang terbit di Jalpore. Karena prestasi yang dimiliki
oleh Maududi, setahun berikutnya ia diangkat sebagai pemimpin editor di dua surat kabar,
yaitu surat kabar Muslim (1921-1923) dan surat kabar al-Jam’iyat-i Ulum-i-Hind sebagai surat
kabar Islam yang cukup terkenal dan berpengaruh di India pada dekade 1920-an. Selanjutnya
pada tahun 1932, Maududi memimpin penerbitan majalah Tarjuman Al-Qur’an di
Hyderabad.
Maududi juga pernah aktif dalam bidang jurnalistik, serta Maududi juga pernah aktif dalam
gerakan politik yang dipimpin oleh Abul Kalam Azad pada tahun 1920. Ide-ide gerakan abul
Kalam banyak dituangkan melalui majalah al-Hilal, terutama dalam hal serangan dan kritikan
terhadap pemerintah Inggris. Pemikiran Abu al-A’la al-Maududi tidak saja berpengaruh di
Indo-Pakistan, tetapi diseluruh dunia Islam dari Indonesia sampai ke Turki. Karya-karyanya
sebanyak 138 buah buku dan telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris,
Prancis, Jerman, Turki, Persi, Tamil, Bengali, dan termasuk Bahasa Indonesia.
Pada tahun 1953, Abu al-A’la al-Maududi dijatuhi hukuman mati karena tuduhan
“Subversi” yang berkaitan dengan Ahmadiyah Qadiani. Maududi tidak melakukan banding
atau permohonan pengampunan kepada penguasa, melainkan ia malah mengatakan kepada
sahabatnya, “Jika ajal saya telah datang, tak seorang pun dapat mengelakkannya. Akan tetapi
jika belum datang, mereka tidak akan dapat menggantung saya, walaupun mereka sampai
menggantung diri mereka sendiri untuk dapat menggantung saya”. keteguhan yang dimiliki
dari al-Maududi menggoncangkan pemerintah dan dibawah tekanan-tekanan dari dalam dan
luar negeri, pemerintah Pakistan akhirnya mengubah hukumannya menjadi hukuman seumur
hidup. Akan tetapi, reaksi dari berbagai kalangan tetap ada, hingga akhirnya Maududi
dibebaskan pada tahun 1955. Hubungan Maududi dengan pemerintah Pakistan baru lebih
bersahabat setelah Jenderal Zia ul-Haq berkuasa. Dalam pemerintahan koalisi sementara yang
dibentuk Zia, empat orang dari anggota kabinet yang berjumlah empat belas menteri adalah
Jamiat Islamiyah, organisasi kekaderan yang didirikan oleh Maududi. Hubungan lebih
bersahabat ini dapat terjadi karena Zia sejak awal kekuasaannya menyatakan bahwa ia akan
membawa Pakistan ke arah yang lebih Islami, dan hal inilah yang diperjuangkan Maududi.
2. Pemikiran kalam
a) Tiga Prinsip Politik Islam
Pemikiran Maududi terhadap teori politik didasari oleh tiga prinsip. Menurutnya
sistem politik Islam didasari oleh tiga prinsip, yaitu Unity of
God (Tauhid), Prophethood (Risalah), dan Caliphate (Khilafah). Aspek politik Islam akan
sulit dipahami menurut Maududi, tanpa memahami secara keseluruhan ketiga prinsip ini.
Pertama, tauhid. Maksudnya adalah bahwa hanya Tuhan sendirilah pencipta,
penguasa, dan pemelihara. Karena Tuhan adalah penguasa, segala kedaulatan di alam ini
berada pada Tuhan. Dengan demikian, segala perintah dan larangan-Nya (Syariat) adalah
Undang-undang sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa dirinya
mempunyai kedaulatan. Tauhid berarti Tuhan yang Maha Esa adalah pencipta, Tuhan lah
yang memiliki hak untuk memberikan perintah atau melarang. Hanya Tuhan yang patut
disembah dan ditaati. Tidak ada satu aspek pun dari segala bentuk kehidupan atau organ-
organ dan pancaindra kita, kendali atas benda fisik atau benda-benda itu sendiri, tercipta
atau diperoleh atas kemauan kita sendiri, semuanya adalah bagian dari karunia Tuhan dan
dilimpahkan oleh-Nya.
Kedua, risalah. Menurut Maududi bahwa undang-undang dari Tuhan itu
disampaikan-Nya kepada Rasulullah Saw. Untuk disampaikan kepada seluruh umat
manusia. perbuatan Rasulullah Saw. Dengan melakukan interpretasi terhadap undang-
undang itu melalui perkataan dan perbuatannya disebut sunah. Inilah yang disebut risalah
Muhammad, yang berisi segala norma dan pola hidup bagi manusia, yang disebut Syari’ah.
Risalah merupakan media yang dimana kita mnerima hukum Tuhan. Kita telah
menerima dua hal dari sumber ini, yakni Al-Qur’an, Kitab dimana Tuhan menguraikan
hukum-hukum-Nya dan penafsiran otoritatif dan petunjuk kitab tersebut oleh Nabi
Muhammad Saw., melalui kata dan perbuatan,dalam kapasitasnya sebagai utusan Tuhan.
Al-Qur’an meletakkan prinsip-prinsip umum mengenai landasan kehidupan umat manusia.
Ketiga, khalifah. Maududi menjelaskan dengan ungkapannya bahwa manusia di
muka bumi ini diberi kedudukan sebagai Khalifah (perwakilan), yang berarti bahwa
manusia adalah wakil (dijadikan wakil) Tuhan di bumi. Manusia yang dimaksudkan adalah
seluruh komunitas yang menyakini dan menerima prinsip-prinsip bahwa pemegang
kepemimpinan dan yang berkuasa di alam adalah Tuhan, kedaulatan tertinggi ada pada
Tuhan, dan manusia dibumi hanya wakil Tuhan. Dengan dimikian, setiap manusia yang
menerima prinsip ini berarti telah menduduki posisi khilafah. Akan tetapi, manusia yang
diserahi khilafah yang sah dan benar ini bukanlah perorangan, keluarga atau kelas tertentu,
melainkan komunitas secara keseluruhan yang menyakini dan menerima prinsip-prinsip
yang telah disebutkan dan bersedia menegakkan kekuasaannya atas dasar prinsip tersebut.
Dengan demikian, pelaksanaan Khilafah tersebut haruslah bersifat kolektif.
4. Tujuan Negara
Penggunanaan istilah Khilafa menjelaskan bahwa tidak ada individu atau golongan
yang dapat menjadi Khalifah. Setiap individu dalam satu Masyarakat Islam menikmati hal-
hak kekhalifahan Tuhan dan semua Individu berderajat sama. Yang membedakan
Demokrasi Islam dan Demokrasi Barat adalah Demokrasi Barat, Rakyatlah yang berdaulat;
dalam Demokrasi Islam kedaulatan berada di tangan Tuhan dan Rakyat adalah Khalifah-
Nya atau wakil-Nya. Dalam demokrasi Barat rakyat yang membuat hukumnya sendiri;
sedangkan dalam Demokrasi Islam rakyat harus mentaati dan mematuhi hukum
(syari’ah) yang diberikan Tuhan melalui Rasul-Nya.
Terlintas di benak al-Maududi, bahwa mungkin saja akan dikatakan bahwa dengan
teori ini Tuhan akan melucuti kebebasan berpikir manusia, bukan melindunginya. Al-
Maududi mencoba memberikan jawaban bahwa Tuhan telah mempertahankan hak
legislasi ini dalam kehendak-Nya sendiri bukan dalam rangka merampas hak-hak asasi
manusia, melainkan untuk melindungi hak itu sendiri. Tujuannya tidak lain adalah untuk
menyelamatkan manusia agar tidak tersesat dan mengundang kehancurannya sendiri.
Menurut Maududi, suatu tugas akan berhasil bila dipertanggungjawabkan dihadapan
instansi yang lebih tinggi. Jika kita diberi tanggungjawab oleh Tuhan, tidak saja
bertanggung jawab secara penuh, tetapi kita juga akan melaksanakan tugas itu dengan
sungguh-sungguh. Dengan demikian, akan ada moral obligation yang sangat kuat pada diri
seseorang. Itulah sebabnya mengapa Allah menetapkan batas-batas atau batas-batas
Tuhan.
5. Lembaga-lembaga Negara
Maududi mengharuskan adanya lembaga yang akan berfungsi sebagai pengukur
dan pemutus perkara yang harus selalu tetap berpedoman kepada kitab Allah dan Sunnah
Rasul secara ketat. Al-Maududi mengemukakan ada tiga lembaga penting yang rakyat
harus memberikan ketaatan terhadap negara melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan
oleh ketiga lembaga tersebut.

Pertama, lembaga legislatif. Menurut al-Maududi, Lembaga legislatif merupakan


lembaga yang berdasarkan terminologi fiqh disebut dengan lembaga pengengah dan
pemberi fatwah atau sama dengan Ahl al-Halli wa al-‘Aqd. Kedua, lembaga eksekutif
(pelaksana pemerintah). Tujuan lembaga ini adalah untuk menegakkan pedoman-pedoman
serta menyiapkan masyarakat agar meyakini dan menganut pedoman-pedoman yang telah
ditetapkan oleh lembaga legislatif untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
Al-Quran, terminologi uli al-amr pada dasarnya menunjukkan lembaga ini dan kaum
muslimin diperintahkan untuk patuh kepadanya, dengan syarat lembaga eksekutif ini
menaati Allah dan Rasul-Nya dan menghindari dosa serta tidak melakukan hal-hal yang
dilarang Syariat. Lembaga ini dipimpin oleh kepala negara sebagai pemegang tertinggi
kekuasaan eksekutif. Ketiga, lembaga yudikatif. Dalam terminologi Islam, lembaga
yudikatif sama dengan lembaga peradilan atau qadha. Lembaga peradilan ini berfungsi
sebagai penegak hukum ilahi, menyelesaikan dan memutuskan dengan adil perkara yang
terjadi di antara warganya. Lembaga ini bersifat bebas dan terlepas dari segala campur
tangan, tekanan atau pengaruh, sehingga lembaga ini dapat membuat keputusan yang
sesuai dengan konstitusi tanpa dihalangi oleh rasa takut. Hukum yang dipakai dalam
lembaga ini, menurut Maududi, harus benar-benar berdasarkan pada hukum Tuhan. Ia
mendasarkan kekuasaan lembaga ini pada Al-Quran surat 5 ayat 47, 48, dan 50.

6. Hak-hak Warga
Hal-hal yang berkaitan dengan persoalan politik adalah soal hak-hak warga dalam
suatu negara. Maududi memajukan pendapat-pendapatnya tentang hak-hak warga sebagai
berikut. Pertama, hak-hak asasi manusia. Ide hak-hak manusia timbul pada abad ke-17 dan ke-
18 M sebagai reaksi atas keabsolutan raja-raja dan kaum feodal. Ketika itu muncul ide
persamaan, persaudaraan, dan kebebasan bahwa semua manusia adalah sama. Manusia
menurut Maududi, dengan kekuatan indra yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, memiliki
kebijaksanaan, keinginan, dan perasaan. Sarana hidup bermacam-macam yang disediakan
Tuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah alat untuk memfungsikan indra dan
kekuatan manusia. karena itu, segala kebutuhan manusia terhadap sarana yang diberikan
Tuhan merupakan kebuthan yang mendasar atau hak yang asasi bagi manusia. Maududi
menyebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan hak universal bagi seluruh manusia yang
harus diperhatikan dalam segala keadaan. Undang-undang negara mestinya dapat menjamin
hak asasi manusia semua warganya. Kedua, warga non-Muslim. Menurut Maududi, warga
nonmuslim termasuk kelompok yang dilindungi dengan segala hak dan kewajibannya.
Maududi mengategorikan mereka pada tiga kategori. Pertama, nonmuslim yang masuk
menjadi warga negara melalui perdamaian. Mereka dikenakan bayar jizyah. Kedua,
nonmuslim yang menjadi warga negara karena taklukan, yang menyatakan takluk karena
kalahannya dalam peperangan. Setelah diadakan perjanjian, mereka diakui sebagai warga yang
dilindungi dan kepada mereka diwajibkan membayar jizyah. Ketiga, warga nonmuslim yang
melakukan cara-cara tertentu yang dibenarkan. Kepada mereka diberikan jaminan keamanan
sebagai halnya warga muslim. Kehormatan, harta benda, dan jiwa mereka terpelihara atas
jaminan pemerintah.
7. Sistem Ekonomi Islam
Sistem ekonomi Islam, menurut Maududi, berdasarkan keadilan dan jiwa persamaan
sebagaimana ditujukan oleh Nash, yaitu Tuhan telah menciptakan bumi dan kekayaan yang
dikandungnya untuk manusia. karena itu, setiap manusia yang lahir mempunyai hak untuk
berusaha memperoleh bagiannya. Semua manusia berhak menikmati hak ini, dan tidak
dibenarkan melucuti atau membatasi hak orang lain serta memberi prioritas kepada lainnya.
Islam juga tidak membenarkan monopoli terhadap benda-benda dan makanan yang menjadi
sumber kehidupan manusia.
Persamaan, dalam sistem ekonomi yang dikandung oleh syariat adalah persamaan
dalam kesempatan yang diberikan Tuhan untuk hidup dan meningkatkan taraf hidup. Dengan
cara ini, Islam tidak memaksakan agar terjadi kesamaan ekonomi. Tuhan membiarkan manusia
yang satu melebihi lainnya sebagaimana halnya perbedaan watak dan kesanggupana manusia.
demikian pula halnya pada soal pemilikan materi. Mereka dibiarkan memiliki lebih banyak
daripada yang lainnya, dan perbedaan pemilikan ini merupakan perbedaan yang terjadi secara
alamiah. Dengan demikian, Islam sebenarnya meletakkan dasar secara alamiah sehingga
mendorong dan memberi kesempatan kepada setiap individu untuk berjuang dan berusaha
secara terbuka sesuai dengan kesanggupannya. Jika secara alamiah manusia mempunyai rasa
kasihan kepada orang yang menderita, Islam menghidupkan perasaan itu dengan kewajiban
zakat bagi yang kaya.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat kita simpulkan sebagai berikut:
a. Pemikiran kalam ulama modern ini muncul karena pada masa itu umat islam digambarkan
sebagai masyarakat yang beku , kaku, menutup rpat-rapat pintu ijtihad dan mengabaikan
peranan akal dalam memahami syari’at Allah. Karena mereka telah merasa cukup dengan hasil
karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta
berdasarkan khurafat-khurafat. Adapun pemikiran kalam ulama modern disini diantaranya:
B. SARAN
Demikian pembahasan makalah yang penulis uraikan. Saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan demi terciptanya pengetahuan-pengetahuan baru khususnya mengenai
ilmu kalam. Sekian dan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, Yunan. “Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam: Dari Khawarij ke Buya Hamka
Hingga Hasan Hanafi”, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2014)

http://mulaidenganyangmudah.blogspot.com/2016/04/ilmu-kalam-pemikiran-kalam-
ulama-modern.html diakses pada tanggal 10/12/2021, pukul 14.45 WIB.

Anda mungkin juga menyukai