Anda di halaman 1dari 25

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

(KH.AHMAD DAHLAN DAN KH. HASYIM ASY’ARI)

Makalah ini disususn untuk memenuhi tugas

Mata kuliah filsafat pendidikan islam

Dosen pengampu

Rohmadi, M.Pd

Penyusun :

Anil Husna

Arjun Siregar

M. Ramadhani

PROGRAM STUDIPENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT ISLAM MAMBAUL ULUM JAMBI

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga


makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman untuk para pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini
karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Jambi, 17 juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 3


BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 4
A. Latar Belakang ............................................................................................. 4
B. Rumusan masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan .......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 6
A. KH. Ahmad Dahlan ..................................................................................... 6
1. Riwayat hidup ........................................................................................... 6
2. Pemikiran Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan .................................... 8
B. KH. Hasyim Asy’ari................................................................................... 15
1. Riwayat hidup ......................................................................................... 15
2. Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari ................................ 16
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 23
A. Kesimpulan ................................................................................................ 23
B. Saran .......................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik bukan


hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan
konsep-konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan
modern. Dalam khasanah pemikiran pendidikan Islam, kita temukan tokoh-
tokoh besar dengan ide-idenya yang cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi
dan kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan Islam di Indonesia.

Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut di catat adalah
posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada
masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah di lahirkan oleh
mereka baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu adalah
lembaga yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju
dan berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan,
khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau melalui jalur dakwah
mereka.

Adapun tantangan yang di hadapi pendidikan Islam di masa awal


masuknya Islam ke Indonesia barangkali adalah kurangnya pemahaman pemeluk
Islam baru akan pengetahuan agama Islam. Tersebarnya agama Islam ke
Nusantara menimbulkan kebutuhan akan guru-guru, juru dakwah untuk
menganjurkan prinsip-prinsip agama baru tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat Islam itu muncullah pusat-pusat pembelajaran agama Islam, dalam
bentuk pengajaran individual maupun secara kelompok (padepokan atau
pesantren).

Pendidikan Islam dalam bentuk padepokan (pesantren ini berlangsung


cukup lama sampai akhirnya timbul tantangan baru yaitu berdirinya sekolah
Belanda. Sekolah Belanda ini dikembangkan oleh pemerintah kolonial untuk
menghasilkan tenaga kantor tingkat rendah, dengan gaji jauh lebih murah.
Akhirnya muncul pendidikan model tradisional yaitu pesantren, sekolah Belanda
dan juga madrasah sebagai respon pembaharuan pendidikan dengan model
sekuler Belanda.

Pemikiran dan perjuangan KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan
yang kiprah dan perjuangannya begitu sentral, utamanya di dalam bidang
pendidikan telah menentukan arah pendidikan di tanah air, sebuah pendidikan
yang berbasis keislamaan namun tetap sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman (al-muhafazhah alal qadim as-Shalih wal akhdu al-jadid
al-aslah).

B. Rumusan masalah

1. Bagaimana pemikiran pendidikan islam menurut KH.AHMAD DAHLAN?

2. Bagaimana pemikiran pendidikan islam menurut KH. HASYIM ASY’ARI?

C. Tujuan

1. Mengetahui pemikiran pendidikan islam menurut KH.AHMAD DAHLAN

2. Mengetahui pemikiran pendidikan islam menurut KH. HASYIM ASY’ARI


BAB II
PEMBAHASAN

A. KH. Ahmad Dahlan

1. Riwayat hidup

Seperti yang kita ketahui bahwa penulisan riwayat hidup K.H. Ahmad Dahlan
telah banyak dilakukan oleh para sarjana.1 K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman
Yogyakarta pada tahun 1868. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy dan
merupakan anak keempat dari K.H. Abu Bakar (seorang ulama dan khatib
terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta)2 dan ibunya merupakan
putrid dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghlu kesultanan juga.3 Ia
merupakan anak keempat dari tujuh ornag bersudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan kecuali adik bungsunya.

Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang keduabelas dari maulana


malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali
Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan
Islam di tanah Jawa. Ia dikenal jujur dan sederhana dan inilah yang membuatnya
disukai orang. Untuk mempelajari ilmu-ilmu agama ia berpindah dari satu
sekolah ke sekolah lainnya. Ia mempunya sikap kritis terhadap pola pendidikan
tradisional, tetapi tidak punya kekuatan untuk mengubahnya. Dalam keadaan
seperti ini Ia beruntung memproleh kesempatan melanjutkan pendidikannya ke
Mekah pada tahun 1890.4 Di sinilah Ia berinteraksi dengan pemikir-pemikir
pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afgani, Rasyid
RIdha, dan Ibnu Taimiyah. Pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunya
pengaruh yang besar padanya. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh
aliran pembaharuan ini sehingga kelak kemudian hari menampilkan corak

1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942I (Jakarta: LP3ES, 1995).Hlm. 3
2
H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010). Hlm. 180
3
Delia Noer Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 48
keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian dunia Islam
saat itu yang masih bersifat ortodoks.

Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka


wawasan beliau tentang universalitas Islam. Ide-ide tentang reenterpretasi Islam
dengan gagasan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian
khususnya saat itu. Ia juga merupakan murid Syaikh Ahmad Khatib (1899-
1916), tokoh kelahiran Indonseia yang saat itu menempati posisi tertinggi dalam
penguasaannya atas ilmu-ilmu agama di Mekkah.4 Dalam pendidikan
keagamaan formalnya sebagian besar waktu K.H. Ahmad Dahlan tampaknya
dihabiskan untuk mempelajari ajaran Islam tradisionalis, karena itu
perkenalannya dengan gagasan-gagasan modernisme Islam kemungkinan terjadi
lewat bacaan pribadi dan hubungannya dengan kaum moerdenis Muslim lain.

Sekembalinya dari Mekkah tahun 1905. Ia menikah dengan Siti Walidah,


anak perempuan seorang hakim di Yogyakarta yang kelak dikena dengan Nyai
Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Karena
gajinya sebagai khatib tidak mencukupi untuk memenuhi keperluannnya sehari-
hari, ia berdagang batik. Ini membawanya ke hampir semua daerah di Jawa dan
memberinya kesempatan untk menyampaikan gagasan-gagasannya kepada kaum
Muslim yang menonjol di daerah masing-masing. Mereka inilah yang
belakangan menjadi bagian inti gerakan Muhammadiyah dan pengikutnya yang
bersemangat. K.H. Ahmad Dahlan juga bergabung dengan organisasi Jam’iyatul
Khair, Budi Utomo,9a nggota teras Sarekat Islam hingga akhirnya di Yogyakarta
pada tanggal 18 November 1912 lahirlah Muhammadiyah sebagai gerakan umat
Islam. dan sejak awal K.H. Ahmad Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah
bukan organisasi politik tetapi bersifat social dan bergerak di bidang pendidikan.
K.H. Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23 Februari 1923
dalam usia 55 tahun.

4
Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera,
1999), h. 245
2. Pemikiran Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan

Buya (K.H. Ahmad Dahlan) merasa tidak puas dengan system dan
praktik pendidikan saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan
pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan,
dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Karena itu Buya
merentaskan beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk
pendidikan model Muhammadiyah khususnya, antara lain:

a) Pendidikan Integralistik

K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga


sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan
tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis
pendidikan Beliau musti lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau
membangun sistem pendidikan. Namun naskah pidato terakhir beliau yang
berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan
secara eksplisit konsen Beliau terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan
logika.

Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat


Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah
pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan
terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran
akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup
manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal
manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk
Allah swt.

Pribadi K.H. Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang


menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga meskipun tidak
punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang
rasionalitas melalui ajaran Islam sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid.
Dia dapat dikatakan sebagai suatu “model” dari bangkitnya sebuah generasi
yang merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang bangkit untuk
menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang berupa
ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama Islam.

Berbeda dengan tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih


menaruh perhatian pada persoalan politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan
mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang pendidikan. Titik bidik pada dunia
pendidikan pada gilirannya mengantarkannya memasuki jantung persoalan umat
yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya politik etis atau politik asosiasi
(sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda diproyeksikan sebagai pola baru
penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan dapat menggeser lembaga
pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan di Indonesia pada saat
itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah Belanda yang sekuler,
yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan agama; dan
pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang berhubungan
dengan agama saja.

Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan ini K.H. Ahmad


Dahlan “gelisah”, bekerja keras sekuat tenaga untuk mengintegrasikan, atau
paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu. Cita-cita pendidikan
yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu tampil
sebagai “ulama-intelek” atau “intelek-ulama”, yaitu seorang muslim yang
memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat jasmani dan rohani. Dalam
rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan
melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah
Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama
dan pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang
sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara dan
yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain.
Namun, ide Beliau tentang model pendidikan integralistik yang mampu
melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian.
Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti
kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik
pendidikan bisa berubah sesau dengan perkembangan ilmu pendidikan atau
psikologi perkembangan. Dalam rangka menjamin kelangsungan sekolahan yang
ia dirikan maka atas saran murid-muridnya Beliau akhirnya mendirikan
persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode pembelajaran yang
dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses
penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Beliau menjelaskan surat al-Ma’un
kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari
bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-
miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu mengamalkan
perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada semangat yang musti
dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah, yaitu bagaimana merumuskan
sistem pendidikan ala al-Ma’un sebagaimana dipraktekan K.H. Ahmad Dahlan .
Anehnya, yang diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik
pendidikannya, bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang
tidak mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap sebagai
bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari K.H. Ahmad Dahlan adalah
semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan, bukan bentuk atau
hasil ijtihadnya.

b) Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern

Yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai oleh


lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan dapat menyerap
dan kemudian dengan gagasan dan prektek pendidikannya dapat menerapkan
metode pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang
didirikannya dan madrasah-madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan
adalah sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari
sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan
berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat
ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula mendirikan SR di Kauman
dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah menengah yang diberi
nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan
Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga
pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi
Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan Muhammadiyah
menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah:

1. Baik budi, alim dalam agama

2. Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)

3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya

Mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan latar belakang timbulnya


pemikiran pendidikan Islam K.H. Ahmad Dahlan yang antara lain disebabkan
oleh rasa tidak puas terhadap system pendidikan yang ada dan hanya
mengembangkan salah satu bidang pengetahuan dari kedua pengetahuan yang
ingin dirangkul oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya. Ijtihad
pemikiran pendidikan yang dicetuskan K.H. Ahmad Dahlan melalui gagaan dan
praktek pendidikan Islamnya merupakan cikal bakal dan dijadkan estafet dalam
pembaharuan system pendidikan Muhammadiyah, sebagai contoh “pondok
Muhammadiyah”.

Dalam pendidikan di pondok Muhammadiyah mata pelajaran agama dan


alat untuk mempelajari agama sebagai mata pelajaran pokok. Program
pendidikan pondok Muhammadiyah berbeda dengan sekolah Muhammadiyah.
Pondok Muhammadiyah menekankan hal keagamaan . sementara sekolah kelas I
dan II yang dikelola Muhammadiyah, pendidikan agama hanya sebagai mata
pelajaran suatu bidang studi yaitu mata pelajaran Agama Islam. Mata pelajaran
ini disampaikan pada suatu kelas tertentu dnegna waktu yang ditetapkan.

Sekolah Muhammadiyah pada awal abad ke-20 sudah menerapkan


system ulangan, absensi murid dan kenaikan kelas. Sementara itu, ujian dipakai
sebagai pengukur kecakapan murid. Pendidikan Muhammadiyah juga ditunjang
dengan beberapa kegiatan di luar jam pelajaran dan guru dihormati secara wajar.
K.H. Ahmad Dahlan telah membawa pembaharuan pendidikan waktu itu melalui
Muhammadiyah baik dengan memasukkan mata pelajaran agama di sekolah-
sekolah umum dan menyerap ilmu-ilmu yang datang dari Barat, serta
memasukkan kitab-kitab ulama baru ke dalam kurikulumnya. Semuanya itu
mengundang munculnya berbagai kecaman terhadap beliau. Ada yang menuduh
sebagai murtad, kreisten, penganut paham mu’tazilah, kharijiah, dsb. Bahkan
sampai tahun 1933 disebutkan bahwa sekolah Muhammadiyah sebagai sekolah
kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan. Namun Muhammadiyah tetap bisa
bertahan dan hingga saat ini mewajikan pembelajaran pengetahuan keIslaman
yang disebut al-Islam dan keMuhammadiyahan, dengan mengajarkan Islam versi
Majlis Tarjih.

c) Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern

Muhammadiyah baru memutuskan meminta kepada pemerintah agar


memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam di sekolah-
sekolah Goebernemen pada bulan April 1922. sebenarnya sebelum
Muhammadiyah didirikan ini sudah diusahakan namun baru mendapat izin saat
itu. Hingga akhirnya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah swasta yang
meniru sekolah Gubernemen dengan pelajaran agama di dalamnya.5 Tujuan
pokok organisasi dan pendirian lembaga pendidikan menjadi orientasi utama
K.H. Ahmad Dahlan sehingga berusaha untuk menandingi sekolah pemerintahan
Belanda dengan mengikuti contoh misi Kristen dengan menyebarkan fasilitas
dan mendesakkan pengalaman iman.6

Sekolah Muhammadiyah mempertahankan dimensi Islam yang kuat,


tetapi dilakukan dengan cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang
lebih awal dengan gaya pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan
system pendidikan baru yang diberikannya. K.H. Ahmad Dahlan juga ingin

5
Karel. K. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1994) hlm. 54-55
6
Harry Aveling (ed), The Development of Indonsesian Society (New York: St. Artin Press, 1980)
hlm. 85
memodernisasi sekolah keagamaan tradisional.7 Untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Muallimin dan
Muallimat, Muballighin dan Muballighat. Dengan demikian diharpakan lahirlah
kader-kader Muslim sebagai bagian inti program pembaharuannya yang bisa
menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu menyampaikan
misi-misi dan melanjutkannya di masa depan. K.H. Ahmad Dahlan juga bekerja
keras meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan dalam kerangka Islam
sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam organisasinya karena
perempuan merupakan unsur penting berkat bantuan istri dan koleganya
sehingga terbentuklah Aisyiah.

d) Menerapkan Sistem Kooperatif dalam Bidang Pendidikan

Kita dapat melihat adanya kerjasama yang harmonis antara pemerintahan


Belanda dengan Muhammadiyah. Keduanya sama-sama memperoleh
keuntungan. Pertama, dari sikap non oposisional. Kedua, mendukung program
pembaharuan keagamaan termasuk di dalam bidang pendidikan. Sikapnya yang
akomodatif dan kooperatif memberikan ketentuan mutlak untuk bertahan hidup
di tengah iklim yang sangat tidak ramah terhadap gerakan nasionalis pribumi
dan disaat tidak satupun gerakan yang sebanding dengannya dapat bertahan saat
itu. Sehingga K.H. Ahmad Dahlan dapat masuk lebih dalam pada lingkungan
pendidikan kaum misionaris yang diciptakan oleh pemerintah Belanda, yang saat
itu lebih maju kedepan dari pada sistem penddikan pribumi yang tradisional.

Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa catatan yang direntaskan oleh
buya,8 antara lain:

a) Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang semula


seistem pesantren menjadi system sekolah.

7
Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe, Inc., 1961), hlm.
125.
8
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 208
b) Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau
madrasah.

c) Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang semula


menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi.

d) Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan.

e) Dengan Muhammadiyahnya buya berhasil mengembangkan lembaga


pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan dari
yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum.

f) Berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam system


pendidikan yang dirancangkannya.

g) Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah

Ada banyak hal yang menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembaharu, di
antaranya yaitu:

1. Melakukan purifikasi ajaran Islam dari khurafat tahayul dan bid’ah yang
selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam, dan
mengajak umat Islam untuk keluar dari jarring pemikiran teradisional melalui
reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang
dapat diterima oleh rasio.

2. Usaha dan jasanya mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat
menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di
Yogyakarta menghadap Timur dan orang-orang shalat mengahadap kearah
Barat lurus. Padahal kiblat yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa
haruslah iring kearah Utara + 24 derajat dari sebelah Barat. Berdasarkan ilmu
pengetahuan tentang ilmu falak itu, ornag tidak boleh menghadap kiblat
menuju Barat lurus, melainkan harus miring ke Utara + 24 derajat. Oleh
sebab itu, K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri
supaya menuju kearah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H.
Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid
dan kekuasaan kerajaan.

3. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di


pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai
golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak
Muballig Islam di Jawa Tengah, sebagaimana syekh M. Jamil Jambek sebagai
bapak Muballigh di Sumatra Tengah.23

4. Mendirikan perkumpulan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia


sampai sekarang.

B. KH. Hasyim Asy’ari

1. Riwayat hidup

Hasyim Asy;ari Dilahirkan dalam keluarga elit kiai Jawa dengan nama kecil
Muhammad Hasyim lahir pada 24 Dzul Qa’dah 1287 atau 14 Pebruari 1871 di
desa Gedang, sebelah timur kota Jombang. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari yang
mendirikan pesantren Keras di Jombang, sedangkan kakeknya Kiai Usman
adalah kiai terkenal pendiri pesantren Gedang diakhir abad ke-19. Dia
merupakan cicit Kiai Sihah, pendiri pesantren Tambak Beras Jombang. Ayah
Kiai Hasyim berasal dari Tingkir dan merupakan keturunan Abdul Wahid dari
Tingkir. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka
Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Dari hal itu, maka K.H.
Hasyim Asy’ari dipercayai sebagai keturunan bangsawan. Ibunda Muhammad
Hasyim bernama Halimah, putrid da’i Kyai Usman, pendiri Pesantren Gedang
yang didirikan pada akhir abad ke-19).

Melalui berbagai tokoh yang menjadi gurunya , K H . Hasyim Asy’ari banyak


menimba ilmu agama islam, antara lain Fiqih dengan konsentrasi pada mazhab
Syafi’i, ulum al-hadist, tauhid, tafsir, tasawuf, ilmu-ilmu alat (nahwu, sharaf,
mantiq, balaghah) dan lain-lain. Dari berbagai ilmu agama tersebut K.H.Hasyim
Asy’ari lebih banyak memusatkan perhatian dan keahlianya pada hadist,
terutama kumpulan hadis Imam Muslim. Hal itu terjadi karena salah satu jalan
untuk memahami Islam, selain dengan mempelajari Al-Qur’an beserta
tafsirnyayang mendalam, juga perlu memiliki pengetahuan yang cukup dalam
bidang hadis dengan syarh dan hasyiyah. Hal ini yang membuat KH. Hasyim
Asy’ari banyak menarik perhatianya dalam bidang hadis.9

K.H. Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Pesantren Tebuireng adalah


seorang yang luar biasa. Di seluruh Jawa, para kyai mempersembahkan gelar
“Hadratus-Syeikh” yang artinya “Tuan Guru Besar”kepada beliau. Pesantren
Tebuireng pertama kali didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari di atas sebidang
tanah yang telah dibeli dari seorang dalang di desa Tebuireng, tepatnya pada
tanggal 26 Robiul Awal 1317 H atau sekitar tahun 1899 M. Pondok ini didirikan
dari sebuah teratak bambu luasnya hanya sekitar 10 meter persegi. Teratak ini
terbagi atas dua buah petak rumah, yang sebuah untuk tempat tinggal Kyai
Hasyim dan yang sebuah lagi digunakan sebagai tempat mengaji dan
sembahyang sholat. Murid yang bersamanya sekitar 8 orang yang dibawanya
sejak dari pesantren Keras, di bagian selatan Jombang tempat ia berasal. Dalam
tempo tiga bulan, 28 orang di Tebuireng menjadi santri Kyai Hasyim.

2. Pemikiran Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari dibesarkan dalam tradisi sufi dari golongan Sunni
di Jawa. Beliau belajar dan berkiprah di masyarakat pada masa munculnya
gerakan Wahabi dalam dunia Islam. Abad ke-19, di Jawa merupakan masa
transisi yaitu masa dialog antara golongan santri tradisional dengan golongan
modernis yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi dan Muhammad Abduh.
Golongan modernis menyatakan bahwa Islam di Jawa telah tertinggal jauh
karena salah menafsirkan Islam dengan tujuan sufi dan percampuran Islam
dengan budaya lokal. Slogan golongan modernis adalah kembali kepada al-
Qur’an dan Hadits, sedangkan misi mereka adalah memurnikan ajaran Islam dari
pengaruh-pengaruh budaya lokal.

9
Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), hal. 116
Meskipun sama-sama berguru kepada Ahmad Khatib di Makkah, namun
K.H. Hasyim Asy’ari berbeda dalam pemikiran dengan K.H. Ahmad Dahlan
pendiri Muhammadiyah yang menyatakan diri sebagai reformis. K.H. Hasyim
mewakili kelompok pelajar-pelajar Timur Tengah yang menentang ide-ide
reformis. K.H. Hasyim lebih dipengaruhi oleh guru-guru yang lain seperti
Syaikh Mahfuz at-Tirmisi, Imam Nawawi al-Bantani, dan Syaikh Ahmad Khatib
as-Sambasi. Dia lebih memilih meneruskan tradisi intelektual ketiga gurunya
tersebut dengan secara konsisten menjaga ajaran madzhab dan tarekat. Meskipun
begitu, K.H. Hasyim mengakui ide-ide Muhammad Abduh dalam menghidupkan
kembali nilai-nilai Islam, namun dia menolak ide Abduh yang lain, yaitu
melepaskan diri dari bermadzhab. Bagi K.H. Hasyim, mustahil untuk mendekati
al-Qur’an dan Hadits dengan baik tanpa memahami dan mempelajari kitab-kitab
ulama abad pertengahan. Tanpa hal ini upaya penafsiran al-Qur’an dan Hadits
hanya merupakan pengikisan terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya.

Pada tahun 1920-an, banyak ulama dan santri yang belajar kepada K.H.
Hasyim mengenai ilmu Hadits di pesantren Tebuireng, bahkan seorang ulama
yang paling berpengaruh di Jawa pada masa itu, yang juga guru dari K.H.
Hasyim, yaitu K.H. Khalil Bangkalan ingin berguru kepadanya dalam ilmu
hadits. Ketika kiai Khalil minta izin untuk menjadi muridnya, dengan santun dia
mengatakan bahwa kiai Khalil adalah gurunya dan selamanya akan tetap
menjadi gurunya. Hal yang demikian menunjukkan kerendahan hati kedua
ulama tersebut karena kiai Khalil dikenal sebagai seorang guru yang tiada
tandingannya, yang gemar berdebat untuk tujuan keilmuan melebihi siapapun,
dan hal itu sulit dimengerti ketika akhirnya sang Guru sangat menghormati
muridnya. Kerendahan hati adalah salah satu ciri penting dari ulama pesantren.

Uraian di atas menunjukkan bahwa K.H. Hasyim Asy’ari sangat


fenomenal pada masanya. Keputusannya untuk menempuh jalur intelektual
bermadzhab dan bertarekat, serta berdakwah secara kultural dengan jalan
melakukan perpaduan antara elemen-elemen Islam dengan budaya lokal
menjadikan K.H. Hasyim selain unik dan khas, juga menunjukkan bahwa dia
adalah seorang ulama yang mampu membaca jiwa zaman (situasi dan kondisi
masa itu). Kecintaannya terhadap ilmu, kepandaiannya mengajar, kearifan dan
kesabarannya terhadap murid, dan kerendahan hatinya terhadap guru menjadi
penting untuk ditelaah secara mendalam. Telaah itu untuk mengkaji pemikiran-
pemikirannya dalam dunia yang paling dia cintai, yaitu dunia pendidikan. K.H.
Hasyim Asy’ari dibesarkan dalam tradisi sufi dari golongan muslim tradisionalis
Jawa. Ia menuntut ilmu dan berkiprah di masyarakat pada masa munculnya
gerakan Wahabi dalam dunia Islam. Abad ke-19 di Jawa merupakan masa
transisi, yaitu masa dialog antara golongan santri tradisional dengan golongan
modernis yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi dan Muhammad Abduh.
Golongan modernis mengatakan bahwa Islam di Jawa telah tertinggal jauh
karena salah menafsirkan Islam dengan tujuan sufi dan percampuran Islam
dengan budaya lokal. Slogan golongan modernis adalah kembali kepada al-
Qur’an dan Hadis. Misi mereka adalah memurnikan ajaran Islam dari pengaruh-
pengaruh budaya lokal.

Dalam karya-karyanya, seperti juga karya ulama lain pada masa itu, K.H.
Hasyim Asy’ari dalam menjelaskan berbagai pemikirannya selalu disandarkan
kepada persoalan etika (moralitas). Hal ini tidak mengherankan karena memang
tradisi sufi pada masa itu masih sangat melekat pada kehidupan masyarakat
Islam tradisionalis.

Dalam pemikiran tentang pendidikan dia juga lebih fokus kepada


persoalan-persoalan etika dalam mencari dan menyebarkan ilmu. Dia
berpendapat bahwa bagi seseorang yang akan mencari ilmu pengetahuan atau
menyebarkan ilmu pengetahuan (guru dan murid), yang pertama harus ada pada
diri mereka adalah semata-mata untuk mencari ridha Allah (pracaya lan mituhu).
Seseorang yang akan mencari dan menyebarkan ilmu pengetahuan, maka dia
harus memperbaharui niatnya hanya untuk mencari ridha Allah, mengamalkan,
dan menjalankan syari’at Islam untuk menerangi hatinya dalam mendekatkan
diri kepada Allah, bukan untuk mencari keduniaan, dalam istilah Jawa dikenal
dengan konsep eling lan waspada. Dalam konteks ini, pemikiran K.H. Hasyim
Asy’ari seirama dengan pandangan-pandangan kaum sufi, bahwa menjadikan
persoalan-persoalan profan sebagai tujuan tidak hanya tabu dan jelek, tetapi juga
akan menyesatkan, memperbaharui niat murni hanya untuk Allah tidak
terpengaruh oleh hal-hal lain menjadi keharusan. Hal seperti ini diperlukan agar
manusia tidak lalai sehingga dia dapat menyelesaikan perbuatannya dan
mengakhiri dengan ikhlas. Untuk menuju tingkatan hati yang hanya mencari
ridha Allah, maka menurut K.H. Hasyim Asy’ari, jalan yang harus ditempuh
adalah melakukan penyucian hati atau jiwa, dalam istilah Jawa dikenal dengan
ngeker hawa nepsu lan sepi ing pamrih.

Seseorang harus membersihkan hati atau jiwanya sebelum mencari ilmu


pengetahuan, pembersihan hati ini penting bagi suksesnya mencapai ilmu
pengetahuan, sebagaimana pandangan kaum sufi bahwa hati harus disucikan dari
kejahatan-kejahatan esoteris seperti penipuan, kekotoran hati, rasa dendam,
dengki, keyakinan yang tidak baik, dan pekerti yang tidak baik.

Setelah menguasai ilmu pengetahuan, maka sebagai mekanisme kontrol


adalah sifat tawadlu. Tawadlu adalah merendahkan diri terhadap makhluk dan
melembutkan diri kepada mereka atau patuh terhadap kebenaran dan tidak
berpaling dari hikmah, hukum, dan kebijaksanaan. Dalam konteks ini K.H.
Hasyim Asy’ari secara eksplisit menyebutkan bahwa rendah hati di hadapan
guru adalah kemuliaan murid, sedangkan patuh kepada guru adalah kebanggaan
dan tawadlu di hadapan guru adalah keluhuran murid, sifat semacam ini dalam
istilah Jawa dikenal dengan sifat andhap asor .

Tawakal dan istiqamah dalam muraqabah dan khauf adalah tingkatan


sifat selanjutnya yang harus dimiliki. Tawakal adalah berserah diri kepada Allah,
khauf adalah selalu takut kepada Allah, dan muraqabah adalah selalu melihat
Allah dengan mata hati, merasakan adanya pemantauan Allah terhadap dirinya,
mengagungkan apa yang diagungkan Allah dan merendahkan apa yang
direndahkan Allah. Dalam hal ini, K.H. Hasyim Asy’ari menekankan bahwa tiga
sifat tersebut harus dimiliki supaya pada saat melakukan pergumulan dengan
ilmu pengetahuan tidak terganggu oleh persoalan- persoalan profan dan
diharapakan akan mempunyai kesadaran bahwa ilmu pengetahuan adalah
amanah.

Kandungan yang terdapat dalam kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim


dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian:

Pertama, Kelebihan Ilmu dan ilmuwan. Menurut Kyai Hasyim dalam


menuntut ilmu itu perlu diperhatikan dua hal. Bagi murid hendaknya meiliki niat
yang suci lagi luhur, dan untuk guru hendaknya mempunyai niat yang tulus tidak
mengharapkan materi semata-semata. Mengenai kelebihan Iluwan jika
dibandingkan dengan orang awam menurut Kyai Hasyim itu bagaikan terangnya
bulan purnama dan cahaya bintang.

Kedua, Tanggung jawab dan tugas peserta didik. Untuk mendapatkan


ilmu yang bermanfaat, yang harus dicamkan oleh peserta didik adalah
membersihkan hati dari berbagai gangguan-gangguan material-keduniaan dan
hal-hal yang merusak sistem kepercayaan (aqidah). Dalam etika peserta didik
terhadap pendidiknya adalah melakukan perenungan dan meminta petunjuk
kepada Allah SWT dalam memilih guru, sementara etika peserta didik dalam hal
pelajaran adalah mendahulukan ilmu yang bersifat fardhu ‘ain daripada ilmu-
ilmu yang lain.

Ketiga, Tanggung jawab dan tugas pendidik. Kyai Hasyim memberikan


catatan kepada para pendidik agar dirinya tertanam sifat berusaha sekuat tenaga
untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik ketika sendirian maupun ketika
berada di tempat umum. Sedangkan etika pendidik yang berkaitan dengan
pelajaran adalah etika mensucikan diri dari hadats dan kotoran, sementara etika
terhadap peserta didik adalah untuk berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam.

Dalam kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang


pendidikan Islam kedalam delapan poin, yaitu :

1. Keutamaan ilmu dan keutamaan belajar mengajar


2. Etika yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar

3. Etika seorang murid kepada guru

4. Etika seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomi
berasama guru

5. Etika yang harus dipedomi seorang guru

6. Etika guru ketika dan akan mengajar

7. Etika guru terhadap murid-murid nya

8. Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang
berkaitannya dengannya.

Dari delapan pokok pemikiran di atas, Hasyim Asy’ari membaginya kembali


kedalam tiga kelompok, yaitu:

1. Signifikansi Pendidikan

2. Tugas dan tanggung jawab seorang murid

3. Tugas dan tanggung jawab seorang guru.

Berdasarkan hal di atas, beberapa pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari dapat


disarikan sebagai berikut:

1) Kiai Hasyim asy’ari memainkan peranan penting dalam modernisasi daerah


Tebuireng.

2) Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul
Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di
pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang
sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian
para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan
menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.

3) Pada tahun 1916 – 1934 Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran


berjenjang. Ada tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi ke dalam dua
tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan siffir awal dan siffir tsani
yaitu masa persiapan untuk memasuki masa lima tahun jenjang berikutnya.
Pada siffir awal dan siffir tsani itu diajarka bahasa Arab sebagai landasan
penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam.

4) Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa


Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah
lagi dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah.

5) Kiai Hasyim terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan


secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya
tidak memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati
perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah
menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.

6) Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab


untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan KH.


Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan dikalangan masyarakat dan organisasi
Islam Indonesia bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang
pemimpin yang pada masa berikutnya menentukan tipologi pendidikan Islam
maupun organisasi keagamaan di Indonesia.

Pemikiran utama dari K.H. Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan Islam
Indonesia diantaranya: 1). Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan
pendidikan, yang semula seistem pesantren menjadi system sekolah; 2).
Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau
madrasah; 3). Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang
semula menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi. 4).
Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan; 5). Dengan
Muhammadiyahnya buya berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang
beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan dari yang berbentuk
sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum. Dan 6). Berhasil
memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam system pendidikan
yang dirancangkannya.

Sedangkan K. H. Hasyim Asy’ari memberikan kontribusi pemikiran yang


sama besarnya terhadap Pendidikan Islam Indonesia diantaranya: 1). memainkan
peranan penting dalam modernisasi daerah Tebuireng. 2). mengusulkan sistem
pengajaran di pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial
yang sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian
para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan
menimbulkan konflik di kalangan kiai senior. 3). Pada tahun 1916 – 1934
Hasyim Asy’ari membuka sistem pengajaran berjenjang serta diajarkan bahasa
Arab sebagai landasan penting pembedah khazanah ilmu pengetahuan Islam. 4).
Kurikulum madrasah mulai ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa
Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi, dan tahun 1926 ditambah lagi
dengan mata pelajaran bahasa Belanda dan sejarah. 5). melakukan penyaringan
secara ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak
memiliki dasar-dasar dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati
perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah
menyimpang dari kebenaran ajaran Islam. Dan 6). Menurut hasyim Asy’ari, ia
tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan
hadis dan pentingnya praktek tarikat.

B. Saran

Menyadari bahwa penulisan jauh dari kata sempurna, kedepannya


penulisan akan lebih Fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di
atas dengan sumber- sumber yang lebih banyak yang tentu dapat di pertanggung
jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Akbar S. 1992. Post Modernism and Islam (London: Routledge)

Asrofie, M. 1983. Yusron K.H. Ahmad Dahlan Pemikiran dan


Kepemimpinannya (Yogyakarta: Offset,).

Geertz, Clifford. 1961. The Religion of Java (New York: The free Press of
Glencoe, Inc.,)

Nata, Abudin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia


,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada)

Noer, Deliar 1995. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta:


LP3ES,).

Anda mungkin juga menyukai