Dosen pengampu
Rohmadi, M.Pd
Penyusun :
Anil Husna
Arjun Siregar
M. Ramadhani
2023
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang
Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut di catat adalah
posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada
masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah di lahirkan oleh
mereka baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu adalah
lembaga yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju
dan berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan,
khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau melalui jalur dakwah
mereka.
Pemikiran dan perjuangan KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan
yang kiprah dan perjuangannya begitu sentral, utamanya di dalam bidang
pendidikan telah menentukan arah pendidikan di tanah air, sebuah pendidikan
yang berbasis keislamaan namun tetap sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan zaman (al-muhafazhah alal qadim as-Shalih wal akhdu al-jadid
al-aslah).
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
1. Riwayat hidup
Seperti yang kita ketahui bahwa penulisan riwayat hidup K.H. Ahmad Dahlan
telah banyak dilakukan oleh para sarjana.1 K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman
Yogyakarta pada tahun 1868. Nama kecilnya adalah Muhammad Darwisy dan
merupakan anak keempat dari K.H. Abu Bakar (seorang ulama dan khatib
terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta)2 dan ibunya merupakan
putrid dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghlu kesultanan juga.3 Ia
merupakan anak keempat dari tujuh ornag bersudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan kecuali adik bungsunya.
1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942I (Jakarta: LP3ES, 1995).Hlm. 3
2
H.M. Bibit Suprapto, Ensiklopedi Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya, dan Sejarah
Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Gelegar Media Indonesia, 2010). Hlm. 180
3
Delia Noer Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1995), h. 48
keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk
memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian dunia Islam
saat itu yang masih bersifat ortodoks.
4
Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera,
1999), h. 245
2. Pemikiran Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan
Buya (K.H. Ahmad Dahlan) merasa tidak puas dengan system dan
praktik pendidikan saat itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan
pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan,
dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Karena itu Buya
merentaskan beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk
pendidikan model Muhammadiyah khususnya, antara lain:
a) Pendidikan Integralistik
5
Karel. K. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1994) hlm. 54-55
6
Harry Aveling (ed), The Development of Indonsesian Society (New York: St. Artin Press, 1980)
hlm. 85
memodernisasi sekolah keagamaan tradisional.7 Untuk meningkatkan kualitas
pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Muallimin dan
Muallimat, Muballighin dan Muballighat. Dengan demikian diharpakan lahirlah
kader-kader Muslim sebagai bagian inti program pembaharuannya yang bisa
menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu menyampaikan
misi-misi dan melanjutkannya di masa depan. K.H. Ahmad Dahlan juga bekerja
keras meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan dalam kerangka Islam
sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam organisasinya karena
perempuan merupakan unsur penting berkat bantuan istri dan koleganya
sehingga terbentuklah Aisyiah.
Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa catatan yang direntaskan oleh
buya,8 antara lain:
7
Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe, Inc., 1961), hlm.
125.
8
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, hlm. 208
b) Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau
madrasah.
Ada banyak hal yang menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembaharu, di
antaranya yaitu:
1. Melakukan purifikasi ajaran Islam dari khurafat tahayul dan bid’ah yang
selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam, dan
mengajak umat Islam untuk keluar dari jarring pemikiran teradisional melalui
reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang
dapat diterima oleh rasio.
2. Usaha dan jasanya mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat
menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di
Yogyakarta menghadap Timur dan orang-orang shalat mengahadap kearah
Barat lurus. Padahal kiblat yang sebenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa
haruslah iring kearah Utara + 24 derajat dari sebelah Barat. Berdasarkan ilmu
pengetahuan tentang ilmu falak itu, ornag tidak boleh menghadap kiblat
menuju Barat lurus, melainkan harus miring ke Utara + 24 derajat. Oleh
sebab itu, K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri
supaya menuju kearah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H.
Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid
dan kekuasaan kerajaan.
1. Riwayat hidup
Hasyim Asy;ari Dilahirkan dalam keluarga elit kiai Jawa dengan nama kecil
Muhammad Hasyim lahir pada 24 Dzul Qa’dah 1287 atau 14 Pebruari 1871 di
desa Gedang, sebelah timur kota Jombang. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari yang
mendirikan pesantren Keras di Jombang, sedangkan kakeknya Kiai Usman
adalah kiai terkenal pendiri pesantren Gedang diakhir abad ke-19. Dia
merupakan cicit Kiai Sihah, pendiri pesantren Tambak Beras Jombang. Ayah
Kiai Hasyim berasal dari Tingkir dan merupakan keturunan Abdul Wahid dari
Tingkir. Dipercayai bahwa mereka adalah keturunan raja Muslim Jawa, Jaka
Tingkir dan raja Hindu Majapahit, Brawijaya VI. Dari hal itu, maka K.H.
Hasyim Asy’ari dipercayai sebagai keturunan bangsawan. Ibunda Muhammad
Hasyim bernama Halimah, putrid da’i Kyai Usman, pendiri Pesantren Gedang
yang didirikan pada akhir abad ke-19).
K.H. Hasyim Asy’ari dibesarkan dalam tradisi sufi dari golongan Sunni
di Jawa. Beliau belajar dan berkiprah di masyarakat pada masa munculnya
gerakan Wahabi dalam dunia Islam. Abad ke-19, di Jawa merupakan masa
transisi yaitu masa dialog antara golongan santri tradisional dengan golongan
modernis yang dipengaruhi oleh gerakan Wahabi dan Muhammad Abduh.
Golongan modernis menyatakan bahwa Islam di Jawa telah tertinggal jauh
karena salah menafsirkan Islam dengan tujuan sufi dan percampuran Islam
dengan budaya lokal. Slogan golongan modernis adalah kembali kepada al-
Qur’an dan Hadits, sedangkan misi mereka adalah memurnikan ajaran Islam dari
pengaruh-pengaruh budaya lokal.
9
Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), hal. 116
Meskipun sama-sama berguru kepada Ahmad Khatib di Makkah, namun
K.H. Hasyim Asy’ari berbeda dalam pemikiran dengan K.H. Ahmad Dahlan
pendiri Muhammadiyah yang menyatakan diri sebagai reformis. K.H. Hasyim
mewakili kelompok pelajar-pelajar Timur Tengah yang menentang ide-ide
reformis. K.H. Hasyim lebih dipengaruhi oleh guru-guru yang lain seperti
Syaikh Mahfuz at-Tirmisi, Imam Nawawi al-Bantani, dan Syaikh Ahmad Khatib
as-Sambasi. Dia lebih memilih meneruskan tradisi intelektual ketiga gurunya
tersebut dengan secara konsisten menjaga ajaran madzhab dan tarekat. Meskipun
begitu, K.H. Hasyim mengakui ide-ide Muhammad Abduh dalam menghidupkan
kembali nilai-nilai Islam, namun dia menolak ide Abduh yang lain, yaitu
melepaskan diri dari bermadzhab. Bagi K.H. Hasyim, mustahil untuk mendekati
al-Qur’an dan Hadits dengan baik tanpa memahami dan mempelajari kitab-kitab
ulama abad pertengahan. Tanpa hal ini upaya penafsiran al-Qur’an dan Hadits
hanya merupakan pengikisan terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya.
Pada tahun 1920-an, banyak ulama dan santri yang belajar kepada K.H.
Hasyim mengenai ilmu Hadits di pesantren Tebuireng, bahkan seorang ulama
yang paling berpengaruh di Jawa pada masa itu, yang juga guru dari K.H.
Hasyim, yaitu K.H. Khalil Bangkalan ingin berguru kepadanya dalam ilmu
hadits. Ketika kiai Khalil minta izin untuk menjadi muridnya, dengan santun dia
mengatakan bahwa kiai Khalil adalah gurunya dan selamanya akan tetap
menjadi gurunya. Hal yang demikian menunjukkan kerendahan hati kedua
ulama tersebut karena kiai Khalil dikenal sebagai seorang guru yang tiada
tandingannya, yang gemar berdebat untuk tujuan keilmuan melebihi siapapun,
dan hal itu sulit dimengerti ketika akhirnya sang Guru sangat menghormati
muridnya. Kerendahan hati adalah salah satu ciri penting dari ulama pesantren.
Dalam karya-karyanya, seperti juga karya ulama lain pada masa itu, K.H.
Hasyim Asy’ari dalam menjelaskan berbagai pemikirannya selalu disandarkan
kepada persoalan etika (moralitas). Hal ini tidak mengherankan karena memang
tradisi sufi pada masa itu masih sangat melekat pada kehidupan masyarakat
Islam tradisionalis.
4. Etika seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomi
berasama guru
8. Etika terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang
berkaitannya dengannya.
1. Signifikansi Pendidikan
2) Menurut Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh editor buku Rais ‘Am Nahdlatul
Ulama hal.153 bahwa KH. Hasyim Asy’ari mengusulkan sistem pengajaran di
pesantren diganti dari sistem bandongan menjadi sistem tutorial yang
sistematis dengan tujuan untuk mengembangkan inisiatif dan kepribadian
para santri. Namun hal itu ditolak oleh ayahnya, Asy’ari dengan alasan akan
menimbulkan konflik di kalangan kiai senior.
A. Kesimpulan
Pemikiran utama dari K.H. Ahmad Dahlan dalam dunia pendidikan Islam
Indonesia diantaranya: 1). Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan
pendidikan, yang semula seistem pesantren menjadi system sekolah; 2).
Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau
madrasah; 3). Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang
semula menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi. 4).
Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan; 5). Dengan
Muhammadiyahnya buya berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang
beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan dari yang berbentuk
sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum. Dan 6). Berhasil
memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam system pendidikan
yang dirancangkannya.
B. Saran
Geertz, Clifford. 1961. The Religion of Java (New York: The free Press of
Glencoe, Inc.,)