Disusun Oleh:
Kelompok 8
DOSEN PENGAMPU
Nurzena, M.Ag
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha kuasa yang telah
melimpahkan rahmat serta karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Sejarah Pendidikan Islam di Indoneisa” ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya
Terimakasih kepada ibu Nurzena M.Ag sebagai dosen mata kuliah Sejarah
Pendidikan Islam, yang telah memberikan materi ini. kami menyadari makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan
saran pembaca demi kesempurnaan makalah kedepannya.
Akhir kata, kami ucapkan terimakasih kepada para pembaca yang sudah
berkenan membaca makalah ini dengan tulus ikhlas. Semoga makalah ini
bermanfaat, khususnya bagi kami sendiri dan para pembaca
Penyusun
i
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
PEMBAHASAN ............................................................................................ 2
PENUTUP .................................................................................................... 46
A. Simpulan ................................................................................................. 46
B. Kritik dan Saran ...................................................................................... 46
ii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Masuk dan berkembangnya islam di Nusantara?
2. Bagaimana Sejarah Muhammadiyah?
3. Bagaimana Sejarah Nahdlatul Ulama (NU)?
4. Bagaimana Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya?
5. Bagaimana Ide Pembaharuan Pendidikan Islam oleh Muhammad Abduh?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui masuk dan berkembangnya islam di Nusantara
2. Untuk mengetahui perkembangan Muhammadiyah
3. Untuk mengetahui perkembangan Nahdlatul Ulama
4. Untuk mengetahui sejarah islamisasi pengetahuan dan Implikasinya dalam
pendidikan
5. Untuk Mengetahui ide pembaruan pendidikan Islam oleh Muhmmad
Abduh
1
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007),
hlm.279
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
3
dimasa itu menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa
membangun masyarakatmuslim yang lebih baik. Awal mulanya masjid
mampu menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat. Namun
karena terbatasnya tempat dan ruang, mulai dirasakan tidak dapat menampung
masyarakat yang ingin belajar. Maka dilakukanlah berbagai pengembangan
secara bertahap hingga berdirinya lembaga pendidikan Islam yang secara
khusus berfungsi sebagai sarana menampung kegiatan pembelajaran sesuai
dengan tuntutan masyarakat saat itu. Dari sinilah mulai muncul beberapa
istilah lembaga pendidikan di Indonesia.3Lembaga-lembaga tersebut adalah:
1. Pondok Pesantren
a. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan kata majemuk yang terdiri dari
kata pondok dan pesantren. Kedua kata ini memiliki makna yang
berbeda. Pondok dalam bahasa Arab funduk yang berarti tempat
singgah, sedangkan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
dalam pelaksanaan pembeajarannya tidak dalam bentuk klasikal. Jadi,
pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam nonklasikal yang
peserta didiknya disediakan tempat singgah atau pemondokan.4
Menurut Lathiful Khuluq,5 pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam tradisonal yang sudah ada sejak sekitar abad XIII M. Dalam
perkembangannya, pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang
tumbuh dan berkembang subur di daerah pedesaan atau di daerah
terpencil.6
3
http://istanailmu.com/2011/02/03/latar-belakang-munculnya-lembaga-pendidikan-islam-di-
indonesia/html
4
Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan, Melacak Geologi Pendidikan Islam di indonesia, (Bandung:
Mulia Press, 2008), H. 177-178.
5
athiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta : LKIS :
2000), h.5.
6
Menurut catatan Zamakhsyari Dhofier, Islam terdesak ke pedesaan adalah sekitar abad XVII -
XIX M. karena dikuasainya kota oleh pemerintah Kolonial Belanda. Lihat juga Zamakhsyari
Dhofier, Tranfpormasi Pendidikan Islam di Indonesia, dalam Prisma Nomor 2 /XV/1986, h.. 24.
4
7
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/pondok-pesantren-dalam-tinjauan.html,
diakses 23 November 2011.
8
Taqiyuddin. , Loc. Cit. h. 182.
7
9
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), H. 191.
9
10
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasahada Press,
1995), h. 39.
10
waktu tertentu saja. Ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali,
atau sebulan sekali. Materi yang diajarkan bersifat umum berisi
nasihat-nasihat keagamaan yang bersifat amar ma’ruf nahi
munkar. Ada kalanya materi diambil dari kitab-kitab tertentu,
seperti tafsir Quran dan Hadits.11
2. Madrasah
a. Sejarah dan Perkembangan Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab madrasatun berarti tempat
atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran.12 Dalam bahasa
Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan
atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.13 Karenanya,
istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi
juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid,
dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah
pemula.14
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah
wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan
keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu
sendiri.
Dalam perkembangannya di Indonesia, madrasah islamiyah ini
merupakan lembaga yang berdiri jauh sebelum SD, SMP, SMU/ SMK,
atau perguruan tinggi/ Universitas. Sebab madrasah adalah salah satu
sarana atau media tempat yang strategis bagi kyai/ ustadz dengan
masyarakat dalam rangka menyampaikan aspek-aspek ajaran islam.
Melalui madrasah juga, para raja muslim, menyampaikan program
11
Ibid.,
12
Abuddin Nata Op. Cit. , h. 50.
13
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka,
1984), h. 889.
14
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005). H. 214.
11
15
Taqiyuddin, loc. Cit, . h. 167.
16
Muhammad Daud Ali, lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 49.
17
Maksum, madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), h. 82.
12
18
H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejaran Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka
Setia, 1998),h. 94.
19
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan .....Loc. Cit., h. 292.
13
20
H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Op. Cit. , h. 94.
14
21
Maksum, Loc. Cit., h. 132.
22
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.
147.
23
Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta:
Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h. 114.
15
b. Pendidikan Madrasah
Bagi masyarakat muslim Indonesia, kata madrasatun setelah
diindonesiakan menjadi madrasah, memiliki makna sendiri yaitu
lembaga pendidikan sekolah yang berciri khaskan agama Islam yang
sederajat dengan SMA/ SMK (UUSPN, 2003). Dengan kata lain,
madrasah adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu
pengetahuan keagamaan dan ilmu pengetahuan umum lainnya.24
Secara hirarkies, Madrasah bila dipelajari dari segi historis,
memiliki tiga perjenjangan yaitu madrasah awaliyah, madrasah al
wustha, dan madrasah al a’la. Jika dibahasa indonesiakan, masing-
masing memiliki makna sebagai berikut: “sekolah pemula” yang
kemudian lebih dikenal dan dibakukan menjadi Sekolah Dasar (SD),
sekolah menengah” meliputi Sekolah Mengah Pertama (SMP) dan
Sekolah Umum (SMU). Madrasah al a’la berarti “sekolah atas” atau
bahkan “sekolah tinggi”. Dari kedua makna ini yakni sekolah Atas
atau Sekolah Tinggi, yang lebih dikenal di Indonesia adalah makna
yang pertama, yaitu “Sekolah Menengah Atas (SMA)”. Karenanya,
wajar jika Madrasah Aliyah (MA) sederajat dengan SMU/SMK, dan
bukan Sekolah Tinggi yang sederajat dengan Perguruan Tinggi/
Universitas. Hirarkis tersebut menggambarkan bahwa perjenjangan
pendidikan yang sekarang berlangsung adalah merupakan kelanjutan
dari perjenjangan yang telah diberlakukan di madrasah yang
diselenggarakan oleh masyarakat muslim Indonesia. Tetapi pada
perkembangan selanjutnya, setelah perjenjangan yang ada pada
pendidikan di Indonesia melalui SD, SMP, dan seterusnya dibakukan,
lembaga-lembaga pendidikan Islam seprti MI, MTS, dan seterusnya
yang menggunakan bahasa Arab, baik dalam pelaksanaannya maupun
materi serta metode pengajarannya semakin tergeser ke pinggir dari
perhatian masyarakat muslim Indonesia. Keadaan ini dapat
diperhatikan dari sebagian remaja muslim cenderung memilih untuk
24
Taqiyuddin, Loc. Cit., h. 168.
16
3. Surau
a. Sejarah dan Perkembangan Surau
Kata surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan
penggunaannya meluas sampai di Asia Tenggara. Sebutan surau
berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau. Sebelum
menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah digunakan
(warisan) sebagai tempat penyembahan agama Hindu-Budha.30 Istilah
surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau
28
Daprtemen Agama RI, Sejarah Madrasah; pertumbuhan, dinamika dan perkembangan di Indonesia,
tahun 2004, h. 67.
29
Hasan basri dan Beni Ahmad Saebani, Loc. Cit., h. 244-245.
30
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:
Logos,2000), Hlm. 117-118.
18
31
Ibid., h. 130.
32
Surau sangat kental dengan pengajaran agamanya. Disamping itu, hampir setiap surau di
minangkabau selain mengajarkan adat istiadat khususnya pepatah petitih serta tradisi anak nagari
garilainnya.
33
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/01/melacak-akar-sejarah-pendidikan-
surau.html
19
34
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan .....Op. Cit. , h. 71.
20
35
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/01/melacak-akar-sejarah-pendidikan-surau.html
36
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan ..... Op. Cit. , h. 281.
21
b. Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf
dan nahwu, ilmu fiqih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara
mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru
diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada
aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya
dilakukan melalui cara menghafalkan materi dengan lagu-lagu
tertentu. Pelaksanaan pada jenjang ini biasanya dilakukan pada
siang hari.37
Metode pendidikan di surau bila dibandingkan dengan
metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan di
surau memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya
terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan.
Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan
memahami dan menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan
ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan
menghafal suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang
dibaca dan dihafalnya itu.38
Surau tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan
Islam tetapi juga sebagai lembaga pendidikan tarekat. Fungsi surau
yang kedua ini lebih dominan dalam perkembangannya di
Minangkabau. Setiap guru di Minangkabau memiliki otoritasnya
37
Ibid.,
38
Ibid., h. 73-74.
22
39
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan..... Loc. Cit., Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 282-283.
40
Ibid., h. 282-283.
41
Ibid., h. 283.
23
4. Meunasah
a. Sejarah dan Perkembangan Meunasah
Meunasah dalam sejarahnya, merupakan pusat peradaban
masyarakat Aceh. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong
(kampung, desa) mendapatkan pendidikan. Di setiap kampung di Aceh
dibangun meunasah yang berfungsi sebagai center of culture (pusat
kebudayaan) dan center of education (pusat pendidikan) bagi
masyarakat. Dikatakan center of culture, karena meunasah ini memang
memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh
42
Ibid., h. 283.
43
Ibid., h. 283.
44
Samsul Nizar, Loc. Cit., Sejarah dan Pergolakan .....(Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 86.
24
45
http://kantorkemenagacehtimur.wordpress.com/2011/03/01/artikel-meunasah-sbg-lembaga-
pendidikantradisional- islam-di-aceh/, diakses tanggal 03 Desember 2011.
46
Abudin Nata, Loc. Cit., h. 42.
25
47
Abudin Nata , Loc. Cit., h. 42.
48
Samsul Nizar, Loc. Cit., Sejarah Pendidikan Islam: ..... h. 284-285.
49
Ibid., h. 284-285.
26
50
Abudin Nata Loc. Cit., h. 43.
51
Ibid., h. 44-45.
27
bagi semesta alam. Dengan kata lain sebagai salah satu ormas tertua,
NU merupakan satu-satunya organisasi masa yang secara keseluruhan
bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sebagai mazhabnya. Sehingga,
ketika NU berpegang pada mazhab, berarti mengambil produk hukum
Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab
Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali. Dalam kenyataannya
NU lebih condong pada pendapat Imam Asy-Syafi’i, oleh karenanya
NU sering “dicap” sebagai penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal ini
dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah rujukan dalam
menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang
muncul. Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia
mayoritas bermazhab Syafi’i.
Nahdlatul ‘Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah
yang bertujuan membangun atau mengembangkan insan dan
masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT senantiasa berpegang
teguh pada kaidah-kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah
fiqh lainnya dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna
memajukan jam’iyah tersebut. Dalam bidang keagamaan dan
kemasyarakatan alam pikiran (pokok ajaran) Nahdlatul Ulama
(NU) secara ringkas dapat dibagi menjadi tiga bidang ajaran yaitu;
bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada
1926 adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham
ini menjadi landasan utama bagi NU dalam menentukan segala
langkah dan kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni,
maupun sebagai organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), bahwa NU
mengikuti Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan
pendekatan (mazhab). Adapun faham Ahlu as-Sunnah Wa al-
Jama’ah yang dianut NU adalah faham yang dipelopori oleh Abu
Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Keduanya
33
1. Aspek Kelembagaan
2. Aspek Kurikulum
3. Aspek Pendidik
perubahan, selalu terdapat hal-hal baru yang belum pernah ada pada
zaman sebelumnya.
Ijtihad adalah jalan yang telah ada dalam syariat Islam sebagai
sarana untuk menghubungkan hal-hal baru dalam kehidupan manusia
dengan ilmu-ilmu Islam, meskipun ilmu-ilmu Islam telah dibahas
seluruhnya oleh para ulama terdahulu….” Selanjutnya, menurut
‘Abduh, untuk orang yang telah memenuhi syarat ijtihad di
bidang muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan
langsung pada Quran dan hadis dan disesuaikan dengan zaman.
Sedangkan ibadah tidak menghendaki perubahan menurut zaman.
Taklid buta pada ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan
Abduh memeranginya. Karena taklid di
bidang muamalah menghentikan pikir dan akal berkarat. Taklid
menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan
masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya.
Pendapat tentang dibukanya pintu ijtihad bukan semata-mata
pada hati tetapi pada akal. Qur’an memberikan kedudukan yang tinggi
bagi akal. Islam, menurutnya adalah agama rasional.
Mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman seseorang
takkan sempurna tanpa akal. Agama dan akal yang pertama kali
mengikat tali persaudaraan. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal
yang bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat atau hadis
bertentangan dengan akal, maka harus dicari interpretasi yang
membuat ayat dapat dipahami secara rasional. Kepercayaan pada
kekuatan akal adalah dasar peradaban bangsa. Tentang hal ini
Muhammad ‘Abduh berkata: “Mesti ada suatu pembebasan akal dari
belenggu taqlid, dan mesti memahami agama sesuai dengan jalan
yang ditempuh oleh pada kaum salaf sebelum terjadi perpecahan dan
umat Islam mesti berpaling kepada kekuatan akal sebagai kekuatan
terbesar manusia.
44
PENUTUP
A. Kesimpulan
46
DAFTAR PUSTAKA
47