Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Disusun Oleh:

Kelompok 8

Ari Khairi (11910112504)

Banda Hari (11910112514)

Fathul Mujib (11910111078)

Hapis Sunjaya (11910112550)

Irham Islami (11910112594)

M. Ridho Isfihany (11910112631)

Rian Fajri (11910112742)

Tasbih Mahendra (11910112780)

DOSEN PENGAMPU

Nurzena, M.Ag

JURUSAN PAI 1-C


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
TAHUN 2019 M / 1441 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang maha kuasa yang telah
melimpahkan rahmat serta karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Sejarah Pendidikan Islam di Indoneisa” ini dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya

Terimakasih kepada ibu Nurzena M.Ag sebagai dosen mata kuliah Sejarah
Pendidikan Islam, yang telah memberikan materi ini. kami menyadari makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan
saran pembaca demi kesempurnaan makalah kedepannya.

Akhir kata, kami ucapkan terimakasih kepada para pembaca yang sudah
berkenan membaca makalah ini dengan tulus ikhlas. Semoga makalah ini
bermanfaat, khususnya bagi kami sendiri dan para pembaca

Pekanbaru, 16 oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
C. Tujuan ....................................................................................................... 1

PEMBAHASAN ............................................................................................ 2

A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara ....................................... 2


B. Muhammad – K.H Ahmad Dahlan ......................................................... 26
C. Nahdlatul Ulama – K.H Hasyim Asy’ari ................................................ 28
D. Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya dalam Pendidikan ........ 37
E. Muhammad Abduh dan Ide Pembaharuan Pendidikan Islam ................. 40

PENUTUP .................................................................................................... 46

A. Simpulan ................................................................................................. 46
B. Kritik dan Saran ...................................................................................... 46

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 47

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan pendidikan islam di Indonesia antara lain ditandai oleh
munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai dari yang
amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung modern dan
lengkap. Lembaga pendidikan islam memainkan fungsi dan perannya sesuai
dengan tuntutan zamannya.1
Perkembangan pendidikan islam ditandai dengan kemunculan
pesantren dan madrasah sebagai lembaga pendidikan islam. Kehadiran
pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Begitu juga kemunculan
madrasah dyang sangat bermanfaat di bidang pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Masuk dan berkembangnya islam di Nusantara?
2. Bagaimana Sejarah Muhammadiyah?
3. Bagaimana Sejarah Nahdlatul Ulama (NU)?
4. Bagaimana Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya?
5. Bagaimana Ide Pembaharuan Pendidikan Islam oleh Muhammad Abduh?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui masuk dan berkembangnya islam di Nusantara
2. Untuk mengetahui perkembangan Muhammadiyah
3. Untuk mengetahui perkembangan Nahdlatul Ulama
4. Untuk mengetahui sejarah islamisasi pengetahuan dan Implikasinya dalam
pendidikan
5. Untuk Mengetahui ide pembaruan pendidikan Islam oleh Muhmmad
Abduh
1
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007),
hlm.279

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara


Pendidikan Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang dalam
berbagai bentuk lembaga yang bervariasi, seperti pesantren, madrasah, surau,
dan meunasah.
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam di Indonesia antara lain
ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap, mulai
dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap-tahap yang sudah terhitung
modern dan lengkap. Lembaga pendidikan Islam telah memainkan perannya
sesuai dengan tuntutan masyarakat dan zamannya. Perkembangan lembaga-
lembaga pendidikan tersebut telah menarik perhatian para ahli baik dari dalam
maupun luar negeri untuk melakukan studi ilmiah secara konferensif. Kini
sudah banyak sekali hasil karya penelitian para ahli yang menginformasikan
tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam
tersebut. Tujuannya selain untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
yang bernuansa keislaman, juga sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi
para pengelola pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Hal ini sejalan
dengan prinsip yang umumnya dianut masyarakat Islam Indonesia, yaitu
mempertahankan tradisi masa lampau yang masih baik dan mengambil tradisi
baru yang baik lagi. Dengan cara demikian, upaya pengembangan lembaga
pendidikan Islam tersebut tidak akan terserabut dari akar kulturnya secara
radikal.2
Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, masjid merupakan satu-
satunya pusat berbagai kegiatan. Baik kegiatan keagamaan, sosial
kemasyarakatan, maupun kegiatan pendidikan. Bahkan kegiatan pendidikan
yang berlangsung di masjid masih bersifat sederhana kala itu sangat dirasakan
oleh masyarakat muslim. Maka tidak mengherankan apabila masyarakat
2
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Ciputat: Quantum
Teaching, 2005),h. 279.

2
3

dimasa itu menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa
membangun masyarakatmuslim yang lebih baik. Awal mulanya masjid
mampu menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat. Namun
karena terbatasnya tempat dan ruang, mulai dirasakan tidak dapat menampung
masyarakat yang ingin belajar. Maka dilakukanlah berbagai pengembangan
secara bertahap hingga berdirinya lembaga pendidikan Islam yang secara
khusus berfungsi sebagai sarana menampung kegiatan pembelajaran sesuai
dengan tuntutan masyarakat saat itu. Dari sinilah mulai muncul beberapa
istilah lembaga pendidikan di Indonesia.3Lembaga-lembaga tersebut adalah:

1. Pondok Pesantren
a. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan kata majemuk yang terdiri dari
kata pondok dan pesantren. Kedua kata ini memiliki makna yang
berbeda. Pondok dalam bahasa Arab funduk yang berarti tempat
singgah, sedangkan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
dalam pelaksanaan pembeajarannya tidak dalam bentuk klasikal. Jadi,
pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam nonklasikal yang
peserta didiknya disediakan tempat singgah atau pemondokan.4
Menurut Lathiful Khuluq,5 pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam tradisonal yang sudah ada sejak sekitar abad XIII M. Dalam
perkembangannya, pesantren menjadi lembaga pendidikan Islam yang
tumbuh dan berkembang subur di daerah pedesaan atau di daerah
terpencil.6

3
http://istanailmu.com/2011/02/03/latar-belakang-munculnya-lembaga-pendidikan-islam-di-
indonesia/html
4
Taqiyuddin, Sejarah Pendidikan, Melacak Geologi Pendidikan Islam di indonesia, (Bandung:
Mulia Press, 2008), H. 177-178.
5
athiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama Biografi K.H. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta : LKIS :
2000), h.5.
6
Menurut catatan Zamakhsyari Dhofier, Islam terdesak ke pedesaan adalah sekitar abad XVII -
XIX M. karena dikuasainya kota oleh pemerintah Kolonial Belanda. Lihat juga Zamakhsyari
Dhofier, Tranfpormasi Pendidikan Islam di Indonesia, dalam Prisma Nomor 2 /XV/1986, h.. 24.
4

Pondok Pesantren dalam tinjauan historis pada mulanya


merupakan lembaga pendidikan penyiaran agama Islam konon tertua
di Indonesia. Sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat, fungsi
itu telah berkembang menjadi semakin kaya dan bervariasi, walaupun
pada intinya tidak lepas dari fungsi semula. Berdirinya suatu pesantren
mempunyai latar belakang yang berbeda, yang pada intinya adalah
memenuhi kebutuhan masyarakat yang haus akan ilmu. Pada
umumnya diawali karena adanya pengakuan dari suatu masyarakat
tentang sosok kyai yang memiliki kedalaman ilmu dan keluhuran budi.
Kemudian masyarakat belajar kepadanya baik dari sekitar daerahnya,
maupun luar daerah. Oleh karena itu mereka membangun tempat
tinggal disekitar tempat tinggal kyai.
Sedangkan mengenai asal-usul berdirinya suatu pondok
pesantren di Indonesia, dalam Eksiklopedi Islam disebutkan terdapat
dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya
pondok pesantren di Indonesia. Pertama, pendapat yang menyebutkan
bahwa pondok pesantren berakar dari tradisi tarekat. Kedua, pondok
pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan
pengambil alihan dari sistem pesantren yang diadakan dari orang-
orang Hindu Nusantara.
Pada pendapat pertama menjelaskan bahwa penyiaran Islam di
Indonesia pada awalnya banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat.
Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok-kelompok tarekat yang
melaksanakan amalanamalan dzikir dan wirid-wirid tertentu.
Pemimpinnya dinamakan kyai, yang mewajibkan pengikut-
pengikutnya untuk melaksanakan suluk selama empat puluh hari dalam
satu tahun dengan cara tinggal bersama dengan anggota tarekat lain
dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah
bimbingan kyai. Untuk keperluan suluk ini, para kyai menyediakan
ruang khusus untuk penginapan dan tempat memasak, yang terletak
dikiri kanan masjid. Disamping mengajarkan amalan-amalan tarekat
5

para pengikut ini juga diajarkan kitab-kitab agama dalam berbagai


cabang ilmu pendidikan Islam. Aktifitas yang dilakukan oleh pengikut
tarekat ini kemudian disebut pengajian. Dalam perkembangannya
lembaga ini tumbuh dan berkembang menjadi lembaga pesantren.
Para kyai sangat menekankan pentingnya shalat dan zikir
sebagai cara utama dalam meningkatkan kehidupan spiritualitas
seseorang. Shalat dan dzikir pada dasarnya menyebut-nyebut nama
Tuhan untuk melepaskan ketertarikan dirinya dengan alam duniawi,
dan menyadari hakikatnya sebagai makhluk Allah. Kyai Syansuri
Badawi (Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng) menjelaskan bahwa
para kyai mengikuti tradisi Imam Malik yang mengajarkan bahwa
seorang muslim yang mempelajari syari’ah Islam tetapi melupakan
aspek tasawuf, akan menjadi munafik. Seorang Muslim yang
mempelajari tasawuf tetapi mengabaikan syariah akan Kafir Zindiq,
dan seorang Muslim mempelajari kedua-duanya (syari’ah dan tasawuf)
akan memperoleh kesempurnaan dalam keislaman.
Sedangkan pada pendapat yang kedua berdasarkan fakta bahwa
jauh sebelum Islam datang ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada
di negeri ini. Pendidikan pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai
tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina
kader-kader penyebar Hindu. Fakta lain mengatakan bahwa pesantren
bukan berakar dari tradisi Islam, karena tidak ditemukan lembaga
pesantren di negeri Islam lainnya. Sementara ditemukan dalam
masyarakat Hindu dan Budha seperti di Indian, Myanmar dan
Thailand.
Pendapat diatas diperkuat oleh dikatakan oleh Nurcholish
Madjid, secara historis, lembaga pesantren telah dikenal lebih luas
dikalangan masyarakat Indonesia pra Islam. Islam datang dan tinggal
mengislamkan. Dengan kata lain, pesantren tidak hanya identik dengan
makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia
6

(indigenous), lantaran lembaga yang merupakan pesantren ini


sebenarnya sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu Budha.
Menurut Hasbullah, pesantren di Indonesia memang tumbuh
dan berkembang pesat pada abad 19. Di Jawa terdapat tidak kurang
1.853 pesantren, dengan jumlah santri tidak kurang dari 16.500 santri.
Jumlah tersebut belum termasuk pesantren-pesantren yang
berkembang di luar Jawa seperti di Sumatra, Kalimantan dan lain-lain.
Sedangkan dari segi materi, perkembangannya terlihat pada tahun
1920-an di pondok-pondok pesantren Jawa Timur, antara lain seperti:
Pesantren Tebuireng di Jombang, pesantren Singosari di Malang yang
mengajarkan ilmu-ilmu pendidikan Umum, seperti matematika, bahasa
Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi dan sejarah.
Pesatnya perkembangan pesantren pada masa ini antara lain
disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) para ulama dan kyai
mempunyai kedudukan yang kokoh dilingkungan kerajaan dan
keraton, yakni sebagai penasehat raja atau sultan, oleh karena itu
pembinaan pondok pesantren mendapat perhatian besar dari para raja
dan sultan; (2) kebutuhan umat Islam akan sarana pendidikan yang
mempunyai ciri khas keislaman semakin meningkat, sementara
sekolah-sekolah Belanda waktu itu hanya diperuntukkan untuk
golongan tertentu; (3) hubungan transformasi antara Indonesia dan
Mekkah semakin lancar sehingga memudahkan pemuda-pemuda Islam
Indonesia menuntut ilmu di Mekkah.7
Berkaitan dengan perkembangan pondok pesantren yang
diuraikan di atas, menurut Hadi Mulyo bahwa sejak tahun 1960-an
pondok pesantren mengalami perkembangan baru dengan
melembagakan diri dalam bentuk yayasan.8 Berikut adalah contoh tipe
pondok pesantren yang berada di bawah naungan yayasan; pondok

7
http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/pondok-pesantren-dalam-tinjauan.html,
diakses 23 November 2011.
8
Taqiyuddin. , Loc. Cit. h. 182.
7

pesantren Asy-syafii’iyayah Ibrahimyah (Situbondo, Jawa Timur).


Bahkan, berdasarkan hasil penelitiannya tentang perubahan pondok
pesantren ini, ditemukan lima macam pola pondok pesantren dari yang
paling sederhana sampai yang paling maju. Kelima pondok pesantren
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pesantren pola I ialah pesantren yang memiliki unit kegiatan
dan elemen berupa masjid dan rumah kyai. Pesantren ini masih
sederhana; kyai menggunakan masjid atau rumahnya untuk tempat
mengaji, dan pengajian tersebut dilaksanakan secara kontinyu dan
sistematik.
Pola kedua, pesantren ini terdiri dari masjid, rumah kyai, dan
pondok/ dalam pola ini pesantren telah memiliki pondok atau asrama
yang telah disediakan bagi para santri yang datang dari daerah lain.
Pola ketiga, pesantren ini terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok dan
madrasah. Pesantren ini telah memakai sistem klasikal, santri yang
mondok mendapat pendidikan madrasah. Adakalanya santri madrasah
itu datang dari daerah pesantren itu sendiri. Pengajar madrasah
biasanya disebut guru agama atau ustadz.
b. Pendidikan Pondok Pesantren
Menurut para ahli, pasantren baru disebut pesantren bila
memenuhi lima syarat yaitu: ada kyai, ada pondok, ada masjid, ada
santri, dan ada pengajaran membaca kitab kuning. Dengan demikian
bila orang menulis tentang pesantren maka topik-topik yang harus
ditulis sekurang-kurangnya adalah:
1) Kyai pesantren, mungkin mencakup syarat-syarat kyai untuk
zaman kini dan nanti.
2) Pondok, akan mencakup syarat-syarat fisik dan non fisik,
pembiayayaan, tempat, penjagaan, dan lain-lain. Masjid,
cakupannya akan sama dengan pondok.
3) Santri, melingkupi masalah syarat, sifat, dan tugas santri.
8

4) Kitab kuning, bila diluaskan akan mencakup kurikulum pesantren


dalam arti yang luas.9
Adapun metode pembelajaran yang dilaksanakan di pondok
pesantren adalah sebagai berikut:
1) Wetonan
Metode wetonan yaitu kyai membacakan salah satu kitab di
depan para santri yang juga memegang dan memerhatikan kitab
yang sama. Dengan metode tersebut, santri hanya menyimak,
memerhatikan, dan mendengarkan pembacaan dan pembahasan isi
kitab yang dilakukan oleh kyai. Tidak digunakan absensi
kehadiran, evaluasi, dan tidak ada pola klasikal. Dalam proses
belajarnya, biasanya kyai dikelilingi santrinya yang membentuk
lingkaran, yang disebut halaqah.
2) Sorogan
Metode sorogan adalah metode pembelajaran sistem privat
yang dilakukan santri kepada seorang kyai. Dalam metode sorogan
ini, santri datang kepada kyai dengan membawa kitab kuning atau
kitab gundul, lalu membacanya di depan kyai dan
menerjemahkannya. Metode sorogan sebagai metode yang sangat
penting untuk para santri, terutama santri yang bercita-cita menjadi
kyai. Karena dengan metode sorogan, santri akan memperoleh ilmu
yang meyakinkan dan lebih fokus kepada persyaratan utama
menjadi kyai, yakni memahami ilmu alat dalam ilmu-ilmu yang
paling prinsipil di pondok pesantren.
3) Muhawarah
Muhawarah adalah suatu kegiatan berlatih bercakap-cakap
dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pesantren kepada santri
selama mereka tinggal di pondok. Kegiatan tersebut biasanya
digabungkan dengan latihan muhadharah dan muhadastah yang

9
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), H. 191.
9

biasanya dilaksanakan 1-2 minggu sekali. Tujuan kegiatan tersebut


adalah untuk melatih keterampilan para santri untuk berpidato.10
4) Mudzakarah
Mudzakarah merupakan suatu pertemuan ilmiah yang
secara spesifik membahas masalah diniah seperti ibadah dan
akidah serta masalah agama pada umumnya. Dalam mudzakarah
terdapat dua tingkat kegiatan: pertama, mudzakarah
diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas suatu masalah
dengan tujuan melatih para santri dalam memecahkan persoalan
dengan menggunakan kitab-kitab yang tersedia. Kedua,
mudzakarah yang dipimpin oleh kyai, dan hasil mudzakarah para
santri diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu
seminar. Saat mudzakaran inilah santri menguji keterampilannya,
baik dalam bahasa arab maupun keterampilannya dalam mengutip
sumbersumber argumentasi dalam kitab-kitab klasik islam.
5) Bandungan (bahasa Sunda)
Metode ini hanya berlaku di pesantren yang terdapat di
Jawa Barat. Istilah bandungan artinya “perhatikan” dengan
seksama ketika kyai membaca dan membahas isi kitab. Santri
hanya memberi kode-kode atau menggantikan kalimat yang
dianggap sulit pada kitabnya. Setelah kyai selesai membahas isi
kitab, santri diperkenankan mengajukan pertanyaan atau
pendapatnya.
6) Majelis taklim
Metode majelis taklim adalah suatu media penyampaian
ajaran Islam yang bersifat umum dan terbuka. Para jamaah terdiri
atas berbagai lapisan yang memiliki latar belakang pengetahuan
bermacam-macam dan tidak dibatasi oleh tingkatan usia maupun
perbedaan kelamin. Pengajian seperti ini hanya diadakan pada

10
Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasahada Press,
1995), h. 39.
10

waktu tertentu saja. Ada yang seminggu sekali, dua minggu sekali,
atau sebulan sekali. Materi yang diajarkan bersifat umum berisi
nasihat-nasihat keagamaan yang bersifat amar ma’ruf nahi
munkar. Ada kalanya materi diambil dari kitab-kitab tertentu,
seperti tafsir Quran dan Hadits.11

2. Madrasah
a. Sejarah dan Perkembangan Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab madrasatun berarti tempat
atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran.12 Dalam bahasa
Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan
atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.13 Karenanya,
istilah madrasah tidak hanya diartikan sekolah dalam arti sempit, tetapi
juga bisa dimaknai rumah, istana, kuttab, perpustakaan, surau, masjid,
dan lain-lain, bahkan seorang ibu juga bisa dikatakan madrasah
pemula.14
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah
wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan
keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu
sendiri.
Dalam perkembangannya di Indonesia, madrasah islamiyah ini
merupakan lembaga yang berdiri jauh sebelum SD, SMP, SMU/ SMK,
atau perguruan tinggi/ Universitas. Sebab madrasah adalah salah satu
sarana atau media tempat yang strategis bagi kyai/ ustadz dengan
masyarakat dalam rangka menyampaikan aspek-aspek ajaran islam.
Melalui madrasah juga, para raja muslim, menyampaikan program

11
Ibid.,
12
Abuddin Nata Op. Cit. , h. 50.
13
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka,
1984), h. 889.
14
Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005). H. 214.
11

kenegaraan dan keagaman yang dianutnya.15 Sejarah dan


perkembangan madrasah akan dibagi dua periode, yaitu:
a) Periode Sebelum Kemerdekaan
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berfungsi
menghubungkan sistem lama dengan sistem baru dengan jalan
mempertahankan nilai-nilai lama yang masih baik dan masih dapat
dipertahankan dan mengambil sesuatu yang baru dalam ilmu,
teknologi, dan ekonomi yang bermanfaat bagi kehidupan umat
Islam. Oleh karena itu, isi kurikulum madrasah pada umumnya
adalah apa yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam
seperti pesantren, ditambah dengan beberapa materi pelajaran yang
disebut dengan ilmu umum.16 Latar belakang pertumbuhan
madrasah di Indonesia dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu17;
1) Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia
Gerakan pembaruan Islam di Indonesia muncul pada
awal abad ke-20 yang dilatarbelakangi oleh kesadaran dan
semangat yang kompleks sebagaimana diuraikan oleh Karel A
Steenbrink dengan mengidentifikasi empat faktor yang
mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia, antara lain;
a) Keinginan untuk kembali kepada Al-Quran dan Hadits
b) Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah
c) Memperkuat basis gerakan sosial, budaya, dan politik
d) Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.

Bagi tokoh-tokoh pembaruan, pendidikan kiranya


senantiasa dianggap sebagai aspek yang strategis untuk
membentuk sikap dan pandangan keislaman masyarakat. Oleh
karena itu, pemunculan madrasah tidak bisa lepas dari gerakan

15
Taqiyuddin, loc. Cit, . h. 167.
16
Muhammad Daud Ali, lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 49.
17
Maksum, madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), h. 82.
12

pembaruan Islam yang dimulai oleh usaha beberapa orang


tokoh-tokoh intelektual agama Islam yang selanjutnya
dikembangkan oleh organisasiorganisasi Islam.

2) Respon pendidikan Islam terhadap kebijakan pendidikan


Hindia Belanda
Pertama kali Belanda datang ke Nusantara hanya untuk
berdagang, tetapi karena kekayaan alam Nusantara yang
sangat banyak maka tujuan utama untuk berdagang berubah
untuk menguasai wilayah Nusantara dan menanamkan
pengaruh Nusantara sekaligus dengan mengembangkan
pahamnya yang terkenal dengan semboyan 3G yaitu, Glory
(kemenganan dan kekuasaan), Gold (emas atau kekayaan
bangsa Indonesia), dan Gospel (upaya selibisasi terhadap umat
Islam di Indonesia).18
Pada perkembangan selanjutnya di awal abad ke-20
atas pemerintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem
pendidikan diperluas dalam bentuk sekolah desa, walaupun
masih diperuntukkan terbatas bagi kalangan anak-anak
bangsawan. Namun pada masa selanjutnya, sekolah ini dibuka
secara luas untuk rakyat umum dengan biaya yang murah.19
Dengan terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat
umum untuk memasuki sekolah-sekolah yang diselenggarakan
secara tradisional oleh kalangan Islam mendapat tantangan
dan saingan berat, terutama karena sekolah-sekolah
pemerintah Hindia Belanda dilaksanakan dan dikelola secara
modern terutama dalam hal kelembagaan, kurikulum,
metodologi, sarana, dan lain-lain.

18
H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Sejaran Pendidikan Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka
Setia, 1998),h. 94.
19
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan .....Loc. Cit., h. 292.
13

Perkembangan sekolah yang demikian jauh dan


merakyat menyebabkan tumbuhnya ide-ide di kalangan
intelektual Islam untuk memberikan respon dan jawaban
terhadap tantangan tersebut dengan tujuan untuk memajukan
pendidikan Islam. Ide-ide tersebut muncul dari tokoh-tokoh
yang pernah mengenyam pendidikan di Timur Tengah atau
pendidikan Belanda. Mereka mendirikan lembaga pendidikan
baik secara perorangan maupun secara kelompok/ organisasi
yang dinamakan madrasah atau sekolah. Madrasah-madrasah
yang didirikan tersebut antara lain:20
1. Madrasah (Adabiyah School). Madrasah ini didirikan oleh
syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1907 di Padang
Panjang. Belum cukup satu tahun madrasah ini gagal
berkembang dan dipindahkan ke Padang. Pada tahun 1915
madrasah ini mendapat pengakuan dari Belanda dan
berubah menjadi Hollands Inlandshe School (HIS).
2. Sekolah Agama (Madras School). Didirikan oleh syekh M.
Thaib Umar di Sungayang, Batusangkar pada tahaun 1910.
Madrasah ini pada tahun 1913 terpaksa ditutup karena
alasan kekurangan tempat. Namun pada tahun 1918,
Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School sebagai
kelanjutan dari Madrasah School.
3. Madrasah Diniyah (Diniyah School). Madrasah Diniyah
didirikan pada tanggal 10 Oktober 1915 oleh Zainuddin
Labai El Yunisiy di Padang Panjang. Madrasah ini
merupakan madrasah sore yang tidak hanya mengajarkan
pelajaran agama tetapi pelajaran umum. Madrasah
Muhammadiyah. Madrasah ini tidak diketahui berdirinya
dengan pasti, namun diperkirakan berdiri pada tahun 1918.
Yang didirikan oleh organisasi Muhammadiyah.

20
H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Op. Cit. , h. 94.
14

4. Arabiyah School. Madrasah ini didirikan pada tahun 1918


di Ladang Lawas oleh Syekh Abbas. Madrasah-madrasah
di atas merupakan pionir dalam pendirian
madrasahmadrasah lain di berbagai daerah lainnya untuk
melakukan pembaruan pendidikan Islam di Indonesia.
b) Periode Sesudah Kemerdekaan
Setelah kemerdeaan Indonesia, kemudian pada tanggal 3
Januari 1946 dibentuklah Departemen Agama yang akan mengurus
masalah-maslah keberagaman agama termasuk di dalamnya
pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan
selanjutnya madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan
Departemen Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan
saja.21 Keadaaan ini masih berlangsung sampai dengan dikeluarkannya
SKB 3 Menteri tanggal 24 maret 1975, yang berusaha mengembalikan
ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream
pendidikan Nasional.22 Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat
besar bagi madrasah, karena pertama, ijazah dapat mempunyai nilai
yang sama dengan sekolah umum yang sederajat, kedua, lulusan
sekolah madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat
lebih tinggi, dan yang ketiga, siswa madrasah dapat pindah ke sekolah
umum yang setingkat.23 Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh
definisi yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara
dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada di bawah
DEPAG.

21
Maksum, Loc. Cit., h. 132.
22
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h.
147.
23
Abdurrahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta:
Gemawindu Pancaperkasa, 2000), h. 114.
15

b. Pendidikan Madrasah
Bagi masyarakat muslim Indonesia, kata madrasatun setelah
diindonesiakan menjadi madrasah, memiliki makna sendiri yaitu
lembaga pendidikan sekolah yang berciri khaskan agama Islam yang
sederajat dengan SMA/ SMK (UUSPN, 2003). Dengan kata lain,
madrasah adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu
pengetahuan keagamaan dan ilmu pengetahuan umum lainnya.24
Secara hirarkies, Madrasah bila dipelajari dari segi historis,
memiliki tiga perjenjangan yaitu madrasah awaliyah, madrasah al
wustha, dan madrasah al a’la. Jika dibahasa indonesiakan, masing-
masing memiliki makna sebagai berikut: “sekolah pemula” yang
kemudian lebih dikenal dan dibakukan menjadi Sekolah Dasar (SD),
sekolah menengah” meliputi Sekolah Mengah Pertama (SMP) dan
Sekolah Umum (SMU). Madrasah al a’la berarti “sekolah atas” atau
bahkan “sekolah tinggi”. Dari kedua makna ini yakni sekolah Atas
atau Sekolah Tinggi, yang lebih dikenal di Indonesia adalah makna
yang pertama, yaitu “Sekolah Menengah Atas (SMA)”. Karenanya,
wajar jika Madrasah Aliyah (MA) sederajat dengan SMU/SMK, dan
bukan Sekolah Tinggi yang sederajat dengan Perguruan Tinggi/
Universitas. Hirarkis tersebut menggambarkan bahwa perjenjangan
pendidikan yang sekarang berlangsung adalah merupakan kelanjutan
dari perjenjangan yang telah diberlakukan di madrasah yang
diselenggarakan oleh masyarakat muslim Indonesia. Tetapi pada
perkembangan selanjutnya, setelah perjenjangan yang ada pada
pendidikan di Indonesia melalui SD, SMP, dan seterusnya dibakukan,
lembaga-lembaga pendidikan Islam seprti MI, MTS, dan seterusnya
yang menggunakan bahasa Arab, baik dalam pelaksanaannya maupun
materi serta metode pengajarannya semakin tergeser ke pinggir dari
perhatian masyarakat muslim Indonesia. Keadaan ini dapat
diperhatikan dari sebagian remaja muslim cenderung memilih untuk

24
Taqiyuddin, Loc. Cit., h. 168.
16

melanjutkan studinya ke SMP atau SMA/ SMK dari pada melanjutkan


studinya ke madrasah.25
Disinyalir, keterasingan remaja muslim terhadap lembaga
pendidikan madrasah karena beberapa faktor, antara lain:26
a. Orang tuanya yang muslim dan mengetahui betul bahkan alumni
dari madrasah, tidak memberikan penerangan yang tegas dan jelas
atau menyeluruh tentang kelebihan atau keistimewaan lembaga
pendidikan madrasah. Tapi sebaliknya, ia lebih
mempertimbangkan masa depan putra-putrinya untuk melanjutkan
studinya ke lembaga pendidikan sekolah.
b. Pengelelola lembaga madrasah kurang atau belum secara maksimal
dalam melayani segala kebutuhan masyarakat modern, terutama
dalam penyediaan sarana dan fasilitas kelembagaan.
c. Pengelola lembaga pendidikan madrasah tertentu masih
mempertimbangkan sistem senioritas dalam menentukan kriteria
pemimpin dan tidak memprioritaskan kualitas dan dedikasi serta
keterampilan pemimpin.
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan Islam madrasah
sudah tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan sistem
pendidikan Islam pesantren. Karena di lembaga pendidikan madrasah
ini sudah mulai dimasukkan pelajaran-pelajaran umum seperti sejarah
ilmu bumi, dan pelajaran umum lainnya. Sedangkan sebagian metode
pengajarannya sudah tidak lagi menggunakan sistem halaqah seperti di
pesantren, melainkan sudah mengikuti metode pendidikan modern
barat, yaitu dengan menggunakan ruang kelas, kursi, meja, dan papan
tulis untuk proses belajar mengajar.27
Tetapi dari segi metode lain, madrasah masih tetap
menggunakan pengajaran seperti hafalan, latihan, dan praktek. Metode
tersebut sebenarnya merupakan kelanjutan dari masa Rasulullah SAW.
25
Ibid., h. 168-16
26
Ibid., h. 169-170
27
H.A. Mustafa dan Abdullah Aly, Loc. Cit., 151.
17

Terutama ketika beliau memberikan pelajaran Al-Quran. Pada masa


perkembangan berikutnya, pendidikan Islam yang dilakukan di
Madrasah menggunakan metode talqin, dimana guru mendikte dan
murid mencatat lalu menghafal. Setelah, hafalan guru lalu menjelaskan
maksudnya. Metode ini disebut sebagai metode tradisional; murid
mencatat, menuliskan materi pelajaran, membaca, mengahafal dan
setelah itu berusaha memahami arti dan maksud pelajaran yang
diberikan.28
Pada perkembangan selanjutnya pendidikan madrasah
dikembangkan menjadi beberapa jenjang pendidikan, yaitu Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan madrasah Aliyah. Lulusan
madrasah aliyah dapat melanjutkan studinya ke semua perguruan
tinggi di Indonesia, yang terpenting kualifikasi lulusannya dapat
bersaing dengan lulusan sekolah formal lainnya. Bahkan, perguruan
tinggi yang khusus mengkaji ilmu pengetahuan keagamaan atau
keislaman semakin maju, misalnya IAIN, UIN, STAIN, dan lain
sebaginya. Lulusannya memperoleh gelar sesuai dengan bidangnya
masing-masing.29

3. Surau
a. Sejarah dan Perkembangan Surau
Kata surau bermula dari istilah Melayu-Indonesia dan
penggunaannya meluas sampai di Asia Tenggara. Sebutan surau
berasal dari Sumatera Barat tepatnya di Minangkabau. Sebelum
menjadi lembaga pendidikan Islam, istilah ini pernah digunakan
(warisan) sebagai tempat penyembahan agama Hindu-Budha.30 Istilah
surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau

28
Daprtemen Agama RI, Sejarah Madrasah; pertumbuhan, dinamika dan perkembangan di Indonesia,
tahun 2004, h. 67.
29
Hasan basri dan Beni Ahmad Saebani, Loc. Cit., h. 244-245.
30
Azyumardi Azra. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta:
Logos,2000), Hlm. 117-118.
18

dalam sistem adat minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum


sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat
bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang
telah akil baligh dan orang tua yang uzur.31 Menurut ketetentuan adat
bahwa anak laki-laki tidak punya kamar di rumah orangtua mereka,
sehingga mereka diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini
menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi pendewasaan
generasi minangkabau, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun
keterampilan praktis lainnya.32
Surau dalam sejarah Minangkabau diperkirakan berdiri pada
tahun 1356 M. yang dibangun pada masa Raja Adityawarman di
Kawasan bukit Gonbak. Sebagaimana diketahui dalam lintasan sejarah
Nusantara, bahwa pada masa ini adalah masa keemasan bagi agama
Hindu-Budha, maka secara tidak langsung dapat dipastikan bahwa
eksistensi dan esensi surau kala itu adalah sebagai tempat ritual bagi
pemeluk agama Hindu-Budha. Setelah keberadaan agama Hindu-
Budha mulai surut dan pengaruh selanjutnya digantikan Islam, surau
akhirnya mengalami akulturasi budaya ke dalam agama Islam. Setelah
mengalami islamisasi, surau akhirnya menjadi pusat kegiatan bagi
pemeluk agama Islam dan sejak itu pula surau tidak dipandang lagi
sebagai sesuatu yang mistis atau sakral. Surau menjadi media aktivitas
pendidikan umat Islam dan tempat segala aktivitas sosial.33
b. Pendidikan Surau
Kedatangan Islam ke Sumatera Barat telah memberikan
pengaruh dan perubahan bagi kelangsungan surau sebelumnya. Surau
mulai terpengaruh dengan panji-panji penyiaran agama Islam. Dengan
waktu yang tidak lama, surau kemudian mengalami islamisasi,

31
Ibid., h. 130.
32
Surau sangat kental dengan pengajaran agamanya. Disamping itu, hampir setiap surau di
minangkabau selain mengajarkan adat istiadat khususnya pepatah petitih serta tradisi anak nagari
garilainnya.
33
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/01/melacak-akar-sejarah-pendidikan-
surau.html
19

walaupun dalam batas-batas tertentu masih menyisakan suasana


kesakralan dan merefleksikan sebagai simbol adat Minangkabau.
Proses islamisasi surau begitu cepat dengan ditandai beberapa aktivitas
keagamaan. Meski tidak harus merubah label namanya, kaum muslim
dapat menerima (mempertahankan) tanpa mempertanyakan keberadaan
asal-usulnya. Karena yang lebih penting masa itu adalah adanya sarana
yang efektif untuk melakukan menyiarkan agama Islam. Nama atau
label bukanlah hal yang prinsip, dan yang lebih esensi adalah semangat
dalam menciptakan suasana dan aktivitas di kalangan umat Islam
dalam memperkokoh keimanan dan keislamannya. Nilai-nilai
semangat inilah yang dipegangi umat Islam hingga surau dikenal
khalayak luas sepanjang sejarah.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya
saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan
pertama kali oleh syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa
ini, eksistensi surau disamping sebagai tempat shalat, juga sebagai
tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk).34 Sebutan
surau biasanya dikonotasikan dengan istilah langgar atau mushalla.
Meskipun secara substantif term tersebut tidak sepenuhnya bisa
disamakan begitu saja. Karena dari segi kelahiran, surau muncul jauh
sebelum langgar atau mushalla berdiri sebagaimana disebutkan di atas.
Penggunaan istilah langgar biasanya digunakan untuk shalat dan
mengaji bagi kaum muslim di Jawa. Setelah melaksanakan ibadah
shalat, para jama’ah melanjutkan dengan membaca Al-Quran bersama
yang dipimpin imam (guru) yang ditunjuk sebagai pendidik di surau.
Sedikit gambaran di atas, memperlihatkan bahwa kegiatan
pendidikan Islam masa awal di Nusantara berjalan secara informal.
Masa awal pertumbuhannya dilaksanakan dengan mengambil bentuk
sistem pendidikan surau. Sebagai sebuah sistem, surau telah menjadi
proses yang sangat panjang yang dijalani oleh para pedagang muslim

34
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan .....Op. Cit. , h. 71.
20

untuk menyiarkan agama Islam, khususnya di Minangkabau. Sebagai


sebuah proses permulaan atau pembentukan, sistem surau ini
dilakukan dengan memberikan contoh dan suri tauladan. Mereka
diajari bagaimana berlaku sopan-santun, ramah-tamah, tulus ikhlas,
amanah, dan kepercayaan, pengasih dan pemurah, jujur dan adil,
menepati janji serta menghormati adat istiadat yang ada, yang
menyebabkan masyarakat Nusantara tertarik untuk memeluk agama
Islam.35
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, surau menggunakan
system pendidikan halaqah. Materi pendidikan yang diajarkan pada
awalnya masih di seputar belajar huruf hijaiyah dan membaca Al-
Quran, disamping ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti keimanan,
akhlak dan ibadah. Peda umumnya pendidikan ini dilaksanakan malam
hari.36 Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan
Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada
era ini, yaitu:
a. Pengajaran Al-Quran. Untuk mempelajari Al-Quran ada dua
tingkatan;
1. Pendidikan Rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan
huruf Al-Quran. Di samping itu, juga dipelajari cara berwudhu
dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan
menghafal, keimanan terutama yang berhubungan dengan sifat
dua puluh yang dipelajari dengan menggunakan metode
menghafal melalui lagu, dan akhlak yang dilakukan dengan
cerita tentang nabi dan orang-orang shaleh lainnya.
2. Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-Quran dengan
lagu, kasidah, berjanji, tajwid, dan kitab perukunan.

35
http://mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/2010/01/melacak-akar-sejarah-pendidikan-surau.html
36
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan ..... Op. Cit. , h. 281.
21

Lama pendidikan di kedua jenis pendidikan tersebut tidak


ditentukan. Seorang siswa baru dikatakan tamat bila ia telah
mampu menguasai materimateri di atas dengan baik. Bahkan
adakalanya seorang siswa yang telah menamatkan mempelajari Al-
Quran dua atau tiga kali baru berenti dari pengajaran Al-Quran.

b. Pengajian Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi; ilmu sharaf
dan nahwu, ilmu fiqih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Cara
mengajarkannya adalah dengan membaca sebuah kitab Arab dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Setelah itu baru
diterangkan maksudnya. Penekanan pada jenjang ini adalah pada
aspek hafalan. Agar siswa cepat hafal, maka metode pengajarannya
dilakukan melalui cara menghafalkan materi dengan lagu-lagu
tertentu. Pelaksanaan pada jenjang ini biasanya dilakukan pada
siang hari.37
Metode pendidikan di surau bila dibandingkan dengan
metode pendidikan modern, sesungguhnya metode pendidikan di
surau memiliki kelebihan dan kelemahannya. Kelebihannya
terletak pada kemampuan menghafal muatan teoritis keilmuan.
Sedangkan kelemahannya terdapat pada lemahnya kemampuan
memahami dan menganalisis teks. Di sisi lain, metode pendidikan
ini diterapkan secara keliru. Siswa banyak yang bisa membaca dan
menghafal suatu kitab, akan tetapi tidak bisa menulis apa yang
dibaca dan dihafalnya itu.38
Surau tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan
Islam tetapi juga sebagai lembaga pendidikan tarekat. Fungsi surau
yang kedua ini lebih dominan dalam perkembangannya di
Minangkabau. Setiap guru di Minangkabau memiliki otoritasnya

37
Ibid.,
38
Ibid., h. 73-74.
22

sendiri, baik dalam praktik tarekat maupun penekanan cabang-


cabang ilmu keislaman. Praktik tarekat yang dikembangkan oleh
masing-masing surau tersebut lebih banyak muatan mistisnya
ketimbang syari’at. Gejala ini dapat diketahui, meskipun Islam
sudah dianut masyarakat tetapi praktik-praktik yang bertentangan
dengan syari’at masih dilakukan terutama para penguasa (kaum
adat).39
Melihat masyarakat yang demikian, maka syekh
Abdurrahman salah seorang ulama dari Batu Hampar, berupaya
menyadarkan umat dengan pendekatan persuasif dan ia pun
berhasil. Keberhasilannya ini tidak serta-merta menghilangkan
praktik bid’ah dan khurat di sebagian lain. Untuk memberi
pemahaman kepada masyarakat mengenai ajaran agama Islam,
maka syekh Abdurrahman mendirikan surau yang terkenal dengan
“Surau Gadang”. Di surau inilah syekh Abdurrahman mengajarkan
Al-Quran dengan berbagai mecam ilmu keislaman.40
Keadaan yang demikian itu keadaan semakin memanas dan
membagi masyarakat dalam dua kubu. Kubu pertama, yang
menolak pembaruan yang dimotori oleh kaum adat yanh dibantu
kolonial Belanda, dan kubu yang kedua diwakili oleh pemuka
agama (kaum Padri) yang sudah gerah melihat praktik kehidupan
yang sudah jauh dari nilai-nilai agama.41
Dengan momentum kepulangan “tiga serangkai” H. Miskin
dari Pandai Sikek, H. Piobang dari Agam dan H. Sumanik dari
Batusangkar dari Mekkah, maka dilakkukan pembaruan tetapi
dengan pendekatan yang keras dan radikal. Ulama-ulama ini juga
dibantu ulama lain seperti Tuanku Nan Ranceh dan Tuanku Agam
yang bergelar “Harimau Nan Salapan”. Usaha yang dilakukan

39
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan..... Loc. Cit., Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak sejarah
Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 282-283.
40
Ibid., h. 282-283.
41
Ibid., h. 283.
23

kaum Padri, sekurang-kurangnya telah berhasil membangkitkan


semangat nasionalisme umat Islam dalam menentang penjajah.
Meskipun pada akhirnya gerakan ini gagal membumikan ide
pembaruannya.42
Surau sebagi lembaga pendidikan Islam mulai surut
peranannya karena disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, selama
perang padri banyak surau yang musnah terbakar dan syekh
banyak yang meninggal, kedua, Belanda mulai memperkenalkan
sekolah nagari, ketiga, kaum intelektual muda muslim mulai
mendirikan madrasah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka
terhadap praktikpraktik surau yang penuh dengan khurafat, bid’ah,
dan takhayul.43
Dalam posisinya sebagi lembaga pendidikan Islam, posisi
surau sangat strategis baik dalam pengembangan Islam maupun
pemahaman terhadap ajaranajaran Islam. Bahkan surau telah
mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan
menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir
kolonialisme Belanda. Di antara para alumni Pendidikan Surau itu
adalah Haji Rasul, AR. At Mansur, Abdullah Ahmad dan Hamka.44

4. Meunasah
a. Sejarah dan Perkembangan Meunasah
Meunasah dalam sejarahnya, merupakan pusat peradaban
masyarakat Aceh. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong
(kampung, desa) mendapatkan pendidikan. Di setiap kampung di Aceh
dibangun meunasah yang berfungsi sebagai center of culture (pusat
kebudayaan) dan center of education (pusat pendidikan) bagi
masyarakat. Dikatakan center of culture, karena meunasah ini memang
memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan orang Aceh
42
Ibid., h. 283.
43
Ibid., h. 283.
44
Samsul Nizar, Loc. Cit., Sejarah dan Pergolakan .....(Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h. 86.
24

dan disebutkan center of education, karena secara formal anak-anak


masyarakat Aceh memulai pendidikannya di lembaga ini. Pendidikan
yang dimaksudkan disini adalah pendidikan yang berintikan agama
Islam. Dengan pengertian ini terkandung makna bahwa sejak dahulu
desa-desa di seluruh Aceh telah ada lembaga sekolah.45
Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah.
Meunasah berasal dari bahasa Arab Madrasah. Meunasah merupakan
satu bangunan yang terdapat di setiap gampong. Bangunan ini seperti
rumah tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain.
Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta
membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan
kemasyarakatan. Di samping itu, meunasah juga menjadi tempat
bermalam para anak-anak muda serta orang laki-laki yang tidak
mempunyai isteri. Setelah Islam mapan di Aceh, meunasah juga
menjadi tempat shalat bagi masyarakat dalam satu gampong.46
Meunasah secara fisik, adalah bangunan rumah panggung yang
dibuat pada setiap kampung, setiap kampung terdiri dari 40 rumah dan
diketuai oleh keucik. Dalam meunasah terdapat sumur, bak air, dan
WC yang terletak berjarak dengan meunasah. Biasanya meunasah
terletak di pinggir jalan.Di antara fungsi meunasah itu adalah:
a. Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat
penyalurannya, tempat penyelesaian perkara agama, musyawarah,
dan menerima tamu.
b. Sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran
membaca Al-Quran. Pengajian bagi orang dewasa diadakan pada
malam hari tertentu dengan metode ceramah dalam satu bulan
sekali. Kemudian, pada hari jumat dipakai ibu-ibu untuk shalat

45
http://kantorkemenagacehtimur.wordpress.com/2011/03/01/artikel-meunasah-sbg-lembaga-
pendidikantradisional- islam-di-aceh/, diakses tanggal 03 Desember 2011.
46
Abudin Nata, Loc. Cit., h. 42.
25

berjama’ah dzuhur yang diteruskan pengajian yang diimpin oleh


seorang guru perempuan.47
b. Pendidikan Meunasah
Dalam perkembangan lebih lanjut, meunasah bukan hanya
berfungsi sebagai tempat ibadah saja, melainkan juga sebagai tempat
pendidikan, tempat pertemuan, bahkan juga sebagai tempat transaksi
jual beli, terutama barang-barang yang bergerak. Yang belajar di
meunasah umumnya anak laki-laki yang umumnya di bawah umur.
Sedangkan untuk anak perempuan pendidikan diberikan di rumah
guru.48
Pendidikan meunasah ini dipimpin oleh Teungku meunasah.
Pendidikan untuk anak perempuan diberikan oleh teungku perempuan
yang disebut teungku Inong. Dalam memberikan pendidikan kepada
anak-anak, teungku meunasah dibantu oleh beberapa miridnya yang
lebih cerdas yang disebut sida.49
Lama pendidikan di meunasah tidak ada batasan tetentu.
Umumnya, pendidikan berlangsung selama dua sampai sepuluh tahun.
Pengajaran umumnya berlangsung malam hari. Materi pelajaran
dimulai dengan membaca Al-Quran yang dalam bahasa Aceh disebut
Bewet Quran. Biasanya pelajaran diawali dengan huruf hijaiyah,
seperti yang terdapat dalam buku Qaidah Baghdadiyah, dengan metode
mengeja huruf, kemudian merangkai huruf. Setelah itu dilanjutkan
dengan membaca juz amma, sambil menghafal surat-surat pendek.
Setelah itu baru ditingkatkan kepada membaca Al-Quran besar
dilengkapi dengan tajwidnya. Di samping itu, diajarkan pula pokok-
pokok agama seperti rukum iman, rukun islam, dan sifat-sifat Tuhan.
Selain itu, diajarkan pula rukun sembahyang, rukun puasa, dan zakat.
Tak ketinggalan, pelajaran nyanyi juga diajarkan, terutama nyanyian

47
Abudin Nata , Loc. Cit., h. 42.
48
Samsul Nizar, Loc. Cit., Sejarah Pendidikan Islam: ..... h. 284-285.
49
Ibid., h. 284-285.
26

yang berhubungan dengan agama yang dalam bahasa Aceh disebut


dike atau seulaweut (dzikir atau shalawat). Buku-buku pelajaran yang
digunakan adalah buku-buku yang berbahasa Melayu seperti kitab
Parukunan dan Risalah Masail al-Muhtadin.50
Belajar di meunasah tidak dipungut bayaran, dengan demikian
para teungku tidak diberi gaji, karena mengajar dianggap ibadah.
Namun, biasanya tengku mendapatkan hadiah dari murid-muridnya
apabila mereka telah belajar Al-Quran sampai juz ke-15 atau pada saat
khatam Al-Quran. Hadiah-hadiah lain juga diperoleh pada waktu
upacara-upacara akad nikah, sunat, pembagian harta warisan, perkara
perdata, mengakhiri sidang-sidang pengadilan, pemberian nasihat-
nasihat, dan juga zakat. Keberadaan meunasah sebagai lembaga
pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orang
tua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah
merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Aceh mempunyai
fanatisme agama yang tinggi.51

B. Muhammadiyah – K.H Ahmad Dahlan


Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan
mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima
dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat
mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat
Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi
Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara
berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak
ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan Al-Qur’an dan

50
Abudin Nata Loc. Cit., h. 43.
51
Ibid., h. 44-45.
27

Al-Hadis. Perkumpulan ini berdiri pada tanggal 18 Nopember 1912. Sejak


awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi
politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga
mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat
sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi
kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama
Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa
Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula
orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan
permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan
hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat
Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku
untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah
Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan
perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti
Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang
Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan
pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka K.H. Ahmad Dahlan
menyiasatinya dengan menganjurkan agar Cabang Muhammadiyah di luar
Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-
Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di
Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang
mendapat pimpinan dari Cabang Muhammadiyah.
28

C. Nahdlatul Ulama (NU) – K.H Hasyim Asy’ari


Nahdlatul ‘Ulama disingkat NU, artinya kebangkitan Ulama. Sebuah
organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal : 16 Rajab 1344 H / 31
Januari 1926 M di Surabaya. Nahdlatul ‘Ulama sebagai jam’iyah diniyah
adalah wadah para Ulama’ dan pengikut-pengikutnya, dengan tujuan
memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam
yang berhaluan AhluSunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu dari
madzhab empat masing-masing adalah :
1. Imam Abu Hanifah an-Nu’man
2. Imam Malik bin Anas
3. Imam Muhammad Idris As-Syafi’i dan
4. Imam Ahmad bin Hanbal.

Nahdlatul ‘Ulama (NU) adalah merupakan gerakan keagamaan yang


bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat
yang bertaqwa kepada Alloh Swt, cerdas, trampil, ber-akhlaq mulia, tenteram,
adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui
serangkaian ikhtiar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan, yang
membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama.

a. Latar belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama


Latar belakang berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan
pemikiran keagamaan dan politik dunia islam kala itu. Salah satu faktor
pendorong lahirnya NU adalah karena adanya tantangan yang bernama
globalisasi yang terjadi dalam dua hal :
a) Globalisasi Wahabi, pada tahun 1924, Syarief Husein, Raja Hijaz
(Makkah) yang berpaham Sunni di taklukkan oleh Abdul Aziz bin
Saud yang beraliran Wahabi. Tersebarlah berita penguasa baru itu akan
melarang semua bentuk amaliyah keagamaan kaum sunni, yang sudah
berjalan berpuluh-puluh tahun di Tanah Arab, dan akan menggantinya
dengan model Wahabi. Pengamalan agama dengan sistem
29

bermadzhab, tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain sebagainya,


akan segera di larang.
b) Globalisasi imperialisme fisik konvensional yang di Indonesia di
lakukan oleh Belanda, Inggris, dan Jepang, sebagaimana juga terjadi di
belahan bumi Afrika, Asia, Amerika Latin, dan negeri-negeri lain yang
di jajah bangsa Eropa.

b. Proses Berdirinya Nahdlatul ‘Ulama


Berdirinya komite HIJAZ dan Lahirnya Nahdlatul ‘Ulama
Sebelum tahun 1924, raja yang berkuasa di Mekkah dan Madinah ialah
Syarif Husen, yang bernaung di bawah Kesultanan Turki. Akan tetapi
pada tahun 1926 Syarif Husen digulingkan oleh Ibnu Suud. Ibnu Suud
ialah seorang pemimpin suku yang taat kepada seorang pengajar agama
bernama Abdul Wahhab dari Nejed yang ajaran-ajaranya sangat
konservatif. Misalnya berdoa di depan makam nabi dihukumi syirik.
Penguasa hijaz yang baru ini mengundang pemimpin-pemimpin
islam seluruh dunia untuk menghadiri Muktamar Islam di Mekkah pada
bulan Juni 1926. Di Indonesia kebetulan waktu itu sudah terbentuk CCC
(Centra Comite Chilafat) disebut Komite Hilafat, dan duduk di dalamnya
berbagai wakil Organisasi Islam, termasuk K.H. Wahab Hasbullah. CCC
yang akan menentukan utusan Indonesia kemuktamar tersebut.
Berhubungan dengan itu, maka K.H. Wahab Hasbullah bersama-
sama para ulama’ Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan dengan restu
K.H. Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mengirimkan delegasi sendiri
kemukatamar pada juni 1926 dengan membentuk komite sendiri yaitu
komite hijaz.
30

“Susunan Komite Hijaz :”

Penasehat : K.H. Abdul Wahab Hasbullah

K.H. Cholil Masyhuri

Ketua : H.Hasan Gipo

Wakil Ketua : H. Sholeh Syamil

Sekretaris : Muhammad Shodiq

Pembantu : K.H. Abdul Halim

Pada tanggal 31 Januari 1926 komite mengadakan rapat di


Surabaya dengan mengundang para ‘ulama terkemuka di Surabaya dan
dihadiri K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Asnawi Kudus. rapat memutuskan
K.H. Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz menghadiri muktamar
dunia Islam di Mekkah.

c. Tokoh-tokoh dibalik Berdirinya NU


1) Kiyai Kholil
Kiyai Kholil lahir Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 di Bangkalan
Madura nama ayahnya Abdul Latif, beliau sangat berharap dan
memohon kepada Allah SWT agar anaknya menjadi pemimpin ummat.
Pada tahun 1859 ketika berusia 24 tahun Kiyai Kholil
memutuskan untuk pergi ke Mekkah dengan biaya tabungannya,
sebelum berangkat beliau dinikahkan dengan Nyai ‘Asyik. Di Mekkah
beliau belajar pada Syeikh di Masjidil Haram tetapi beliau lebih
banyak mengaji pada para Syeikh yang bermazdhab Syafi’i . Sepulang
dari Mekkah beliau dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot bahkan ia
memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafizd
kemudian beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan.
Kiyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadlan 1343 H dalam usia 91
th. hampir semua pesantren di Indonesia sekarang masih mempunyai
sanad dengan pesantren Kiyai Kholil.
31

2) K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari


Beliau adalah seorang ‘ulama yang luar biasa hampir seluruh
kiyai di Jawa memberi gelar Hadratus Syeikh (Maha Guru) beliau lahir
selasa kliwon 24 Dzulqa’dah 1287 H bertepatan dengan tanggal 14
Februari 1871 di Desa Gedang, Jombang. Ayahnya bernama K.
Asy’ari Demak Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah putri dari
Kiyai Utsman pendiri pesantren Gedang.
Dalam rangka mengabdikan diri untuk kepentingan ummat
maka K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren
Tebuireng, jombang pada tahun 1899 M. Dengan segala
kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang menjadi “Pabrik”
pencetak kiai. Pada tanggal 17 Ramadlan 1366 H bertepatan dengan 25
Juli 1947M K.H. Muhammad Hasyim Asy’ari Memenuhi panggilan
Ilahi.

3) K.H. Abdul Wahab Hasbullah


Beliau adalah seorang ‘ulama yang sangat alim dan tokoh besar
dalam NU dan bangsa Indonesia. Beliau dilahirkan di Desa
Tambakberas, Jombang, Jawa Timur pada bulan Maret 1888.
Semenjak kanak-kanak beliau dikenal kawan-kawannya sebagai
pemimpin dalam segala permainan.
Langkah awal yang ditempuh K.H. Wahab Hasbullah kelak
sebagai bapak pendiri NU, itu merupakan usaha membangun semangat
nasionalisme lewat jalur pendidikan yang sengaja dipilih nama
Nahdlatul Wathan yang berarti Bangkitnya Tanah Air.

d. Ajaran atau Pokok Pikiran Nahdlatul ‘Ulama


Nahdlatul ‘Ulama (NU) merupakan organisasi sosial
keagamaan yang berhaluan Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah, sebagai
wadah pengemban dan mengamalkan ajaran Islam Ala Ahadi al-
Mazhabi al-Arba’ah dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat
32

bagi semesta alam. Dengan kata lain sebagai salah satu ormas tertua,
NU merupakan satu-satunya organisasi masa yang secara keseluruhan
bahwa Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah sebagai mazhabnya. Sehingga,
ketika NU berpegang pada mazhab, berarti mengambil produk hukum
Islam (fiqh) dari empat Imam Mazhab, yaitu mazhab Hanafi, mazhab
Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali. Dalam kenyataannya
NU lebih condong pada pendapat Imam Asy-Syafi’i, oleh karenanya
NU sering “dicap” sebagai penganut fanatik mazhab Syafi’i. Hal ini
dapat dilihat dari cara NU mengambil sebuah rujukan dalam
menyelesaikan kasus-kasus atau permasalahan-permasalahan yang
muncul. Alasan yang sering dilontarkan adalah umat Islam Indonesia
mayoritas bermazhab Syafi’i.
Nahdlatul ‘Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah
yang bertujuan membangun atau mengembangkan insan dan
masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT senantiasa berpegang
teguh pada kaidah-kaidah keagamaan (ajaran Islam) dan kaidah-kaidah
fiqh lainnya dalam merumuskan pendapat, sikap dan langkah guna
memajukan jam’iyah tersebut. Dalam bidang keagamaan dan
kemasyarakatan alam pikiran (pokok ajaran) Nahdlatul Ulama
(NU) secara ringkas dapat dibagi menjadi tiga bidang ajaran yaitu;
bidang aqidah, fiqh, dan tasawuf.
Dalam bidang aqidah yang dianut oleh NU sejak didirikan pada
1926 adalah Islam atas dasar Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah. Faham
ini menjadi landasan utama bagi NU dalam menentukan segala
langkah dan kebijakannya, baik sebagai organisasi keagamaan murni,
maupun sebagai organisasi kemasyarakatan. Hal ini ditegaskan dalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), bahwa NU
mengikuti Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan menggunakan jalan
pendekatan (mazhab). Adapun faham Ahlu as-Sunnah Wa al-
Jama’ah yang dianut NU adalah faham yang dipelopori oleh Abu
Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Keduanya
33

dikenal memiliki keahlian dan keteguhan dalam mempertahankan


i’tiqad (keimanan) Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah seperti yang telah
disyaratkan oleh Nabi SAW dan para sahabatnya. Jadi dalam
melaksanakan ajaran Islam, bila dikaitkan dengan masalah-masalah
aqidah harus memilih salah satu di antara dua yaitu al-Asy’ari dan al-
Maturidi.
Sementara dalam bidang fiqh ditegaskan bahwa: Nahdlatul
Ulama (NU) sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Islam
menurut faham Ahlu as-Sunnah Wa al-Jama’ah dan mengikuti faham
salah satu mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun
dalam prakteknya para Kyai adalah penganut kuat dari pada mazhab
Syafi’i.
Jadi dengan demikian NU memegang produk hukum Islam
(fiqh) dari salah satu empat mazhab tersebut, artinya bahwa dalam
rangka mengamalkan ajaran Islam, NU menganut dan mengikuti
bahkan mengamalkan produk hukum Islam (fiqh) dari salah satu empat
mazhab empat sebagai konsekuensi dari menganut faham Ahlu as-
Sunnah Wa al-Jama’ah. Walaupun demikian tidak berarti terus
Nahdlatul Ulama tidak lagi menganut ajaran yang diterapkan
Rasulullah SAW. sebab keempat mazhab tersebut dalam
mempraktekkan ajaran Islam juga mengambil landasan dari al-Qur’an
dan as-Sunnah di samping Ijma’ dan Qiyas sebagai sumber pokok
penetapan hukum Islam.
Adapun alasan kenapa Nahdlatul Ulama dalam bidang hukum
Islam (fiqh) lebih berpedoman kepada salah satu dari empat mazhab;
Pertama, al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam yang pokok atau utama
bersifat universal, sehingga hanya Nabi SAW. yang tahu secara
mendetail maksud dan tujuan apa yang terkandung dalam al-Qur’an.
Nabi SAW sendiri menunjukkan dan menjelaskan makna dan maksud
dar al-Qur’an tersebut melalui sunnah-sunnah beliau, yaitu berupa
perkataan, perbuatan, dan taqrir. Kedua, sunnah Nabi SAW. yang
34

berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya yang hanya diketahui


oleh para sahabat yang hidup bersamaan (semasa) dengan beliau, oleh
karena itu perlu untuk memeriksa, menyelidiki dan selanjutnya
berpedoman pada keterangan-leterangan para sahabat tersebut. Namun
sebagian ulama tidak memperbolehkan untuk mengikuti para sahabat
dengan begitu saja. Maka dari itu untuk mendapatkan kepastian dan
kemantapan, maka jalan yang ditempuh adalah merujuk kepada para
ulama mujtahidin yang tidak lain adalah imam madzhab yang empat,
artinya bahwa dalam mengambil dan menggunakan produk fiqh
(hukum Islam) dari ulama mujtahidin harus dikaji, diteliti dan
dpertimbangkan terlebih dahulu sebelum dijadikan pedoman dan
landasan bagi Nahdhatul Ulama.
Oleh karena itu, untuk meneliti dan mengkaji suatu produk fiqh
(hukum Islam) dalam NU ada suatu forum pengkajian produk-produk
hukum fiqh yang biasa disebut “Bahsul Masail ad-Diniyah
(pembahasan masalah-masalah keagamaan)”. Jadi dalam forum ini
berbagai masalah keagamaan akan digodok dan diputuskan hukumnya,
yang selanjutnya keputusan tesebut akan menjadi pegangan bagi
Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Faham Nahdlatul Ulama dalam bidang
tasawuf. Tasawuf sebenarnya merupakan dari ibadah yang sulit
dipisahkan dan merupakan hal yang penting, terutama yang berkaitan
dengan makna hakiki dari suatu ibadah. Jika fiqh merupakan bagian
lahir dari suatu ibadah yang segala ketentuan pelaksanaannya sudah
ditetapkan dalam agama, untuk mendalami dan memahami bagian dari
ibadah, maka jalan yang dapat ditempuh adalah melalui tasawuf itu
sendiri.
Di antara berbagai macam aliran tasawuf yang tumbuh dan
berkembang, NU mengikuti aliran tasawuf yang dipelopori oleh Imam
Junaid al-Bagdadi dan Imam al-Gazali. Imam Junaid al-Bagdadi
adalah salah seorang sufi terkenal yang wafat pada tahun 910 M di
35

Irak, sedangkan Imam al-Gazali adalah seorang ulama besar yang


berasal dari Persia.
Untuk kepentingan ini, yaitu membentuk sikap mental dan
kesadaran batin yang benar dalam beribadah bagi warga Nahdlatul
Ulama, maka pada tahun 1957 para tokoh NU membentuk suatu badan
“Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah” badan ini merupakan wadah bagi
warga NU dalam mengikuti ajaran tasawuf tersebut. Dalam
perkembangannya pada tahun 1979 saat muktamar NU di Semarang
badan tersebut diganti namanya “Jam’iyah at-Tariqah al-Mu’tabarah
an-Nadiyyah”. Dengan melihat nama badan tersebut di mana di
dalamnya ada kata nadhiyyin ini menunjukkan identitasnya sebagai
badan yang berada dalam linkungan Nahdhatul Ulama.
Selanjutnya, sejalan dengan derap langkah pembangunan yang
sedang dilakukan, maka Nahdlatul Ulama sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat dan bangsa harus mempunyai sikap dan
pendirian dalam dan turut berpartisipasi dalam pembangunan tersebut.
Sikap dan pendirian Nahdlatul Ulama ini selanjutnya menjadi
pedoman dan acuan warga NU dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat dan bernegara. Sikap NU dalam bidang kemasyarakatan
diilhami dan didasari oleh sikap dan faham keagamaan yang telah
dianut. Sikap kemasyarakatan NU bercirikan pada sifat: tawasut dan
i’tidal, tasamuh, tawazun dan amar ma’ruf nahi munkar. Sikap ini
harus dimiliki baik oleh aktifis Nahdlatul Ulama maupun segenap
warga dalam berorganisasi dan bermasyarakat :
1. Sikap Tawasut dan I’tidal.
Tawasut artinya tengah, sedangkan I’tidal artinya tegak.
Sikap tawasuth dan i’tidal maksudnya adalah sikap tengah yang
berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan
berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama. Dengan
sikap dasar ini, maka NU akan selalu menjadi kelompok panutan
yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersikap membangun
36

serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatarruf


(ekstrim).
2. Sikap Tasamuh.
Maksudnya adalah Nahdlatul Ulama bersikap toleran
terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan
teruma hal-hal yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah
khilafiyah maupun dalam masalah yang berhubungan dengan
kemasyarakatan dan kebudayaan.
3. Sikap Tawazun.
Yaitu sikap seimbang dalam berkhidmad. Menyesuaikan
berkhidmad kepada Allah SWT, khidmat sesama manusia serta
kepada lingkungan sekitarnya. Menserasikan kepentingan masa
lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Segenap warga Nahdlatul Ulama diharapkan mempunyai
kepekaan untuk mendorong berbuat baik dan bermanfaat bagi
kehidupan bermasyarakat, serta mencegah semua hal yang dapat
menjerumuskan dan merendahakan nilai-nilai kehidupan manusia.
Dengan adanya beberapa aspek tersebut di atas, diharapkan
agar kehidupan umat Islam pada umumnya dan warga Nahdlatul
Ulama pada khususnya, akan dapat terpelihara secara baik dan
terjalin secara harmonis baik dalam lingkungan organisasi maupun
dalam segenap elemen masyarakat yang ada. Demikian pula
perilaku warga Nahdlatul Ulama agar senantiasa terbentuk atas
dasar faham keagamaan dan sikap kemasyarakatan, sebagai sarana
untuk mencapai cita-cita dan tujuan yang baik bagi agama maupun
masyarakat.
37

D. Islamisasi Ilmu Pegetahuan dan Implikasinya dalam Pendidikan

a) Konsep Dasar Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Al-Faruqi mendefinisikan Islamisasi Ilmu Pengetahuan berarti


upaya integrasi wawasan pengetahuan yang harus ditempuh sebagai awal
proses integrasi kehidupan kaum muslimin. Pengintegrasian baru tesebut
selanjutnya dimasukan dimasukkan ke dalam keutuhan warisan Islam
dengan melakukan eliminasi, reinterpretasi dan adaptasi terhadap
komponen-komponenya sebagai sebuah world view of Islam ( pandangan
hidup Islam) dan menetapkan nilainilainya, serta adanya relevansi yang
eksak antara Islam dengan filsafat, dan metode dan obyek-obyeknya.

Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ide Islamisasi ilmu


pengetahuan berangkat dari kondisi yang memprihatinkan di dunia Islam
pada masa modern yang mengalami ketertinggalan ilmu pengetahuan dan
dominasi ilmu pengetahuan sekuler yang dewasa ini berkembang di dunia
Islam. Tokoh gerakan pemikiran Islamisasi ilmu pengetahuan yang
terkenal adalah Ismail Raji al-Faruqi. Riwayat hidup AlFaruqi tidak bias
dilepaskan dari konteks perkembangan sosio politik dan sejarah panjang
bangsa dan Negara palestina sebagai tempat kelahirannya. Sebab di
daerah tersebut hampr separuh usaia Al- Faruqi di habiskan di Palestina,
sebelum akhirnya hijrah ke Amerika. Al-Faruqi secara bersemangat
mensinyalir bahwa penyebab tertinggalnya dunia Islam dibanding dunia
barat modern, disebabkan kondisi pendidikan Islam yang mengalami
krisis identitas, akibat pengaruh filsafat dan ilmu pengetahuan yang
melanda system pendidikan Islam, yang berimplikasi pada terbelahnya
sistem pendidikan Islam secara dikhotomik.

Ismail Raji AlFaruqi dengan demikian bisa disebut sebagai


cendekiawan muslim yang konsens dengan masalah epistimologi
pendidikan Islam karena pemikirannya tentang islamisasi ilmu
pengetahuan mejadi pemicu kesadaran sebagian pemikir muslim modern
38

untuk melakukan upaya redefinisi dan reislamisasi terhadap ilmu


pengetahuan yang berkembang pada masa modern dengan konsep-konsep
ideal ilmu pengetahuan dalam bingkai filsafat Islam. Pemikiran Islamisasi
ilmu pengetahuan Al-Faruqi secara konkrit dan aplikatif berusaha
mewujudkan dalam bentuk gerakan sistematik berupa pembuatan buku-
buku ilmiah yang telah diislamkan terlebih dahulu, sebelumdijadikan
referensi utama bagi proses pembelajaran pada jenjang pendidikan tinggi
dalam Islam, oleh karena itu tampaknya Al-Faruqi berusaha
mengembangkan kembali metodologi pengembangan ilmu pengetahuan
berbasis ajaran Islam pada masa modern, sebagaimana keberhasilan
ulama-ulama klasik dalam mengislamkan ilmu-ilmu yng berasal dari
Yunani.

b) Implikasi Ilmu Pengetahuan dalam Pendidikan

1. Aspek Kelembagaan

Islamisasi dalam aspek kelembagaan ini dimaksud adalah


penyatuan dua sistem pendidikan, yakni pendidikan Islam (agama)
dan sekuler (umum). Artinya melakukan modernisasi bagi lembaga
pendidikan agama dan Islamisasi pendidikan sekuler. Adanya
lembaga pendidikan modern (Barat sekuler), dipandang sebagai
kamuflase yang mengatas namakan Islam dan menjadikan Islam
sebagai simbol, untuk mengantisipasi keadaan ini maka perlunya
dibangun lembaga pendidikan baru sebagai tandingan.Sepertinya
implikasi dari Islamisasi ilmu pengetahuan pada aspek kelembagaan
adalah terbentuknya lembaga independen yang mengintegrasikan
pengembangan keilmuan agama dan umum, jadi apapun nama
lembaganya tersebut yang terpenting adalah terintegrasinya secara
komprehensif antara sistem umum dan agama. Meskipun dalam
tatanan sistematika keorgaanisasian lembaga mengadopsi barat namun
secara subtansial menerapkan sistem Islam.
39

2. Aspek Kurikulum

Mengkaji kurikulum tidak diserahkan pada satu tim saja,


namun membutuhkan ahli-ahli dibidangnya, perbincangan ini harus
dimulai sejak awal Islamisasi. Dalam hal ini kurikulum yang telah
dikembangkan di Barat tidak boleh diabaikan. Rumusan kurikulum
dalam Islamisasi ilmu pengetahuan dengan memasukkan segala
keilmuan dalam kurikulum. Dengan demikian lembaga pendidikan
memiliki kurikulum yang actual, responsive terhadap tuntutan
permasalahan kontemporer. Artinya lembaga akan melahirkan lulusan
yang visioner, berpandangan integrative, proaktif dan tanggap
terhadap masa depan serta tidak dikotomik dalam keilmuan.

3. Aspek Pendidik

Dalam hal ini pendidik ditempatkan pada posisi yang


selayaknya, artinya kompetensi dan professional yang mereka miliki
dihargai sebagaimana mestinya. Bagi Al-Faruqi tidak selayaknya para
pendidik mengajar degan prinsip keikhlasan, pendidik diberikan
honorarium sesuai dengan keahliannya.Terkait dengan pengajar yang
memberikan pembelajaran pada tingkat dasar dan lanjutan tidak
dibenarkan Islamologi atau misionaris, artinya harus pendidik yang
benar-benar Islam dan memiliki basic keislaman yang mantap. Di
samping itu, staf pengajar yang diinginkan dalam universitas Islam
adalah staf pengajar yang saleh serta memiliki visi keislaman. Dengan
demikian harus ada rumusan yang jelas tentang kriteria calon
pendidik, selain indeks prestasi (IP) sebagai parameter kualitas
intelektual, penting dilakukan wawancara menyangkut aqidah,
keimanan, keaagamaan, jiwa dan sikap terhadap jabatan, kriteria ini
juga harus ditopang oleh kode etik Islam tentang profesi pendidik.
Seorang pendidik dituntut mempunyai kemampuan subtantif, yakni
berupa gagasan dua segi keilmuan, yakni ilmu agama dan ilmu
modern sekaligus. Selain kemampuan subtantif seorang pendidik juga
40

dituntut memiliki kemampuan nonsubtantif, yakni berupa multiskill


didaktis. Kemampuan ini mencakup ketrampilan dalam menggunakan
metode dan strategi pembelajaran, pengelolaan atau manajemen
pendidikan, pengevaluasian dan lain sebagainya, yang secara
keseluruhan bertumpu pada unsur tauhid.

E. Muhammad Abduh dan Ide Pembaharuan Pendidikan Islam


a) Biografi
Abduh lahir di pedusunan delta Nil Mesir pada tahun 1849.
Keluarganya terkenal berpegang teguh kepada ilmu dan agama. Ayahnya
beristri dua. Muhammad ‘Abduh muda merasakan sejak dini sulitnya
hidup dalam keluarga poligami. Hal ini menjadi pokok persoalan yang
dia sampaikan dengan sangat yakin di kemudian hari ketika dia
menegaskan perlunya pembaruan keluarga dan hak-hak wanita.
Dalam usia 12 tahun ‘Abduh telah hapal al-Qur’an. Kemudian,
pada usia 13 tahun ia dibawa ke Tanta untuk belajar di Mesjid Ahmadi.
Mesjid ini sering disebut “Mesjid Syeikh Ahmad”, yang kedudukannya
dianggap sebagai level kedua setelah Al-Azhar dari segi menghapal dan
belajar al-Qur’an. Pelajaran di mesjid Ahmadi ini ia selesaikan selama 2
tahun.
Namun ‘Abduh merasa tak mengerti apa-apa. Tentang
pengalamannya ini ‘Abduh menceritakan: “Satu setengah tahun saya
belajar di mesjid Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini
adalah karena metodenya yang salah.Guru-guru mulai mengajak kita
untuk menghapal istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tak kita
ketahui artinya, guru tak merasa penting apa kita meengetahui atau tidak
mengerti istilah-istilah itu.” Inilah latar belakang dari pokok
pembaruannya dalam bidang pendidikan di kemudian hari.
Pada saat ‘Abduh berumur 16 tahun, tepatnya pada tahun 1865,
‘Abduh menikah dan bekerja sebagai petani. Namun hal itu hanya
berlangsung selama 40 hari. Karena ia harus pergi ke Tanta untuk belajar
kembali. Pamannya ‘Abduh, seorang Syeikh (guru spiritual) Darwisy
41

Khadr–seorang sufi dari Tarekat Syadzili–telah membangkitkan kembali


semangat belajar dan antusiasme ‘Abduh terhadap ilmu dan agama.
Syeikh ini mengajarkan kepadanya disiplin etika dan moral serta praktek
kezuhudan tarekatnya. Meski ‘Abduh tidak lama bersama Syeikh
Darwisy, sepanjang hidupnya ‘Abduh tetap tertarik kepada kehidupan
ruhaniah tasawuf. Namun kemudian dia jadi kritis terhadap banyak
bentuk lahiriah dan ajaran tasawuf, dan karena kemudian dia memasuki
kehidupan Jamaluddin Al-Afghani yang karismatis itu.
Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju
Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Harapannya itu tak terpenuhi. Ia keluar
karena proses belajar yang berlangsung menonjolkan ilmu dan hapalan
luar kepala tanpa pemahaman, seperti pengalamannya di Tanta. Inilah
juga yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam
bidang pendidikan.

b) Ide-ide Pembaharuan Muhammad ‘Abduh

1. Jumud: Faktor Utama Kemunduran Umat Islam


Abduh berpandangan bahwa penyakit yang melanda negara-
negara Islam adalah adanya kerancuan pemikiran agama di kalangan
umat Islam sebagai konsekuensi datangnya peradaban Barat dan
adanya tuntutan dunia Islam modern. Selama beberapa abad di masa
silam, kaum Muslimin telah menghadapi kemunduran dan sebagai
hasilnya mereka tidak mendapatkan dirinya sebagai siap sedia untuk
menghadapi situasi yang kritis ini.
Ia berpendapat bahwa sebab yang membawa kemunduran
umat Islam adalah bukan karena ajaran Islam itu sendiri, melainkan
adanya sikap jumud di tubuh umat Islam. Jumud yaitu keadaan
membeku/statis, sehingga umat tidak mau menerima peubahan, yang
dengannya membawa bibit kepada kemunduran umat saat ini (al-
Jumud ‘illatun tazawwul).
42

Seperti dikemukakan ‘Abduh dalam al-Islam baina al-’Ilm wa


al-Madaniyyah, ia menerangkan bahwa sikap jumud dibawa ke tubuh
Islam oleh orang-orang yang bukan Arab, yang merampas puncak
kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka juga membawa faham
animisme, tidak mementingkan pemakaian akal, jahil dan tidak kenal
ilmu pengetahuan. Rakyat harus dibutakan dalam hal ilmu
pengetahuan agar tetap bodoh dan tunduk pada pemerintah.
Keadaan ini seperti ini, menurutnya
adalah bid’ah. Masuknya bid’ah ke dalam tubuh Islam-lah yang
membawa umat lepas dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Untuk
menyelesaikan masalah ini, ‘Abduh, sebagaimana Abdul Wahhab,
berusaha mengembalikan umat seperti pada masa salaf, yaitu di
zaman sahabat dan ulama-ulama besar.
Namun, yang membedakan faham ‘Abduh dengan Abdul
Wahhab adalah umat tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran
asli itu saja, tetapi ajaran-ajaran itu juga mesti disesuaikan dengan
keadaan modern sekarang ini.
2. Pembaruan ‘Abduh dalam Masalah Ijtihad
Faham Ibn Taimiyyah yang menyatakan bahwa ajaran-ajran
Islam terbagi ke dalam dua kategori: Ibadah dan Mu’amalah, diambil
dan ditonjolkan oleh ‘Abduh. Ia melihat bahwa ajaran-ajaran yang
terdapat dalam Qur’an dan hadits bersifat tegas, jelas dan terperinci.
Sebaliknya, ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan umat
hanya merupakan dasar-dasar dan prinsip umum tidak terperinci, serta
sedikit jumlahnya. Oleh karena sifatnya yang umum tanpa perincian,
maka ajaran tersebut dapat disesuaikan dengan zaman Penyesuaian
dasar-dasar itu dengan situasi modern dilakukan dengan mengadakan
interpretasi baru. Untuk itu, Ijtihad perlu dibuka. Dalam kitab Tarikh
Hashri al-Ijtihad dikutip pendapat ‘Abduh mengenai ijtihad sebagai
berikut: “Sesungguhnya kehidupan sosial manusia selalu mengalami
43

perubahan, selalu terdapat hal-hal baru yang belum pernah ada pada
zaman sebelumnya.
Ijtihad adalah jalan yang telah ada dalam syariat Islam sebagai
sarana untuk menghubungkan hal-hal baru dalam kehidupan manusia
dengan ilmu-ilmu Islam, meskipun ilmu-ilmu Islam telah dibahas
seluruhnya oleh para ulama terdahulu….” Selanjutnya, menurut
‘Abduh, untuk orang yang telah memenuhi syarat ijtihad di
bidang muamalah dan hukum kemasyarakatan bisa didasarkan
langsung pada Quran dan hadis dan disesuaikan dengan zaman.
Sedangkan ibadah tidak menghendaki perubahan menurut zaman.
Taklid buta pada ulama terdahulu tidak perlu dipertahankan, bahkan
Abduh memeranginya. Karena taklid di
bidang muamalah menghentikan pikir dan akal berkarat. Taklid
menghambat perkembangan bahasa Arab, perkembangan susunan
masyarakat Islam, sistem pendidikan Islam,dan sebagainya.
Pendapat tentang dibukanya pintu ijtihad bukan semata-mata
pada hati tetapi pada akal. Qur’an memberikan kedudukan yang tinggi
bagi akal. Islam, menurutnya adalah agama rasional.
Mempergunakan akal adalah salah satu dasar Islam. Iman seseorang
takkan sempurna tanpa akal. Agama dan akal yang pertama kali
mengikat tali persaudaraan. Wahyu tidak dapat membawa hal-hal
yang bertentangan dengan akal. Kalau zahir ayat atau hadis
bertentangan dengan akal, maka harus dicari interpretasi yang
membuat ayat dapat dipahami secara rasional. Kepercayaan pada
kekuatan akal adalah dasar peradaban bangsa. Tentang hal ini
Muhammad ‘Abduh berkata: “Mesti ada suatu pembebasan akal dari
belenggu taqlid, dan mesti memahami agama sesuai dengan jalan
yang ditempuh oleh pada kaum salaf sebelum terjadi perpecahan dan
umat Islam mesti berpaling kepada kekuatan akal sebagai kekuatan
terbesar manusia.
44

3. Pembaruan ‘Abduh dalam Bidang Ilmu Pengetahuan Islam


(Pendidikan)

Seperti dikutip Fazlur Rahman, ‘Abduh menyatakan bahwa


ilmu pengetahuan modern banyak berdasar pada hukum alam
(sunnatullah, yang tidak bertentangan dengan Islam yang
sebenarnya). Sunnatullah adalah ciptaan Allah SWT. Wahyu juga
berasal dari Allah.Jadi, karena keduanya datang dari Allah, tidak
dapat bertentangan satu dengan yang lainnya. Islam mesti sesuai
dengan ilmu pengetahuan modern dan, yang modern mesti sesuai
dengan Islam, sebagaimana zaman keemasan Islam yang melindungi
ilmu pengetahuan. Dengan penuh semangat, ‘Abduh menyuarakan
penggalian sains dan penanaman semangat ilmiah Barat.
Kemajuan Eropa ia tegaskan karena belahan dunia ini telah
mengambil yang terbaik dari ajaran Islam. Ia membantah bahwa Islam
tidak mampu beradaptasi dengan dunia modern. Ia ingin membuktikan
bahwa Islam adalah agama rasional yang dapat menjadi basis
kehidupan modern.Sebagai konsekuensi dari pendapatnya, ‘Abduh
berupaya untuk memperbarui pendidikan dan pelajaran modern, yang
dimaksudkan agar para ulama kelak tahu kebudayaan modern dan
mampu menyelesaikan persoalan modern. Pendidikan adalah hal
terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala
sesuatu.

Program yang diajukannya–sebagai salah satu fondasi utama–


adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk
mewujudkan kebangkitan masyarakat. Menurutnya, sekolah negeri
(sekuler) harus diwarnai dengan agama yang kuat. Namun, rupanya,
pendapatnya itu mendapat tantangan berat dari ulama konservatif
yang belum mengetahui faedah dari perubahan yang dianjurkan
‘Abduh.
45

Keberatan final ‘Abduh berkenaan dengan upaya meniru


pendidikan Barat disebabkan pengalaman bahwa orang yang meniru
bangsa lain, dan meniru adat bangsa lain, membukakan pintu bagi
masuknya musuh. Segelintir orang yang terbaratkan telah
menggunakan slogan asing, seperti “kebebasan, nasionalisme,
etnisitas”. ‘Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional
yang bukan impor, yang mencakup pendidikan universal bagi semua
anak, laki-laki dan perempuan. Semuanya harus punya kemampuan
dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Semuanya harus
mendapat pendidikan agama, yang mengabaikan perbedaan sektarian
dan menyoroti perbedaan antara Kristen dan Islam. Isi dan lama
pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang
dikehendaki pelajar. ‘Abduh percaya bahwa anak petani dan tukang
harus mendapat pendidikan minimum, agar mereka dapat meneruskan
jejak ayah mereka. Kurikulum sekolah ini harus meliputi: (1) buku
ikhtisar doktrin Islam yang berdasarkan ajaran Sunni dan
tidak menyebut-nyebut perbedaan sektarian; (2) teks ringkas yang
memaparkan secara garis besar fondasi kehidupan etika dan moral dan
menunjukkan mana yang benar dan yang salah; dan (3) teks ringkas
sejarah hidup Nabi Muhammad, kehidupan shahabat, dan sebab-sebab
kejayaan Islam. Sedangkan untuk sekolah menengah haruslah mereka
yang ingin mempelajari syariat, militer, kedokteran, atau ingin bekerja
ada pemerintah
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejarah perjalanan pendidikan islam di Indonesia berawal dari pertama


kali Islam disebarkan di Indonesia, perkembangan pendidikan islam terus
berjalan mulai dari masa kerajaan hingga sekarang. Pondok pesantren
merupakan bentuk pendidikan islam pertama di Indonesia.

Pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan


kepada warga masyarakat sedini mungkin untuk menggali, memahami dan
mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai yang terpujikan dan
dikehendak, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan ciri pribadi,
masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan islam sendiri adalah proses
bimbingan terhadap peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang
baik keberhasilandan kemajuan pendidikan. Perkembangan pendidikan islam di
Indonesia sangat pesat yang seperti berbeda pendapat tentang permulaan islam
di Indonesia.

B. Kritik dan Saran


Penyusun menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan
karena kurangnya ilmu dan pengalaman yang dimiliki penulis, sehingga
penulis memohon maaf atas kekurangan tersebut dan meminta kritik dan saran
dari pembaca agar dapat menjadi motovasi bagi penyusun untuk lebih baik
lagi kedepannya

46
DAFTAR PUSTAKA

Akhiruddin, KM. 2015. Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara. Jurnal


Tarbiya, (1) 1, 196-214.

Iswati. 2017. Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan Dan Implikasinya Terhadap


Pendidikan Islam. At Tajdid, (1) 1, 92-100.

Rachel. 2019. Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama.


http://liputanislam.com/kajian-islam/sejarah-berdirinya-nahdlatul-ulama/

Saputa, Harja. 2012. Muhammad Abduh dan Ide-ide


Pembaharuannya.https://www.harjasaputra.com/riset/Muhammad-abduh-dan-ide-
ide-pembaharuannya.html.

Umar, Marwani.2014. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah.


https://marwaniumar24.blogspot.com/2014/01/makalah-sejarah-berdirinya-
muhammadiyah.html

47

Anda mungkin juga menyukai