Dosen Pengampu:
Kelas A
Disusun Oleh:
Dengan menyebut asma Allah Swt. yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta taufiq-Nya sehingga
kami mampu menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Lembaga Pendidikan
Surau ” dengan baik.
Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan atas bantuan dari
berbagai pihak, sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Untuk itu kami
sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penulisan ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, kami sadar sepenuhnya masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun dalam materi. Oleh karena itu,
kami menerima segala saran dan kritik yang membagun agar kami dapat menyusun
makalah lebih baik kedepannya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB I: PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Kesimpulan........................................................................................... 11
B. Saran ..................................................................................................... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta:
Quantum Teaching, 2005), 68-69.
2
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam….70
3
Siti Gazalba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Umminda,
1982), 314-315
4
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, (Jakarta: Logos, 2000), 130.
1
bangsa, yang berperan tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat
internasional.5
Oleh karena itu, sistem pendidikan surau yang pernah terlaksana di Sumatera
Barat menarik untuk dikaji. Meskipun dewasa ini fungsi surau telah mengalami
pergeseran, namun system pendidikan yang diterapkan di surau patut dipahami
oleh generasi saat ini sehingga nilai-nilai pendidikannya dapat diaktualisasikan
dalam konteks kekinian dan kedisinian. Makalah sederhana ini akan membahas
tentang surau di Minangkabau sebagai Lembaga pendidikan Islam serta mengkaji
sistem pendidikan surau yang meliputi karakteristik, literatur keagamaan serta
metode dan system pendidikan yang diterapkan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan lembaga pendidikan surau?
2. Apa karakteristik Lembaga Pendidikan surau?
3. Apa literatur yang digunakan Pendidikan surau?
4. Bagaimana metode dan system Pendidikan surau?
C. Tujuan Makalah
1. Memperdalam sejarah dan perkembangan Lembaga Pendidikan Surau
2. Mengetahui karakteristik Lembaga Pendidikan Surau
3. Mengetahui literatur yang digunakan oleh Lembaga Pendidikan Surau
4. Menelaah metode dan system Pendidikan yang diterapkan oleh Lembaga
Pendidikan Surau
5
Diantaranya Tuanku Nan Tuo, Tuanku Nan Kacik, Tuanku Imam Bonjol dan Malin
Basa, lihat Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1993), 24-25.
2
BAB II
PEMBAHASAN
6
Adek Lestari, “Surau Masa Lalu pada Masa Kini Luhak Agam Orde Baru”, dalam
Budi Susanto, Gemerlap Nasionalitas Postkolonial, (Yogyakarta: Kanisius, 2008) 62-63.
7
Zainal Efendi Hasibuan, “Pendidikan Islam di Minangkabau: Pertumbuhan
Kelembagaan Surau Sejak Masa Awal Hingga Kebangkitan Perang Padri” dalam Samsul
Nizar, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual: Pendidikan Islam di Nusantara, (Jakarta:
Kencana, 2013), 7.
3
Menurut beberapa ahli, kata surau berasal dari India yang merupakan
suatu tempat yang digunakan sebagai pusat pengajaran dan pendidikan
agama Hindu-Buddha. Di Minangkabau, sewaktu pemerintahan
Aditiyawarman pada abad 14 M yang beragama Budha, ia mendirikan suatu
tempat penyembahan di dekat bukit Bombak. Di samping berfungsi sebagai
tempat peribadatan juga sebagai tempat berkumpul para pemuda untuk
mempelajari pengetahuan suci dan tempat untuk memecahkan masalah
masalah sosial. Setelah Islam masuk ke Nusantara, lembaga-lembaga
tersebut diadopsi dengan menukar sifat religiusnya dari Budha kepada
Islam.8
2. Perkembangan Surau
Sejarah Pendidikan Islam dimulai sejak agama Islam masuk ke
Indonesia kira-kira abad ke-12. Menurut sejarah, agama Islam masuk ke
Indonesia ke pulau Sumatra Utara (Aceh), lalu Sumatra Barat
(Minangkabau), berkembang ke Sulawesi, Ambon, dan sampai ke Filipina.
Kemudian tersiar ke pulau Jawa, Lampung, Palembang dan ke seluruh
kepulauan Indonesia.9
Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam.
Surau dalam system adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum
sebagai pelengkapan rumah gadang, dimana anak laki-laki tak punya kamar
di rumah orang tua mereka sehingga mereka diharuskan tidur di surau.
Kenyataan ini menyebabkan surau menjadi tempat amat penting bagi
pendewasaan generasi Minangkabau baik dari segi ilmu pengetahuan maupun
keterampilan praktis lainnya. Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan
Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting. Surau
diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Burhannuddin di Ulakan Parian. Pada
masa ini, eksistensi surau disamping sebagai tempat shalat juga digunakan
sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk).10
Sehingga pada akhirnya murid-murid Syekh Burhannuddin yang memainkan
peranan penting dalam pengembangan surau sebagai Lembaga Pendidikan
bagi generasi selanjutnya.
8
Muhammad Furqan, Jurnal Al-Ijtimaiyyah, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2019, 7.
9
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:Hidakarya
Agung,1985),11.
10
Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam….70
4
Beberapa masalah dialami oleh surau-surau di Minangkabau, praktek
tarekat yang dikembangkan oleh masing-masing surau lebih banyak muatan
mistisnya daripada syari’at. Gejala tersebut dapat diketahui, meskipun Islam
sudah dianut Masyarakat tetapi praktik mistik masih dilakukan. Melihat
kondisi masyarakat tersebut, Syekh Abdurrahman ulama dari Batu Hampar
berusaha menyadarkan umat dengan memberikan pemahaman mengenai
ajaran Islam dan menghilangkan praktik bid’ah khurafat. Untuk usaha
tersebut Syekh Abdurrahman mendirikan surau yang dikenal dengan nama
“Surau Dagang”.
Surau mulai mengalami surut perannya karena disebabkan beberapa
hal. Pertama, selama perang Padri banyak surau yang terbakar dan Syekh
banyak meninggal. Kedua, Belanda mulai memperkenalkan sekolah nigari.
Ketiga, kaum itelektual muda muslim mulai mendirikan madrasah sebagai
bentuk ketidak setujuan mereka terhadap praktik-praktik surau yeng penuh
dengan bid’ah.11
11
Yusutria, Rina Febriana, Robohnya Lembaga Pendidikan Surau, Jurnal
Kependidikan dan Keagamaan, Vol. 2. No. 1. 2018, 125-126
12
M. Athiyyah Al-Abrasyi, Al-Tarbiyyah al-Islamiyah, (Cairo: Darul Ulum), tt, 65.
5
Surau kecil kurang lebih sama dengan surau keluarga atau sedikit lebih
luas dari itu, yang umumnya dikenal sebagai surau mangaji (surau tempat
belajar membaca Al-Quran dan melakukan shalat). Surau kategori ini lebih
kurang sama dengan "langgar" atau mushalla. Jenis surau seperti ini biasanya
hanya mempunyai seorang guru yang sekaligus bertindak sebagai imam
surau.Sedangkan urau sedang dan besar dengan sengaja didirikan untuk
tempat Pendidikan agama dalam pengertian lebih luas. Dengan kata lain,
surau sedang dan surau besar tidak sekadar berfungsi sebagai rumah ibadah
seperti yang dilakukan surau mangaji, tetapi yang lebih penting, sebagai
pusat pendidikan agama di mana ajaran Islam yang lebih luas dalam berbagai
aspeknya diajarkan kepada murid-murid.13
2. Klasifikasi surau berdasarkan fungsinya
Surau dipandang berdasarkan fungsinya terdiri dari:
a. Surau Nagari
Surau nagari merupakan institusi agama di samping masjid yang
menjadi persyaratan sebuah nagari.
b. Surau Suku.
Surau suku adalah tempat penghulu/ninik mamak suku dalam
pembinaan sopan santun anak kemenakan, maka oleh sebab itu surau suku
merupakan simbol budi.
c. Surau Paham Keagamaan.
Surau paham keagamaan, berbentuk pusat pengajaran dan ibadat
suatu paham tarekat, missal surau Pasia Lubuk Nyiur, Surau Tanjung
Limau Sundai, Surau Nyaman Taluk dengan ulamanya adalah surau
tarekat yang amat berpengaruh.
3. Kepemimpinan dalam system Pendidikan surau
Tuanku Syekh adalah personifikasi dari surau itu sendiri. Karena itu,
prestise surau banyak bergantung pada pengetahuan, kesalehan, dan karisma
Tuanku Syekh. Tidak mengherankan bahwa surau yang terkenal dapat
merosot dengan cepat atau sirna seketika setelah meninggalnya Tuanku
Syekh, terutama jika tidak ada seorang anak laki-laki atau menantu laki-laki
yang cukup kompeten untuk meneruskan kepemimpinannya atau cukup
beruntung menerima aura Tuanku Syekh.
Tuanku Syekh tidak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sekaligus
sebagai pemimpin spiritual mereka yang ingin mengintensifkan ibadah-nya.
Ia merupakan seorang ahli dalam ilmuilmu esoterik dan ilahiah, dan menjadi
penghubung antara para penyembah dengan Tuhan. Kepatuhan mutlak
kepadanya merupakan syarat mutlak ke arah pencapaian pengetahuan
tertinggi.14
13
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi …,77-78.
14
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia…., 59.
6
Guru atau Syekh yang mengajar hanya karena Allah semata, tidak
mengharapkan upah/gaji atau honorium. Mereka hanya mendapat pembagian
zakat padi atau zakat fitrah sekali setahun, terutama dari murid-muridnya dan
orang-orang di sekeliling kampung. Mereka juga memperoleh sedekah di
bulan baik. Ada juga yang memperoleh penghasilan dari hasil sawahnya
serta hasil ikan tebat di sekitar suraunya. Namun, keikhlasan Syekh yang
mengajar patut diteladani.
Akan tetapi di sisi lain, pada surau-surau tertentu yang tidak memiliki
sumber ekonomi cukup membuat kehidupan sebagian mereka "tergantung"
dari "pemberian" orang lain. Bahkan tidak jarang di antara murid-murid
berkeliling di kampung sambil membawa bungkusan sebagai tempat beras
atau bahan pokok lainnya dari masyarakat. Artinya, secara duniawi mereka
kurang kreatif, bahkan tidak merasa rishi ketika "meminta-minta" dari
masyarakat, padahal Islam mengajarkan "lebih baik tangan di atas dari pada
tangan di bawah".
15
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), 23.
7
pesantren dan madrasah di seluruh dunia Islam yang menganut madhab Syafi’i.
Murid yang telah menamatkan kitab al-Minhaj dan ilmu Fiqh meneruskan
pelajarannya dengan mengaji pada ilmu Tafsir dengan mempelajari Kitab Tafsir
al-Jalalain. Pada tingkat pengajian kitab, pelajaran disampaikan dengan sistem
halaqah dimana murid duduk berlingkaran menghadap syeikh. Syeikh
mengajarkan pengajian kitab tersebut dengan membaca matan kitab dalam
bahasa arab, kemudian menterjemahkannya kata demi kata, lalu barulah
diterangkan maksudnya. Sistem mengajar tersebut masih diikuti oleh guru-guru
agama sesudah tahun 1900, bahkan sampai sekarang.
Memasuki abad XIX, perkembangan literatur keagamaan ini semakin
banyak karena ditengarahi adanya kontak secara langsung antara ulama’-ulama’
Nusantara dengan ulama Timur Tengah. Maka dari sinilah sistem pendidikan
Islam mulai dirubah. Perbedaan yang nyata dalam masa perubahan yaitu dalam
mempelajari suatu ilmu tidak hanya menggunakan satu kitab saja untuk dikaji,
namun bermacam-macam kitab. Untuk ilmu Nahwu mempelajari kitab:
Ajrumiah, Asymawi, Syekh Khalid, Azhari, Qathrun Nada, Alfiah (Ibnu Aqil),
dan lainnya. Untuk ilmu Shorof mempelajari kitab: al-Kailani, Taftazani, dan
lainnya. Untuk ilmu Fiqh mempelajari kitab: Fathul Qarib, Fathul Mu’in, Iqnak,
Fathul Wahab, Mahalli, Waraqat, Jam’ul Jawami’, kadang-kadang juga kitab
Tuhfah dan Nihayah. Untuk ilmu Tafsir mempelajari kitab: Tafsir Jalālain,
Baiḍawi, Khazin, dan lainnya.16
Setelah murid-murid surau menamatkan seluruh kitab-kitab pada ilmu
Nahwu-Shorof, ilmu Fiqh, ilmu Tafsir, maka tingkatan selanjutnya juga
diajarkan ilmu Mantiq, ilmu Balaghah, dan ilmu Tasawuf dan sebagainya
dengan menggunakan kitab-kitab: Sullām, Idlāl-Mubham, Jauhar Maknun/
Talkhis, Ihya’ Ūlūmuddin, ilmu Ma’ani, Ilmu Badi’ dan lainnya.
16
Mahmud Yunus, op.cit., hal. 33-47
17
Silfia Hanani. Surau; met lokaI yang tercecer. (Bandung: Humaniora Utama Press
2002), 66.
18
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi …,70.
8
surau. Terkadang pembagian ini dilakukan berdasarkan tingkat kompetensi
murid, namun itu tidak kaku; seorang murid bisa saja pindah dari satu "tingkat"
ke "tingkat" lain yang mereka inginkan.
Metode utama yang digunakan dalam proses pengajaran adalah ceramah,
membaca, dan menghafal. Pelajaran diberikan syaikh kepada murid yang duduk
di atas lantai dengan membentuk formasi lingkaran. Metode ini disebut halaqoh,
dalam tradisi pesantren Jawa dikenal dengan metode bandongan.
Di smping itu, syeikh atau guru juga menggunakan metode sorogan
sebagaimana yang digunakan di lingkungan pesantren Jawa, yakni suatu metode
di mana seorang murid mengajukan sebuah kitab berbahasa Arab kepada
gurunya dan guru nlenjelaskan cara membaca dan menghafalnya. Bagi murid
yang sudah maju, guru juga memberikan penjelasan mengenai pnejemahan teks
dan tafsirnya.19 Dalam hal ini, tentu saja para syaikh tidak rnenggunakan metode
pembelajaran yang dapat merangsang mutid berpikir secara kritis
Pelajaran di surau selain disampaikan oleh syaikh, juga disampaikan oleh
murid yang sudah senior (guru tua), yang diangkat oleh syaikh. Murid yang
sudah mendapat pengakuan dari syaikh, diberikan tugas untuk memberikan
penjelasan lebih rinci mengenai suatu materi pelajaran dan mengawasi murid
dalam menghafal pelajaran yang telah diterimanya
Adapun materi pelajaran yang diajarkan sepenuhnya ditentukan oleh
syaikh. Materi ini disesuaikan dengan umur dan kemampuan masing-masing
murid. Apabila seorang murid sudah bisa membaca al-Qur'an, maka bahasa
Arab merupakan pelajaran yang penting untuk dipelajari. Karena seorang rnurid
tidak mungkin naik ke tingkat yang lebih tinggi, sebelum dia memahami bahasa
Arab yang menjadi bahasa setiap kitab yang akan dipelajari. Sehingga seorang
murid hams sungguh-sungguh untuk belajar; bahkan ada yang menghabiskan
waktu bertahun-tahun hanya sekedar untuk mempelajari bahasa Arab, sebelum
dia bisa rnempelajari pelajaran yang lain, seperti kajian syariat, yang biasanya
disebut fiqih. Sedangkan untuk murid yang sudah dewasa diberi peiajaran
tasawuf dan tarekat .20
Sementara itu, syaikh juga memberikan ilmu-ilmu praktis pada anak didik,
seperti ilmu silat, adat, dan ilmu yang erat kaitannya dengan bekal hidup mereka
di masa depan. Murid yang datang dari berbagai daerah diberikan kebebasan
untuk mengembangkan ilmu-ilmu adat yang mereka bawa dari daerahnya Hal
ini ikut mernpercepat terjadinya akulturasi budaya Minangkabau dengan
Islam.21
Namun kadang-kadang surau yang sederhana, dengan guru yang kurang
pandai dan tidak termasyhur, tidak memberikan pendidikan lebih lanjut
19
Azyumardi Azra. SURAU; pendidikan Islam tradisional dalam tramisi dan
mo&misasi. (Jakarta: Logos 2003), 99.
20
Silfia Hanani. Surau; met lokaI yang tercecer. ….., 17.
21
Azyumardi Azra. SURAU……, 77.
9
daripada sekedar belajar membaca al-Qur'an, karna keterbatasan ilmu yang
dirniliki oleh syaikh tersebut.22
Dalam pendidikan surau keilmuan seorang murid tidak ditentukm, oleh
ijazah, namun bedasarkan pengakuan dari pengamatan syaikh. Seorang mnrid
yang sudah memiliki ilmu yang cukup akan diberi kesempatan untuk
memberikan pelajaran kepada murid-murid yunior yang lainnya. Setelah betul-
betul menguasai keilmuan secara utuh, mereka akan kernbali ke daerah masing-
masing untuk mendirikan surau yang baru dan mengajarkan ilmu yang sudah
dipelajari.23 Di samping itu dalam sistem pendidikan surau tidak ada ketentuan
bahwa seorang murid hams mengikuti pelajaran sampai selesai di surau tertentu.
Para murid diberi kebebasan untuk pindah dari surau surau ke surau lain,
berdasarkan ilmu yang ingin dikuasainya.
Murid-murid seperti ini disebut oleh Azra dengan murid-murid peripatetik
(sama dengan murid-murid kurtab yang banyak dikenal di Timur Tengah).24
Untuk kondisi saat ini, seorang syaikh tidak akan melarang apabila ada di antara
para murid yang ingin belajar di sekolah formal. Sehingga di samping belajar di
surau, mereka juga belajar di sekolah formal. Hal ini akan menarnbah rasa
percaya diri dan keyakinan mereka terhadap masa depan.
Dalarn pengelolamnya, pendidikan surau tidak memiliki birokrasi formal
yang rumit sebagaimana yang terdapat pada pendidikan formal. Perrgaturan
pendidikan di surau lebih didasarkan pada hubungan personal para penghuni
surau itu sendiri; bukan pada kerumitan, dan formalitas birokrasi. Karenanya
untuk urusan disiplin, murid surau tidak begitu
menghiraukamya. Mereka bisa menikrnati kebebasan sebab aturan yang tetap
itu tidak dimiliki. Kalaupun ada di antara anak didik surau yang melanggar suatu
konvensi surau, paling-paling hanya akan diberi nasehat sebagai ganti hukuman.
Untuk itu kesadaran dari masing-masing inaividu murid surau sangat
diharapkan.
Dalam sistem pendidikan surau, syaikh merupakan personifikasi dari surau
itu sendiri. Oleh sebab itu prestise surau akan sangat ditentukan oleh
pengetahuan, kesalehm, dan kharisma dari syaikh yang mengajar di surau
tersebut. Suatu surau yang terkenal akan cepat merosot apabila tidak memiliki
guru yang berkompeten untuk mengajar. Padahal dalam belajar seorang murid
merasa perlu untuk mendapatkan berkah dari gurunya. Maksudnya, seorang
murid akan mendapatkan ilmunya dengan baik apabila sudah "dibukakan"
pikiran dan hatinya oleh sang Guru.
22
Steenbrink, K.A, Beberapa aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19. (Jakarta:
Bulan Bintang. 1984), 152.
23
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia…., 10.
24
Azyumardi Azra. SURAU……, 97.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adanya proses penyebaran Islam di Indonesia bersamaan dengan proses
penyebaran Islam di pantai Barat sumatera yaitu oleh Aceh pada akhir abad ke-
16 M dan pada awal abad ke-17 M. Pada waktu itu, pusat-pusat perdagangan
dikuasai oleh Aceh dan menjadi perantara pengaruh masuknya Islam di
Minangkabau. Kerajaan Aceh yang berkuasa pada saat itu membawa misi
politik juga membawa misi agama. Kemudian seorang ulama sufi ia adalah
Syekh Burhanuddin berkunjung ke Pariaman daerah Minangkabau, dengan
kedatangan sufi ini mulai mempengaruhi kehidupan tradisional masyarakat
Minangkabau yang masih awam dengan Islam. Kemudian Syekh Burhanuddin,
murid Syekh Abdurrauf Al-Singkili dari Aceh datang dan bermukim di Ulakan
Pariaman. Kemudian Syekh Burhanuddin ini menyiarkan agama Islam lebih
diarahkan dengan anak-anak yang masih dalam keadaan yang mudah
dipengaruhi dan mengajak bermain di halaman Surau yang didirikannya.
Baik surau, langgar maupun masjid hampir memiliki karakteristik yang
sama dimana mempunyai peranan sangat urgen tidak hanya sebagai tempat
ibadah, tetapi difungsikan sebagai pusat kegiatan pendidikan keislaman. Surau
atau langgar sebelumnya merupakan tempat belajar membaca dan menulis
semata-mata dan setelah tersebarnya Islam, kegunaannya pun bertambah luas
menjadi tempat menghafal al-Qur’an dan pelajaran agama Islam, tulis-menulis,
ilmu hitung, tata bahasa, dan juga kesenian.
Pendidikan awal surau yaitu mengajarkan huruf hijaiyyah dan membaca al-
Qur’an, maka kitab-kitab yang dipakai pada waktu itu adalah kitab alif ba ta
(yang kita kenal dengan iqra’), Juz’amma, kemudian mushaf al-Qur’an. Setelah
murid tamat mengaji al-Qur’an, mereka meneruskan pelajaran dengan
pengajian kitab yang terdiri dari beberapa ilmu yaitu ilmu Shorof-Nahwu, ilmu
Fiqh, Ilmu Tafsir, dan sebagainya.
Pendidikan surau menggunakan sistem pendidikan tradisional yang erat
kaitannya dengan muatan lokal. Pada masanya, jenis system pendidikan surau
telah mengisi kekosongan sistem pendidikan dalam masyarakat. Sedangkan
metode utama yang digunakan dalam proses pengajaran adalah ceramah,
membaca, dan menghafal. Pelajaran diberikan syaikh kepada murid yang duduk
di atas lantai dengan membentuk formasi lingkaran. Metode ini disebut halaqoh,
dalam tradisi pesantren Jawa dikenal dengan metode bandongan
B. Saran
Dengan adanya makalh ini semoga banyak dari pembaca untuk
mempelajari atau mencari bahan pertimbangan lain. Kami menerima segala
kritik dan saran demi peningkatan mutu makalah kami.
11
DAFTAR PUSTAKA