Anda di halaman 1dari 206

SAMSU

Samsu
Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan

learning

apportunities

experiencewarren
work
put

effctive leader energy

leadership
things

better
good job
just

great

group consistent development


leader winning
leading

key One
make Get Many

PUSAKA PUSAKA
MANAJEMEN DAN
KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

YXWUXWZ
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta Pasal 2


Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pengarang Hak
Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul
secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pem-
batasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 27


Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan seba-
gaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/
atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah); atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
5.000.000,000,00 (lima miliar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pendahuluan iii

SAMSU

Manajemen dan
Kepemimpinan Pendidikan

Kata Pengantar Tokoh


Prof. Dr. H. Mukhtar, M.Pd
(Direktur PPs IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi)
iv Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan


© nopember 2014

oleh: Samsu

Hak cipta dilindungi undang-undang


All rights reserved

Diterbitkan oleh:
Pusat Studi Agama dan Kemasyarakatan (PUSAKA) Jambi
PUSAKA Jambi adalah organisasi yang menampung aspirasi para
pemerhati agama dan kemasyarakatan melalui kajian dan kegiatan
yang terarah serta bercorak keilmuan dan sosial. PUSAKA Jambi
bergerak dalam bidang penelitian, penerbitan, dan pendidikan publik.
e-mail: pusakajambi@gmail.com,
www.pusakajambi.wordpress.com

Penyunting/editor: Rusmini
Layout & Desain cover: Murjoko

Cetakan I, Nopember 2014


xii + 193 halaman; 150 x 210 mm

ISBN: 978-602-1638-74-3
Pendahuluan v

Kata Pengantar
Direktur Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Manajemen dan kepemimpinan pendidikan merupakan isu sentral


dalam mengelola lembaga pendidikan yang profesional, namun da-
lam prakteknya, pengelolaan lembaga pendidikan dirasakan masih
belum mampu memenuhi harapan yang memuaskan, ini tidak lain
karena seringnya terjadi diferensiasi pemahaman terhadap bagaima-
na mengelola lembaga pendidikan dari perspektif managerialship
dan leadership yang baik, serta seringnya terjadi split personality
pemimpin dalam mengelola lembaga pendidikan tersebut. Padahal
manajemen dan kepemimpin pendidikan tidak boleh ada ’ruang
hampa’ dalam mengelola lembaga pendidikan yang tidak berada
pada pengawasan manajemen dan kepemimpinan.
Karya ilmiah dalam bentuk buku yang dilakukan oleh saudara
Samsu, M.Pd.I., Ph.D. ini merupakan suatu hal yang positif yang se-
harusnya berkembang di kalangan akademis, dalam mengembang-
kan pengetahuan dengan melibatkan diri dalam berbagai kegiatan
ilmiah, termasuk dalam dunia tulis menulis.
Di tengah memudarnya semangat untuk menulis, di samping
sulitnya menuangkan ide dan gagasan dalam bentuk karya ilmiah,
lahir sebuah buku di bidang manajemen dan kepemimpinan; yang
dapat digunakan sebagai referensi kuliah baik pada level S1, S2 mau-
pun S3 terutama terkait dengan program studi Manajemen Pendidi-
kan termasuk Manajemen Pendidikan Islam
Buku yang ditulis mengenai manajemen dan Kepemimpinan Pen-
didikan belum banyak ditulis oleh akademisi kita, padahal kebutuhan
tentang referensi di bidang manajemen dan kepemimpinan pendidi-
kan ini merupakan sebuah keniscayaan dan kebutuhan. Oleh karena
itu,kehadiran buku ini sangat penting dan bermakna bagi dunia aka-
demis.
Selaku Direktur Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi, saya mendorong kepada penulis untuk tetap menu-
lis demi kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada masa-
masa yang akan datang.

Jambi, 03 Oktober 2014


Direktur,

Prof. Dr. H. Mukhtar, M.Pd


Kata Pengantar
Penulis

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena dengan
taufik dan hidayah-Nya, penulis telah diberi kesempatan dan kekua-
tan, sehingga dapat menyelesaikan penulisan buku “Manajemen dan
Kepemimpinan Pendidikan” ini sebagai referensi bagi mahasiswa S1, S2
dan S3 di lingkungan STAIN/STAIS, IAIN, dan UIN.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
junjungan kita, Nabi Muhammad saw, yang telah berjasa besar da-
lam mereformasi kehidupan manusia di muka bumi ini dari alam
kemusyrikan, kebodohan, dan dekadensi moral ke alam yang terang
benderang yang diwarnai dengan ketauhidan, ilmu pengetahuan,
dan akhlak mulia.
Penulisan buku ini bertujuan untuk membantu memudahkan
mahasiswa STAIN/ STAIS, IAIN, dan UIN untuk mencapai pemaha-
man yang komprehensif mengenai manajemen dan kepemimpinan
pendidikan baik secara konsep, teori, maupun aplikasinya.
Terwujudnya buku ini adalah berkat bantuan dari semua
pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah ikut berpartisipasi dalam rangka mewujudkan buku ini, ser-
ta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada civitas akademika
khususnya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sulthan
Thaha Saifuddin Jambi, yang telah memberikan amanah untuk men-
gajarkan mata kuliah Kepemimpinan (Leadership) sebagai vak keahl-
ian penulis, sehingga memungkinkan lahirnya buku ini.
Semoga karya ini dapat bermanfaat kepada pembaca di lingkungan
STAIN/ STAIS, IAIN, dan UIN pada umumnya dan bermanfaat pula
bagi mahasiswa (S1, S2, dan S3) IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
pada khususnya , serta dapat menjadi salah satu bentuk pengabdian
kepada-Nya, aamin.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan
dalam penulisan buku ini, yang semata-mata merupakan kelemahan
dan kealpaan dari penulis sendiri. Untuk itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
buku ini ke depan. Hanya kepada Allah swt, sumber segala kebena-
ran dan kesempurnaan, penulis serahkan semuanya. Semoga buku
ini bermanfaat bagi diri penulis sendiri serta bagi siapa saja yang
membacanya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jambi, 8 Oktober 2014


Penulis,

S a m s u, M.Pd.I., Ph.D
Daftar Isi ix

Daftar Isi

Kata Pengantar Direktur PPs IAIN Sulthan Thaha Saifuddin .... v


Kata Pengantar Penulis ...................................................................... vii
Daftar Isi ............................................................................................ ix

Bab 1 Pendahuluan ............................................................................ 1


Bab 2 Sejarah Manajemen Pendidikan .......................................... 9
A. Pengertian Manajemen Pendidikan .................................... 9
B. Tugas/Kewajiban Manajemen Pendidikan.......................... 12
C. Sejarah Manajemen Pendidikan ........................................... 17
Bab 3 Teori Manajemen Pendidikan .............................................. 21
A. Konsep Dasar Kepemimpinan Pendidikan ....................... 21
B. Teori Manajemen Pendidikan ............................................... 28
C. Teori Kepemimpinan Pendidikan ........................................ 37
Bab 4 Konsep dan Teori Kepemimpinan ...................................... 39
A. Konsep Kepemimpinan ........................................................ 39
B. Teori-teori Kepemimpinan .................................................... 44
Bab 5 Faktor dan Tipe Kepemimpinan .......................................... 57
A. Faktor-faktor Kepemimpinan .............................................. 57
B. Tipe-tipe Kepemimpinan....................................................... 65
Bab 6 Keterampilan yang harus dimiliki oleh Pemimpin ......... 73
x Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

A. Keterampilan Konseptual ..................................................... 73


B. Keterampilan Manusiawi ...................................................... 74
C. Keterampilan Teknis .............................................................. 75
D. Keterampilan Bersikap Bijak ................................................ 75
Bab 7 Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan.................................. 77
A. Pengertian Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan ............ 77
B. Kepemimpinan Sebagai Suatu Gaya.................................... 79
C. Anggapan Tentang Gaya Kepemimpinan
Seorang Pemimpin ................................................................. 80
D. Mencari Gaya Kepemimpinan Yang Terbaik ..................... 82
E. Jenis-Jenis Gaya Kepemimpinan .......................................... 83
F. Beberapa Gaya Kepemimpinan ........................................... 84
Bab 8 Perilaku Organisasi Pendidikan .......................................... 103
A. Perilaku Antar Kelompok ..................................................... 103
B. Definisi Perilaku Antar Kelompok ....................................... 104
C. Dasar-dasar Perilaku Antar Kelompok ............................... 104
D. Tipe Interaksi Kelompok ...................................................... 106
E. Strategi Menata Perilaku Antar Kelompok ........................ 106
Bab 9 Kerjasama Dalam Organisasi ............................................... 109
A. Pengertian Kerjasama ............................................................ 109
B. Pentingnya Kerjasama dalam Manajemen .......................... 110
C. Prinsip-prinsip Kerja Kelompok .......................................... 113
D. Prinsip-prinsip Dinamika Kelompok .................................. 113
E. Implementasi Kehidupan Kelompok .................................. 115
Bab 10 Penghargaan (Reward) 117
A.Pengertian Sistem Reward ..................................................... 117
B. Kaitan Sistem Reward dengan Volume, Kualitas,
dan Besar-Kecilnya Tanggung Jawab Kerja......................... 122
C. Konsep Sistem Reward dan Kinerja Staf ............................ 126
D. Sistem Reward dan Kinerja Staf dalam Pandangan
Islam ......................................................................................... 145
Bab 11 Manajemen Konflik .............................................................. 155
Daftar Isi xi

A. Pengertian Konflik ................................................................. 155


B. Sebab-sebab Terjadinya Konflik .......................................... 159
C. Bentuk-bentuk Konflik .......................................................... 160
D. Dampak Konflik Terhadap Perilaku Kelompok ................ 163
E. Manajemen Konflik ............................................................... 165
F. Mengelola Konflik Antar Kelompok ................................... 167
Bab 12 Birokrasi Kepemimpinan Pendidikan .............................. 173
A. Pengertian Birokrasi ............................................................. 173
B. Hambatan Birokrasi .............................................................. 176
Bab 13 Kepemimpinan Pendidikan Transformasional .............. 179
A. Kepemimpinan Sebagai Isu Sentral ................................... 179
B. Arah Kepemimpinan Transformatif dalam
Pendidikan ............................................................................. 181

Daftar Pustaka .................................................................................... 183


Tentang Penulis .................................................................................. 191

YXWUXWZ
xii Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan
Pendahuluan 1

Bab 1
Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat


pada gilirannya turut memperkaya dan memperluas wahana ilmu
manajemen. Penemuan-penemuan baru dalam bentuk konsep-kon-
sep, prinsip-prinsip, dan macam-macam prosedur ternyata sangat
diperlukan untuk melaksanakan proses manajemen secara efektif.
Kemajuan ilmu dan teknologi tersebut terutama terpusat pada
ilmu-ilmu perilaku (behavioural sciences) yang memandang manu-
sia sebagai suatu yang memiliki serba kemungkinan. Ilmu ini bertitik
tolak pada hukum probabilitas. Manusia bukan suatu mesin yang
bersifat mekanistik, melainkan memiliki motivasi, ambisi, aspirasi,
kreativitas, dan berbagai potensi psikologis lainnya. Karena itu, ma-
nusia bertingkah laku berdasarkan situasi yang menuntut keluwe-
san dan adaptif. Konsep dan teori psikologi ini banyak, bahkan besar
pengaruhnya terhadap ilmu manajemen dan praktek manajemen da-
lam setiap organisasi dan kelembagaan yang ada dewasa ini.
2 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Berkaitan dengan kondisi ini, setiap pembicaraan tentang organisasi


tentu tidak akan terlepas dari aspek kepemimpinan. Kepemimpinan
merupakan masalah yang sangat penting dalam manajemen, dan
merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi presta-
si organisasi, karena kepemimpinan merupakan aktivitas yang uta-
ma untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa kepemimpinan, suatu
organisasi hanya merupakan kegaulan orang-orang dan mesin. Dan
setiap organisasi seyogyanya memiliki pemimpin.
Kepemimpinan memiliki peranan strategis dalam kerang-
ka manajemen. Sebab peranan seorang pemimpin pada dasarnya
merupakan serangkaian fungsi kepemimpinan. Sedangkan fungsi
kepemimpinan itu sendiri merupakan salah satu di antara peranan
manajer dalam kerangka untuk mempengaruhi bawahan atau pengi-
kutnya agar dengan penuh kemauan memberikan pengabdian dalam
mencapai tujuan organisasi, sesuai dengan kemampuan bawahan se-
cara maksimal.
Faktor penentu keberhasilan seorang pemimpin di antaranya
adalah “teknik kepemimpinan”, yaitu bagaimana seorang pemimpin
mampu menciptakan situasi sehingga menyebabkan orang yang
dipimpinnya timbul kesadarannya untuk melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh seorang pemimpin. Dengan kata lain, efektif atau
tidaknya seorang pemimpin tergantung bagaimana kemampuannya
dalam mengelola dan menerapkan pola kepemimpinannya sesuai
dengan situasi dan kondisi dalam organisasi tersebut.
Kepemimpinan yang berhasil memerlukan perilaku yang me-
nyatukan dan merangsang para pengikutnya untuk mencapai tujuan
yang ditetapkan dalam situasi tertentu. Ketiga unsur inilah, pemimpin,
pengikut, dan situasi, yang merupakan variabel-variabel yang berpen-
garuh satu sama lainnya dalam menentukan perilaku kepemimpi-
nan yang efektif. Dalam konteks ini, telah banyak dilakukan kegiatan
penelitian dan studi yang mempelajari tentang kepemimpinan ini,
dan pada akhirnya melahirkan berbagai teori kepemimpinan. Berba-
Pendahuluan 3

gai teori tentang kepemimpinan tersebut tentu memiliki perbedaan


sesuai dengan kondisi dan situasi yang diteliti. Dan masing-masing
teori memiliki kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu, seorang
pemimpin organisasi yang baik harus mengetahui teori-teori kepe-
mimpinan tersebut, dan mampu menganalisis bagaimana pola kepe-
mimpinan yang dapat diterapkan pada situasi organisasinya, sehing-
ga dapat mencapai keefektifan organisasi yang dipimpin.

Ideal

Real Hidden

Management
Management

Teoritic Implementation

Manajemen Pendidikan

Artinya, seorang pemimpin sangat perlu mempelajari tentang teori-


teori kepemimpinan ini, dan tentunya tidak ada satu pola kepemimpi-
nan saja yang paling baik. Seorang pemimpin harus mampu menen-
tukan pola kepemimpinannya yang dapat meningkatkan efektivitas
dan efisiensi organisasi yang dipimpinnya.
Berbicara tentang kepemimpinan tentu tidak terlepas dari aspek
manajemen. Suatu pandangan yang bersifat lebih umum menyatakan
bahwa manajemen adalah proses mengintegrasikan sumber-sumber
yang tidak berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan
4 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

suatu tujuan.1 Artinya, manajemen merupakan suatu kepedulian un-


tuk mengaplikasikan tujuan atau sasaran organisasi.
Dalam membicarakan tentang manajemen, ada empat istilah
yang sering digunakan dalam memberikan pengertian tentang mana-
jemen, yaitu proses, seni, manusia, dan tujuan.
Kata proses menunjukkan bahwa manajemen adalah cara kerja
yang sistematik pada suatu lembaga dalam melakukan atau menye-
lesaikan sesuatu yang harus dikerjakan. Artinya, manajemen melihat
lembaga sebagai suatu gugus kerja yang terdiri dari satuan-satuan
kerja yang dalam melakukan kegiatannya harus saling berhubungan
dan siap menerima hal-hal yang dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi kerja lembaga.
Kata seni menunjukkan bahwa manajemen merupakan suatu kemam-
puan khusus yang dimiliki oleh seseorang dalam memainkan suatu
peran yang berfungsi sebagai panutan dalam lingkungan tertentu,
baik dalam berperilaku maupun dalam bekerja.
Kata manusia menunjukkan bahwa manajemen melibatkan
manusia dalam bekerja, baik sebagai individu maupun kelompok.
Karena suatu organisasi dibentuk pada dasarnya disebabkan karena
adanya kepentingan manusia di dalamnya. Karena itulah, manaje-
men merupakan bagian yang integral dari kehidupan manusia dan
semua yang ada di dalamnya adalah untuk menjawab kepentingan
manusia.
Kata tujuan menunjukkan bahwa dalam manajemen ada sesuatu
yang ingin dicapai, karena tanpa adanya tujuan yang pasti, maka ber-
bagai hal tentu dapat terjadi, baik hal-hal yang diinginkan maupun
yang tidak diinginkan.
Karena di dalam proses manajemen ini, manajer atau pemimpin
melibatkan adanya fungsi-fungsi pokok manajemen, baik berupa
perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan pengawasan.

1 Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina Aksara, 1988).


Pendahuluan 5

Dengan demikian manajemen dapat diartikan sebagai suatu proses


merencanakan, mengorganisasikan, dan memimpin, serta mengen-
dalikan kegiatan suatu organisasi dengan segala aspeknya dalam
rangka untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien.
Menurut Henry Fayol, ada lima fungsi manajemen, yaitu seba-
gai berikut:
1. Perencanaan, yaitu menentukan suatu cara dalam bertindak
yang memungkinkan suatu organisasi dapat mencapai tujuan
yang telah ditetapkan.
2. Pengomandoan, yaitu memberikan pengarahan kepada kary-
awan dan mengupayakan serta memberdayakan mereka dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya.
3. Pengorganisasian, yaitu memobilisasi atau menggerakkan ber-
bagai sumber daya yang ada dalam suatu organisasi, sehing-
ga dapat menjalankan rencana-rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya.
4. Pengkoordinasian, yaitu memastikan bahwa berbagai sumber
daya dan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi tersebut te-
lah berjalan secara serasi dalam upaya mencapai tujuan yang
diinginkan oleh organisasi tersebut.
5. Pengendalian, yaitu upaya memantau rencana-rencana yang
telah dijalankan dalam rangka memastikan bahwa rencana-ren-
cana tersebut telah dilaksanakan secara benar dan tepat.
Berdasarkan fungsi-fungsi manajemen inilah, manajemen organisasi
pun harus dapat dikelola dengan baik untuk mewujudkan organisasi
yang berprestasi, melalui pendayagunaan fungsi-fungsi manajemen
yaitu meliputi perencanaan (planning), pengorganisasian (organiz-
ing), pelaksanaan (actuating), pengkoordinasian (coordinating), dan
pengontrolan (controlling).
Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajerial yang me-
liputi proses pengambilan keputusan mengenai apa yang akan di-
lakukan oleh organisasi di masa yang akan datang untuk mencapai
6 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Perencanaan suatu


organisasi berarti menentukan tujuan yang harus dicapai oleh organ-
isasi tersebut, dengan menentukan program prioritas, dan menentu-
kan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk mencapai tujuan,
menentukan tenaga dan biaya yang diperlukan untuk mencapai tu-
juan yang telah ditentukan sebelumnya.
Pengorganisasian merupakan suatu proses dalam mengelom-
pokkan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, wewenang dan tanggung
jawab, sehingga secara bersama-sama dapat berupaya mencapai tu-
juan yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan sebelumnya.
Pengorganisasian ini sebaiknya dirancang secara dinamis dengan
memperhatikan faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan
tantangan dari organisasi tersebut.
Setelah perencanaan dan pengorganisasian dirancang dengan
sebaik-baiknya, maka selanjutnya perlu dilaksanakan operasional-
isasinya agar dapat mencapai tujuan organisasi yang telah ditetap-
kan. Dalam pelaksanaannya ini, harus pula diidentifikasi hambatan
dan peluang yang mungkin ada, dengan mengidentifikasi hambatan
tersebut, diupayakan untuk mencari solusi pemecahan sehingga
dengan demikian dapat menjamin keberhasilan pelaksanaan rencana
yang telah ditetapkan tersebut dalam upaya mewujudkan organisasi
yang berkualitas.
Pengkoordinasian merupakan upaya untuk menggalang kerja
sama di antara berbagai unsur yang terlibat dalam melaksanakan
rencana-rencana yang telah ditentukan untuk mewujudkan organ-
isasi yang berkualitas. Artinya, upaya ini bukan hanya merupakan
tanggung jawab pimpinan semata, tetapi juga merupakan tanggung
jawab semua komponen yang terlibat dalam organisasi tersebut, baik
tanggung jawab terhadap sumber daya fisik maupun sumber daya
manusia.
Setelah adanya perencanaan yang benar dan pelaksanaan yang
tepat dalam suatu organisasi, maka diperlukan adanya pengontrolan
Pendahuluan 7

atau pengawasan untuk menentukan apakah sasaran yang telah di-


tentukan, sudah dapat diwujudkan atau belum. Pengontrolan atau
pengawasan merupakan suatu proses untuk mengamati pelaksa-
naan kegiatan organisasi agar dapat menjamin bahwa tujuan atau
sasaran yang telah ditetapkan dapat atau telah dilaksanakan dengan
baik, dan di sisi lain, dapat mencegah terjadinya penyimpangan da-
lam pelaksanaan tersebut secara dini.
Sebenarnya, stiap pembicaraan tentang organisasi tentu tidak
akan terlepas dari aspek kepemimpinan. Kepemimpinan merupakan
masalah yang sangat penting dalam manajemen, dan merupakan fak-
tor yang sangat penting dalam mempengaruhi prestasi organisasi,
karena kepemimpinan merupakan aktivitas yang utama untuk men-
capai tujuan organisasi. Tanpa kepemimpinan, suatu organisasi han-
ya merupakan kegaulan orang-orang dan mesin. Karena itu, setiap
organisasi mesti memiliki seseorang atau beberapa orang pemimpin
yang akan menjalankan proses kepemimpinan suatu organisasi.
Kepemimpinan memiliki peranan strsategis dalam kerang-
ka manajemen. Sebab peranan seorang pemimpin pada dasarnya
merupakan serangkaian fungsi kepemimpinan. Sedangkan fungsi
kepemimpinan itu sendiri merupakan salah satu di antara peranan
manager dalam kerangka untuk mempengaruhi bawahan atau pengi-
kutnya agar dengan penuh kemauan memberikan pengabdian dalam
mencapai tujuan organisasi, sesuai dengan kemampuan bawahan se-
cara maksimal.
Faktor penentu keberhasilan seorang pemimpin di antaranya
adalah “teknik kepemimpinan”, yaitu bagaimana seorang pemimpin
mampu menciptakan situasi sehingga menyebabkan orang yang
dipimpinnya timbul kesadarannya untuk melaksanakan apa yang
dikehendaki oleh seorang pemimpin. Dengan kata lain, efektif atau
tidaknya seorang pemimpin tergantung bagaimana kemampuannya
dalam mengelola dan menerapkan pola kepemimpinannya sesuai
dengan situasi dan kondisi dalam organisasi tersebut.
8 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Kepemimpinan yang berhasil memerlukan perilaku yang menyatu-


kan dan merangsang para pengikutnya untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan dalam situasi tertentu. Ketiga unsur inilah, pemimpin,
pengikut, dan situasi, yang merupakan variabel-variabel yang berpen-
garuh satu sama lainnya dalam menentukan perilaku kepemimpinan
yang efektif.
Dalam konteks ini, telah banyak dilakukan kegiatan penelitian
dan studi yang mempelajari tentang kepemimpinan ini, dan pada
akhirnya melahirkan berbagai teori kepemimpinan. Berbagai teori
tentang kepemimpinan tersebut tentu memiliki perbedaan sesuai den-
gan kondisi dan situasi yang diteliti. Dan masing-masing teori memi-
liki kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu, seorang pemimpin
organisasi yang baik harus mengetahui teori-teori kepemimpinan
tersebut, dan mampu menganalisis bagaimana pola kepemimpinan
yang dapat diterapkan pada situasi organisasinya, sehingga dapat
mencapai keefektifan organisasi yang dipimpin.
Artinya, seorang pemimpin sangat perlu mempelajari tentang
teori-teori kepemimpinan ini, dan tentunya tidak ada satu pola
kepemimpinan saja yang paling baik. Seorang pemimpin harus
mampu menentukan pola kepemimpinannya yang dapat meningkat-
kan efektivitas dan efisiensi organisasi yang dipimpinnya.

YXWUXWZ
Sejarah Manajemen Pendidikan 9

Bab 2
Sejarah Manajemen Pendidikan

A. Pengertian Manajemen Pendidikan


Menurut Hasibuan1, kata manajemen berasal dari kata ”to manage”
yang artinya mengatur. Pengaturan dilakukan melalui proses dan di-
atur berdasarkan urutan dari fungsi-fungsi manajemen itu. Jadi ma-
najemen merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan yang
diinginkan. Karena manajemen diartikan ”mengatur” maka timbul
beberapa pertanyaan bagi kita, yaitu (1) apa yang diatur, (2) kenapa
harus diatur, (3) siapa yang mengatur, (4) bagaimana mengaturnya,
dan (5) di mana harus diatur.
(1) Apa yang diatur
Yang diatur adalah semua unsur manajemen yang terdiri dari
man, money, method, materials, machines dan market (disingkat 6 M)

1 Malayu S.P.Hasibuan, Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan


Produktivitas, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, p. 1.
10 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

dan semua aktivitas yang ditimbulkannya dalam proses manaje-


men itu.
(2) Kenapa harus diatur
Pengaturan dilakukan agar 6 M itu lebih berdaya guna, berhasil
guna, terintegrasi dan terkoordinir dalam mencapai tujuan yang
optimal.
(3) Siapa yang mengatur
Yang mengatur adalah pemimpin dengan wewenang kepemimpi-
nannya melalui instruksi dan atau persuasif, sehingga 6 M dan
semua proses manajemen tertuju serta terarah kepada tujuan
yang diinginkannya.
(4) Bagaimana mengaturnya
Cara mengaturnya yaitu melalui proses dari urutan fungsi-fung-
si manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengara-
han, dan pengendalian (planning, organizing, directing and control-
ling).
(5) Di mana harus diatur
Tempat pengaturannya adalah dalam sesuatu organisasi seperti
sekolah/madrasah atau perguruan tinggi (Universitas, Institut,
Sekolah Tinggi, Akademi), karena organisasi merupakan alat
dan wadah (tempat) untuk mengatur 6 M dan semua aktivitas
proses manajemen dalam mencapai tujuannya.
Tegasnya menurut Hasibuan2 pengaturan hanya dapat dilakukan di
dalam suatu organisasi (wadah/tempat), sebab dalam wadah (organ-
isasi) inilah tempat kerjasama, proses manajemen, pembagian kerja,
delegation of authority, koordinasi, integrasi dilakukan untuk menca-
pai tujuan yang ingin dicapai. Perlu dihayati bahwa manajemen dan
organisasi bukan tujuan, tetapi hanya alat untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Karena tujuan yang ingin dicapai adalah pelayanan (non-

2 Malayu S.P.Hasibuan, Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningkatan Produk-


tivitas, Jakarta: Bumi Aksara, 2005, p. 2.
Sejarah Manajemen Pendidikan 11

profit) dan atau laba (profit).


Menurut hemat penulis, manajemen pendidikan merupakan
organisasi yang menekankan pada tujuan yang bersifat pelayan-
an (non-profit). Dengan demikian, yang ingin dicapai, dituju serta
diberikan oleh organisasi pendidikan adalah pelayanan. Ini berarti
pelayanan dalam organisasi pendidikan mestilah dilakukan dengan
baik dan maksimal, karena memang stakeholder pendidikan menun-
tut pelayanan tersebut dengan maksimal. Dengan kata lain, organ-
isasi pendidikan yang dijual adalah jasa pendidikan (merit education)
bukan produk.
Dalam kaitan dengan manajemen, tidak ada satu definisi yang
secara umum diterima oleh pakar mengenai pengertian manajemen
pendidikan ini, hal ini disebabkan karena pengembangan manaje-
men pendidikan dipengaruhi oleh banyak disiplin seperti sosiolo-
gi, psikologi, politik, ekonomi, manajemen umum dan sebagainya.
Meskipun demikian, para pakar banyak yang memberikan definisi
yang ditekankan pada aspek dan pendekatan yang berbeda terhadap
manajemen pendidikan ini.
Tony Bush3 misalnya menjelaskan bahwa manajemen pendidi-
kan merupakan lapangan studi dan praktek yang berkenaan dengan
upaya menjalankan organisasi pendidikan, sementara Bolam (1999)4
mendefinisikan manajemen pendidikan sebagai fungsi eksekutif untuk
menjalankan kebijakan yang telah disetujui. Sedangkan menurut Sapre
(2002) menyatakan bahwa manajemen merupakan seperangkat ak-
tivitas yang dilakukan ke arah penggunaan sumber-sumber orga-
nisasi secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi.

3 Tony Bush, Theories of Educational Leadership and Management, 3rd Edition,


London: Sage Pulication, 2003, p. 1.
4 Bolam R,. 1999. Educational administration, leadership and management: To-
wards a research agenda’ in Bush, T., Bell,L., Bolam, R.,Glatter,R. and Rib-
bins, P. (eds) Educational management: Redefining theory, policy and practice,
London:Paul Chapman.
12 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Demikian juga Cambell, Bridges dan Nystrand (1977) berpendapat


bahwa manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk me-
nyelaraskan usaha di kalangan berbagai anggota untuk memenuhi
tujuan yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran. Tujuan
utama manajemen pendidikan adalah untuk memperbaiki atau me-
ninggikan taraf pendidikan dan pengajaran. Bagi Knezevich (1975)
sendiri menyatakan bahwa manajemen pendidikan merupakan
suatu proses sosial yang bersangkut paut dengan usaha mengenal,
menyelenggarakan, merangsang, mengawal dan menyatukan secara
formal, maupun tidak formal, kuasa-kuasa yang bercorak manusia
dan material ke dalam satu sistem yang kukuh dengan tujuan me-
menuhi sasaran (objectives) yang telah ditetapkan.

B. Tugas/Kewajiban Manajemen Pendidikan


Dalam pandangan Islam, tugas manajemen pendidikan sangat luas
meliputi antara lain 1) bagaimana pemimpin pendidikan diseleksi
dengan baik, sehingga siapapun pemimpin pendidikan yang dipilih
harus memiliki syarat-syarat menjadi pemimpin. Dalam konteks ini,
Al-Qur’an menjelaskan bahwa syarat menjadi pemimpin adalah al-
qawiyyu (kuat) dan al-amin (dipercaya/terpercaya)5, 2) tugas manaje-
men pendidikan adalah mendorong diri seorang pemimpin dan staf
yang ada untuk bekerja secara profesional (profesionalitas kerja)6,
tugas manajemen pendidikan harus mampu menampilkan sosok
pemimpin yang tahan uji untuk tidak melakukan yang terlarang da-
lam memimpin7, tugas manajemen pendidikan adalah memberi re-
ward/balas jasa kepada mereka yang melakukan kebajikan (bekerja
dengan profesional)8, tugas manajemen pendidikan adalah menun-

5 Qs. Al-Qashash: 26.


6 Qs. An-Nahl: 97.
7 Qs. Al-Baqarah: 124.
8 Qs. Al-Insaan: 5, Qs. Al-Insaan:22, dan Al-Qashash: 25
Sejarah Manajemen Pendidikan 13

jukkan bagaimana bersikap terhadap pemimpin yang tidak adil da-


lam bekerja9, tugas manajemen pendidikan adalah mempromosikan
pekerjaan kepada staf10, dan tugas manajemen pendidikan berikut-
nya adalah melakukan evaluasi (penilaian) atas pekerjaan yang di-
lakukan11. Apabila tugas manajemen pendidikan ini dihubungkan
dengan fungsi manajemen, maka akan kelihatan bahwa tugas pen-
didikan harus melakukan perencanaan (planning), pengelolaan (or-
ganizing), menggerakkan (actuating), dan pengawasan (controling)
dalam menjalankan pendidikan. Pemanfaatan manajemen dalam
pendidikan dengan ilmu manajemen pendidikan mengisyaratkan
bahwa tidak boleh ada sistem yang macet dalam mengelola pendidi-
kan, baik dari aspek pemimpin, staf, ataupun sistem dan prosedur
kerja yang dijalankan.
Dengan melakukan penyesuaian beberapa aspek, kewajiban manaje-
men pendidikan dalam pandangan Richard Nicholson (1989:37-39)12
menyatakan bahwa kewajiban profesional manajemen pendidikan
meliputi 1) higher education aims, 2) Appointment of staff 3) management
of staff 4) liaison with staff unions and associations 5) curriculum 6) review
7) standards of teaching and learning 8) appraisal, training and develop-
ment of staff 9) management information 10) pupil progress 11) governmen-
tal care 12) discipline 13) resources 14) premises 15) appraisal of headmaster
16) absence 17) teaching. Kewajiban profesional manajemen pendidi-
kan menurut Richard Nicholson tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Higher education aims
Kewajiban manajemen pendidikan yang pertama adalah beru-
pa kewajiban merumuskan tujuan dan sasaran organisasi dan kebi-

9 Qs. An-Nahl:126.
10 Qs. Al-Ahqaaf, jus, 46: 19
11 Qs. At-Taubah, jus, 9:105.
12 Richard Nicholson, School Management: The Role of the Secondary Head-
teacher, London: Kogan Page, 1989, p. 53
14 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

jakan untuk diimplementasikan di perguruan tinggi agar mampu


membawa organisasi pada situasi yang dikehendaki, untuk itu perlu
dibangun tujuan yang jelas dan terarah. Rumusan tujuan, sasaran
dan kebijakan organisasi mestilah diperhitungkan secara matang
dan rasional, sehingga memungkinkan untuk mencapainya.
2. Appointment of staff
Kewajiban manajemen pendidikan kedua adalah ikut berparti-
sipasi dalam melakukan seleksi dan penilaian pengajaran dan bukan
bersifat pengajaran seorang staf. Penilaian staf ini dilakukan untuk
meramalkan, merencanakan, penyeleksi, menempatkan serta mem-
pekerjakan staf dengan standar kerja yang diinginkan. Dengan pe-
nilaian staf, maka ada upaya menetapkan standar serta pemanfaatan
staf dengan maksimal untuk mewujudkan tugas manajemen pen-
didikan secara lebih berkualitas. Tidak lain tujuannya adalah untuk
melahirkan kinerja organisasi yang berkualitas.
3. Management of staff
Kewajiban manajemen pendidikan kedua adalah untuk penye-
baran (deploying) dan pengelolaan staf, serta mengalokasikan secara
khusus kepada staf (meliputi kewajiban pimpinan yang mendel-
egasikan kewajiban kepada anggota staf yang lain) dalam hal kon-
sistensi dengan kondisi pekerja mereka, menyediakan keseimbangan
yang masuk akal bagi masing-masing staf antara pekerjaan yang di-
lakukan dalam organisasi dan pekerjaan yang dilakukan di luar.
4. Liaison with staff unions and associations
Kewajiban manajemen pendidikan yang keempat adalah me-
melihara (maintaining) hubungan dengan asosiasi dan persatuan
yang ada pada bawahan.
5. Curriculum
Kewajiban manajemen pendidikan yang kelima adalah menen-
tukan, mengorganisasi dan mengimplementasikan suatu kurikulum
yang memadai untuk perguruan tinggi sesuai dengan kebutuhan,
pengalaman, minat (interest), sikap dan tahapan (stage) pengemban-
Sejarah Manajemen Pendidikan 15

gan peserta didik (mahasiswa) dan sumber-sumber yang tersedia di


perguruan tinggi.
6. Review
Kewajiban manajemen pendidikan yang keenam adalah menu-
las (review) pekerjaan dan lembaga perguruan tinggi.
7. Standards of teaching and learning
Kewajiban manajemen pendidikan yang ketujuh adalah men-
gevaluasi standar pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi,
dan memastikan bahwa standar yang memadai bagi kinerja profe-
sional adalah terbangun (established) dan tersedia (maintened).
8. Appraisal, training and development of staff
Kewajiban manajemen pendidikan yang kedelapan adalah a)
mensupervisi dan berpartisipasi dalam susunan dalam suatu kerang-
ka (framework) nasional yang disetujui untuk penilaian kinerja dosen
yang mengajar di perguruan tinggi, b) memastikan bahwa semua staf
dosen di perguruan tinggi memiliki akses untuk dinasehati dan di-
latih sesuai dengan kebutuhan mereka menurut kebijakan menyedia-
kan (maintaining) kekuasaan (authority) untuk pengembangan diri.
9. Management information
Kewajiban manajemen pendidikan yang kesembilan adalah mem-
berikan atau menyediakan informasi tentang pekerjaan dan kinerja
yang dilakukan oleh staf di perguruan tinggi di mana hal ini relevan
dengan pengembangan masa depan mereka.
10. Student progress
Kewajiban manajemen pendidikan yang kesepuluh adalah
memastikan bahwa kemajuan peserta didik adalah dimonitor dan
direkam (dicatat).
11. Governmental care
Kewajiban manajemen pendidikan yang kesebelas adalah me-
nentukan dan memastikan implementasi kebijakan pemerintah terh-
adap kesejahteraan (hak-hak) peserta didik.
12. Discipline
16 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Kewajiban manajemen pendidikan yang keduabelas adalah


menentukan pernyataan (statement) mengenai prinsip umum yang
diberikan/diberlakukan pada perguruan tinggi.
13. Resources
Kewajiban manajemen pendidikan ketigabelas adalah menga-
lokasikan, mengawasi dan menghitung sumber-sumber keuangan
dan material perguruan tinggi yang berada di bawah kekuasaan/
kendali pimpinan.
14. Premises
Kewajiban manajemen pendidikan keempatbelas adalah mem-
buat langkah-langkah atau kebijakan yang harus dilakukan untuk
dilaksanakan di perguruan tinggi.
15. Appraisal of leader
Kewajiban manajemen pendidikan yang kelima belas adalah
berpartisipasi (participating) dalam beberapa program yang ditetap-
kan secara nasional yang disetujui untuk penilaian kinerjanya seba-
gai pemimpin (leader).
16. Absence
Kewajiban manajemen pendidikan yang keenam belas adalah
mendelegasikan kewenangan sebagai pemimpin kepada pemimpin
lainnya (bawahan) sesuai dengan asumsi tanggungjawab (responsi-
bility) untuk menggantikan posisi/fungsinya sebagai pimpinan da-
lam suatu waktu ketika pimpinan tidak berada (absent) dari lembaga
tersebut.
17. Teaching
Kewajiban manajemen pendidikan yang ketujuh belas adalah
melibatkan pengajaran yang luas dan terkait kewajibannya yang lain,
dalam pengajaran mahasiswa di fakultas, dengan kata lain menggan-
tikan dosen yang tidak hadir mengajar (absent) di kelas.
Dalam pelaksanan tugas manajemen pendidikan tersebut,
mestilah dilakukan oleh seorang pemimpin (leader/manager) yang
memiliki sikap, pemikiran dan tingkah laku positif terhadap organ-
Sejarah Manajemen Pendidikan 17

isasi pendidikan. Menurut Everal13 seorang pemimpin (leader/ man-


ager) yang memiliki sikap, pemikiran dan perilaku positif dan negatif
akan ditunjukkan dengan perilaku sebagai berikut:

The positive manager The negative manager


Acts Is a victim
Accepts responsibility Blames others
Is objective Is subjective
Listen and responds Reject suggestions
Proposes solutions Criticizes
Delegates Is incapable of delegation
Sees opportunities Sees threats
Has breadth of vision Is preoccupied with detail
Faces up to problems Conceals problems
Confronts source of prob- Talks about source of prob-
Learns Is taught
Has foresight Has hindsight

Gambar: Perilaku positif dan negatif manajemen,


Sumber: Everald, K.B & Morris G (1985), Effective School Management,
Paul Chapman Publishing Ltd.

C. Sejarah Manajemen Pendidikan


Dalam konteks manajemen pendidikan, ada beberapa kata yang
sering digunakan untuk membicarakan tentang manajemen pendi-
dikan, yaitu pemimpin (leader), manajer (manager), kepemimpinan
(leadership), manajemen (management) dan pendidikan (education).
Menurut John Adair14 kata pemimpin, manager, kepemimpinan dan

13 Everald, K.B & Morris G (1985), Effective School Management, Paul Chap-
man Publishing Ltd.
14 John Adair, Development Leaders: The Ten Key Principles, terj. Soedjono Tri-
mo, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, p. 4-5.
18 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

manajemen merupakan istilah baru. Istilah-istilah ini masuk ke dalam


perbendaharaan bahasa Inggris sekitar tiga atau empat abad yang
lalu. Istilah ini berakar dari kata Latin, Manus yang artinya sebuah
tangan. Induk kata manager dan manajemen adalah kata kerja. Dalam
bahasa Italia artinya ”merawat” atau ”mengelola” atau seekor kuda
perang. Kemudian prajurit-prajurit Inggris membawa istilah-istilah
itu yang diperolehnya dari sekolah-sekolah menunggang kuda di
Italia, dan istilah itu kemudian diterapkan mereka untuk mengelola
pasukan-pasukan di medan perang, mengolah pedang dan mengo-
lah kapal. Dalam abad ke-18 dan ke-19, istilah manager dan manaje-
men digunakan untuk pegawai yang diangkat oleh para entrepreneur
berubah menjadi pemilik bisnis mereka. Karena para entrepreneur be-
rubah menjadi pemilik perusahaan-perusahaan yang ”go public” agar
perusahaannya tetap berjalan, maka mereka mencari para manager
dengan karakteristik entrepreneur dan kepemimpinan, terutama pada
tingkat-tingkat yang lebih senior.
Lebih lanjut John Adair15 menjelaskan bahwa pengertian mana-
jemen sekarang ini adalah mengelola (to manage), dan kata manager
dipergunakan di Inggris pada abad ke-18 dan ke-19 dengan refer-
ensi para manager dan kata manager bawaaan di dunia industri, dan
perdagangan. Dalam batas-batas tertentu dipakai pula oleh lembaga
amal masyarakat, misalnya kerja dan sekolah-sekolah berasrama.
Pada saat ini manajemen memiliki banyak persamaan dengan masa
sekarang, yaitu diartikan sebagai sekumpulan orang yang bertang-
gung jawab atas jalannya roda bisnis, industri, dagang dan lembaga
sosial.
Dari pengertian ini dalam konteks kekinian, sejarah manajemen,
entrepreneur, dan manager masuk dalam dunia pendidikan, sehingga
menyebabkan lahirnya manajemen pendidikan sebagai upaya mem-

15 John Adair, Development Leaders: The Ten Key Principles, terj. Soedjono Tri-
mo, Jakarta: Bumi Aksara, 1993, p. 5.
Sejarah Manajemen Pendidikan 19

pertahankan pendidikan agar tetap survive dalam mempertahankan


misinya layaknya sebuah lembaga bisnis, yang sarat dengan persain-
gan, di samping untuk memberikan layanan terbaik kepada pelang-
gannya (customer satisfaction). Para pengelola lembaga pendidikan
kemudian mereka-reka bagaimana mengelola pendidikan dengan
baik melalui manajemen pendidikan ini. Komunitas pedidikan sepa-
kat bahwa hanya dengan manajemen pendidikan yang baik lembaga
pendidikan akan dikelola dengan baik pula. Pandangan demikian
menyebabkan tumbuhnya kajian secara teoritik dan aplikatif ten-
tang manajemen pendidikan dengan baik, meskipun tidak banyak
bahkan hampir tidak ditemukan referensi tentang kapan manajemen
pendidikan itu sendiri lahir di tanah air.

YXWUXWZ
20 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan
Teori Manajemen Pendidikan 21

Bab 3
Teori Manajemen Pendidikan

A. Konsep Dasar Kepemimpinan Pendidikan


Sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan khususnya ilmu ad-
ministrasi, maka dalam rangka perkembangan ilmu pengetahuan
tersebut, khususnya di bidang organisasi dan administrasi pendidi-
kan, maka kepemimpinan memiliki peranan penting dalam kerangka
manajemen. Sebab peranan seorang pemimpin pada dasarnya meru-
pakan penjabaran serangkaian fungsi kepemimpinan. Sedangkan
fungsi kepemimpinan itu sendiri sesungguhnya merupakan salah
satu di antara peranan pemimpin dalam rangka untuk mempengar-
uhi dalam bentuk ajakan atau himbauan kepada semua staf, baik se-
bagai bawahan, pengikut atau pekerja yang dipimpin dalam suatu
organisasi, tujuannya tidak lain agar dengan penuh kemauan semua
staf tersebut mampu dan mau memberikan pengabdiannya dalam
bentuk pikiran, tenaga, waktu, kesempatan dan peluang kepada or-
ganisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi pendidikan, ses-
22 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

uai dengan kemampuan para bawahan itu secara maksimal.

1) Kerangka Konsep.
Pelaksanaan manajemen pendidikan yang berlandaskan pada hirar-
ki dan struktur kepemimpinan yang sehat, tidak lain berangkat dari
penerapan filosofi (falsafah) kepemimpinannya yang dianut oleh
seorang pemimpin dengan berpegang pada teori-teori manajemen
pendidikan.
Nanang Fattah (2013)1 yang mengutip pendapat Shrode Dan
Voich (1986), menyatakan bahwa kerangka dasar manajemen meli-
puti : “philosophy, asumptions, principles, and theology, which are basic to
the study of any discipline of management”. Secara sederhana dikatakan
bahwa falsafah merupakan pandangan atau persepsi tentang kebe-
naran yang dikembangkan dari berpikir praktis.
Bagi seorang manajer, suatu teori tentang manajemen sangat
berfungsi dalam memecahkan masalah-masalah yang timbul. Karena
itu, falsafah, asumsi, prinsip-prinsip, suatu teori tentang manajemen
merupakan landasan manajerial yang harus dipahami dan dihayati
oleh manajer. Keterkaitan cara pandang tentang manajemen, falsa-
fah, asumsi, dan prinsip, serta teori-teori dijadikan dasar kegiatan
manajerial.
Secara sederhaha dapat dilihat pada diagram/skema konsep da-
sar manajemen menurut Nanang Fattah, 2013: 10 di bawah ini.

1 Fattah, Nanang, (2013). Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja


Rosdakarya, hal.9.
Teori Manajemen Pendidikan 23

Pandangan Tentang
Manajemen Sebagai
(Ilmu, Kiat/Seni dan Profesi)

Falsafah Manajemen
(Hakekat, Tujuan, Orang,
Kerja)

Teori- teori Manajemen Prinsip-prinsip Manajemen


(Teori Klasik, Neoklasik, Modern) (MBO, MBP, MBI, MIS)

Praktik Manajerial
1. Perencanaan (planning)
2. Pengorganisasian (organizing)
3. Pemimpin (leading)
4. Pengawasan(controling)

Sumber-sumber Daya
1. Manusia
2. Sarana
3. Biaya
4. Teknologi
5. Informasi

MUTU,
EFISIENSI,
RELEVANSI,
DAN KREATIVITAS

Sumber: (Nanang Fattah, 2013 : 10).

2. Deskripsi Konsep.
Berdasarkan diagram di atas, kerangka pengetahuan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a) Esensi Falsafah Manajemen.
Nanang Fattah (2013) menjelaskan bahwa setiap jenis pengeta-
huan termasuk pengetahuan manajemen mempunyai ciri-ciri yang
24 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistimologi) dan un-


tuk apa (aksiologi) pengetahuan manajemen tersebut disusun. Ketig-
anya berkaitan satu sama lain (sistem). Ontologi ilmu terkait dengan
epistimologi, dan epistimologi terkait dengan aksiologi dan seterus-
nya.
Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi itu, maka ba-
gaimana mengembangkan landasan epistimologi pada dasarnya
bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan mem-
perhitungkan aspek ontologi dan aksiologi. Demikian juga halnya
dengan masalah yang dihadapi epistimologi, yakni bagaimana me-
nyusun pengetahuan yang benar untuk menjadi masalah mengenai
dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan
dan mengendalikan peristiwa atau gejala yang muncul. Di dalam
pengetahuan manajemen, falsafah pada hakikatnya menyediakan
seperangkat pengetahuan (a body of related knowledge) untuk berpikir
efektif dalam memecahkan masalah-masalah manajemen. Ini meru-
pakan hakikat manajemen sebagai suatu disiplin ilmu dalam menga-
tasi masalah organisasi berdasarkan pendekatan yang intelek. Bagi
seorang manajer perlu pengetahuan tentang kebenaran manajemen,
asumsi yang telah diakui, dan nilai-nilai yang telah ditentukan. Pada
akhirnya semua itu akan memberikan kepuasan dalam melakukan
pendekatan yang sistematik dalam praktek manajerial.
b) Esensi Teori Manajemen.
Teori manajemen mempunyai peran (role) atau membantu
menjelaskan perilaku organisasi yang berkaitan dengan motivasi,
produktivitas, dan kepuasan (satisfaction). Karakteristik teori manaje-
men secara garis besar dapat dinyatakan :
1. Mengacu pada pengalaman empirik,
2. Adanya keterkaitan antara satu teori dengan teori lain,
3. Mengakui kemungkinan adanya penolakan.
Di dalam proses manajemen digambarkan fungsi-sungsi mana-
jemen secara umum (general) yang ditampilkan ke dalam perang-
Teori Manajemen Pendidikan 25

kat organisasi dan mulai dikenal sebagai teori manajemen klasik.


Menurut teori klasik pilar-pilar manajemen klasik terdiri dari 4 pilar,
yaitu : pembagian kerja, proses skalar fungsi-fungsi, struktur, rent-
ang pengawasan. Para ahli banyak yang mengatakan bahwa mana-
jemen belum mempunyai teori standar, tetapi sebagai pendekatan.
Karena itu teori seringkali dkatakan sebagai pendekatan manaje-
men secara klasik, pendekatan neoklasik, dan pendekatan modern.
Salah satu teori klasik yang tergolong paling tua adalah manajemen
ilmiah (scientific management theory) yang dipelopori oleh Henry
Fayol. Tergolong ke dalam teori klasik ini yaitu : tentang Studi Waktu
dan Gerak ((Gilbreth), Administrasi (Fayol) Birokrasi (Weber). Teori
Neoklasik seringkali dikaitkan dengan pendekatan perilaku, yaitu,
Teori Kebutuhan Manusia (Maslow), Teori X, Y (McGregor), Teori
Kepribadian, dan Organisasi (Chris Argyris). Selanjutnya teori mod-
ern yaitu General System theory (Barnard), Contingency pimpinan
situasional (Fiedler), Hubungan bagian dalam sistem dan lingkun-
gan (Ludwig von Bertalanffy).
Dengan berkembangnya aliran klasik, kemudian dikenal seba-
gai proses manajemen dan pendekatan operasional. Dengan nama
apapun, sebagian titik beratnya dan banyak perspektifnya dapat
ditelusuri kembali pada para pelopor klasik. Aliran klasik mengalami
evolusi. Aliran ini banyak menggunakan penelitian yang dihasilkan
oleh ilmu perilaku dan aliran ilmu manajemen, bahkan pendekatan
sistem dan pendekatan kontingensi yang terakhir.
c) Esensi Prinsip Manajemen
Pentingnya prinsip-prinsip dasar dalam praktik manajemen
antara lain :
• Menentukan cara/metode kerja;
• Pemilihan pekerja dan pengembangan keahliannya;
• Pemilihan prosedur kerja;
• Menentukan batas-batas tugas,
• Mempersiapkan dan membuat spesipikasi tugas,
26 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

• Melakukan pendidikan dan latihan;


• Menentukan sistem dan besarnya imblan.
Semuanya itu dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas,
efisiensi, dan produktivitas kerja. Dalam kaitannya dengan prinsip
dasar manajemen, Fayol mengemukakan sejumlah prinsip, yaitu :
pembagian kerja, kejelasan dalam wewenang dan tanggung jawab,
disiplin, kesatuan komando, kesatuan arah, lebih memprioritaskan
kepentingan umum/organisasi daripada kepentingan pribadi, pem-
berian kontra prestasi, sentralisasi, rantai skalar, tertib, pemeratan,
stabilitas dalam menjabat, inisiatif, dan semangat kelompok. Keem-
pat belas prinsip dasar tersebut dijadikan patokan dalam praktik
manajerial dalam melakukan manajemen yang berorientasi kepada
sasaran (Management by objectives (MBO), manajemen yang ber-
orientasi kepada orang (Management by People (MBP), manajemen
berorientasi kepada struktur (Management by Technique (MBT) dan
manajemen berdasarkan informasi (Management by Information
(MBI) atas Management Information System (MIS).
d) Kegiatan Praktik Manajerial.
Praktik manajerial adalah kegiatan yang dilakukan oleh mana-
jer. Apabila manajemen dipandang sebagai serangkaian kegiatan
atau proses, maka proses itu akan mencakup bagaimana cara meng-
koordinasikan dan mengintegrasikan berbagai sumber untuk men-
capai tujuan organisasi (produktivitas dan kepuasan) dengan meli-
batkan orang, teknik, informasi, dan struktur yang telah dirancang.
Kegiatan manajerial ini meliputi banyak aspek, namun aspek utama
dan sangat esensial yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), pemimpinan (leading), dan pengawasan (controling).
Para ahli manajemen memberikan pendapat yang beragam,
namun pada intinya mengandung kesamaan. Sebagai contoh keg-
iatan manajerial menurut Fayol (planning, organizing, comanding,
coordinating, dan controlling), GR Terry (planning, organizing, actu-
ating, controlling), LH Gullick (planning, organizing, stafing, direct-
Teori Manajemen Pendidikan 27

ing, coordinating, reporting, budgeting), Kontz O Donnlell (planning,


organizing, stafing, leading, controlling). Demikianlah perbedaan
kerangka berpikir tentang kegiatan-kegiatan manajerial.
e) Sumber Daya Pendidikan.
Banyak sumber daya manajemen yang terlibat dalam organisasi
atau lembaga-lembaga termasuk lembaga pendidikan, antara lain :
manusia, sarana dan prasarana, biaya, teknologi, dan informasi. Na-
mun demikian sumber daya yang paling penting dalam pendidikan
adalah sumber daya manusia. Bagaimana manajer menyediakan ten-
aga, bakat kreativitas, dan semangatnya bagi organisasi. Karena itu
tugas terpenting dari seorang manajer adalah menyeleksi, menem-
patkan, melatih dan mengembangkan sumber daya manusia. Perso-
alannya pengembangan sumber daya manusia mempunyai hubun-
gan yang positif dengan produktivitas dan pertumbuhan organisasi,
kepuasan kerja, kekuatan dan profesionalitas manajer.
Yang dimaksud dengan sumber daya manusia, menurut Shetty
dan Vernon B. Bucher (1985) terkandung aspek: kompetensi, keter-
ampilan/skill, kemampuan, sikap, perilaku, motivasi, dan komitmen.
Dalam pendidikan, jenis bumber daya berdasarkan ruang lingkup
keterlibatnnya ke dalam penyelenggaraan pendidikan dikelompok-
kan ke dalam SDM Pendidikan dalam madrasah/sekolah/madrasah
dan SDM pendidikan luar madrasah/sekolah/madrasah. Apabila
dilihat dari segi tugas pokoknya, dibedakan menurut tenaga teknis,
tenaga administratif dan tenaga penunjang. Selanjutnya dalam PP
38/1992 tentang Tenaga Kependidikan ditegaskan pengelompokan-
nya menjadi tenaga pendidik, (pembimbing, pengajar, pelatih), pen-
gelola, pengawas, laboran, teknis, sumber belajar, peneliti dan pen-
guji).
Persoalan pokok dalam pembinaan tenaga kependidikan ada-
lah pembinaan etos kerja. Etos kerja adalah sikap mental untuk
menghasilkan produk kerja yang baik, bermutu tinggi baik barang
28 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

maupun jasa. Menurut Mochtar Buchari2 ternyata etos kerja dipen-


garuhi oleh variabel sikap, pandangan, cara-cara, dan kebiasaan-
kebiasaan kerja yang ada pada seseorang, suatu kelompok, atau
bangsa. Pembinaan etos kerja ini merupakan bagian dari pembinaan
tata nilai (value system), dan dalam dunia pendidikan masalah ini
tidak cukup diperhatikan. Pada pengembangan mutu SDM ini yang
paling banyak dilakukan pembinaan keterampilan untuk melakukan
sesuatu yang nyata seperti keterampilan komputer, menjahit, akun-
tansi, dan sebagainya. Akan tetapi membentuk keinginan bagaimana
melakukan pekerjaan-pekerjaan itu sebaik-baiknya kurang diperha-
tikan. Tentunya hal ini hanya dapat terwujud jika kemampuan meng-
hasilkan sesuatu yang bermutu itu ditunjang oleh etos kerja, motivasi
tinggi untuk berprestasi. Bagaimana caranya memupuk etos kerja.
Salah satu usaha dengan menciptakan suasana kerja yang mengan-
tarkan perilaku karyawan/guru ke arah yang lebih produktif secara
langsung mengubah sikap, pandangan, harapan dan keterampilan,
keahlian yang lebih efektif yang sekarang sudah tidak sesuai dengan
tuntutan perkembangan zaman. Dan, ini tantangan para manajer,
pimpinan pendidikan3.

B. Teori Manajemen Pendidikan


Menurut Tony Bush4 apabila kita membicarakan tentang manajemen
pendidikan, maka tidak dapat dilepaskan dari membicarakan enam
teori manajemen pendidikan yang berbeda satu sama lain. Keenam
teori manajemen pendidikan tersebut adalah:

2 Mochtar Buchari dalam Kompas, 17 April 1993.


3 Nanang Fattah, (2004). Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
4 Tony Bush, Theories Educational Leadership and Management 3rd edition, Lon-
don: Sage Publication, 2003, p. 43.
Teori Manajemen Pendidikan 29

1. Teori Birokrasi (Bureaucracy)

Konsep birokrasi dihubungkan dengan penelitian seorang ahli sosi-


ologi Jerman; Max Weber. Ia menyatakan bahwa dalam organisasi
formal, birokrasi merupakan bentuk manajemen yang sangat efisien,
seperti ia nyatakan:
The purely bureaucratic type of administrative organization...is, from a tech-
nical point of view, capable of attaining the highest degree of efficiency and is in
this sense formally the most rational means of carrying out imperative control
over human beings. It is superior to any other form in precision, in stability, in
the stringency of its discipline, and in its reliability (Weber, 1989:16).

Dari pernyataan Weber ini menunjukkan bahwa secara teknis,


tipe birokratik secara murni berasal dari organisasi administrasi,
yaitu berupa kecakapan terhadap pencapaian tingkatan efisiensi
yang sangat tinggi dan dalam konteks formalnya sangat rasional
bermaksud melakukan pengawasan yang bersifat wajib (imperative)
terhadap manusia. Birokrasi merupakan keunggulan terhadap ben-
tuk lain dalam kebenaran (in precision), stabilitas, kekuatan mengikat
(stringency) dari disiplin dan reabilitasnya.
Tony Bus5 menguraikan bahwa dalam organisasi, birokrasi
menjelaskan organisasi formal dengan mencari efisiensi maksimum
melalui pendekatan rasional terhadap manajemen, yang ditandai se-
bagai berikut:
a) Birokrasi menekankan pentingnya struktur kekuasaan secara
hirarki (hierarchical authority structure) dengan rantai perintah
yang bersifat formal antara posisi yang berbeda dalam hirarki
tersebut. Struktur piramida ini didasarkan pada otoritas legal
(legal authority) yang sangat luas bagi pegawai (bawahan) yang
menempati dalam rantai perintah. Pemimpin organisasi ber-
tanggungjawab kepada bawahannya untuk memuaskan, akibat
pekerjaan yang dilakukannya. Dalam konteks pengajaran di

5 Tony Bush, Theories Educational Leadership and Management 3rd edition, Lon-
don: Sage Publication, 2003, p. 43.
30 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

institusi pendidikan, guru/ustadz bertanggung jawab kepada


kepala madrasah/ sekolah/madrasah, atau dosen bertanggung
jawab kepada dekan.
b) Secara umum pendekatan birokrasi menekankan pada orientasi
tujuan (goal orientation) organisasi. Lembaga pendidikan didedi-
kasikan kepada tujuan tersebut yang secara jelas dibuat (delin-
eated) oleh kepala madrasah/sekolah/madrasah pada puncak
piramida tersebut. Tujuan madrasah/sekolah/madrasah adalah
ditentukan secara luas oleh kepala madrasah/sekolah/madrasah
dan dibenarkan tanpa pertanyaan oleh bawahan (staff).
c) Model birokrasi menyarankan perlunya pembagian kerja (a divi-
sion of labour) dengan bawahan (staff) dengan spesialisasi pada
tugas khusus yang didasarkan pada keahlian.
d) Keputusan dan perilaku birokrasi tunduk pada aturan dan peng-
aturan (rules and regulations) daripada inisiatif pribadi. Madrasah/
sekolah/madrasah secara khusus memiliki aturan untuk men-
gatur perilaku murid dan sering membimbing perilaku guru
melalui aturan birokrasi seperti buku panduan guru (teacher/staff
handbook). Aturan-aturan ini mungkin memperluas inti masalah
pendidikan dan pengajaran.
e) Birokrasi menekankan pada hubungan impersonal antara bawa-
han (staff), dan klien. Netralitas ini dirancang untuk meminimal-
kan sumbangan (impact) individu dalam pengambilan keputu-
san. Madrasah/sekolah/madrasah yang baik tergantung pada
kualitas hubungan personal antara guru dan murid, dan aspek
birokrasi ini memiliki sedikit pengaruh pada banyak madrasah/
sekolah/madrasah.namun ketika bawahan (staff) dipersyaratkan
untuk membuat penilaian terhadap kepala madrasah/sekolah,
hal ini mungkin dipandang sebagai satu contoh birokrasi dalam
praktek.
f) Dalam birokrasi, rekruitmen dan kemajuan karir bawahan (staff)
ditentukan oleh merit. Penilaian dibuat untuk berdasarkan dasar
Teori Manajemen Pendidikan 31

kualifikasi dan pengalaman, dan promosi tergantung pada


keahlian yang ditunjukkan dalam waktu sekarang dan posisi
sebelumnya. Madrasah/sekolah memenuhi kriteria ini dalam
prosedur formal yang kompetitif diperuntukkan bagi penilaian
bawahan (staff) baru dan bagi beberapa posisi yang diajukan.
Bagaimanapun, promosi internal tergantung pada rekomendasi
kepala madrasah/sekolah/madrasah dan pada saat ini mungkin
tidak ada proses formal.

2. Teori Kolega (Collegiality)

Menurut Tony Bush (1995), kolega (collegiality) merupakan suatu


model yang atraktif bagi organisasi pendidikan, karena ia memberi-
kan partisipasi bagi para guru. Secara khusus, dalam keputusan ter-
sebut yang mempengaruhi kehidupan kerja mereka. Asumsi ini ada-
lah bahwa madrasah/sekolah menentukan kebijakan dan membuat
keputusan melalui proses diskusi yang mengarah pada kesepakatan
(consensus). Kekuatan dibagi antara beberapa atau semua anggota
organisasi yang dipikirkan untuk memperoleh kesalingpahaman
(mutual understanding) tentang tujuan madrasah/sekolah.
Dalam pandangan Tony Bush (2002), ada tiga argumen utama
dalam menyokong suatu pendekatan kolega ke arah manajemen ini,
yaitu:
a) Ada suatu bukti yang cukup bahwa guru ingin untuk dilibatkan
dalam pengambilan keputusan,
b) Kualitas pengambilan keputusan mungkin menjadi lebih baik
ketika pendidik berpartisipasi dalam proses tersebut. Keterli-
batan bawahan (staff) mengembangkan kuantum keahlian (ex-
pertise) membawa kepada dorongan masalah, meskipun waktu
yang dihabiskan dalam pertemuan mungkin memperpanjang
proses keputusan dan frustasi peserta (pengikut) tersebut (Bush,
1995).
32 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

c) Implementasi keputusan yang efektif adalah lebih mungkin jika


para guru ’sendiri’ menjadi outcomes melalui partisipasi mer-
eka.
Menurut Tony Bush (2002) keistimewaan utama dari collegial-
ity ini adalah a) collegiality mengasumsikan suatu kekuasaan keahl-
ian (authority of expertise) yang bertentangan dengan posisi kekuasaan
(authority) yang dihubungkan dengan birokrasi. Para guru memiliki
keahlian khusus seperti ahli dibidang mata pelajaran di samping
memiliki kompetensi umum sebagai pendidik yang profesional, b)
para guru memiliki perangkat nilai umum (common set of values) yang
terpancar dari sosialisasi yang terjadi selama latihan dan praktek
profesional. Nilai-nilai umum ini akan membawa kepada tujuan
yang diberikan, c) keputusan yang dicapai melalui proses diskusi di-
arahkan kepada konsensu. Keyakinan bahwa ada nilai umum dan
tujuan yang diberikan akan membawa kepada pandangan tersebut
yaitu sesuatu yang diinginkan dan dilihat (feasible) untuk dipecahkan
kembali melalui persetujuan (agreement) tersebut.

3. Teori Mikro-Politik (Micropolitics)

Menurut Bush (1995), konsep mikro-politik menunjukkan kepada


aktivitas yang bersifat politis yang ada dalam madrasah/sekolah.
Mikro-politik berlawanan dengan makro-politik yang berhubungan
dengan perdebatan dan ketidaksetujuan dalam proses pengambilan
keputusan yang lebih luas. Pendekatan yang bersifat mikro-politik
mengasumsikan bahwa kebijakan dan keputusan muncul melalui
suatu proses negoisasi dan bargaining. Kelompok yang tertarik untuk
mengembangkan dan membentuk aliansi dalam mengejar tujuan
kebijakan khusus. Konflik dipandang sebagai suatu fenomena dan
kekuatan alami yang menumbuhkan koalisi yang dominan melebihi
daripada wujud yang dipelihara dari seorang pemimpin formal.
Keistimewaan utama dari mikro-politik adalah sebagai berikut
Teori Manajemen Pendidikan 33

a) memfokuskan diri pada aktivitas kelompok (group activity) daripada


institusi secara keseluruhan. Dalam pendidikan, unit analisis utama
adalah bagian (departement) dan pendekatan bagiannya untuk peng-
ambilan keputusan, b) mikro-politik berkenaan dengan minat (inte-
rest) dan minat kelompok (interest group). Individu memiliki beragam
minat yang dikejar (ingin dicapai) dalam organisasi. Minat individu
mungkin membimbing ke arah kolaborasi dan formasi minat kelom-
pok, yang mungkin bersifat temporal atau tetap (enduring), c) mikro-
politik menekankan pengaruh konflik dalam organisasi. Individu dan
minat kelompok mengejar tujuan mereka yang berbeda, membawa
kepada konflik di antara mereka, d) keputusan muncul setelah pro-
ses kompleks bargaining dan negosiasi. Minat tersebut dipromosikan
dalam komite, dan selama pertemuan informal, dan perbedaan mun-
gkin dipisahkan hanya setelah tahapan panjang dan multi proses,
e) konsep kekuasaan (power) merupakan pusat mikro-politik. Proses
pengambilan keputusan mungkin untuk dipisahkan menurut keku-
asaan yang relatif dari pengikut. ’minat yang berbeda meningkatkan
konflik, visibel dan tidak visibel, yang dipisahkan atau ditetapkan
oleh beragam jenis permainan kekuasaan’(Morgan, 1986:148).

4. Teori Subyektif (Subjective Theories)

Teori subyektif (subjective theories) memberi fokus pada individu


dalam organisasi. Dalam teori ini, masing-masing orang diasumsi-
kan untuk memiliki persepsi yang subyektif dan unik dari organ-
isasi dengan perkara-perkara memiliki perbedaan pengertian bagi
masing-masing pengikut. Organisasi adalah digambarkan sebagai
manifestasi nilai dan kepercayaan individu, lebih daripada realitas
birokrasi yang kongkrit.
Teori subyektif menjadi menarik seperti hasil penelitian Green-
field (1973) yang sangat kritis terhadap teori birokrasi yang luas dan
konvensional, yaitu:
34 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Most theories of organization grossly simplify the nature of the reality with
which they deal. The drive to see the organization as a single kind of entity
with a life of its own apart from the perceptions and beliefs of those involved
in it blinds us to its complexity and the variety of organizations people create
around themselves (Greefield, 1973:571).

Keistimewaan utama teori subyektif adalah sebagai berikut a)


teori ini memfokuskan pada kepercayaan dan persepsi anggota indi-
vidu organisasi. Di madrasah/sekolah, guru secara individual, men-
dorong (support) bawahan dan murid memiliki nilai dan aspirasi
yang berbeda menurut latar belakang dan motivasi mereka masing-
masing, madrasah/sekolah tidak memiliki realitas yang sama bagi se-
mua pengikutnya, b) teori ini berkenaan dengan pengertian (meanings)
yang ditempatkan pada kajian oleh individu pengikut. Focus teori
ini adalah terletak pada interpretasi perilaku individu lebih daripada
situasi dan aksi mereka, c) teori ini menilai struktur (structure) secara
esensial dari suatu produk interaksi manusia daripada sebelum di-
tentukan atau ditetapkan, d) teori ini menekankan signifikansi tujuan
individu (individual purposes) dan menolak eksistensi tujuan organisasi
(Greenfield, 1973:553).

5. Teori Ambigu (Ambiguity Theories)

Teori ambigu menekankan ketidakpastian dan ketidak mampuan


untuk memprediksi dalam organisasi.penekanannya ketidakstabilan
dan kompleksitas kehidupan yang bersifat institusional. Pendekatan
teori ini mengasumsikan bahwa tujuan organisasi adalah bersifat
problematis dan kesulitan pengalaman institusi dalam melakukan
prioritasnya. March (1982) menjelaskan bahwa teori ambigu dikem-
bangkan untuk memberikan pandangan atau jalan yang terbaik un-
tuk menjelaskan lingkungan kompleksitas organisasi, seperti ia nya-
takan:
Theories of choice underestimate the confusion and complexity surrounding
actual decision making. Many things are happening at once; technologies are
Teori Manajemen Pendidikan 35

changing; problems, solutions, opportunities, ideas, people and outcomes are


mixed together in a way that makes their interpretation uncertain and their
connections unclear (March, 1982:36).

Menurut Tony Bush (2002:25-26) teori ambiguitas ini dapat


digambarkan sebagai berikut:
a) Ada suatu kelemahan dari kejelasan tentang tujuan (aims) suatu
organisasi. Mungkin tidak semuanya jelas apa tujuan madrasah/
sekolah. Perbedaan anggota madrasah/sekolah mungkin mema-
hami tujuan atau atribut prioritas yang berbeda untuk tujuan
yang sama, atau bahkan menjadi tidak mampu untuk mendefi-
nisikan yang mana yang memilikipengertian yang bersifat op-
erasional’ (Bell, 1989:134),
b) Organisasi dicirikan oleh fragmentasi dan loose coupling (Weick,
1976). Madrasah/sekolah dibagi ke dalam kelompok yang memi-
liki koherensi internal yang didasarkan kepada nilai dan tujuan
umum,
c) Struktur organisasi dipandang sebagai sesuatu yang problematik.
Ada sesuatu yang tiodak pasti atas kekuatan yang relatif dari
bagian institusi yang berbeda. Komite memiliki hak dan tang-
gung jawab yang tumpang tindih dengan yang lainnya dan
dengan kekuasaan ditandai untuk manajer individual. Struktur
yang lebih kompleks memiliki potensi yang lebih besar untuk
ambigu,
d) Ada partisipasi yang cair sebagai anggota yang bergerak di dalam
dan di luar situasi pengambilan keputusan. ’pengikut...beragam
di antara mereka sendiri dalam hal jumlah waktu yang mereka
curahkan terhadap organisasi; pengikut secara individu berag-
am dari waktu ke waktu’(Cohen dan March, 1986:114).

6. Teori Budaya Organisasi (Organisational Culture)

Menurut Beare dalam Tony Bush (2002:27) konsep budaya organisasi


36 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

menekankan aspek informal organisasi lebih dari elemen-elemen


pegawainnya. Konsep budaya organisasi ini memfokuskan pada
nilai, keyakinan dan norma orang dalam organisasi dan bagaimana
persepsi individu ini menyatu dan dibagi ke dalam pengertian or-
ganisasi. ’Pertambahan jumlah penulis...telah mengadopsi istilah
’budaya’ untuk mendefinisikan bahwa keunikan fenomenologi dan
sosial dari suatu masyarakat organisasi khusus’.
Keistimewaan utama dari budaya organisasi dapat dilihat seba-
gai berikut:
a) Fokus utama budaya organisasi terletak pada nilai (values) dan
keyakinan (beliefs) anggota organisasi. Nilai ini mengurangi peri-
laku dan sikap individu dalam madrasah/sekolah, tetapi mung-
kin tidak selalu eksplisit. ’Banyak keyakinan sesungguhnya
begitu dalam dilupakan bahkan individu tidak mengetahuinya
untuk apa mereka ada’ (Beare et.al, 1989:173),
b) Ada suatu asumsi bahwa nilai individu akan menyatu dan diar-
ahkan untuk membagi norma (norms) dan pengertian (meanings)
yang secara beraturan menjadi gambaran budaya madrasah/
sekolah, ’jalan kita melakukan sesuatu di sini’. Secara alternatif,
dan khusus dalam madrasah/sekolah yang besar, beberapa sub-
budaya mungkin berkembang, merefleksikan perbedaan sistem
nilai yang berbeda dari bagian (departement) atau sub-unit yang
lain.
c) Budaya secara menurut jenisnya diungkapkan melalui ritual
dan ceremonial yang digunakan untuk mendukung (support) dan
mengenang keyakinan serta norma-norma. Organisasi pendidi-
kan adalah kaya dengan simbol-simbol seperti rapat atau per-
temuan, pemberian hadiah, kesempatan ibadah dan ceremonial
lulusan.
d) Budaya mengasumsikan bahwa keberadaan pahlawan (heroes/
heroines) yang menubuhkan (membangun) nilai dan keyakinan
organisasi. Pahlawan ini mungkin berhasil dalam bidang olah-
Teori Manajemen Pendidikan 37

raga, musik, drama bisnis atau politik tetapi mereka membawa


pinjaman (credit) melalui pencapaian mereka.

C. Teori Kepemimpinan Pendidikan


Kepemimpinan pendidikan terdiri dari dua kata yaitu kepemimpi-
nan dan pendidikan. Istilah kepemimpinan berasal dari kata ”pim-
pin”. Dari akar kata “pimpin” ini kita mengenal kata ”memimpin”,
“pemimpin” dan “kepemimpinan”.
Nanang Fattah (2013) menyatakan bahwa pemimpin pada
hakekatnya adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan meng-
gunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan untuk menga-
rahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tu-
gas yang harus dilaksanakannya.
Sedangkan dalam Ensiklopedi Umum (hal.549) kata
“kepemimpinan” ditafsirkan sebagai hubungan yang erat antara se-
orang dan sekelompok manusia karena adanya kepentingan bersama;
hubungan itu ditandai oleh tingkah laku yang tertuju dan terbimbing
dari manusia yang seorang itu. Manusia atau orang ini biasanya dis-
ebut yang memimpin atau pemimpin, sedangkan kelompok manusia
yang mengikutinya disebut yang dipimpin.
Dalam Webster’s New World Dictionary of the American Language
dijelaskan bahwa kata kepemimpinan (leadership) sebagai the position
or guidance of a leader atau “the ability to lead”, dan kata leader adalah
“a person or thing that leads; directing, commanding, or guiding head, as a
group or activity”.

YXWUXWZ
38 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan
Teori Manajemen Pendidikan 39

Bab 4
Konsep dan Teori Kepemimpinan

A. Konsep Kepemimpinan
Ada beberapa konsep yang mendefinisikan kepemimpinan yang te-
lah dikemukakan oleh para ahli manajemen secara representatif, di
antaranya:
1. C. Turnay mendefinisikan kepemimpinan sebagai group proses
yang dilakukan oleh seseorang dalam memanaj dan mengin-
spirasikan sejumlah pekerjaan untuk mencapai tujuan organ-
isasi melalui aplikasi teknik-teknik manajemen.1

2. James M. Lipham mendefinisikan kepemimpinan sebagai pe-


rilaku seseorang yang menginisiatifkan suatu struktur baru
dalam berinteraksi pada suatu sistem sosial, baik mengenai

1 Turney, C., dkk., (1992). The School Manager. Australia: Allen and
Unwen, h. 47.
40 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

tujuan, sasaran, konfigurasi, prosedur-prosedur, input, proses,


dan output pada sistem sosial tersebut.2

3. Steven Altman mendefenisikan usaha-usahanya ke arah penca-


paian beberapa tujuan khusus.3

4. Stogdil mendefenisikan bahwa Leadership is the process of in-


fluencing group activities toward goal setting and goal achievement
(kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas
kelompok dalam rangka perumusan dan pencapaian tujuan).4

5. Arthur G. Jago mendefinisikan bahwa Leadership as both a pro-


cess and a property. As a process, leadership is the use of noncoercive
influence to direct and coordinate the activities of group members to-
ward goal accomplisment. As a property, leadership is the set of char-
acteristics attributed to those who are perceived to employ such influ-
ence successfully (kepemimpinan dapat mendefinisikan sebagai
suatu process dan property. Sebagai suatu proses, kepemimpinan
adalah mempengaruhi anggota group tanpa paksaan untuk
mengarahkan dan mengkordinir aktivitas-aktivitasnya dalam
rangka pencapain tujuan. Sebagai suatu property, kepemimpi-
nan adalah seperangkat karakteristik yang harus dimiliki oleh
seorang pemimimpin untuk mencapai suatu kesuksesan dalam
mempengaruhi anggota groupnya).5

Dari bebarapa defenisi mengenai kepemimpinan di atas, maka penu-


lis dapat menyimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu

2 Lipham, James M. (1994). The Principaliship: Fundations and Functions.


London: Harper and Row, h. 182.
3 Altman, Steven, (1985). Organizational Bahavior, Theori and Practice.
Plorida: Academic Press, h. 284.
4 Stogdil, (1974). Handbook of Leadership.
5 Arthur G. Jago, (1982). Leadership Perspectives in Theory and Research.
Konsep dan Teori Kepemimpinan 41

proses mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang dalam men-


gelola anggota kelompoknya untuk mencapai tujuan organisasi.
Proses mempengaruhi ini tentunya bukan dengan jalan paksaan,
tetapi bagaimana seorang pemmimpin itu mampu berinteriksi dan
menginspirasikan tugas kepada bawahannya dengan menerapkan
teknik-teknik tertentu sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu se-
hingga apa yang dituju dapat tercapai dengan sukses.
Kepemimpinan sebagai konsep manajemen seperti yang dike-
mukakan oleh Ralph M. Stogdil6 dapat dirumuskan ke dalam berba-
gai macam defenisi, tergantung dari mana titik tolak pemikirannya,
yaitu sebagai berikut:
1. Leadership as the art inducing compliance
2. Leadership as a form of persuation
3. Leadership as personality and its effects
4. Leadership as act and behavior
5. Leadership as a focus of group processes
6. Leadership as a power relation
7. Leadership as an instrument of goal achievement
8. Leadership as an effect of interaction
9. Leadership as a differentiated role
10. Leadership as the initiation of structure..
Masing-masing definisi ini dapat dikemukakan sebagai beri-
kut:
1. Kepemimpinan sebagai suatu seni untuk menciptakan kes-
esuaian paham
Ini berarti bahwa setiap pemimpin melalui kerja sama yang sebaik-
baiknya harus mampu membuat para bawahan mencapai hasil yang
telah ditetapkan. Peranan pemimpin memberikan dorongan terh-
adap bawahan untuk mengerjakan apa yang dikehendaki pemimpin.
Oleh karena itu, kepemimpinan adalah suatu seni bagaimana orang

6 Stogdil, (1974). Handbook of Leadership.


42 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

lain mengikuti serangkaian tindakan dalam mencapai tujuan.


2. Kepemimpinan sebagai suatu bentuk persuasi dan inspirasi
Kepemimpinan adalah suatu kemampuan mempengaruhi orang
lain yang dilakukan bukan melalui paksaan, melainkan melalui him-
bauan dan persuasi.
3. Kepemimpinan adalah suatu kepribadian yang memiliki pen-
garuh
Kepribadian dapat diartikan sebagai sifat-sifat dan watak yang dimi-
liki oleh pemimpin yang menunjukkan keunggulan, sehingga me-
nyebabkan pemimpin tersebut memiliki pengaruh terhadap bawa-
han.
4. Kepemimpinan adalah tindakan dan perilaku
Kepemimpinan dalam hal ini digambarkan sebagai serangkaian pe-
rilaku seorang yang mengarahkan kegiatan-kegiatan bersama. Dan
seragkaian perilaku tersebut dapat berupa nilai anggota kelompok,
menentukan hubungan kerja sama, mampu memperhatikan kepent-
ingan bawahan, dan sebagainya.
5. Kepemimpinan merupakan titik sentral proses kegiatan kel-
ompok
Kepemimpinan sebagai titik sentral, sebab dalam kehidupan organ-
isasi, dari kepemimpinan diharapkan lahir berbagai gagasan baru
yang memberikan dorongan lahirnya perubahan. Oleh karena itu,
kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kelompok
dan menduduki posisi tinggi dalam kehidupan kelompok dalam me-
nentukan struktur kelompok, suasana kelompok, dan aktivitas kel-
ompok.
6. Kepemimpinan merupakan hubungan kekuatan dan kesuk-
sesan
Kepemimpinan sebagai suatu bentuk hubungan sekelompok orang,
hubungan antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dalam hal ini,
hubungan tersebut mencerminkan seseorang atau sekelompok orang
karena akibat adanya kewibawaan/ kekuasaan.yang pada orang yang
Konsep dan Teori Kepemimpinan 43

memimpin. Dan dalam hubungan ini, orang yang memimpin lebih


banyak mempengaruhi dari pada yang dipengaruhi.
7. Kepemimpinan sebagai sarana pencapaian tujuan
Dalam hubungan ini, pemimpin merupakan seseorang yang memili-
ki suatu program dan yang berperilaku secara bersama-sama dengan
anggota-anggota kelompok dengan mempergunakan cara atau gaya
tertentu, sehingga pemimpin mempunyai peranan sebagai kekuatan
dinamik yang mendorong, memotivasi, dan mengkordinasikan or-
ganisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
8. Kepemimpinan merupakan hasil dari interaksi
Kepemimpinan sebagai suatu proses sosial merupakan hubungan
antar pribadi, di mana pihak lain mengadakan penyesuaian. Suatu
proses dimana saling mendorong dalam mencapai tujuan bersama.
Jadi, kepemimpinan bukan merupakan sebab, melainkan sebagai
akibat atau hasil dari perilaku kelompk. Kepemimpinan timbul dari
proses interaksi kelompok itu sendiri.
9. Kepemimpinan adalah peran yang dibedakan
Dalam kehidupan organisasi, masing-masing anggota mempunyai
paranan yang berbeda-beda. Dalam pencapaian tujuan anggota kel-
ompok mempunyai kontribusi yang berbeda-beda. Demikian juga
pada pada kepemimpinan yang muncul sebagai akibat interaksi
dalam kehidupan oganisasi, karena kelebihan-kelebihan dan kon-
tribusinya, ia diangkat peranan sebagai pemimpin. Jika sesorang
dipandang oleh anggota-anggota lain sebagai sumber yang dapat
memberikan kontribusi yang tidak dapat diabaikan, maka ia akan
diangkat dan diakui sebagai pemimpin.

10. Kepemimpinan adalah sebagai inisiasi struktur


Kepemimpinan jangan dipandang sebagai jabatan pasif, melainkan
harus berperan sebagai suatu jabatan yang terlibat dalam suatu tin-
dakan memenuhi pembentukan struktur dalam interaksi, sebagai
44 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

bagian dari proses pemecahan masalah.


Berkaitan dengan konsep kepemimpinan ini, Arthur Jago telah
mengembangkan suatu kerangka untuk mengorganisir perspektif
kepemimpinan secara tetap. Rencana kerja tersebut terdiri dari dua
demensi, yaitu focus (fokus) dan approach (pendekatan)7. Fokus meru-
juk kepada keputusan para peneliti dalam memandang kepemimpi-
nan sebagai perangkat sifat (trait perspective) atau sebagai perangkat
perilaku (behavioral perspective). Approach merujuk kepada jenis pers-
pektif yang diadopsi, yaitu apakah perspektif universal atau perspek-
tif kontingensi. Perspektif universal mengasumsikan bahwa ada satu
cara yang terbaik dalam memimpin organisasi tanpa memperhatikan
situasi, yaitu kepemimpinan yang efektif selalu mengompromikan
cara yang ideal ini, dan kepemimpinan yang efektif dalam satu situ-
asi atau organisasi akan menjadi efektif dalam situasi dan organisasi
yang berbeda. Sedangkan perspektif kontingensi berasumsi bahwa
situasi di mana kepemimpinan dilaksanakan adalah penting.

B. Teori-teori Kepemimpinan
1. Perspektif Sejarah Mengenai Kepemimpinan
Banyak orang telah melakukan penelitian tentang kepemimpinan.
Pada mulanya, para peneliti mencoba menggunakan pendekatan si-
fat atau karakteristik pemimpin, yang kemudian melahirkan “teori
sifat”. Karena penelitian ini belum menghasilkan penemuan yang
konsisten dan belum memuaskan, kemudian mereka menggunakan
pendekatan perilaku dalam penelitiannya, yang kemudian melahir-
kan “teori perilaku”.
a. Pendekatan Sifat
Penelitian kepemimpinan pada tahap awal didominasi dengan

7 Ricky W. Griffin, (1986). Organizational Behavior. Boston: Houghton Mifflin


Company, h. 351.
Konsep dan Teori Kepemimpinan 45

pendekatan sifat para pemimpin. Para peneliti berusaha mengi-


dentifikasikan sifat-sifat para pemimpin yaitu dengan cara men-
guji sifat-sifat dan karakteristik personal para pemimpin, seperti
Gandhi, Lincoln, dan sebagainya. Adapun sifat-sifat kepemim-
pinan itu meliputi, Inteligensi, dominasi, percaya pada diri sendiri,
energi,aktivitas,dan pengetahuan yang berhubungan dengan tugas
Sejalan dengan pembahasan ini, ada beberapa tokoh yang telah
mengemukakan beberapa karakterisrik (sifat-sifat) pemimpin,
sebagaimana yang dikutip oleh Nanang Fattah,8 di antaranya:
1) Menurut Henri Fayol: sehat, cerdas, setia, jujur,
berpendidikan, dan berpengalaman.
2) Menurut George Terry: kekuatan, kestabilan emosi,
kemampuan hubungan manusiawi, dengan pribadi,
ketrampilan berkomunikasi, kecakapan mengajar, kecakapan
bergaul, dan kemampuan teknis.
3) Menurut Ordway Tead:
1. physical and nervous energi (energi jasmani dan rohani)
2. sense of purpose and direction (kepastian akan maksud arah
dan tujuan)
3. anthusiasm (antusiasme atau perhatian yang besar)
4. friendliness and effectiveness (ramah tamah, penuh rasa
persahabatan, dan ketulusan hati)
5. Integrity (integritas atau pribadi yang bulat)
6. technical mastery (kecakapan teknis)
7. decisioness (mudah mengambil keputusan)
8. intelligence (cerdas)
9. teaching skill (kecakapan mengajar)
10. faith (kesetiaan, punya keyakinan)
4. Menurut Koontz O’Donnell: kecerdasan di atas yang dipimpin,

8 Fattah, Nanang, (2013). Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja


Rosdakarya.
46 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

punya perhatian terhadap kepentingan menyeluruh, kelancaran


berbicara, mantap berfikir dan emosi dorongan pribadi, mema-
hami pentingnya kerja sama.
5. Menurut Herman Finer: ada sembilan sifat yang dikenal dengan
The Nine C, yaitu: Consciousness (keinsyafan), Coherence (men-
gaitkan), Constancy (kemantapan), Conviction (keteguhan), Cre-
ativeness (daya cipta). Concientiousness (kecermatan), Courage (ke-
beranian), Captivation (daya pikat), dan Cleverness (kepandaian).
6. Menurut Dubrin: karakter atau sifat pemimpin itu meliputi ke-
butuhan yang kuat terhadap pencapaian dan kekuatan, percaya
pada diri sendiri,, motivasi kerja yang kuat, sensitif terhadap
orang lain, memiliki kemampuan intelektual yang baik, ada
perasaan humor, dan memiliki visi.9
b. Pendekatan Perilaku
Pada akhir tahun 1940-an, beberapa peneliti mulai memandang
kepemimpinan sebagai suatu proses atau aktifitas yang dapat diama-
ti. Pendekatan perikau ini bertujuan untuk membedakan perilaku-
perilaku yang dihubungkan dengan kepemimpinan yang efektif.
Para peneliti mengasumsikan bahwa efektif atau tidaknya perilaku
pemimpin tergantung pada bagaimana seorang pemimpin menerap-
kan pola-pola kepemimpinannya sesuai dengan situasi.
1. The Michigan Studies
Studi ini merupakan suatu proses penelitian terhadap perilaku
pemimpin yang dilaksanakan di Universitas Michigan di bawah
pimpinan Rensis Likert. Tujuannya adalah untuk membedakan
pola-pola perilaku kepemimpinan yang bisa menghasilkan kin-
erja group yang efektif. Studi ini membagi perilaku pemimpin
atas dua, yaitu:
a) Job centered leader behavior (perilaku pemimpin yang berpusat

9 Dubrin, Andrew J. (t.t). Essential of Management. International Stu-


dent Edition, hh. 259-260
Konsep dan Teori Kepemimpinan 47

pada tugas). Menurut pendapat ini, pemimpin harus


mengawsi bawahan sehingga ia dapat melakukan tuga-
tugas yang dibebankan kepadanya. Gaya kepemimpinan
pemusatan tugas ini menekankan pada pengunaan, supervisi
kekuasaan legitimasi dan paksaan, menepati jadwal waktu,
dan penilaian prestasi kerja yang ketat.
b) Employee centered leader behavior (perilaku pemimpin yang
berpusat pada pekerja). Menurut pendapat ini, yang
diperhatikan pemimpin adalah kepuasan pengawai dan
kepuasan tim. Gaya kepemimpinan pemusatan karyawan
ini menekankan pada delegasi wewenang dan tanggung
jawab serta memperhatikan kesejahteraan karyawan.
Ada sejumlah kritik yang ditujukan terhadap studi Michigan ini,
yaitu:
• Ada keyakinan bahwa perilaku pemimpin berubah mengiku-
ti situasi. Misalnya saja, pemimpin dapat menggunakan gaya
kepemimpinan pemusatan karyawan pada kondisi yang nor-
mal atau jika aktivitas-aktivitas kelompok berjalan dengan lan-
car akan tetapi, jika dalam situasi yang menuntuk pemenuhan
jadwal waktu yang tepat, maka pemimpin dapat mengubah
gaya kepemimpinannya menjadi gaya kepemimpinan pemusa-
tan tugas.
• Faktor situasi yang lain, seperti kepaduan kelompok, karakter-
istik pribadi bawahan, dan karakteristik tugas tidak dipertim-
bangkan. Pemimpin dengan bawahan yang merupakan kelom-
pok yang memiliki tingkat kepaduan (kohesivitas) yang tinggi
akan berbeda dengan pemimpin yang bawahannya tidak ko-
hesif, walaupun tugasnya sama.

2. The Ohio State Studies


Studi ini dilakukan bersamaan dengan studi Michigan, yaitu akhir
48 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

tahun 1940 sampai awal tahun 1950. Para peneliti di Universitas Ohio
State ini merancang suatu angket untuk menilai persepsi bawahan
terhadap perilaku pemimpin yang aktual. Studi ini membagi dua di-
mensi perilaku pemimpin yaitu:
a) Consideration behavior (gaya penuh perhatian, yang mirp dengan
employee centered leader behavior) yaitu berkaitan dengan saling
mempercayai, penghargaan, dan kehangatan antara pemimpin
dan bawahan. Pertimbangan perilaku pemimpin ini meliputi
kepercayaan, saling menghargai, persahabatan, dukungan, dan
memperhatikan kesejahteraan karyawan.
b) Initiating-structure behavior (gaya memprakarsai suatu stuk-
tur, yang mirip dengan job-centered leader behavior) yaitu cara
pemimpin melukiskan hubungannya dengan bawahan dalam
menetapkan pola organisasi, saluran kamunikasi, metode, dan
prosedur. Pemrakarsa struktur ini berkaitan dengan sejauh mana
pemimpin mengorganisir dan menentukan tugas, menetapkan
cara penyelesaian tugas, membentuk jaringan komunikasi, dan
menilai prestasi kelompok.
3. The Managerial Grid
The managerial Grid (kisi-kisi manajerial) ini dikembangkan oleh Rob-
ert R. Blake dan Jane Srygley Mouton. Kisi-kisi manajerial ini terdiri
dari dua demensi, yaitu perhatian pada produksi (production) dan
orang (people). Masing-masing dinyatakan sebagai satu rangkaian ke-
satuan pada skala 1 sampai 9 yang berinteraksi satu sama lain.
Dari kesembilan skala tersebut, dapat diambil lima gaya
pemimpin, yaitu:
a) Impoverished Management (gaya pemimpin miskin) yang merupa-
kan gaya yang kurang efektif, yang ditandai dengan perhatian
yang redah terhadap orang dan rendah terhadap tugas/ produk.
Gaya kepemimpinan ini pada dasarnya menunjukkan tidak
adanya keterlibatan pemimpin, baik kepada bawahan maupun
hasil.
Konsep dan Teori Kepemimpinan 49

b) Country Club Management (kekeluargaan) yaitu gaya yang me-


nekankan kepada kepuasan pengawai dengan mengorbankan
penyelesaian tugas, yang ditandai dengan perhatian yang tinggi
terhadap karyawan, tetapi rendah perhatiannya terhadap tugas.
Gaya kepemimpinan ini secara keseluruhan menekankan ke-
pada kebutuhan bawahan dan terciptanya suasana kerja yang
bebas dari segala tekanan.
c) Organization Man Management (manajemen jalan tengah) meru-
pakan gaya yang moderat yang ditandai dengan memperhatikan
keseimbangan terhadap orientasi antara orang dan hasil kerja.
Gaya kepemimpinan ini berusaha untuk terpeliharanya tingkat
kepuasan bawahan maupun untuk kepentingan hasil.
d) Authority-Obedience (manajemen tugas) merupakan gaya otorit-
er, yang ditandai dengan perhatian yang tinggi terhadap tugas,
tetapi rendah perhatiannya terhadap orang. Gaya kepemimpi-
nan ini secara total menekankan pada kepentingan hasil, dan
sedikit mungkin untuk keperluan bawahan.
e) Team Management (manajemen kelompok) merupakan gaya
demokratis, yang ditandai dengan perhatian yang tinggi, baik ter-
hadap tugas maupun terhadap orang lain. Gaya kepemimpinan
ini menggambarkan satu kriteria keberhasilan kepemimpinan,
ditandai dengan tercapainya pelaksanaan tugas-tugas organisasi
yang didukung keterikatan di antara bawahan melalui adanya
saling mempercayai dan menghormati, bahkan dapat dikatakan
sebagai tipe yang paling efektif dari perilaku pemimpin.
Tipe kepemimpinan semacam ini (team management) sangat member-
ikan keuntungan besar bagi organisasi karena sangat dirasakan:
• adanya peningkatan hasil
• bertambah baiknya hubungan antara kelompok
• manfaat kegiatan kelompok lebih efektif
• pertentangan atau suasana bersaing yang tiidak sehat antara ba-
wahan sangat kurang
50 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

• meningkatkan saling pengertian antar individu


• meningkatkan usaha kreativitas individu
4. Teori Contingency
Teori kontingensi ini dikembangkan oleh Fred Fledler pada tahun
1967. Ia mencoba memadukan antara personalitas pemimpin dan
kompleksitas situasi. Teori ini menjelaskan bahwa efektivitas seorang
pemimpin tergantung pada situasi. Hasilnya, seorang pemimpin bo-
leh jadi efektif pada situasi dan organisasi, tetapi tidak efektif pada
situasi atau organisasi yang lain.
Untuk mengukur hal ini, Fiedler mengembangkan skala yang
LPC (Least Prefered Coworker Scale). Fiedler mengidentifikasikan
adanya tiga faktor yang menentukan situasi yang menguntungkan,
yaitu 1) hubungan pemimpin dan anggota, 2) struktur tugas, dan
10
3) kekuasan posisi pemimpin.
Teori kontigensi ini oleh Winardi disebut juga “teori situasi”.
Ia berpendapat bahwa dalam kepemimpinan harus terdapat cukup
banyak fleksibelitas untuk menyesuaikan diri dengan situasi, kar-
enanya kepemimpinan harus bersifat ”multi demensi”.11
a) Variabel hubungan antara pemimpin dan anggota merupakan
hal yang paling penting sebab akan menentukan kekuasaan dan
pengaruhnya. Jika pemimpin diterima baik oleh kelompoknya
dan anggota kelompok menghargai pemimpin, maka pemimpin
tidak perlu bersandar pada wewenang formalnya. Akan tetapi
jika sebaliknya, ia harus menyandarkan diri pada perintah un-
tuk menyelesaikan tugasnya.
b) Variabel struktur tugas dalam situasi kerja ada yang berupa tu-
gas yang berstruktur (tugas yang prosedur atau intruksi lang-
kah-demi langkah untuk menyelesaikan tugas itu telah tersedia)

10 Griffin, Op.Cit., hh. 68-69.


11 Winardi, (1990). Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta: Rineka
Cipta, hh. 68-69.
Konsep dan Teori Kepemimpinan 51

dan ada yang berupa tugas yang tidak berstruktur.


c) Variabel kekuasaan posisi pemimpin: minsalnya beberapa po-
sisi, mempunyai jabatan sebagai menteri, disamping itu sebagai
ketua partai politik, ketua yayasan sosial, akan memudahkan tu-
gas pemimpin dalam mempengaruhi bawahannya, sedangkan
kekuatan posisi yang kecil, misalnya pengumpulan dana suka
rela, akan membuat tugas lebih sukar.
5. Teori Path-Goal
Teori kepemimpinan Path-Goal ini dikembangkan oleh Martin Evans
House pada tahun 1970-an. Teori ini berdasar pada teori pengharapan
dalam motivasi, yang menyatakan bahwa motivasi seseorang tergan-
tung pada harapannya akan imbalan dan nilai serta memusatkan
pemimpin sebagai sumber imbalan.
Teori ini disebut Path-Goal (jalur tujuan) karena memfokuskan
kepada cara pemimpin mempengaruhi persepsi bawahan tentang
tujuan kerja, apa yang harus mereka lakukan untuk mendapat im-
balan tersebut. Pemimpin yang berorientasi pada bawahan akan me-
nyediakan berbagai macam imbalan, bukan hanya sekedar uang dan
promosi, tetapi juga dukungan, rasa aman, dan rasa hormat.
Teori Path-Goal ini mengidentifikasikan empat jenis perilaku
pemimpin, yaitu 1) kepemimpinan direktif, 2) kepemimpinan supor-
tif, 3) kepemimpinan partisipatif, dan 4) kepemimpinan yang berori-
entasi pada prestasi12
a) Kepemimpinan direktif: bawahan tahu apa yang diharap-
kan darinya, dan pengarahan yang khusus diberikan oleh
pemimpin.
b) Kepemimpinan suportif: pemimpin mempunyai kesediaan un-
tuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mem-
punyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap bawa-
hannya. Gaya kepemimpinan ini memberikan pertimbangan

12 Griffin, Op.Cit., h. 363.


52 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

terhadap kebutuhan dari bawahan, menunjukkan perhatiannya


pada kesejahteraan, dan menciptakan lingkungan yang meny-
enangkan.
c) Kepemimpinan partisipatif: pemimpin berusaha meminta saran-
saran dari para bawahannya (berkonsultasi dengan bawahan)
dan mempergunakan saran-saran dari para bawahannya seba-
gai pertimbangan sebelum membuat keputusan.
d) Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi: gaya kepemimpi-
nan ini menetapkan serangkaian tujuan yang menentang para
bawahannya untuk berprestasi. Pemimpin memberikan keya-
kinan kepada para bawahannya bahwa mereka mampu melak-
sanakan tugas dalam mencapai tujuan secara baik.
Teori ini menawarkan dua tipe faktor situasi yang mempengar-
uhi hubungan antara perilaku pemimpin dan kepuasan bawahan,
yaitu karakteristik personal bawahan dan karakteristik lingkungan.
Turney menambahkan bahwa kepemimpinan dalam teori ini
harus memperhatikan tujuan personal para pekerja, di samping mer-
eka bekerja untuk memperhatikan tujuan organisasi, misalnya moti-
vasi, kepuasan, dan kinerja bawahannya.13
Teori ini menjelaskan bahwa pemimpin yang efektif adalah
pemimpin yang mampu mendefenisikan tujuan-tujuan yang ingin
dicapai secara jelas, dan mengatasi segala hambatan dalam menca-
pai tujuan. Fungsi pemimpin adalah membantu bawahannya untuk
menjelaskan tujuan dan bagaimana cara mencapai tujuan tersebut.
6. Model Vroom-Yetton
Model ini diajukan oleh Victor Vroom dan Philip Yetton pada tahun
1973. Model ini juga menawarkan bagaimana menempatkan suatu
gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi. Karena itu, seorang
pemimpin dapat menerapkan beberapa gaya kepemimpinan yang
berbeda dalam organisasinya. Model ini menekankan pada satu as-

13 Turney, Op.Cit., h. 63.


Konsep dan Teori Kepemimpinan 53

pek tunggal yang terjadi antara perilaku pemimpin dengan partisi-


pasi bawahan dalam membuat keputusan.
Artinya, model ini mengasumsikan bahwa karakteristik situa-
si mempengaruhi pertisifasi bawahan dalam membuat keputusan.
Oleh karena itu, tidak ada satu pun proses pembuatan keputusan
yang sesuai dengan semua situasi.
Griifin meyebutkan bahwa ada lima gaya kepemimpinan dalam
model Vroom Yetton ini, yaitu:
a. A I : Manajer membuat keputusan sendiri.
b. A II: Manajer meminta informasi dari bawahan, tetapi membuat
keputusan sendiri.
c. C I : Manajer membagi situasi dengan bawahan dan meminta
informasi dan evaluasi. Bawahan tidak bertemu sebagai group,
dan manajer sendiri yang membuat keputusan.
d. C II : Manajer dan bawahan bertemu sebagai suatu group untuk
mendiskusikan situasi, tetapi manajer yang membuat keputu-
san.
e. G II : Manajer dan bawahan bertemu sebagai satu group untuk
mendiskusikan situasi, dan group yang membuat keputusan.14
Untuk menentukan gaya kepemimpinan mana yang dianut seorang
pemimpin berdasarkan proses pembuatan keputusan yang melibat-
kan partisipasi bawahannya, tergantung dari jawaban terhadap per-
tanyaan sebagai berikut:
1) Apakah ada kebutuhan kualitas, yang mana satu pemecahan
lebih rasional dari pada yang lain?
2) Apakah saya memiliki informasi terbaik untuk mendapatkan ke-
putusan terbaik?
3) Apakah masalahnya terstruktur?
4) Apakah penerimaan keputusan oleh bawahan merupakan hal
yang kritis dalam implementasinya?

14 Griffin, Op.Cit., h. 369.


54 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

5) Jika saya mengambil keputusan sendiri, apakah dapat dipasti-


kan akan diterima oleh bawahan?
6) Apakah bawahan mengetahui tujuan organisasi yang akan dica-
pai dengan memecahkan masalah ini ?
7) Apakah konflik di antara bawahan mungkin terjadi dalam pe-
mecahan yang dipilih?

2. Perspektif Kontemporer Mengenai Kepemimpinan


a. Substitusi Kepemimpinan
Substitusi kepemimpinan ini meliputi karakteristik individu, tugas,
dan organisasi yang cenderung menyangkal kemampuan pemimpin
untuk mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahannya. Oleh kar-
ena itu, jika faktor-faktor tertentu hadir, maka pekerja akan menger-
jakan tugas sesuai dengan kemampuannya tanpa adanya arahan dari
pemimpin.
1) Karakteristik individu yang dapat menetralisir pemimpin ada-
lah kemampuan, pengalaman, latihan, pengetahuan, kebebasan,
orientasi profesional, dan persamaan upah dalam organisasi.
2) Karakteristik biasanya rutinitas, tingkatan struktur tinggi,
frekuensi timbal balik, kepuasan intrinsik yang munngkin men-
gubah perilaku pemimpin yang tidak sesuai.
3) Karakteristik organisasi meliputi perencanaan dan tujuan yang
eksplisit, aturan dan prosedur, kelompok kerja yang terpadu,
struktur imbalan yang kaku, dan jarak fisik antara supervisor
dan bawahan.
b. Pandangan Interaktif
Pandangan interaktif ini diformulasikan oleh Charles Greene. Ia me-
nemukan bahwa pertimbangan pemimpin adalah satu sebab kepua-
san bawahan. Ia juga menemukan bahwa kinerja bawahan mempen-
garuhi perilaku pemimpin dengan membedakan apakah pemimpin
menunjukkan perilaku consideration atau iniating-structure.
Konsep dan Teori Kepemimpinan 55

Kemudian adanya umpan balik antara perilaku pemimpin dan bawa-


han:
1) Jika kinerja bawahan rendah, maka pemimpin cenderung
untuk mengikatnya dalam perilaku yang berstruktur.
2) Sebaliknya, jika kinerja bawahan tinggi, maka pemimpin
cenderung untuk menekan pada pertimbangan.
c. Model Hubungan Dyad-Vertikel
Model ini dikembangkan oleh George Green yang menekankan
pada pentingnya hubungan variabel antara supervisor dan masing-
masing bawahannya. Model ini mengenal kedudukan anggota, yaitu
anggota yang berbeda dalam group (in-group) dan anggota yang be-
rada di luar group (out-group). Artinya, model ini menawarkan agar
pemimpin dapat membangun hubungan yang spesial dengan bawa-
hannya, yang disebut “in group” dan biasanya ”in group” ini men-
erima kewajiban-kewajiban khusus yang menghendaki adanya tang-
gung jawab dan otonomi, dan menerima adanya hak-hak istimewa
yang spesial.
Bawahan yang bukan dari group ini disebut “out group”, mereka
juga mendapatkan perhatian, tetapi tidak sebanyak perhatian yang
diterima oleh anggota “in group” secara umum ditemukan bahwa ki-
nerja dan kepuasan anggota dalam group lebih tinggi dari pada ang-
gota di luar group.
d. Kepemimpinan Kharismatik
Teori ini diajukan oleh Robert House pada tahun 1977. Teori ini be-
rasumsi bahwa kharisma merupakan suatu karakteristik individual
pemimpin. Kharisma adalah suatu bentuk atraksi (daya tarik) inter-
personal yang menginspirasikan dukungan dan penerimaan. Den-
gan demikian, seorang supervisor yang berkharisma tinggi mungkin
lebih sukses dalam mempengaruhi perilaku bawahan dari pada su-
pervisor yang kehilangan kharisma.
Adapun karakteristik pemimpin yang kharismatik adalah
sebagai berikut:
56 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

1) Para pengikut mempercayai kebenaran dari kepercayaan


pemimpinnya.
2) Kepercayaan dari para pengikut sama dengan kepercayaan
pemimpinnya.
3) Para pengikut menerima pemimpin tanpa pertanyaan.
4) Para pengikut merasakan adanya pengaruh pemimpin.
5) Para pengikut mematuhi keinginan pemimpin.
6) Para pengikut merasa adanya keterlibatan emosional dalam misi
organisasi.
7) Para pengikut mempertinggi tujuan kinerjanya.
8) Para pengikut percaya bahwa mereka dapat memberi kontribusi
terhadap kesuksesan misi kelompok.15
e. Perspektif Atribusi (Attributional)
Teori ini mengajak kita untuk mengamati perilaku orang lain dan
juga mengamati sifat-sifat yang menyebabkan timbulnya perilaku
tersebut. Jika seorang pemimpin menghubungkan kelemahan kinerja
bawahannya terhadap usaha yang rendah atau kurangnya kemam-
puan, maka respon pemimpin adalah menegur, melatih, atau melepas-
kannya.

YXWUXWZ

15 Griffin, Op.Cit., h. 374.


Konsep dan Teori Kepemimpinan 57

Bab 5
Faktor dan Tipe Kepemimpinan

A. Faktor-faktor Kepemimpinan
Seseorang yang menduduki profesi pemimpin, khususnya pemimpin
pendidikan, dalam menjalankan tugas kepemimpinannya dipengar-
uhi oleh faktor-faktor yang mewarnai pola kepemimpinan sebagai
berikut:
1. Faktor-faktor legal
2. Kondisi sosial ekonomi dan konsep-konsep pendidikan
3. Hakekat dan atau ciri lembaga pendidikan
4. Kepribadian pemimpin pendidikan dan latihan-latihan
5. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam teori pendidikan
6. Kepribadian dan training pemimpin pendidikan. 1

Keenam faktor ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1 Hendiyat Soetopo dan Wasty Soemanto, (1988). Kepemimpinan dan Supervisi


Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara, hh. 16-18.
58 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

1. Faktor-faktor Legal
Seseorang yang menduduki jabatan pemimpin pendidikan akan
berhadapan dengan peraturan-peraturan formal dari instansi struk-
tural yang berada di atasnya. Di Indonesia, falsafah Pancasila, UUD
1945, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan undang-undang
lainnya akan mempengaruhi pola kepemimpinan pendidikan. De-
mikian pula dalam kaitannya dengan standar yang berkaitan den-
gan pengangkatannya sebagai pemimpin pendidikan. Misalnya yang
berhubungan dengan sertifikasi, pola penyeleleksian, kualifikasi
profesional dan tuntutan lainnya. Hal ini akan berpengaruh dalam
kepemimpinan pendidikan seseorang.
2. Kondisi Sosial Ekonomi dan Konsep-konsep Pendidikan
Faktor ini terdiri atas dua macam, yaitu :
a. Kondisi sosial ekonomi yang memungkinkan tesedianya sum-
ber-sumber dan fasilitas pendidikan. Bantuan individu mau-
pun masyarakat terhadap pendidikan dalam hal fasilitas akan
membantu juga memperlancar jalannya pendidikan. Faktor so-
sial ekonomi pemimpin pendidikan juga akan mewarnai pola
kepemimpinannya.
b. Konsep tujuan pendidikan para pemimpin masyarakat dan
para warga pada umumnya akan berpengaruh terhadap pola
kepemimpinan. Termasuk pemahaman pemimpin itu sendiri ter-
hadap tujuan pendidikan akan mewarnai tindakan kepemimpi-
nannya.
3. Hakekat dan atau Ciri Lembaga Pendidikan
Faktor ini berkaitan dengan ciri dan atau hakikat para staf, peserta
didik dan jenis lembaga pendidikan, yang tentunya akan mempen-
garuhi kepemimpinan pendidikan. Sistem administrasi, kurikulum
yang digunakan dan pendekatan yang digunakan dalam sistem pen-
didikan akan berpengaruh juga terhadap sistem kepemimpinan pen-
didikan.
4. Kepribadian Pemimpin Pendidikan dan Latihan-latihan
Faktor dan Tipe Kepemimpinan 59

Tidak dapat diingkari bahwa individu itu sendiri membawa sesuatu


dalam jabatannya. Energi, loyalitas, pandangan hidup dan atribut-
atribut profesional yang melekat padanya akan berpengaruh terh-
adap sistem kepemimpinan.
Di samping hal di atas, pendidikan tambahan dan latihan-lati-
han yang memperkaya jabatan pimpinan akan mempengaruhi sistem
kepemimpinannya.
5. Perubahan-perubahan yang Terjadi dalam Teori Pendidikan
Tugas kepemimpinan pendidikan dipengaruhi oleh berbagai peruba-
han teori dan metode aktivitas belajar. Konsep-konsep pertumbuhan
dan perkembangan anak membawa implikasi terhadap prosedur
dan sistem pembelajaran. Hal ini akan berbeda dengan sepuluh ta-
hun yang lalu atau lebih.
Perubahan dan perkembangan kurikulum juga menghendaki
persiapan kepemimpinan dan ketrampilan kepemimpinan yang
baru. Yang jelas, perubahan dalam teori-teori pendidikan akan men-
gubah juga strategi pengelolaan dan kepemimpinan di lembaga pen-
didikan.
6. Kepribadian dan Training Pemimpin Pendidikan
Suatu kenyataan bahwa individu itu sendiri membawa sesuatu dalam
pekerjaan. Tenaga, loyalitas, dan lain-lain atribut personal maupun
profesional akan merupakan faktor signifikan yang berpengaruh
terhadap jenis kepemimpinan. Oleh sebab itu suatu kewajiban moral
dan profesional di Indonesia untuk menuntut adanya kualifikasi pro-
fesional dan personal untuk para pemimpin.
Organisasi turut juga mempengaruhi kepemimpinan pemimpin.
Kelompok-kelompok semacam itu membantu pemimpin menemu-
kan pengetahuan, sehingga ia menjadi pribadi yang profesional.
Di samping itu faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku se-
orang pemimpin seperti dijelaskan oleh M. Ngalim Purwanto seba-
gai berikut:
1. Keahlian dan pengetahuan yang dimiliki
60 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

2. Jenis pekerjaan atau lembaga


3. Sifat-sifat kepribadian pemimpin
4. Sifat-sifat kepribadian pengikut atau kelompok yang dipimpin
5. Sanksi-sanksi yang ada di tangan pemimpin. 2

Kelima faktor di atas dapat diuraikan sebagai berikut:


1. Keahlian dan pengetahuan yang dimiliki oleh pemimpin un-
tuk menjalankan kepemimpinan
Yang termasuk keahlian dan pengetahuan yang dimaksud di sini ialah
latar belakang pendidikan atau ijazah yang dimiliki, sesuai tidaknya
latar belakang pendidikan itu dengan tugas-tugas kepemimpi-
nan yang menjadi tanggung jawabnya; pengalaman kerja sebagai
pemimpin, apakah pengalaman yang telah dilakukan mendorong
dia untuk berusaha memperbaiki dan mengembangkan kecakapan
dan keterampilannya dalam memimpin.
Di samping itu, juga usaha menambah pengetahuan ten-
tang kepemimpinan yang dilakukan selama dia menjabat sebagai
pemimpin. Seorang pemimpin yang ideal tidak merasa puas dengan
hanya mengandalkan pada latar belakang pendidikan dan pengala-
man saja, tanpa selalu berusaha mengembangkan diri dengan me-
nambah pengetahuan.
2. Jenis pekerjaan atau lembaga tempat pemimpin itu melaksan-
akan tugas jabatannya
Perilaku dan sikap seorang yang sedang memimpin anak buah dalam
kapal yang sedang tenggelam, tidak sama dengan perilaku dan sikap
seorang guru yang sedang memimpin diskusi di dalam kelas. Peri-
laku dan sikap seorang pemimpin perusahaan sudah tentu lain dari
pada perilaku dan sikap seorang kepala sekolah dalam menjalankan
tugasnya masing-masing.
Tiga organisasi atau lembaga yang tidak sejenis memiliki tujuan

2 M. Ngalim Purwanto, (2005). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta:


Rineka Cipta, hh. 59-61.
Faktor dan Tipe Kepemimpinan 61

yang berbeda, dan menuntut cara-cara pencapaian tujuan yang tidak


sama. Oleh karena itu, tiap jenis lembaga memerlukan perilaku dan
sikap kepemimpinan yang berbeda pula.
3. Sifat-sifat kepribadian pemimpin
Kita mengetahui bahwa secara psikologis manusia itu berbeda-beda-
beda sifat, watak, dan keperibadiannya. Ada yang selalu dapat ber-
sikap dan bertindak keras dan tegas, tetapi ada pula yang lemah dan
kurang berani.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan watak dan kepribadian
yang dimiliki orang masing-masing pemimpin, meskipun beberapa
orang pemimpin memiliki latar belakang pendidikan sama dan dis-
erahi tugas pemimpin lembaga-lembaga yang sejenis, karena perbe-
daan kepribadian akan menimbulkan perilaku dan sikap yang ber-
beda pula dalam menjalankan kepemimpinan.
Demikianlah, bagaimana watak dan sifat-sifat pribadi seorang
pemimpin turut menentukan bagaimana sikap dan perilaku dalam
menjalankan kepemimpinan.
Adapun sifat-sifat kepribadian pengikut atau kelompok yang
dipimpin adalah seperti seseorang yang memimpin anak-anak kecil,
berlainan perilakunya dengan orang yang memimpin orang-orang
dewasa. Demikian pula memimpin orang-orang yang buta huruf dan
buta pengetahuan, tidak sama dengan cara memimpin orang-orang
yang cerdik pandai.
Perbedaan umur, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin, me-
nentukan dan mempengaruhi perbedaan sifat-sifat individu maupun
kelompok. Perbedaan sifat-sifat individu dan sifat-sifat kelompok se-
bagai anak buah atau pengikut seorang pemimpin akan mempengar-
uhi bagaimana seyogyanya perilaku dan sikap pemimpin itu dalam
menjalankan kepemimpinan.
Untuk dapat menjalankan kepemimpinan dengan baik, dalam
arti para anggota kelompok dapat mematuhi dan menaati perintah
serta menjalankan tugas dengan ikhlas dan sadar serta tidak merasa
62 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

tertekan, sangat penting bagi seorang pemimpin untuk mengetahui


dan mempelajari sifat atau tipa kepengikutan yang ada pada anak
buah atau anggota kelompoknya.
4. Sanksi-sanksi yang ada di tangan pemimpin
Kekuatan-kekuatan yang dimiliki atau yang ada di belakang
pemimpin menentukan sikap dan tingkah lakunya. Sikap atau reaksi
anggota kelompok dari seorang pemimpin yang mempunyai we-
wenang penuh akan lain jika dibandingkan dengan sikap atau reaksi
anggota kelompok dari seorang pemimpin yang tidak atau kurang
berwenang.
Seorang pemimpin suatu lembaga yang diangkat dengan surat
keputusan Presiden, akan lain rasa kemantapannya dengan seorang
pimpinan lembaga yang diangkat dengan surat keputusan gubernur,
misalnya. Tinggi rendahnya tingkat kekuasaan dan atau perangkat
perundang-undangan menentukan tinggi rendahnya kekuatan atau
sangsi seorang pemimpin yang diangkat oleh penguasa atau ber-
dasarkan perundangan tersebut.
Menurut H. Jodeph Reitz yang dikutip oleh Nanang Fattah,
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas pemimpin me-
liputi:
1. Kepribadian (personality) pengalaman masa lalu dan harapan
pemimpin,
2. Harapan dan perilaku atasan,
3. Karakteristik harapan dan perilaku bawahan, dan
4. Kebutuhan tugas
5. Iklim dan kebijakan organisasi
6. Harapan dan perilaku rekan.3

Keenam faktor ini dapat diuraikan sebagai berikut:


1) Kepribadian
Pengalaman masa lalu dan harapan pimpinan hal ini mencakup

3 Fattah, Op.Cit., hh. 98 –100.


Faktor dan Tipe Kepemimpinan 63

nilai-nilai, latar belakang dan pengalaman akan mempengaruhi pi-


lihan akan gaya. Sebagai contoh, jika ia pernah sukses dengan cara
menghargai bawahan dalam pemenuhan kebutuhannya, cenderung
akan menerapkan gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada
bawahan/orang.
2) Pengharapan dan perilaku atasan
Sebagai contoh atasan yang secara jelas memakai gaya yang ber-
orientasi pada tugas, cenderung manajer menggunakan gaya itu.
3) Karakteristik
Harapan dan perilaku bawahan, mempengaruhi terhadap gaya
kepemimpinan manajer. Sebagai contoh, karyawan yang mempunyai
kemampuan tinggi biasanya akan kurang memerlukan pendekatan
yang direktif dari pimpinan.
4) Kebutuhan tugas
Setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin,
sebagai contoh bawahan yang bekerja pada bagian pengolahan data
(litbang) menyukai pengarahan yang lebih beroritentasi kepada
tugas.
5) Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan
perilaku bawahan
Sebagai contoh kebijakan dalam pemberian penghargaan, im-
balan dengan skala gaji yang ditunjang dengan insentif lain (dana
pensiun, bonus, cuti) akan mempengaruhi motivasi kerja bawahan.
6) Harapan dan perilaku rekan
Sebagai contoh manajer membentuk persahabatan dengan re-
kan-rekan dalam organisasi. Sikap mereka ada yang merusak repu-
tasi, tidak mau kooperatif, berlomba memperebutkan sumber daya,
sehingga mempengaruhi perilaku rekan-rekannya.

Selain faktor-faktor yang mempengaruhi kepemimpinan se-


bagaimana telah dikemukakan di atas, ada beberapa keterampilan
yang diperlukan dalam kepemimpinan pendidikan, sebagaimana di-
64 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

jelaskan Hendiyat Soetopo dan Wasty Soemanto, yaitu :


1. Keterampilan dalam kepemimpinan
2. Keterampilan dalam hubungan-hubungan kemanusiaan
3. Keterampilan dalam proses kelompok
4. Keterampilan dalam administrasi personalia
5. Keterampilan dalam penilaian.4

Kelima keterampilan ini dapat diuraikan sebagai berikut:


1) Keterampilan dalam kepemimpinan
Yang telah kita ketahui tentang macam-macam kepemimpinan
yang baik adalah kepemimpinan yang demokrasi selain itu perlu
sekali seorang pemimpin mahir dalam pelaksanaan dan pengem-
bangan. Ia harus mampu mewujudkan dan memiliki keterampilan
dalam kepemimpinan. Ia harus terampil dalam hubungan-hubungan
kemanusiaan.
2) Keterampilan dalam hubungan-hubungan kemanusiaan
Seorang pemimpin yang baik harus banyak dan pandai ber-
gaul untuk dapat mengerti bawahannya yang baik maka hendaknya
ia pertama-tama mengadakan hubungan yang baik terlebih dahulu
dengan dirinya sendiri, dengan demikian kita dapat menempat-
kan diri pada yang kita pimpin. Kita dapat mengerti kekurangan-
kekurangan dan kelemahannya dan berusaha untuk mencari daya
upaya untuk menolongnya.
3) Keterampilan dalam proses kelompok
Sebagian dari hasil tujuan bersama ialah perkembangan peras-
aan kelompok, mereka harus percaya bahwa setiap orang dalam
kelompok mau memikul tanggung jawab sepenuhnya agar supaya
disiplin kelompok dapat dibina dengan baik maka pemimpin sendiri
harus dilatih supaya dapat mencapai tujuan-tujuan kelompok. Bila
disiplin kelompok terjamin maka pemimpin dapat meningkatkan
partisipasi bawahan semaksimal mungkin.

4 Soetopo, Op.Cit., hh. 15-16.


Faktor dan Tipe Kepemimpinan 65

4) Keterampilan dalam administrasi personalia


Agar pelaksanaan rencana pendidikan di lembaga pendidikan
dapat dipertanggungjawabkan maka sebaiknya pemimpin sekolah
ini menyeleksi dan menempatkan bawahan dalam usaha untuk men-
erapkan prinsip “the right man in the right place”.
5) Keterampilan dalam penilaian
Melalui evaluasi, bawahan dapat dibantu dalam menilai
pekerjaannya sendiri. Ia mengetahui kekuatan/kelebihan disamp-
ing kekurangan-kekurangannya. Selain evaluasi terhadap bawahan,
pimpinan juga perlu dievaluasi, dimana bawahan dimintai penda-
pat/penilaiannya terhadap pimpinan, yang dinilai juga oleh pihak
atasan, orang tua, dan masyarakat.

B. Tipe-tipe Kepemimpinan
Berbagai teori dan faktor yang telah dikemukakan mengenai
kepemimpinan tersebut tentu memiliki perbedaan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang diteliti. Dan masing-masing teori memiliki
kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu, seorang pemimpin organ-
isasi yang baik harus mengetahui teori-teori kepemimpinan tersebut,
dan mampu menganalisis bagaimana pola kepemimpinan yang da-
pat diterapkan pada situasi organisasinya, sehingga dapat mencapai
keefektifan organisasi yang dipimpinnya.
Artinya, seorang pemimpin sangat perlu mempelajari tentang
teori-teori kepemimpinan ini, dan tentunya tidak ada satu pola
kepemimpinan saja yang paling baik. Seorang pemimpin harus
mampu menentukan pola kepemimpinannya yang dapat meningkat-
kan efektivitas dan efisiensi organisasi yang dipimpinnya.
Pimpinan suatu organisasi merupakan orang yang bertanggung
jawab secara penuh terhadap berhasil atau tidaknya organisasi terse-
but dalam mewujudkan organisasi yang berkualitas. Tanggung jawab
pimpinan tersebut tentulah tidak dapat dilakukan sendiri, akan tetapi
66 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

ia harus menerapkan job distribution (pembagian kerja). Dengan hal


ini, pimpinan berusaha merumuskan job description agar pihak-pihak
yang berkepentingan memperoleh kejelasan (clarity) kerja.
Dengan job description yang jelas, pimpinan tinggal menunggu
proses atau hasil kerja dari pihak yang berkepentingan tersebut,
apakah ada masalah atau tidak. Kemudian masalah yang ditemui di
lapangan tidak dibiarkan begitu saja tanpa dicarikan jalan penyele-
saikan, karena hal yang demikian itu, pada akhirnya akan mengu-
rangi semangat kerja bagi yang berkepentingan, yang pada akhirnya
akan bermuara pada gagalnya organisasi dalam upaya peningkatan
mutu.
Seorang pimpinan harus memiliki kemampuan dasar profe-
sional dan manajerial yaitu memiliki visi dan misi yang jelas dan
terarah, memiliki kepemimpinan yang kuat, menguasai manajemen
perguruan tinggi, memiliki rasa tanggung jawab (akuntabilitas) yang
besar terhadap institusi yang dipimpinnya, memiliki komitmen ter-
hadap tugasnya, memiliki kedisiplinan dalam pengertian yang luas,
dan mampu berkomunikasi dan bekerja sama dengan stakeholders
perguruan tinggi Islam.
Ada lima kekuatan kepemimpinan yang merupakan hal-hal
yang sangat mempengaruhi kegiatan di suatu organisasi, sebagaima-
na yang disadur oleh Suharsimi Arikunto, yaitu kekuatan teknikal,
kekuatan manusia, kekuatan pendidikan, kekuatan simbolik, dan kekua-
tan budaya.5 Kelima kekuatan kepemimpinan ini dapat diuraikan se-
bagai berikut:
1. Kekuatan Teknikal
Kekuatan teknikal ini berasal dari teknik-teknik manajemen, dan ber-
hubungan dengan aspek-aspek teknis kepemimpinan, yang meliputi
pengetahuan khusus dan keahlian pada satu kegiatan khusus yang
berkaitan dengan fasilitas, yaitu dalam cara penggunaan alat dan

5 Arikunto, Suharsimi, Organisasi dan Administrasi, Pendidikan


Teknologi dan Keguruan (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 197.
Faktor dan Tipe Kepemimpinan 67

teknik pelaksanaan kegiatan.


Prinsip-prinsip kekuatan teknikal ini dapat dikatakan sama
dengan prinsip-prinsip ”perencanaan manajemen”, yaitu meliputi
konsep-konsep perencanaan dan manajemen, teori-teori kontingensi
kepemimpinan, dan struktur-struktur organisasi. Sedang prinsip-
prinsip manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian, peng-
koordinatoran, dan penjadwalan pada kegiatan-kegiatan yang men-
garah pada pengelolaan strategi dan situasi agar dicapai efektivitas
yang maksimal.
2. Kekuatan Manusia
Kekuatan manusia ini berasal dari pemanfaatan potensi sosial dan
antar pribadi suatu organisasi, yaitu unsur sumber daya manusian-
ya. Di samping itu, kekuatan manusia ini juga berhubungan dengan
aspek-aspek kemanusiaan suatu kepemimpinan. Suatu kegiatan da-
lam organisasi dapat terlaksana dengan baik dengan adanya kekua-
tan manusia dalam kepemimpinannya, yaitu dengan adanya kerja
sama dalam mencapai tujuan organisasi.
3. Kekuatan Pendidikan
Kekuatan pendidikan merupakan kekuatan kepemimpinan yang
berasal dari pengetahuan mengenai masalah-masalah pendidikan
umumnya, dan proses pembelajaran khususnya. Kekuatan ini ber-
hubungan dengan apek-aspek pendidikan suatu kepemimpinan.
Prinsip-prinsip kekuatan pendidikan ini mengandung unsur-unsur
pengajaran, pengembangan program pendidikan dan supervisi.
4. Kekuatan Simbolik
Kekuatan simbolik kepemimpinan ini berasal dari pemusatan per-
hatian pada masalah-masalah yang berhubungan dengan kegiatan
di perguruan tinggi. Kekuatan ini berhubungan dengan aspek-aspek
simbolik kepemimpinan, yang terutama berasal dari kebutuhan ses-
eorang yang memegang posisi formal dalam suatu organisasi akan
perasaan mengenai apa yang penting, dan kebutuhan untuk mem-
berikan tanda mengenai apa yang berharga bagi organisasi.
68 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Tujuan kepemimpinan simbolik ini adalah keefektifan


kepemimpinan seorang pemimpin terletak pada kemampuannya
untuk memberikan arti pada setiap kegiatan yang dilakukan tidak
dengan jalan mengubah tingkah laku orang-orang lain, melainkan
dengan cara memberikan perasaan tentang pentingnya kegiatan
yang mereka lakukan, dan terutama tentang bagaimana mereka me-
nyatakan dan mengomunikasikan kepentingan kegiatan tersebut.
5. Kekuatan Budaya
Kekuatan budaya adalah kekuatan kepemimpinan yang berasal
dari suatu budaya akademis yang unik dan berhubungan dengan
aspek-aspek kebudayaan suatu perguruan tinggi. Ketika menunjuk-
kan kekuatan budaya ini, pimpinan bertindak sebagai seorang yang
mendefinisikan, memperkuat, serta mengartikulasikan nilai-nilai,
kepercayaan, dan segi-segi budaya lainnya.
Seorang pimpinan harus mampu membangun budaya organ-
isasi, yang meliputi nilai-nilai, simbol-simbol, dan kepercayaan-ke-
percayaan yang dimiliki secara bersama-sama oleh organisasi terse-
but.
Secara umum, ada tiga tipe kepemimpinan dalam kehidupan
suatu organisasi, yaitu tipe kepemimpinan yang otoriter, laissez
faire, dan demokratis.

1) Tipe Otoriter
Yaitu suatu bentuk kepemimpinan yang mempunyai hak dan kekua-
saan penuh untuk bertindak dan memerintah. Tipe seperti ini suka
memaksakan kehendaknya tanpa terlebih dahulu berkonsultasi
dengan yang lain dan sulit menerima pendapat orang lain. Namun
untuk sebuah organisasi yang para anggotanya bersifat menunggu
perintah, maka tipe ini cukup dibutuhkan.
Dalam tipe kepemimpinan otoriter ini, seorang pemimpin lebih
bersifat ingin berkuasa, dan akibatnya suasana perguruan tinggi se-
lalu tegang. Pemimpin sama sekali tidak memberi kebebasan kepada
Faktor dan Tipe Kepemimpinan 69

anggotanya untuk turut ambil bagian dalam memutuskan suatu per-


soalan, dan keputusan hanya dibuat sendiri oleh pemimpin. Dalam
hal ini, pemimpin selalu mendikte tentang apa yang harus dikerjakan
oleh anggotanya.
Inisiatif dan daya pikir anggota sangat dibatasi, sehingga mer-
eka tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat mer-
eka. Pemimpin membuat suatu peraturan tersendiri yang harus di-
taati dan diikuti oleh seluruh bawahannya. Dan bila dievaluasi, tipe
kepemimpinan seperti ini tentunya tidak sesuai dengan semangat
demokrasi yang seharusnya tumbuh dan berkembang di lingkungan
organisasi tersebut.

2) Tipe Laissez-faire
Sifat kepemimpinan tipe ini seolah-olah tidak muncul, karena
pemimpin memberikan kebebasan yang penuh kepeda para ang-
gotanya dalam melaksanakan tugasnya, dan bawahan dalam hal ini
mempunyai peluang besar untuk membuat keputusan.
Dengan demikian, gaya kepemimpinan laissez faire ini meru-
pakan tipe seorang pemimpin yang tidak banyak berusaha untuk
menjalankan kontrol atau pengaruh terhadap para anggota kelom-
pok, dan pusat kekuasaan lebih banyak bertumpu pada anggota
organisasi. Para anggota kelompok biasanya akan bekerja menurut
kehendaknya masing-masing tanpa prosedur dan pedoman kerja
yang jelas. Dalam hal ini, tipe kepemimpinan seperti ini tentunya
juga tidak sesuai dengan semangat yang seharusnya tumbuh dalam
suatu organisasi.

3) Tipe Demokratis
Dalam tipe ini, golongan pelaksana berpartisipasi penuh dalam men-
capai tujuan organisasi tanpa ada rasa paksaan. Di samping itu, juga
turut mengembangkan pemikiran-pemikiran dalam menentukan
atau memutuskan metode-metode yang terbaik dalam melaksana-
kan pekerjaan. Dan selalu mendengarkan pendapat bawahan dalam
70 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

memutuskan suatu kebijakan.


Dapat dikatakan bahwa tipe kepemimpinan demokratis ini
adalah tipe kepemimpinan yang diharapkan dalam suatu organisasi.
Mengingat bahwa dalam tipe kepemimpinan ini, seorang pemimpin
selalu mengikutsertakan seluruh anggota dalam proses pengambilan
keputusan. Pemimpin akan menghargai pendapat dari para anggota,
sehingga mereka pun akan turut serta bertanggung jawab dalam
pelaksanaan program dalam organisasi tersebut.
Dengan konsep kepemimpinan yang demokratis ini, pimpinan
bertanggung jawab dalam mengembangkan kemampuan seluruh
anggota, membangun hubungan kerja vertikal dan horizontal yang
saling mendukung dan menciptakan iklim organisasi yang ber-
gairah, sehingga kreativitas anggota dapat dipacu sedemikian rupa,
dan pada gilirannya, akan menjamin berlangsungnya inovasi yang
terus menerus. Sementara dalam hubungan ke luar, pimpinan ber-
tanggung jawab dalam membina dan memelihara hubungan dengan
organisasi lainnya, serta lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Selain itu, ada beberapa tipe kepemimpinan yang dapat penulis
kemukakan, yaitu sebagai berikut:
1. Tipe Kepemimpinan Pribadi
Pemimpin yang tergolong dalam tipe ini mempunyai hubungan
langsung dengan para pegawainya. Tipe ini biasanya sangat efektif
dalam usaha apapun, namun pemimpin cenderung tidak mendapat
fungsi karena tidak ada kejelasan wewenang dan tanggung jawab
dari masing-masing pemimpin yang setingkat di bawahnya, akibat-
nya mudah melemparkan tanggung jawab.
2. Tipe Kepemimpinan Non-Pribadi
Tipe ini terlihat kurang mengindahkan hubungan dengan bawahan-
nya, karena perintah-perintah banyak dilakukan secara tertulis. Di-
lihat dari segi prakeknya, terjadi pemisah antara hubungan atasan
dengan bawahan. Namun, tiap pimpinan mengetahui dengan jelas
batas-batas wewenangnya dan pembagian kerja pun terlihat lebih
Faktor dan Tipe Kepemimpinan 71

merata.
3. Tipe Kepemimpinan Paternalitas
Tipe ini seperti bapak, yaitu pendidik, pengasuh, pembimbing, pe-
nasehat, tukang memerintah, dan juga kurang mau menerima penda-
pat bawahannya. Hal itu disebabkan karena pemimpin menggang-
gap para bawahannya adalah orang yang belum dewasa dan belum
mampu memecahkan persoalan. Akibatnya, para pengikutnya selalu
merasa ketergantungan terhadap pemimpin, dan merasa kurang
gairah dalam organisasi itu.
4. Tipe Kepemimpinan Militeristis
Tipe ini adalah ciri dari kepemimpinan yang kaku, karena dalam
mengarahkan bawahannya selalu bergantung pada pangkat dan ja-
batannya, senang pada formalitas yang berlebihan dan tidak mau
dikritik, juga menggemari penghormatan yang berlebihan pula.
5. Tipe Kepemimpinan Kharismatis
Suatu tipe kepemimpinan yang mempunyai daya tarik yang amat
besar terhadap para pengikutnya, seakan-akan dalam diri pemimpin
itu ada sesuatu kekuatan yang sangat luar biasa. Kelemahannya ada-
lah para bawahan tidak ada yang dapat mengusulkan pendapat, sa-
ran, dan pemikirannya.
6. Tipe Kepemimpinan yang Terbuka
Dalam pengambilan keputusan, keputusan tetap berada di tangan
pimpinan. Sebelum mengambil keputusan, hal itu terlebih dahulu
dimusyawarahkan agar persoalan tersebut turut dirasakan dan dike-
tahui, dan para bawahannya dapat memberikan saran dan pendapat
untuk kemajuan organisasi.
7. Tipe Kepemimpinan Partisan
Merupakan corak kepemimpinan yang suka memihak, akan selalu
ada pro dan kontra terhadap persoalan. Sifatnya selalu suka berde-
bat, banyak bicara, propagandis, dan selalu mempertahankan penda-
patnya.
8. Tipe Kepemimpinan Marketing
72 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Yaitu suatu tipe kepemimpinan yang selalu berorientasi ke masa de-


pan organisasi dengan selalu meningkatkan kemampuan. Tipe ini
menganggap organisasi layaknya sebuah barang dagangan, di mana
mutu harus senantiasa dikembangkan dengan baik.
10. Tipe Kepemimpinan Produktif
Segala kecakapan, kecerdasan, dan kekuatannya diberikan pada or-
ganisasi yang dipimpinnya sehingga menjadi suatu kenyataan. Salah
satu kenyataan tersebut adalah pengkaderan, dengan mendidik dan
mengembangkan bawahannya sehingga di antara bawahan tersebut
ada yang tumbuh menjadi pemimpin pengganti nantinya yang lebih
baik pula.

YXWUXWZ
Faktor dan Tipe Kepemimpinan 73

Bab 6
Keterampilan yang harus dimiliki
oleh Pemimpin

Ibnu Samsi S.U.1 menyatakan bahwa agar pimpinan dalam men-


jalankan tugas pokok itu dapat berjalan lancar, maka dibutuhkan
keterampilan memimpin (skills). Dalam pandangan Ibnu Samsi S.U.
dengan mengutip pendapat Katz (1974) dan Mintzberg (1980) me-
nyatakan bahwa ada empat keterampilan yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin, yaitu 1) keterampilan konseptual, 2) keterampi-
lan manusiawi, 3) keterampilan teknis dan 4) keterampilan bersikap
bijak. Masing-masing keterampilan ini dapat dijelaskan sebagai beri-
kut.:

A. Keterampilan Konseptual
Keterampilan konseptual (conceptual skills=C), yaitu kemampuan

1 Ibnu Samsi S.U., Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, Jakarta: Rineka


Cipta, 1994, hal.63.
74 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

mental pimpinan yang mengkoordinasikan kepentingan dan keg-


iatan menuju tercapainya tujuan organisasi secara keseluruhan. Da-
lam pandangan penulis, keterampilan konseptual ini memiliki peran
yang sangat penting dalam proses kepemimpinan. Dikatakan de-
mikian, karena kepemimpinan dapat dijalankan dengan baik apabila
pemimiliki konsep tentang perencanaan organisasi.
Pemimpin yang gagal menuangkan ide-ide untuk memajukan
suatu organisasi banyak dipengaruhi oleh kurang memadainya ket-
erampilan ini. Dengan keterampilan konseptual, seorang pemimpin
mampu merencanakan apa strategi yang akan dibangun untuk men-
jalankan organisasi dengan baik.
Adanya keterampilan yang memadai bagi seorang pemimpin
dapat menyebabkan lahirnya pemimpin yang visioner, dengan se-
jumlah ide untuk membawa perubahan organisasi yang dipimpinnya.
Pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang mampu membuat
peta konsep kepemimpinan untuk mengetahui ke mana organisasi
tersebut akan dibawa. Apabila peta konsep kepemimpinan ini sudah
dirumuskan dengan baik, maka pemimpin dapat mengendalikan
organisasi ini sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Umumnya da-
lam peta konsep kepemimpinan, faktor pendukug dan penghambat
kepemimpinan dapat diukur, sehingga dapat diketahui aspek-aspek
apa yang harus diberi perhatian dengan serius.

B. Keterampilan Manusiawi
Keterampilan manusiwasi (human skills=H), yaitu kemampuan
pimpinan untuk memahami, mengadakan kerjasama, dan mendor-
ong bawahan baik secara individual maupun secara kelompok untuk
bekerja sama mencapai tujuan organisasi.
Persoalan manusia termasuk bawahan merupakan faktor yang
sangat unik untuk dikaji dalam proses kepemimpinan. Pemimpin
yang sukses adalah pemimpin yang mampu membawa bawahan se-
Keterampilan yang harus dimiliki oleh Pemimpin 75

suai dengan keinginan dan tujuan organisasi. Pemimpin harus mam-


pu mengontrol bawahan agar sejalan dengan tujuan organisasi yang
diinginkan. Namun demikian, faktor psikologis, faktor pendidikan,
asal-usul, latar belakang pendidikan, tempat tinggal dan lain seba-
gainya menjadikan bawahan sering mengalami kurang nyaman dan
merasa tidak diperlakukan secara manusiawi.
Mengingat bawahan merupakan faktor penentu keberhasilan
organisasi dalam bekerja, maka perlu dilakukan departementalization,
job distribution, motivasi, reward, pembinaan karir melalui Human Re-
sources Development (HRD) seperti diklat, orientasi, workshop, training
dan sebagainya.

C. Keterampilan Teknis
Keterampilan teknis (technical skills=T), yaitu kemampuan pimpinan
untuk menggunakan peralatan, melakukan kegiatan sesuai dengan
prosedurnya, dan penguasaan secara teknis di bidang yang dip-
impinnya.
Pemimpin kebanyakan bukan berasal dari teknisi, maka apa-
bila ini yang terjadi dalam suatu organisasi, pemimpin harus mam-
pu menyesuaikan diri dengan situasi organisasi yang dihadap-
inya. Pemimpin sedikit-banyaknya harus mengetahui mekanisme
atau prosedur kerja yang dimiliki. Tanpa keterampilan ini, dalam
kepemimpinan, seorang pemimpin akan sulit menyesuaikan diri
dengan tuntutan kerja yang progresif dan insidental.

D. Keterampilan Bersikap Bijak


Keterampilan bersikap bijak (political skills=P), yaitu dalam arti ke-
mampuan pimpinan untuk menempatkan diri pada jabatannya, bi-
jaksana dalam menggunakan kewenangannya, dan dalam mengada-
kan hubungan yang baik (Katz, 1974; Mintzberg: 1980).
76 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Keterampilan pemimpin ini apabila dihubungkan dengan tingka-


tan manajemen, maka dapat dilihat keterampilan mana yang pal-
ing menonjol bagi seorang pemimpin dalam memimpin, yang dapat
digambarkan dalam skema berikut:

Top Management CP T H
Middle Management CP T H
Lower Management CP T H

Dari tingkatan manajemen ini, maka terlihat pada manajemen


puncak (top management), memiliki keterampilan konseptual dan
politis yang lebih tinggi dibandingkan dengan keterampilan teknis
dan manusiawi, sedangkan pada tingkatan manajemen menengah
(middle management) memiliki keterampilan teknis (technical) tinggi
dibandingkan dengan keterampilan konseptual, politik dan manu-
siawi. Sedangkan pada manajemen bawah (Lower management) memi-
liki keterampilan teknis (technical) yang paling besar dibandingkan
dengan keterampilan konseptual, politik, dan manusiawi.
Dari penjelasan tingkatan manajemen ini dapat disimpulkan
bahwa dalam kepemimpinan top management harus ditekankan ket-
erampilan konseptual dan politik yang paling besar agar kepemimpi-
nan dapat berjalan dengan lancar, sedangkan dalam manajemen
menengah keterampilan teknis harus lebih ditekankan agar dapat
memimpin bawahan dengan baik, sedangkan kepemimpinan bawah
(lower management) harus lebih banyak menekankan pada keterampi-
lan teknis.

YXWUXWZ
Keterampilan yang harus dimiliki oleh Pemimpin 77

Bab 7
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan

A. Pengertian Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan


Gaya (style) merupakan suatu sifat, karakter atau kecenderungan se-
orang pemimpin dalam memimpin atau menggunakan kekuasaan
dan kebijakan dalam suatu organisasi. Gaya seorang pemimpin da-
lam memimpin pada umumnya berbeda satu dengan yang lainnya
tergantung kepada sifat, karakter dan kecenderungan atau situasi
yang dihadapi seorang pemimpin dalam memimpin.
Pemimpin adalah seseorang yang dipilih atau menjadi pemimpin
serta memberikan pengaruh lantaran karena dibekali oleh sejumlah
kemampuan paling tidak ada empat menurut Lunnenburg dan Orn-
stein (1996)1 yaitu 1) adanya legitimate power (legitimasi kekuasaan),

1 Lunenburg Fred C. & Allan C. Ornstein, 2000. Educational Admin-


istration, Concepts and Practices, 2nd. Edition. Wadsworth Publish-
ing Company: California hal. 123-l 26.
78 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

2) reward power (kemampuan memberikan penghargaan), 3) coercieve


power (kemampuaan untuk memaksa bawahan untuk bekerja tanpa
keluhan) dan 4) expert power (kemampuan atau kekuasaan disebab-
kan karena adanya keahlian).
Sedangkan kepemimpinan merupakan sebuah pendekatan da-
lam proses memimpin berdasarkan kepada prinsip manajemen den-
gan mengedepankan kepentingan organisasi, prestasi kerja, bawahan
dan kepemimpinan itu sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan prinsip manajemen di sini
ialah planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuat-
ing (menggerakkan) dan controlling (pengawasan).
Terkait dengan kepemimpinan ini, dalam pandangan Islam
setidaknya tugas dan peran kepemimpinan harus sejalan dengan tu-
juan penciptaan manusia itu sendiri. Dengan demikian, kepemimpi-
nan hendaknya membawa manusia tersebut kepada tujuan pen-
ciptaan manusia agar kepemimpinan dapat membawa kepada
keselamatan; bukan saja keselamatan organisasi, pemimpin tetapi
juga bawahan (manusia) yang dipimpinnya.
Terdapat setidaknya enam tugas kepemimpinan tersebut yang
terkait dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu:
1) Manusia diciptakan bukan secara main-main melainkan untuk
mengemban amanah/tugas keagamaan, yaitu untuk mengabdi/
beribadah kepada Allah seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an
(Surat Al-Mu’minuun, ayat 115);
2) Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah/wakil Allah/pen-
gelola di muka bumi seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surat
Al-Ahzab, ayat 72 dan (Surat Adz-Dzaariyaat, ayat 56);
3) Manusia dibedakan derajatnya oleh Allah satu dengan yang
lainnya untuk diuji oleh Allah atau derajat yang dimiliki terse-
but seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surat Al-Baqarah, ayat
30 dan Surat Al-An’aam, ayat 165);
4) Manusia diciptakan untuk misi amar ma’ruf nahi munkar, yaitu
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 79

perintah untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemung-


karan) seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surat Ali Imran,
ayat 110);
5) Manusia diciptakan dan diperhatikan oleh Allah SWT seperti
dinyatakan dalam Al-Qur’an (Surat Ar-Rahman, ayat 31);
6) Manusia diciptakan oleh Allah untuk dimintai pertanggung
jawabannya atas perbuatan yang mereka lakukan seperti dinya-
takan dalam Al-Qur’an (Surat Al-Qiyaamah, ayat 36).

B. Kepemimpinan Sebagai Suatu Gaya


Mungkin karena tidak adanya kesepakatan dalam memberikan defi-
nisi tentang kepemimpinan dalam suatu organisasi, maka para ahli
teori manajemen berusaha menggambarkannya dalam gaya. Istilah
gaya (style) seorang pemimpin menggambarkan bagaimana se-
orang pemimpin tersebut bertindak, bukan dipersoalkan siapakah
pemimpin tersebut. Ketika kita mengenal seorang pemimpin, Kita
mungkin dapat menyimpulkan sendiri dengan mengenal gaya se-
orang pemimpin dalam memimpin. Mungkin kita berkata bahwa
pemimpin tersebut adalah pemimpin dengan tipe “seorang inovator/
motivator”, “tipe seorang pionir (pelopor)”, “seorang kharismatik/
primadona”, atau “seorang otoriter” dan sejumlah tipe pemimpin
lainnya yang mungkin diberikan kepada seorang pemimpin.. Den-
gan kata lain, kita cenderung menggolongkan seorang pemimpin
berdasarkan cara ia memimpin menurut cara pandang kita menge-
nai dia. Dengan sendirinya, seseorang mungkin memberikan penaf-
siran atau interpretasi yang berbeda mengenai gaya yang digunakan
oleh seorang pemimpin. “Gaya” ternyata merupakan stereotype atau
ringkasan dari bagaimana seorang pemimpin melaksanakan fungsi
kepemimpinannya dan bagaimana ia dilihat oleh mereka yang dip-
impinnya atau mereka yang mungkin sedang mengamati dari luar.
Jika diamati, banyak pakar berupaya merumuskan dan mem-
80 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

berikan batasan mengenai gaya kepemimpinan ini. Tofan Agung


Eka P (2009)2 misalnya berusaha memberikan definisi bahwa gaya
kepemimpinan dapat diartikan sebagai penampilan atau karakter-
istik khusus dari suatu bentuk kepemimpinan. Gaya kepemimpi-
nan merupakan suatu faktor penting dalam menjalankan efektivi-
tas kepemimpinan. Anang Hidayat (2007)3 menyatakan pula bahwa
gaya kepemimpinan adalah bagaimana gaya atau perilaku seorang
pemimpin ketika mencoba atau berusaha mempengaruhi segenap
anggota atau bawahannya dalam aktivitas organisasional untuk pen-
capaian kinerja yang setinggi-tingginya.
Demikian juga Djoko Purwanto (2006)4 memberikan definisi
bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan suatu cara
bagaimana seorang pemimpin mempengaruhi, mengarahkan, me-
motivasi, dan mengendalikan bawahannya dengan cara-cara ter-
tentu, sehingga bawahan dapat menyelesaikan tugas pekerjaannya
secara efektif dan efisien.
Dalam organisasi, penerapan gaya kepemimpinan (leadership
style) seseorang akan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku para
bawahannya (karyawan/pegawai) dalam melakukan pekerjaan mer-
eka. Kepemimpinan dalam suatu organisasi terjadi karena ada inter-
aksi antara tiga komponen penting, yaitu pemimpin, bawahan dan
situasi atau kondisi lingkungan kerja tertentu.

C. Anggapan Tentang Gaya Kepemimpinan Seorang


Pemimpin
Dalam sejarah, umumnya posisi seorang pemimpin sangat terkesan,

2 Tofan Agung Eka P, 2009. Kepemimpinan, Globalisasi dan Keperawa-


tan, Jember: Universitas Jember.
3 Anang Hidayat.2007. Strategi six sigma +CD, Jakarta: Elex Media
Komputindo.
4 Djoko Purwanto, 2006. Komunikasi bisnis edisi 3, Jakarta:Erlangga.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 81

berwibawa, disegani dan merupakan jabatan yang dianggap mulia.


Faktor-faktor dan sebab-sebab menjadi seorang pemimpin pun san-
gat beragam. Ada yang menjadi seorang pemimpin karena terlahir
dari kondisi keprihatinan sehingga mendorong lahirnya seorang
pemimpin. Ada pula yang lahir karena sistem kekuasaan yang ber-
laku (secara turun-temurun), tidak kalah pula kita lihat ada seoorang
pemimpin tampil karena kharismatiknya di mata orang banyak
(rakyat).
Dalam perkembangannya belakangan ini, kepemimpinan di-
anggap sebagai suatu yang sangat memperihatinkan terutama den-
gan kecenderungan sejumlah besar pemimpin pada level pemimpin
organisasi formal yang cenderung corrupt. Akibatnya kepemimpinan
dicitrakan sebagai sesuatu yang kotor, nista dan mengambil keun-
tungan di satu pihak tetapi merugikan dipihak lain.kepemimpinan
seorang pemimpin tidak lebih dari tirani kekuasaan versi gaya mod-
ern. Orang kemudian tidak jarang miris melihat organisasi sebagai
sarang korupsi dengan bentuknya yang beragam. Di dunia birokrasi,
kepemimpinan sering diklaim dengan isu money politik, korupsi dan
nepotisme. Bagi dunia pendidikan, kepemimpinan pendidikan iden-
tik dengan isu sogokan. Demikian juga banyaknya isu-isu negatif
bagi kepemimpinan organisasi lainya.
Apa yang berlaku sebenarnya adalah pandangan seseorang
pemimpin dalam memimpin, kecenderungan dan motivasi memimpin
bagi seseorang pemimpin. Karena fungsi dari kepemimpinan ialah
memimpin, maka perilaku seorang pemimpin dalam organisasi men-
jadi sangat penting dalam menjalankan organisasi dengan baik, ama-
nah dan bertanggungjawab. Salah satu factor yang nmempengruhi
kepemimpinan demikian adalah gaya kepemimpinan yang dimi-
liki oleh seorang pemimpin dalam memimpin. Gaya kepemimpinan
menjadi sangat penting artinya dalam menciptakan organisasi yang
berkesan. Dengan gaya kepemimpinan yang berkesan pula, seorang
pemimpin dapat membertahankan bawahan untuk bekerja dengan
82 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

prestasi kerja yang tinggi yang ditandai dengan produktivitas kerja,


kualitas kerja, inisiatif, kemampuan bekerja dalam tim dan kemam-
puannya untuk menyelesaikan masalah dengan berkualitas karena
didukung oleh pemimpin yang berkesan pula.

D. Mencari Gaya Kepemimpinan Yang Terbaik


Organisasi yang efektif sangat tergantung dengan beberapa faktor.
Salah satunya di antaranya adalah faktor kepemimpinan. Dari sekian
banyak gaya kepemimpinan yang ada dan diperkenalkan, agaknya
sampai saat ini, para ahli termasuk kita susah untuk menentukan
gaya kepemimpinan yang seperti apakah yang terbaik. Hal ini dise-
babkan karena gaya kemimpinan yang dianggap sangat baik untuk
diterapkan dalam suatu kondisi, belum tentu cocok diterapkan da-
lam kondisi yang lain. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin harus
disesuaikan dengan situasi, sifat dan perilaku orang yang dipimpin.
Karena itu, menjadi seorang pemimpin yang efektif, seseorang ti-
dak hanya harus menganut suatu gaya kepemimpinan saja, namun
pemimpin harus fleksibel untuk memilih gaya kepemimpinan lain
yang dianggap sesuai untuk keperluan organisasi.
Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif pemimpin tidak
hanya terpaku untuk menganut satu gaya kepemimpinan saja tetapi
perlu dikombinasikan dengan gaya kepemimpinan yang lain. Se-
bab setiap gaya kepemimpinan memiliki kekurangan dan kelebihan
masing-masing. Jadi memang sulit untuk menentukan manakah
gaya kepemimpinan yang terbaik. Hal yang terpenting adalah bah-
wa seorang pemimpin hendaknya dengan cerdas mengetahui gaya
kepemimpinan apa yang harus diterapkan dalam situasi dan kondisi
yang saat itu sedang dihadapi dalam organisasi atau kepemimpinan-
nya. Terkadang pilihan, silih berganti dan monotonnya suatu gaya
kepemimpinan yang dipakai oleh seorang pemimpin dirasakan tidak
berpihak kepada bawahan. Padahal justru dalam kondisi tertentu
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 83

(mungkin sifatnya mendesak atau kritis) bermanfaat bagi organisasi.


Dilema penerapan gaya kepemimpinan yang multi-style ini meng-
hadapkan seorang pemimpin kepada pentingnya menyelamatkan
kinerja organisasi dan mempertahankan simpati dan motivasi kerja
bawahan
Tidak adanya komunikasi yang dibangun oleh seorang
pemimpin atau terlalu sentimennya bawahan terhadap pemimpin
sering menjadi hambatan dalam membangun kinerja dan prestasi
organisasi. Karena itu komunikasi sangat penting bagi kedua be-
lah pihak untuk mempertahankan persepsi masing-masing dengan
maksud untuk mencapai tujuan bersama yaitu stabilitas kinerja dan
prestasi organisasi. Abdullah Hassan dan Ainon Mohd (2003) me-
nyatakan bahwa ada empat hal yang menentukan kejayaan seorang
pemimpin sebagai seorang profesional dalam suatu organisasi, yaitu
1) kemampuan seorang pemimpin mendorong diri sendiri untuk
melakukan sesuatu, 2) keupayaan mendorong orang lain, 3) kemahi-
ran berkomunikasi, dan 4) kecakapan teknis.

E. Jenis-Jenis Gaya Kepemimpinan


Mengingat bahwa gaya kepemimpinan mencakup tentang bagaima-
na seseorang bertindak dalam konteks suatu organisasi, maka cara
yang paling mudah untuk menjelaskan atau mendefinisilan berba-
gai jenis gaya ialah dengan menggambarkan jenis organisasi atau si-
tuasi yang dihasilkan oleh atau yang cocok bagi satu gaya tertentu.
Perhatian utama kita pada saat ini adalah bagi mereka yang sudah
menduduki atau berada dalam posisi kepemimpinan. Dalam buku
ini (lihat bab 4), kita akan jelaskan tiga belas gaya kepemimpinan:
gaya kepemimpinan Rasulullah SAW, autokratik, semi-autokratik,
laissez-faire, kharismatik, demokratis, partisipatif, amanah, transfor-
masional, situasional, tiga dimensi, birokratis, dan kontinum. Kita
akan melihat masing-masing gaya kepemimpinan tersebut menurut
84 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

cara kerja pemimpinnya dalam organisasi.

F. Beberapa Gaya Kepemimpinan

(a) Gaya Kepemimpinan Rasulullah SAW


Islam, disamping sebagai suatu keyakinan agama juga sarat dengan
kebenaran yang sebenarnya dapat digali oleh siapapun tanpa harus
menyinggung keyakinannya. Dalam kaitan dengan ilmu manajemen,
Rasulullah dapat dijadikan sebagai teladan, sebagai mana Michael
Hart (1994) dalam bukunya Seratus Tokoh Yang Berpengaruh Dalam
Sejarah menempatkan Muhammad SAW sebagai pemimpin yang
ditempatkannya pada urutan pertama, alasannya, bahwa tidak ada
pemimpin sekaliber Muhammad SAW, dimana pengikutnya begitu
cepat bertambah, dan begitu panatik terhadapnya walaupun mereka
tidak pernah menemuinya, bahwa semakin lama, semakin disanjung-
sanjung ajarannya. Tidak seperti pemimpin lain yang banyak disan-
jung hanya pada saat ia hidup.
Rasulullah demikian dicintai sahabat dan pengikutnya. Hal ini
dapat disimak dari kisah dan perjalanan hidupnya, ia hidup bukan
untuk dirinya, ia berasal dari keluarga miskin tanpa unsur warisan
harta dan kekuasaan, ia mandiri, jujur, berani, penyebar, adil, mem-
puyai visi kedepan, berwawasan jangka panjang, tegas, dipercaya,
dan menyayangi bawahannya. Inilah sifat-sifat sebagai pemimpin.
Dalam ilmu manajemen, khususnya dalam ilmu kepemimpinan,
sifat-sifat seperti ini telah menjadi pedoman para ahli manajemen,
yaitu memperhatikan bawahan, mengembangkan bawahan, dan
mencintai bawahan.
Muhammad SAW tidak saja menarik karena kepribadiannya,
tetapi juga keteladanannya. Karena itulah, banyak mengatakan bah-
wa ia dapat dijadikan teladan masa dulu, kini dan yang akan dating.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 85

Terlebih-lebih apa yang digambarkan oleh P. Winarto (2005)5 yang


mengilustrasikan bahwa krisis keteladanan barangkali itulah kata
yang paling tepat untuk menggambarkan situasi dunia kepemimpi-
nan di tanah air kita saat ini. Ia mengutip pendapat John C. Maxwell
yang sering mengatakan bahwa orang akan melakukan apa yang di-
lihatnya (people do what people see). P.Winarto lebih lanjut mengatakan
bahwa sebuah penelitian ilmiah membuktikan bahwa manusia bela-
jar 89 persen dari apa yang dilihatnya, 10 persen dari apa yang diden-
garnya, dan hanya 1 persen dari indra lainnya. “Karena itu, menurut
Maxwell, masuk akal apabila semakin sering pengikut melihat dan
mendengar pemimpinnya bersikap konsisten dalam tindakan dan
perbuatan, semakin besar pula konsistensi dan loyalitas mereka“.
Kehadiran Rasulullah SAW merupakan sosok atau figur yang
dapat menjadi ibrah, cermin atau “obat penawar rindu” ketika or-
ganisasi terjadi krisis keteladanan. Menurut Said Agil Siroj (2006)6
keteladanan merupakan barang langka dan sulit didapati dalam ke-
hidupan saat ini. Kebanyakan orang lebih mengutamakan polesan-
polesan palsu di bibirnya (baca: munafik), membudayanya praktik
korupsi, kolusi dan manipulasi menunjukkan keroposnya mental
para pemimpin yang senantiasa dijadikan “anutan” masyarakat.
Dalam konteks ke-Indonesia-an, krisis keteladanan sosial (social
distrust) saat ini menjadikan bangsa ini kehilangan figur yang patut
menjadi contoh dan teladan yang harus diikuti secara konsisten.
Hadirnya Muhammad SAW sebagai seorang figur pemimpin dapat
menjadi rujukan dari berbagai aspek kehidupan dan kepemimpi-
nan. Keteladanan Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa ia
memiliki kepemimpinan yang kuat. Ia dapat menjadi teladan da-
lam memimpin keluarga, menjadi pemimpin social-politik, menjadi

5 P.Winarto, 2005. The Leadership Wisdom: Inspirasi Untuk Mening-


katkan Potensi Kepemimpinan Anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.
6 Said Agil Siroj, 2006. Tasawuf sebagai Kriotik Sosial: Mengedepankan
Islam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Jakarta: Mizan.
86 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

pemimpin sistem pendidikan, kepemimpinan militer, pemimpin hu-


kum, pemimpin hukum, menjadi teladan, pendidik dan sebagainya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syafi’i Antonio (2009)7.
Dari segi praktek, menurut Said Hawwa (2003)8 sejarah umat
manusia dalam semua masanya, dari miliaran jumlah umat ini tidak
pernah luput dari adanya perbedaan pengetahuan, perbedaan ting-
katan, perbedaan spesialisasi, dan perbedaan kecenderungan. Di
antara mereka ada yang kaya, miskin, pemimpin, kepala negara,
ilmuan, ahli ibadah, dan sebagainya. Semuanya berpegangan pada
keteladanan Rasulullah SAW, dalam hal besar dan kecil, sampai kita
menemukan contoh yang jelas dari mereka. Setiap orang berdalil
bahwa perilakunya adalah perilaku Rasulullah SAW yang sedang ia
teladani dan amalkan. Itu semua, pada kenyataannya adalah hasil
kekayaan kepribadian Rasulullah SAW yang mencakup keadaan ma-
nusia semuanya.
Said Hawwa (2003) menyatakan bahwa Rasulullah SAW dalam
semua sisi kehidupannya adalah teladan yang agung dan utama bagi
manusia sebab kesempurnaan segala sesuatu sebagai manusia ada
pada beliau, dan dari beliaulah manusia mengenal kesempurnaan
dalam segala sesuatu. Inilah sisi yang akan kita paparkan dalam bab
ini untuk menjelaskan pada kita bahwa tidak ada kesempurnaan
bagi manusia seperti apapun hebatnya dalam segala keadaan kecuali
dengan mengikuti dan mencontoh Rasulullah SAW.

(b). Gaya kepemimpinan autokratik


Karakteristik gaya kepemimpinan autokratik menunjukkan bahwa
pemimpin autokrasi cenderung untuk memimpin dan mengguna-
kan kekuasaan dengan cara paksa. Pada kepemimpinan autokrasi

7 Safii Antonio, 2007. The Super Leader the Super Manager, Jakarta: Tazkia
Multimedia & ProLM Centre.
8 Said Hawwa, 2003. Ar-Rasul Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Jakarta: Gema In-
sani Press.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 87

pemimpin membuat satu keputusan dan rakyat mesti mematuhi


arahan tersebut. Ini adalah menyerupai struktur organisasi dan me-
kanistik dimana satu hirarki kekuasaan dan pembuatan keputusan
adalah terpusat.
Abdullah Hasan dan Ainon Mohd (2003)9 istilah pemimpin au-
tokratik juga dikenali sebagai pemimpin kuku besi. Pemimpin seper-
ti ini sangat mementingkan status atau kedudukannya sebagai orang
yang berkuasa. Bahkan Abdullah Hasan dan Ainon Mohd (2005)10
menyatakan bahwa dilihat dari satu segi, kepemimpinan autokratik
sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan individu, karena itu
kebanyakan orang menilai gaya kepemimpinan autokratik secara
negatif. Gaya ini lazimnya tidak disukai dan dianggap membahaya-
kan organisasi yang dipimpin. Tetapi, dalam situasi tertentu gaya
seperti ini ada kalanya sangat baik dan berkesan. Ia sangat sesuai
digunakan apabila bawahan terdiri dari mereka yang tidak mempu-
nyai banyak pengalaman dalam tugas-tugas yang mereka jalankan.
Menurut Tofan Agung Eka P. (2009)11 pemimpin autokratik
mempertahankan seluruh otoritas dan tanggung jawabnya serta per-
hatian utamanya pada pencapaian tugas dan tujuan. Tipe kepemimpi-
nan seperti ini membuat uraian tugas secara terinci dan menegakkan
komunikasi satu arah dengan kelompoknya. Pemimpin autokratik
bersifat kaku, tetap dan dominan. Pemimpin dengan gaya seperti ini
menekankan ketepatan, bekerja sesuai dengan prosedur dan meng-
gunakan kekuasaan untuk mengintimidasi atau menekan mereka
yang gagal untuk mempertahankan keberhasilan. Pemimpin ini me-
naruh sedikit kepercayaan dan keyakinan kepada tenaga kerjanya.
Dan oleh sebab itu ia yang membuat seluruh keputusan. Karena itu

9 Abdullah Hasan dan Ainon Mohd, 2003. Teori dan teknik kepemimpinan:
Panduan aplikasi di tempat kerja, Pahang Darul Makmur: PTS Professional.
10 Abdullah Hasan dan Ainon Mohd, 2005. Teori dan teknik kepemimpinan:
Panduan aplikasi di tempat kerja, Pahang Darul Makmur: PTS Professional.
11 Tofan Agung Eka P, 2009. Kepemimpinan, Globalisasi dan Keperawatan, Jem-
ber: Universitas Jember.
88 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

tenaga kerja secara umum takut pada pemimpin seperti ini, inisiatif
dan kreativitas individu terabaikan.
Menurut Abdullah Sani Yahya, dkk (2007) 12 pemimpin yang
mengamalkan gaya kepemimpinan autokratik memberikan kepu-
tusan yang berbentuk perintah dan pengikutnya mesti patuh pada
arahan yang diberikan tanpa banyak soal.
Menurut Ishak Mad Shah (2006)13 tingkah laku kepemimpinan
autokratik adalah gaya kepemimpinan yang terlampau memimpin
dicirikan dengan menetapkan semua kebijakan, tugas dan rekan ker-
ja, menentukan teknik dan langkah ke arah pencapaian tujuan, ber-
sikap pribadi dalam memberikan pujian dan kritikan terhadap kerja
setiap anggota tanpa memberikan alasan yang obyektif.
Gaya kepemimpinan autokratis adalah gaya kepemimpinan
yang menggunakan kekuatan jabatan dan kekuatan pribadi secara
otoriter. Melakukan sendiri semua perencanaan tujuan dan mem-
buat keputusan dan memotivasi bawahan dengan cara paksaan,
sanjungan, kesalahan dan penghargaan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Gaya kepemimpin ini tidak sesuai dengan keadaan
masyarakat sekarang. Globalisasi membutuhkan para pemimpin
yang dapat membuat para pengikutnya dapat bekerja secara efektif
dan efisien.dibutuhkan banyak inisiatif dan kreativitas yang tinggi
dalam menghadapi persaingan global. Jika tidak maka kita akan ters-
ingkir dan terseleksi dengan mudah.
Gaya kepemimpinan autokratik dapat diterapkan dalam beber-
apa situasi. Pemimpin autokratik dibutuhkan bagi staf baru, dalam
situasi kritis dan dan tidak ada waktu untuk menentukan keputusan
kelompok. Pemimpin autokratis bekerja dengan sangat baik pada

12 Abdullah Sani Yahya, dkk., 2007. Guru sebagai pemimpin, Malawati Kuala
Lumpur: PTS Professional.
13 Ishak Mad Shah, 2006. Kepemimpinan dan hubungan interpersonal dalam or-
ganisasi, Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 89

saat krisis dan dalam situasi genting (musibah) mereka telah memi-
liki reputasi untuk mampu menyelesaikan tugas yang sulit.
Teori X dan Y oleh McGregor (1960 ), berdasarkan teori X men-
erangkan gaya manajemen yang bersifat autokratik berdasarkan an-
daian mengenai individu berhubung dengan kerjanya.
1. Manusia secara amnya adalah malas dan selalu cuba mengelak-
kan diri dari membuat sebarang kerja dan mesti dipaksa dan di-
arah untuk melaksanakan tugas.
2. Manusia golongan ini tidak rnempunyai kreativiti, tidak ber-
cita-cita tinggi, suka melarikan diri daripada tanggungjawab
dan suka diarah (Jaafar,l997, Razali 1996 dan Lunenberg &
Ornstein,1996).

Pelopor dan Sejarah Kepemimpinan Autokratik


Gaya kepemimpinan autokratik yang dikemukakan oleh Abdul-
lah Hassan dan Ainon Mohd (2003)14; Abdullah Hassan dan Ainon
Mohd (2005)15; Tofan Agung Eka P. (2009)16; Abdullah Sani Yahya
et al. (2007)17 dan Ishak Mad Shah (2006)18 yang menyatakan bahwa
gaya kepemimpinan autokratik ialah gaya kepemimpinan dimana
pemimpin status atau kedudukannya sebagai orang yang berkuasa,
ia memiliki autority dan tanggung jawab sepenuhnya pada pencapa-
ian tugas dan tujuan organisasi. Pemimpin ini memberikan keputu-
san yang berbentuk perintah dan pengikutnya mesti patuh pada ara-
han yang diberikan tanpa banyak persoalan. Terkadang pemimpin

14 Abdullah Hasan dan Ainon Mohd, 2003. Teori dan teknik kepemimpinan:
Panduan aplikasi di tempat kerja, Pahang Darul Makmur: PTS Professional.
15 Abdullah Hasan dan Ainon Mohd, 2005. Teori dan teknik kepemimpinan:
Panduan aplikasi di tempat kerja, Pahang Darul Makmur: PTS Professional.
16 Tofan Agung Eka P, 2009. Kepemimpinan, Globalisasi dan Keperawatan, Jem-
ber: Universitas Jember.
17 Abdullah Sani Yahya, dkk., 2007. Guru sebagai pemimpin, Malawati Kuala
Lumpur: PTS Professional.
18 Ishak Mad Shah, 2006. Kepemimpinan dan hubungan interpersonal dalam or-
ganisasi, Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia.
90 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

memberikan pujian dan kritikan terhadap kerja setiap pekerja tanpa


memberikan alasan yang obyektif.
McGregor (1960) dapat dipandang sebagai salah seorang yang
menjadi pelopor lahirnya gaya kepemimpinan autokratik ini. Hal ini
didasarkan atas teorinya yang terkenal dengan teori X dan Y. Da-
lam teori ini, bawahan atau staf dianggap malas, tidak kreatif, tidak
bercita-cita dan selalu menghindari pekerjaan dan tanggungjawab.
Karena itu, perlu adanya gaya kepemimpinan autokratik yang da-
pat memaksa bawahan atau staf untuk bekerja sesuai dengan kendali
pemimpin.
Dalam konteks ini, bawahan, staf atau pekerja hanya akan bek-
erja apabila ada perintah dan pimpinan. Apabila pemimpin dan per-
intah tidak ada, maka ada kecenderungan bawahan, staf atau pekerja
tidak melakukan aktivitas yang berarti.

1) Karakteristik Gaya Kepemimpinan Autokratik


Karakteristik gaya kepemimpinan autokratik menunjukkan bahwa
pemimpin autokrasi cenderung untuk memimpin dan mengguna-
kan kekuasaan dengan cara paksa. Pada kepemimpinan autokrasi
pemimpin membuat satu keputusan dan rakyat mesti mematuhi
arahan tersebut. Ini adalah menyerupai struktur organisasi dan me-
kanistik dimana satu hirarki kekuasaan dan pembuatan keputusan
adalah terpusat.
Abdullah Hasan dan Ainon Mohd (2003)19 istilah pemimpin au-
tokratik juga dikenali sebagai pemimpin kuku besi. Pemimpin seper-
ti ini sangat mementingkan status atau kedudukannya sebagai orang
yang berkuasa. Bahkan Abdullah Hasan dan Ainon Mohd (2005)20
menyatakan bahwa dilihat dari satu segi, kepemimpinan autokratik

19 Abdullah Hasan dan Ainon Mohd, 2003. Teori dan teknik kepemimpinan:
Panduan aplikasi di tempat kerja, Pahang Darul Makmur: PTS Profession-
al.
20 Abdullah Hasan dan Ainon Mohd, 2005. Teori dan teknik kepemimpinan:
Panduan aplikasi di tempat kerja, Pahang Darul Makmur: PTS Professional.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 91

sangat bertentangan dengan prinsip kebebasan individu, karena itu


kebanyakan orang menilai gaya kepemimpinan autokratik secara
negatif. Gaya ini lazimnya tidak disukai dan dianggap membahaya-
kan organisasi yang dipimpin. Tetapi, dalam situasi tertentu gaya
seperti ini ada kalanya sangat baik dan berkesan. Ia sangat sesuai
digunakan apabila bawahan terdiri dari mereka yang tidak mempu-
nyai banyak pengalaman dalam tugas-tugas yang mereka jalankan.
Menurut Tofan Agung Eka P. (2009) pemimpin autokratik mem-
pertahankan seluruh otoritas dan tanggung jawabnya serta perhatian
utamanya pada pencapaian tugas dan tujuan. Tipe kepemimpinan
seperti ini membuat uraian tugas secara terinci dan menegakkan
komunikasi satu arah dengan kelompoknya. Pemimpin autokratik
bersifat kaku, tetap dan dominan. Pemimpin dengan gaya seperti ini
menekankan ketepatan, bekerja sesuai dengan prosedur dan meng-
gunakan kekuasaan untuk mengintimidasi atau menekan mereka
yang gagal untuk mempertahankan keberhasilan. Pemimpin ini me-
naruh sedikit kepercayaan dan keyakinan kepada tenaga kerjanya.
Dan oleh sebab itu ia yang membuat seluruh keputusan. Karena itu
tenaga kerja secara umum takut pada pemimpin seperti ini, inisiatif
dan kreativitas individu terabaikan.
Menurut Abdullah Sani Yahya, dkk (2007) pemimpin yang
mengamalkan gaya kepemimpinan autokratik memberikan kepu-
tusan yang berbentuk perintah dan pengikutnya mesti patuh pada
arahan yang diberikan tanpa banyak soal.
Menurut Ishak Mad Shah (2006) tingkah laku kepemimpinan
autokratik adalah gaya kepemimpinan yang terlampau memimpin
dicirikan dengan menetapkan semua kebijakan, tugas dan rekan ker-
ja, menentukan teknik dan langkah ke arah pencapaian tujuan, ber-
sikap pribadi dalam memberikan pujian dan kritikan terhadap kerja
setiap anggota tanpa memberikan alasan yang obyektif.
Gaya kepemimpinan autokratis adalah gaya kepemimpinan
yang menggunakan kekuatan jabatan dan kekuatan pribadi secara
92 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

otoriter. Melakukan sendiri semua perencanaan tujuan dan mem-


buat keputusan dan memotivasi bawahan dengan cara paksaan,
sanjungan, kesalahan dan penghargaan untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Gaya kepemimpin ini tidak sesuai dengan keadaan
masyarakat sekarang. Globalisasi membutuhkan para pemimpin
yang dapat membuat para pengikutnya dapat bekerja secara efek-
tif dan efisien.dibutuhkan banyak inisiatif dan kreativitas yang ting-
gi dalam menghadapi persaingan global. Jika tidak maka kita akan
tersingkir dan terseleksi dengan mudah.
Gaya kepemimpinan autokratik dapat diterapkan dalam beber-
apa situasi. Pemimpin autokratik dibutuhkan bagi staf baru, dalam
situasi kritis dan dan tidak ada waktu untuk menentukan keputusan
kelompok. Pemimpin autokratis bekerja dengan sangat baik pada
saat krisis dan dalam situasi genting (musibah) mereka telah memi-
liki reputasi untuk mampu menyelesaikan tugas yang sulit.
Teori X dan Y oleh McGregor (1960 ), berdasarkan teori X men-
erangkan gaya manajemen yang bersifat autokratik berdasarkan an-
daian mengenai individu berhubung dengan kerjanya.
1. Manusia secara amnya adalah malas dan selalu cuba mengelak-
kan diri dari membuat sebarang kerja dan mesti dipaksa dan di-
arah untuk melaksanakan tugas.
2. Manusia golongan ini tidak rnempunyai kreativiti, tidak bercita-
cita tinggi, suka melarikan diri daripada tanggungjawab dan suka
diarah(Jaafar,l997, Razali 1996 dan Lunenberg & Ornstein,1996).

2) Pelopor dan Sejarah Kepemimpinan Autokratik


McGregor (1960) dapat dipandang sebagai salah seorang yang men-
jadi pelopor lahirnya gaya kepemimpinan autokratik ini. Hal ini di-
dasarkan atas teorinya yang terkenal dengan teori X dan Y. Dalam
teori ini, bawahan atau staf dianggap malas, tidak kreatif, tidak
bercita-cita dan selalu menghindari pekerjaan dan tanggungjawab.
Karena itu, perlu adanya gaya kepemimpinan autokratik yang da-
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 93

pat memaksa bawahan atau staf untuk bekerja sesuai dengan kendali
pemimpin.
Dalam konteks ini, bawahan, staf atau pekerja hanya akan be-
kerja apabila ada perintah dan pimpinan. Apabila pemimpin dan
perintah tidak ada, maka ada kecenderungan bawahan, staf atau pe-
kerja tidak melakukan aktivitas yang berarti.

(c). Gaya kepemimpinan laissez-faire


Selain itu, dikenal pula gaya kepemimpinan laissez faire. Laissez-faire
berasal dari bahasa Perancis yang sejatinya menunjuk pada doktrin
ekonomi yang menganut paham tanpa campur tangan pemerintah
di bidang perniagaan; sementara dalam praktik kepemimpinan,
si pemimpin mengarahkan orang-orang yang dipimpinnya untuk
melakukan apa saja yang mereka kehendaki.
Menurut Ida Hartina (2006) pemimpin yang mengamal-
kan gaya kepemimpinan ini sebenarnya tidak memiliki sebarang
daya kepemimpinan. Mereka hanya pemimpin pada nama sahaja.
Pemimpin Laissez faire gagal membekalkan struktur dan arah yang
diperlukan bagi memastikan keberkesanan sesi kelompok. Pemimpin
memberi sepenuh kuasa kepada ahli bagi mengawal dan mengarah-
kan kelompok. Akibatnya, ahli-ahli kelompok mungkin keliru den-
gan tujuan yang perlu mereka capai dalam kelompok. Pemimpin
laissez faire lazimnya mempercayai ahli dapat bergerak sendiri tanpa
bantuan pemimpin. Malah bantuan hanya diberikan sekiranya ahli
memintanya daripada pemimpin. Ahli bertanggungjawab meran-
cang, mengendali, menjalankan aktiviti, dan mengambil keputusan
tanpa banguan pemimpin. Pemimpin hanya pemerhati yang tidak
menjalankan sebarang fungsi.
Sifat kepemimpinan tipe ini seolah-olah tidak muncul, karena
pemimpin memberikan kebebasan yang penuh kepeda para ang-
gotanya dalam melaksanakan tugasnya, dan bawahan dalam hal ini
mempunyai peluang besar untuk membuat keputusan.
94 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Dengan demikian, gaya kepemimpinan laissez faire ini merupakan tipe


seorang pemimpin yang tidak banyak berusaha untuk menjalankan
kontrol atau pengaruh terhadap para anggota kelompok, dan pusat
kekuasaan lebih banyak bertumpu pada anggota organisasi. Para
anggota kelompok biasanya akan bekerja menurut kehendaknya
masing-masing tanpa prosedur dan pedoman kerja yang jelas. Da-
lam hal ini, tipe kepemimpinan seperti ini tentunya juga tidak sesuai
dengan semangat yang seharusnya tumbuh dalam suatu organisasi.

(d). Gaya kepemimpinan kharismatik


Menurut Tasirun Sulaiman (2005)21 kepemimpinan kharismatik terja-
di karena pengikutnya mengira bahwa pimpinannya itu seorang yang
maksum, seorang wakil Tuhan dan lain-lain. Tapi sayang, pemimpin
gaya ini dalam kenyataan sering disalahgunakan sehingga akhirnya
melahirkan frustasi dan hujugnya adalah anarkis. Pemimpin kharis-
matik menurut Anderson dalam Ayub Ranoh (2006)22 sebenarnya
hanya ”kharismatik” di negaranya sendiri, dan tidak bererti bagi
bangsa dengan konteks kultural dan religius yang berbeda. Menurut
F. Rudy Dwi Wibawa dan Theo Riyanto (2008)23 seseorang pemimpin
yang kharismatik ialah pemimpin yang dikagumi oleh banyak pengi-
kut meskipun mereka tidak dapat menjelaskan secara kongkrit men-
gapa ia mengaguminya.
Menurut Ahmad Naim bin Jaafar (2003)24 banyak contoh
pemimpin besar dan berkarisma tergolong sebagai ‘twice borns’. Mer-
eka mengalami kemiskinan, menjadi anak yatim piatu, sejak kecil

21 Tasirun Sulaiman,2005.Sufistik: Masko Teko Wasiat, Jakarta: Erlangga.


22 Ayub Ranoh, 2006. Kepemimpinan kharismatik: Tinjauan teologis-etis atas
kepemimpinan, Jakarta: BPK Gunung Mulia
23 F.Rudy Dwi Wibawa dan Theo Riyanto,2008. Siap jadi pemimpin: Latihan
dasar kepemimpinan, Yogyakarta: Kanisius.
24 Ahmad Naim bin Jaafar, 2003. Membina karisma, Selangor malaysia: PTS
Professional.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 95

lagi dan biasa hidup dengan kesusahan. Akhirnya mereka mengubah


kehidupan mereka secara total dan muncul seorang yang hebat dan
berkarisma di bidang mereka.
Anderson (1990) sebagaimana dikutip oleh Ayub Ranoh (2006)
menyatakan bahwa pemimpin kharismatis, sebenarnya hanya
”kharismatis” di negaranya sendiri, dan tidak berarti bagi bangsa
dengan konteks kultural dan religius yang berbeda.
Menurut Tasirun Sulaiman (2005) kepemimpinan kharisma-
tik terjadi karena pengikutnya mengira bahwa pimpinannya itu se-
orang yang maksum.seorang wakil Tuhan dan lain-lain. Tapi sayang,
pemimpin gaya ini dalam kenyataan sering disalahgunakan sehingga
akhirnya melahirkan frustasi dan ujugnya adalah anarkis.
Menurut F.Rudy DwiWibawa dan Theo Riyanto (2008) seorang
pemimpin yang kharismatik ialah pemimpin yang dikagumi oleh
banyak pengikut meskipun mereka tidak dapat menjelaskan secara
kongkrit mengapa ia mengaguminya.
Gaya kepemimpinan ini merupakan suatu gaya atau tipe
kepemimpinan yang mempunyai daya tarik yang amat besar terh-
adap para pengikutnya, seakan-akan dalam diri pemimpin itu ada
sesuatu kekuatan yang sangat luar biasa. Kelemahannya adalah para
bawahan tidak ada yang dapat mengusulkan pendapat, saran, dan
pemikirannya.

(e). Gaya kepemimpinan demokratis


Menurut Louis E. Boone dan David L. Kurtz (2006) gaya kepemimpi-
nan demokratis melibatkan staf/bawahan dalam proses pengambilan
keputusan. Gaya kepemimpinan ini berpusat pada kontribusi staf/
bawahan. Pemimpin yang demokratis akan mendelegasikan peker-
jaan, meminta saran dari karyawan dan mendorong partisipasi.
Dalam gaya atau tipe kepemimpinan ini, bawahan atau staf ber-
partisipasi penuh dalam mencapai tujuan organisasi tanpa ada rasa
paksaan. Di samping itu, juga turut mengembangkan pemikiran-pe-
96 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

mikiran dalam menentukan atau memutuskan metode-metode yang


terbaik dalam melaksanakan pekerjaan. Dan selalu mendengarkan
pendapat bawahan dalam memutuskan suatu kebijakan.
Dapat dikatakan bahwa tipe kepemimpinan demokratis ini
adalah tipe kepemimpinan yang diharapkan dalam suatu organisasi.
Mengingat bahwa dalam tipe kepemimpinan ini, seorang pemimpin
selalu mengikutsertakan seluruh anggota dalam proses pengambilan
keputusan. Pemimpin akan menghargai pendapat dari para anggo-
ta, sehingga mereka pun akan turut serta bertanggung jawab dalam
pelaksanaan program dalam organisasi tersebut.
Dengan konsep kepemimpinan yang demokratis ini, pimpinan
bertanggung jawab dalam mengembangkan kemampuan seluruh
anggota, membangun hubungan kerja vertikal dan horizontal yang
saling mendukung dan menciptakan iklim organisasi yang ber-
gairah, sehingga kreativitas anggota dapat dipacu sedemikian rupa,
dan pada gilirannya, akan menjamin berlangsungnya inovasi yang
terus menerus. Sementara dalam hubungan ke luar, pimpinan ber-
tanggung jawab dalam membina dan memelihara hubungan dengan
organisasi lainnya, serta lingkungan masyarakat di sekitarnya.

(f). Gaya kepemimpinan partisipatif


Dalam konteks kepemimpinan J. Salusu (1996)25 menyatakan bahwa
jika ada pemimpin harus ada yang dipimpin, ada kelompok, pengi-
kut, yang semuanya mempunyai kepentingan dan aspirasi yang
beraneka ragam. Pemimpin tersebut memimpin dalam situasi yang
seringkali berbeda sesuai dengan waktu. Berdasarkan kenyataan ini
Gibb (1972) menyimpulkan bahwa ada empat elemen utama dalam
kepemimpinan yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu:
(i) pemimpin yang menampilkan kepribadian sebagai pemimpin, (ii)
kelompok, (iii) pengikut yang muncul dengan berbagai keperluan-

25 J. Salusu. 1996. Pengambilan keputusan stratejik: Untuk organisasi publik dan


non profit. Jakarta: Grasindo.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 97

nya, sikap serta masalah-masalahnya dan (iv) situasi yang meliputi


keadaan fisik dan tugas kelompok. Selari dengan itu, kepemimpi-
nan partisipatif merupakan sesuatu pendekatan atau langkah dalam
manajemen pertisipatif dalam memahami tingkah laku bawahan.
Menurut Nurkholis (2002)26 teori kepemimpinan partisipatif
mengakui adanya empat prosedur pengambilan keputusan yang
selanjutnya disebut sebagai macam-macam partisipatif. Keempat-
empat prosedur pengambilan keputusan tersebut menggambarkan
gaya kepemimpinan partisipatif sebagai: (i) kepemimpinan autokra-
tik yaitu dalam pengabilan keputusan seorang pemimpin mengam-
bil keputusan sendiri tanpa menanyakan opini atau saran orang lain.
Orang lain tidak berpartisipasi dan tidak mempunyai pengaruh lang-
sung terhadap keputusan, (ii) kepemimpinan konsultatif yaitu dalam
membuat keputusan, seorang pemimpin menanyakan opini dan ga-
gasan orang lain dan kemudian mengambil keputusan sendiri setelah
mempertimbangkan secara serius saran-saran dan perhatian mereka,
(iii) kepemimpinan keputusan bersama yaitu dalam membuat kepu-
tusan pemimpin bertemu dengan orang lain untuk mendiskusikan
masalah yang akan diputuskan, dan (iv) kepemimpinan delegatif
yaitu dalam pengambilan keputusan pemimpin memberi kekuasaan
serta tanggung jawab kepada seseorang individu atau kelompok un-
tuk membuat keputusan.
Dalam konteks itu, Hasanuddin Rahman Daeng Naja (2004)27
menyatakan gaya kepemimpinan partisipatif menganggap bawa-
han sebagai sumber manusia yang mampu berkontribusi terhadap
efektiviti realisasi rencana yang telah disusun. Adapun anggapan
tersebut membuat para bawahan merasa dihargai semangat dan
prestasi kerja mereka dapat meningkat. Meskipun demikian, penera-

26 Nurkholis. 2002. Manajemen Berbasis sekolah: Teori, model dan aplikasi. Ja-
karta: Grasindo.
27 Hasanuddin Rahman Daeng Naja.2004. Manajemen fit dan proper test.Yog-
yakarta: Pustaka Widyatama.
98 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

pan kepemimpinan partisipatif akan membawa risiko berupa lebih


lamanya waktu yang diperlukan.
Bush dan Glover dalam Jacky Lumby & Marianne Coleman
(2007)28 menjelaskan bahwa kepemimpinan partisipatif muncul den-
gan menggunakan proses demokratik untuk mengikat staf/bawah-
an. Walau bagaimanapun adalah sukar untuk menentukan dengan
tepat sesuatu elemen yang membentuk kepemimpinan partisipatif,
karena ia bergantung kepada gaya (style) kepemimpinan, pelayanan
dan amalan staf/bawahan serta tahapan pendidikannya, pengaruh
penghargaan (reward), serta peraturan dan kebijakan negara. Meski
demikian, Thomas J. Barry (1997)29 mengemukakan tentang elemen
manajemen partisipatif, yaitu ada enam elemen kepemimpinan par-
tisipatif yang dapat menjadi perhatian dalam kemanajemen partisi-
patif, yaitu: (i) delegasi, (ii) pertemuan kelompok, (iii) pasukan kerja,
(iv) tim peningkatan kualitas, (v) tim peningkatan proses dan (vi) tim
peningkatan proyek.
Ahmad Fadzli bin Yusof (2007)30 menggambarkan tentang
kepemimpinan partisipatif dan kuasa yang diberikan seperti Jadual
2.3.

28 Bush & Glover dalam Jacky Lumby with Marianne Coleman. 2007. Lead-
ership and diversity: challenging theory and practice in education. London.
29 Thomas J. Barry.1997. Total quality organization: Balance and harmony for
excellence. Kuala Lumpur: Gains Prints Sdn. Bhd.
30 Ahmad Fadzli bin Yusof & Amin bin Idris.2007. Paduan dan asas untuk
pemimpin berwibawa. Kuala Lumpur: PTS Millennia Sdn Bhd.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 99

Partisipatif
Pemimpin
Menginspirasi ataupun mendorong

Menyatakan komitmen

Memberikan masa dan tenaga

Hasil dan sumbangan

Partisipatif
Lebih banyak komunikasi ke atas dan juga sering komunikasi mendatar
Menggunakan kuasa personality
Mendorong dan meminta
Pengikut bertindak karena mereka sadardan mau melakukannya
Menghasilkan sesuatu melebihi jangkaan

Diagram.7: Gaya dan Kuasa Kepemimpinan Partisipatif Menurut


Ahmad Fadzli bin Yusof (2007)

Semua elemen itu boleh digunakan untuk mempengaruhi prestasi


kerja bawahan. Pemimpin yang partisipatif berperanan penting da-
lam menyukseskan prestasi kerja, seperti yang dibina oleh Thomas
J. Barry (1997). Oleh itu, dapat dipahami bahwa prestasi kerja dapat
dipertingkatkan apabila kepemimpinan partisipatif terbina dalam
suatu organisasi. Dengan demikian, membina prestasi kerja bawa-
han, mestilah dibina terlebih dahulu kepemimpinannya agar gaya
kepemimpinan bersesuaian dengan masalah yang dihadapi oleh
bawahan, yaitu dalam usaha membina serta meningkatkan prestasi
kerjanya.
Menurut Lynn Marotz dan Amy Lawson (2007)31 dengan

31 Lynn Marotz dan Amy Lawson. 2007. Motivational leadership in early child-
hood education. USA: Thomson.
100 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

mengutip pendapat Vroom salahsatu cara untuk memahami gaya


kepemimpinan dan bagaimana pengaruhnya suatu organisasi adalah
untuk mempertimbangkan siapa yang akan mengawasi (mengontrol)
kekuatan dan kekuasaan untuk membuat keputusan dan bagaimana
sokongan dan keterlibatan pekerja dalam proses tersebut. Robiah Si-
din (2003)32 menyatakan pula bahwa cara seseorang itu memimpin
adalah berbeda di antara satu sama lain. Pemimpin mempunyai gaya
kepemimpinan yang tersendiri bergantung kepada keadaan, personal-
ity, struktur, keperluan memimpin dan sumber kuasa yang ada pada
pemimpin. Faktor-faktor ini menghasilkan tingkah laku kepemimpi-
nan yang berlainan.
Peter Earley dan Dick Weindling (2004)33 menyatakan bahwa
banyak teori yang telah dikembangkan selama bertahun-tahun un-
tuk menjelaskan bagaimana pemimpin itu memimpin, baik di seko-
lah maupun ditempat lainnya. Teori gaya kepemimpinan yang dike-
mukakan oleh para ahli tersebut antaranya ialah gaya kepemimpinan
instruksional, transformasional, moral, managerial, post-modern dan
partisipatif (Bush dan Glover 2003)34.

(g). Gaya Kepemimpinan Transformasional


Berbeda dengan gaya kepemimpinan demokratik, gaya kepemimpi-
nan transformasional memfokuskan pada pemimpin yang memi-
liki sumbangan (impact) lain terhadap organisasi mereka. Menurut
Bernad Bass, konsep kepemimpinan transformasional ini, memiliki
dua jenis tingkah laku kepemimpinan, yaitu transaksional dan trans-
formasional. Pemimpin transaksional; menentukan apa yang di-
inginkan oleh staf/bawahan untuk dilakukan untuk mencapai tujuan

32 Robiah Sidin. 2003. Teori pentadbiran pendidikan: satu pengenalan. UKM


Malaysia: Percetakan Asni Sdn. Bhd.
33 Peter Earley & Dick Weindling. 2004. Understanding school leadership. Cali-
fornia: Sage Publication.
34 Bush, T. & Glover, D. 2003. School leadership: concepts and evidence. Not-
tingham: NCSL.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 101

organisasi, hal demikian menyebabkan staf/bawahan percaya diri


dalam mencapai tujuan dengan usaha dan reward. Berbeda dengan
pemimpin transformasional; memotivasi staf/bawahan untuk bek-
erja lebih daripada yang diharapkan.
Dalam pandangan Starratt (1995)35 kepemimpinan trasnfor-
masional menyatukan (incorporates) elemen pembangunan visi yang
penting (the crucial element of vision-building) dan visi berbagi (vision-
sharing) ke dalam bagian kerja tim. Bahkan menurut Burns (1978)36
yang ,mengomentari terhadap pentingnya kepemimpinan transfor-
masional, karena gaya kepemimpinan ini menempatkan pentingnya
hasil dan proses (it placed the emphasis on outcomes as well as processes).

(h). Gaya kepemimpinan situasional


Selain daripada itu, dikenal pula gaya kepemimpinan situasional.
Menurut Paul Hersey dan Kenneth Blancard sebagaimana diku-
tip oleh Lunenburg dan Ornstein (2000) teori kepemimpinan situa-
sional menunjukkan kepada dua tingkah laku kunci, yaitu tingkah
laku tugas dan tingkah laku hubungan. Selain dari itu, ada lagi gaya
kepemimpinan yang disebut dengan gaya kepemimpinan kontin-
gensi. Menurut Lunenburg dan Ornstein (2000) gaya kepemimpinan
kontingensi menyatakan bahwa kepemimpinan yang baik adalah di-
tentukan oleh hubungan pemimpin dengan staf/bawahan dan struk-
tur tugas serta kekuatan posisi tugas.
Yukl (1994)37 menyatakan bahwa gaya kepemimpinan situa-
sional adalah mekankan kepada pentingnya factor kontekstual (con-
textual factors), seperti lingkungan pekerjaan, iklim lingkungan luar
(external environment) dan karakteristik bawahan (the characteristics
of the followers).

35 Starratt,R.J.1995.Leaders with Vision:The Quest for School Renewal, Thou-


sand Oaks, CA: Corwin Press.
36 Burns,J.M.1978. Leadership, New York: Harper Row.
37 Yukl, G.1994. Leadership in Organisations (3rd edn), Englewood Cliffs, NJ,
Prentice-Hall.
102 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Menurut Hersey et al.(1996)38 kepemimpinan situasional adalah gaya


yang sesuai dengan konteks pekerjaan dan tiga aspek yang sangat
penting yaitu:
1) Jenis tuntutan pekerjaan suatu kepemimpinan (the kinds of de-
mands the job makes on leadership)
2) Lingkungan dan distribusi kekuatan dan kekuasaan (the nature
and distribution of power and authority),
3) Harapan terhadap orang lain yang memimpin pekerjaan (the ex-
pectations of other people with whom the leader works).

(i). Gaya Kepemimpinan Grid


Salah satu gaya kepemimpinan lain dari yang dikenal sebelumnya
adalah gaya kepemimpinan grid. Lunenburg dan Ornstein (2000)
mengutip pendapat Robert Blake dan Jane Mouton menyatakan bah-
wa gaya kepemimpinan Grid ini juga sering disebut dengan mana-
gerial grid. Menurut gaya ini, kepemimpinan diorientasikan kepada
dua dimensi pemimpin, yaitu yang berkenaan dengan produksi dan
orang (staf/bawahan).

(j) Gaya Kepemimpinan Tiga Dimensi


Menurut Lunenburg dan Ornstein (2000) gaya kepemimpinan
tiga dimensi diperkenalkan oleh William Reddin. William Reddin
mengembangkan model lain yang berguna untuk mengidentifikasi
gaya kepemimpinan praktek administrator sekolah. Reddin berusaha
mengintegrasikan konsep gaya kepemimpinan dengan permintaan
situasi lingkungan khusus. Reddin mengajukan bahwa empat gaya
kepemimpinan dasar (asas) dapat menjadi efektif dan tidak efektif
bergantung kepada situasi.

YXWUXWZ
38 Hersey, P., Blancard, K.,and Johnson, D., 1996. Management of organisa-
tional behaviour: Utilising human resources, Englewood Cliffs, NJ: Prentic=e-
Hall.
Pemimpin dan Gaya Kepemimpinan 103

Bab 8
Perilaku Organisasi Pendidikan

A. Perilaku Antar Kelompok


Munculnya suatu organisasi disebabkan oleh karena para anggotan-
ya merasa bahwa tingkat produktivitas, kepuasan, dan kemajuan
mereka menjadi lebih tinggi bila mereka bekerja secara bersama,
dibandingkan dengan bila mereka berusaha sendiri-sendiri. Untuk
itu, setiap anggota rela menyerahkan sebagian kebebasannya dengan
mendapatkan imbalan tertentu dari organisasinya. Walaupun de-
mikian, selalu saja ada perbedaan antara harapan seseorang dengan
kemampuan kelompok atau organisasi untuk memenuhinya.
Hubungan antar kelompok bervariasi antara keselarasan, per-
musuhan, dan campuran antara keduanya. Variasi tersebut dapat di-
lihat dalam berbagai bentuk perilaku, misalnya dalam bentuk kerja
sama, persaingan, dan konflik. Manifestasi berbagai perilaku ini seca-
ra teoritis dapat terlihat secara sendiri-sendiri, tetapi dalam praktekn-
ya nampak secara bersamaan. Kelompok-kelompok yang melakukan
104 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

kerja sama untuk mencapai tujuan bersama, sekaligus juga memper-


lihatkan perilaku persaingan dalam mempergunakan dana dan daya
yang tersedia, atau malah mengandung unsur konflik.
Artinya, konflik dalam suatu organisasi atau dalam hubungan
antar kelompok adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Malah
dalam batas-batas tertentu, justru akan sangat bermanfaat bagi pen-
ciptaan perilaku organisasi yang efektif.

B. Definisi Perilaku Antar Kelompok


Kontribusi kelompok terhadap organisasi tergantung pada interaksi
dengan kelompok-kelompok lain di samping produktivitasnya. Ada
banyak kemungkinan hubungan antar kelompok dalam organisasi.
Interaksi mungkin terjadi secara reguler dan rutin. Tetapi, konflik
cukup mungkin terjadi dalam interaksi kelompok di mana suatu
kelompok merasakan bahwa usaha-usahanya untuk menyelesaikan
tujuan-tujuannya telah frustasi terhadap kelompok lain. Di sisi lain,
beberapa kelompok mungkin sangat banyak berinteraksi.
Interaksi antar kelompok sangat penting untuk menyukseskan
organisasi, namun potensial untuk konflik yang mengganggu selalu
ada. Hal ini merupakan tanggung jawab manajemen untuk mem-
fasilitasi interaksi kelompok secara efektif.

C. Dasar-dasar Perilaku Antar Kelompok


Ada lima dasar perilaku antar kelompok, yaitu lokasi fisik, sumber-
sumber, waktu dan orientasi tujuan, ketidakpastian tugas, dan keter-
ikatan tugas.1
1) Lokasi Fisik; Perkiraan dan posisi (susunan) fisik kelompok san-

1 Ricky W. Griffin, (1986). Organizational Behavior. Boston: Houghton Mifflin


Company..
Perilaku Organisasi Pendidikan 105

gat mempengaruhi interaksi mereka. Kelompok-kelompok yang


letaknya dekat dengan yang lain jelas interaksinya lebih mung-
kin daripada yang terpisah. Salah satu cara untuk mengelola in-
teraksi kelompok adalah dengan mengubah posisi kantor dan
lokasi dari beberapa bagian (departemen).
2) Sumber-sumber; Organisasi ini dapat menggunakan beberapa
sumber, yaitu fisik, manusia, finansial, dan informasi, dan or-
ganisasi dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yang mendu-
kung organisasi.
3) Waktu dan Orientasi Tujuan; Beberapa organisasi menggunakan
beberapa jenis tujuan untuk mengevaluasi efektivitas kelompok
kerja mereka. Dalam hal ini, waktu dan orientasi tujuan yang
berbeda antara dua kelompok dapat menjadi faktor utama di
dalam interaksi di antara mereka. Manajer bertanggung jawab
mengkoordinasi kelompok yang berbeda tersebut, dan sangat
dibutuhkan untuk bersikap sensitif terhadap perbedaan antara
kelompok dalam melakukan interaksi yang demikian.
4) Ketidakpastian Tugas; Ketidakpastian tugas merupakan masalah
sentral terhadap kompleksitas organisasi. Ketidakpastian tugas
ini muncul dari adanya perubahan teknologi, peraturan pemer-
intah, kompetisi, kondisi ekonomi, dan faktor-faktor luar terh-
adap kontrol kelompok.
5) Keterikatan Tugas; Dasar yang sangat kompleks terhadap inter-
aksi kelompok dalam organisasi adalah keterikatan (ketergan-
tungan) tugas atau tingkat di mana aktivitas atau kelompok-
kelompok terpisah menguatkan mereka untuk bergantung pada
yang lainnya.
Model perilaku antar kelompok memiliki tiga dimensi yang men-
dasari interaksi antar kelompok dalam organisasi, yaitu (1) refleksi
kebutuhan dan permintaan tertentu terhadap interaksi, (2) terjadi
dalam situasi organisasi khusus, dan (3) terjadi antar kelompok unik.
Dimensi ini akan tampak pada karakteristik kelompok, karakteristik
106 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

organisasi, dan karakteristik kelompok.


Karakteristik kelompok terwujud dalam karakteristik dan ke-
pribadian individu, kecenderungan dan watak kegiatan kelompok,
dan kohesi kelompok, kepemimpinan, norma-norma, dan peranan.
Konteks organisasional terwujud dalam aturan dan prosedur, seja-
rah, tradisi, dan budaya, sistem upah (gaji) dan tujuan, serta proses
pengambilan keputusan. Karakteristik kelompok terwujud dalam
karakteristik dan kepribadian individu, kecenderungan dan watak
kegiatan kelompok, serta kohesi kelompok, kepemimpinan, norma,
dan peranan.

D. Tipe Interaksi Kelompok


Tipe interaksi ini dapat dibedakan menurut keharmonisan tujuan
kelompok dan kepentingan tujuan masing-masing kelompok. Ada
lima tipe interaksi kelompok, yaitu competition, collaboration, accom-
modation, avoidance, dan compromise.
Competition terjadi ketika tujuan kelompok yang berinteraksi
tidak dapat didamaikan (diselaraskan), tetapi masing-masing pent-
ing. Dalam kompetisi ini, tidak ada permusuhan yang terbuka. Col-
laboration terjadi ketika tujuan kelompok sangat penting dan dapat
didamaikan. Accommodation terjadi ketika tujuan kelompok dapat
didamaikan, tetapi tidak dipertimbangkan sangat penting. Avoidance
terjadi ketika tujuan kelompok tidak dipertimbangkan kepentingan-
nya, tetapi tidak dapat didamaikan. Compromise bertujuan untuk ke-
pentingan yang moderat dan tidak mudah didamaikan secara leng-
kap atau tidak dapat didamaikan.

E. Strategi Menata Perilaku Antar Kelompok


Ada lima strategi menata perilaku antar kelompok, yaitu strategi
berdasarkan tujuan, lokasi, sumber, individu dan kelompok, serta
Perilaku Organisasi Pendidikan 107

organisasi.
1) Strategi berdasarkan tujuan dilakukan dengan melihat tujuan
dari interaksi kelompok, apakah bersifat kompetisi, kolaborasi,
akomodasi, avoidans, atau kompromi.
2) Strategi berdasarkan lokasi yaitu bahwa seorang pemimpin me-
lihat bagaimana produktivitas kelompok apabila kedua kelom-
pok itu didekatkan atau dipisahkan.
3) Strategi berdasarkan sumber dilakukan dengan melihat dari segi
alat-alat yang digunakan oleh masing-masing kelompok, apakah
lengkap atau tidak.
4) Strategi berdasarkan individu dan kelompok dilakukan dengan
melihat orangnya, yaitu bagaimana menempatkan orang yang
sesuai dengan posisinya (the right man on the right job).
5) Strategi berdasarkan organisasi adalah bagaimana upaya
mengembangkan peran-peran, dengan membuat aturan dan
prosedur yang jelas.

YXWUXWZ
108 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan
Perilaku Organisasi Pendidikan 109

Bab 9
Kerjasama Dalam Organisasi

A. Pengertian Kerjasama
Kerjasama pada hakikatnya merupakan landasan utama dalam ke-
hidupan organisasi, karena manusia adalah makhluk sosial yang
hidup dalam masyarakat. Implikasinya, bahwa proses manajemen
harus disesuaikan dengan tata cara kehidupan kelompok. Asas ker-
jasama hendaknya menjiwai proses manajemen dan kepemimpinan
dalam organisasi.
Istilah kerjasama (cooperation) merupakan suatu asas yang pent-
ing dalam proses manajemen. Kerjasama berlangsung dalam suatu
proses kelompok (group process), di mana para anggota kelompok
mengadakan hubungan satu sama lain dan berpartisipasi, memberi-
kan sumbangan untuk mencapai tujuan bersama.
Proses kelompok atau proses kerjasama mengandung segi-segi
relasi, interaksi, partisipasi, kontribusi, afeksi, dan dinamika. Tiap
individu berhubungan satu sama lain, masing-masing memberi-
110 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

kan sumbangan pikiran. Setiap individu saling mempengaruhi dan


ikut aktif, serta mendapat pembagian tugas dan unsur-unsur yang
berkembang. Dengan bergeraknya unsur-unsur tersebut sekaligus
dalam proses kelompok, maka kelompok itu hidup dan bersifat di-
namis.
Kelompok yang efektif memiliki sejumlah unsur yang penting,
yaitu:
1) Kelompok melayani kebutuhan-kebutuhan para anggotanya
yang berpusat pada masalah.
2) Masalah-masalah itu harus dimengerti dan terbagi di antara
para anggota.
3) Masalah-masalah itu berkenaan dengan sejumlah pertanyaan
tentang nilai atau kebijakan yang tidak mungkin mendapat ja-
waban-jawaban yang paling tepat.
4) Individu tercakup di dalam kehidupan dan tujuan-tujuan kelompok.
5) Setiap individu bertanggung jawab memberikan sumbangan
untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok.
6) Dalam proses kelompok terdapat pertukaran pendapat.
Unsur-unsur tersebut menyebabkan dinamika kelompok mempen-
garuhi sikap dan kelakuan individu-individu dan kelompok itu
sendiri. Dengan demikian, dalam proses kelompok inilah terjadi
proses manajemen secara keseluruhan.

B. Pentingnya Kerjasama dalam Manajemen


Kerjasama dalam kelompok banyak manfaatnya bagi kegiatan mana-
jemen, yaitu:
1. Kelompok sosial mempengaruhi tingkah laku
Pengaruh kelompok terhadap tingkah laku individu dapat bersifat
baik (membangun) dan dapat pula bersifat jelek (merusak). Pengar-
uh yang baik berkat adanya kerjasama yang harmonis, pemecahan
masalah bersama, pembagian tugas, pembagian hasil, penilaian kel-
Kerjasama dalam Organisasi 111

ompok, sehingga tumbuh sikap sosial. Kemampuan dalam situasi


kebersamaan, perasaan saling ketergantungan, saling menghormati,
menghargai diri sendiri, human relation dan berkembangnya kepriba-
dian secara harmonis.
Pengaruh yang bersifat merusak dapat timbul disebabkan oleh
pengaruh kelompok yang memiliki nilai yang buruk, tujuan disele-
wengkan, timbulnya persaingan yang tidak sehat, berlakunya kultur
gank yang tidak terkendalikan, sehingga tingkah laku individu bukan
berkembang, melainkan menjurus ke arah tingkah laku yang tidak
dapat diterima oleh masyarakat, merusak kepribadiannya sendiri
dan menimbulkan gejala-gejala gangguan mental.
2. Melatih berpikir bersama (group thinking)
Semua anggota kelompok dihadapkan pada satu masalah bersama
yang harus dipecahkan bersama pula. Untuk itu diperlukan diskusi
terbuka dan situasi di mana tiap orang dapat menyatakan pendapat-
nya secara bebas. Melalui pertukaran pendapat akan diperoleh kepu-
tusan dan kesepakatan bersama, tiap anggota akan bersikap meng-
hormati orang lain, rasa aman, dan solidaritas di kalangan anggota.
Pemikiran kelompok sangat berharga dalam kehidupan mana-
jerial di mana prinsip-prinsip demokrasi dilaksanakan. Terdapat
banyak bukti bahwa berpikir secara kelompok ternyata membawa
organisasi ke tingkat kehidupan yang tinggi.
3. Kerjasama dalam kelompok dapat meningkatkan kualitas dan
kuantitas kerja
Bekerja secara kelompok lebih efektif dibandingkan bekerja secara
perorangan, memberikan hasil yang lebih mantap dan lebih cepat
serta lebih baik.
Dalam kelompok autokratis pemimpin menerima banyak sekali
tanggung jawab, sedangkan dalam kelompok demokratis menyebab-
kan anggota bersikap bersahabat, kerjasama, banyak memberikan
saran-saran konstruktif dan lebih berapresiatif, hasil kerja lebih ber-
mutu.
112 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Pada kelompok autokratis, menunjukkan ketegangan, agresif terh-


adap temannya, dan persaingan. Mereka kurang senyum dan bersifat
disintegratif. Pada kelompok laissez faire, anggotanya bersifat agresif,
mudah berselisih pendapat, dan tidak ada rasa persahabatan, tang-
gung jawab sangat kurang.
4. Kerjasama dalam kelompok merupakan pendidikan sosial
bagi anggota
Interaksi dalam kelompok merupakan faktor yang menentukan
moral dalam reaksi kelompok. Kelompok akan memupuk hubungan
sosial yang harmonis di kalangan anggotanya. Terdapat rasa saling
menghormati dan menghargai satu sama lain, bekerja untuk kepent-
ingan semuanya, menitikberatkan pada musyawarah untuk mufakat,
menikmati tujuan bersama, berkembangnya sikap-sikap dan apresia-
si sosial yang baik.
Keberhasilan kelompok ditentukan oleh banyak faktor, yaitu
tujuan atau hasil yang diperoleh, sikap pemimpin kelompok, pen-
galaman-pengalaman individual, rasa aman dan kesempatan yang
tersedia, fleksibilitas tujuan, tata kerja dan bahan-bahan, bantuan un-
tuk memperbaiki hubungan antara insani, solidaritas kelompok, dan
meniadakan konflik.
5. Kerjasama dalam kelompok merupakan group therapy bagi
unsur ketenagaan yang mengalami gejala gangguan mental
Tenaga yang malas mendapat dorongan kerja lebih aktif, yang pema-
lu lambat laun menjadi berani, yang lamban lama kelamaan menjadi
lebih pandai berkat bimbingan teman-temannya, yang mudah ters-
inggung, pemarah, agresif, akan tertahan oleh teman-temannya yang
bersikap akrab dan suka berteman, yang suka mengasingkan diri di-
dorong oleh kelompok sehingga mudah bergaul. Hal ini menunjuk-
kan bahwa hubungan individu dalam kelompok turut memperbaiki
pribadi seseorang.
Kerjasama dalam Organisasi 113

C. Prinsip-prinsip Kerja Kelompok


Ada sejumlah prinsip untuk melaksanakan kehidupan kelompok,
yaitu:
1. Pelaksanaan kerja kelompok bertitik tolak dari tujuan-tujuan,
rencana-rencana, dan masalah kelompok.
2. Kerja kelompok dimulai dari menghimpun sumbangan-sum-
bangan / kontribusi dari semua anggota kelompok.
3. Kerja kelompok memberikan tanggung jawab kepada panitia
dan individu-individu.
4. Kerja kelompok memberi petunjuk kepada para anggotanya
tentang cara berpartisipasi secara efektif.
5. Kerja kelompok menggunakan tata kerja secara demokratis un-
tuk menyalurkan pendapat, menyelesaikan konflik, dan menen-
tukan keputusan.
6. Kerja kelompok yang baik jika dipimpin oleh orang yang da-
pat menciptakan kondisi-kondisi di mana setiap anggota mau
memberikan pemikirannya yang terbaik dan bekerja sama un-
tuk kepentingan bersama.
7. Kerja kelompok yang baik menuntut penilaian kontinyu terha-
dap kegiatan yang dilakukan oleh kelompok.
8. Kerja kelompok yang baik apabila menuntut partisipasi yang
luas, kelompok bekerja secara efisien dan terjadi perubahan-
perubahan konstruktif pada tingkah laku individu.
9. Kerja kelompok yang baik apabila memberikan pengakuan/
penghargaan kepada kelompok.

D. Prinsip-prinsip Dinamika Kelompok


Dalam proses kelompok selalu terjadi dinamika kelompok dan oleh
karenanya selalu terjadi perubahan-perubahan tingkah laku pada
kelompok atau pada individu-individu. Ada beberapa prinsip yang
114 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

perlu diperhatikan dalam rangka interaksi kelompok, yaitu sebagai


berikut:
1. Manajer yang ingin menggunakan dinamika kelompok dapat
mengadakan pendekatan kepada kelompok yang sedang
bekerja, tak perlu mulai dari sejak awal pertemuan.
2. Partisipasi dalam kelompok kecil akan menambah partisipasi
dalam kelompok-kelompok yang besar.
3. Manajer dapat menyampaikan keterangan tepat pada
waktunya tanpa mengganggu dinamika kelompok itu.
4. Proses-proses kelompok sedapat mungkin berdiskusi secara
terbuka dan kadang-kadang diselingi untuk memecahkan
masalah khusus.
5. Kerjasama bukan persaingan, merupakan semangat
dinamika kelompok.
6. Kelompok bertanggung jawab memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tiap individu dalam kelompok.
7. Manajer bersikap sama terhadap semua anggota kelompok
selama dalam proses kelompok, bertindak sebagai nara
sumber yang menyebarkan ide-ide atau bahan-bahan pada
waktunya.
8. Individu didorong untuk menunjukkan perbedaannya pada
waktu diskusi kelompok.
9. Para anggota menunjukkan kemampuan, bahwa mereka
lebih mampu menerima pendapat orang lain dan juga
mampu mengubah pikiran anggota lainnya.
10. Kelompok menjadi lebih sadar terhadap hubungan-
hubungan dan evaluasi data, dan mengetahui sumber
keterangan yang diperlukan.
11. Tugas-tugas dibuat oleh kelompok, bukan oleh perorangan
atau penjumlahan hasil pekerjaan perorangan.
12. Usahakan agar timbul pemikiran-pemikiran baru untuk
didiskusikan lebih lanjut, bukan membuat catatan mengenai
Kerjasama dalam Organisasi 115

pendapat atau hasil pemikiran orang lain.


13. Kepemimpinan berubah secara spontan sesuai dengan
situasi, yang disebut ”kepemimpinan situasional”.
14. Evaluasi secara kontinyu dan ditentukan oleh kelompok
melalui evaluasi kelompok dan evaluasi diri.
15. Suatu tujuan yang realistik atau masalah yang umum
didapatkan sebelum kelompok berfungsi sebagai kelompok
kerja.

E. Implementasi Kehidupan Kelompok


Upaya peningkatan daya guna dan hasil guna proses manajemen
suatu organisasi perlu ditingkatkan pula pelaksanaan kehidupan
kelompok dalam berbagai bentuk kegiatan secara nyata. Kerja kel-
ompok dapat dilaksanakan dalam kegiatan-kegiatan, seperti peren-
canaan, pelaksanaan operasional, pembinaan ketenagaan, penga-
wasan, penilaian, dan kegiatan penelitian dan pengembangan, serta
kegiatan-kegiatan yang bersifat umum.
Pelaksanaan proses kelompok sesuai dengan tugas dan masalah
serta upaya-upaya yang hendak dikerjakan dengan cara pemecahan
masalah proyek, upaya pengembangan, kelompok sementara, kelom-
pok dengan peran dan tanggung jawab khusus, dan bermain peran.
Pelaksanaan kerja kelompok dalam berbagai kegiatan manajemen
gerakan berdasarkan prinsip-prinsip tujuan dan rencana yang jelas,
menghimpun sumbangan saran, pemberian tanggung jawab kepada
kelompok dan anggota, petunjuk yang jelas dan terarah, tata kerja se-
cara demokratis, kepemimpinan yang mampu merangsang dan me-
nantang, penilaian berkelanjutan, partisipasi yang luas, pemberian
pengakuan dan penghargaan kepada kelompok.

YXWUXWZ
116 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan
Kerjasama dalam Organisasi 117

Bab 10
Penghargaan (Reward)

A. Pengertian Sistem Reward


Menurut bahasa,1 kata sistem dapat diartikan sebagai: 1) perangkat un-
sur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu
totalitas, 2) susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan lain
sebagainya, 3) metode...pendidikan (klasikal, individual, dan lain se-
bagainya). Sedangkan dalam Muhammad Ali,2 sistem diartikan se-
bagai 1) sekelompok bagian-bagian alat dan sebagainya, yang bersama-
sama untuk melakukan sesuatu maksud, 2) sekelompok dari pendapat,
peristiwa kepercayaan dan lain sebagainya yang disusun dan diatur
baik-baik, dan 3) cara, metode yang teratur untuk melakukan sesuatu.

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Ka-


mus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hal.
950.
2 Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen. Jakarta: Pus-
taka Amani, tt., hal.452.
118 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Dari kedua pengertian ini, akan kelihatan bahwa sistem pada hakeka-
tnya mengandung unsur keterikatan dari bagian-bagian yang berjalan
secara teratur. Sistem pada kebanyakan organisasi biasanya dilem-
bagakan melalui catatan tertulis, kebijakan dan prosedur-prosedur.3
Berangkat dari pengertian ini, maka reward sebagai sebuah sistem da-
pat dipandang sebagai unsur pemberian atau penerapan reward den-
gan segala bentuk atau bagiannya saling terikat atau memberi kon-
tribusi pada kebangunan atau disain kinerja staf agar dapat berjalan
secara teratur. Dengan kata lain dapat memberikan pengaruh pada
peningkatan kualitas kerja dan peningkatan kualitas perguruan ting-
gi. Dengan demikian, sistem reward dalam perspektif peningkatan ki-
nerja staf yang dimaksud di sini adalah suatu upaya memotivasi staf
dengan membangun harapan yang jelas melalui pemberian sejumlah
reward yang memadai dari sisi jumlah, jenis, dan ragam yang diberi-
kan sesuai dengan standar dan ukuran-ukuran tertentu agar dapat
meningkatkan kinerja di lembaga perguruan tinggi. Ukuran-ukuran
ini dilihat dari sisi prestasi kerja dan tingkat kelalaian kerja.
Sistem reward ini merupakan salah satu kajian manajemen yang
perlu diperhatikan dan memperoleh penekanan yang cukup serius,
mengingat bahwa pengelolaan Sistem reward merupakan fungsi pent-
ing di dalam organisasi, dan biasanya merupakan tanggung jawab
bagian keuangan atau departemen sumber daya manusia. Simamora4
mengatakan bahwa karyawan umumnya dibayar setara dengan kual-
ifikasi-kualifikasi yang relevan dengan pekerjaan dan jumlah orang
dalam angkatan tenaga kerja yang memiliki kualifikasi-kualifikasi
ini. Reward juga ditentukan oleh keahlian dan upaya yang dibutuh-
kan untuk menunaikan sebuah pekerjaan dan tingkat pekerjaan terh-

3 Edward E. Lawler, Sistem Imbalan dan Pengembangan Organisasi.


Jakarta:Pustaka Binaman Pressindo, 1983, hal. 12.
4 Henry Simamora, Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: STIE
YKPN,1997, hal. 539.
Penghargaan (Reward) 119

adapnya dinilai oleh organisasi dan masyarakat.


Dalam dunia pendidikan modern seperti saat ini, sebenarnya
Sistem reward merupakan istilah luas yang berkaitan dengan im-
balan-imbalan finansial (financial rewards) yang diterima oleh staf
melalui hubungan kepegawaian mereka dengan lembaga perguruan
tinggi. Pada umumnya, bentuk-bentuk reward adalah finansial kar-
ena pengeluaran moneter yang dilakukan organisasi. Pengeluaran-
pengeluaran moneter seperti itu bisa segera (kewajiban dalam waktu
yang singkat) atau tertangguh (kewajiban lembaga perguruan tinggi
di kemudian hari). Gaji mingguan atau bulanan staf adalah contoh
dari pembayaran segera (immediate payment), sedangkan pembagian
bonus melambangkan pembayaran tertangguh (deferred payment).
Sistem reward bisa langsung, di mana uang langsung diberikan ke-
pada staf, atau tidak langsung, di mana karyawan menerima reward
dalam bentuk-bentuk non-moneter. 5
Sebenarnya, penerapan sistem reward merupakan suatu teknik
untuk memotivasi staf dalam meningkatkan prestasinya, meskipun
menurut T. Hani Handoko6 bahwa motivasi bukan merupakan satu-
satunya faktor yang mempengaruhi tingkat prestasi seseorang. Dua
faktor lainnya yang terlibat (dapat mempengaruhi) adalah kemam-
puan individu dan pemahaman tentang perilaku yang diperlukan
untuk mencapai prestasi tinggi atau disebut persepsi peranan. Akan
tetapi, motivasi merupakan kegiatan yang dapat mengakibatkan,
menyalurkan, dan memelihara perilaku staf dalam melakukan keg-
iatan kependidikan guna mencapai tujuan kependidikan, di samping
kepuasan staf itu sendiri.
Jika dipahami bahwa motivasi yang ada pada diri seorang staf
merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu pe-
rilaku guna mencapai tujuan kepuasan dirinya, maka merupakan

5 Ibid, hal.541.
6 T. Hani Handoko, Manajemen, Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE Yogya-
karta, 1999, hal. 251.
120 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal apabila motivasi dasar


bagi kebanyakan orang menjadi pegawai pada suatu organisasi ter-
tentu adalah untuk mencari nafkah, berarti apabila di satu pihak
orang menggunakan pengetahuan, keterampilan, tenaga dan seba-
hagian waktunya untuk berkarya pada suatu organisasi, di lain pihak
ia mengharapkan menerima reward tertentu. Berangkat dari pandan-
gan demikian, dewasa ini, masalah reward dipandang sebagai salah
satu tantangan yang harus dihadapi oleh manajemen suatu organisa-
si termasuk bagi lembaga perguruan tinggi. Dikatakan merupakan
tantangan karena reward oleh para pekerja termasuk staf tidak lagi
dipandang semata-mata sebagai alat pemuasan kebutuhan material-
nya, akan tetapi sudah dikaitkan dengan harkat dan martabat manu-
sia. Sebaliknya perguruan tinggi cenderung melihatnya sebagai be-
ban yang harus dipikul oleh perguruan tinggi tersebut dalam upaya
pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya. Berarti bahwa dalam
meningkatkan dan menerapkan suatu reward tertentu, kepentingan
perguruan tinggi dan kepentingan para pekerja (staf) mutlak perlu
diperhitungkan.
Kepentingan para pekerja harus mendapat perhatian dalam
arti bahwa reward yang diterimanya atas jasa yang diberikan kepada
lembaga perguruan tinggi harus memungkinkannya untuk memper-
tahankan harkat dan martabatnya sebagai insan yang terhormat. Te-
gasnya reward tersebut memungkinkannya untuk mempertahankan
taraf hidup yang wajar dan layak serta hidup mandiri tanpa meng-
gantungkan pemenuhan berbagai jenis kebutuhannya pada orang
lain. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan lembaga perguruan
tinggi, seorang staf akan memberikan kontribusi yang cukup berarti
bagi perguruan tinggi, yang ditandai dengan seberapa banyak waktu
yang diberikan oleh seorang staf untuk memperhatikan, memikir-
kan, dan mengabdikan diri pada lembaga perguruan tinggi, seberapa
kuat usaha-usaha yang dilakukan atau diperuntukkan bagi lembaga
perguruan tinggi, bagaimana ia mengembangkan sejumlah pengeta-
Penghargaan (Reward) 121

huan yang diperlukan bagi lembaga perguruan tinggi, kemampuan


apa yang diperlukan untuk pengembangan lembaga perguruan ting-
gi, bagaimana kreativitas yang dikembangkan untuk mendukung
aktivitas lembaga perguruan tinggi, serta seberapa besar sumbangan
energi yang akan diberikan kepada lembaga perguruan tinggi terse-
but.
Kontribusi yang diberikan oleh staf terhadap lembaga pergu-
ruan tinggi ini, menuntut lembaga perguruan tinggi untuk mem-
berikan sejumlah imbalan (reward) baik yang nyata maupun tidak
nyata, antara lain meliputi pembayaran-pembayaran dalam bentuk
gaji, bonus, tunjangan, liburan atau rekreasi, kesempatan untuk ber-
kreativitas, kesempatan untuk memberikan kontribusi sosial, dan
lain sebagainya. Maka itu, lembaga perguruan tinggi hendaknya
memiliki Rencana Anggaran dan Pendapatan Lembaga perguruan
tinggi (RAPBS) agar kebutuhan-kebutuhan lembaga perguruan ting-
gi dapat terpenuhi dengan baik. RAPBS ini diperlukan selain untuk
mempertahankan staf juga untuk memenuhi kebutuhan lembaga
perguruan tinggi lainnya sebagai sebuah tanggung jawab pendidi-
kan dan pengelolaan lembaga.
Apabila lembaga perguruan tinggi tidak mampu memberikan
reward, maka pada akhirnya staf akan merasakan bahwa sejumlah
kontribusi yang diberikan kepada lembaga perguruan tinggi tersebut
tidak atau kurang dihargai, sebaliknya dalam proses peningkatan
kinerja staf, punishment perlu diberikan agar tidak terjadi pelangg-
aran-pelanggaran, di samping untuk menjadi pengontrol kulitas pe-
layanan lembaga perguruan tinggi. Tanpa usaha ini, maka lembaga
perguruan tinggi akan kehilangan stafnya yang produktif. Untuk
menjamin ke arah ini, maka reward yang diberikan hendaknya dikait-
kan dengan seberapa besar volume, kualitas, dan tanggung jawab
kerja yang diberikan staf kepada lembaga perguruan tinggi, di samp-
ing pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan.
122 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

B. Kaitan Sistem Reward dengan Volume, Kualitas, dan


Besar-Kecilnya Tanggung Jawab Kerja
Reward yang dikaitkan dengan volume kerja, dimaksudkan agar staf
mampu memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pemenuhan
kewajiban-kewajibannya terhadap lembaga perguruan tinggi dan
pihak manajemen lembaga perguruan tinggi menghargai upaya-up-
aya tersebut, dengan kata lain, reward dikaitkan dengan sumbangan
tenaga, pikiran, usaha-usaha dan lain sebagainya bagi lembaga per-
guruan tinggi.
Reward yang dikaitkan dengan kualitas kerja dimaksudkan agar
staf mampu memberikan kontribusi kerja secara lebih profesional,
dengan kata lain, menuntut pemenuhan standar dan ukuran kerja
yang harus dicapai. Pada tataran ini, staf berupaya secara maksimal
agar dapat mencapai standar dan ukuran-ukuran tersebut. Sedan-
gkan reward yang dikaitkan dengan besar kecilnya tanggung jawab
dimaksudkan agar staf yang memiliki tanggung jawab yang besar
diimbali dengan reward yang cukup memadai dibandingkan dengan
staf yang tidak memiliki tanggung jawab besar. Dalam kerangka ini,
kepentingan lembaga perguruan tinggi harus terjamin, dalam arti
bahwa melalui pengerahan kemampuan yang ada, pengetahuan,
keterampilan, waktu dan tenaga para staf, lembaga perguruan tinggi
dapat mencapai tujuan dan sasarannya yang pada gilirannya me-
mungkinkan lembaga perguruan tinggi tidak hanya sekedar mem-
pertahankan eksistensinya, melainkan juga untuk bertumbuh dan
berkembang, baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif, seperti
halnya diungkapkan oleh Griffin7 yang dapat digambarkan sebagai
berikut:

7 Ricky W. Griffin dan Gregory Moorhead, Organizational Behavior. USA:


Houghton Mifflin Company, 1986, hal. 447.
Penghargaan (Reward) 123

Gambar: Proses Pertukaran Organisasi-Individu


Contribution:ȱ
Time
Effort
Knowledge
Skills
Creativity
Energy

Theȱ Theȱ
Employeeȱ Organizationȱ

TangibleȱandȱIntangibleȱRewards:ȱ
SdeȱPayȱ
Benefitsȱ
Vacationȱ
ApportunitiesȱforȱCreativityȱ
OccasionsȱforȱSocialȱContributionȱ

Sumber: Ricky W. Griffin dan Gregory Moorhead, Organizational


Behavior (USA: Houghton Mifflin Company, 1986), hal. 447.

Sistem reward yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepua-
san para anggota lembaga perguruan tinggi yang pada gilirannya me-
mungkinkan lembaga perguruan tinggi memperoleh, memelihara,
dan mempekerjakan sejumlah orang yang dengan berbagai sikap dan
perilaku8 positif bekerja bagi kepentingan lembaga perguruan tinggi.

8 Taliziduhu Ndraha dalam, Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya


Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 81, mengutip pendapat Budhi Paramitha
yang menyatakan bahwa sikap dan prilaku seperti ini disebut dengan
budaya kerja yang dapat dibagi menjadi dua yaitu: 1) Sikap terhadap
pekerjaan, yakni kesukaan akan kerja dibandingkan dengan kegiatan lain
seperti bersantai atau semata-mata memperoleh kepuasan dari kesibu-
kan-kesibukan pekerjaannya sendiri atau merasa terpaksa melakukan
sesuatu hanya untuk kelangsungan hidupnya, 2) prilaku pada waktu bek-
erja seperti rajin, berdedikasi, bertanggung jawab, berhati-hati, cermat,
kemauan yang kuat untuk mempelajari tugas dan kewajibannya, suka
membantu sesama karyawan, atau sebaliknya.
124 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Jika para anggota lembaga perguruan tinggi diliputi oleh rasa tidak
puas atas reward yang diterimanya, dampaknya bagi organisasi akan
sangat bersifat negatif. Artinya, jika ketidakpuasan tersebut tidak
terselesaikan dengan baik, merupakan hal yang wajar apabila para
anggota organisasi menyatakan keinginan untuk memperoleh reward
yang bukan saja jumlahnya lebih besar, akan tetapi juga lebih adil.
Dikatakan wajar, sebab ada kaitannya dengan berbagai segi kehidu-
pan kekayaan para anggota organisasi seperti prestasi kerja, keluhan,
tingkat kemangkiran yang tinggi, seringnya terjadi kelalaian dalam
melaksanakan tugas bahkan pemogokan serta keinginan pindah bek-
erja ke lembaga perguruan tinggi atau tempat pekerjaan yang lain.
Kalaupun para staf tidak meninggalkan lembaga perguruan tinggi
dan pindah ke lembaga perguruan tinggi lain, yang sangat mungkin
terjadi ialah timbulnya berbagai masalah dalam kekaryaannya yang
bersifat psikologis, teknis dan administratif. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa tolok ukur atau indikator kinerja staf tersebut ren-
dah apabila waktu, usaha, pengetahuan, keterampilan (skill), kreativ-
itas, dan energi yang diberikan terhadap lembaga perguruan tinggi
rendah. Dengan kata lain, prestasi kerja yang diberikan rendah, ser-
ing mengeluh, mangkir, dan turnover.
Apabila suatu lembaga perguruan tinggi menghadapi hal ini
dan tidak mampu meningkatkan dan menerapkan suatu bentuk re-
ward yang dapat memuaskan staf, lembaga perguruan tinggi bukan
hanya akan kehilangan tenaga-tenaga terampil dan berkemampuan
tinggi, akan tetapi juga akan kalah bersaing di pasaran tenaga ker-
ja. Jika situasi demikian terus berlanjut, lembaga perguruan tinggi
yang bersangkutan tidak akan mampu menghasilkan produk yang
memungkinkannya mencapai tujuan dan berbagai sasarannya. Se-
cara spesifik, reward dapat mempengaruhi perilaku yang menentu-
kan keefektifan lembaga perguruan tinggi. Cara pemberian reward
mempengaruhi kemangkiran (absenteeism), produktivitas, dan mutu
Penghargaan (Reward) 125

pekerjaan staf.9 Dari kondisi ini, kelihatan bahwa salah satu fungsi
manajemen sumber daya manusia yang harus diperhatikan secara
serius adalah penentuan reward bagi para staf, mengingat reward ini
dinilai berpengaruh pada pembentukan kinerja staf dan peningkatan
kualitas lembaga perguruan tinggi. Bentuk reward yang diberikan
dalam wujud reward.
Ada beberapa terminologi atau istilah yang dapat digunakan
atau menjadi bagian reward ini, 10yaitu:
1) Gaji. Gaji (salary) staf umumnya berlaku untuk tarif bayaran
mingguan atau bulanan (tidak terlepas dari lvolume kerja, ting-
kat kehadiran, dan aktivitas mengajar).
2) Insentif. Insentif (incentive) adalah tambahan-tambahan reward di
luar gaji staf yang dapat atau mungkin diberikan oleh lembaga
perguruan tinggi, di mana staf berada di dalamnya. Program
insentif biasanya diberikan kepada staf atas adanya aktivitas-
aktivitas kependidikan di lembaga perguruan tinggi. Tujuan
utama dari pemberian program isentif ini adalah untuk men-
dorong atau mengimbali produktivitas, disiplin, dan partisipasi
kerja staf di lembaga perguruan tinggi. Program insentif yang
diperuntukkan bagi staf ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu 1)
program insentif staf secara individual yang diberikan berdasar-
kan atas capaian prestasi kerja staf antara lain pencapaian nilai
akhir siswa yang baik didasarkan atas ukuran-ukuran dan batas
minimal perolehan yang ditargetkan oleh lembaga perguruan
tinggi, 2) program insentif kelompok yang dialokasikan sesuai den-
gan tingkat lamanya pengabdian staf mengajar (senioritas) di
lembaga perguruan tinggi yang juga ditandai dengan profesion-
alitas kerja yang ditampilkan.
3) Tunjangan. Tunjangan (benefit) merupakan bentuk reward lain

9 Edward E. Lawler, Op. Cit., hal. 8.


10 Secara utuh dapat dilihat pada tabel alur distribusi reward dan funishment
pada halaman
126 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

yang dapat diberikan kepada staf atas imbalan jasa yang diberi-
kan kepada lembaga perguruan tinggi. Bentuk tunjangan yang
dapat diberikan oleh lembaga perguruan tinggi tersebut, antara
lain, Asuransi kesehatan dan jiwa, liburan-liburan yang ditang-
gung oleh lembaga perguruan tinggi, dan sebagainya.
4) Fasilitas. Fasilitas (facilities) merupakan sarana penunjang yang
menjadi alat pemuas dan memberikan kenikmatan/kenyaman
staf dalam melaksanakan tugas sehari-hari, seperti bis lembaga
perguruan tinggi, tempat parkir khusus, meja dan ruang khusus
diperuntukkan bagi staf secara individual. Sedangkan punish-
ment dapat dilihat dari sisi bentuk dan berat ringannya hukuman
yang diberikan kepada staf yang kurang atau tidak memiliki
kinerja yang baik. Dengan demikian, kedua fungsi manajemen
sumber daya manusia staf ini harus diperhatikan secara baik di
lembaga perguruan tinggi.

C. Konsep Sistem Reward dan Kinerja Staf

1. Pengertian Kinerja Staf


Pengertian kinerja dapat dipandang dari dua segi, yaitu segi bahasa
maupun dari segi istilah (terminologi). Dari segi bahasa, kata kinerja
memiliki arti yang bermacam-macam, hal ini dapat kita lihat antara
lain dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.11 Dalam kamus tersebut
dapat di lihat bahwa kinerja merupakan 1) sesuatu yang dicapai, 2)
prestasi yang diperlihatkan, 3) kemampuan kerja (tentang peralatan).
Kata kinerja juga sering disamakan atau diidentikkan pengertiannya
dengan performance dalam bahasa Inggris. Berdasarkan pengertian
ini, dalam karangan Echols, dkk12, dinyatakan bahwa performance be-

11 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Ka-


mus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hal. 503.
12 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gra-
media, 1992, hal. 425.
Penghargaan (Reward) 127

rarti 1) pertunjukan (kata benda), 2) perbuatan, 3) daya guna, presta-


si, 4) pelaksanaan dan 5) pergelaran.
Jika dianalisis pengertian performance tersebut, maka akan
menunjukkan arti yang sama dengan kinerja yakni perilaku kerja.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan kinerja dalam penelitian
ini merujuk kepada definisi atau pengertian perilaku kerja tersebut.
Perilaku kerja sebenarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata
lain, perilaku dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan
tertentu. Tujuan tertentu atau spesifik ini tidak selamanya diketahui
dengan sadar oleh yang bersangkutan.13 Dorongan yang memotivasi
pola perilaku individu ke dalam wujud nyata akan melahirkan ke-
pribadian. Sementara dari segi istilah (terminologi), ada beberapa ahli
yang mengungkapkan pendapatnya antara lain, menurut Vroom se-
bagaimana dikutip oleh Hoy dan Wiskel 14 menyatakan bahwa:

Performance= f (ability X motivation)

Menurut pendapat Vroom ini, menjelaskan bahwa kinerja mer-


upakan fungsi dari kecakapan/kepandaian dan motivasi. Jika penda-
pat Vroom ini dikaitkan dengan kinerja staf, maka kinerja seorang
staf seperti dosen dipandang sebagai pengaruh dari kemampuan dan
motivasinya dalam mengajar di lembaga perguruan tinggi. Karena
itu, kemampuan seorang dosen dalam mengajar dapat ditampilkan
apabila mempunyai hubungan dengan motivasi. Adapun menurut
Griffin:15

13 Paul Hersey dan Ken Blanchard, (terj.), Manajemen Perilaku Organisasi. Ja-
karta: Erlangga, 1990, hal. 15.
14 Hoy dan Wiskel, Education Adminstration. New York: Random House,
1978, hal. 116.
15 Mowday, at all., dalam Ricky W. Griffin dan Gregory Morhead, Organiza-
tional Behavior. USA: Houghton Mifflin Company, 1986, hal. 217.
128 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Performance is a broader concept, defined as the total set of job-related behav-


iors engaged in by employees. If worker A can produce 20 units an hour and
worker B can product only 18 units an hour, worker A is more productive than
worker B. Yet, suppose that worker B is always willing to more late, assists
in training new employees, looks for opportunities to help the organization,
always come to work on time, and has not missed in a day of work in three
years. Worker A, on the other hand, insists on leaving at 5: 00 P.M. every day,
ignores new employees, never shows any initiative, is often several minutes
late for work, and misses an average of one day of work per month.

Pendapat Griffin di atas, akan kelihatan bahwa meskipun peker-


ja A lebih produktif yang mungkin diperdebatkan bahwa pekerja B
adalah memiliki kinerja yang lebih baik, sebab pekerja B selalu mem-
beri latihan bagi pekerja baru, mencari peluang untuk memajukan
organisasi, selalu bekerja tepat waktu, tidak pernah tidak masuk
(absen) dalam masa tiga tahun. Mengacu pada teori di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah perilaku kerja yang di-
nampakkan dalam kegiatan sesuai dengan tugas dan pekerjaannya.
Secara sistematis penampakan kerja tersebut dapat dilakukan mela-
lui tahapan kinerja yakni tahapan persiapan kerja, tahapan pelaksanaan
kerja, dan tahapan evaluasi atau penilaian kerja, serta hubungan antar
pribadi.
Kinerja staf tidak terlepas dari tugas staf sebagai pengajar. Maka
pengertian mengajar harus ditelusuri lebih mendalam, karena men-
gajar adalah salah satu usaha dari pihak staf untuk mengatur ling-
kungan, sehingga tercipta suasana yang kondusif bagi siswa untuk
belajar.16 Karena itu, menurut As’ad,17 kinerja adalah tingkat sejauh
mana keberhasilan seseorang di dalam melakukan tugas pekerjaan-
nya. Pengertian yang diberikan oleh As’ad ini menunjukkan bahwa
kinerja merupakan ukuran atau tingkat pencapaian hasil-hasil dari
suatu pekerjaan yang telah dilakukan. Artinya, kinerja merupakan

16 S. Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara, 1995,


hal.4-5.
17 As’ad. M., Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty, 1987, hal. 47.
Penghargaan (Reward) 129

aktivitas pekerjaan yang telah selesai dilakukan.


Pengertian yang didasarkan pada bahasa dan istilah (terminolo-
gi) seperti yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka ki-
nerja dapat dipandang sebagai suatu upaya memaksimalkan seluruh
potensi atau kemampuan untuk bekerja. Untuk memaksimalkan se-
luruh potensi atau kemampuan untuk bekerja bagi seorang staf agar
ia dapat dikatakan memiliki kinerja yang berkualitas, ia harus memi-
liki banyak faktor yang diduga dapat mempengaruhi kinerja seorang
staf, faktor tersebut dapat di bagi kepada dua bagian, yaitu faktor
internal, dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari sikap, minat,
intelegensia, dan kepribadian. Sedangkan faktor eksternal, terdiri dari
sarana dan prasarana, reward (insentif, gaji, dan sejenisnya), suasana
(iklim) kerja, dan lingkungan kerja. Kedua faktor ini dapat dijadikan
sebagai motivasi bagi seorang staf untuk melakukan pekerjaannya
secara maksimal dan berkualitas. Berdasarkan pendapat ini, keliha-
tan bahwa kinerja staf dipengaruhi oleh beberapa faktor dan hal ini
tidak akan tumbuh dengan sendirinya dalam suasana organisasi sep-
erti lembaga perguruan tinggi, akan tetapi harus didukung oleh re-
kayasa (engineering) kepala lembaga perguruan tinggi. Dengan kata
lain, dalam melihat potensi kinerja staf dengan variabel yang dapat
mempengaruhinya, maka kepala lembaga perguruan tinggi harus
melakukan pendekatan manajemen. Pendekatan ini lebih dikenal
manajemen kinerja staf (teacher performance management).
Bertitik tolak dari pendekatan ini, Robert Bacal18 menyatakan
bahwa manajemen kinerja adalah proses komunikasi yang berlang-
sung secara terus-menerus, yang dilaksanakan berdasarkan kemi-
traan, antara seorang karyawan (staf) dengan penyelia (pengawas)
langsungnya. Proses ini meliputi kegiatan membangun harapan yang
jelas serta pemahaman mengenai pekerjaan yang akan dilakukan.

18 Robert Bacal, Performance Management: Memberdayakan Karyawan,


Meningkatkan Kinerja melalui Umpan Balik, mengukur Kinerja. Jakarta:
Gramedia, 2002, hal. 3-4.
130 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Membangun harapan yang jelas serta pemahaman mengenai pekerja


melalui proses komunikasi secara terus menerus merupakan sebuah
sistem. Artinya, ia memiliki sejumlah bagian yang semuanya harus
diikutsertakan, kalau sistem manajemen kinerja ini hendak member-
ikan nilai tambah bagi lembaga perguruan tinggi, kepala lembaga
perguruan tinggi, dan staf. Manajemen kinerja staf ini meliputi upa-
ya membangun harapan yang jelas melalui reward serta pemahaman
tentang:
1. Fungsi kerja esensial yang diharapkan dari staf,
2. Seberapa besar kontribusi pekerjaan staf bagi pencapaian tujuan
lembaga perguruan tinggi,
3. Apa arti kongkritnya melakukan pekerjaan dengan baik,
4. Bagaimana staf dan pihak manajemen lembaga perguruan ting-
gi bekerja sama untuk mempertahankan, memperbaiki, mau-
pun mengembangkan kinerja staf yang sudah ada sekarang,
5. Bagaimana prestasi kerja staf akan diukur,
6. Mengenali berbagai hambatan kinerja staf dan menyingkirkan
hambatan tersebut.
Mc. Donald19 memberikan pengertian bahwa motivasi adalah
perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan mun-
culnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya
tujuan. Perubahan energi dalam diri seorang itu berbentuk suatu
aktivitas nyata berupa kegiatan fisik. Karena seseorang mempunyai
tujuan tertentu dari aktivitasnya, maka seseorang mempunyai moti-
vasi yang kuat untuk mencapainya dengan segala upaya yang dapat
ia lakukan untuk mencapainya.
Keberhasilan para manajer pendidikan memotivasi para bawa-
hannya bergantung kepada: 1) motivasi yang dimiliki oleh masing-
masing bawahan, 2) ketepatan persepsi manajer terhadap kebutuhan
para bawahan, 3) hubungan manajer dengan para bawahan, 4) efek-

19 Mc. Donald dalam Syaiful Bahri, Prestasi Belajar dan Kompetensi Staf. Sura-
baya: Usaha Nasional, 1994, cet. 1, hal. 34.
Penghargaan (Reward) 131

tivitas proses komunikasi20.


Ada beberapa alat atau teori yang dapat digunakan untuk menge-
tahui peningkatan motivasi personalia organisasi (staf), di antaranya
teori Pradisposisi, hirarki kebutuhan, dua faktor, dan teori harapan.21
Terlepas dari keunggulan dan kelemahan dari masing-masing teori
tersebut, kepala lembaga perguruan tinggi selaku manajer di lem-
baga perguruan tinggi, dapat menggunakan satu atau beberapa dari
padanya dalam mendeteksi motivasi yang dimiliki oleh stafnya, da-
lam kapasitasnya sebagai motivator atau personalia lembaga per-
guruan tinggi. Pengetahuan ini memberi jalan bagi kepala lembaga

20 Huse, Edgar F. dan James L. Bowditch, Behavior in Organizations: A systems


Approach to Managing. California: Addison-Wesley Publishing Company,
1977, hal. 106., sebagaimana dikutip oleh Made Pidarta, dalam Manaje-
men Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1988, hal. 233.
21 Teori Pradisposisi mengatakan bahwa motivasi seseorang sejalan dengan
perkembangan umurnya. Apabila suatu pekerjaan cocok dengan ting-
kat perkembangan seseorang, maka hal itu akan dapat mengeluarkan
energinya secara maksimum untuk bekerja (Hoy, Wayne K. And Cecil
G. Wiskel, Educational Administration Theory, Research and Practice. New
York: Random House, 1978, hal. 97). Teori hirarki kebutuhan menyatakan
bahwa kebutuhan seseorang adalah bertingkat-tingkat, mulai dari kebu-
tuhan biologis, rasa aman, bersahabat, kebutuhan dihargai/dihormati,
sampai dengan kebutuhan mengaktualisasi diri. Kebutuhan yang paling
dekat (biologi, seperti makan, minum, dan sejenisnya), merupakan ke-
butuhan yang paling mendesak (A. H. Maslow, dalam Ricky W. Griffin
and Gregory Moorhead, Organizational Behavior. USA: Houghton Mifflin
Company, 1986, hal. 146-147, bandingkan dengan Keith Davis dan John
W. Newstrom, Perilaku Dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga, 1990, hal. 68.
Teori dua faktor (faktor pemotivasi dan faktor kondisi lingkungan / hygiene);
faktor pemotivasi cenderung memberi kepuasan kepada para petugas,
sebaliknya faktor kondisi lingkungan cenderung membuat mereka tidak
puas. Dalam perkembangannya kemudian, teori ditambah satu faktor
lagi, yaitu faktor berarti dua, faktor ini dapat meningkatkan kepuasan
kerja dan dapat pula menurunkannya. Dalam posisi ini, peran/ tugas
manajer adalah meningkatkan faktor pemotivasi dan meminimalkan fak-
tor kondisi lingkungan.
132 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

perguruan tinggi dalam memberikan tugas yang lebih cocok kepada


setiap staf, dengan kemungkinan memberi hasil yang lebih optimal,
dan dengan tetap menjunjung tinggi harkat staf sebagai manusia,
misalnya manajer (kepala lembaga perguruan tinggi) memakai teori
dua faktor dalam meningkatkan moral kerja staf, maka kepala lem-
baga perguruan tinggi (manajer) akan berusaha meningkatkan fak-
tor pemotivasi seperti 1) selalu memberi perhatian kepada staf yang
berprestasi, bila perlu memberi hadiah kepadanya, 2) secara eksplisit
mengakui dan menghargai kemampuan atau kelebihan seorang staf,
3) membuat pekerjaan itu menantang bagi seorang staf, 4)meneka-
nkan tanggung jawab, dan 5) berusaha mencarikan jalan keluar dari
problem yang dihadapi agar staf mendapatkan kemajuan. Bersa-
maan dengan itu, hubungan dengan staf dan hubungan antar staf
yang akrab dikurangi, supervisi diadakan bila perlu saja, kebijakan
dan peraturan dibuat tidak terlalu mengekang individu seorang staf,
keamanan dan kondisi kerja diperbaiki, dan kehidupan pribadi staf
dibina, bila mungkin ditingkatkan. Apapun langkah yang ditempuh
oleh pihak manajemen lembaga perguruan tinggi (kepala lembaga
perguruan tinggi) pada hakekatnya diarahkan untuk meningkatkan
kinerja stafnya di lembaga perguruan tinggi agar termotivasi dalam
bekerja.

2. Sistem Reward dan Disiplin Kerja


Masalah gaji dan bentuk reward lainnya seperti insentif, tunjangan,
dan fasilitas lainnya yang mungkin atau dapat diberikan oleh lem-
baga perguruan tinggi dapat menjadi faktor penting dalam penen-
tuan apakah seorang staf akan masuk kerja (mengajar dan aktivitas
kependidikan lainnya) pada hari-hari tertentu.
Ketidak-hadiran staf dapat disebabkan oleh adanya kemauan
atau keinginan untuk menghindari ketidaknyamanan suatu lingkun-
gan kerja di lembaga perguruan tinggi (pekerjaan, siswa, rekan sesa-
ma staf, kondisi kerja, kepala lembaga perguruan tinggi), atau keke-
Penghargaan (Reward) 133

cewaan terhadap struktur balas jasa berupa imbalan (reward) yang


diberikan oleh lembaga perguruan tinggi (gaji, insentif, tunjangan,
fasilitas, promosi, dan pengakuan terhadap staf). Oleh karenanya,
ketidakhadiran (absenteeism) dapat menjadi salah satu cara di mana
seorang staf dapat bereaksi pada suatu bentuk ketidakadilan yang
sesuai dengan teori keadilan (equity theory).
Ketidakdisiplinan kerja staf yang ditandai dengan keterlam-
batan dan pulang kerja lebih dini juga membebankan biaya yang
sama bagi lembaga perguruan tinggi seperti ketidakhadiran (absen-
teeism), dan sering disebabkan oleh faktor-faktor yang sama. Ketidak-
disiplinan yang ditandai dengan ketidakhadiran, keterlambatan, dan
pulang kerja lebih dini dapat dikendalikan dengan menggunakan
reward yang didasarkan atas kehadiran (present by pay), reward yang
dikaitkan dengan volume kerja, kualitas kerja, dan besar kecilnya
tanggung jawab yang dimiliki. Menurut Simamora22 cara terbaik di
dalam memotivasi kehadiran atau disiplin kerja karyawan (dalam
konteks ini staf), tidak menyentuh persoalan gaji sama sekali, akan
tetapi didasarkan pada tingkat keterlibatan karyawan (staf) di lemba-
ga perguruan tinggi, hubungan antar staf, dan aktualisasi diri. Semua
ini dapat memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kehadiran
kerja dan disiplin kerja bagi seorang staf. Meskipun demikian, harus
dilihat apakah faktor kehadiran atau kedisiplinan kerja dipengaruhi
atau dimotivasi oleh reward, jika disebabkan oleh kebijakan reward,
maka reward harus memungkinan seorang staf untuk meningkatkan
disiplin kerja atau kehadirannya di lembaga perguruan tinggi den-
gan kompetisi di dalamnya.

3. Sistem Reward Sebagai Faktor Motivasi Kerja Staf


Salah satu tugas yang paling sulit yang dihadapi oleh berbagai
macam organisasi termasuk perguruan tinggi yaitu tugas memoti-
vasi stafnya-baik staf dalam jabatan manajerial (struktural) maupun

22 Henry Simamora, Op.Cit , hal. 546.


134 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

dalam jabatan non manajerial (akademik)-agar mereka melaksana-


kan pekerjaan mereka sesuai dengan cara yang menyebabkan bahwa
standar-standar hasil pekerjaan yang diekspektasi dapat dilampaui.23
Dengan demikian, jika kemampuan para staf telah dikembangkan
sedemikian rupa, sehingga mereka mampu memenuhi atau melam-
paui tuntutan pekerjaan, maka tepatlah kalau pada saatnya mereka
diberi reward secara wajar untuk sumbangan-sumbangan mereka.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan reward yang wajar itu
banyak, bermacam-macam, rumit, dan manajemen harus mengambil
beberapa keputusan yang berhubungan dengan reward tersebut.
Seorang pimpinan lembaga perguruan tinggi yang bertindak
selaku manajer24 di lembaga perguruan tinggi hendaknya memiliki
kepedulian terhadap ketidakpuasan stafnya mengenai reward dalam
wujud gaji, insentif atau tunjangan-tunjangan lainnya yang diberi-
kan kepada mereka. Karena kepuasan (satisfaction) merupakan suatu
istilah yang menggambarkan suatu sikap suka atau tidak suka, yang
dalam hal ini tentunya mengacu pada sikap suka atau tidak suka
terhadap reward yang diterapkan lembaga perguruan tinggi. Dalam
hal ini, perbedaan antara jumlah yang diterima oleh staf dan jumlah
yang mereka kira diterima oleh pihak (staf) lain merupakan penyebab
langsung kepuasan atau ketidakpuasan terhadap reward tersebut.
Antisipasi kepuasan terhadap sistem reward ini tentunya akan
mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh staf mengenai
seberapa keras ia akan bekerja. Artinya, sistem reward ini akan mem-
pengaruhi kepuasan dan berfungsi sebagai umpan balik yang me-
mungkinkan seorang staf akan menyesuaikan tindakannya di masa
yang akan datang. Apabila staf tersebut dibayar terlalu sedikit, ten-

23 Diolah dari Winardi, Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung: Pustaka A,


1992, hal. 119.
24 Peran dan andil pimpinan di perguruan tinggi memiliki komponen ki-
nerja dalam meningkatkan aktivitas pendidikan. Komponen kinerja
pimpinan tersebut adalah sebagai pendidik (educator), leader, manager,
inovator, motivator, dan supervisor.
Penghargaan (Reward) 135

tunya ia akan sering absen atau bahkan mengundurkan diri. Seba-


liknya, apabila staf tersebut menyadari bahwa ia ternyata dibayar
sangat tinggi (mahal), tentunya ia akan mewujudkan atau mengek-
spresikannya dengan bekerja secara lebih giat. Tujuan utama lembaga
perguruan tinggi menggunakan reward ini adalah untuk memotivasi
stafnya agar memiliki kinerja yang maksimal. Hal ini disebabkan kar-
ena terbukti bahwa reward dapat memotivasi prestasi, jika terdapat
kondisi spesifik tertentu.25 Kondisi spesifik tertentu tersebut adalah
gaji harus dibayar tepat waktu, perlunya performance based pay sep-
erti bayaran semacam UMR/GMR, yang ditandai dengan volume
kerja, kualitas dan besar kecilnya tanggung jawab, perlunya meng-
gali sumber-sumber reward lain, selain mengandalkan SPP, otonomi
pengelolaan pendidikan dan reward. Kondisi spesifik ini merupakan
konsep reward yang dapat diterapkan oleh pihak manajemen lemba-
ga perguruan tinggi dalam memotivasi staf agar dapat berprestasi di
lembaga perguruan tinggi, baik diukur dari segi kedisiplinan kerja,
kemampuan dan kemauan mengajar, dan tingkat partisipasi kerja di
lembaga perguruan tinggi.
Motivasi untuk berprestasi yang ditandai dengan kemampuan
dan kemauan mengajar, disiplin kerja, dan partisipasi kerja tergan-
tung pada bagaimana persepsi staf terhadapnya, dan kebutuhan staf
itu sendiri. Dalam hal ini, gaji atau insentif, maupun tunjangan yang
diberikan diarahkan untuk meningkatkan kemampuan mengajar,
disiplin kerja, dan partisipasi kerja tersebut. Akan tetapi, ternyata
dengan pemberian gaji, insentif, dan tunjangan yang cukup me-
madai kadang kala menyebabkan pihak manajemen lembaga pergu-
ruan tinggi mengalami rasa kecewa pada saat kenaikan gaji, insentif
atau tunjangan tidak menghasilkan peningkatan kemampuan dan
kemauan mengajar, disiplin kerja, dan partisipasi kerja di lembaga
perguruan tinggi. Pada tingkatan yang lebih serius, lembaga pergu-

25 Edward E. Lawler, Sistem Imbalan dan Pengembangan Organisasi. Jakarta:


Pustaka Binaman Pressindo, 1983, hal.26.
136 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

ruan tinggi tidak mampu memotivasi staf agar memiliki kinerja yang
efektif. Dengan demikian, dalam meningkatkan motivasi bagi staf di
lembaga perguruan tinggi melalui penerapan sistem reward ada be-
berapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu 1) keadilan eksternal, 2)
keadilan internal, 3) keadilan individu. Jenis-jenis keadilan ini, diper-
lukan untuk membangun harapan staf terhadap sistem reward agar
dapat dibangun motivasi yang kuat.
Menurut Lawler 26ancangan yang paling mampu membantu
kita mengerti bagaimana orang berkembang dan bertindak menurut
pola mentalnya disebut teori pengharapan. Selintas teori ini sangat
kompleks; akan tetapi sebenarnya teori tersebut merupakan seren-
tetan pengamatan atau perilaku yang gamblang.
Ada tiga konsep yang merupakan tonggak terpenting dalam pe-
nyusunan teori ini, yaitu:
1) Pengharapan hasil prestasi; konsep ini memberi pemahaman bah-
wa individu yakin atau berharap akan memperoleh sesuatu jika
mereka berbuat begini dan begitu.
2) Daya pikat; setiap akibat mengandung daya pikat bagi individu
tertentu, dan daya pikat itu berbeda untuk bermacam-macam in-
dividu. Ini dapat dibenarkan karena nilai akibat dihasilkan oleh
kebutuhan dan persepsi individual, yang mencerminkan faktor
yang berlainan dalam kehidupan setiap individu.
3) Pengharapan berkenaan dengan upaya dan prestasi; individu ber-
harap setiap perilakunya akan ikut membawanya kepada ke-
berhasilan. Pengharapan ini menunjukkan persepsi individu
tentang bagaimana sukarnya mencapai perilaku yang demikian
itu dan kemungkinan tercapainya dengan sukses perilaku itu
baginya.
Jika konsep tersebut dipadukan, maka akan kelihatan bahwa ti-
tik kekuatan motivasi seseorang akan tercapai apabila (1) ia percaya

26 Edward E. Lawler, Op. Cit, hal.26.


Penghargaan (Reward) 137

bahwa perilakunya akan memberikan hasil-hasil tertentu (penghara-


pan terhadap hasil prestasi), dan (2) ia percaya bahwa ada kemung-
kinan untuk mencapai suatu prestasi sampai pada tingkat yang di-
inginkannya (pengharapan berkaitan dengan upaya dan prestasi).

4. Sistem Reward dan Kemampuan Mengajar


Istilah kemampuan mempunyai banyak makna. Broke dan Stone se-
bagaimana dikutip oleh Cece Wijaya27 menjelaskan bahwa kemam-
puan merupakan gambaran hakekat kualitatif dan perilaku staf atau
tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti. Pendapat lain sep-
erti dikemukakan oleh Charles E. Jhonsons et al sebagaimana dikutip
oleh Cece Wijaya dalam bukunya tersebut menjelaskan bahwa ke-
mampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan
yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Berti-
tik tolak dari dua pengertian tersebut, maka paling tidak kompetensi
mengacu kepada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh
melalui pendidikan. Kompetensi menunjuk kepada performance dan
perbuatan yang rasional untuk memenuhi versifikasi tertentu di da-
lam pelaksanaan tugas-tugas kependidikan.
Staf yang profesional28 akan bekerja melaksanakan fungsi dan

27 Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan, Kemampuan Dasar Staf dalam Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991, hal.7-8.
28 Menurut Oemar Hamalik yang dikutip oleh Cece Wijaya dan A. Tabrani
Rusyan, Kemampuan Dasar Staf dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rosda Karya, 1991, hal. 9, menjelaskan bahwa staf sebagai jabatan
profesional memerlukan keahlian khusus karena sebagai suatu profesi,
staf harus memiliki syarat profesional. Adapun syarat-syarat tersebut
meliputi 1) persyaratan fisik yaitu jasmani yang artinya staf harus ber-
badan sehat dan tidak memiliki penyakit menular yang membahayakan,
2) persyaratan psikis, yaitu sehat rohani yang artinya tidak mengalami
gangguan jiwa atau pun kelainan, 3) persyaratan mental, yaitu memiliki
sikap mental yang bai terhadap profesi kependidikan, mencintai dan
mengabdi serta memiliki dedikasi yang tinggi pada tugas dan jabatan-
nya, 4) persyaratan moral, yaitu memiliki budi pekerti yang luhur dan
memiliki sikap susila yang tinggi, 5) persyaratan intelektual, yaitu memi-
138 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

tujuan lembaga perguruan tinggi khususnya dan tujuan pendidikan


umumnya, sudah barang tentu memiliki kemampuan sesuai dengan
tuntutan.
Sebagai indikator, seorang staf dinilai mampu secara profesion-
29
al apabila:
1. Staf tersebut mengembangkan tanggung jawab dengan sebaik-
baiknya,
2. Staf tersebut mampu melaksanakan peranan-peranan secara
berhasil,
3. Staf tersebut mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pen-
didikan di lembaga perguruan tinggi,
4. Staf tersebut mampu melaksanakan perannya dalam proses be-
lajar mengajar di kelas. Dengan demikian, maka indikator atau
tolok ukur kinerja staf yang rendah ditandai dengan adanya
tanggung jawab, peran, kemampuan kerja yang rendah seperti
tidak disiplin, kemampuan dan kemauan mengajar serta partisi-
pasi kerja yang rendah.
Karakteristik tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
(1) Tanggung jawab staf
Setiap staf harus memiliki persyaratan sebagai manusia yang ber-
tanggung jawab dalam bidang pendidikan. Staf sebagai pendidik
bertanggung jawab untuk mewariskan nilai-nilai dan norma-norma
kepada generasi berikutnya sehingga terjadi proses konservasi nilai
karena melalui proses pendidikan diusahakan terciptanya nilai-nilai
baru. Tanggung jawab staf tersebut meliputi tanggung jawab moral,
tanggung jawab bidang pendidikan di lembaga perguruan tinggi,
tanggung jawab staf dalam bidang kemasyarakatan, dan tanggung
jawab staf dalam bidang keilmuan. Dengan tanggung jawab moral, set-

liki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi yang diperoleh dari lem-
baga pendidikan tenaga kependidikan, yang memberi bekal guna menu-
naikan tugas dan kewajibannya sebagai pendidik.
29 Ibid, hal. 9-10.
Penghargaan (Reward) 139

iap staf harus memiliki kemampuan untuk menghayati perilaku dan


etika moral yang sesuai dengan moral yang dianut dalam kehidupan
sehari-hari. Melalui tanggung jawab dalam bidang pendidikan di lembaga
perguruan tinggi, setiap staf harus menguasai cara belajar-mengajar
yang efektif, mampu membuat satuan pelajaran, mampu memahami
kurikulum dengan baik, mampu mengajar di kelas, mampu menjadi
model bagi siswa, mampu memberikan nasihat, menguasai teknik-
teknik pemberian bimbingan dan layanan, serta mampu membuat
dan melaksanakan evaluasi dan sebagainya. Sedangkan melalui tang-
gung jawab dalam bidang kemasyarakatan, tanggung jawab seorang staf
adalah turut serta menyukseskan pembangunan dalam masyarakat,
karena itu staf harus mampu membimbing, mengabdi kepada dan
melayani masyarakat. Termasuk juga dalam hal tanggung jawab staf
dalam bidang keilmuan. Dalam tanggung jawab ini, seorang staf selaku
ilmuan bertanggung jawab dan turut serta memajukan ilmu, teru-
tama ilmu yang telah menjadi spesialisasinya, dengan melaksanakan
penelitian dan pengembangan.
(2) Peran dan Fungsi Staf
Fungsi dan peran staf berpengaruh terhadap pelaksanaan pendidi-
kan di lembaga perguruan tinggi, antara lain sebagai berikut:
1. Staf sebagai pendidik dan pengajar; yakni staf harus memiliki
kestabilan emosi, ingin memajukan siswa, bersikap realistis,
bersikap jujur dan terbuka, peka terhadap perkembangan,
terutama inovasi pendidikan. Untuk mencapai semua ini,
staf harus memiliki dan menguasai berbagai jenis bahan
pelajaran, menguasai teori dan praktek kependidikan,
menguasai kurikulum dan metodologi pengajaran.
2. Staf sebagai anggota masyarakat harus pandai bergaul
dengan masyarakat. untuk itu, staf harus menguasai
psikologi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan
antar manusia, dan sebagai anggota masyarakat, staf harus
memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan
140 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

bekerja sama dalam kelompok, keterampilan menyelesaikan


tugas bersama dalam kelompok.
3. Staf sebagai pemimpin harus mampu memimpin. Untuk
itu, staf perlu memiliki kepribadian, menguasai ilmu
kepemimpinan, menguasai prinsip hubungan antar manusia,
teknik berkomunikasi, serta menguasai berbagai aspek
kegiatan organisasi yang ada di lembaga perguruan tinggi.
4. Staf sebagai pelaksana administrasi akan dihadapkan kepada
administrasi yang harus dikerjakan di lembaga perguruan
tinggi. Untuk itu, tenaga kependidikan seperti staf harus
memiliki kepribadian, jujur, teliti, rajin, menguasai ilmu
tata buku, korespondensi, penyimpanan arsip dan ekspedisi
serta administrasi pendidikan lainnya.
5. 5) Staf sebagai pengelola administrasi proses belajar-
mengajar harus menguasai berbagai metode mengajar dan
harus menguasai situasi belajar-mengajar, baik di dalam
kelas maupun di luar kelas.
Kemampuan kerja staf dapat diidentifikasi melalui dua hal,
yaitu pertama, kemampuan mengajar dan kedua, kemampuan non-
mengajar. Kemampuan mengajar terkait dengan seluruh aktivitas
proses belajar mengajar (pembelajaran) yang berlangsung di dalam
dan di luar kelas. Sedangkan kemampuan non-mengajar terkait den-
gan aktivitas pendidikan yang mendukung proses pembelajaran
tersebut. Kedua bentuk kemampuan kerja staf ini diperlukan untuk
memberdayakan pendidikan yang sedang berlangsung di lembaga
perguruan tinggi. Untuk itu syarat profesional kerja staf mutlak
diperlukan agar kinerja staf dapat meningkat.
Kinerja staf tidak terlepas dari tugas staf sebagai pengajar. Maka
pengertian mengajar harus ditelusuri lebih mendalam. Mengajar
adalah salah satu usaha dari pihak staf untuk mengatur lingkungan,
Penghargaan (Reward) 141

sehingga tercipta suasana yang kondusif bagi siswa untuk belajar.30


Sementara, Usman31 menyatakan bahwa mengajar merupakan suatu
perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup be-
rat, dan moral merupakan suatu perbuatan atau pekerjaan yang ber-
sifat unik, tetapi sederhana. Dikatakan unik, karena hal itu berkenaan
dengan manusia yang belajar, yakni siswa, dan yang mengajar yakni
staf, dan berkaitan erat dengan manusia di dalam masyarakat yang
semuanya menunjukkan keunikan.
Dikatakan sederhana, karena mengajar dilaksanakan dalam
keadaan praktis dalam kehidupan sehari-hari, mudah dihayati oleh
siapa saja. Dengan demikian, akan kelihatan bahwa mengajar ter-
masuk dalam pengertian ini, mendidik dan melatih, merupakan
suatu proses membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar
atau dengan kata lain merupakan suatu usaha yang dilakukan un-
tuk mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan siswa
dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar mengajar
(pembelajaran). Dalam kaitan ini, staf dituntut untuk memainkan
peran dan andilnya selaku organisator pemebelajaran dalam me-
manfaatkan lingkungan, baik yang ada di dalam lingkungan kelas
maupun di luar kelas yang dapat menunjang kegiatan pembelajaran
yang ditujukan kepada siswa. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa mengajar (teaching) merupakan the guidance of learning activi-
ties. Sedangkan menurut Dressel dan Marcus32 mengajar bukan seke-
dar mengetahui dan menyalurkan suatu pengetahuan, melainkan
suatu usaha yang dimaksudkan untuk mengilhami dan membantu
siswa belajar. Dengan demikian, pemahaman dan pengertian serta
pandangan terhadap konsep mengajar ini, akan banyak memberikan

30 S. Nasution, Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara, 1995, hal.


4-5.
31 Moh. Uzer Usman, Menjadi Staf Profesional. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2001, hal. 5.
32 Dresser, P.L dan Dora Marcus, On Teaching and Learning in Colledge. San-
fransisco: Jossey-Bass Publishers, 1982, hal. 202.
142 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

pengaruh terhadap peranan dan aktivitas staf dalam mengajar. Se-


baliknya, aktivitas staf dalam mengajar serta aktivitas siswa dalam
belajar sangat tergantung pada pemahaman staf terhadap konsep
mengajar tersebut. Semakin akurat para staf dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya, maka akan semakin menjamin tercipta dan
terbinanya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Bagaimana
seorang staf tampil dalam kelas dan pengajaran yang dilakukannya
hendaknya memenuhi berbagai kriteria, agar kinerja tersebut dapat
mencapai hasil yang diharapkan. Staf menjadi pusat segala kegiatan,
sedangkan siswa menjadi pihak yang pasif yang harus menerima dan
mengikuti segala peraturan dan pemikiran staf.33
Dalam perspektif baru, Hicks, dkk.34 Lebih lanjut mengungkap-
kan bahwa staf tidak lagi menjadi pusat kegiatan yang menentukan
setiap aktivitas siswa, justru siswalah yang menjadi pusat, mereka be-
bas berpikir dan bertindak. Berkaitan dengan hal tersebut, bagaima-
na seorang staf dapat menigkatkan kemampuan mengajarnya agar
dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan-tujuannya, kemampuan
kerja staf harus diimbangi dengan sejumlah kebijakan kepala lem-
baga perguruan tinggi dalam mempertahankan staf yang berkuali-
tas tersebut, antara lain 1) melakukan promosi jabatan/pekerjaan,
2) memberlakukan gaji pokok yang signifikan, 3) memberlakukan
pembayaran-pembayaran yang didasarkan atas prestasi (performance
based pay), dan 4) bayaran-bayaran lain baik secara langsung mau-
pun tidak langsung. Seorang staf yang memiliki atau menunjukkan
kemampuan kerja yang baik, sebagai wujud dari kedisiplinan dan
kepatuhan atau partisipasi kerja yang dimiliki, maka ia layak untuk
memperoleh kenaikan gaji, promosi, dan lain sebagainya. Sedangkan
bagi staf yang memiliki kemampuan kerja yang tidak atau kurang
baik, maka ia berhak pula untuk memperoleh kesempatan untuk

33 V.W.M, Hicks, et all, The New Elementary School Curriculum. Canada: D.


Van Nostrand Company, Ltd, 1970, hal. 366.
34 Ibid, hal. 364.
Penghargaan (Reward) 143

memperbaiki kualitasnya melalui pendidikan dan pelatihan, kursus,


atau pengarahan dari kepala lembaga perguruan tinggi, agar pada
saatnya memperoleh kinerja yang baik.

5. Hakekat Partisipasi Kerja dan Konsep Pemikiran Tentang Implementasi


Sistem Reward
Staf sebenarnya mendambakan kinerja mereka akan berkorelasi den-
gan imbalan-imbalan dalam bentuk reward yang diperoleh dari lem-
baga perguruan tinggi. Pada umumnya, hubungan yang dirasakan
tersebut mengambil bentuk seperti gambar berikut:

Umpan balik yang diberikan

(1) (2) (3) (4)


Lembaga / Staf Menerima Kinerja Staf Staf Menimbang
Perguruan Tinggi Penghargaan (1) dan (2)
Menetapkan Reward

(5) Staf menetapkan sasaran dan pengharapan baru


berdasarkan pengalaman sebelumnya

Gambar. 10: Konsep pemikiran


tentang implementasi sistem reward

Staf mempunyai pengharapan mengenai imbalan-imbalan atau re-


ward yang diterima jika tingkat kinerja tertentu dicapai. Pengharapan-
pengharapan ini menentukan tujuan-tujuan dan tingkat-tingkat kin-
erja di masa depan. Selama langkah kedua dalam model tersebut, para
staf yang mencapai tingkat kinerja yang dikehendaki mengharapkan
tingkat reward tertentu. Pada beberapa hal, manajemen mengevaluasi
dan memberikan imbalan pada kinerja staf. Contoh-contoh imbalan
(reward) tersebut meliputi kenaikan bayaran prestasi (merit pay), pro-
mosi, imbalan intrinsik seperti pengakuan, dan peningkatan status.
Langkah kelima pada model tersebut, para staf mempertimbangkan
hubungan antara kinerja yang telah mereka berikan kepada lembaga
144 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

perguruan tinggi, reward yang dikaitkan dengan kinerja tersebut, dan


kewajaran hubungan tersebut. Langkah terakhir dari proses meliputi
staf menentukan tujuan-tujuan dan pengharapan berdasarkan pen-
galaman sebelumnya di dalam lembaga perguruan tinggi. Jika staf
melihat bahwa kerja keras dan kinerja yang unggul diakui oleh lem-
baga perguruan tinggi dan diberikan reward oleh lembaga perguruan
tinggi, mereka akan mengharapkan hubungan seperti itu berlanjut
terus di masa depan. Karena itu, staf akan menentukan tingkat kin-
erja yang lebih tinggi yang mengharapkan reward yang lebih tinggi.
Sebaliknya, jika staf memperkirakan hubungan yang lemah antara
kinerja dan reward yang diberikan kepada staf, maka staf mungkin
akan menentukan tujuan-tujuan minimal guna mempertahankan
pekerjaan mereka, tetapi tidak melihat perlunya menonjolkan diri
dalam posisi-posisi mereka.
Terdapat dua kondisi yang harus dipenuhi jika
menghendaki para staf merasa bahwa reward terkait dengan kinerja.
Pertama, hubungan antara kinerja dan reward mestilah kelihatan den-
gan jelas pada anggota-anggota lembaga perguruan tinggi khusus-
nya staf. Kedua, tingkat kepercayaan yang memadai haruslah ada di
antara para staf yang ada dengan manajemen lembaga perguruan
tinggi. Kepercayaan adalah prasyarat yang perlu untuk sifat-sifat
motivasional dari sistem reward, karena jika para staf tidak memper-
cayai bahwa manajemen sungguh-sungguh memberikan reward yang
dijanjikan untuk kinerja yang efektif, para staf tidak akan termotivasi
untuk bekerja secara efektif. Karena itu, penggunaan sistem reward
untuk memotivasi kinerja yang efektif membutuhkan keterkaitan
yang jelas dan terlihat antara kinerja dan reward serta iklim keper-
cayaan antara staf yang melakukan aktivitas mengajar dan kepen-
didikan dengan pihak lembaga perguruan tinggi yang memberikan
reward. Untuk mempertahankan pertalian antara kinerja dan moti-
vasi ini-yang menguntungkan lembaga perguruan tinggi dan staf
lembaga perguruan tinggi perlu menyediakan:
Penghargaan (Reward) 145

1) Evaluasi yang akurat. Manajemen harus membentuk sebuah


sistem penilaian kinerja yang akurat untuk mengidentifikasi sia-
pa-siapa staf yang menonjol, staf yang lemah, meskipun diketa-
hui bahwa pengembangan kinerja yang akurat tidaklah mudah,
hal ini merupakan kaitan kritis antara kinerja staf dan motivasi.
2) Sistem reward terhadap kinerja. Manajemen harus mengidentifikasi
sistem reward organisasional yang berkaitan erat dengan tingkat
kinerja, dan memberitahukan kepada para staf bahwa sistem re-
ward, baik berupa gaji, kenaikan tunjangan, atau kondisi kerja
secara umum akan berhubungan langsung dengan kinerja.
3) Umpan balik dari pimpinan. Para pimpinan (kepala lembaga pergu-
ruan tinggi) harus memberikan umpan balik yang lengkap dan
akurat kepada para staf pada saat menilai kinerja yang mereka
lakukan. Para staf harus diberi tahu bahwa mereka harus bekerja
dengan baik dan bidang-bidang kinerja mana yang memerlukan
perbaikan. Dengan demikian, dalam upaya memenuhi sistem
reward sebagaimana yang telah dikemukakan di atas haruslah
(1) memberikan sistem reward bagi kinerja staf; (2) memelihara
kewajaran sistem reward di antara para staf; (3) memotivasi kin-
erja staf di masa yang akan datang; (4) mempertahankan sistem
reward; (5) meningkatkan kepuasan kerja staf; (6) meminimalkan
ketidakpuasan melalui penerapan sistem reward, dan (7) me-
menuhi kebutuhan-kebutuhan staf.

D. Sistem Reward dan Kinerja Staf dalam Pandangan Islam

1) Konsep Sistem Reward dalam Pandangan Islam


Ajaran Islam tidak mengenal adanya kelas di dalam masyarakat yang
membedakan manusia menurut tingkat kebangsawanan atau kelas
yang dibentuk manusia, atau dibuat untuk menimbulkan tidak adan-
ya persamaan (musyawah) di antara manusia. Karena itu, Islam tidak
146 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

mengenal kelas bangsawan di satu pihak dan kelas kaula di pihak


lain seperti yang terdapat dalam masyarakat feodalistis. Juga tidak
mengenal pembagian yang membedakan antara kelas buruh dan
majikan seperti dalam masyarakat yang kapitalistis atau masyarakat
sistem Komunis, bahkan Islam juga menentang adanya kelas-kelas
yang berkuasa di satu pihak dan rakyat biasa (dikuasai) di pihak lain.
Demikian juga halnya Islam tidak mengenal adanya kelas “manager”
di satu pihak dengan kelas pekerja/buruh di pihak lain yang mulai
diperkenalkan belakangan, akibat berlakunya manajemen modern.
Adanya sekelompok orang yang berfungsi sebagai manager hanya
dilihat dari pembagian kerja saja atas dasar persetujuan bersama,
dan atas dasar kemampuan managerialship semata. Jadi, sekelompok
orang yang berfungsi di dalam manajemen karena mempunyai ke-
mampuan pengetahuan dan keterampilan untuk itu, bukan sebagai
suatu kelas yang terlepas dari manusia lain,35 bahkan menurut Roger
Garaudy36 sebagaimana dikutip oleh Ek. Mochtar Effendy tersebut
menyatakan bahwa Islam hanya mengenal pembagian pekerjaan menu-
rut kemampuan pisik, kemampuan ilmu, dan teknologi yang dimiliki
oleh masing-masing manusia. Prinsip ini disebut prinsip persamaan
(musawah) di antara manusia. Kerja memainkan peranan yang pokok
sebagai dasar pemilihan.
Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk bekerja, menca-
pai penghidupan atau berusaha tanpa dibatasi oleh kedudukan so-
sialnya (social status). Sunnatullah menentukan bahwa manusia wajib
bekerja menurut kemampuan dan kecakapan masing-masing, untuk
mencari nafkah (reward) bagi dirinya dan keluarganya, seperti yang
dinyatakan dalam beberapa firman Allah SWT:

35 Ek. Mochtar Effendy, Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Is-


lam. Jakarta: Bhratara, 1996, hal. 54-55.
36 Lebih lanjut dapat dilihat pada Roger Garaudy, Promesses del’ Islam, telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. H. M. Rasyidi
dengan judul Panji-panji Islam, cetakan kedua, Bulan Bintang Jakarta,tt,
hal.69.
Penghargaan (Reward) 147

WDSÄ=°%ØUÀ-ÙXT œÄ ÉSÀyXqXT ×ÅQ X+[Å Œ sXn]m_VÙ SÉ \-Õà ©#ÉXT

Artinya: Katakanlah (ya Muhammad), “”bekerjalah kamu kelak Allah


serta orang-orang mukmin akan memperlihatkan hasil pekerjaanmu.”
(QS. At-Taubah:105).

Dalam surat An-Najm:39 Allah SWT juga berfirman:

§¬²¨ ³WË\y W% €Y¯ ¨C›_60`° `‡ÙjŠ DU XT

Artinya: “Dan seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang


diusahakannya,” (QS. An-Najm: 39).

Bahkan dalam surat Al-Balad: 4 Allah SWT berfirman:

§­¨ iW[ r¯Û ]C›_60_ X=Ù Q \\ ÕiV V

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam


susah payah (karenanya harus berusaha).” (Qs. Al-Balad: 4).

Juga di dalam surat Al-Baqarah: 141, Allah SWT juga telah ber-
firman:
Ô2È)×_[ ‰% 1ÅVXT Õ0W_[ W% RNP
Artinya: “Telah berlalu segala apa yang diusahakannya, dan bagimu
apa yang kamu usahakan.” (Qs. Al-Baqarah: 141).

Termasuk di dalam Surat Al-Qashash: 77 Allah SWT berfirman:

 XkØ5ri |¦°% \Wj¦¡W5 |><V" YXT QQWm¦\)[ Xq… Œ |^W"XÄ \-k°Ù §×W*×XT

¨º×q)] r¯Û \j_[ÝÙ §××V" YXT |^ÙkV¯ Œ ]C_ÕOU \- C¦ÕOU XT

 WÛÏ°i¦ÙÝÀ-Ù p °VÅf Y ‹ ‰D¯


148 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Artinya; “Hendaklah cari olehmu negeri akhirat dengan kekayaan


yang dianugerahkan Tuhan kepadamu, serta janganlah lupa bagian
(keperluan) engkau di dunia! Berbuat baiklah kepada orang lain, seba-
gaimana Allah telah berbuat baik kepadamu! Janganlah berbuat ben-
cana di muka bumi, karena Allah tidak menyukai orang yang berbuat
bencana.” (QS. Al-Qashash: 77).

Dari ayat-ayat tersebut di atas, menunjukkan adanya perintah


Allah agar setiap orang bekerja dengan kinerla maksimal untuk ke-
pentingan kelanjutan hidupnya di dunia. Manusia dijadikan dalam
bentuk (postur) yang sebaik-baiknya dan seindah-indahnya serta
dilengkapi pula dengan akal dan ilmu sebagai alat untuk bekerja se-
cara maksimal. Kemudian Allah pun melengkapi manusia dengan
nafsu dalam bentuk emosi, kecenderungan untuk merangsang agar
selalu ada daya juang untuk bekerja, bahkan untuk berlomba-lom-
ba mengejar prestasi yang lebih baik yang karenanya dapat dihar-
gai (diberi reward) yang seimbang. Perlombaan secara jujur (fair play
competition) dapat dibenarkan dan untuk aturan permainannya Allah
memberikan agama, yang menentukan apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan dalam ”persaingan” tersebut.
Beberapa ayat di atas menjelaskan secara eksplisit bahwa dalam
pandangan Islam, kelihatan bahwa penerapan sistem reward dalam
kaitannya dengan kinerja harus seimbang antara kinerja itu sendiri
dengan reward yang diterima. Dengan kata lain reward yang diterima
merupakan investasi dari usaha giat yang karenanya harus dihargai.

2) Konsep Kinerja Staf dalam Pandangan Islam


Staf merupakan profesi yang sangat mulia, karena pendidi-
kan adalah salah satu tema sentral, Nabi Muhammad sendiri sering
disebut sebagai pendidik kemanusiaan (educator of mankind)37. Bahkan

37 Dalam tulisan ini menggunakan istilah staf untuk menggambarkan pen-


didik seperti dosen dan guru, sedangkan yang dimaksud staf (untuk
menghubungkan tulisan ini dengan pendapat Azyumardi Azra) dalam
Penghargaan (Reward) 149

lebih lanjut, Azyumardi Azra dalam bukunya tersebut, menyatakan


bahwa Dr. Syed Hossein Nasr dan kawan-kawan dalam Konverensi
Pendidikan Islam Pertama di Mekkah tahun 1977 antara lain menyim-
pulkan bahwa sebagai figur sentral dalam pendidikan, staf haruslah
dapat diteladani akhlaknya, di samping kemampuan keilmuan dan
akademisnya, selain membentuk anak didiknya menjadi orang yang
berilmu dan berakhlak.
Staf dalam konsep Islam adalah sumber ilmu dan moral. Ia mer-
upakan tokoh identifikasi dalam hal keluasan ilmu dan keluhuran
akhlaknya, sehingga anak didiknya selalu berupaya untuk mengi-
kuti langkah-langkahnya. Kesatuan antara kepemimpinan moral dan
keilmuan dalam diri seorang staf dapat menghindarkan anak didik
dari bahaya keterpecahan pribadi (split personality). Kondisi ini han-
ya dapat diwujudkan apabila staf memiliki kinerja yang baik. Dalam
pandangan Islam, kinerja merupakan suatu kewajiban, baik sebagai
kewajiban umum, nilai, maupun kinerja sebagai sarana mencari nafkah,
dan landasan mencari kemajuan. Karena merupakan kewajiban dengan
nilai ibadah di dalamnya, maka dalam konsep Islam, kinerja harus
dapat dilakukan secara maksimal agar dapat benilai ibadah terse-
but. Kinerja secara maksimal dalam pandangan Islam tersebut harus
didorong oleh perilaku kerja, dapat menumbuhkan etos kerja, dan
etos kerja ini timbul sebagai hasil dari adanya kesadaran pribadi staf
itu sendiri yang didorong oleh nilai-nilai ketauhidan secara uluhiyah,
rububiyah, dan mulkiyah. Kenerja dalam bentuk kerja secara maksimal
seperti ini dalam Islam akan melahirkan niat, bentuk, cara, dan akibat
bekerja secara baik. Kinerja (kemampuan bekerja, disiplin kerja, dan
partisipasi kerja staf) secara maksimal merupakan suatu kesadaran
ibadah (religious conciousness), karena itu, seorang staf Muslim akan
berupaya untuk memiliki kinerja secara berkualitas karena didorong

Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakar-


ta: Logos Wacana Ilmu, 1998, hal. 167 adalah guru itu sendiri.
150 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

oleh nilai-nilai ibadah yang include dalam profesinya selaku pen-


didik, pengajar, dan pelatih. Dalam posisi ini, kelihatan bahwa staf
Muslim tidak saja harus bekerja karena didorong oleh faktor reward
tetapi juga karena faktor kesadaran ibadah. Karena itu, dalam kon-
sep Islam sangat dituntut untuk meningkatkan kualitas kinerja kar-
ena akan bernilai pahala, di samping akan memberikan reward yang
cukup memadai. Motivasi seperti inilah yang harus dikembangkan
secara sadar bagi kebangunan dan kejayaan Islam.
Karakteristik staf yang Islami akan menjadikan aktivitas men-
didik, mengajar, dan melatih sebagai ibadah, yang dengan demikian
profesi tersebut akan dilakukan dengan ikhlas tanpa ada perasaan
tertekan atau pretensi dan tindakan negatif lainnya. Karakteristik
kerja staf sebagai profesi dalam Islam yang bertitik tolak dari niat,
bentuk, cara, dan akibat yang baik dan benar yang dapat digambarkan
sebagai berikut:

Karakteristik
Bekerja dalam
Islam

Niat Bentuk Cara Akibat

Baik dan benar

Dalam kaitan dengan kinerja yang maksimal (baik) ini, ada beberapa
ayat yang mendukungnya, antara lain di dalam Al-Qur’an surat At-
Taubah ayat 105 yang berbunyi:
Penghargaan (Reward) 151

WDSÄ=°%ØUÀ-ÙXT œÄ ÉSÀyXqXT ×ÅQ X+[Å Œ sXn]m_VÙ SÉ \-Õà #ÉXT

§ª©®¨ WDSÉ \-ØÈV" Ø/ÅÊ=Å \-¯ Åą¯OWAÄkVÙ ®Q\i›SM…–XT ª ÙkWÓÙ ª2¯ ›Wà rQ¯ |ETwjXnÅ,\yXT

Artinya: Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya


serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.38

Berdasarkan ayat di atas, beberapa pendapat seperti Al-


Maraghi,39 Al-Hadi,40 As-Siba’i,41 Al-Basyuni,42 Al-Khayyath,43 At-
Tamimi,44 Syalabi,45 Tasmara,46 dan Effendy47 telah menyatakan bah-
wa bekerja menurut Islam adalah suatu kewajiban bagi manusia di
dalam hidupnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Menyadari bahwa bekerja adalah suatu kewajiban, tidak han-
ya didasarkan pada satu ayat di atas, tetapi banyak ayat al-Qur’an
dan Hadits Nabi, serta perkataan sahabat yang mendorong manusia
untuk bekerja. Menurut Al-Basyuni48 mengatakan bahwa di dalam
al-Qur’an, ayat-ayat yang berbicara tentang kerja sebanyak 360 ayat,

38 Anonim, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag RI, 1989, hal. 298.
39 Muhammad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (terj.) jilid II. Sema-
rang: Toha Putra, 1987, hal 32.
40 Abdul Amin Hamdi Hadi, Al-Fikrul Idaratul Islamiyah Walmaqarin. Mesir:
Darul Fikrul Arabi, 1975, hal. 151.
41 Mustafa Husni As-Siba’i, Kehidupan Sosial Menurut Islam. Bandung: Dipo-
negoro, 1993, hal. 157.
42 Ahmad Al-Basyuni, Op.Cit, hal. 201.
43 Abdul Aziz Al-Khayyath, Etika Bekerja Dalam Islam. Jakarta: Gema Insani
Press, 1994, hal. 13.
44 At-Tamimi, Nilai Kerja Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Mantiq, 1993, hal.
31.
45 Mahmud Syalabi, Kepribadian Rasulullah SAW. Solo: Pustaka Mantiq, 1997,
hal 350.
46 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: Jamiatul Ikhwan, 1993,
hal. 18.
47 Mochtar Effendi, Op. Cit, hal. 57.
48 Al-Basyuni Ahmad, Op. Cit, hal. 202.
152 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

bahkan menurut al-Khayyath49mencapai 602 kata. Di antara ayat-ayat


tersebut terdapat di dalam surah al-Baqarah: 62,139, an-Nahl:97, adz-
Dzariyat:22, Maryam: 24-25, al-Kahfi:30, al-Anbiya:80, al-Mulk:15, ar-
Rum:22-50, dan lain-lain.
Sedangkan hadits-hadits Rasulullah yang berbicara tentang kerja
menurut at-Tamimi50 dan al-Basyuni,51 ialah hadits-hadits yang di-
riwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, Bukhari-Muslim, Ahmad,
Turmuzi, Baihaqi, Tabrani, Abu Daud, Ibnu Asakir, Ad-Dailami dan
lain-lain.
Salah satu contoh hadits Nabi yang memberi keterangan ten-
tang bekerja, yang artinya sebagai berikut:52

Artinya: Tidak ada makanan sedikitpun yang dimakan oleh seseorang


lebih baik dari pada yang dia makan dari hasil kerjanya sendiri, ses-
ungguhnya Nabi Daud as juga makan dari hasil pekerjaannya sendiri.
(HR. Bukhari).

Sedangkan salah satu contoh perkataan sahabat Umar bin Khat-


tab tentang bekerja sebagaimana yang diterangkan oleh al-Basyuni53
yang artinya adalah sebagai berikut:

Artinya: “Tiada suatu hari yang menjemputku untuk mati yang aku
sangat sukai kecuali hari ketika aku berbisnis untuk keluargaku, baik
sedang menjual atau membeli”.

Dapat dipahami bahwa Islam sangat menghargai kerja. Di mata


Islam, kerja dan bekerja memiliki nilai yang tinggi, bahkan kemu-
liaan seseorang tergantung padanya. Tidak heran jika bekerja seba-

49 Al-Khayyath, Abdul Aziz, Etika Bekerja Dalam Islam (Jakarta: Gema Insani
Press, 1994),hal. 13.
50 At-Tamimi, Nilai Kerja Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Mantiq, 1993), hal.
32.
51 Al-Basyuni, Ahmad, Op. Cit, hal. 206.
52 Sunarto, Ahmad, dkk, Terjemah Shahih Bukhari (Semarang: As-Syifa,
1992).
53 Op.Cit, hal. 209.
Penghargaan (Reward) 153

gai suatu kewajiban. Bahkan al-Hadi54 menjelaskan bahwa bekerja


merupakan sumber, jalan, dan dasar untuk mencapai keberhasilan
dan kemajuan. Hal yang serupa juga dikatakan oleh al-Basyuni55bah-
wa bekerja adalah bekal hidup dan pendorong utama untuk maju.
Bekerja juga menjadi tiang pergerakan, sendi peradaban dan kebu-
dayaan, di samping menjadi dasar kebahagiaan hidup.

YXWUXWZ

54 Hamdi Amin Abdul Hadi, Al-Fikrul Idaratul Islamiyah Walmaqarin. Mesir:


Darul Fikrul Arabi, 1975, hal. 157.
55 Op.Cit, hal. 201.
154 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan
Penghargaan (Reward) 155

Bab 11
Manajemen Konflik

A. Pengertian Konflik
Griffin menyatakan bahwa “conflict as a special type of intergroup inter-
action in which groups perceive that their attempts to accomplish their goals
are being blocked by another group “artinya, konflik merupakan jenis
khusus interaksi antar kelompok, dimana kelompok merasa bahwa
usaha mereka untuk menyelesaikan tujuan mereka dihalangi oleh
kelompok lain, sehingga tidak muncul kreativitas. Dengan kata lain,
konflik mungkin meliputi tindakan permusuhan dengan beberapa
aturan atau prosedur penentuan interaksi.1
Frustasi dapat muncul apabila kemajuan ke arah tujuan terha-
lang atau tertunda oleh halangan-halangan lingkungan, pembatasan
kemasyarakatan, dan keterbatasan perorangan, yang semuanya da-
pat menimbulkan frustasi, dan salah satu sumber utama frustasi ada-

1 Ricky W. Griffin, (1986). Organizational Behavior. Boston: Houghton Mifflin


Company. h. 335.
156 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

lah konflik. Apabila ada dua motif yang bertentangan, dan pemuasan
yang satu akan mengakibatkan halangan bagi yang lain, dan keban-
yakan konflik melibatkan tujuan yang secara serentak bersifat negatif
dan positif.
Konflik adalah dua motif yang bertentangan yang terjadi pada
individu maupun antar kelompok. Apabila ada dua motif yang sal-
ing bertentangan, maka kepuasan motif yang satu akan menimbul-
kan frustasi motif yang lain. Konflik merupakan jenis khusus interak-
si antar kelompok, di mana kelompok merasa bahwa usaha mereka
untuk menyelesaikan tujuan mereka dihalangi oleh kelompok lain,
sehingga tidak muncul kreativitas. Dengan kata lain, konflik mung-
kin meliputi tindakan permusuhan dengan beberapa aturan atau
prosedur penentuan interaksi.
Secara sederhana, konflik dapat diartikan sebagai adanya dua
keinginan yang berbeda atau lebih di dalam situasi atau waktu yang
sama. Dengan kata lain, bahwa pada prinsipnya, konflik adalah suatu
perbedaan kepentingan sedemikian rupa yang menimbulkan perten-
tangan diantaranya. Konflik secara khusus meliputi situasi pilihan
atau membuat keputusan dalam hal kebutuhan, tujuan, dan metode.
Karena dalam pencapaian terdapat ketidakpastian, maka timbullah
konflik.
Secara lebih terperinci, terdapat tiga pandangan mengenai konf-
lik dalam organisasi yaitu pandangan tradisional, behavioral (peri-
laku), dan interaksionis2
1) Pandangan Tradisional
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu tidak perlu dan berba-
haya, karena konflik meruapakan sesuatu yang jelek (negatif). Den-
gan demikian, apabial timbul konflik, harus segera diatasi. Disisi lain
dikatakan bahwa apabila timbul konflik berarti gagal melaksakan

2 Julitriarsa, Djati, (1992). Manajemen Umum, Sebuah Pengantar. Yo-


gyakarta: BPFE, h.85-86.
Manajemen Konflik 157

tugas dalam menerapkan asas-asas manajemen.


Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik adalah ber-
bahaya dan oleh karenanya harus dihindari. Konflik dilihat sebagi
hasil yang disfungsional sebagai akibat dari buruknya komunikasi,
kurangnya keterbukaan dan kepercayaan diantara anggota organisa-
si, dan kegagalan menajer untuk memberikan respon atas kebutuhan
dan aspirasi dari para pekerja.
2) Pandangan Behavior (Perilaku)
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu tidak baik apabila
sungguh-sungguh timbul, tetapi apabila terjadi konflik, bisa diterima
agar bisa mengetahui masalah-masalah organisasi. Dengan mengeta-
hui masalah ini, maka terdorong untuk mencari jalan pemecahan.
Pandangan ini menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang
lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap kelompok dan organ-
isasi. Karena keberadaan dari konflik dalam organisasi tidak dapat
dihindari, maka aliran hubungan manusiawi mendukung dan men-
erima dari konflik tersebut, dan menyadari adanya konflik tersebut
bermanfaat bagi prestasi suatu kelompok .
3) Pandangan Interaksionis
Pandangan ini menyatakan bahwa konflik memang tidak mungkin
dihindarkan dan justru perlu terjadi. Dari satu sisi, memang konflik
menghambat pencapaian tujuan organisasi, tetapi di sisi lain, konflik
bermanfaat bagi organisasi.
Pandangan interaksionis ini mendorong konflik pada keadaan
yang “harmonis” artinya mendorong pimpinan organisasi untuk
selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu
menimbulkan semangat dan kreativitas kelompok. Sebagai kon-
sekuensinya, maka manajer atau pemimpin organisasi bertugas un-
tuk menemukan, mengendalikan, dan memecahkan konflik yang
terjadi
Dalam hal ini, tugas manajer lebih ditekankan pada pengelola
konflik, artinya mengoptimalkan hasil dengan cara memaksimalkan
158 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

aspek-aspek yang mendorong (mendukung) tercapainya tujuan (ker-


ja sama) organisasi dan meminimalkan aspek-aspek yang mengham-
bat kerja sama dengan organisasi.
Tradisional Behavioral Interaksionis
(1) (2) (3)
Tidak perlu Tidak baik apabila Konflik memang
sungguh-sungguh tidak mungkin
timbul dihindarkan dan
justru perlu terjadi
Berbahaya Apabila terjadi, Satu sisi, konflik
bisa diterima agar mengahambat
bisa mengetahui pencapaian tujuan
masalah-masalah oraganisasi, tetapi
organisasi untuk sisi lain, konflik
mencari jalan bermanfaat bagi
pemecahan organisasi

Sesuatu yang jelek Konflik adalah Pandangan ini


(negatif) sesuatu yang mendorong konflik
lumrah dan terjadi pada keadaan
secara alami dalam yang “harmonis”
setiap kelompok yakni selalu
dan organisasi mempertahankan
tingkat konflik
yang optimal agar
menimbulkan
semangat &
kreativitas kelompok

Bila timbul perlu Konflik dalam Manajer atau


segera diatasi organisasi tidak pemimpin organisasi
dapat dihindari bertugas untuk
menemukan,
mengendalikan, dan
memcahkan konflik
yang terjadi
Manajemen Konflik 159

Bila timbul, berarti Konflik bermanfaat -


gagal menerapkan bagi prestasi suatu
asas manajemen kelompok

Terjadi karena - -
kurangnya
keterbukaan dan
kepercayaan di
antara anggota
organisasi

Manajer gagal - -
memberikan
respon atas
kebutuhan dan
aspirasi dari para
pekerja

B. Sebab-sebab Terjadinya Konflik


Konflik dapat timbul jika salah satu kelompok merasa atau men-
gantisipasi bahwa usahanya untuk menyelesaikan tujuannya seba-
gai wujud frustasi dari kelompok lain. Artinya, konflik dapat terjadi
disebabkan lima jenis interaksi kelompok, yaitu kolaborasi, kompromi,
penghindaran, (pelanggaran), dan akomodasi.
1. Competition terjadi ketika tujuan kelompok yang berinteraksi
tidak dapat didamaikan (diselaraskan), tetapi msaing-masing
penting. Dalam kompetisi ini, tidak ada permusuhan yang ter-
buka.
2. Collaboration terjadi ketika tujuan kelompok sangat penting
dan dapat didamaikan.
3. Compromise bertujuan untuk kepentingan yang moderat dan
tidak mudah didamaikan secara lengkap atau tidak dapat di-
damaikan.
4. Avoldance terjadi ketika tujuan kelompok tidak dipertimbang-
160 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

kan kepentingan, tetapi tidak dapat didamaikan.


5. Accomodation terjadi ketika tujuan kelompok dapat didamai-
kan, tetapi tidak dipertimbangkan sangat penting.
Konflik itu timbul dari ketidaksepakatan atas tujuan yang perlu
dicapai atau metode yang digunakan untuk mencapainya. Dalam or-
ganisasi, tidak dapat dihindari terjadinya konflik di antara berbagai
kepentingan yang berbeda, dan kadang-kadang konflik itu cukup
substansial, konflik dalam organisasi antara karyawan, kelompok,
atau bagian dalam organisasi tersebut.
Setiap manajer perlu memahami beberapa sebab yang dapat
menimbulkan konflik, terutama untuk mendapatkan manfaat dalam
menanganinya dan untuk menarik keuntungan dalam menciptakan
perilaku organisasi yang berguna bagi peningkatan efektivitas or-
ganisasi.

C. Bentuk-bentuk Konflik
Konflik dalam pengertian yang sangat luas dapat dikatakan sebagai
segala macam bentuk hubungan antar manusia yang bersifat berla-
wanan (antagonistic). Konflik ini dapat terlihat secara jenis dan dapat
juga tersembunyi.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ada tiga bentuk konflik,
yaitu konflik dalam kelompok sendiri (conflict within group organiza-
tion), konflik antar kelompok (conflict between groups in a particular orga-
nization), dan konflik antar organisasi (conflict between organizations).3
Secara lebih terperinci, bentuk-bentuk konflik adalah sebagai
berikut : 1) konflik dalam diri pribadi, 2) konflik antar pribadi, 3)
konflik antar pribadi dalam kelompok, 4) konflik antar kelompok
dengan kelompok, 5) konflik antar kelompok dengan organisasi, dan

3 Indrawijaya, Adam I. (1989). Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar


Baru.
Manajemen Konflik 161

6) konflik antar organisasi dengan organisasi4


1) Konflik dalam diri pribadi
Seseorang dapat mengalami konflik internal dalam dirinya kar-
ena ia harus memilih tujuan yang saling bertentangan. Ia bimbang
mana yang harus dipilih atau dilakukan. Konflik dalam diri sese-
orang juga dapat terjadi karena tututan tugas yang melebihi kemam-
puannya.
2) Konflik antar pribadi
Konflik antar pribadi merupakan masalah yang serius bagi
banyak orang karena sngat mempengaruhi emosi seseorang. Ada
kebutuhan untuk melindungi citra diri dan harga diri dari tindakan
orang lain yang merusaknya. Apabila konsep diri ini terancam, tim-
bul kekecewaan yang serius dari hubungan terganggu. Adakalanya
temperamen orang-orang tidak sama dan ini menimbukan pertikaian
kepribadian. Dalam contoh lain, konflik berkembang dari kegagalan
komunikasi atau perbedaan persepsi.
3) Konflik antar pribadi dalam kelompok
Konflik antar anggota kelompok dapat berupa konflik substan-
tif (konflik yang terjadi karena perbedaan latar belakang keahlian)
atau konflik efektif (konflik yang terjadi berdasarkan atas tanggapan
emosional terhadap suatu situasi tertentu).
Sebagian besar pengawasan merupakan suatu usaha untuk
mengandalikan orang lain melalui penggunaan konflik. Misalnya
ancaman disiplin untuk mencegah beberapa perilaku yang tidak di-
harapkan merupakan suatu usaha untuk memasukkan suatu konflik
ke dalam dunia persepsi orang lain. Misalnya seseorang yang tadinya
mempunyai satu kebutuhan untuk memperoleh apa yang diingink-
annya, maka sekarang ia mempunyai kebutuhan yang kedua yang
mengandung konflik, yaitu mengindari hukuman untuk memper-
oleh apa yang diinginkannya dan sangat diperlukannya sekarang.

4 Julitriarsa, Djati, Loc.Cit.


162 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Pengendalian melalui konflik ini tidak dapat digolongkan begitu saja


sebagai baik dan buruk. Sebagian besar tindakan semacam ini tidak
memasukkan konflik-konflik yang berbahaya karena tidak mencip-
takan situasi yang melibatkan perasaan bersalah atau mengancam
perasaan harga diri. Konflik-konflik ini kebanyakan berasal dari luar
(eksternal) terhadap kepribadian. Tetapi apabila seseorang mengang-
gap bahwa peraturan merupakan suatu tantangan bagi kebebasan
mereka, maka reaksinya mungkin menjadi kuat.
4) Konflik antar kelompok dengan kelompok
Konflik antar kelompok terjadi karena masing-masing kelom-
pok ingin mengejar kepentingan atau tujuan kelompoknya masing-
masing. Di antara departemen yang berbeda juga menimbulkan
masalah. Dalam skala yang kecil, konflik seperti ini tampak seperti
pertentangan antar kelompok-kelompok remaja. Masing-masing kel-
ompok berusaha merusak yang lain, memperoleh kuasa, dan mem-
perbaiki citranya.
Konflik timbul dari hal-hal seperti perbedaan pandangan loyali-
tas kelompok, dan persaingan memperebutkan sumber daya. Dalam
organisasi manapun sumber daya yang tersedia terbatas. Hampir
semua kelompok merasa bahawa mereka memerlukan lebih banyak
daripada yang dapat mereka peroleh, jadi ada benih konflik antar
kelompok apabila sumber daya yang tersedia terbatas.
5) Konflik antar kelompok dengan organisasi
Konflik antar kelompok dengan organisasi (konflik intra organ-
isasi) meliputi empat sub jenis, yaitu:
(a) Konflik vertikal, terjadi antara manajer dengan bawahan yang
tdiak sependapat tetang cara terbaik untuk menyelesaikan satu
tugas.
(b) Konflik horizontal, terjadi antara karyawan atau departemen
yang memiliki hirakhi yang sama dengan organisasi.
(c) Konflik lini-staff, terjadi karena adanya perbedaan persepsi ten-
tang keterlibatan staff (staff ahli) dalam proses pengambilan
Manajemen Konflik 163

keputusan oleh manajer inti


(d) Konflik peran, terjadi karena seseorang memiliki lebih dari satu
peran yang saling bertentangan.5
6) Konflik antar organisasi dengan organisasi
Konflik antar organisasi ini bisa terjadi karena mereka memiliki
saling ketergantungan satu sama lain terhadap pemasok, pelanggan,
maupun distributor.

D. Dampak Konflik Terhadap Perilaku Kelompok


Konflik dalam organisasi menimbulkan beberapa hal, baik segi
positif (konflik bersifat konstruktif) maupun negatif (konflik bersifat
destruktif). Dengan adanya konflik, dapat mengakibatkan muncul
pertengkaran atau permusuhan, ada yang mundur dai perusahaan,
atau justru dapat meningkatkan motivasi dan prestasi.
Konflik fungsional berkaitan dengan pertentangan antar kelom-
pok yang terjadi bermanfaat bagi peningkatan efektifitas dan prestasi
organisasi. Dalam hal ini, konflik tidak hanya membantu, tetapi juga
merupakan suatu kondisi yang diperlukan untuk menumbuhkan
adanya kreativitas. Konflik fungsional dapat mengarah pada pen-
emuan cara yang lebih efektif untuk menyesuaikan diri dengan tun-
tutan perubahan lingkungan, sehingga organisasi dapat hidup dan
berkembang.
Konflik disfungsional berkaitan dengan petentangan antar kel-
ompok yang merusak atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi
atau kelompok. Sebagian organisasi dapat menangani dan mengelola
konflik yang terjadi sehingga memiliki dampak fungsional, sedan-
gkan sebagian yang lain mengalami konflik pada tingkat yang leb-
ih besar dari yang diinginkan (yang fungsional), dan prestasi akan

5 Gitosudarmo, Indriyo, (1997). Perilaku Keorganisasian. Yogyakarta:


BPFE, h.104.
164 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

membaik jika konflik yang terjadi dapat dikurangi, sebaliknya jika


konflik yang terjadi begitu parah, maka prestasi organisasi mulai
merosot.
Artinya, dalam kajian manajemen, diketahui bahwa ada hubun-
gan antara konflik dan prestasi. Jika dalam suatu orgaisasi sama
sekali tidak ada konflik, maka prestasi cenderung sangat rendah. Se-
baliknya, jika konflik terlalu runcing, maka prestasi cenderung sangat
rendah. Dengan kata lain, konflik ini mengandung unsur fositif dan
unsur negatif. Tetapi, selain dapat menimbulkan perasaan perasaan
kurang senang, tertekan, dan sebagainya, konflik juga mengandung
manfaat tertentu sebagi mana yang disebutkan oleh Hamner dan Or-
gan dalam Indrawijaya sebagai berikut:
(1) Konflik akan mencegah stagnasi.
(2) Konflik akan memberikan stimulasi terhadap timbulnya
rasa penting dan keingintahuan.
(3) Konflik akan menjadi media untuk mengungkapkan
persoalan, sehingga dapat dicari pemecahannya
(4) Konflik merupakan dasar bagi terjadinya perubahan, baik
bagi perorangan maupun perubahan sosial
(5) Konflik dapat membantu bagi pengujian kemampuan, sangat
berguna untuk keperluan belajar dan pengembangan.
(6) Konflik dapat membantu orang-orang dan kelompok untuk
menciptakan identitas dan citra mereka. 6
Dampak konflik antar kelompok terhadap perilaku kelompok
dapat dianalisis didalam terjadinya perubahan perilaku, baik pe-
rubahan perilaku yang terjadi di dalam (intern) kelompok itu sendiri,
maupun perubahan perilaku antara kelompok yang mungkin akan
terjadi.7
1) Perubahan perilaku yang terjadi intern kelompok itu sendiri
Ketika dua kelompok terlibat dalam konflik antar kelompok, maka

6 Indrawijaya, Op.Cit., h. 162.


7 Gitosudarmo, Op.Cit, h. 114.
Manajemen Konflik 165

perubahan perilaku yang mungkin terjadi secara intern masing-mas-


ing kelompok adalah sebagai berikut:
• Meningkatnya kohesivitas atau kepaduan
• Meningkatnya loyalitas
• Meningkatnya kepemimpinan yang bersifat otokratis
• Orientasi aktivitas
• Penilaian berlebihan
2) Perubahan yang terjadi di antara kelompok
Konflik antar kelompok selain menimbulkan adanya perubahan
intern kelompok itu sendiri, juga menimbulkan adanya perubahan
yang terjadi diantara kelompok tersebut yaitu:
• Menurunnya komunikasi
• Penyimpangan persepsi
• Stereo type yang negatif

E. Manajemen Konflik
Konflik akan dapat diatasi apabila:
1) Ia dapat menemukan beberapa cara yang baru, yang belum dike-
tahui sebelumnya untuk memuaskan kedua kebutuhan itu se-
cara penuh.
2) Ia dapat mengubah pikirannya mengenai salah satu dari kebutu-
han-kebutuhan itu sehingga ia tidak lagi berminat kepada kebu-
tuhan tersebut.
3) Ia dapat mengatur kembali persepsinya terhadap dunia, dengan
salah satu dari sekian banyak cara lain dengan maksud agar me-
nempatkan konflik itu di dalam perspektif yang baru dan kurang
berarti.
Sudah dikemukakan bahwa tidak semua bentuk dan sifat konf-
lik menimbulkan kerugian bagi perseorangan, kelompok, ataupun
organisasi. Pada tingakat tertentu, Konflik dapat bemanfaat bagi
perseorangan, kelompok, ataupun organisasi. Oleh karena itu, un-
166 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

tuk mengatur agar konflik ini menguntungkan bagi semuanya, maka


perlu ada “Manajemen Konflik”, yaitu, usaha seorang manajer atau pe-
mimpin untuk meningkatkan produktivitas.
Harahap memberikan beberapa langkah yang harus dilakukan
untuk mengatur konflik ini agar dapat menguntungkan, yaitu seba-
gai berikut:
1) Mendorong Konflik; dengan melakukan upaya sebagai beri-
kut:
(a) Mendorong munculnya persaingan sehat antara kelompok
maupun individu
(b) Mengubah prosedur yang menghalangi konflik
(c) Mengajak orang luar untuk mengubah situasi lama dan
memicu konflik
2) Mencegah atau Mengurangi Konflik; dengan melakukan hal-
hal berikut:
(a) Mengubah sumber daya yang kurang sebagai penyebab
munculnya konflik
(b) Mengatur intedependensi secara lebih baik
(c) Menyusun tujuan umum yang menyeluruh
(d) Mengembangkan hubungan antar pribadi yang lebih akrab
3) Menyelesaikan Konflik yang Sudah Terjadi; dengan metode :
(a) Avoidance; yaitu menghindari atau melupakan konflik dan
menganggap bahwa koflik itu tidak ada
(b) Smoothing; yaitu pemimpin megakui adanya konflik,
tetapi dianggap sebagai hal yang biasa, tidak perlu menjadi
perhatian.
(c) Compromise; yaitu dengan mencari titik persamaan
(kompromi) antara pihak-pihak yang terlibat konflik
(d) Confrontation; yaitu konflik disampaikan secara terbuka,
dan secara bersama-sama, semua pihak memecahkannya.8

8 Harahap, Sofyan Syafri, (1996). Manajemen Kontemporer. Jakarta: Raja


Grafindo Persada.
Manajemen Konflik 167

F. Mengelola Konflik Antar Kelompok


Konflik akan terjadi sejalan meningkatnya kompleksitas organisasi.
Oleh karena itu, manajer atau pimpinan organisasi harus mampu
untuk mengendalikan konflik yang disfungsional yang terjadi da-
lam organisasi, karena konflik yang seperti itu dapat menurunkan
prestasi organisasi. Kemapuan untuk mengendalikan konflik yang
terjadi dalam organisasi membutuhkan keterampilan manajerial ter-
tentu. Ada empat strategi yang dapat digunakan untuk mengurangi
konflik yang terjadi dalam organisasi, yaitu strategi penghindaran,
strategi interverensi kekuasaan, strategi penggembosan, dan strategi
resolusi.9
1) Strategi Penginderaan
Strategi penginderaan pada umumnya tidak mempertimbangkan
sumber-sumber konflik, tetapi membiarkan Konflik tetap ada dalam
kondisi yang terkendali. Strategi ini dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu:
a) Mengabaikan konflik; jika konflik yang terjadi tidak begitu berat
dan tidak berbahaya, maka manajer/pimpinan biasanya meng-
abaikan dan menganggap seakan-akan konflik itu tidak ada.
b) Pemisahan secara fisik; artinya, jika dua kelompok yang terlibat
konflik secara fisik dipisahkan maka pemusuhan dan agresi se-
cara terbuka dapat dikurangi.
2) Strategi Intervensi Kekuasaan
Ketika kelompok-kelompok yang sedang mengalami konflik tidak
mampu menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka, bebe-
rapa bentuk dari penggunaan kekuasaan dapat dipergunakan. Sum-
ber kekuasaan ini dapat digunakan melalui:
a) Menggunakan perintah otoritatif dan penerapan aturan; artinya,
jika konflik yang terjadi terlalu besar untuk diabaikan, maka
manajer/ pimpinan yang lebih tinggi dapat mengendalikan atau

9 Gitosudarmo, Op.Cit., h. 118.


168 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

menyelesaikannya dengan menggunakan perintah otoritatif,


bahkan bila perlu disertai dengan ancaman.
b) Menggunakan menuver politik; artinya, masing-masing kelompok
mencoba untk menghimpun kekuatan untuk memaksa kelom-
pok yang lain, dan cara ini akan meningkatkan situasi menang-
kalah, sementara sumber konflik tidak dieliminir.
3) Strategi Penggembosan
Strategi pengembosan ini mencoba untuk mengurangi tingkat emo-
sional dan kemarahan dari konflik pihak-pihak yang sedang menga-
lami konflik. Ada tiga strategi pengembosan yang dapat dilakukan,
yaitu:
a) Pelunakan, dengan cara menonjolkan kesamaan-kesamaan dan
kepentingan bersama diantara kelompok-kelompok yang se-
dang mengalami konflik. Dan sebaliknya memperkecil perbe-
daan-perbedaan di antara mereka.
b) Kompromi, artinya kompromi di antara kelompok mengalami
konflik ini mengakibatkan tawar-menawar atas masalah pe-
nyebab konflik, dan masing-masing pihak dibutuhkan adanya
fleksibilitas. Jadi, jika kedua belah pihak tidak fleksibel, tidak
mau memberikan konsesi dan perundingan mengalami jalan
buntu, maka konflik akan berlanjut.
c) Mengidentifikasi musuh bersama, artinya jika dua kelompok
mengalami konflik menghadapi musuh bersama, maka mer-
eka sering mengembangkan kepaduan di antara mereka untuk
memperkuat posisinya dalam mengahadapi musuh bersama
tersebut.
4) Strategi Resolusi
Strategi resolusi ini merupakan cara yang paling efektif untuk me-
nanggulangi konflik yang terjadi, dilakukan dengan mengiden-
tidakasi dan memecahkan sumber yang menyebabkan timbulnya
konflik Ada empat macam strategi resolusi, yaitu:
a) Interaksi antar kelompok; karena salah satu sebab timbulnya konf-
Manajemen Konflik 169

lik adalah menurunnya komunikasi dan interaksi diantara


kelompok yang sedang mengalami konflik, maka upaya menu-
runkan konflik yang terjadi dapat dilakukan dengan meningkat-
kan interaksi dan kontok antar kelompok.
b) Menetapkan tujuan yang lebih tinggi; dengan ini diharapkan da-
pat menjadi motivasi yang kuat bagi kelompok untuk mengatasi
perbedaan di antara mereka dan meningkatkan kerja sama.
c) Pemecahan masalah; artinya, penyelesaian masalah secara bersa-
ma merupakan strategi resolusi yang efektif jika kelompok yang
sedang mengalami konflik memusatkan perhatiannya pada per-
masalahan yang menjadi sumber konflik, bukan mencari siapa
yang salah dan siapa yang benar.
d) Mengubah struktur; hal ini terjadi karena konflik sering timbul
karena struktur organisasi. Pengubahan struktur organisasi ini
dengan lebih menekankan pada efektifitas kelompok. Kelom-
pok diberi penghargaan dan imbalan atas dasar kontribusinya
terhadap efektivitas kelompok yang lain serta tujuan organisasi
secara keseluruhan.
Dengan demikian, tidak semua bentuk dan sifat konflik menim-
bulkan kerugian bagi perseorangan, kelompok ataupun organisasi.
Bentuk-bentuk konflik tergantung pada tingkat kematangan pihak
yang terlibat pada konflik. Secara garis besar dapat dikemukakan be-
berapa strategi penanggulangannya yaitu:
1. pemecahan persoalan
2. perundingan atau musyawarah
3. mencari lawan yang sempurna
4. meminta bantuan pihak ketiga
5. mensubordinasikan kepentingan
6. peningkatan interaksi dan komunikasi
7. latihan kepekaan (sensitivity training)
170 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

8. koordinasi.10
Kedelapan strategi penanggulangan konflik ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Pemecahan persoalan
Dalam strategi pemecahan persoalan, diambil asumsi dasar bahwa
semua pihak mempunyai keinginan mengulangi konflik yang terjadi
dan karenanya perlu diceritakan ukuran-ukuran yang dapat me-
muaskan pihak-pihak yang telibat dalam konflik. Atas dasar asumsi
tersebut maka dalam strategi pemecahan persoalan harus melalui
dua tahap, yaitu proses yang penemuan gagasan dan proses pema-
tangan.
Karena maksud pemecahan dan persoalan ialah untuk memba-
has berbagai macam kemungkinan, maka justru perlu menciptakan
kemungkinan berbeda pendapat, bukan menghilangkannya.
2) Perundingan atau musyawarah
Dalam strategi musyawarah ini, terlebih dahulu harus ditentukan
secara jelas apa yang sebenarnya yang menjadi persoalan. Bedasarkan
jelasnya persoalan itulah yang kemudian kedua belah pihak yang se-
dang dalam pertikaian mengadakan pembahasan untuk mendapat-
kan titik pertemuan.
Pada waktu perundingan atau musyawarah tersebut dilakukan,
dapat pula dikembangkan suatu konsensus bahwa setelah menjadi
kesepakatan, masing-masing pihak harus berusaha mencegah tim-
bulnya konflik lagi.
3) Mencari lawan yang sempurna
Dalam strategi mencari lawan yang sama ini, pada prinsipmya
sama dengan yang ketiga di atas. Perbedaannya adalah bahwa strate-
gi ini semua diajak untuk lebih bersatu, karena harus menghadapi
pihak yang ketiga sebagai pihak yang dianggap merupakan lawan
dari kedua belah pihak yang bertikai.

10 Indrawijaya, Op.Cit., h. 182.


Manajemen Konflik 171

4) Meminta bantuan pihak ketiga


Dalam strategi meminta bantuan pihak ketiga, artinya bahwa tidak
jarang suatu konflik tidak dapat dipecahkan oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik itu. Dalam kondisi ini, bantuan dari pihak ke-
tiga sangat diharapkan. Bila terjadi konflik dalam suatu kelompok,
bantuan pimpinan kelompok itu sangat diharapkan.
5) Mensubordinasikan kepentingan
Dalam strategi subordinasi kepentingan dan tujuan pihak-pihak
yang sedang konflik kepada kepentingan dan tujuan yang lebih tinggi ini,
usaha pananggulangan konflik dilakukan dengan menemukan ke-
pentingan dan tujuan yang lebih tinggi dari kepentingan dan tujuan
pihak-pihak yang sedang bertikai. Strategi akan berhasil atau tidak
sangat tergantung kepada kemampuan semua pihak dalam berko-
munikasi.
6) Peningkatan interaksi dan komunikasi
Dalam strategi meningkatkan interaksi dan komunikasi, yaitu bila
pihak-pihak yang berkonflik itu dapat meningkatkan interaksi dan
komunikasi mereka. Penggunaan strategi ini tidak selalu berhasil,
karena pihak-pihak yang bertikai terlihat dalam konflik yang bersi-
fat fundemental, maka interaksi tersebut justru dapat lebih mempe-
runcing keadaan.
7) Latihan kepekaan (sensitivity training)
Dalam strategi latihan kepekaan, biasanya digunakan untuk
menanggapi konflik yang terjadi dalam suatu kelompok atau antar
kelompok. Dalam strategi ni, pihak-pihak yang telibat konflik dia-
jak masuk dalam suatu kelompok, dan dalam kelompok ini, masing-
msing pihak diberi kesempatan menyatakan pendapatnya.
8) Koordinasi.
Dalam strategi koordinasi; yaitu merupakan suatu strategi pen-
anganan konflik, baik konflik antar anggota dalam kelompok, antar-
kelompok, maupun antar-organisasi. Dalam pandangan perilaku
organisasi, koordinasi bukan hanya merupakan penentuan dan
172 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

pelaksanaan aturan main yang sudah ditetapkan secara formal, tetapi


juga merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan konflik, dan juga
dapat digunakan untuk menangani konflik.
Kesimpulannya, ada beberapa hal yang dapat menjadi pemicu
konflik, dan upaya pemecahannya dapat dilakukan dengan cara
mencari akar penyebab konflik. Dan akar inilah yang diselesaikan.
Pemimpin dapat memanggil pihak yang terlibat konflik, dan mene-
kankan bahwa semuanya memiliki tujuan yang sama, dan semuanya
diajak bekerja sama, serta melupakan pertikaian; menganggapnya
sebagai hal yang biasa, atau dengan cara mengkompromikan perma-
salahannya.

YXWUXWZ
Manajemen Konflik 173

Bab 12
Birokrasi Kepemimpinan
Pendidikan

A. Pengertian Birokrasi
Birokrasi sebagaimana yang berlaku di bidang pemerintahan, juga
berlaku dalam dunia pendidikan, sehingga lahir istilah birokrasi pen-
didikan lebih tepatnya birokrasi kepemimpinan pendidikan. Saat ini
dapat dikatakan bahwa birokrasi kepemimpinan pendidikan men-
duduki peran vital dalam menjalankan proses pendidikan.
Menurut Martin Albrow, istilah birokrasi berasal dari kata
“biro” yang berarti meja tulis, yang diartikan sebagai tempat para
pejabat bekerja. Dengan sedikit sisipan kata Yunani kratia (rule) yang
berarti aturan, terjadilah kata burokratie (Jerman), bureaucracy (Ing-
gris), dan birokrasi (Indonesia).1 Oleh karena itu, birokrasi diartikan
sebagai kekuasaan, pengaruh dari para kepala dan staf Biro Pemer-
intahan; birokrasi adalah wewenang atau kekuasaan, yang berbagai

1 Martin Albrow, Birokrasi (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1989).


174 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

departemen pemerintahan dan cabang-cabangnya memperebutkan


untuk diri mereka sendiri atas sesama warga negara.
Model birokrasi Indonesia yang berkembang dewasa ini tidak
lepas dari budaya dan sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Kita
mengenal istilah birokrasi patrimonial yang merupakan hubungan-
hubungan yang ada secara intern dan ekstern antara gusti dan kawula
yang bersifat ikatan pribadi, dan secara implisit dianggap mengikat
seluruh kehidupan dengan loyalitas primordial sebagai dasar tali
perhubungan.
Bagi dunia pendidikan, birokrasi kepemimpinan pendidikan
juga mengacu pada model birokrasi Indonesia, yang merupakan
tatanan pelaksanaan kebijakan dan program-program pemerintah
Indonesia di bidang pendidikan. Lebih lanjut, sistem birokrasi pen-
didikan di Indonesia dapat dikatakan bercirikan adanya penentuan
kebijakan yang terpusat, hirarki kekuasaan yang jelas, pengorganisa-
sian yang terpusat, perlakuan yang sama bagi setiap pegawai, kon-
trol yang terpusat, keterbatasan bagi unit pelaksana teknis di lemba-
ga pendidikan untuk melaksanakan kebijakan, dan profesionalisme
dalam tugas.
Walaupun demikian, istilah birokrasi sering dikonotasikan se-
bagai suatu hambatan dalam pelaksanaan penyelenggaraan satuan
dan kegiatan pemerintahan. Pengertian ini merupakan semacam pa-
meo dalam masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasan dalam hal
pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah. Ketidakpuasan
ini berkaitan dengan lambannya proses pengambilan keputusan dan
koordinasi.
Bila di lihat, adanya kebijakan yang terpusat (sentralisasi kebi-
jakan) dalam birokrasi pendidikan ini jelas merupakan suatu ham-
batan. Hal ini mengakibatkan akan lambannya segala keputusan
yang akan diambil karena harus selalu menunggu persetujuan dari
pusat.
Sekalipun kebijakan yang seharusnya dapat diputuskan di ting-
Birokrasi Kepemimpinan Pendidikan 175

kat daerah, tetapi karena adanya sentralisasi ini, maka hal tersebut
tidak mungkin terjadi, dan akibatnya pelayanan pendidikan pun
akan menjadi lamban, dan kurang dapat mengantisipasi dan me-
menuhi kebutuhan masyarakat yang ingin serba cepat.
Max Weber menganggap birokrasi sebagai ciri terpenting dalam
masyarakat modern, yaitu dengan adanya metode organisasi dengan
spesialisasi tugas dan kekuasaan.2 Artinya, menjadikan birokrasi per-
guruan tinggi secara umum sebagai salah satu tema dalam analisis-
nya mengenai ilmu dan kesarjanaan sebagai panggilan hidup.
Ia membandingkan kondisi-kondisi baru dengan situasi yang
terdapat pada awal abad ke-19, ketika para profesor masih bekerja
di dalam perpustakaan pribadi dan menggunakan bangunan dan
peralatan sendiri. Ia memuji birokratisasi perguruan tinggi sebagai
satu aspek dari birokratisasi yang berlangsung di berbagai kalangan
masyarakat.
Dalam hal birokrasi ini, terdapat kecenderungan untuk mem-
perluas diri. Artinya, semakin banyak tugas, maka cukup lumayan
banyak tugas yang ditemukan, dan untuk itu perlu diperbesar jum-
lah staf administrasi. Akibatnya, jumlah staf administrasi semakin
banyak dan para akademisi merasakan seolah-olah dikepung oleh
para administrator, yang ingin agar formulir-formulir diisi, dan in-
gin agar orang-orang meminta izin kepada mereka untuk melakukan
sesuatu, yang sebelumnya tidak memerlukan izin. Dengan demikian,
prosedur, formulir, dan jalur menjadi penting, dan sebaliknya, kon-
vensi dan saling pengertian yang informal semakin kurang penting
dalam administrasi perguruan tinggi.
Birokrasi pendidikan yang dikelola dalam semangat budaya ak-
ademis atau budaya ilmiah tentunya sangat berbeda dengan birokra-
si kekuasaan yang dikenal dengan motto ”Kalau dapat diperpanjang,
mengapa harus diperpendek; kalau dapat diperlambat, mengapa harus diper-

2 Komaruddin, Ensiklopedia Menejemen (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hal. 920.


176 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

cepat; kalau dapat dipersulit mengapa harus dipermudah”.


Segala urusan yang ”diperpanjang, diperlambat, dan dipersulit”
pada akhirnya harus diselesaikan dengan budaya fulus dan bahkan
dengan derai air mata. Walaupun sesungguhnya, Bapak Birokrasi
seperti Max Weber tidak mengajarkan birokrasi yang demikian,
tetapi kenyataannya, praktek seperti itu telah mendarah daging dan
telah menyatu dengan sistem birokrasi kekuasaan dalam perspektif
ke-Indonesia-an.
Dapat dikatakan di sini bahwa budaya yang paling lemah da-
lam lembaga pendidikan di Indonesia adalah budaya akademis, se-
dangkan budaya kekuasaan birokrasi sangat dominan dan hampir
menguasai semua persoalan. Tidak terkecuali bidang pendidikan di
semua jenis dan jenjang pendidikan yang diselenggarakan menurut
kekuasaan birokrasi administrasi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa birokrasi merupakan suatu
masalah dalam administrasi pendidikan. Struktur birokrasi dari
suatu organisasi merupakan kendala terhadap relevansi pendidikan
yang diciptakan oleh para pembuat keputusan. Bahkan karakteristik
dari birokrasi ini dapat digambarkan sebagai suatu organisasi yang
cukup besar, sehingga setiap orang yang ada di dalam organisasi
tidak saling mengenal antara yang satu dengan yang lainnya, dan
akibatnya, sebagian besar output pendidikan tidak mampu langsung
bekerja.
Dinamika dan karakteristik birokrasi lembaga pendidikan
terkadang menimbulkan sejumlah masalah. Adanya hirarki juga da-
pat timbul di dalamnya, yaitu ada atasan dan ada bawahan, yang
masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab tersendiri. Ke-
nyataannya, kepercayaan akan sulit dibangun dalam hubungan
antara personal dalam lembaga pendidikan tersebut.

B. Hambatan Birokrasi
Birokrasi Kepemimpinan Pendidikan 177

Dalam pelaksanaan birokrasi pendidikan di Indonesia, masih ada


beberapa hambatan yang menyebabkan birokrasi terkesan menjadi
sangat menyulitkan, yaitu:
1. Adanya kebijakan yang terpusat
Adanya sentralisasi kebijakan akan memberi dampak terhadap
kelancaran proses pendidikan. Sesuatu yang diharapkan dapat ber-
jalan dengan lancar justru menjadi lambat, karena segala keputusan
harus selalu menunggu persetujuan dari pusat. Dalam hal ini, walau-
pun masalah itu seharusnya dapat diputuskan di tingkat daerah, na-
mun karena adanya sentralisasi, maka yang terjadi justru sebaliknya,
dan akibatnya pendidikan akan menjadi lamban, dan kurang dapat
mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang serba in-
gin cepat.
2. Pengambilan keputusan terpusat
Artinya masih sangat sedikit pendelegasian kewenangan dan
kekuasaan untuk pengambilan keputusan yang diserahkan kepada
daerah. Akibatnya, tentu saja segala urusan menjadi terlambat seh-
ingga tidak dapat memuaskan masyarakat.
3. Koordinasi
Koordinasi sangat dirasakan sebagai suatu hambatan yang uta-
ma. Hal ini disebabkan adanya sikap egosentris dari masing-masing
unit kerja yang terkait. Artinya, masing-masing unit kerja merasa di-
rinya mempunyai kewenangan dan kekuasaan yang saling terpisah,
dan kurang melihat dari kepentingan bersama.
Hambatan-hambatan ini tentunya menjadi perhatian yang uta-
ma, dan berupaya mencarikan jalan keluar agar hambatan birokrasi
pendidikan ini dapat diatasi, atau paling tidak dikurangi; salah sa-
tunya adalah dengan menyerahkan kekuasaan untuk melaksanakan
sebagian pemerintahan ke daerah atau adanya desentralisasi pen-
didikan.
Dengan kata lain, penyebab terjadinya birokrasi ini bersumber
dari adanya tendensi kesalahan dalam menentukan tujuan akhir dan
178 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

keinginan untuk mempertahankannya, adanya norma-norma yang


dilembagakan, dan adanya jenjang pelayanan yang terlampau ketat,
sehingga membentuk individu-individu yang tidak partisipatif.
Dalam hal ini, dapat dibayangkan bahwa apabila suasana
”birokrasi” di perguruan tinggi sama ketatnya dengan birokrasi yang
ada di lembaga lainnya, maka tentulah akan terasa hambar suasana
ilmiah yang ada di perguruan tinggi tersebut. Dan suasana ini tentu-
lah tidak akan mencerminkan watak ilmiah suatu perguran tinggi.
Birokrasi ini tentunya juga mempengaruhi proses pembuatan
kebijakan, yang secara khusus ditetapkan oleh pimpinan. Hal ini di-
lakukan melalui serangkaian prosedur, yaitu untuk memilih suatu
tindakan yang tepat dari beberapa alternatif yang dianggap tepat
untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi. Secara
umum, proses pembuatan kebijakan atau keputusan dalam suatu
lembaga pendidikan meliputi:
1) Penetapan sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
2) Perincian tujuan dalam pola atau kelompok operasional.
3) Menyusun tindakan-tindakan alternatif yang akan dipilih untuk
mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.
4) Menilai masing-masing tindakan alternatif.
5) Memilih tindakan yang terbaik sebagai keputusan sementara.
6) Menginventarisasikan akibat-akibat sampingan yang tidak baik
dari keputusan sementara tersebut.
7) Menetapkan keputusan sementara menjadi keputusan tera-
khir dengan menyusun rencana pelaksanaan (rencana
implementasi).3

YXWUXWZ

3 Harahap, Sofyan Syafri, (1996). Manajemen kontemporer. Jakarta: Raja


Grafindo Persada, h. 133.
Birokrasi Kepemimpinan Pendidikan 179

Bab 13
Kepemimpinan Pendidikan
Transformasional

A. Kepemimpinan Sebagai Isu Sentral


Kepemimpinan pendidikan merupakan isu sentral dalam memaju-
kan pendidikan. Dikatakan demikian, karena masalah kepemimpi-
nan merupakan pihak yang sangat menentukan maju-mundurnya
sebuah lembaga pendidikan. Dengan kebijakan, kecenderungan,
misi, misi dan program pimpinan akan dapat membawa perubah-
an lembaga pendidikan kea rah yang lebih baik, meskipun demiki-
an, banyak pihak pengelola lembaga pendidikan tidak memahami
bahwa masalah kepemimpinan merupakan isu sentral yang akan
membawa maju-mundurnya sebuah lembaga pendidikan. Akibat-
nya, lembaga pendidikan dikelola seadanya. Padahal lembaga pen-
didikan memerlukan tangan-tangan dingin seorang pemimpin yang
inovatif, dan visioner untuk membawa perubahan yang pesat untuk
lembaga pendidikan tersebut. Ini semua terjadi karena kurangnya
pemahaman pimpinan lembaga pendidikan, serta langkanya ditemu-
180 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

kan pemimpin dengan tipologi demikian. Kepemimpinan transfor-


masional merupakan salah satu tawaran bagaimana menggerakkan
lembaga pendidikan saat ini ke arah perubahan lembaga pendidikan
yang lebih inovatif.
Istilah kepemimpinan transformasional diperkenalkan oleh
Downtown pada tahun 19731. Walau bagaimanapun, kemunculannya
berawal dari hasi penelitian yang dilakukan oleh James MacGregor
Burns yang berjudul Leadership (1978). Burns menghubungkan peran
pemimpin dengan pengikut. Burns mencontohkan kepada seorang
tokoh India yang disegani, yaitu Mahatma Ghandi. Beliau menya-
takan, Mahatma Ghandi adalah salah satu contoh klasik kepada
kepemimpinan transformasional ini. Mahatma Ghandi semasa pe-
merintahannya, membangkitkan harapan dan juga kehendak ber-
juta-juta rakyatnya yang boleh dikatakan miskin dan kurang mem-
bangun. Dengan motivasi dan pengharapan yang diberikan oleh
Mahatma Ghandi kepada rakyat, mengakibatkan perubahan kepada
dirinya.
Karena itulah dalam konteks pendidikan, kepemimpinan
pendidikan transformasional memfokuskan kajianya pada peran
pemimpin yang memiliki sumbangan (impact) lain terhadap lembaga
pendidikan. Senada dengan Burns2, Bernad Bass juga mengatakan
bahwa konsep kepemimpinan transformasional ini, memiliki dua
jenis tingkah laku kepemimpinan, yaitu transaksional dan trans-
formasional. Pemimpin transaksional; menentukan apa yang di-
inginkan oleh staf/bawahan untuk dilakukan untuk mencapai tujuan
organisasi, hal demikian menyebabkan staf/bawahan percaya diri
dalam mencapai tujuan dengan usaha dan reward. Berbeda dengan

1 Lihat Abdullah Ghani Abdullah, dkk. 2010. Gaya-gaya Kepemimpinan dalam


Pendidikan, Selangor, Malaysia: PTS Professional Publishing Ltd.Bhd, hal.
204.
2 Abdullah Ghani Abdullah, dkk. 2010. Gaya-gaya Kepemimpinan dalam Pen-
didikan, Selangor, Malaysia: PTS Professional Publishing Ltd.Bhd, hal. 204.
Kepemimpinan Pendidikan Transformasional 181

pemimpin transformasional; memotivasi staf/bawahan untuk bek-


erja lebih daripada yang diharapkan.
Dalam pandangan Starratt (1995)3 kepemimpinan trasnfor-
masional menyatukan (incorporates) elemen pembangunan visi yang
penting (the crucial element of vision-building) dan visi berbagi (vision-
sharing) ke dalam bagian kerja tim, bahkan menurut Burns (1978)4
yang, mengomentari terhadap pentingnya kepemimpinan transfor-
masional, karena gaya kepemimpinan ini menempatkan pentingnya
hasil dan proses (it placed the emphasis on outcomes as well as processes).

B. Arah Kepemimpinan Transformatif dalam Pendidikan


Lembaga pendidikan seharusnya dipimpin oleh pemimpin yang
bersifat transformatif. Dengan kepemimpinan transformasional di-
harapkan lembaga pendidikan akan mengalami kemajuan yang san-
gat pesat dalam mengelola pendidikan. Masalah yang terpenting da-
lam kepemimpinan transformasional adalah bagaimana mengubah
mindset berfikir seorang pemimpin. Padahal pemimpin lembaga
pendidikan kita hari ini banyak yang memiliki pemikiran masih ber-
sifat tradisional dalam mengelola lembaga pendidikan.
Dengan kepemimpinan transformasional, bagaimana seorang
pemimpin mampu melakukan perubahan mindset berfikir dalam
memimpin, yaitu dari bersifat tradisional menjadi berusa berfikiran
modern (maju), dan dari berfikiran dan bertindak modern menjadi
berfikir selalu mencari inovasi terbaru/mutakhir untuk kepentingan
lembaga pendidikan, baik dari sisi cara, gaya dan daya, maupun
langkah dalam melakukan kepemimpinan pada lembaga pendidikan
tersebut.

3 Starratt,R.J.1995.Leaders with Vision:The Quest for School Renewal, Thousand


Oaks, CA: Corwin Press.
4 Burns,J.M.1978. Leadership, New York: Harper Row.
182 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Apabila cara berfikir dan bertindak seorang pemimpin seperti ini,


maka diharapkan lembaga pendidikan selalu berupaya tampil ter-
baik untuk membawa lembaga pendidikan menjadi selalu unggul,
berdaya saing, dan tentu saja berkualitas. Karena itulah, mindset
berfikir bagi seorang pemimpin bagi pemimpin lembaga pendidi-
kan saat ini (current leader) adalah menjadi pemimpin yang transfor-
matif. Karena itu, cara, gaya, daya, dan langkah dalam memimpin
diperlukan serta lebih bersifat transformatif. Dari sisi cara, seorang
pemimpin menunjukkan tidak ada kata henti untuk mencari peluang
inovasi untuk memberdayakan organisasi/lembaga pendidikan yang
dipimpinnya.
Dari sisi gaya, seorang pemimpin selalu ingin menjadi yang
terdepan, menjadi contoh, bahkan menjadikan lembaga pendidikan
yang dikelolanya sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas. Dari
sisi daya, seorang pemimpin selalu berupaya bagaimana member-
dayakan lembaga pendidikan dengan cara memfungsikan delapan
Standar Nasional Pendidikan, agar lembaga pendidikan dan system
penyelenggaraan pendidikan dikelola dengan bgaik dan berkuali-
tas.
Adapun dari sisi langkah, seorang pemimpin lembaga pendidi-
kan sebagai seorang pemimpin (leader) selalu memiliki konsep untuk
memajukan lembaga pendidikan, dengan cara memberdayakan selu-
ruh potensi yang dimiliki oleh lembaga pendidikan, baik potensi dari
sisi Sumber Daya Manusia (Human Capital), metode/sistem, finansial,
maupun dari sisi output/outcome pendidikan.

YXWUXWZ
Kepemimpinan Pendidikan Transformasional 183

Daftar Pustaka

A. H. Maslow, dalam Ricky W. Griffin and Gregory Moorhead. 1986.


Organizational Behavior. USA: Houghton Mifflin Company.
Abdul Amin Hamdi Hadi. 1975. Al-Fikrul Idaratul Islamiyah Wal-
maqarin. Mesir: Darul Fikrul Arabi.
Abdul Aziz Al-Khayyath. 1994. Etika Bekerja Dalam Islam. Jakarta:
Gema Insani Press.
Abdullah Ghani Abdullah, dkk. 2010. Gaya-gaya Kepemimpinan dalam
Pendidikan, Selangor, Malaysia: PTS Professional Publishing Ltd.
Bhd.
Abdullah Hasan dan Ainon Mohd. 2003. Teori dan teknik kepemimpi-
nan: Panduan aplikasi di tempat kerja, Pahang Darul Makmur: PTS
Professional.
Abdullah Hasan dan Ainon Mohd. 2005. Teori dan teknik kepemimpi-
nan: Panduan aplikasi di tempat kerja, Pahang Darul Makmur: PTS
Professional.
184 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Abdullah Sani Yahya, dkk. 2007. Guru sebagai pemimpin, Malawati Ku-
ala Lumpur: PTS Professional.
Ahmad Fadzli bin Yusof & Amin bin Idris. 2007.Paduan dan asas untuk
pemimpin berwibawa. Kuala Lumpur: PTS Millennia Sdn Bhd.
Ahmad Naim bin Jaafar. 2003. Membina karisma, Selangor malaysia:
PTS Professional.
Al-Khayyath, Abdul Aziz, Etika Bekerja Dalam Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 1994.
Altman, Steven. 1985. Organizational Bahavior, Theori and Practice.
Plorida: Academic Press.
Anang Hidayat.2007. Strategi six sigma +CD, Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Anonim. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Depag RI.
Arthur G. Jago. 1982. Leadership Perspectives in Theory and Research.
As’ad. M. 1987. Psikologi Industri. Yogyakarta: Liberty.
At-Tamimi. 1993. Nilai Kerja Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Mantiq.
Ayub Ranoh. 2006. Kepemimpinan kharismatik: Tinjauan teologis-etis
atas kepemimpinan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Azyumardi Azra. 1998. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Is-
lam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Budhi Paramitha dalam Taliziduhu Ndraha. Pengantar Teori Pengem-
bangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Rineka Cipta.
Burns,J.M.1978. Leadership, New York: Harper Row.
Bush & Glover dalam Jacky Lumby with Marianne Coleman. 2007.
Leadership and diversity: challenging theory and practice in educa-
tion. London.
Bush, T. & Glover, D. 2003. School leadership: concepts and evidence. Not-
tingham: NCSL.
Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan. 1991. Kemampuan Dasar Staf da-
lam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Djoko Purwanto. 2006. Komunikasi bisnis edisi 3, Jakarta:Erlangga.
Daftar Pustaka 185

Dresser, P.L dan Dora Marcus. 1982. On Teaching and Learning in


Colledge. Sanfransisco: Jossey-Bass Publishers.
Dubrin, Andrew J. t.t. Essential of Management. International Student
Edition.
Edward E. Lawler. 1983. Sistem Imbalan dan Pengembangan Organisasi.
Jakarta:Pustaka Binaman Pressindo.
Ek. Mochtar Effendy. 1996. Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan
Ajaran Islam. Jakarta: Bhratara.
Everald, K.B & Morris G. 1985. Effective School Management, Paul
Chapman Publishing Ltd.
F.Rudy Dwi Wibawa dan Theo Riyanto. 2008. Siap jadi pemimpin: Lati-
han dasar kepemimpinan, Yogyakarta: Kanisius.
Fattah, Nanang. 2013. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Gitosudarmo, Indriyo. 1997. Perilaku Keorganisasian. Yogyakarta:
BPFE.
Hamdi Amin Abdul Hadi. 1975. Al-Fikrul Idaratul Islamiyah Wal-
maqarin. Mesir: Darul Fikrul Arabi.
Harahap, Sofyan Syafri. 1996. Manajemen Kontemporer. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Hasanuddin Rahman Daeng Naja. 2004. Manajemen fit dan proper test.
Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Hendiyat Soetopo dan Wasty Soemanto. 1988. Kepemimpinan dan Su-
pervisi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.
Henry Simamora. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakar-
ta: STIE YKPN.
Hersey, P., Blancard, K.,and Johnson, D. 1996. Management of organi-
sational behaviour: Utilising human resources, Englewood Cliffs, NJ:
Prentic=e-Hall.
Hoy dan Wiskel. 1978. Education Adminstration. New York: Random
House.
186 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

Hoy, Wayne K. And Cecil G. Wiskel. 1978. Educational Administration


Theory, Research and Practice. New York: Random House.
Huse, Edgar F. dan James L. Bowditch. 1977. Behavior in Organiza-
tions: A systems Approach to Managing. California: Addison-Wes-
ley Publishing Company dalam Made Pidarta. 1988. Manajemen
Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Indrawijaya, Adam I. 1989. Perilaku Organisasi. Bandung: Sinar Baru.
Inu Samsi S.U. 1994. Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, Jakarta:
Rineka Cipta.
Ishak Mad Shah. 2006. Kepemimpinan dan hubungan interpersonal dalam
organisasi, Malaysia: Universiti Teknologi Malaysia.
J. Salusu. 1996. Pengambilan keputusan stratejik: Untuk organisasi publik
dan non profit. Jakarta: Grasindo.
John Adair. 1993. Development Leaders: The Ten Key Principles, terj.
Soedjono Trimo, Jakarta: Bumi Aksara.
John M. Echols dan Hassan Shadily. 1992. Kamus Inggris Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Julitriarsa, Djati. 1992. Manajemen Umum, Sebuah Pengantar. Yogy-
akarta: BPFE.
Keith Davis dan John W. Newstrom. 1990. Perilaku Dalam Organisasi.
Jakarta: Erlangga.
Komaruddin. 1994. Ensiklopedia Menejemen. Jakarta: Bumi Aksara.
Lipham, James M. 1994. The Principaliship: Fundations and Functions.
London: Harper and Row.
Lunenburg Fred C. & Allan C. Ornstein. 2000. Educational Administra-
tion, Concepts and Practices, 2nd. Edition. Wadsworth Publishing
Company: California hal. 123-l 26.
Lynn Marotz dan Amy Lawson. 2007. Motivational leadership in early
childhood education. USA: Thomson.
M. Ngalim Purwanto. 2005. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Ja-
karta: Rineka Cipta.
Daftar Pustaka 187

Made Pidarta. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia (Jakarta: Bina


Aksara.
Mahmud Syalabi. 1997. Kepribadian Rasulullah SAW. Solo: Pustaka
Mantiq.
Malayu S.P.Hasibuan. 2005. Organisasi dan Motivasi: Dasar Peningka-
tan Produktivitas, Jakarta: Bumi Aksara.
Martin Albrow. 1989. Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakar-
ta.
Mc. Donald dalam Syaiful Bahri. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi
Staf. Surabaya: Usaha Nasional.
Moh. Uzer Usman. 2001. Menjadi Staf Profesional. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Mowday, at all., dalam Ricky W. Griffin dan Gregory Morhead.
1986. Organizational Behavior. USA: Houghton Mifflin Company,
1986.
Muhammad Ali. t.t. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen. Jakarta:
Pustaka Amani.
Muhammad Mustafa Al-Maraghi. 1987. Tafsir Al-Maraghi (terj.) jilid
II. Semarang: Toha Putra.
Mustafa Husni As-Siba’i. 1993. Kehidupan Sosial Menurut Islam. Band-
ung: Diponegoro.
Nurkholis. 2002. Manajemen Berbasis sekolah: Teori, model dan aplikasi.
Jakarta: Grasindo.
Oemar Hamalik dalam Cece Wijaya dan A. Tabrani Rusyan. 1991.
Kemampuan Dasar Staf dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rosda Karya.
P.Winarto. 2005. The Leadership Wisdom: Inspirasi Untuk Meningkatkan
Potensi Kepemimpinan Anda. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Paul Hersey dan Ken Blanchard, (terj.). 1990. Manajemen Perilaku Or-
ganisasi. Jakarta: Erlangga.
Peter Earley & Dick Weindling. 2004. Understanding school leadership.
188 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

California: Sage Publication.


Qs. Al-Ahqaaf, jus, 46: 19
Qs. Al-Baqarah: 124.
Qs. Al-Insaan: 5, Qs. Al-Insaan:22, dan Al-Qashash: 25
Qs. Al-Qashash: 26.
Qs. An-Nahl: 97.
Qs. An-Nahl:126.
Qs. At-Taubah, jus, 9:105.
Richard Nicholson. 1989. School Management: The Role of the Secondary
Headteacher, London: Kogan Page.
Ricky W. Griffin dan Gregory Moorhead. 1986. Organizational Behav-
ior. USA: Houghton Mifflin Company.
Robert Bacal. 2002. Performance Management: Memberdayakan Kary-
awan, Meningkatkan Kinerja melalui Umpan Balik, mengukur Kin-
erja. Jakarta: Gramedia.
Robiah Sidin. 2003. Teori pentadbiran pendidikan: satu pengenalan. UKM
Malaysia: Percetakan Asni Sdn. Bhd.
Roger Garaudy, Promesses del’ Islam, telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh Prof. Dr. H. M. Rasyidi. ,tt.; dengan judul
Panji-panji Islam, cetakan kedua, Bulan Bintang Jakarta.
S. Nasution. 1995. Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Safii Antonio. 200٧. The Super Leader the Super Manager, Jakarta: Taz-
kia Multimedia & ProLM Centre.
Said Agil Siroj. 2006. Tasawuf sebagai Kriotik Sosial: Mengedepankan Is-
lam sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Jakarta: Mizan.
Said Hawwa. 2003. Ar-Rasul Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, Jakarta: Gema
Insani Press.
Starratt,R.J. 1995. Leaders with Vision:The Quest for School Renewal,
Thousand Oaks, CA: Corwin Press.
Stogdil. 1974. Handbook of Leadership.
Daftar Pustaka 189

Sunarto, Ahmad, dkk,. 1992. Terjemah Shahih Bukhari, Semarang: As-


Syifa.
T. Hani Handoko. 1999. Manajemen, Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Tasirun Sulaiman. 2005. Sufistik: Masko Teko Wasiat, Jakarta: Erlang-
ga.
Thomas J. Barry. 1997. Total quality organization: Balance and harmony
for excellence. Kuala Lumpur: Gains Prints Sdn. Bhd.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua. Jakarta: Balai
Pustaka.
Tofan Agung Eka P. 2009. Kepemimpinan, Globalisasi dan Keperawatan,
Jember: Universitas Jember.
Tony Bush. 2003. Theories Educational Leadership and Management 3rd
edition, London: Sage Publication.
Toto Tasmara. 1993. Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: Jamiatul Ikh-
wan.
Turney, C., dkk. 1992. The School Manager. Australia: Allen and Un-
wen.
V.W.M, Hicks, et all. 1970. The New Elementary School Curriculum.
Canada: D. Van Nostrand Company, Ltd..
Winardi. 1992. Manajemen Perilaku Organisasi. Bandung: Pustaka A.
Winardi. 1990. Kepemimpinan Dalam Manajemen. Jakarta: Rineka Cip-
ta.
Yukl, G. 1994. Leadership in Organisations (3rd edn), Englewood Cliffs,
NJ, Prentice-Hall.

YXWUXWZ
190 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan
Pendahuluan 191

Tentang Penulis

Samsu dilahirkan pada tanggal 8 Oktober 1970 di Lagan Ilir, Kabu-


paten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi dari pasangan Sultan
Hasanuddin (alm.) dan Bungati. Memperoleh gelar Magister Pendi-
dikan Islam pada Program Pascasarjana (PPs) IAIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi, konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam pada tahun
2003, dengan predikat Cumlaude.
Pendidikan Doktor-nya (Ph.D) diperoleh dari Postgraduate Pro-
gramme di National University of Malaysia (Universiti Kebangsaan
Malaysia) pada tahun 2012.
Pengalaman Organisasi dimulai dari Ketua Umum OSIS SLTP
(1986-1987), Ketua Umum OSIS SMA (1989-1990), anggota HMI Ca-
bang Jambi (1993-1995). Ketua Umum Ikatan Alumni dan Mahasiswa
(IKAMA) Program Pascasarjana (PPs) IAIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi periode I (2006-2007).
Karir akademisnya dimulai sejak tahun 1995, sebagai guru di
192 Manajemen dan Kepeminpinan Pendidikan

SLTP IX Lurah Jambi (1995-1997), SMU IX Lurah Jambi (1995-1998),


SMK (Teknologi) IX Lurah Jambi (1998-2000), Madrasah Tsanawiyah
(MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) Nurul Falah Kota Jambi (1997-
2001), dan pernah pula dipercaya sebagai Kepala Tata Usaha (TU)
MA Nurul Falah Kota Jambi (1998-2000), Staf ahli dekan Fakultas
Tarbiyah dan staf ahli rektor IAIN STS Jambi (2001-2007), Dosen Luar
Biasa pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Harapan Ibu
(sejak tahun 2005). Selain itu ia juga dipercaya oleh legislatif untuk
menjadi Tenaga Ahli DPRD Provinsi Jambi yang menangani bidang
kesejahteraan rakyat khususnya berkaitan dengan pendidikan (sejak
Januari 2010).
Saat ini penulis berpangkat Lektor Kepala pada jurusan Pen-
didikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi; dengan vak keahlian Kepemimpinan
Pendidikan. Disela-sela kesibukannya sebagai dosen, ia juga menjadi
instruktur PKG bagi guru SMA/SMK se-Provinsi Jambi tahun 2012,
instruktur pada Bimbingan Teknis (Bimtek) Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS) bagi Kepala SMP/SMA se-Provinsi Jambi, tahun 2013,
Instruktur PLPG bagi guru SD, SMP, dan SMA/SMK se-Provinsi Jam-
bi, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat, yang diselenggarakan di
Provinsi Jambi, tahun 2014.
Karya ilmiah yang telah dipublikasikan selain buku Manajemen
dan Kepemimpinan Pendidikan ini, antara lain: 1) Sekolah Berprestasi
(Jakarta: 2002), 2) Pendidikan Anak Bangsa: Pendidikan Untuk Se-
mua (Jakarta: 2002), 3) Research University (2012).
Di bidang penelitian telah menghasilkan beberapa penelitian
dengan bantuan dana DIPA IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi an-
tara lain: 1) Kesiapan dosen dalam menghadapi sertifikasi dosen di
lingkungan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (2009), 2) Pengem-
bangan penelitian ke arah research university pada lingkungan IAIN
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (2010), 3) Trend penggunaan face-
book dan dampaknya terhadap produktivitas kerja perguruan tinggi
Pendahuluan 193

(2011), dan 4) Transformasi budaya akademik berbasis on-line: Studi


pada IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi (2013).

YXWUXWZ

Anda mungkin juga menyukai