Anda di halaman 1dari 12

Sejarah perkembangan Ulumul Hadits

youchenkymayeli.blogspot.com /2012/06/bab-i-pendahuluan.html
Racik Meracik Ilmu-Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai
perkembangan ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan tentang hadis yang bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan manusia baik dalam hal sosial, hukum, kemitraan, kebersihan, egaliter
(kesetaraan), persaudaraan, akhlak yang mulia dan sikap positif lainnya.[1] Alquran adalah sumber
pertama syariat Islam dan hadis adalah sumber kedua. al-Sunnah merupakan penjelas Alquran, pemerinci
hukum-hukumnya, dan mengeluarkan fur cabang dari ushl pokoknya.[2]
Alquran adalah petunjuk bagi umat Islam.[3] Petunjuk-petunjuk Alquran merupakan dasar-dasar pokok
yang bersifat ijmali. Hanya hokum faraidh yang dijelaskan secara tafshli (detail). Di samping itu, Alquran
yang ijmli serta ayat-ayatnya yang mutasybih memerlukan penjelasan.[4]
Pada waktu Rasul Allah masih hidup, para sahabat yang menemukan suatu permasalahan atau
menginginkan suatu penjelasan mengenai suatu ayat, langsung bertanya kepada Rasul. Rasul
menjelaskannya baik melalui perkataan, perbuatan atau taqrir. Setelah Rasul wafat, para sahabat
berpegang kepada penjelasan Rasul. Penjelasan ini kemudian dikenal dengan nama hadis. Abdul Majid
Khon menyatakan bahwa fungsi hadis terhadap Alquran secara umum adalah untuk menjelaskan (li albayn) makna kandungan Alquran yang sangat dalam dan global.[5] Ada empat jenis fungsi al-bayn
hadis terhadap Alquran yakni bayn taqrr, bayn tafsr, bayn naskhi dan bayn tasyri.[6]
Perkembangan situasi politik dan pertarungan kepentingan antar golongan sangat tajam setelah Rasul
wafat. Masing-masing golongan berupaya membuat argumentasi untuk memperkuat posisinya dengan
menyatakan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasul dan sebenarnya tidak demikian. Bahkan ada
yang dengan sengaja membuat hadis palsu.[7]
Para ulama berusaha untuk memelihara kemurnian hadis Nabi saw. dari pemalsuan. Mereka berusaha
keras berinisiatif menyeleksi secara ketat riwayat-riwayat yang dikaitkan dengan Rasul. Mereka berusaha
menjaga keagungan ajaran agama supaya tidak bercampur baur dengan kepentingan pribadi dan
golongan yang dapat merusak keyakinan dan sendi-sendi kehidupan kaum muslimin.
Para ulama menetapkan berbagai syarat yang ketat dalam menyeleksi seluruh riwayat yang dikaitkan
dengan Nabi saw. Syarat-syarat itu kemudian menjadi kaedah dan aturan yang digunakan dalam
menerima sebuah riwayat. Aturan-aturan tersebut kemudian menjadi satu disiplin ilmu tersendiri yang
disebut dengan Ulm al-Hads yang tertulis dalam berbagai buku karangan para ulama. Sampai
sekarang, Ulm al-Hads menjadi pegangan pokok untuk menetapkan derajat kualitas suatu hadis yang
dapat dijadikan dasar penetapan suatu hokum syari.
Kemunculan Ulm al-Hads sebagai suatu disiplin ilmu melalui suatu tahapan perjalanan sejarah yang
panjang. Perjalanan sejarah yang dimulai dari masa Rasulullah Muhammad saw. sampai sekarang.
Walaupun mengalami pasang surut, akan tetapi semangat para ulama tidak pernah surut atau berhenti
menghasilkan karya-karya besar karena mereka termotivasi oleh semangat pengabdian yang tulus untuk
memurnikan ajaran agama. Karya-karya tersebut berupa kitab-kitab yang merupakan kontribusi berharga
dari para ulama terhadap perkembangan Ulm al-Hadis. Karya-karya ulama tersebut kemudian menjadi
ilmu yang membahas secara spesifik hal-hal tertentu yang berkaitan dengan hadis Rasulullah Muhammad
saw.

Belajar sejarah mengandung banyak manfaat. Orang yang mempelajari sejarah dan perkembangan suatu
ilmu, termasuk Ulum al-Hadis, akan menjadikan yang bersangkutan lebih bersikap cermat, teliti,
bersungguh-sungguh, memiliki motivasi yang tinggi dan lebih bijaksana dalam menanggapi suatu
masalah. Seseorang akan mampu mengendalikan diri dalam menetapkan status suatu hadis berdasarkan
penerapan suatu kaedah atau metode yang tepat, sehingga tidak menimbulkan intrepretasi yang
membingungkan.
Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan bahwa untuk mempelajari sejarah pertumbuhan dan perkembangan
Ulm al-Hadis perlu ditelusuri dua pokok, yaitu:
1. Mempelajari periode-periode ilmu hadis
2. Mempelajari pemuka-pemuka ilmu hadis.[8]
Para ahli berusaha menyusun secara sistematis periode-periode pertumbuhan dan perkembangan ilmu
hadis. Nr al-Dn mengemukakan tahapan perkembangan Ulm al-Hads atas tujuh tahap, yaitu:
Tahap pertama: Kelahiran Ilmu Hadis
Tahap kedua: Tahap Penyempurnaan
Tahap ketiga: Tahap pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah
Tahap keempat: Penyusunan Kitab-kitab Induk Ulm al-Hads dan penyebarannya
Tahap kelima: Kematangan dan kesempurnaan pembukuan Ulm al-Hadis
Tahap keenam: Masa Kebekuan dan kejumudan
Tahap ketujuh: Kebangkitan kedua.[9]
Masa Kelahiran Ulm al-Hadis
Benih-benih ilmu hadis telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw. sejalan dengan diwurudkannya hadishadis kepada para sahabatnya. Hal ini dapat dilihat misalnya bagaimana para sahabat dapat melihat
adanya kedustaan yang disampaikan oleh seseorang yang mengatasnamakan Rasul saw. Rasul juga
telah menetapkan beberapa aturan, bagaimana seharusnya hadis itu diterima dan disampaikan kepada
yang lainnya, seperti juga Rasul menyampaikan hadis-hadis tertentu kepada orang-orang tertentu, dengan
cara-cara yang tertentu pula.[10]
Sesuai dengan perkembangan hadis, ilmu hadis selalu mengiringinya sejak masa Rasulullah saw.
sekalipun belum dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Pada masa Nabi masih hidup di tengah-tengah
sahabat, hadis tidak ada persoalan karena jika menghadapi suatu masalah atau skeptis dalam suatu
masalah, mereka langsung bertemu dengan beliau untuk mengecek kebenarannya. Pemalsuan hadis pun
tidak pernah terjadi menurut pendapat ulama ahli hadis.[11] Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islm
menyatakan bahwa dimungkinkan terjadi adanya pemalsuan hadis pada masa Nabi masih hidup.[12] Hal
ini hanya pernyataan yang bersifat dugaan belaka, tidak disertai bukti otentik yang mendukung pernyataan
tersebut.
Ulm al-Hadis sebagai sebagai suatu disiplin ilmu mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan,

Muhammad Ajjaj al-Khatib mengemukakan hal ini sebagai berikut:


Ulumul Hadis tumbuh bersama dengan tumbuhnya periwayatan dan pemindahan hadis dalam Islam.
Dasar-dasar ini mulai tampak setelah Rasul saw. wafat, yakni tatkala kaum muslimin memberikan
perhatian serius dalam mengoleksi hadis Nabi, karena khawatir tersia-siakan. Mereka berusaha keras
menghapal, menandai, memindahkan dan mengkodifikasikannya. Secara alamiah kodifikasi hadis
mendahului kodifikasi Ilmu Ushulul Hadis. Karena hadis adalah materi yang dikumpulkan dan dikaji.
Sedang Ushulul Hadis adalah kaedah dan metode yang harus diikuti untuk menerima dan menolak hadis
dan mengetahui yang shahih dari yang dhaif.[13]
Penjelasan Ajjaj ini, memberikan pemahaman bahwa pertumbuhan dan perkembangan Ulum al-Hadis
melalui suatu tahapan yang cukup panjang. Ilmu itu tumbuh dan berkembang dari masa ke masa secara
terus neberus dan berkesinambungan mengkuti irama periwayatan hadis terutama sebelum hadis
terkodifikasi dengan baik.
Sekalipun pada masa Nabi tidak dinyatakan adanya ilmu hadis, tetapi para peneliti hadis memperhatikan
adanya dasar-dasar dalam Alquran dan hadis Rasulullah saw.[14] Misalnya anjuran pemeriksaan berita
yang datang dan perlunya persaksian yang adil. Firman Allah dalam QS. Al-Hujurat (49): 6:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka
periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.[15]
Demikan pula dalam QS. Al-Baqarah (2): 282:
Terjemahnya:
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.[16]

QS. Ath-Thalaq (65): 2

Terjemahnya:
dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu[17]
Ayat-ayat di atas menunjukkan pemberitaan dan persaksian orang fasik tidak diterima. Muslim
mengatakan, sekalipun pemberitaan dan persaksian tidak sama pengertiannya, tetapi dalam beberapa hal
mempunyai arti yang sama. Jika berita yang dibawa orang fasik tidak diterima oleh ahli ilmu demikian juga
persaksiannya juga ditolak oleh mereka.[18] Ayat-ayat di atas berarti perintah memeriksa, meneliti, dan
mengkaji berita yang dating dibawa seorang fasik yang tidak adil. Tidak semua berita yang dibawa
seseorang dapat diterima sebelum diperiksa siapa pembawanya dan apa isi berita tersebut. Jika
pembawanya orang jujur, adil dan dapat dipercaya diterima, tetapi sebaliknya jika pembawa berita itu
orang fasik, tidak objektif, pembohong dan lain-lain, maka tidak diterima karena akan menimpakan
musibah terhadap orang lain yang menyebabkan penyesalan dan merugikan.[19]

Setelah Rasulullah meninggal, kondisi sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadis karena
konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru dikodifikasikan pada masa Abu Bakar tahap awal dan
masa Utsman tahap kedua. Masa ini terkenal dengan masa taqlil ar-riwayah (pembatasan periwayatan),
para sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali tidak disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadis
yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah saw. Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad
dalam periwayatan hadis karena orangnya masih jujur-jujur, saling mempercayai satu dengan yang lain.
Tetapi setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar relit politik yakni antar pendukung Ali dan Muawiyah dan
umat berpecah menjadi beberapa sekte; Syiah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah itu mulailah
terjadi pemalsuan hadis (hadis mawdhu) dari masing-masing sekte dalam rangka mencari dukungan
politik dari massa yang lebih luas.[20]
Melihat kondisi seperti hal di atas, para ulama bangkit membendung hadis dari pemalsuan dengan
berbagai cara, di antaranya rihlah checking kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja
yang mengaku mendapat hadis harus disertai dengan sanad. Sebagaimana ungkapan ulama hadis ketika
dihadapkan suatu periwayatan: Sebutkan kepada kami para-para pembawa beritamu.[21] Ibnu alMubarak berkata: Isnad/sanad bagan dari agama, jikalau tidak ada isnad sungguh sembarang orang akan
berkata apa yang dikehendaki[22]
Pada masa sahabat dan (lebih-lebih) masa tabiin, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin terasa. Hal ini
karena, Rasul saw. sebagai sumber untuk merujuk hadis sudah wafat, sehingga diperlukan adanya tolak
ukur untuk menguji kebenaran suatu hadis, terutama hadis-hadis yang hanya didengar atau disampaikan
oleh seseorang saja. Lebih-lebih ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadis dan
mengadakan perlawatan yang mereka lakukan ke seluruh wilayah kekuasaan Islam. Hal ini sudah barang
tentu secara langsung atau tidak, memerlukan kaidah-kaidah guna melakukan seleksi dalam penerimaan
dan periwayatan atau penyampaian hadis kepada para muridnya.[23]
B. Masa Penulisan Ulum al-Hadis
Tahap kedua dari perkembangan Ulum al-Hadis ialah tahap penyempurnaan. Pada tahap ini, ilmu hadis
mencapai titik kesempurnaannya. Setiap cabangnya dapat berdiri sendiri dan sejalan dengan kaidahkaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan oleh ulama. Tahap ini berlangsung dari abad kedua
sampai awal abad ketiga. Peristiwa-peristiwa menonjol yang menendai periode ini ialah:

1. Melemahnya daya hapal di kalangan umat Islam sebagaimana disebutkan al-Dzahabi dalam kitab
Tazkirat al-Huffazh.
2. Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadis, lantaran bentangan jarak waktu dan semakin
banyak rawi.
3. Munculnya sejumlah kelompok umat Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran yang ditempuh
para sahabat dan tabiin, seperti Mutazilah, Jabariyah, Khawarij, dan sebagainya. Oleh karena itu,
para ulama bangkit untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan langkah yang dapat menutupi
pengaruh yang mungkin timbul. Antara lain:

Pembukuan hadis secara resmi


Mengembangkan jarh wa tadil untuk mengkritisi rawi hadis
Mengembangkan sikap tawaqquf yaitu tidak menolak atau menerima bila mendapatkan hadis dari
sesorang yang mereka tidak kenal sebagai ahli hadis.

Menelusuri sejumlah hadis untuk mengungkap kecacatan yang mungkin tersembunyi di dalamnya.
[24]

Para ulama sangat ketat dalam menyeleksi hadis. Mereka meneliti setiap keadaan perawi sehingga hadis
dapat diketahui kualitasnya. Bahkan, mereka bersedia melakukan perjalanan panjang untuk mengecek
kebenaran sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seseorang dengan mempersyaratkan kriteria-kriteria
tertentu sesuai dengan kaidah yang ditetapkan para ulama.[25] Dengan demikian, hadis yang
diriwayatkan oleh seseorang akan dapat diketahui antara lain keadilan, kecacatan, dan kedhabitan
seorang perawi dan sebagainya.
Pada masa tabiin, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Ibn Syihab az-Zuhri
(51-124 H). Ini diperlukan, sehubungan dengan keahliannya dalam bidang hadis dan kedudukan dirinya
sebagai pengumpul hadis, atas perintah resmi dari khalifah Umar bin Abd al-Azis. Dari sini ilmu hadis mulai
terlihat wujudnya meskipun dalam bentuk kaidah-kaidah yang simpel dan sederhana.[26] Di samping itu,
Imam Al-Syafii menulis kitab al-Risalah yang mengulas kriteria hadis yang dapat dijadikan hujjah. Kitab alRisalah merupakan kitab Ulum al-Hadis yang pertama.[27]
Pada perkembangan berikutnya, kaidah-kaidah itu semakin dikembangkan oleh para ulama yang muncul
pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam mempelajari bidang
hadis, maupun bidang-bidang lainnya.[28] Dalam hal ini dapat dilihat misalnya para ulama imam mazhab
fiqh, yang juga turut membicarakan dan menyusun ilmu ini. Kemudian, lebih berkembang lagi dengan
hadirnya para ulama mudawwin hadis, seperti Malik in Anas, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, at-Turmudzi,
an-NasaI, dan Ibnu Majah. Akan tetapi karya-karya mereka masih berserakan dalam bentuk risalahrisalah-nya.[29]
C. Masa Pembukuan Ulum al-Hadis

1. Tahap Pembukuan Ilmu Hadis secara terpisah

Tahap ini berlangsung sejak abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah. Tahap ini merupakan
tahap pembukuan hadis dan merupakan zaman keemasan sunnah. Sebab, dalam abad inilah sunnah dan
ilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna.
Tahap ini ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan hadis Rasul secara khusus. Untuk itu
mereka susun kitab-kitab musnad untuk menghimpun hadis Rasul yang mereka kelompokkan
berdasarkan nama-nama sahabat, sehinga hadis-hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakar misalnyadikumpulkan dalam satu tempat dengan judul Musnad Abu Bakar, demikian pula hadis-hadis umar yang
lainnya.
Bukhari memberikan terobosan baru dengan membukukan hadis-hadis shahih secara khusus dan disusun
berdasarkan bab-bab tertentu, agar mudah dicari dan dipahami. Kitab yang disusunnya bernama al-Jami
al-Shahih. Berikutnya datanglah enam imam lainnya yang tiada lain adalah murid-muridnya kecuali alNasai. Mereka menyusun kitab masing-masing berdasarkan bab-bab fiqh dengan hadis-hadis yang
mereka pilih secara selektif, meskipun para penulis kitab sunnah itu tidak mensyaratkan semua hadisnya
shahih.
Pada tahap ini, cabang-cabang ilmu hadis telah berdiri sendiri sebagai suatu ilmu, seperti ilmu hadis

shahih, ilmu hadis mursal, ilmu al-Asma wa al-Kuna, dan sebagainya. Ulama yang dikenal menyusun buku
yang berkaitan dengan ilmu hadis pada masa ketiga ini ialah:
2. Yahya ibn main (w.234 H) menyusun kitab tentang biografi para rawi

3. Muhammad ibn Sad (w. 230 H) menyusun kitab tentang thabaqat para rawi.
kitab yang paling baik.

Kitab ini merupakan

4. Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) menyusun kitab al-Ilal wa al-Marifah al-Rijal
Mansukh.

dan al-Nasikh wa al-

5. Ali ibn Abdullah ibn al-Madani (w.234 H) Guru al-Bukhari, menyusun buku
tentang banyak hal yang
mencapai dua ratus judul. Kebanyakan kitab yang
disusunnya selalu menjadi perintis dalam
bidangnya sehingga para ulama
menyatakan bahwa tiada cabang ilmu hadis yang luput dari
bahasannya dan tidak tersentuh dalam tulisannya.[30]

Pada masa ini, para ulama telah mempelajari dan meneliti seluruh matan dan sanad hadis dengan
sempurna melalui kajian ilmu hadis. Istilah-istilah yang berkaitan dengan hadis pada masa ini telah baku
sebagaimana yang terlihat dalam kitab al-Turmudzi dan selainnya. Walaupun demikian, dalam tahap ini
belum ditemukan suatu tulisan yang pembahasannya mencakup seluruh kaidah-kaidah cabang-cabang
ilmu hadis dengan batasan istilah-istilahnya. Sebabnya ialah mereka masih mengandalkan hapalan dan
penguasaannya terhadap semua itu; kecuali sebuah kitab kecil yang berjudul al-Ilal al-Shagir karya Imam
al-Turmudzi (w. 279 H). kitab ini merupakan penutup kitab Jami al-Turmudzi.[31]
2. Tahap penyusunan Kitab-Kitab Induk Ulum al-Hadis dan penyebarannya
Masa ini bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh. Pada periode
ini, para ulama menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama sebelumnya.
Kemudian mereka menghimpun keterangan-keterangan yang masih berserakan kemudian melengkapinya
dengan keterangan-keterangan ulama lain yang diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada
pembicaranya. Sesudah itu mereka memberi komentar terhadap keterangan-keterangan dan digali
hukumnya.
Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil
menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni bernama alQadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w. 360 H), dengan
kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wai. Menurut Ibn Hajar al-Asqalani,[32] karya arRamahurmuzi ini belum mencakup seluruh ilmu hadis. Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab
ini sampai pada masanya merupakan kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh para ulama
berikutnya.
Orang kedua setelah ar-Ramahurmuzi, ialah al-Hakim Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah an-Naisaburi
(321-405H) dengan kitabnya Marifah Ulum al-Hadis. Pada kitab ini dibahas sebanyak 52 macam
pembahasan. Namun, seperti karya ar-Ramahurmuzi, karya al-Hakim ini juga belum sempurna dan
kurang sistematis dibanding dengan kitab-kitab karya ulama berikutnya.[33]

Setelah itu, muncul Abu Nuaim Ahamad bin Abdillah al-Ashafani (336-430 H) dengan kitabnya alMustakhraj ala MarifahUlum al-Hadits. Dalam kitab ini, ia mengemukakan kaidah-kaidah temuannya
yang tidak terdapat dalam kitab Marifah Ulum al-Hadits karya al-Hakim.[34]
Berikutnya, al-Khathib al-Bagdadi Abu Bakr ahmad bin Ali (w. 463 H) dengan kitabnya yang terkenal, ialah
Al-Kifayah fi Qawanin ar-Riwayah. Kitab ini berisi berbagai uraian ilmu hadis da kaidah-kaidah
periwayatan. Karya lainnya, ialah Al-Jami li Adabi asy-Syeikh wa As-Sami. Menurut Abu Bakr bin
Nuqthah, para ulama muhaddisin yang menyusun ilmu ini setelah al-Khatib al-Bagdadi, menginduk
kepada kitabnya.[35]
Selang beberapa waktu, menyusul al-Qadi Iyadh bin Musa al-Yahshibi (w. 544 H) dengan kitabnya Al-Ilma
fi Dabth ar-Riwayah wa Taqyid al-Asma. Berikutnya, ialah Abu Hafidz Umar bin Abd Majid al-Mayanji (w.
580 H) dengan kitabnya Ulum al-Hadits yang dikenal dengan Muqaddimah ibn ash-Shalah. Kitab ini oleh
para ulama berikutnya disyarahkan dan dibuat 27 mukhtashar-nya, sehingga dapat dijadikan pegangan
oleh ulama generasi berikutnya.[36]
D. Masa Pentashihan Ulum al-Hadis
Tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan Ulum al-Hadis bermula pada abad ketujuh dan
berakhir pada abad kesepuluh. Pembukuan Ulum al-Hadis pada tahap ini mencapai tingkat
kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadis. Pada tahap
ini dilakukan penelitian secara mendetail terhadap sejumlah masalah dan upaya perbaikan sejumlah
ungkapan yang memerlukan penghalusan redaksi. Para penyusun kitab adalah para imam besar yang
hapal semua hadis dan menyamai pengetahuan dan penalaran para imam besar terdahulu terhadap
cabang-cabang hadis, sanad dan matannya.
Pelopor pembaharuan dalam pembukuan ilmu hadis pada masa ini ialah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih alHafidz al-Ushul Abu Amr Utsman ibn al-Shalah (w. 643) dengan kitab Ulum al-Hadis yang sangat
masyhur. Keistimewaan kitab ini ialah:
1. Kemampuannya menarik kesimpulan yang sangat baik terhadap dan kaidah yang dikemukakan
para ulama.
2. Memberi batasan terhadap defenisi-defenisi yang ada sambil menguraikannya, juga menjelaskan
definisi-definisi yang belum pernah dijelaskan sebelumnya.
3. Mengomentari pendapat para ulama berdasarkan hasil penelitian dan ijtihad penyusunnya.

Kitab-kitab yang tercatat sebagai tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan Ulum al-Hadis ialah:

1. Al-Irsyad karya Imam Yahya ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H). Kitab ini merupakan ringkasan dari
kitab Ulum al-Hadis kemudian diringkaskan lagi menjadi al-Taqrib wa al-Taisir li Ahadis al-Basyir alNadzir.
2. Al-Tabshirah wa al-Tadzkirah. Kitab yang disusun dalam bentuk syair sebanyak seribu bait karya alHafidz Abd al-Rahman ibn al-Husain al-Iraq (w. 806 H). Kitab ini mencakup seluruh isi kitab Ulum
al-Hadis dengan menjelaskan dan menambah kekurangannya dengan beberapa masalah lalu
disyarahi dengan syarah yang sangat baik.
3. Al-Taqyid wa al-Lidhah li ma Uthliqa min Kitab ibn al-Shalah yang dikenal dengan nama al-Nukat.
Kitab ini diberi catatan kaki oleh Fadhilat al-Syaikh Muhammad Raghib al-Thabbah dengan

keterangan-keterangan yang sangat bermanfaat.


4. Al-Ifshah ala Nukat ibn al-Shalah. Kitab syarah Ulum al-Hadis disusun oleh al-Hafidz Ahmad ibn
Ali ibn Hajar al-Atsqalani (w. 852 H). kitab ini sampai sekarang masih dalam bentuk naskah tulisan
tangan yang terdapat di India.
5. Fath al-Mughits Syarh Al-Fiyah al-Iraqi fi Ilm al-Hadis karya al-Hafidz Syamsuddin Muhammad alShakhawi (w. 902 H). Kitab ini memuat hasil studi kritis terhadap masalah-masalah yang terdapat
dalam kitab-kitab sunnah dan Ulum al-Hadis. Kitab ini dicetak di India dalam satu jilid tebal.
6. Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi karaya al-hafidz Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthi (w.
911 H).
7. Nukhbat al-Fikr dan syarahnya Nuzhat al-Nadzar. Keduanya karya al-hafidz Ibn Hajar.[37]

Dalam perkembangannya, Ulum al-Hadis sempat mengalami masa kebekuan dan kejumudan. Keadaan
ini berlangsung dari abad kesepuluh sampai awal abad keempat belas Hijriyah. Pada masa ini, ijtihad
dalam masalah ilmu hadis dan penyusunan kitab nyaris berhenti total. Kitab-kitab yang ditulis pada
umumnya ringkas dan praktis, baik dalam bentuk syair maupun prosa. Para penulis hanya sibuk dengan
kritikan-kritikan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam kitab yang telah ada tanpa ikut menyelami inti
permasalahannya. Mereka kurang melakukan penelitian dan ijtihad sehingga perkembangan Ulum alHadis mengalami kemandekan. Walaupun demikian masih ada penerbitan buku yang berkaitan dengan
Ulum al-Hadis, di antaranya:
1. Al-Manzhumat al-Baiquniyyah karya Umar ibn Muhammad ibn futuh al-Baiquni al-Dimasqi (w. 1080
H). kitab ini berisi 36 bait syair. Keistimewaan kitab karena disusun secara sistematis dan dengan
bahasa yang sangat sederhana sehingga mudah dihapalkan oleh orang-orang yang
mempelajarinya.
2. Taudhih al-Afkar karya Al-Shanani Muhammad ibn Ismail al-Amir (w. 1182 H).
3. Syarah Nuzhat al-Nazhar karya Syekh Ali ibn Sulthan al-Harawi al-Qarii (w. 1014 H).[38]

Pada masa kebekuan dan kejumudan ini, bangkit pengkajian al-Hadis di India yang dipelopori oleh alAllamah al-Imam al-Muahddits syah Waliyu Aliah al-Dahlawi (w. 1176 H). Upaya pengkajian ini dilanjutkan
oleh anak dan cucunya serta murid-muridnya dengan berpedoman kepada kaedah-kaedah yang sudah
baku.[39]
E. Ulumul Hadis di Masa Kontemporer
Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian terhadap Ulum al-Hadis semakin
dikembangkan oleh ulama-ulama kontemporer. Tahap ini diistilahkan oleh Nur al-Din sebagai masa
kebangkitan kedua. Masa kebangkitan kedua bermula pada permulaan abad keempat belas hijriyah. Umat
Islam bangkit kembali karena khawatir pengaburan ajaran agama akibat persentuhan dunia Islam dengan
dunia Barat dan Timur, bentrokan mliter yang tidak manusiawi, orientalis kolonialisme pikiran yang lebih
jahat dan lebih berbahaya. Kondisi telah menuntut untuk disusunnya kitab-kitab yang membalas tuduhan
dan menyanggah kesalahan-kesalahan dann kedustaan mereka. Tuntutan ini menghasilkan beberapa
karya ulama antara lain:

Qawaid al-Tahdits karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi. Kitab ini membahas: Hadis Shahih dan
Hadis Hasan, Hadis dhaif, dan Hal-hal yang berkaitan dengan ketiga hadis tersebut.

Miftah al-Sunnah atau Tarikh Funun al-Hadis karya Abd Aziz al-Khuli. Kitab ini menjadi pelopor
pengkajian sejarah Hadis dan perkembangan ilmu-ilmunya.
Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islami karya Dr. Musthafa al-Sibai. Kitab ini membicarakan
hal ikhwal orientalis, serangan mereka terhadap Hadis, dan serangan balik mereka ketika kalah
berargumentasi. Kitab ini juga menyanggah anggapan-anggapan kelompok ingkar al-Sunnah baik
dari generasi terdahulu dan pada saat itu.
Al-Hadis wa al-Muhadditsin karya Dr. Muhammad Abu Zahw. Kitab ini menjelaskan tentang
ketekunan para ulama dalam mengabdi kepada al-Sunnah disertai hasil penelitian kondisi hadis
pada periode pertama yaitu periode sahabat, tabiin sampai periode pembukuan hadis. Kitab ini
juga dilengkapi dengan sanggahan terhadap isu dan anggapan yang bathil berkenaan dengan
hadis.
Al-Manhaj al-Hadis fi Ulum al-Hadis karya Dr. Syekh Muhammad al-simahi, yang menguasai
seluruh cabang Ilmu Hadis secara luas dan komprehensif, begitu juga kaidah-kaidahnya yang
panjang dan mencakup. Kitab ini terbagi atas empat bagian.

Bagian pertama : Sejarah Hadis terdiri atas tiga jilid


Bagian Kedua : Musthalah al-Hadis
Bagian Ketiga : Periwayatan Hadis
Bagian Keempat : Hal Ikhwal para rawi.[40]
Perjalanan sejarah pertumbuhan dan perkembangan Ulum al-Hadis menunjukkan kecintaan umat Islam,
khususnya para ulama kepada ajaran Islam yang murni. Berbagai upaya telah dilakukan agar Ulum alHadis tetap eksis sebagai suatu disiplin ilmu, di antaranya denga menyusun berbagai kitab yang memuat
kaedah-kaedah dan aturan-aturan yang cukupo akurat untuk dipergunakan meneliti, menyeleksi,
menghimpun dan mengklasifikasi hadis dan menyanggah setiap usaha yang mencoba mencederai atau
meremehkan kedudukan hadis Rasul saw..
Kesimpulan

1. Benih-benih Ulm al-Hadts telah tumbuh sejak zaman Rasulullah saw.. sekalipun belum
dinyatakan sebagai ilmu secara eksplisit. Nur al-Din menyebutkan bahwa kelahiran Ulm al-Hadts
berlangsung pada masa sahabat sampai penghujung abad pertama Hijriyah
2. Pada masa tabiin, ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis ialah Ibn Syihab
az-Zuhri (51-124 H). Di samping itu, Imam Al-Syafii menulis kitab al-Risalah yang mengulas kriteria
hadis yang dapat dijadikan hujjah. Kitab al-Risalah merupakan kitab Ulm al-Hadts yang pertama.
3. Dalam catatan sejarah perkembangan hadis, diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil
menyusun ilmu hadis dalam suatu disiplin ilmu secara lengkap, adalah seorang ulama sunni
bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (w.
360 H), dengan kitabnya Al-Muhaddiits al-Fashil baina ar-Rawi wa al-Wai.
4. Abad ketiga sampai pertengahan abad keempat Hijriah merupakan Tahap pembukuan Ilmu Hadis
secara terpisah dan tahap penyusunan Kitab-Kitab Induk Ulm al-Hads dan penyebarannya
bermula pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal abad ketujuh.Tahap kematangan
dan kesempurnaan pembukuan Ulm al-Hadts bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada
abad kesepuluh.

5. Setelah mengalami masa kebekuan dan kejumudan, pengkajian terhadap Ulm al-Hadis semakin
dikembangkan oleh ulama-ulama kontemporer. Tahap ini diistilahkan oleh Nr al-Dn sebagai masa
kebangkitan kedua. Masa kebangkitan kedua bermula pada permulaan abad keempat belas
Hijriyah

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Rislah al-Tauhd. Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Amin, Ahmad. Fajr al-Islam (Cet.11; Cairo: An-Nahdhah al-Mishriyah, 1975.
Hasyim, Ahmad Umar. As-Sunnah an-Nabawiyah wa Ulumuha. Cairo: Maktabah Gharib, t.th.
Ismail, M. Syuhudi Pengantar Ilmu Hadis. Cet. 2; Bandung; Angkasa, 1994.
Itr, Nur al-Din. Manhj al-Naqd fi Ulum al-Hadis, terj. Mujiyo, Ulum Al-Hadits I. Cet. 1; Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994.
Al-Khatib, M. Ajjaj. al-Sunnah Qabla Tadwn, terj. AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum Dibukukan. Cet.
1; Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
-------------Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis. Cet. 1;
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008.
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Edisi Revisi; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
An-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf. Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, jil.IX. Cet. 1;
Cairo: Dar al-Fajr, 1999.
Program Alquran Word
Qardhawi,Yusuf. Kaefa Nataamalu maa al-Sunnah al-Nabawiyah. terj. Muhammad Al-Baqir, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi SAW. Cet. 4; Bandung: Kharisma, 1995.
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadis (Cet.4; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir. Djakarta: Bulan Bintang, 1967.
As-Shalih, Shubhi. Ulum al-Hadits wa mushthalahah. Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1997.
ath-Thahhan, Mahmud. Tafsir Musthalah al-Hadits. Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.
CATATAN KAKI
[1]Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, Edisi Revisi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008), h. 1.
[2]M. Ajjaj Al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwn, diterjemahkan AH. Akrom Fahmi, Hadits Nabi Sebelum

Dibukukan (Cet. 1; Gema Insani Press, 1999), h. 21


[3]Lihat QS. Al-Isra (79): 9. Lihat uraian Muhammad Abduh mengenai wahyu dan Alquran dalam Risalah
al-Tauhid (Cet. 7; Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 144-154 dan h. 185-192.
[4]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sedjarah dan Pengantar Ilmu Tafsir (Djakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 149.
Uraian yang sama terdapat dalam M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Cet. 2; Bandung; Angkasa,
1994), h. 55.
[5]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Cet. 1; Jakarta: Amzah, 2008), h. 16.
[6]Ibid., h. 17-19.
[7]Lihat Yusuf Qardhawi, Kaefa Nataamal maa al-Sunnah al-Nabawiyah. terj. Muhammad Al-Baqir,
Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW (Cet. 4; Bandung: Kharisma, 1995), h. 24.
[8]Hasbi Ash-Shiddieqy, op.cit., h. 45.
[9]Nr al-Dn Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulm al-Hadis, terj. Mujiyo, Ulum Al-Hadits I (Cet. 1; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994), h. 21.
[10]Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis (Cet.4; Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 87.
[11]Abdul Majid Khon, op.cit., h. 78.
[12]Ahmad Amin, Fajr al-Islm (Cet.11; Cairo: An-Nahdhah al-Mishryah, 1975), h. 211.
[13]Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis. terj. M. Qadirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu
Hadis (Cet. 1; Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h. xiv.
[14]Abdul Majid Khon, op.cit., h. 78.
[15]Program alquran Word.
[16]Program Alquran Word.
[17]Program Alquran Word.
[18]Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh An-Nawawi, jil.IX (Cet. 1;
Cairo: Dar al-Fajr, 1999), h. 80.
[19]Abdul Majid Khon, op.cit., h. 79.
[20]Ibid., h. 80.
[21]Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah an-Nabawiyah wa Ulumuha (Cairo; Maktabah Gharib, t.th), h. 363364.
[22]An-Nawawi, op. cit., h. 103.

[23]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 87-88.


[24]Nur al-Din, op.cit., h. 36.
[25]Perjalanan untuk meneliti suatu hadis dideskripsikan dalam Subhi Al-Shalih, op.cit., h. 61-80.
Perjalanan ini diistilahkan dengan Rihlah Checking oleh Abdul Majid Khon, op.cit., h. 80
[26]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 88.
[27]Nur al-Din, op.cit., h. 48.
[28]Shubhi as-Shalih, Ulum al-Hadits wa mushthalahah (Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1997), h. 5.
[29]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 88.
[30]Nur al-Din, op.cit., h. 49.
[31]Ibid.,
[32]Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 5.
[33]Kitab Marifat Ulum al-Hadits ini diikhtiarkan oleh Thahir al-Jazairi (w. 1338 H) dalam kitabnya
berjudul Taujih an-Nazhar
[34]Utang Ranuwijaya, op.cit., h. 89.
[35]Mahmud ath-Thahhan, Tafsir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar ats-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th), h. 12.
[36]Shubhi as-Shalih, op.cit., h. 89.
[37]Nur al-Din, op.cit., h. 49.
[38]Ibid.,
[39]Ibid.,
[40]Ibid.,
Share this article :
Share on FB Tweet Share on G+Submit to Digg

Anda mungkin juga menyukai