MAKALAH
Disusun Oleh:
SEMARANG
2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai mu’jizat Nabi Muhammad merupakan panduan
dasar bagi umat Islam selain Hadis dalam menetapan hukum Islam. Diakui
atau tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan
problem masyarakat arab waktu itu. Dalam menetapkan dan menggali
hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat
untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang
didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh
Wa al-Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan
fiqhiyah.
Nasikh dan Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian
ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan
memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang
termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan
bagaimana sebenarnya Al-Nasakh Wa al-Mansukh. Namun demikian
harus dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan acuan dasar yang
patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pengertian Nasikh Mansukh?
b. Apa saja dasar, rukun dan syarat Naskh?
c. Bagaimana pembagian dan macam naskh dalam Al Qur’an?
d. Bagaimana pendapat para ulama tentang Naskh?
e. Apa saja hikmah adanya Naskh?
C. Tujuan
a. Mengetahui pengertian Nasikh Mansukh
b. Mengetahui dasar, rukun, dan syarat Naskh
c. Mengetahui pembagian dan macam naskh dalam Al Qur’an
d. Mengetahui pendapat para ulama’ tentang naskh
e. Mengetahui hikmah adanya naskh
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Nasikh menurut bahasa ialah
hukum syara’ yang menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau
juga yang mengutip serta mengubah dan mengganti. Adapun makna Nasikh
menurut para Ulama’ secara bahasa ada empat:
a. Bermakna izalah atau menghilangkan
b. Bermakna tabdil atau mengganti
c. Bermakna tahwil atau memalingkan
d. Bermakna menukil atau memindah dari satu tempat ke tempat lain
e. Bermakna takhsis atau mengkhususkan
Adapun dari segi terminologi, para ulama’ mendefinisikan
mendefinisikan naskh dengan “raf’u Al-hukm Al-syar’I “(menghapuskan
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Menghapuskan dalam definisi
tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang
mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau
dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut
istilah para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang
sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum
syara’ yang baru yang datang kemudian.
1
Rosihon anwar. Ulum Al Qur’an. CV Pustaka Setia. Bandung. 2013. Hal: 165-166
2
Opcit. Hal: 168-169
bermakna tholab (tuntutan; perintah atau larangan ), seperti janji (al-wa’d)
dan ancaman (al-wa’id).
5. Pembagian Naskh
Naskh ada 4 bagian :
1) Naskh al-qur’an dengan al-qur’an.
Bagian ini disepakati kebolehannya oleh ulama’ dan telah terjadi dalm
pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang
iddah 4 bulan 10 hari.
2) Naskh al-qur’an dengan as-sunnah.
Naskh ini ada 2 macam :
Naskh Al Qur’an dengan hadis ahad.
Jumhur berpendapat Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadis ahad sebab
Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad
zanni (bersifat dugaan). Disamping tidak sah pula menghapuskan
sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan maznun (diduga).
Naskh Qur’an dengan hadis mutawatir.
Naskh demikian diperbolehkan oleh imam Malik, Abu Hanifah, dan
Ahmad dalam satu riwayat sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Namun dalam suatu riwayat lain, as Syafi’i, Ahli Zahir, dan
Ahmad menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah QS. Al
Baqarah: 106
ماننسخ من اية اوننسهانأت بخيرمنهااومثلها
“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya.”
Sedang hadis tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al Qur’an.
3) Naskh Sunnah dengan Al Qur’an.
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke
Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Al Qur’an
tidak terdapat dalil yang menunjukkannya.
4) Naskh Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat 4 bentuk:
1) Naskh mutawatir dengan mutawatir
2) Naskh ahad dengan ahad
3) Naskh ahad dengan mutawatir
4) Naskh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang dalam bentuk keempat
terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Qur’an dengan hadis ahad,
yang tidak diperbolehkan oleh jumhur.3
3
Manna khalil al-qattann. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.Litera Antarnusa. Rawamangun. 1992. Hal. 325-
334
4) Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi
semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian
individu, atau menghapus hukum yang bersfat mutlaq dengan hukum
yang muqoyyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An Nur ayat 4,
dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan
nama Allah jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam
surat yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh
tiga macam:
1) Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah)
sekaligus, yaitu bacaan dan tulisan ayatnya pun tidak ada lagi
termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan diganti dengan hukum
yang baru. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan
dibaca dan diamalkan. Misalnya, penghapusan ayat tentang
keharaman kawin dengan saudara satu susuan karena sama-sama
menyusu kepada seorang ibu dengan 10 kali susuan dengan 5 kali
susuan saja.
2) Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedang bacaannya tetap ada.
Yaitu tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca, sedangkan isi
hukumnya sudah dihapus atau tidak boleh diamalkan. Misalnya, pada
surat Al Baqarah ayat 240 tentang istri-istri yang dicerai suaminya
harus beriddah 1 tahun dan masih berhak mendapat nafkah dan tempat
tinggal selama iddah. Kemudian dihapus ayat 234 surat Al Baqarah,
sehingga keharusan iddah 1 tahun tidak berlaku lagi.
3) Penghapusan terhadap bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap
berlaku. Sebagaimaa hadits Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab:
“Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah
keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah.....”
4
Opcit. Hal: 328-332
5
Ibid. Hal: 337
6
Acep Hermawan. Ulumul Qur’an. PT Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. 2011. Hal: 170-173
Dinasakh oleh:
فولوجهك شطرالمسجدالحرام
b. Firman Allah:
Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan dan oleh
hadis ke: “Sesungguhnya Allah telah memberikan pada setiap orang yang
mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
c. Firman Allah:
“Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah......”(Al Baqarah:184)
Nasakh itu adakalanya disertai dengan badal (pengganti) dan ada pula
yang tanpa badal. Nasakh dengan badal terkadang badalnya itu lebih ringan,
sebanding dan terkadang pula lebih berat.
III. KESIMPULAN
Naskh ada dua perkara yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara
yang menghilangkan perkara lain, sedangkan Mansukh adalah perkara yang
dihilangkan oleh perkara lain dan diperbolehkan menaskhkan ayat Al-qur’an
dengan Al-qur’an, Al-qur’an dengan hadist, hadist dengan Al-qur’an dan
hadist dengan hadist. Dalam Naskh terdapat syarat dan rukun yang harus
dipenuhi. Banyak perbedaan pendapat dari para ulama’ mengenai nasikh
mansukh yang menimbulkan setuju tidaknya naskh diterapkan. Di sisi lain
juga banyak hikmah yang bisa kita ambil dari pengetahuan tentang naskh.
IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun Kami menyadari makalah ini
jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA