Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM NEO-HAMBALISME

Mata Kuliah : Tauhid / Ilmu Kalam


Dosen Pengampu : Ahmad Sodiq, M.Ag

Disusun Oleh :
Amallia Sobriana (2111100157)
Dea Triana (2111100337)
Lira Agustriani (2111100241)
Rival Afriady (2111100117)
Nada Naurah Putri Azizah (2111100261)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang


senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Dalam makalah ini kami membahas mengenai
Aliran Murjiah. Makalah ini dibuat untuk memperdalam pemahaman mata
kuliah ilmu Kalam.

Kami menyadari bahwa didalam makalah ini masih banyak terdapat


kesalahan dan kekurangan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh karena
itu kami meminta kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan pada
makalah ini diwaktu yang akan datang. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kami pada khususnya dan pembaca umumnya.

Bandar Lampung, 26 Mei 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................1
C. Tujuan Penulisan....................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................2
A. Biografi dan Pendidikan Ibn Hazm........................................3
B. Pemikiran Islam Ibn Hazm.....................................................4
C. Biografi dan Pendidikan Ibnu Taimiyah................................6
D. Pemikiran Islam Ibnu Taimiyah.............................................7
E. Biografi dan Pendidikan Muhammad Ibn Wahhab................11
F. Pemikiran Islam Muhammad Ibn Wahhab.............................12
BAB III PENUTUP..........................................................................14
A. Kesimpulan.............................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kalam adalah bahasan yang sangat familiar jika kita
mempelajari tentang keesaan Alloh SWT. Ilmu kalam tersebutlah yang
dapat membantu kita untuk memahami keesaan Tuhan kita Alloh SWT.
Pengkajian tersebutlah yang dapat membantu kita untuk mengetahui lebih
dalam Alloh SWT.
Dalam ilmu kalam, terdapat pula aliran-aliran. Salah satu dari
aliran tersebut adalah aliran kalam salaf. Salaf secara bahasa mempunyai
arti yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih ulama.
Sangat penting bagi kita dalam mengetahui aliran-aliran dalam
ilmu kalam serta tokoh-tokoh yang berperan pada masa dimana aliran
tersebut muncul. Dalam makalah ini penulis makalah mengambil tema
“Ilmu kalam pada masa Ibnu Taimiyah yang akan dibahas dalam bab
„pembahasan‟ dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Biografi dan Sejarah Pendidikan Ibn Hazm ?
2. Bagaimana Pemikiran Islam Ibn Hazm ?
3. Bagaimana Biografi dan Sejarah Pendidikan Ibn Taimiyah ?
4. Bagaimana Pemikiran Islam Ibn Taimiyah?
5. Bagaimana Biografi dan Sejarah Pendidikan Muhammad Ibn
Wahhab ?
6. Bagaimana Pemikiran Islam Muhammad Ibn Wahhab ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Biografi dan Sejarah Pendidikan Ibn Hazm

1
2. Untuk mengetahui Pemikiran Islam Ibn Hazm
3. Untuk mengetahui Biografi dan Sejarah Pendidikan Ibn Taimiyah
4. Untuk mengetahui Pemikiran Islam Ibn Taimiyah
5. Untuk mengetahui Biografi dan Sejarah Pendidikan Muhammad Ibn
Wahhab
6. Untuk mengetahui Pemikiran Islam Muhammad Ibn Wahhab

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi dan Pendidikan Ibnu Hazm
Pada akhir abad keempat Hijriyah atau akhir abad kesepuluh
Masehi, lahir seorang bayi laki-laki yang kelak menjadi seorang mufakkir
( pemikir ) Islam terkemuka. Bayi yang di maksud adalah Ibnu Hazm,
seorang tokoh besar intelektual muslim Andalus.
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin
Ghalib bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid sedangkan nama
panggilannya, Abu Muhammad, tetapi ia terkenal dengan nama Ibnu
Hazm. Ia lahir pada hari Rabu akhir bulan Ramadhan, sebelum terbitnya
matahari, setelah imam shalat shubuh memberikan salam pada tahun 384
H bertepatan dengan tanggal 8 November 994 M di Cordova, Andalus dan
wafat pada hari terakhir bulan sya’ban tanggal 28 Sya’ban tahun 456 H
bertepatan dengan tanggal 15Agustus 1064 M di Manta Lisham. Dengan
demikian ia berumur 72 Tahun kurang satu bulan.
Walaupun kelahirannya di Andalus, tetapi apabila di telusuri silsilah
sampai kakeknya yang bernama Khallaf sesungguhnya ia masih keturunan
Persia, karena kakeknya itu berasal dari Persia yang kemudian diambil
sebagai budak oleh salah seorang keturunan dari Dinasti Umayyah. Dan
kemudian di merdekakan oleh Yazid. Ketika keluarga Bani Umayyah
berimigrasi ke Andalus sehingga dengan meruntut silsilah Ibnu Hazm itu
sampai kepada kakeknya yang bernama Khallaf telah menimbulkan
anggapan sebagian sejarawan bahwa asal-usul Ibnu Hazm itu adalah dari
Persia. Namun demikian tetap ada sebagian yang lain lagi menganggapnya
masih keturunan Quraisy. Terlepas dari perbedaan sejarawan tentang asal-
usul yang sebenarnya dari Ibnu Hazm, yang jelas leluhur Ibnu Hazm
sangat rapat hubungannya dengan Dinasti Bani Umayyah.
Kerapatan hubungan ini pula yang nantinya membuat Ibnu Hazm
selalu member dukungan terhadap Bani Umayyah. Akan tetapi karena
Ibnu Hazm lahir di Cordova ( qurtubah ) Andalus, maka sering ia di

3
nisbahkan kekota tempat kelahirannya, sehingga ia sering disebut Ibnu
Hazm al-Qurtuby. Ayahnya bernama Ahmad Ibnu Sa’id termasuk salah
seorang wazir ( menteri ) Hajib al-Mansur dan putranya al-Muzaffar,
diangkat menduduki jabatan itu pada tahun 381 H, tiga tahun sebelum ia di
lahirkan.

B. Pemikiran Hukum Islam Ibnu Hazm


1. Pemikiran Ibnu Hazm dalam bidang Fiqih
Pemikiran Ibnu Hazm dalam bidang fiqh umumnya dapat
ditemukan dalam kitab almuhalla. Bidang yang dibahas dalam kitab
tersebut mencakup hampir seluruh bagian fiqh, mulai dari ibadah,
muamalah, munakahat, jinayat dan ‘uqubah. Pemikiran Ibnu Hazm dalam
bidang fiqh antara lain :
a. Tidak boleh melakukan ‘azl (coitus interuptus/ senggama
terputus).
Pendapat ini berdasarkan hadis dari Jadamah binti Wahab,
yang berkata “saya hadir ketika Rasulullah berada di tengah
umatnya, lalu mereka bertanya tentang senggama terputus,
Rasulullah menjawab “yang demikian itu (senggama terputus)
adalah pembunuhan terselubung”. (HR.Muslim). Hadis tersebut
adalah hadis yang paling sahih di antara hadishadis tentang coitus
interuptus.
b. Mushaf al-Qur’an boleh disentuh oleh orang yang dalam
keadaan junub atau orang yang tidak dalam keadaan berwudhu.
Argumen untuk mendukung kebenaran pendapat ini adalah
bahwa Rasululah pernah berkirim surat dalam rangka
berdakwah kepada orang yang masih dalam kekafiran. Orang
kafir sudah barang tentu dalam keadaan junub atau setidaknya
tidak dalam keadaan berwudhu. Padahal dalam surat yang
dikirimkan Rasulullah tersebut terdapat ayat al-Quran. Dengan

4
demikian mereka telah membaca dan menyentuh ayat al-Quran
dalam surat nabi tersebut.
Seandainya ayat al-Quran tak boleh disentuh oleh orang
yang junub dan/atau tidak berwudhu, maka tentu Rasulullah
tidak menuliskan satu ayatpun di dalam surat tersebut, sebab
surat tersebuit pasti disentuh/dipegang oleh penerima yang
kafir itu.
Tindakan Rasulullah ini merupakan dalil bahwa al-Quran
boleh disentuh oleh orang junub dan/ atau tidak berwudhu.
Adapun QS. Al-Waqi’ah 56:79 yang menyatakan “tidak
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” menurut
az-Zahiri adalah susunan kalimat berita (khabariyah), bukan
kalimat perintah (insha’iyah). Kalimat berita tidak mengandung
makna perintah, sehingga tidak menghasilkan hukum wajib
atau sunnah. Memalingkan lafal khabariyah kepada insha’iyah
tidak diperbolehkan, kecuali ada nash atau ijmak.
c. Kulit bangkai yang disamak, termasuk kulit babi,anjing dan
binatang buas, adalah suci.
Apabila kulit hewan tersebut telah disamak, maka kita
dihalalkan untuk menjual kulit hewan tersebut dan
diperbolehkan salat dengan memakai benda tersebut. Yang
dikecualikan Ibnu Hazm hanyalah kulit manusia. Menurut Ibnu
Hazm, kulit manusia tidak halal disamak, meskipun ia orang
kafir.
Pendapat ini berdasarkan hadis dari Ibn Abbas yang
meriwayatkan dari rasulullah “kulit apa saja yang disamak
adalah suci”. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat
jumhur ulama’ yang berpendapat bahwa kulit hewan yang
disamak dapat dinilai suci apabla hukum asal hewan tersebut
adalah suci. Karena itu jumhur berpendapat bahwa hasil

5
samakan kulit babi dan anjing (yang hukum asal keduanya
adalah najis) hukumnya najis.1

C. Biografi dan Pendidikan Ibnu Taimiyah


Asy-Syaikh rahimahullah bernama lengkap Abul Abbas Ahmad
bin Abdul Halim bin Abdussalam bin Abdullah bin al-Khadhir bin
Muhammad. Beliau dilahirkan dikota Harran pada hari senin tepatnya 10
Rabi’ul Awwal 661 H, sekitar lebih kurang 8 abad silam. Adalah beliau,
salah satu dari sedikitnya manusia yang Allah beri nikmat berupa tumbuh
di keluarga ulama dan cendikia yang sehari-harinya bergulat dengan ilmu.
Kondisi itu pulalah yang mula-mula membentuk jiwa serta menumbuhkan
semangat ilmu beliau, yang kemudian sampai hari ini tidak samar dalam
diktat-diktat tarikh perihal keperkasaan beliau rahimahullah.

Ibnu Taimiyah kecil tumbuh bersama dengan konfrontasi-


konfrontasi Mongol yang kala itu kian rumit. Bagaimana tidak, Mongol
saat itu sudah meluluh lantakkan kekuasaan umat Islam di belahan dunia
timur, saat Ibnu Taimiyah masih dalam usia yang amat emosional kala itu.
Beliau menjalani hidup bersama dengan kekejaman Mongol yang tentu
saja membekas dijiwa, satu hal yang mendasari beliau besok lusa menjadi
tokoh vital pemersatu umat untuk menggulingkan Mongol pada kalanya.

Meski lahir di Harran, Ibnu Taimiyah tumbuh di Damaskus,


sebuah tempat yang menerima Ibnu Taimiyah dan keluarga, sebuah negeri
tempat bernaungnya ilmu (kala itu), serta tempat dimana ruh-ruh
kecerdasan berkumpul. Yang demikian itu ialah sebuah takdir yang elok
untuk Ibnu Taimiyah kecil setelah sebelumnya beliau dan keluarga terusir
oleh imperialisme Mongol.

Ibnu Taimiyah merupakan pribadi yang ajaib, satu dari sedikitnya


manusia yang Allah anugrahi akal yang cemerlang serta mata batin yang
terang. Telah cukup jamak prestasi beliau yang menjadi potret akan
kualitas keilmuan beliau sebagai seorang ulama. Semisal dalam usia yang
amat belia (19 tahun) beliau sudah dipercayakan menjadi guru besar hadits
di Damaskus menggantikan ayahnya yang baru saja meninggal dunia.

Ibnu Taimiyah adalah insan yang terilhami ilmu dari setiap sudut
cabangnya. Oleh karena itu, tidak kita dapati lembar-lembar sejarah
mewartakan beliau ahli dalam bidang ilmu tertentu saja. Kendali demikian,
1
Ibn Hazm, an-Nabzat al-Kaifiyyat fi Ahkām Uṣhūl al-Dĩn, ( Beirut : Dār al-Kitab
alIlmiyyah, 1985 ), hal. 70-71

6
Ibnu Taimiyah paham betul penyakit umat kala itu, bahwa kemurnian
akidah umat kian terancam ditengah derasnya kerancuan filsafat yang
menyamar dan menyambar akidah Islam lewat teologi mu`tazilah,
mistifikasi-mistifikasi yang mengaburkan akal sehat, serta tokoh-tokoh
kebid`ahan dan kesyirikan yang menjamur. Maka dari itu beliau berikhtiar
dengan sungguh, berkonsentrasi secara fokus untuk melestarikan dan
memagari kembali kemurnian aqidah umat.

Ibnu Taimiyah adalah satu diantara tidak banyak tokoh yang


diberikan kebencian berlebih terhadap segala varian modifikasi syariat
(bid’ah) terutama dalam akidah. Dan adalah Ahmadiyyah, kisrawaniyyah,
rafidhah, mu`tazilah, filsafat pantheisme, sampai tokoh-tokoh mistik dan
yang semisal dengan mereka, secara tegas mendapat kritik-kritik dan
pembungkaman dari Ibnu Taimiyah serta interupsi-interupsi yang tajam.
Bagi ibnu Taimiyah, keseluruhan varian modifiaksi syariat adalah asbab
yang cukup logis dari degredasi umat islam, suatu hal yang patut untuk
disegerakan pernyelesaiannya.

Meski ibnu Taimiyah diilhami kecemerlangan akal dan


kemampuan nalar diatas rata-rata, dalam karya tulis beliau yang jamak
tidak kita dapati bahwa beliau menempakkan akal pada hierarki puncak
sebagai intrumen beragama dan memahami hakikat ilmu dalam islam.

D. Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyah


Metode berfikir Ibnu Taimiyyah secara rinci dapat dilihat dalam
bukunya Majmu>' al-Fata>wa> (kumpulan fatwa-fatwa). Dalam buku ini,
nampak sekali komitmen Ibnu Taimiyyah sebagai orang yang kuat
berpegang pada salaf. Metode berfikirnya adalah metode salaf yang
bersumber pada al-Qur'an dan hadith. Karena itu, pendapat-pendapatnya
sarat dengan al-Qur'an dan hadist.
Setiap ahli fiqh dari keempat imam madzhab yang sudah kita
kenal, masing-masing mempunyai dasar-dasar pokok sebagai sandaran dan
tempat kembalinya di dalam pengambilan hukum. Ibnu Taimiyyah
bukanlah imam madzhab yang mempunyai dasar-dasar pokok,
sebagaimana keempat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali).
Hukum-hukum fiqh yang ia istinbatkan bersandar kepada imam
madzhabnya, yaitu imam Ahmad bin Hanbal.

7
Meskipun secara umum ushul fiqh Ibnu Taimiyyah sama dengan
ushul fiqh Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam beberapa hal, ada perbedaan
antara keduanya. Perbedaan-perbedaab tersebut adalah sebagi berikut :

1. Ibnu Taimiyyah meletakkan hadith sebagai sumber hukum kedua


setelah al-Qur'an. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal fatwa sahabat
sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur'an dan sunnah.
2. Ibnu Taimiyyah meletakkan ijma' sebagai sumber hukum yang ketiga.
Sedangkan sumber hukum yang ketiga bagi Imam Ahmad bin Hanbal
adalah hadith mursal dan hadith da'if. Ditempatkannya ijma' pada
urutan ketiga oleh Ibnu Taimiyyah bukan tanpa alasan. Ia merujuk
pada beberapa asar para sahabat Nabi, di antaranya ucapan Umar bin
al-Khattab yang berkata "Putuskanlah perkara itu menurut hukum yang
ada dalam Kitab Allah. Kalau tidak ada (dalam al-Qur'an), putuskanlah
sesuai dengan sunnah Rasul, dan kalau tidak ada  (dalam sunnah
Rasul), putuskanlah berdasarkan hukum yang telah disepakati oleh
umat manusia".
3. Sumber hukum yang keempat yang digunakan oleh Ibnu Taimiyyah
adalah qiyas. Ibnu Taimiyyah membagi qiyas dalam dua macam, yaitu
qiyas sahih (analogi yang didasarkan pada persamaan illat yang jelas)
dan qiyas fasid (analogi yang didasarkan pada illat yang dibuat-buat).

Selanjutnya Dr. Muhammad Yusuf Musa dalam bukunya yang


berjudul Ibnu Taimiyyah menyebutkan bahwa ushul fiqh yang mewarnai
fiqh dan hukum-hukum syar'i yang diambil oleh Ibnu Taimiyyah adalah
sebagai berikut:
1. Kitab dan Sunnah
Al-Qur'an dan hadith merupakan sumber utama dari
pengambilan hukum Islam. Mengenai hadith, Ibnu Taimiyyah
membaginya menjadi tiga macam:
a. Pertama : Sunnah Mutawatirah, yaitu sunnah Rasul yang
menafsirkan al-Qur'an dan tidak bertentangan dengan
dhahirnya. Misalnya, mengenai jumlah shalat fardhu dan
rakaatnya sehari semalam, ukuran nisab zakat, manasik
haji, dan lain sebagainya.

8
b. Kedua : Sunnah Mutawatirah tetapi tidak menjadi tafsiran
dari al-Qur'an, atau yang pada dhahirnya bertentangan
dengannya, tapi membawa hukum baru, seperti hadith-
hadith yang mendatangkan hukum baru yang tidak terdapat
dalam nash, tapi tidak bertentangan pada dhahirnya.
Misalnya, nisabnya mencuri, rajamnya bagi pezina, dan lain
sebagainya.  
c. Ketiga : khabar ahad yang sampai kepada kita melalui
riwayat-riwayat yang kuat (thiqa>t) dari riwayat-riwayat
yang kuat pula. Ibnu Taimiyyah menganggap ini sebagai
hujjah atau salah satu dalil pokok dari ushul fiqh.
Ibnu Taimiyyah benar-benar memperhatikan sunnah dan
mengamalkannya sebaik mungkin jika ia shahih, meskipun hadith itu
berupa khabar ahad. Menurut Ibnu Taimiyyah, menolak hadith tersebut
berarti menentang keumuman al-Qur'an  maupun dhahirnya. Pendapat ini
senada dengan Abu Hanifah, dan Imam Malik yang juga menambahkan
bahwa menolak hadith tersebut berarti menentang praktek penduduk
Madinah.
2. Ijma’
Ijma' yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin adalah
ijma' yang dilakukan oleh para sahabat. Ijma' yang dilakukan
oleh ulama'-ulama' selain mereka keabsahannya diragukan.
Sebab itu tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Mengenai ijma' yang datang setelah para sahabat ini, Ibnu
Taimiyyah berpendapat bahwa jika para ulama' ijma' atas suatu
hukum, maka tak seorang pun boleh keluar dari ijma' itu karena
suatu umat tidaklah berijma' atas sesuatu kesesatan. Namun
Ibnu Taimiyyah tak berhenti sampai di situ, ijma' itupun harus
mempunyai sandaran kembali dari nash al-Qur'an dan hadith.
Ijma' yang seperti inilah yang dia anggap patut dijadikan salah
satu hujjah atau dalil hukum.
3. Qiyas
Qiyas yang dimaksud di sini adalah qiyas yang shahih yang
sesuai dengan nash, pernah dilakukan oleh sahabat dalam
pengambilan hukum, dan dinyatakan oleh Rasulullah serta

9
menanggapi kebenarannya sewaktu beliau hidup dan melihat
ada sahabat yang melakukannya.
Dalam risalahnya, Ibnu Taimiyyah menerangkan tentang
qiyas yang benar, bentuk dan syarat yang harus dimiliki dan
didapat dalam qiyas itu, yaitu:
a.       'Illat hukum tasyri' yang terdapat dalam asal harus juga ada
di dalam cabang (furu'), tanpa ada pertentangan dalam cabang
yang menjadi penyebab terlarang penentuan hukum 'illah itu.
b.      Qiyas dengan pembatalan pembeda antara dua bentuk itu
(asal dan cabang). Antara keduanya, asal dan cabang tidak
boleh ada pembeda yang mempengaruhi syara'.
Menurut Ibnu Taimiyyah, qiyas yang shahih adalah qiyas yang
sejalan dengan nash. Nash tak pernah bertentangan dengan qiyas.
Sedangkan qiyas yang salah bisa bertentangan dengan nash. Dalam syari'at
tak ada suatu perkara yang bertentangan dengan qiyas.
4. Istishab
Menurut Ibnu Taimiyyah, istishab adalah tetap berpegang
pada hukum asal, selama hukum itu belum diketahui tetap ada
atau sudah diubah menurut syara'. Ia adalah hujjah bagi
ketidak-adaan ittifa>q.
Jika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu masalah yang
sedang hangat terjadi di masyarakatnya, kemudian dia diminta
pendapatnya, dan tidak mendapatkan nash dari al-Qur'an
hukum masalah itu, mubah atau haram, maka dia harus
memilih mubahnya, sebab asal dari segala sesuatu itu mubah,
kecuali yang sudah diharamkan oleh syara'. Ibahah atau
pembolehan itu merupakan keadaan yang keseluruhan ciptaan
Allah yang ada di atas bumi. Jika tak ada hukum syara' yang
menentukan perubahan ibahah itu, maka ia pun tetap berada
dalam hukum mubah (hukum asal).
5. Mashlahah Mursalah
Ibnul Qayyim, murid Ibnu Taimiyyah, benar-benar
memberikan perhatiannya yang tidak sedikit kepada fiqh imam
Ahmad bin Hanbal. Namun ketika berbicara mengenai ushul

10
fiqh, dia tidak membicarakan masalah maslahah mursalah,
padahal madzhab-madzhab yang lain membicarakannya.
Namun dalam salah satu buku yang membicarakan tentang
usul fiqh, Ibnu Taimiyyah membicarakan pula maslahah
mursalah. Namun dia ragu-ragu mengenai hakikat dan
kebenarannya, dan ragu-ragu menerimanya. Hal ini
dikarenakan pada masanya penuh dengan berbagai aliran
pemikiran sesat, filsafat dan sufi, serta arus pemikiran lain yang
menentang Islam. Sebagian sultan dan raja mempergunakan
pakain tertentu dengan maksud dan keyakinan dapat menolak
bahaya yang datang, dan lain sebagainya.
Jumhur ulama' menolak maslahah mursalah secara mutlak.
Cuma Imam Malik yang menerimanya secara mutlak. Hal ini
sebenarnya cukup mengherankan, sebab Ibnu Taimiyyah, Ibnul
Qayyim, sama-sama menetapkan ushul hukum maslahah
mursalah ini dalam berbagai ketetapan hukum fiqh, seperti
dapat kita baca dari kitab-kitabnya.2

E. Biografi dan Pendidikan Muhammad Ibn Abdul Wahhab


Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115
H (1701 M) di kampung 'Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat
laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Beliau meninggal dunia
pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92 tahun, setelah
mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam memangku jabatan sebagai
menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi .

Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab berkembang dan dibesarkan


dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah ketua jabatan agama
setempat. Sedangkan datuknya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat
di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang
bersangkutan dengan agama. Oleh kerana itu, kita tidaklah hairan apabila
kelak beliau juga menjadi seorang ulama besar seperti datuknya.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin
'Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dan ditempa jiwanya
dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Tuan Syeikh
'Abdul Wahab.

2
Abu Zakariya, Rishky, Biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, (artikel),
Jakarta: Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam Indonesia, 21 Juli 2013.

11
Sejak kecil lagi Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab sudah
kelihatan tanda-tanda kecerdasannya. Beliau tidak suka membuang masa
dengan sia-sia seperti kebiasaan tingkahlaku kebanyakan kanak-kanak lain
yang sebaya dengannya. Berkat bimbingan kedua ibu bapanya, ditambah
dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin 'Abdul
Wahab telah berjaya menghafaz al-Qur'an 30 juz sebelum berusia sepuluh
tahun. Setelah beliau belajar pada ibu bapanya tentang beberapa bidang
pengajian dasar yang meliputi bahasa dan agama, beliau diserahkan oleh
ibu bapanya kepada para ulama setempat sebelum dikirim oleh ibu
bapanya ke luar daerah.

F. Pemikiran Hukum Islam Muhammad Ibn Wahhab


Muhammad Ibnu Abdul Wahhab kecil telah ditempa dengan
pendidikan agama yang kuat, baik dari keluarga maupun lingkungan yang
masih murni tingkat keIslamannya. Darah Arab yang mengalir dalam
tubuhnya, melahirkan citra watak yang khas, gandrung dengan kebebasan
dan petualangan. Kecemerlangan otak Ibnu Abdul Wahhab semakin
kentara ketika Ia banyak belajar filsafat dan sufi serta petualangan
intelektual lain diluar tempat kelahirannya. Bahkan untuk beberapa waktu
Ibnu Abdul Wahhab telah mengajarkan sufisme. Sekembalinya ke rumah
dalam usia empat puluh tahun, dimana kemapanan kondisi
psikologis,kematangan berpikir dan pemahaman telah mencapai
puncaknya, Ibnu Abdul Wahhab mulai mengajarkan doktrin-doktrinnya.
Untuk pemikiran atau doktrin ajaran Muhammad Ibnu Abdul
Wahhab dapat dilihat dari dua sumber, yaitu :
1. Pertama, buku-buku karyanya dan
2. Kedua, pendapat atau analis ahli sejarah.
a. Pertama, lewat kitab At Tauhid. Dalam terjemahan Thahir
Badrie,Ibnu Abdul Wahhab mengartikan tauhid sebagai
dasar ajarannya. Tauhid menurut bahasa berarti meyakini
keesaan Allah, menganggap hanya ada satu Tuhan tidak
ada yang lain. Secara istilah tauhid berarti bahwa di dunia
ini hanya ada satu Tuhan, Allah Rabul Alamin. Menurutnya
tauhid dibagi menjadi dua. Pertama, tauhid Uluhiyah, yaitu
kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat ke Tuhanan itu
hanyalah milik Allah belaka. Kedua, tauhid Rububiyah,
yakni kepercayaan bahwa pencipta alam ini adalah Allah,
tapi ia tidak mengabdi kepadanya saja.
b. Kedua, tentang kekhawatiran pada syirik. Riya merupakan
salah satu bentuk syirik ringan dan orang-orang saleh
dikhawatirkan terjerumus ke dalamnya.
c. Ketiga, bernadzar atau bersumpah untuk selain Allah
adalah perbuatan syirik.
d. Keempat, mencari perlindungan kepada selain Allah
merupakan bagian dari syirik 

12
e. Kelima, mencari pertolongan selain Allah atau berdoa
kepada selainNya merupakan perbuatan syirik
f. Keenam,masalah syafaat adalah hak Allah dan diberikan
kepada orang yang diridhoiNya.
g. Ketujuh, kutukan bagi orang yang menyembah Allah di
kuburan orang saleh. Nabi Muhammad SAW melarang
dengan keras menjadikan kuburannya sebagai masjid,
seperti umat Nasrani dan Yahudi.
h. Kedelapan, janganlah manusia membuat sekutu-sekutu bagi
Allah3

3
Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid, terj. Muhammad Yusuf Harun (Jakarta: Darul
Haq, 2013), vii.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang dipaparkan oleh penulis, kita dapat
menyimpulkan:
1. Dalam salaf, orang yang dianut merupakan orang orang
terdahulu yang dianut. Orang terdahulu tersebut adalah ulama
terdahulu. Dlama hal ini orang terdahulu yang dianut adalah
generasi pertama dan terbaik dari umat (Islam), yang terdiri dari
para Sahabat, tabi‟in, Tabi‟ut Tabi‟in dan para Imam pembawa
petunjuk pada tiga kurun (generasi atau masa) pertama.
2. Ibnu Taimiyah merupakan ulama yang berpegang teguh pada
madzab Imam Ahmad bin Hambal yang dimana pada prinsip
pemikirannya lebih mengutamakan pendapat terdahulu
dibandingkan dengan akal.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ibn Hazm, an-Nabzat al-Kaifiyyat fi Ahkām Uṣhūl al-Dĩn, ( Beirut : Dār


al-Kitab alIlmiyyah, 1985 ), hal. 70-71
Abu Zakariya, Rishky, Biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah, (artikel), Jakarta: Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam
Indonesia, 21 Juli 2013.
Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid, terj. Muhammad Yusuf Harun
(Jakarta: Darul Haq, 2013).

15

Anda mungkin juga menyukai