Disusun Oleh :
Amallia Sobriana (2111100157)
Dea Triana (2111100337)
Lira Agustriani (2111100241)
Rival Afriady (2111100117)
Nada Naurah Putri Azizah (2111100261)
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................1
A. Latar Belakang.......................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................1
C. Tujuan Penulisan....................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................2
A. Biografi dan Pendidikan Ibn Hazm........................................3
B. Pemikiran Islam Ibn Hazm.....................................................4
C. Biografi dan Pendidikan Ibnu Taimiyah................................6
D. Pemikiran Islam Ibnu Taimiyah.............................................7
E. Biografi dan Pendidikan Muhammad Ibn Wahhab................11
F. Pemikiran Islam Muhammad Ibn Wahhab.............................12
BAB III PENUTUP..........................................................................14
A. Kesimpulan.............................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kalam adalah bahasan yang sangat familiar jika kita
mempelajari tentang keesaan Alloh SWT. Ilmu kalam tersebutlah yang
dapat membantu kita untuk memahami keesaan Tuhan kita Alloh SWT.
Pengkajian tersebutlah yang dapat membantu kita untuk mengetahui lebih
dalam Alloh SWT.
Dalam ilmu kalam, terdapat pula aliran-aliran. Salah satu dari
aliran tersebut adalah aliran kalam salaf. Salaf secara bahasa mempunyai
arti yang terdahulu (nenek moyang), yang lebih tua dan lebih ulama.
Sangat penting bagi kita dalam mengetahui aliran-aliran dalam
ilmu kalam serta tokoh-tokoh yang berperan pada masa dimana aliran
tersebut muncul. Dalam makalah ini penulis makalah mengambil tema
“Ilmu kalam pada masa Ibnu Taimiyah yang akan dibahas dalam bab
„pembahasan‟ dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Biografi dan Sejarah Pendidikan Ibn Hazm ?
2. Bagaimana Pemikiran Islam Ibn Hazm ?
3. Bagaimana Biografi dan Sejarah Pendidikan Ibn Taimiyah ?
4. Bagaimana Pemikiran Islam Ibn Taimiyah?
5. Bagaimana Biografi dan Sejarah Pendidikan Muhammad Ibn
Wahhab ?
6. Bagaimana Pemikiran Islam Muhammad Ibn Wahhab ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Biografi dan Sejarah Pendidikan Ibn Hazm
1
2. Untuk mengetahui Pemikiran Islam Ibn Hazm
3. Untuk mengetahui Biografi dan Sejarah Pendidikan Ibn Taimiyah
4. Untuk mengetahui Pemikiran Islam Ibn Taimiyah
5. Untuk mengetahui Biografi dan Sejarah Pendidikan Muhammad Ibn
Wahhab
6. Untuk mengetahui Pemikiran Islam Muhammad Ibn Wahhab
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi dan Pendidikan Ibnu Hazm
Pada akhir abad keempat Hijriyah atau akhir abad kesepuluh
Masehi, lahir seorang bayi laki-laki yang kelak menjadi seorang mufakkir
( pemikir ) Islam terkemuka. Bayi yang di maksud adalah Ibnu Hazm,
seorang tokoh besar intelektual muslim Andalus.
Nama lengkapnya adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin
Ghalib bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid sedangkan nama
panggilannya, Abu Muhammad, tetapi ia terkenal dengan nama Ibnu
Hazm. Ia lahir pada hari Rabu akhir bulan Ramadhan, sebelum terbitnya
matahari, setelah imam shalat shubuh memberikan salam pada tahun 384
H bertepatan dengan tanggal 8 November 994 M di Cordova, Andalus dan
wafat pada hari terakhir bulan sya’ban tanggal 28 Sya’ban tahun 456 H
bertepatan dengan tanggal 15Agustus 1064 M di Manta Lisham. Dengan
demikian ia berumur 72 Tahun kurang satu bulan.
Walaupun kelahirannya di Andalus, tetapi apabila di telusuri silsilah
sampai kakeknya yang bernama Khallaf sesungguhnya ia masih keturunan
Persia, karena kakeknya itu berasal dari Persia yang kemudian diambil
sebagai budak oleh salah seorang keturunan dari Dinasti Umayyah. Dan
kemudian di merdekakan oleh Yazid. Ketika keluarga Bani Umayyah
berimigrasi ke Andalus sehingga dengan meruntut silsilah Ibnu Hazm itu
sampai kepada kakeknya yang bernama Khallaf telah menimbulkan
anggapan sebagian sejarawan bahwa asal-usul Ibnu Hazm itu adalah dari
Persia. Namun demikian tetap ada sebagian yang lain lagi menganggapnya
masih keturunan Quraisy. Terlepas dari perbedaan sejarawan tentang asal-
usul yang sebenarnya dari Ibnu Hazm, yang jelas leluhur Ibnu Hazm
sangat rapat hubungannya dengan Dinasti Bani Umayyah.
Kerapatan hubungan ini pula yang nantinya membuat Ibnu Hazm
selalu member dukungan terhadap Bani Umayyah. Akan tetapi karena
Ibnu Hazm lahir di Cordova ( qurtubah ) Andalus, maka sering ia di
3
nisbahkan kekota tempat kelahirannya, sehingga ia sering disebut Ibnu
Hazm al-Qurtuby. Ayahnya bernama Ahmad Ibnu Sa’id termasuk salah
seorang wazir ( menteri ) Hajib al-Mansur dan putranya al-Muzaffar,
diangkat menduduki jabatan itu pada tahun 381 H, tiga tahun sebelum ia di
lahirkan.
4
demikian mereka telah membaca dan menyentuh ayat al-Quran
dalam surat nabi tersebut.
Seandainya ayat al-Quran tak boleh disentuh oleh orang
yang junub dan/atau tidak berwudhu, maka tentu Rasulullah
tidak menuliskan satu ayatpun di dalam surat tersebut, sebab
surat tersebuit pasti disentuh/dipegang oleh penerima yang
kafir itu.
Tindakan Rasulullah ini merupakan dalil bahwa al-Quran
boleh disentuh oleh orang junub dan/ atau tidak berwudhu.
Adapun QS. Al-Waqi’ah 56:79 yang menyatakan “tidak
menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan” menurut
az-Zahiri adalah susunan kalimat berita (khabariyah), bukan
kalimat perintah (insha’iyah). Kalimat berita tidak mengandung
makna perintah, sehingga tidak menghasilkan hukum wajib
atau sunnah. Memalingkan lafal khabariyah kepada insha’iyah
tidak diperbolehkan, kecuali ada nash atau ijmak.
c. Kulit bangkai yang disamak, termasuk kulit babi,anjing dan
binatang buas, adalah suci.
Apabila kulit hewan tersebut telah disamak, maka kita
dihalalkan untuk menjual kulit hewan tersebut dan
diperbolehkan salat dengan memakai benda tersebut. Yang
dikecualikan Ibnu Hazm hanyalah kulit manusia. Menurut Ibnu
Hazm, kulit manusia tidak halal disamak, meskipun ia orang
kafir.
Pendapat ini berdasarkan hadis dari Ibn Abbas yang
meriwayatkan dari rasulullah “kulit apa saja yang disamak
adalah suci”. Pendapat ini bertentangan dengan pendapat
jumhur ulama’ yang berpendapat bahwa kulit hewan yang
disamak dapat dinilai suci apabla hukum asal hewan tersebut
adalah suci. Karena itu jumhur berpendapat bahwa hasil
5
samakan kulit babi dan anjing (yang hukum asal keduanya
adalah najis) hukumnya najis.1
Ibnu Taimiyah adalah insan yang terilhami ilmu dari setiap sudut
cabangnya. Oleh karena itu, tidak kita dapati lembar-lembar sejarah
mewartakan beliau ahli dalam bidang ilmu tertentu saja. Kendali demikian,
1
Ibn Hazm, an-Nabzat al-Kaifiyyat fi Ahkām Uṣhūl al-Dĩn, ( Beirut : Dār al-Kitab
alIlmiyyah, 1985 ), hal. 70-71
6
Ibnu Taimiyah paham betul penyakit umat kala itu, bahwa kemurnian
akidah umat kian terancam ditengah derasnya kerancuan filsafat yang
menyamar dan menyambar akidah Islam lewat teologi mu`tazilah,
mistifikasi-mistifikasi yang mengaburkan akal sehat, serta tokoh-tokoh
kebid`ahan dan kesyirikan yang menjamur. Maka dari itu beliau berikhtiar
dengan sungguh, berkonsentrasi secara fokus untuk melestarikan dan
memagari kembali kemurnian aqidah umat.
7
Meskipun secara umum ushul fiqh Ibnu Taimiyyah sama dengan
ushul fiqh Imam Ahmad bin Hanbal. Dalam beberapa hal, ada perbedaan
antara keduanya. Perbedaan-perbedaab tersebut adalah sebagi berikut :
8
b. Kedua : Sunnah Mutawatirah tetapi tidak menjadi tafsiran
dari al-Qur'an, atau yang pada dhahirnya bertentangan
dengannya, tapi membawa hukum baru, seperti hadith-
hadith yang mendatangkan hukum baru yang tidak terdapat
dalam nash, tapi tidak bertentangan pada dhahirnya.
Misalnya, nisabnya mencuri, rajamnya bagi pezina, dan lain
sebagainya.
c. Ketiga : khabar ahad yang sampai kepada kita melalui
riwayat-riwayat yang kuat (thiqa>t) dari riwayat-riwayat
yang kuat pula. Ibnu Taimiyyah menganggap ini sebagai
hujjah atau salah satu dalil pokok dari ushul fiqh.
Ibnu Taimiyyah benar-benar memperhatikan sunnah dan
mengamalkannya sebaik mungkin jika ia shahih, meskipun hadith itu
berupa khabar ahad. Menurut Ibnu Taimiyyah, menolak hadith tersebut
berarti menentang keumuman al-Qur'an maupun dhahirnya. Pendapat ini
senada dengan Abu Hanifah, dan Imam Malik yang juga menambahkan
bahwa menolak hadith tersebut berarti menentang praktek penduduk
Madinah.
2. Ijma’
Ijma' yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin adalah
ijma' yang dilakukan oleh para sahabat. Ijma' yang dilakukan
oleh ulama'-ulama' selain mereka keabsahannya diragukan.
Sebab itu tidak bisa dijadikan dasar hukum.
Mengenai ijma' yang datang setelah para sahabat ini, Ibnu
Taimiyyah berpendapat bahwa jika para ulama' ijma' atas suatu
hukum, maka tak seorang pun boleh keluar dari ijma' itu karena
suatu umat tidaklah berijma' atas sesuatu kesesatan. Namun
Ibnu Taimiyyah tak berhenti sampai di situ, ijma' itupun harus
mempunyai sandaran kembali dari nash al-Qur'an dan hadith.
Ijma' yang seperti inilah yang dia anggap patut dijadikan salah
satu hujjah atau dalil hukum.
3. Qiyas
Qiyas yang dimaksud di sini adalah qiyas yang shahih yang
sesuai dengan nash, pernah dilakukan oleh sahabat dalam
pengambilan hukum, dan dinyatakan oleh Rasulullah serta
9
menanggapi kebenarannya sewaktu beliau hidup dan melihat
ada sahabat yang melakukannya.
Dalam risalahnya, Ibnu Taimiyyah menerangkan tentang
qiyas yang benar, bentuk dan syarat yang harus dimiliki dan
didapat dalam qiyas itu, yaitu:
a. 'Illat hukum tasyri' yang terdapat dalam asal harus juga ada
di dalam cabang (furu'), tanpa ada pertentangan dalam cabang
yang menjadi penyebab terlarang penentuan hukum 'illah itu.
b. Qiyas dengan pembatalan pembeda antara dua bentuk itu
(asal dan cabang). Antara keduanya, asal dan cabang tidak
boleh ada pembeda yang mempengaruhi syara'.
Menurut Ibnu Taimiyyah, qiyas yang shahih adalah qiyas yang
sejalan dengan nash. Nash tak pernah bertentangan dengan qiyas.
Sedangkan qiyas yang salah bisa bertentangan dengan nash. Dalam syari'at
tak ada suatu perkara yang bertentangan dengan qiyas.
4. Istishab
Menurut Ibnu Taimiyyah, istishab adalah tetap berpegang
pada hukum asal, selama hukum itu belum diketahui tetap ada
atau sudah diubah menurut syara'. Ia adalah hujjah bagi
ketidak-adaan ittifa>q.
Jika seorang mujtahid dihadapkan pada suatu masalah yang
sedang hangat terjadi di masyarakatnya, kemudian dia diminta
pendapatnya, dan tidak mendapatkan nash dari al-Qur'an
hukum masalah itu, mubah atau haram, maka dia harus
memilih mubahnya, sebab asal dari segala sesuatu itu mubah,
kecuali yang sudah diharamkan oleh syara'. Ibahah atau
pembolehan itu merupakan keadaan yang keseluruhan ciptaan
Allah yang ada di atas bumi. Jika tak ada hukum syara' yang
menentukan perubahan ibahah itu, maka ia pun tetap berada
dalam hukum mubah (hukum asal).
5. Mashlahah Mursalah
Ibnul Qayyim, murid Ibnu Taimiyyah, benar-benar
memberikan perhatiannya yang tidak sedikit kepada fiqh imam
Ahmad bin Hanbal. Namun ketika berbicara mengenai ushul
10
fiqh, dia tidak membicarakan masalah maslahah mursalah,
padahal madzhab-madzhab yang lain membicarakannya.
Namun dalam salah satu buku yang membicarakan tentang
usul fiqh, Ibnu Taimiyyah membicarakan pula maslahah
mursalah. Namun dia ragu-ragu mengenai hakikat dan
kebenarannya, dan ragu-ragu menerimanya. Hal ini
dikarenakan pada masanya penuh dengan berbagai aliran
pemikiran sesat, filsafat dan sufi, serta arus pemikiran lain yang
menentang Islam. Sebagian sultan dan raja mempergunakan
pakain tertentu dengan maksud dan keyakinan dapat menolak
bahaya yang datang, dan lain sebagainya.
Jumhur ulama' menolak maslahah mursalah secara mutlak.
Cuma Imam Malik yang menerimanya secara mutlak. Hal ini
sebenarnya cukup mengherankan, sebab Ibnu Taimiyyah, Ibnul
Qayyim, sama-sama menetapkan ushul hukum maslahah
mursalah ini dalam berbagai ketetapan hukum fiqh, seperti
dapat kita baca dari kitab-kitabnya.2
2
Abu Zakariya, Rishky, Biografi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, (artikel),
Jakarta: Lembaga Dakwah dan Bimbingan Islam Indonesia, 21 Juli 2013.
11
Sejak kecil lagi Syeikh Muhammad bin 'Abdul Wahab sudah
kelihatan tanda-tanda kecerdasannya. Beliau tidak suka membuang masa
dengan sia-sia seperti kebiasaan tingkahlaku kebanyakan kanak-kanak lain
yang sebaya dengannya. Berkat bimbingan kedua ibu bapanya, ditambah
dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin 'Abdul
Wahab telah berjaya menghafaz al-Qur'an 30 juz sebelum berusia sepuluh
tahun. Setelah beliau belajar pada ibu bapanya tentang beberapa bidang
pengajian dasar yang meliputi bahasa dan agama, beliau diserahkan oleh
ibu bapanya kepada para ulama setempat sebelum dikirim oleh ibu
bapanya ke luar daerah.
12
e. Kelima, mencari pertolongan selain Allah atau berdoa
kepada selainNya merupakan perbuatan syirik
f. Keenam,masalah syafaat adalah hak Allah dan diberikan
kepada orang yang diridhoiNya.
g. Ketujuh, kutukan bagi orang yang menyembah Allah di
kuburan orang saleh. Nabi Muhammad SAW melarang
dengan keras menjadikan kuburannya sebagai masjid,
seperti umat Nasrani dan Yahudi.
h. Kedelapan, janganlah manusia membuat sekutu-sekutu bagi
Allah3
3
Muhammad at-Tamimi, Kitab Tauhid, terj. Muhammad Yusuf Harun (Jakarta: Darul
Haq, 2013), vii.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan yang dipaparkan oleh penulis, kita dapat
menyimpulkan:
1. Dalam salaf, orang yang dianut merupakan orang orang
terdahulu yang dianut. Orang terdahulu tersebut adalah ulama
terdahulu. Dlama hal ini orang terdahulu yang dianut adalah
generasi pertama dan terbaik dari umat (Islam), yang terdiri dari
para Sahabat, tabi‟in, Tabi‟ut Tabi‟in dan para Imam pembawa
petunjuk pada tiga kurun (generasi atau masa) pertama.
2. Ibnu Taimiyah merupakan ulama yang berpegang teguh pada
madzab Imam Ahmad bin Hambal yang dimana pada prinsip
pemikirannya lebih mengutamakan pendapat terdahulu
dibandingkan dengan akal.
14
DAFTAR PUSTAKA
15