Anda di halaman 1dari 22

PENGANTAR TASAWUF

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“AKHLAK TASAWUF”

Dosen Pengampu:
LABIB MUZAKI SOBIR, M.Pd.I

Disusun Oleh:
1. Firda Kharisma Putri (03)
2. Akhsana Daril Ilmi (23)
3. Eka Fitriani (24)
4. M. Faris (33)

SEMESTER II
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan nikmat, rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat
serta salam tetap tersanjung kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang
telah membimbing kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang
benderang seperti sekarang ini. Dengan terselesaikannya makalah ini tak lupa
kami sampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Maftukhin, M.Ag., selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah
memberikan fasilitas sebaik-baiknya bagi penyusun.
2. Bapak Labib Muzaki Sobir, M.Pd.I., selaku Dosen Pengampu yang telah
memberikan kontribusi ilmiah sehingga membuka wawasan cakrawala
berpikir penyusun.
3. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya
penulisan makalah ini.
Sebagaimana pepatah yang menyatakan tak ada gading yang tak retak,
maka penulisan makalah inipun tentunya tiada terbebas dari kekurangan dan
kelemahan di dalamnya. Untuk itu, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya dan
mengharapkan tegur sapa serta saran-saran penyempurnaan, agar kekurangan dan
kelemahan yang ada tidak sampai mengurangi nilai dan manfaatnya bagi
pengembangan mutu pendidikan pada umumnya.

Tulungagung, April 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................
i
DAFTAR ISI..............................................................................................................
ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
............................................................................................................
1
B. Rumusan Masalah
............................................................................................................
2
C. Tujuan Pembahasan
............................................................................................................
2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
............................................................................................................
3
B. Asal-Usul Tasawuf
............................................................................................................
5
C. Dasar-Dasar Tasawuf
............................................................................................................
9
D. Urgensi Ilmu Tasawuf
............................................................................................................
11
E. Ruang Lingkup Tasawuf
............................................................................................................
12

BAB III PENUTUP

ii
A. Kesimpulan
............................................................................................................
16

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu ilmu yang dapat membantu terwujudnya manusia yang
berkualitas adalah ilmu Tasawuf. Ilmu tersebut satu mata rantai dengan ilmu-
ilmu lainnya dengan pada sisi luar yang dhahir yang tak ubahnya jasad dan
ruh yang tak dapat terpisah keduanya. Ilmu tersebut dinamakan juga ilmu
bathin sebagaimana pendapat Syekh al-Manawi dalam kitab Faed al-Qadir
dalam menjelaskan hadis Nabi:

‫العلم علمان فعلم ف القلب فذالك علم الننافع وعلنم علني اللسنان قذالك حجنة الن علني ابنن‬
‫ادم )ش( والكحيم عن السن مرسل )خط( عن جابر )ح( وكيل علم الباطن ينرج منن القلنب‬
‫وعلم الظاهر يرج من اللسان‬
‘Ilmu itu dua macam, ilmu yang ada dalam qalbu, itulah ilmu yang
bermanfaat dan ilmu yang diucapkan oleh lidah adalah ilmu hujjah/hukum,
atas anak cucu Adam. Dari Abi Syaebah dan Hakim dari Hasan dan
dikatakan Syekh al-Manawi bahwa ilmu bathin itu keluar dari qalbu dan
ilmu dhahir itu keluar dari lidah.1
Bahwa ilmu bathin yang keluar dari qalbu itu adalah tasawuf, yang
dikerjakan dan diamalkan oleh qalbu atau hati, dan ilmu dhahir yang keluar
dari lidah adalah ilmu yang diucapkan oleh lidah dan diamalkan oleh jasad
yang disebut juga ilmu syari’ah.
Ilmu tersebut tidak dapat terpisah keduanya karena ilmu dhahir
diucapkan dan digerakkan oleh tubuh/jasad dan ilmu bathin diamalkan oleh
qalbu dan serentak pengamalannya bersamaan keduanya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa ilmu tersebut tidak dapat dipisahkan keduanya bahkan
makin dalam ilmu Tasawuf seseorang itu semakin mendalam pula
pengamalan syari’at-nya dan kewarasannya. Seorang Sufi sangat menjaga
syari’at-nya dan bathin-nya, bahkan keluar masuk nafasnya dan khatar (kata
hatinya) itu, juga dipeliharanya.

1
Mustafa Muhammad al-Allāmah al-Manawi, Faedul Qadīr, jilid IV (Mesir: Sanabun
Maktabah, 1357 H.), h. 390.

1
Orang-orang yang memelihara nafasnya yakni keluar masuk atau
turun naiknya nafas itu berbarengan dengan disertai dzikir rahasia melalui
qalbu-nya, misalnya dzikir Allah (‫ )ااا‬misalnya pada saat itu nafasnya
keluar/turun, dan dengan dzikir hua (‫ )هااو‬pada saat nafasnya masuk/naik,
amalan seperti ini adalah amalan-amalan Sufi. Selama manusia itu bernafas,
maka dzikir bathin tersebut dapat diamalkan baik di waktu duduk, berdiri,
maupun berbaring, bahkan dalam kondisi bagaimanapun dzikir bathin itu
dapat diamalkan.2
Manusia yang amalannya demikian tidak terpisah dengan Allah,
sehingga sulit untuk melupakan Allah, apalagi berpikir berbuat dosa dan
melanggar perintah Allah, karena tidak akan dapat berkumpul bersama-sama
pada waktu bersamaan pada seseorang dalam qalbu-nya, nafasnya ber-dzikir
kepada Allah, sementara jasadnya berbuat dosa. Tetapi yang pasti adalah ber-
dzikir qalbu-nya dan diamalkan oleh jasadnya dan masuk sampai dalam
sumsum tulang, atau dimensi dalam dan amalan cara itu pula yang disebut
Tasawuf.

B. Rumusan Masalah
1. Sejauh mana pengertian tasawuf?
2. Bagaimana asal-usul tasawuf?
3. Bagaimana dasar-dasar tasawuf?
4. Bagaimana urgensi ilmu tasawuf?
5. Bagaimana ruang lingkup tasawuf?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf.
2. Untuk mengetahui asal-usul tasawuf.
3. Untuk mengetahui dasar-dasar tasawuf.
4. Untuk mengetahui urgensi ilmu tasawuf.
5. Untuk mengetahui ruang lingkup tasawuf.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf

2
Sahabuddin, Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi (Surabaya: Media
Varia Ilmu, 1996), h. 6.

2
Arti tasawuf dan asal katanya menurut logat sebagaimana tersebut
dalam buku Mempertajam Mata Hati (dalam melihat Allah). Menurut Syekh
Ahmad ibn Athaillah yang diterjemahkan oleh Abu Jihaduddin Rafqi al-
Hānif:
1. Berasal dari kata suffah (‫ = )صفة‬segolongan sahabat-sahabat Nabi yang
menyisihkan dirinya di serambi masjid Nabawi, karena di serambi itu
para sahabat selalu duduk bersama-sama Rasulullah untuk mendengarkan
fatwa-fatwa beliau untuk disampaikan kepada orang lain yang belum
menerima fatwa itu.
2. Berasal dari kata sūfatun (‫ = )صااوفة‬bulu binatang, sebab orang yang
memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang dan tidak senang
memakai pakaian yang indah-indah sebagaimana yang dipakai oleh
kebanyakan orang.
3. Berasal dari kata sūuf al sufa’ (‫ = )صوفة الصفا‬bulu yang terlembut, dengan
dimaksud bahwa orang sufi itu bersifat lembut-lembut.
4. Berasal dari kata safa’ (‫ =)صفا‬suci bersih, lawan kotor. Karena orang-
orang yang mengamalkan tasawuf itu, selalu suci bersih lahir dan bathin
dan selalu meninggalkan perbuatan-perbuatan yang kotor yang dapat
menyebabkan kemurkaan Allah.3
Pendapat tersebut di atas menjadi khilaf (perbedaan pendapat) para
ulama, bahkan ada pendapat tidak menerima arti tasawuf dari makna logat
atau asal kata. Menurut al-Syekh Abd. Wahid Yahya berkata: Banyak
perbedaan pendapat mengenai kata “sufi” dan telah ditetapkan ketentuan yang
bermacam-macam, tanpa ada satu pendapat yang lebih utama dari pendapat
lainnya kerena semua itu bisa diterima.
Pada hakekatnya, itu merupakan penamaan simbolis. Jika diinginkan
keterangan selanjutnya, maka haruslah kembali pada jumlah bilangan pada
huruf-hurufnya adalah sesuatu yang menakjubkan jika diperhatikan bahwa
jumlah dari huruf sufi sama dengan jumlah “al-Hakim al-Ilahi”, maka
seorang sufi yang hakiki ialah orang yang sudah mencapai hikmah Ilahi yaitu
orang arif dengan Allah, karena pada hakekatnya bahwa Allah tidak dapat
dikenal melainkan dengan-Nya (dengan pertolongan-Nya).4

3
Ibnu Athaillah al-Iskandariah Syekh ahamd ibn Athaillah, pengubah Abu Jihaduddin Rifqi
al-Hanif dengan judul Mempertajam Mata Hati (ttp: Bintang Pelajar, 1990), h. 5.
4
Sahabuddin, Metode Mempelajari …, h. 12.

3
Dengan pendapat para ahli tasawuf tentang arti tasawuf menurut
bahasa tersebut di atas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa nama-nama dan
istilah menurut bahasa adalah arti simbolik yang bermakna kebersihan dan
kesucian untuk senantisa berhubungan dengan Allah. Untuk mencapai tingkat
ma’rifat untuk menjadi manusia yang berkualitas lagi kamil.
Akhlak dan tasawuf sebenarnya dua disiplin ilmu Islam yang digali
dan dikembangkan oleh para ulama Islam dari konsep dasar keislaman, al-
Qur’an dan al-Hadist. Tasawuf dalam pengertian umum berarti kecenderungn
mistisme universal yang ada sejak dahulu kala, berasaskan sikap zuhud
terhadap keduniaan dan bertujuan membangun hubungan dengan al-mala’ al-
a’lai yang merupakan sumber kebaikan, emanasi, dan ilmunasi.5
Dengan pengertian ini, tasawuf bukan monopoli umat tertentu,
kebudayaan tertentu, agama tertentu, maupun aliran tertentu. Ia hadir
ditengah masyarakat Yunani Kuno dalam filsafat Phytagoras. Dikalangan
bangsa Persia, ia mewujud dalam filsafat Mani dan Zaroaster. Yudaisme dan
Kristen juga mengenal tasawuf, begitu pula Islam. Masing-masing memiliki
karakter khas yang membedakannya dengan yang lain.
At-Thusi merumuskan tasawuf menjadi lima unsur: ilmu
(pengetahuan), amal (pelaksanaan), tahaqquq (penghayatan), wajd
(perasaan), dan fana’ (peleburan). Mengenal Allah dan hukum-hukumnya
berarti mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan syariah.
Mengamalkan ilmu berarti menerapkan hukum-hukum syariat pada tataran
praktis. Menghayati apa yang diperintahkan Allah berarti meresapi rahasia-
rahasia yang tersingkap dihadapan mereka dan memapankan diri dari maqam
‘irfan. Merasakan apa yang dihayati berarti mukasyafat dan musyahadat. Dan
fana’ (lebur) dalam perasaan tersebut berarti tenggalam dalam musyahadat-
musyahadat tersebut tanpa menoleh pada apapun selain Allah.

B. Asal-Usul Tasawuf
Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan
tasawuf sudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan
yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah zāhid, ābid, dan nāsik,
namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam sejak

5
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 3.

4
penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-
an asketis (kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi
masjid Madinah. Dalam perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih
mengkhususkan diri untuk beribadah dan pengembangan kehidupan rohaniah
dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-shaleh-an yang
demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang
dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan
merupakan fase pertama perkembangan tasawuf,6 yang ditandai dengan
munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan akhirat
sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan
duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan
memasuki abad tiga Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari
asketisme Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang
ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi lain,
pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan
apa itu jiwa yang bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya
dan perbincangan tentang masalah teoritis lainnya.
Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai
teori tentang jenjang-jenjang yang harus ditempuh oleh seorang Sufi (al-
maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang sufi pada tingkat tertentu
(al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang
pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada
tingkat fana’ dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis
tasawuf, seperti al-Muhāsibi (w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid
(w. 297 H.), dan penulis lainnya. Fase ini ditandai dengan munculnya dan
berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni ilmu tasawuf
yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam
keberagamaan. Selama kurun waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah
yang lebih spesifik, seperti konsep intuisi, al-kasyf, dan dzawq.7

6
H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Cet. I, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1999), h. 36.
7
Ibid., h. 37.

5
Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-
Islaman, nampaknya memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini
kemudian memberikan gambaran tentang tipe gerakan yang muncul.
Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup
kepelesiran yang diperagakan oleh ummat Islam terutama para pembesar dan
para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang paling besar adalah sebagai
reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit dinasti
penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni
etis, pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer
yang dapat mewakili aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H)
yang mempunyai pengaruh kuat dalam kesejarahan spiritual Islam, melalui
doktrin al-zuhd dan khawf – al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) dengan
ajaran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan
konsepsi al-syawq sebagai ajarannya. Nampaknya setidaknya pada awal
munculnya, gerakan ini semacam gerakan sektarian yang interoversionis,
pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan tegas pendirian dalam upaya
penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.
Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada
radikalisme kaum khawarij dan polarisasi politik yang ditimbulkannya.
Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang yang ingin
mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil
sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus
menghindarkan diri dari keterlibatan langsung dalam pertentangan politik.
Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah yang dipelopori oleh Surri
al-Saqathi (w. 253 H).8 Apabila diukur dari kriteria sosiologi, nampaknya
kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu
kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang
cenderung ekslusif dan kritis tehadap penguasa.
Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah
mistis, sepertinya merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk
menang dalam medan perjuangan duniawi. Ketika di dunia yang penuh tipu
8
Fazlur Rahman, Islam, diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam (Bandung: Pustaka,
1984), h. 185.

6
daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun dunia baru,
realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual
yang penuh dengan salju cinta.
Faktor ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam
dan perumusan ilmu kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal
yang menyebabkan kehingan moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada
isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas faham keagamaan dirasakan
semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang menyebabkan terputusnya
komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan
penciptanya. Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena
dominannya posisi agama dalam agama, para zuhūdan tergugah untuk
mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu penggeseran
seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.9
Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini
merupakan fase ketiga yang ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar
Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain yang penting pada fase ini
adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan kelompok sufi
berfaham ittihad di pihak lain.
Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad
ketiga Hijriah tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H)
menawarkan konsep-konsep tasawuf yang kompromistis antara sufisme dan
orthodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk menjembatani atau bila dapat
untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat Islam. Jasa
mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa’ atau subsistensi
sebagai imbangan dan legalitas al-fana’.hasil keseluruhan dari usaha
pemaduan itu, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan
kategori dengan tujuan memadukan kesadaran mistik dengan syari’ah sebagai
suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan tampilnya
penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma,al-
Kalabasi dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi
dengan al-Risālah.10
9
Siregar, Tasawuf dari Sufisme …, h. 39.
10
Rahman, Islam …, h. 187.

7
Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda,
yaitu tasawuf yang merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai
hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H) dengan konsepsinya ma’rifat sejati,
sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi Neo- Platonisme. Gagasan
ini, sesudah masa al-Ghazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w.
578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atau illuminasi. Gerakan orthodoksi
sufisme mencapai puncaknya pada abad lima Hijriah melalui tokoh
monumental al-Ghazali (w. 503 H). Dengan upayanya mengikis semua ajaran
tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil rekayasanya itu yang
sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat dalam
kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk
menyelesaikan pertikaian itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan
ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam kondisi sakr atau
terkesima. Sebab dalam kenyataanya, kata al-Ghazali, setelah mereka sadar
mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan
hakiki, tetapi kesatuan simbolistik.11
Pendekatan yang dilakukan oleh al-Ghazali, nampaknya bagi satu
pihak memberikan jaminan untuk mempertahankan prinsip bahwa Allah dan
alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak
mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran pula bagi para sufi
untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa
kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu
telah sampai ke fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang
ditandai dengan timbulnya dua aliran tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan
tasawuf filsafati.12

C. Dasar-Dasar Tasawuf
1. Dasar-dasar Tasawuf dari Al-Qur’an
Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata shufi akan tetapi
jalan yang ditempuh kaum sufi berlandaskan Islam. Diantara ayat-ayat
Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudtan dalam kehidupan
dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi:
11
Ibid.
12
Siregar, Tasawuf dari Sufisme …, h. 43.

8
‫ث الدد ننميا نندنؤترره رمننمها مومما ملهد‬
‫ث انلرخمرةر نمرزند لمهد رف محنرثرره ۖ موممنن مكامن يِدريِدد محنر م‬
‫ممنن مكامن يِدريِدد محنر م‬
‫صي ب‬
‫ب‬ ‫رف انلرخرةر رمن نم ر‬
‫م ن‬
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami
tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki
keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (Q.S Asy-
Syuura [42]: 20)

Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-


orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman
Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20.

‫ب موملنننبوُ مورزيِنمن نةب موتمنمفننادخبر بمننيننمدكحن ننم موتممكحنناثندبر رفن ن انلمنمن نموُارل موانلمنوملرد‬ ‫ر‬
‫انعلمدمن نوُا أمننمنا انلميمنناةد الن نددننميا لمعن ن ب‬
‫ص نمفرا دثنن يِمدكحننوُدن دحمطاممننا ۖ ورف ن انلرخ نرةر‬ ‫ب الندكحنفننامر نمنبمنناتدهد دثنن يِمرهي ندج فمنتَم نمراهد دم ن‬
‫ب‬
‫م‬ ‫م‬ ‫مكممثمنرل مغني نث أمنعمج ن م‬
‫ر‬ ‫ر‬
‫ضموُابن ۚ مومما انلممياةد الددننميا إرنل مممتَاعد النغددرورر‬ ‫ب مشديِبد موممنغفمرةب رممن اللنره مور ن‬ ‫معمذا ب‬
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah
antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani;
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras
dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini
tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid [57]: 20)

Ayat ini menegaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan


amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang
bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita
temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan
gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang
indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat
menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan
banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal
tesebut bersifat sementar dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya
seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya
keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan

9
yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka
yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut.
2. Dasar-dasar Dari Hadis
Jika kita melihat dengan seksama akan sejarah kehidupan
Rasulullah Muhammad Saw beserta para sahabat beliau yang telah
mendapatkan keridhaan Allah, maka akan ditemukan sikap kezuhudan
dan ketawadhu’an yang terpadu dengan ibadah-ibadah baik wajib
maupun sunnah bahkan secara individu Rasulullah Saw tidak pernah
meninggalkan shalat lail hingga lutut beliau memar akibat kebanyakan
berdiri, ruku’ dan sujud di setiap malam dan beliau Saw tidak pernah
meninggalkan amalan tersebut hingga akhir hayat beliau Saw, hal ini
dilakukan oleh beliau Saw karena kecintaan beliau kepada sang
penggenggam jiwa dan alam semesta yang mencintainya Dia-lah Allah
yang cinta-Nya tidak pernah terputus kepada orang-orang yang
mencintai-Nya.
Uraian tentang hadis fi’liyah di atas merupakan salah satu bentuk
kesufian yang dijadikan landasan oleh kaum sufi dalam menjalankan
pahamnya.
Selain itu terdapat pula hadis-hadis qauliyah yang menjadi bagian
dari dasar-dasar ajaran tasawuf dalam Islam, diantara hadis-hadis tersebut
adalah:

‫صننلىَ اللننهد معلمنينره مومسنلنمم مردجنبل فمنمقنامل ميِا مردسنوُمل‬ ‫ي مقامل أمتمنىَ النر ن‬
‫بن م‬ ‫معنن مسنهرل بنرن مسننعبد النسنارعرد ي‬
‫ر‬ ‫ر‬ ‫ر‬ ‫نر ن‬
‫صننلىَ اللننهد‬
‫س فمنمقننامل مردسننوُدل اللننه م‬ ‫ن‬
‫اللنه ددلرنن معلنمنىَ معممنبل إمذا أمننمنا معمنلتَدنهد أممحبنرنن اللنهد موأممحبنرنن ال نننا د‬
‫ك اللنهد موانزمهند رفيمما رف أميِنردي الننارس دريدبوُمك‬ ‫معلمنيره مومسلنمم انزمهند رف الددننميا دريبن م‬
Artinya:
Dari sahabat Sahal bin Saad as-Sa’idy beliau berkata: datang seseorang
kepada Rasulullah Saw dan berkata: ‘Wahai Rasulullah ! tunjukkanlah
kepadaku sutu amalan, jika aku mengerjakannya maka Allah akan
mencintaiku dan juga manusia’, Rasulullah Saw bersabda: “berlaku
zuhudlah kamu di dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan berlaku
zuhudlah kamu atas segala apa yang dimiliki oleh manusia, maka
mereka (manusia) akan mencintaimu”.

10
‫ر‬ ‫ر‬ ‫ر‬
‫صنلىَ اللننهد معلمنينه مومسنلنمم يِمندقننوُدل ممننن مكنانم ن‬
‫تِ الندد ننميا‬ ‫تِ مردسوُمل اللنه م‬ ‫ مسنع د‬: ‫معن مزيِندد بندن مثاربتِ قال‬
‫ر‬ ‫ر‬ ‫رر ر‬ ‫مهننه فمننرمق اللننه علمينره أممنره وجعنل فمننقنره بنين ر‬
‫عيننمننينه موملنن يِمنأنته مننن الندد ننميا إنل ممننا دكتَن م‬
‫ب لمنهد موممننن‬ ‫د م ن ن م د م م م م م د م ن م من‬ ‫د‬
‫تِ انلرخمرةد نرينتَمهد مجممع اللنهد لمهد أمنممرهد مومجمعمل رغمناهد رف قمننلبرره مومأتمننتَهد الددننميا مورهمي مرارغممةب‬
‫مكانم ن‬
Artinya:
Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata : Aku mendengarkan Rasulullah Saw
bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya,
maka Allah akan berlepas diri dari segala urusannya dan tidaklah ia
mendapatkan dari dunia sesuatu apapun keculi apa yang telah di
tetapkan baginya. Dan barang siapa yang sangat menjadikan akhirat
sebaga tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan seluruh harta
kekayaan baginya, dan menjadikan kekayaan itu dalam hatinya, serta
mendapatkan dunia sedang ia dalam keadaan tertindas”.13

D. Urgensi Ilmu Tasawuf


Bila ditelaah kehidupan manusia, dapat dikatakan bahwa adanya
kecenderungan manusia untuk kembali mencari nilai ilahiyah merupakan
bukti bahwa manusia itu pada dasarnya makhluk rohani selain sebagai
makhluk jasmani. Sebagai makhluk jasmani, manusia membutuhkan hal-hal
uang bersifat materi, namun sebagai makhluk rohani ia membutuhkan hal-hal
yang bersifat immateri atau rohani. Sesuai dengan ajaran tasawuf yang lebih
menekankan aspek rohani, maka manusia itu pada dasarnya cenderung
bertasawuf. Dengan kata lain, bertasawuf merupakan suatu fitrah manusia.
Dari adanya unsur rohani pada manusia inilah dikatakan urgensinya
mempelajari ilmu tasawuf.
Oleh karena kecenderungan manusia itu selalu ingin berbuat baik
sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, maka segala perbuatan yang menyimpang
dan melawan fitrahnya. Pada dasarnya tujuan akhir manusia adalah mengikat
lingkaran rohaninya dengan Allah SWT sebagai hubungan yang selamanya
benar.14

E. Ruang Lingkup Pengantar Tasawuf


1. Objek Tasawuf
13
TH Khusus Makassar, “TASAWUF; Asal-Usul dan Dalilnya”, diakses dari
https://thkhusus.wordpress.com/2010/01/03/tasawwuf-asal-usul-dan-dalilnya/, pada tanggal 01
April 2018.
14
Ahmad Bangun Nasituon dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2015), h. 10-11.

11
a. Ar-ruh
Diantara unsur ruhani yang terdapat pada diri manusia adalah
ruh. Kemuliaan manusia dengan makhluk lain adalah karena
manusia memiliki unsur ruh illahi. Ruh illahi inilah yang
menjadikan manusia memiliki sisi kehidupan ruhani, di mana
kecondonga ini juga dimiliki oleh semua manusia dalam setiap
agama. Karena perasaan itu merupakan fitrah manusia,maka dengan
demikian, yang menjadi objek kajian tasawuf adalah jiwa
manusia.tasawuf membahas tentan sikap jiwa manusia dalam
berhubungan dengan Allah Swt. dan sikapnya dalamberhubungan
dengan sesame makhluk. Dalam hal ini tasawuf bertugas
membersihkan hati dari sifat-sifat buruk dan tercela.15
b. An-Nafs
Nafs adalah kekuatan yang menghimpun sifat-sifat tercela
pada manusia, yang harus dilawan dan diperangi. Nafs juga diartikan
sebagai sifat dari badan. Untuk menekan sifat nafs, makaupaya
pembinaannya adalah degan menjalankan ibadah dan mujahadah
(perjuangan), yang diharapkan manusia dapat menemukan jalan
menuju Tuhannya.16
c. Al-Qalbu
Hati di dalam bahasa Arab disebut al-qalb. Menurut ahli
biologi, qalbu adalah segumpal darah yang terletak didalam rongga
dada, agak ke sebelah kiri, warnanya agak kecoklatan dan berbentuk
segitiga. Tetapi yang dimaksudkan disini bukanlah hati yang
terbentuk dari segumpal darah yang bersifat materi itu, namun yang
dimaksudkan hati disini adalah yang bersifat immateri. Hati yang
berbentuk materi menjadi objek kajian biologi. Sementara hati yang
immateri menjadi objek kajian tasawuf. Menurut Al-Ghazali, hati
adalah karunia Allah Swt. yang yang halus dan indah yang menjadi
hakikat kemanusiaan dan yang mengenal dan mengetahui segala
sesuatu.hati ini juga yang menjadi sasaran perintah, sasaran cela,
sasaran hukuman dan tuntutan (taklif) tuhan.
15
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf, (Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2014), h. 73.
16
Amin Syukur, (ed.), Menggugat Tasawuf, (Yogyaarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 68

12
Al-qalb merupakan sumber dari cahaya keimanam (nur al-
iman). Cahaya keimanan ini sifatnya konstan, tidak perah semakin
terang ataupun semakin redup. Al-qalb ini sebagai sumber ilmu yang
bermanfaat dan lebih tinggi kualitasnya daripada ilmu yang
diperoleh dari ash-shadr, karena ilmu al-qalb ini diberikan langsung
dari Allah Swt.
d. Ash-Shadr
Ash-Shadr berfungsi sebagai sumber dari cahaya Islam (nur
al-Islam), yaitu sikap ketundukan yang diekspresikan dalamentuk
fisik,seperti shalat,puasa, haji, dan sebagainya. Ash-Shadr adalah
tempat penyimpanan ilmu yang dapat menjadikan orang mampu dan
mau mengerjakan aturan syariat. Ilmu yang ada dalam Ash-Shadr ini
dapat diperoleh melalui mendengarkan berbagai nasihat dan
membaca.ilmu yang dimiliki ash-shadr ini kadang bias hilag dan
lupa.
e. Al-Fuad
Al-fuad merupakan sumber dari cahaya ma’rifah (nur al-
ma’rifah). Al-fuad ini berfungsi untuk mengetahui realitas. Cahaya
yang dimiliki oleh al-fuad berbeda dengan cahaya yang dimiliki al-
qalb. Sebab,cahaya al-qalb hanya mampu menimbulkan ilmu tentang
hakikat, sedangkan cahaya al-fuad mampu melihat realitas atau
hakikat.
f. Al-Lubb
Al-lubb merupakan symbol dari cahaya tauhid (nur at-
tauhid). Cahaya tauhid ini merupakan basis dari ketiga cahaya
sebelumnya (nur al-Islam, nur al-iman, dan nur al-ma’rifah).
2. Tujuan Tasawuf
Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada
sedekat mungkin dengan Allah.17 Akan tetapi apabila diperhatikan
karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran “antara”
dari tasawuf, yaitu:
a. Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini
meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang berkesinambungan,

17
Ibnu Athaillah al-Iskandariy, al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy dengan judul
Tarjamah al-Hikmah, Cet. V, (Surabaya: Balai Buku, 1984), h. 6.

13
penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia
konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf
yang bertujuan moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.
b. Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan
langsung atau metode al-Kasyf al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah
bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang
diformulasikan secara sistimatis analitis.
c. Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem
pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis,
pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk, terutama
hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan
Tuhan.dalam hal apa makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga
simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan merasakan kehadiran
Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga
terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang
ketiga adalah penyatuan manusia dengan Tuhan sehingga yang
terjadi adalah menolong antara manusia yang telah menyatu dalam
iradat Tuhan.18
3. Fungsi Tasawuf
Adapun fungsi dari tasawuf di antaranya adalah:
a. Membentengi diri dari segala macam penyakit hati, yang berupa
keinginan untuk menguasai segala aspek keduniaan.
b. Tasawuf berfungsi aktif dan positif, tasawuf juga telah memberikan
semangatnya kepada seluruh struktur Islam, baik dalam perwujudan
social maupun intelektualnya.
c. Menentukan sikap ruhaniah manusia dan menungkatkannya dari
derajat yang paling rendah dan hina, yang condong mengukuti hawa
nafsunya (kehedak biologis) menuju ke tingkat lebih tinggi atau
lebih baik. Yaitu ke tingkat kesucian ruhani, dengan tidak menafikan
kehidupan aktif, positif dan dinamis di tengah-tengah pergumulan
kehidupan dunia.19

18
Siregar, Tasawuf dari Sufisme …, h. 45.
19
Ni’am, Tasawuf Studies..., h. 85.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar akhir
abab dua Hijriah yang dikatkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang
disebut shuff atau wool kasar. Namun dasar-dasar tasawuf sudak ada sejak
datangnya agama Islam. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan Nabi
Muhammad saw. cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diteruskan
oleh para sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran spiritual Rasullah
saw.. adalah berdasarkan atas pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan
pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran surah al-Najm: 12-13; surah al-
Takwir: Tasawuf dalam pengertian umum berarti kecenderungn mistisme
universal yang ada sejak dahulu kala, berasaskan sikap zuhud terhadap
keduniaan dan bertujuan membangun hubungan dengan al-mala’ al-a’lai
yang merupakan sumber kebaikan, emanasi, dan ilmunasi.
Pengenalan tasawuf sudah ada dalam kehidupan Nabi saw., sahabat,
dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya adalah

15
zāhid, ābid, dan nāsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di
kawasan Islam sejak penghujung abad kedua Hijriah. Memasuki abad tiga
Hijriah sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke
sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara
lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi.
Dasar-dasar tasawuf terdapat di al-Qur’an dan hadits. Salah satu ayat
yang menjelaskan dasar-dasar tasawuf adalah Q.S Asy-Syuura dan Q.S al-
Hadid. Dalam Q.S Asy-Syuura dijelaskan bahwa yang menghendaki
keuntungan akhirat, maka akan ditambah untuk keuntungan akhirat,
sedangkan yang menghendaki keuntungan dunia akan ditambah keuntungan
dunia pula. Sedangkan di dalam Q.S al-Hadid Allah SWT memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk selalu berbekal akhirat.
Ruang lingkup tasawuf terdiri dari objek, tujuan dan fungsi tasawuf.
Objek tasawuf sendiri meliputi ar-ruh, an-nafs, al-qalbu, ash-shadr, al-fuad,
dan al-lubb. Tujuan tasawuf yag paling utama adalah mendekatkan diri
sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihatnya dengan mata
hati bahkan ruhnya dapat bersatu dengan Ruh Tuhan dengan mengasingkan
diri dan berkontemplasi pada Tuhan. Fungsi dari tasawuf ini adalah untuk
memperkukuh akhlak yang ada dalam diri manusia dari pengaruh-pengaruh
luar yang bersifat duniawi yang dapat mengakibatkan lupa akan Tuhan,dan
juga membentengi diri dari segala penyakit hati sehingga akan menentukan
sikap ruhaniah dalam diri manusia.

16
DAFTAR PUSTAKA

al-Iskandariah, Ibnu Athaillah. 1990. pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif


dengan judul Mempertajam Mata Hati. ttp: Bintang Pelajar.
al-Iskandariy, Ibnu Athaillah. 1984. al-Hikam, diterjemahkan oleh Salim Bahreisy
dengan judul Tarjamah al-Hikmah, Cet. V. Surabaya: Balai Buku.
al-Manawi, Mustafa Muhammad al-Allāmah. Faedul Qadīr, jilid IV (Mesir:
Sanabun Maktabah, 1357 H.
Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2013. Tasawuf Islam dan Akhlak. Jakarta: Amzah..
Nasituon, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2015. Akhlak Tasawuf.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ni’am, Syamsun. 2014. Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta:
AR-RUZZ MEDIA.
Rahman, Fazlur. 1984. Islam, diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam.
Bandung: Pustaka.
Sahabuddin. 1996. Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi.
Surabaya: Media Varia Ilmu.
Siregar, H. A. Rivay. 1999. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Cet. I.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syukur, Amin (ed.). 2012. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

17
TH Khusus Makassar, “TASAWUF; Asal-Usul dan Dalilnya”, diakses dari
https://thkhusus.wordpress.com/2010/01/03/tasawwuf-asal-usul-dan-
dalilnya/, pada tanggal 01 April 2018.

18

Anda mungkin juga menyukai