PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam
dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih.
Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita
sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu
penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba
canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan spiritualitas dan sekaligus
membebaskan dari derita alienasi (dalam bahasa sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan
menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat
Yang Maha Memiliki dan Mahaabsolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan
memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa senantiasa
berada dalam orbit Tuhan.
Tasawuf sering dianggap sebagai salah satu metode alternative yang banyak dipakai manusia
untuk mendekati Tuhannya. Tasawuf juga merupakan fenomena yang menarik perhatian
sehingga tema-tema actual yang paling menonjol sekarang ini adalah tema-tema sufisme
Pada abad pertama orang belum mengenal istilah tasawuf, yang muncul hanya benih-benihnya
saja, seperti munculnya istilah nussak, zuhhad, dan ubbad. Nussak adalah orang-orang
yang menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah; Zuhhad adalah orang-orang
yang menghindari dunia beserta kemegahan, harta benda, dan pangkat duniawi; dan Ubbad
adalah orang-orang yang berusaha mengabdikan dirinya hanya semata-mata kepada Allah. Pada
abad ini muncul nama Hassan al Bashri yang terkenal dengan ajarannya khauf (takut kepada
Allah, dan raja(berharap atas kasih Allah).
Kemudian pada abad ketiga muncullah seorang sufi termasyhur, yaitu Dzun Nun al Mishri. Ia
banyak menambahkan cara manusia lebih mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan hidupnya
adalah mencari kecintaan Tuhan, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang
diturunkan, dan takut berpaling dari jalan Allah.
PEMBAHASAN
2[2] Muhammad Syafiq Ghirbal, Al-Mausuah Al-Arabiyyah Al Musyassarah. Dar Al-Qalam, Mesir, t.t hal.
848
3[3] Abd.Al-Murim Al-Hafani, Al-Mausuah Ash-Shufiyyah. Dar Ar-Rasyad, Kairo, 1992. Hal.165
4[4] Lihat Abu Naim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfihani, Hilatu Auliyawa Thabaqat Al-Asyfiya; jilid IX
Berikut dar Al-Fikr. Hal.331-332
bapak paham Marifat karena dia memperkenalkan konsep baru tentang Marifat5[5]. Dalam
biografi para sufi, Dzun Nun Al-Mishri dikenal sebagai orang yang rendah hati dan dermawan,
berkemauan keras dan berbudi pekerti baik6[6].
6[6] Harun Nasution, Op.Cit, 1992, hal.76. lihat juga Ensikopedi Islam, Jilid 5, Jakarta: PT. Ichtiar baru Van
Hoeve, 1994. Hal.84
8[8] Abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyah Fi Al-Islam, Cairo: Dar al-Fikr, 1967 hal.302
10[10] Ibid
11[11] Reynold A Nicholson, The Mystics of Islam, Routledge and Kegan Paul, London, 1975, hal.115
Kesimpulan
1. Dzun Nun al Mishri adalah seorang tasawuf pertama yang memberikan tafsiran-tafsiran
terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia juga orang pertama yang berbicara tentang maqamat dan
ahwal, orang pertama yang memberikan definisi tentang tauhid dengan pengertian yang bercorak
sufistik.
2. Al Marifat menurut pandangan Dzun Nun al Mishri adalah al marifat terhadap keesaan Allah
yang khusus dimiliki para wali Allah, sebab mereka adalah orang yang menyaksikan Allah
dengan mata hatinya, maka terbukalah hatinya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-
Nya yang lain.
DAFTAR PUSTAKA