Anda di halaman 1dari 23

JENDELA MAKALAH

Selasa, 22 Februari 2011


Pemikiran Dzunun Al Misri

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dzun Nun al-Misri adalah seorang tokoh sufi yang telah banyak memberikan sumbangsih
berharga bagi perjalanan tasauf di dunia Islam, Sesungguhnya faham sufi (sufisme) itu
berkembang dari waktu ke waktu mengikuti keadaan jaman. Sejak jaman Rasulullah saw hingga
sekarang, banyak diwarnai dengan keragaman. Adapun keragaman tersebut muncul dalam
beberapa tahapan perkembangan.
Sebagian ulama berpendapat, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun di Mekkah -periode Makkiyah
sudah menekankan betapa pentingnya spiritual, dalam kaitannya tentang orientasi kenabian dan
tentang wahyu. Dikisahkan pengalaman spiritual kenabian yang dilalui Rasulullah saw (dikenal
dengan Isra` Mi`raj),
Sebagian ulama filosof mengatakan, bahwa pengalaman isra` mi`raj Nabi lebih kepada
pengalaman spiritual. Para yang mendapat cerita tentang isra` mi`raj langsung menerima dan
mereka tidak bertanya mengenai pengalaman-pengalaman tersebut. Ada sejumlah alasan
mengapa demikian, karena mereka dilatih untuk suatu tujuan moral atas dasar keagamaan. Lagi
pula aktifitas mereka telah membuat mereka cenderung untuk tidak bertanya-tanya tentang
rahasia metafisik itu. Kedua, mereka menganggap bahwa pengalaman-pengalaman spiritual Nabi
saw tersebut merupakan ciri khas seorang rasul atau utusan Tuhan. Sedangkan kewajiban mereka
hanya mengimani dan melaksanakan apa yang diyakininya itu.
Dalam masa ini, Rasulullah saw menanamkan kepada umatnya -walaupun pada tingkatan
yang berbeda- suatu keyakinan tentang ketuhanan, keesaanNya, kemahakuasaanNya, serta
perasaan mendalam pada pertanggungjawaban dihadapan pengadilan Tuhan menyangkut
perilaku selama di dunia.
Ajaran Rasulullah ini mendapat sambutan yang mendalam oleh para sahabat, terutama yang
sangat dikenal adalah Abu Dzar Al Ghiffari. Dimana sepeninggal Rasulullah, Abu Dzar
merupakan tokoh penting yang dikenal keshalihannya dimata penduduk Madinah. Keshalihan
Abu Dzar inilah yang kemudian menjadi pondasi bagi perkembangan zuhud (sufi) dua abad
pertama Hijriyah.
Pada perkembangan berikutnya, keshalihan beragama secara spiritual ini muncul dalam
bentuk kehidupan zuhud. Kemunculan kehidupan zuhud dipengaruhi oleh kondisi umat Islam
disaat itu yang tenggelam dalam menikmati kemewahan duniawi. Kemewahan duniawi itu
dipengaruhi oleh keberhasilan pemerintahan Islam dalam mengembangkan politik dan militer
hingga ke seluruh jazirah Arabia.1[1]
Menurut sebagian ulama, kehidupan zuhud semata-mata merupakan reaksi terhadap
kehidupan sekuler dan sikap penguasa Dinasti Umayyah yang dianggap kurang religius. Artinya,
Dinasti Umayyah telah meninggalkan keshalehan dan kesederhanaan hidup sebagaimana yang
pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat empat.2[2]
Dua abad sesudah hijriyah, kemudian bermunculan tokoh-tokoh (ulama) zuhud
mengembangkan konsep spiritual (batiniah) dalam beribadah disamping konsep syariat. Lalu
muncullah istilah sufisme (gerakan sufi) sebagai protes terhadap kehidupan umat Islam yang
dianggap kurang religius karena tenggelam dalam kemewahan duniawi. Diantara dari para ulama
zuhud itu, salah satu yang sangat terkenal adalah Hasan al-Basri. Pengaruh konsep ajarannya
demikian kuat selama berabad-abad.
Setelah itu, tradisi hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu. Pada masa itu konsep ulama
zuhud yang sangat populer adalah pemahaman tentang tawakkal (berserah diri kepada Tuhan).
Kemudian berubah menjadi dokrin-dokrin yang sangat mencolok. Mereka menempuh jalan sufi
dengan menyerahkan diri secara totalitas kepada Allah.
Dari sini kemudian muncul ulama-ulama sufi besar seperti Malik bin Dinar, Ibrahim bin
Adham, Rabi`ah al Adhawiyah dan masih banyak lagi. Kencenderungan pengaruh ajaran sufi

1[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada : 2010),
hlm.47

2[2] ibid
pada saat itu misalnya dapat dijumpai dalam cerita tentang bagaimana Malik bin Dinar mencari
nafkah (rejeki).
Malik bin Dinar memilih hanya memiliki sebidang tanah. Dimana, sebidang tanah itu dia
mengusahakan kehidupan tanpa menggantungkan dirinya kepada orang lain. Sementara Wasi`
lebih menyukai menjadi orang yang jika makan tidak peduli darimana dia akan memperoleh
makanan lagi nanti.
Ciri khas gerakan pada masa itu hanyalah pada zuhud dan rajin beribadah yang bertujuan
untuk membersihkan jiwa secara lahir bathin. Belum ada teori-teori khusus yang menonjol.Baru
pada abad ketiga hijriyah, muncul ulama-ulama besar dalam tradisi sufi, diantaranya ialah Al
Muhasibi, Dzun Nun Al Misri, Abu Yazid al Bistami, Junaid Al Baghdadi dan Abu Manshur al
Halajj.
Ulama-ulama sufi tersebut menggunakan kebiasaan (tradisi) berpikir yang berkembang pada
masa itu. Dzun Nun Al Misri memiliki konsep sufi yang dikenal "al ma`rifah" (pengetahuan).
Abu Yazid al Bistami merumuskan konsep yang disebutnya "Al Ittihad (penyatuan hamba
dengan Tuhan). Adapun Abu Manshur al Hallaj yang dikenal dengan Al Hallaj merumuskan
konsep yang disebut "Al Hulul" "(Tuhan mengambil tempat dalam diri seseorang).
Sesungguhnya konsep-konsep tersebut semula tidak dikenal dalam islam. Konsep tersebut
hanyalah pengaruh dari beberapa tradisi pemikiran yang ada. Namun dengan konsep tersebut,
para sufi meyakini bisa memperoleh pengetahuan tidak dengan alat indrawi atau akal
sebagaimana yang ditempuh oleh para filsuf dan teolog, melainkan dengan hati dan perasaan.
BAB II
PEMBAHASAN
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN DZUN AL MISRI TENTANG MARIFAT

A. Biografi Dzun Al-Misri

Dzun-Nun Al-Mishri nama lengkapnya adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia
dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada tahun 246
H/856 M dan makam kan dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin AL Harun.3[3] Ia adalah

3[3] M.Sholihin, Tokoh-Tokoh Sufi, (Bandung, Putaka Setia : 2003), hlm.57


seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika dan dia juga seorang sufi yang
pertama kali menganalisis marifah secara konsepsional. Nama Dzun-Nun mempunyai makna
tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah seseorang yang mempunyai huruf Nun dari mesir.
Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri pula bahwa huruf Nun adalah sebuah simbol yang
mempunyai makna spiritual power. Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan
hambanya, dimana huruf Nun ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang
melingkarinya. Simbol tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik
tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.4[4]
Kaum sufi juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu
pula dengan Dzun-Nun Al-Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang
dimilikinya apalagi sebagai nama dari dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu
membawayanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada
Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan berujung kepada sebuah
titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf Nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai
sebagai Allah SWT. Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir.
Sebagaimana firman Allah SWT :
huwa al-awwalu waal-aakhiru waalzhzhaahiru waalbaathinu wahuwa bikulli syay-in 'aliimun
Artinya : Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).
Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan huruf Nun
yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik sentral tersebut adalah
sesuatu yang yang awal dan yang akhir.

B. Perjalanan menuju Mesir


Sejak usia anak-anak beliau sudah dikenal sebagai ahli ilmu, karena kegigihannya dan
ketekunan dalam memahami beberapa ilmu pengetahuan agama. Usahanya untuk memperdalam
ilmu pengetahuan tidak ditempuh disuatu tempat saja, tapi ditempat yang berbeda-beda. Ketika
beliau berada disuatu negeri orang, beliau pernah ditangkap dan di penjara oleh penguasa

4[4] Ibid
Baghdad selama 40 hari. Dan setelah bebas Dzun Nun pulang kenegeri asalnya dan
mengamalkan ilmu yang ia dapat. Dalam perjalanan hidupnya Al-Misri selalu berpindah dari
satu tempat ketempat yang lain, Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi
Bait Al-Maqdis, Bagdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Lebanon, Anthokiah dan Lembah
Kanan.5[5] Waliyullah yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu
suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di propinsi Suhaj). Kota
Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu
menjelajah bumi mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan ma'rifatulah
yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang
berima rancak diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu apa yang
terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya : "ada apa ini?". Orang tersebut menjawab : Itu
sebuah pesta perkawinan. Mereka merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang
diiringi musik ". Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan jeritan orang
yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini ?" begitu pikir sang wali. Iapun bertanya
pada orang tadi. Dengan santai orang tersebut menjawab : "Oh ya, itu jeritan orang yang salah
satu anggota keluarganya meninggal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan yang
memekakkan telinga ". Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan warna yang tiada tara. Di sini
ada duka yang diratapi habis tak bersisa. Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah aku tidak
mampu mengatasi ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi anugerah
tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi tidak bersabar ". Dan dengan hati
yang pedih ia tinggalkan kota itu menuju ke Mesir (sekarang Kairo).6[6]

C. Perjalanan ke Dunia Tasawuf

5[5] The Encyclopedia of islam,(E.J. Brill, Lieden: 1933) h. 242

6[6]The Encyclopedia of islam, Ibid. Hlm. 243


Banyak cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya. Kadang
berliku penuh onak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas hambatan. Kadang melewati
genangan lumpur dan limbah dosa. Tak dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri.
Bukan wali yang mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya
mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.
Pengarang kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby menghadap
Dzunnun dan bertanya "Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia memanggil demi menghormatinya "Apa
yang menyebabkan Tuan bertaubat dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? ".
"Sesuatu yang menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu". Begitu jawab al-Misri
seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat yang engkau sembah,
ceritakan padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju
salah satu desa lalu aku tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada
seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa yang bisa dilakukan
burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya. Dia buta tidak mungkin terbang apalagi
mencari sebutir biji. Tiba-tiba bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk,
yang satu dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian Simsim, dan yang
satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan
besar yang mendorongku untuk bertekad : "Cukup aku sekarang bertaubat dan total
menyerahkan diri pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai
Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku".

D. Pujian Para Ulama' Terhadap Dzunnun

Tidak ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih terpuji.
Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika Yang Maha Sempurna sudah
memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta manusia dibanding belaian kasih Yang Maha
Penyayang ?. Dan hanya dengan harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi
semua paparan berikut ini hadir Imam Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan "Dzunnun
adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna
dalam Wara', Haal, dan adab". Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan
"Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan ada
seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan Abu Abid al-Basry".
Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-
Arifin dalam hal ini mengatakan "Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita".7[7]
Pujian dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata. Imam
al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : Sahl al-Tustari (salah satu Imam tasawwuf yang
besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti
tidak berani berbicara. Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna
yang tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia menjawab "Dulu
waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani berbicara tidak berani bersandar pada
mihrab karena menghormati beliau. Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku
padaku : berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".
Sebelum Al-Misri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi a adalah orang pertama
yang memberi tafsiran terhadap isyaratisyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di
Mesir yang berbicra tentang ahwal dan inaqwnal para wali dan orang yang pertama memberi
definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufislik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap
pernbentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejum lab penulis menyebutnya
sebagai salali seorang peletak dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat AI-Mishri hidup pada masa awal
pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, a seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan
dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya itulah yang rnenyebab kannya
harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengari tuduhan zindiq. Akibatnya, a
dipanggil menghadap Khalifah AI-Mutawakkil, namun ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir
dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umurn tatkala Ia
meninggalkan dunia yang fana ini.8[8]

E. Ajaran-ajaran Tasawuf Dzun AI-Mishri


a. Pengeran Marifat Menurut Dzun Al-Misri

7[7] The Encyclopedia of islam,Ibid, hlm. 243

8[8] Ibid
Al Ghazali dalam ihya memandang bahwa marifah datang sebelum mahabbah tetapi Al
Kalabadi dalam al Taarruf menyebut dan menjelaskan bahwa marifah sesudah mahabbah, ada
pula yang berpendapat bahwa keduanya merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama,
keduanya menggambarkan keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan tuhan, mahabbah
menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk cinta dan marifah menggambarkan hubungan
rapat dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari9[9],
Al-Misri adalah pelopor paham marifat, Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan
riwayat Al-Qathfi dan Al-Masudiyang kemudian dianalisis Nicholsondan Abd Al-Qadir
dalam falsafah Al-sufiah fi Al-Islam; Al-Misri berhasil mernperkenaikan corak baru tentang
marifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, a membedakan antara marifat sufiah dengan
marifat aqliyah. Marifat yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan
para sufi, sedangkan marifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan
para teolog.
Kedua, menurut Al-Misri, marifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian
hati), sebab mariat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori marifat
Al-Misri menyerupai gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai
jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang
yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.10[10]
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang marifat pada mulanya sulit diterima kalangan
teolog sehingga a dianggap sebagai seorang zindiq dan ditangkap khalifah, tetapi akhirnya
dibebas Berikut ini beberapa pandangannya tentang hakikat marifat
1. Sesungguhnya marifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang
dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilinuilinu hurliwi dan nazliar milik para hakim,
mutakalimin, dan ahii balaghah, tetapi marifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki
para wall Allah. Hal iiui karena mereka adalah orang yang nienyaksikan Al lab dengan hatinya,
sehingga terbukaia baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain11[11]

9[9]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang, Jakarta
:1973),hlm.75

10[10]Abdul Qadir Mahmud, Falsujulu .4 s/i /1 t/-I.v/wn. Dar ,Al-Fikr (Al-Arab. Kairo, 1966)
hIm. 306

11[11]Ibid
2. Marifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya marifat yang
rnurni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali dengan cahayanya. Salah seorang hamba
mendekat kepada Allah sehingga a merasa hilang dirinya, lebur dalarn kekuasaan-nya, mereka
merasa hamba, mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka,
mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.12[12]
Kedua pandangan AI-Mishri di atas menjelaskan bahwa marifat kepada Allah tidak dapat
ditempuh melalui pendekatan akal dan pernbuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan marifat
batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua
yang ada di dunia ini tidak mempunyal arti lagi. Melalui pendekatan ini sifat-sifat rendah
manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti
yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya Ia sepenuhnya hidup di dalam Nya dan lewat diri-Nya. Al-
Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
a. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
b. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ularna,
c. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.13[13]
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum dimasukkan dalam
kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya belum disebut dengan marifat tetapi
disebut dengan ilmu, sedangkan pengetahuan jenis ketiga harus disebut dengan marifat Dan
ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya
lah yang paling tinggi tingkatan nya, karena mereka mencapal tingkatan musyahadah, sebaiknya
para ulama dan filosofi tidak dapat mencapai maqam ini, sebab mereka masih menggunakan akal
untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam perjalanan rohani Al-Misri mempunyai sistematika sendiri tentang jalan menuju tingkat
marifat? Dari teks-teks ajarannya, Abdul Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika
Al-Misri sebaga berikut:
a. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, Orang yang tidak
mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.

12[12]Reynold A. Nicholson, The Mystics ofislan ( Routledge and Kegan Paul, London:1975), hIm. 115 .

13[13] Mahmud, Op. Cit, hlm. 6667


b. Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq Al-inabah. adalah jalan yang
harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan benar, dan thariq ihtiba, adalah jalan yang tidak
mensyaratkan apa-apa pada seseorang karena merupakan urusan Allah semata.
c. Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu Darij dan wasil. Darij
adalah orang yang berjalan menuju jaln iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan
(melayang) di atas kekuatan marifat.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam Al marjfat, Al-Misri melihat
Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di alam semesta. Adapun tanda-tanda
seorang arif, menurut Al-Misri, adalah sebagai benikut,
a. Cahaya marifat tidak memadamkan cahaya kewaraannya.
b. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
c. Banyaknya nikrnat Tuhan tidak mcndorongnya menghancurkan tirai-tirai larangan Tuhan.14[14]
Paparan Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seorang arif yang sempurna selalu
melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya, senantiasa bersama-Nya dalarn kondisi
apapun, dan semakin dekat serta menyatu kepada-Nya, Dzun Nun al-Mishri cenderung
mengaitkan marifat dengan syariat, seperti katanya berikut: Tanda seorang arif itu ada tiga :
cahaya marifa-nya tidak memudarkan cahaya kerendahan hatinya, secara batiniah tidak
mengukuhi ilmu yang menyangkal hukum lahiriah dan banyaknya karunia allah tidak
menjadikannya melanggar tirai-tirai larangan-Nya.15[15]
Menurut Dzun Nun al-Mishri, Makrifat adalah: karunia Allah yang dilimpahkan pada
seorang arif, seperti yang dikemukakannya ketika di tanya: Dengan apakah kau mengenal
mengenal Tuhanmu? Jawabnya: Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku! Tanpa Tuhanlu,
aku tidak mungkin mengenal Tuhanku.16[16]
Dalam kitabnya, al-Qalam ala al-Basmalah, Dzun Nun al-Mishri, membagi makrifat ke
dalam tiga klasifikasi : Marifa (mengenal ) Allah itu ada tiga macam, makrifat tauhid, yang
ini bagi orang-orang beriman yang awam, marifah alasan dan uraian mengenai Tuhan, yang

14[14] Abd Nashr AI-Sarraj Ai-Thusj, Al-Lzuna , Dar Al-Kutub Ai-Haditsah. (Mesir: 1960). hlm. 61

15[15]Walijot.Com,http:/www.bloger.com/post-edit.9? (Diakses pada tanggal 10 November


2010).hlm1

16[16] Walijo.Com, ibid


ini bagi para ilmuwan, dan makrifat tentang sifat-sifat keesaan dan ketunggalan Tuhan, yang ini
bagi para wali dan kekasih Allah.17[17]
Menurut Dzun Nun al-Mishri, tujuan kehidupan para sufi ialah mencapai tingkatan
makrifat, dimana tampak hakikat realitas yang dipahami seorang sufi secara ketersingkapan,
yang padanya tidak terdapat adanya dampak dari akal budi maupun pandangan lahir. Hal ini
adalah sesuatu yang dikhususkan bagi kekasih-kekasih Allah tertentu, yang melihat dengan
pandangan batin mereka.18[18]

F. Pandangan Dzu An-Nun AI-Mishri Tentang Maqamat Dan Ahwal

Maqamat menurutnya adalah kedudukan hamba dalam pandangan Allah, menurut apa yang
diusahakannya berupa ibadah, perjuangan, latihan dan perjalanan menuju Allah Swt. Pandangan
Al-Mishri tantang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu At-taubah, Ash-shabr,
Al-tawakal, dan Ar-rida. Dalam Dairat Al-Marifat Al-Islamiyah terdapat keterangan yang
berasal dan Al-Mishri bahwa simbol-simbol zuhud adalah sedikit cita-cita, mencintai kefakiran,
dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Kendatipun demikian, dapat dikatakan
bahwa jumlah maqam yang disebut Al-Misri lebih sedikit dibandingkan dengan penulis
sesudahnya.
Untuk maqam pertama secara umum seseorang harus menempuh jalan tobat dimana
menurut Al-Mishri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam
bertobat karena kelalaian (dan mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa
sesuatu yang dianggap sebagai kebaikan oleh Al-abrar justru dianggap sebagai dosa oleh Al-
muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat
adalah engkau melupakan dosamu. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak
lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran

17[17] Walijo.Com, ibid

18[18]Walijo.Com, ibid. hlm. 3


Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut Al-Mishri membagi tobat menjadi tiga
tingkatan, yaitu:
1. Orang yang bertobat dan dosa dan keburukannya.
2. Orang yang bertobat dan kelalaian dan kealfaan mengingat Tuhan.
3. Orang yang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.19[19]
Pembagian tobat atas tiga tingkatan tidak dapat dikatakan bertentangan dengan apa yang
telah disebut di atas. Pada pembagian Al-Mishri membagi lagi orang khawas menjadi dua bagian
sehingga jenis tobat dibedakan atas tiga macam.
Sedangankan untuk ahwal dapat di artikan sebagai pemberian yang tercurah kepada
seseorang dari tuhannya, baik buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa, menjernihkan hati
maupun datang dari Allah sebagai pemberian semata, dinamakan ahwal karena melalui hal
tersebut seorang hamba mengalami perubahan dari penampilan lahiriyah seorang makhluk dan
kedudukan yang jauh menuju kualitas yang tidak tanpak atas kedudukan yang terdekat, ahwal
sebagai perkara yang didambakan dalam tasawuf sebab ahwal benih dari amal, ahwal tidak
datang melainkan melalui amal yang benar. Hanya orang yang berlaku baik dan benar yang akan
mendapatkan anugerah semacam itu.20[20]
G. Cinta dan ma'rifat
Suatu ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?". "Aku
mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak ada Tuhanku maka aku
tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu
akan Allah adalah yang paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara:
dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat keputusan-keputusan-
Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan merenungkan makhluq, bagaimana Allah
menjadikannya".
Tentang cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya pada
Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada selain Allah!. Salah satu
tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah
satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW

19[19]Walijo.Com, ibid. Hlm 3

20[20]M. Solihin, Op. Cit. hlm. 67


dalam akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan (Islam) ini ada
pada empat perkara: cinta pada Yang Agung, benci kepada yang Fana, mengikuti pada Alquran
yang diturunkan, dan takut akan tergelincir (dalam kesesatan)".21[21]

H. Konsep Marifah Dzun-Nun Al-Mishri


Setelah memaparkan sekelumit makna dari nama Dzun-Nun Al-Mishri, maka dibawah ini
penulis akan menyampaikan sedikit tentang konsep marifah Dzun-Nun Al-Mishri. Konsep
marifah Dzun-Nun tidak bisa lepas dengan makna yang ia dapati dari namanya itu karena
namanya itu menunjukkan sebuah kepemilikan dan penguasaan terhadap makna dari huruf
tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa huruf Nun yang menjadi sentral kehidupan di dunia
ini, maka untuk mencapai sentral tersebut manusia juga harus memakai sentral dari diri manusia
untuk bertemu dengan sentral kehidupan ini. 22[22]
Sentral yang disebut diatas adalah Qalbu, dimana qalbu ini adalah sentral dari manusia dan
untuk bertemu dengan sentral yang hakiki maka manusia harus mengoptimalkan sentralnya
supaya sampai kepada sentral yang hakiki. Mengapa Qalbu atau hati disebut sebagai sebuah
sentral, karena pada qalbu ini berkumpul seluruh kelakuan dan tindakan manusia. Maka menurut
Dzun-Nun yang biasa dilakukan oleh hati tersebut adalah : emosi, dekat, shahabat, cinta,
mengenal, penyingkapan, menyaksikan, al-ittihad, al-hulul, wahdatul wujud, dan wujudiyah.
Ada sebuah perbedaan pengertian yang dimaksud oleh Dzun-Nun dengan penyingkapan,
perbedaan ini dibagi kepada tiga bagian, yaitu : al-Mukasyafah, inkisyaf, dan al-kasy-syaf. Yang
dimaksud dengan al-Mukasyafah adalah saling keterbukaan dimana seorang hamba yang
meminta dan Allah yang memberi; inkisyaf, adalah penyingkapan atau keterbukaan Allah
sebagai karunia kepada hambanya dan seorang hamba hanya menerima saja, tidak dengan
meminta.
Dimana pada bagian ini keterbukaan hanya diartikan sebagai karunia Allah dan manusia tidak
meminta untuk keterbukaan tersebut; al-kasysyaf, pada hal ini tidak menggambarkan proses
tentang bagaimana keterbukaannya akan tetapi adanya sebuah pengalaman keterbukaan.

21[21] M.Sholihin, Loc.Cit. hlm 58

22[22] M.Sholihin, Ibid. hlm. 59


Pada penjelasan diatas disebutkan bahwasanya sentral kehidupan hanya bisa dirasakan oleh
sentral manusia, yaitu dimana hati manusia bisa merasakan keterbukaan dengan Allah hanya
dengan penglihatan hati yang menjadi sentral kehidupan manusia. Menurut Dzun-Nun hati juga
tidak serta merta bisa melihat Allah karena hati yang paling dalamlah yang bisa sampai melihat
kepada Allah SWT. Sebelum kita langsung kepada hati yang dalam, maka akan disebutkan
beberapa lapisan hati yang harus dilalui seseorang sebelum bisa marifah kepada Allah SWT.
Dan lapisan-lapisan tersebut adalah : as-Suduur, al-Quluub, adh-Dhamaair, al-Fuwaaid, as-
sir, sir al-asraar, dan Basyirah. Yang dimaksud dengan as-suduur hati yang paling luar, pada
fase ini hati mengalami penyempitan dan perluasan, dia tidak bisa konsisten dalam pendiriannya
masih tergoncang dan belum istiqamah. Setelah lulus atau berhasil dalam tahapan ini, maka akan
masuk lebih dalam lagi kepada tahapan yang kedua, yaitu al-Quluub. Setelah masuk kepada
tahapan ini, maka hati seseorang tersebut akan kokoh dan lebih istiqamah dalam pendiriannya.
Selain itu orang yang sudah sampai pada tahap ini maka dia akan merasakan ketenangan dalam
hatinya. Kemudian setelah lapisan kedua ini berhasil dan tetap konsisten dengan keduanya, yaitu
tahap pertama dan kedua.
Maka tahap selanjutnya adalah adh-Dhomaair, yaitu dimana bagian ini juga disebut sebagai
bagian terdalam pada tahapan qalbu. Dia menyimpan dan menempatkan cahaya qalbu, kalau dia
sudah sampai pada tahap ini, maka dia akan memiliki kepekaan atau biasa disebut dengan indera
keenam. Setelah tahap ini maka selanjutnya adalah al-Fuwaaid, pada tahapan ini orang sudah
separuh perjalanan untuk menggapai puncak marifah. Jika seseorang sudah sampai tingkatan ini
maka orang tersebut tidak akan bisa dibohongi atas apa yang dia lihat atau rasakan. Kemudian
tahap selanjutnya as-Sir dan Sir al-Asraar, tahapan ini adalah tahapan yang hampir mendekati
kesempurnaan dan mencapai marifah. Tahapan ini adalah proses untuk mempersiapkan diri
kepada tahapan akhir, Maka tahapan terakhir, yaitu ketika setiap tahapan tetap terjaga dan saling
melengkapi antara satu dengan yang lainnya, maka sampailah pada tahapan Basyirah, yaitu
tahapan akhir yang bisa menyampaikan manusia untuk bisa melihat dan merasakan Allah SWT.
Dan hal ini disebut dengan marifah.23[23]
Menurut Dzun-Nun marifah itu bisa diklasifikasikan kepada tiga bagian, yaitu : pertama,
marifah tauhid sebagai marifahnya orang awam. Kedua, al-burhan wa al-istidlal yang

23[23]M.Sholihin, Ibid.hlm. 59-60


merupakan marifahnya Mutakallimin dan para Filosof, yaitu pengetahuan tentang Tuhan
melalui pemikiran dan pembuktian akal. dan ketiga, marifah para wali, yaitu pengetahuan dan
pengenalan tentang Tuhan melalui sifat dan ke-Esaan Tuhan. Dengan demikian, apabila dilihat
dari sisi epistimologi, ada tiga metoda marifah yang berbeda, yakni metoda transmisi, metoda
akal budi, dan metoda ketersingkapan langsung. Marifah awam lebih bersifat penerimaan dan
kepatuhan semata tanpa dibarengi argumentasi, sedangkan marifah Mutakallimin dan filosof
adalah pemahaman yang sifatnya rasional melalui berfikir spekulatif. Lain halnya dengan
marifah para sufi atau aulia, adalah penangkapan dan penghayatan langsung terhadap obyek
sehingga ia merasakan dan melihat obyek itu. Dan disini Dzun-Nun menegaskan bahwasanya
marifah itu sepenuhnya adalah karunia dan pemberian Allah SWT.24[24]
Jadi kesimpulan menurut Dzun-Nun bahwasanya kalau kita ingin sampai pada tingkat
marifah, maka kita harus melaluinya setahap demi setahap dan dilakukan dengan kesungguhan
dan keseriusan. Dan dia juga mengatakan bahwasanya adanya perbedaan marifah kepada Allah
yang disebabkan oleh kemampuan dan kesadaran dia sebagai makhluk. Marifah juga
sepenuhnya diberikan oleh Allah SWT atas karunianya dan kasih sayangnya. Maka seorang
hamba tidak akan sampai pada tingkat marifah tanpa usaha dan anugrah serta karunia Allah
SWT.

24[24] M.Sholihin, Ibid.hlm. 60


BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Setelah uraian-uraian di atas maka penulis dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Sesungguhnya marifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
2. Marifat yang sebcnarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya
Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
2. Pengetahuan khusus untuk para filosofdan ularna,
3. Pengetahuan khusus untuk para wall Allah
Abdul Hamid Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebagal berikut:
a. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri menjawab, Orang yang tidak
mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenal-Nya.
b. Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq Al-inabah. adalah jalan yang
harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan benar, dan thariq ihtiba, adalah jalan yang tidak
mensyaratkan apa-apa pada seseorang karena merupakan urusan Allah semata.
c. Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam, yaitu Darij dan wasil. Darij
adalah orang yang berjalan menuju jaln iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan
(melayang) di atas kekuatan marifat.
DAFTAR PUSTAKA

Abd Nashr AI-Sarraj Ai-Thusj, Al-Lzuna Dar Al-Kutub Ai-Haditsah.( Mesir, 1960 )
Abdul Qadir Mahmud, Falsujulu .4 s/i /1 t/-I.v/wn. Dar ,(Al -Fikr Al-Arab. Kairo : 1966)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada : 2010)

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang, Jakarta :1973)
Muhammad Syafiq Ghirb, Al-Mausuah Al-Arabiyyah, Al-Muyassarah, (Mesir: Dar Al-Qalam, tth)
Reynold A. Nicholson, The Mystics ofislan (Routledge and Kegan Paul. London:1975)
The Encyclopedia of islam, (E.J. Brill, Lieden : 1933)
Walijot.Com, http:/www.bloger.com/post-edit.9? (Diakses pada tanggal 10 November 2010

KATA PENGANTAR


.
Rasa syukur alhamdulillah saya haturkan kehadirat Allah Swt, sebab atas berkah rahmat
dan hidayah-Nya lah saya dapat menyusun makalah yang sederhana ini, salawat dan salam
juga tak lupa senantiasa saya curahkan keharibaan junjungan kita Nabi besar Muhammad
Saw
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu
oleh dosen pengasuh PROF. DR. H. Mahyudin Barni, M.Ag dan saya mengucapkan pula
terimakasih atas segala bimbingan yang diberikan kepada saya sehingga menemukan pola
dalam penyusunan makalah yang sangat sederhana ini
Dalam proses penyusunan makalah ini saya juga mengucapkan terimakasih kepada
seluruh rekan-rekan yang telah membantu sampai makalah ini dapat kami sajikan di forum
diskusi yang ilmiah ini
Saya juga mengharapkan saran dan kritik yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan
makalah ini
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
Banjarmasin, Januari 2011

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i


KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Dzun Al Mishri.............................................. 4
B. Perjalanan Menuju Mesir ............................................. 5
C. Perjalanan Keduania Tasawuf ..................................... 6
D. Pujian Para Ulama Terhadap Dzunun Al Mishri ................ 6
E. Ajaran-Ajaran Tasawuf Dzunun Al Mishri ........................ 7
F. Pandangan Dzunun tentang Maqamat dan Ahwal .............. 11
G. Cinta dan Marifat ............................................................... 11
H. Konsep Marifat Dzunnun Al Mishri.................................. 12
BAB III PENUTUP
A. Simpulan ....................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

iii

Diposkan oleh gustinabildaffa.blog.com di 18.13


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Link ke posting ini

Buat sebuah Link

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Pengikut
Arsip Blog
Mengenai Saya
2012 (6)

2011 (6)
o Juni (1)
o Mei (1)
o Februari (3) gustinabildaffa.blog.com
Pemikiran Dzunun Al Kuala Kapuas, Kal-Teng, Indonesia
Misri Saya adalah seorang tenaga pengajar pada
Makalah Metode Tafsir sebuah Sekolah dasar di Kapuas Kal-
Tematik dan Muqaran Tenga namanya adalah SDN 3 Selat Hilir,
Makalah Metode Tafsir dengan konsentrasi mengajar sebagai
Tematik dan Muqaran Guru PAI
o Januari (1) Lihat profil lengkapku

Pemikiran Dzunun Al Misri


Metode Ilmiah dan kebenaran ilmiah

BAB I PENDAHULUAN Ilmu


pengetahuan dan teknologi selalu
berkembang dan mengalami kemajuan,
sesuai dengan perkembangan zaman dan
per...

HADIS MAUDHU DAN


PERMASALAHANNYA

BAB I PENDAHULUAN Suatu fakta


yang lumrah. Bila manusia selalu
mencoba memalsukan sesuatu yang
berharga, seperti permata, berlian atau
segal...

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM


PADA MASA KLASIK

BAB I PENDAHULUAN
Pendidika...

Makalah Filsafat Ilmu (Efismologi


fenomenologi)
BAB I BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Menurut Fuad
Hasan dalam buku beliau Pengantar
Filsafat barat di kemukakan bah...

Makalah Hadis Mutawatir dan Ahad

HADIST MUTAWATIR DAN AHAD


BAB I PENDAHULUAN Eksistensi hadis
sebagai sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al-Quran tidak dapat diragukan...

Epistemologi Irfani

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar


belakang Berbicara mengenai Filsafat
Ilmu, pasti tidak akan terlepas dari
bahasan Ontologi, Epistemologi...

Pemikiran Dzunun Al Misri

BAB I PENDAHULUAN A. Latar


Belakang Dzun Nun al-Misri adalah
seorang tokoh sufi yang telah banyak
memberikan sumbangsih berharga bag...

Makalah Metode Tafsir Tematik dan


Muqaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar


Belakang Tipologi tafsir berkembang
terus dari waktu ke waktu sesuai dengan
tuntutan dan kontekzam...

Metode Ilmiah dan kebenaran ilmiah

BAB I PENDAHULUAN Ilmu


pengetahuan dan teknologi selalu
berkembang dan mengalami kemajuan,
sesuai dengan perkembangan zaman dan
per...

PENDIDIKAN KEMBALI KE ALAM


(J.J. ROUSSEAU)



jadikanlah yang tebal itu Iman, yangg tipis
itu ...
Template Picture Window. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai