Anda di halaman 1dari 6

Karakteristik akidah islam

Tentulah banyak sekali karakteristik, kekhasan dan keistimewaan aqidah islamiyah (aqidah
Islam) yang bisa dijelaskan. Namun disini kami hanya akan menyebutkan lima karakteristik
saja diantaranya, yang kami nilai paling mendasar dan paling penting, serta semoga sudah
bisa mewakili yang lainnya. Dimana kelima karakteristik tersebut diharapkan bisa menjadi
semacam bingkai pembatas dan sekaligus sebagai acuan serta panduan bagaimana seharusnya
seorang muslim beraqidah Islam secara benar.

Pertama, ’aqidah islamiyah adalah ’aqidah ghaibiyah (ٌ‫) َعقِ ْي َدةٌ َغ ْيبِيَّة‬, yakni bahwa muatan dan
esensi aqidah Islam itu didominasi oleh keimanan kepada yang ghaib. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya): ”(Orang-orang muttaqin yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang
mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada
mereka” (QS. Al-Baqarah: 3). Dan ada beberapa catatan penting yang harus diketahui tentang
karakteristik ghaibiyah ini, antara lain sebagai berikut:

1. Yang dimaksud dengan istilah ghaib dalam keimanan Islam disini bukanlah ”ghaib”
versi dunia dukun dan paranormal, yang dibatasi pada keghaiban alam jin saja, dan
hanya terkait dengan hal-hal yang selalu berbau klenik dan mistik. Namun yang
dimaksud adalah istilah ghaib menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang meliputi
semua yang ada di balik alam nyata, yang tidak bisa ditangkap oleh kemampuan alami
indra manusia, dan bahkan tidak mampu dijangkau oleh penalaran akal dan
logikanya . Sebagaimana yang telah terangkum dalam prinsip-prinsip dan rukun-
rukun iman. Dan yang paling utama tentulah keghaiban Allah ’Azza Wa Jalla dengan
segala yang terkait dengan-Nya sesuai ketentuan aqidah Islam, seperti tentang Dzat-
Nya, Asmaa’ dan Shifat-Nya, dan lain-lain. Selanjutnya tentang keghaiban rukun-
rukun iman yang lain, seperti keghaiban alam malaikat (termasuk juga keghaiban
alam ruh dan jin), keghaiban taqdir Allah, keghaiban hari akhir dengan segala rincian
dan kronologinya, yang mencakup antara lain: peristiwa-peristiwa dahsyat hari
kiamat, alam barzakh, nikmat dan adzab kubur, hari berbangkit, hari hisab, surga,
neraka, kekekalan kehidupan akherat, dan lain-lain. Dan bahkan tentang rukun iman
kepada kitab-kitab dan rasul-rasulpun, sebagian besarnya juga bersifat ghaibi (penuh
dengan keghaiban).
2. Secara kaidah, nilai dan manfaat iman di dalam konsep aqidah Islam, adalah ketika
iman itu masih bersifat ”iman bil ghaib” (iman kepada yang ghaib). Namun ketika
hal-hal ghaib yang wajib kita imani dalam kehidupan dunia ini, atau sebagiannya,
pada saatnya, sudah bukan merupakan hal ghaib lagi bagi kita atau bagi sesorang,
maka keimanan yang baru terjadi saat itupun sudah tidak bernilai dan tidak
bermanfaat lagi, sebagaimana pintu tobatpun telah tertutup. Dan hal itu terjadi
misalnya pada saat sebagian tanda besar hari kiamat, seperti terbitnya matahari dari
barat, telah tiba. Begitu pula seperti dalam kondisi seseorang yang sedang mengalami
naza’ atau sakratul maut, karena saat itu telah ditampakkan padanya sebagian keadaan
alam ghaib, yang semula tidak bisa dilihatnya, dan juga tidak bisa dilihat oleh orang-
orang hidup yang ada di sekelilingnya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Yang
mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk
mencabut nyawa mereka) atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan beberapa tanda
Tuhanmu (tanda-tanda besar  hari kiamat) . Pada hari datangnya sebagian tanda
Tuhanmu (tanda-tanda besar hari kiamat) itu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang
bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan
kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: “Tunggulah olehmu, sesungguhnya
kamipun menunggu (pula)” (QS. Al-An’aam [6]: 158). Dan Allah berfirman tentang
kematian Fir’aun (yang artinya): ”…hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam,
berkatalah dia: “Saya beriman bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang diimani
oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri kepada
Allah)”. Apakah sekarang (baru kamu beriman), padahal sesungguhnya kamu telah
durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”  (QS.
Yunus [10]: 90-91; lihat juga QS. An-Nisaa’ [4]: 18, dan lain-lain). Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam juga bersabda (yang artinya): ”Barangsiapa yang bertobat
sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya (barat), maka Allah akan menerima
tobatnya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu). Dan beliau bersabda
lagi (yang artinya): ”Sesungguhnya Allah ’Azza wa Jalla menerima tobat seorang
hamba selama belum sampai mengalami ghargharah (ruhnya belum sampai
tenggorokan, yakni belum sampai naza’  atau sakratul maut)” (HR. At-Tirmidzi dari
’Abdullah bin ’Umar radhiyallahu ’anhuma).
3. Kita sering mendengar tentang adanya kecenderungan sebagian kalangan untuk bisa
menyingkap atau disingkapkan baginya ”tabir ghaib”. Sebagaimana ada orang-orang
tertentu yang diyakini masyarakat awam mampu menembus batas ”alam ghaib”. Ini
dan semua pemahaman, keyakinan serta kecenderungan semacam ini hanyalah
merupakan kesalahan, penyimpangan dan kesesatan belaka di dalam konsep aqidah
Islam. Karena yang ghaib itu akan tetap ghaib bagi semua yang hidup di dunia ini
sampai tiba saatnya dimana Allah menjadikannya tidak ghaib lagi. Dan ini adalah
kaidah baku, tentu dengan pengecualian khusus yang sangat terbatas sekali terkait
dengan mukjizat nabi atau karamah wali sesuai syarat-syaratnya.

Kedua, ’aqidah islamiyah adalah ’aqidah tauqifiyah (ٌ‫) َعقِ ْي َدةٌ ت َْوقِ ْيفِيَّة‬, yakni bahwa dalam
beraqidah dan memahami aqidah Islam, kita wajib berhenti dan membatasi diri pada batas-
batas ketetapan wahyu : Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih saja. Oleh karenanya:

1. Kita tidak dibenarkan mengedepankan dan mendominankan peran penalaran akal dan
logika dalam beraqidah dan memahami aqidah Islam. Karena sebagaimana yang telah
ditegaskan di muka bahwa, pada dasarnya aqidah Islam adalah ’aqidah ghaibiyah
yang tidak terjangkau oleh kemampuan akal dan logika manusia. Sehingga tindakan
takalluf (memaksakan diri) dengan mengedepankan dan mendominankan peran logika
di dalam masalah aqidah merupakan tindakan bodoh yang merusak akal,
membingungkan pikiran dan menyesatkan jalan keimanan. Dan tindakan inilah yang
telah terbukti merupakan salah satu faktor penyebab kesesatan aqidah banyak firqah
sempalan sepanjang sejarah Islam, seperti Mu’tazilah dan lain-lain.
2. Diantara contoh penyimpangan akidah akibat sikap mengedepankan dan
mendominankan peran akal/logika, misalnya: pengingkaran terhadap takdir,
mengingkaran terhadap Al-Hadits atau As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam
(inkarus-sunnah), pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah, pengingkaran terhadap
kekalnya Akherat, pengingkaran terhadap mukjizat, pengingkaran terhadap karomah,
pengingkaran terhadap tanda-tanda kiamat seperti dajjal dan yakjuj wa ma’juj,
pengingkaran terhadap syetan, pengingkaran terhadap berbagai fenomena campur
tangan jin dalam kehidupan manusia, munculnya berbagai isme akidah semisal
liberalisme, sekularisme, pluralisme agama, dan lain-lain.
3. Juga diantara bentuk sikap mengedepankan akal/logika dalam akidah dan keimanan,
yang tentu saja merupakan sebuah penyimpangan, adalah ketika seorang muslim
misalnya tidak langsung menerima kandungan ayat yang telah disepakati tafsirnya
oleh para ulama Ahlussunnah Waljamaah, kecuali jika dirasa telah masuk dalam
pemahaman akal/logikanya. Sementara bila tidak, maka ia akan mentakwilkannya
dengan cara yang dinilainya sejalan dengan akal/loginya, meskipun harus
bertentangan dengan tafsir baku para ulama Ahlussunnah Waljamaah sepanjang
sejarah sekalipun.
4. Sebagaimana dalam bidang hadits, sikap kelompok rasionalis dalam akidah dan
keimanan ini, adalah menolak setiap hadits yang dinilai bertentangan atau tidak
selaras dengan pemahaman akal dan logika mereka. Dan itu meskipun hadits tersebut
dari riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim sekalipun. Jadi mereka tidak menerima
kaidah baku para ulama hadits dalam hal penshahihan dan pendhaifan hadits dengan
syarat-syaratnya yang sangat ketat. Melainkan syarat diterimanya hadits bagi mereka,
adalah jika hadits tersebut bisa diterima logika mereka atau dengan kata lain logis
atau masuk akal bagi mereka. Yang logis/masuk akal bisa diterima. Dan yang tidak
logis/tidak masuk akal ditolak.
5. Intinya, diantara bentuk penyimpangan akidah dalam konteks ini adalah sikap
menjadikan kepahaman akal dan pembuktian empiris sebagai syarat keimanan
terhadap setiap informasi dari ayat dan hadits shahih.
6. Maka, merupakan sebuah kewajiban syar’i (faridhah syar’iyyah) dan keniscayaan
ilmu (dharurah ’ilmiyyah) bagi kita semua untuk tetap dan selalu berkomitmen
menjadikan Al-Qur’an dan As Sunnah yang shahih sebagai mashdar at-talaqqi,
yakni sumber pertama dan utama dalam pengambilan dan pemahaman aqidah Islam,
dan juga seluruh aspek ajaran Islam yang lain.
7. Namun itu semua bukan berarti kita tidak menggunakan akal dan logika sama sekali.
Tidak. Kita tetap harus menggunakannya. Namun kita wajib membatasi peran akal
dan logika di dalam bidang aqidah hanya dalam batas-batas ketetapan Al-Qur’an dan
As-Sunnah yang shahih. Dan yang perlu dipahami dan diyakini, ini bukanlah
pemasungan terhadap peran akal yang merupakan salah satu anugerah Allah yang
paling berharga. Namun sebaliknya ini justru merupakan sebuah pemuliaan setinggi-
tingginya bagi anugerah dan karunia istimewa tersebut.

Ketiga, ’aqidah islamiyah adalah ’aqidah syamilah (ٌ‫) َعقِ ْي َدةٌ شَا ِملَة‬, yakni aqidah yang lengkap,
sempurna, menyeluruh, komprehensif dan integral, yaitu aqidah dengan makna yang:

1. Mencakup dan meliputi keseluruhan pokok-pokok, prinsip-prinsip dan rukun-rukun


keimanan dengan segala konskuensinya, sebagai satu kesatuan yang tidak bisa
dipisah-pisahkan, satu sama lain, atau satu dari yang lainnya. Sehingga seandainya
ada seorang muslim yang telah menyatakan menerima dan mengimani semua isi dan
konsekuensi rukun-rukun iman tersebut, kecuali ada 1 % – nya saja misalnya atau
bahkan kurang dari itu, yang ia tolak dan tidak ia imani, dengan penuh kepahaman,
kesadaran dan kesengajaan, maka seluruh keimanannya yang 99 % itu bisa menjadi
sia-sia, tidak berguna dan tidak diterima, karenanya. Sehingga dengan begitu ia tetap
dihukumi dan disikapi sebagai orang yang tidak atau belum beriman alias masih
kafir! Jadi iman yang diterima di dalam konsep aqidah Islam haruslah sempurna, utuh
dan penuh 100 %, tidak boleh kurang sedikitpun! Namun perlu diketahui dan diingat
bahwa, yang dimaksud iman yang harus sempurna 100 % disini hanyalah iman dalam
aspek teoritisnya, dan bukan termasuk aspek praktisnya!
2. Sesuai cakupan makna ibadah yang luas dan menyeluruh. Karena ibadah merupakan
esensi, ruh dan sekaligus implementasi aqidah Islam.
3. Men-shibghah (menentukan), men-taujih (mengarahkan) dan men-takwin
(membentuk) seluruh aspek kepribadian setiap individu mukmin dan mukminah serta
kehidupan masyarakat dan ummat Islam.
4. Mencakup dan meliputi seluruh bentuk dan sifat hubungan setiap makhluk, khususnya
manusia, dengan Allah Sang Khalik, dan hubungan manusia dengan seluruh makhluk,
serta hubungan antar sesama makhluk seluruhnya.
5. Dan meliputi serta mencakup seluruh keadaan di alam kehidupan dunia, alam
kematian barzakh, dan alam kehidupan akhirat.

Keempat, ‘aqidah islamiyah adalah aqidah tauhidiyah (ٌ‫) َعقِ ْي َدةٌ ت َْو ِح ْي ِديَّة‬, yakni aqidah
ketauhidan kepada Allah. Dimana esensi dan inti utama aqidah serta keimanan di dalam
ajaran Islam ialah sikap ketauhidan seorang mukmin dan mukminan kepada Allah.

1. Kita dan semua orang yang beragama Islam dikenal sebagai umat beriman. Akan
tetapi bukan hanya kaum muslimin saja yang menyandang gelar dan julukan kaum
beriman itu. Melainkan seluruh manusia yang beragama selain Islam-pun, khususnya
dengan agama samawi (agama yang bersumberkan wahyu dari langit), juga disebut
sebagai orang-orang beriman. Lalu, jika demikian, apa dong beda antara keimanan
kaum muslimin dan keimanan umat-umat beragama lain? Tidak lain dan tidak bukan
bedanya ada pada makna dan prinsip ketauhidan tersebut di dalam keimanan.
2. Jadi memang benar para pemeluk agama lain yang juga meyakini dan mengimani
adanya Tuhan Allah dengan segala kemaha kuasaan-Nya, juga dikenal dan disebut
sebagai umat beriman. Namun keimanan tersebut tidaklah murni, melainkan
keimanan yang tercampur dengan keimanan dan keyakinan kepada selain Allah. Dan
itulah keimanan syirik yang langsung merupakan kontra (lawan) dari keimanan tauhid
yang dimiliki oleh kita kaum muslimin. Sehingga keimanan itu, dengan begitu,
terbagi kepada dua macam yaitu: keimanan tauhid yang hanya ada di dalam konsep
aqidah Islam, dan keimanan syirik yang dimiliki oleh para pemeluk agama selain
Islam. Oleh karena itu, risalah atau misi Rasulullah Muhammad shallallahu ’alaihi
wasallam, dan juga seluruh rasul ’alaihimussalam sebelum beliau, bukanlah sekadar
memperkenalkan kepada umat masing-masing akan adanya Tuhan Yang Maha
Pencipta, Maha Pemilik, Maha Pengatur, Maha Penguasa dan Maha-Maha yang
lainnya. Melainkan risalah suci dan misi pokok mereka semua, adalah untuk
mengajak kaum masing-masing kepada keimanan yang mentauhidkan Allah Ta’ala,
dengan kalimat tauhid yang sakral dan lebih dikenal dengan nama kalimat tahlil: La
ilaha illallah! Jadi makna dan prinsip ketauhidan itulah yang merupakan
persimpangan jalan pembeda antara keimanan kaum muslimin dan keimanan kaum
beragama yang lain.
3. Betauhid dengan bukti ibadah hanya kepada Allah semata, merupakan tujuan utama
penciptaan jin dan manusia. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka beribadah kepada-Ku”(QS Adz-Dzariat [51] : 56; lihat juga: QS. Al-
An’aam [6]: 162-163; Dan lain-lain).
4. Membawa, menyampaikan dan memperjuangkan keimanan tauhid khususnya dalam
ibadah juga adalah risalah dan misi utama seluruh nabi dan rasul ’alaihimus salam.
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): “Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut”, Maka di
antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di
antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di
muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul)…” (QS An-Nahl [16]: 36).
5. Oleh karena itu, kata-kata seruan dalam dakwah setiap rasul hampir sama tentang
tauhid ibadah, yakni dengan ungkapan: ”Ya qaumi’budullaha, maa lakum min ilahin
ghairuh” (”Hai kaumku, beribadahlah kamu kepada Allah saja, tiada ilah (tuhan yang
berhak diibadahi secara benar) selain Dia”). Kata-kata itu diucapkan misalnya oleh
Nabi Nuh ’alaihissalam, Nabi Hud ’alaihissalam, Nabi Shaleh ’alaihissalam, Nabi
Syu’aib ’alaihissalam (QS. Al-A’raf [7]: 59, 65, 73 & 85; QS. Hud [11]: 50, 61 & 84;
QS. [23]: 23; QS. Al-’Ankabut [29]: 36), dan lain-lain.
6. Karenanya pula, sasaran utama permusuhan iblis, syetan dan kaum kafir terhadap para
rasul ’alaihimus salam dan kaum mukminin, adalah juga tauhid dalam hal ibadah ini.
Sehingga permusuhan dan peperangan dengan beragam bentuk dan macamnya yang
dilancarkan oleh kaum musyrikin Quraisy dan yang lainnya terhadap Rasulullah
shallallahu ’alaihi wasallam dan dakwahnya, bukanlah karena beliau membawa
risalah yang berisi ajakan mengimani dan mempercayai adanya Allah Dzat Yang
menciptakan, memiliki, menguasai dan mengatur alam ini. Namun yang mereka
benci, tolak dan musuhi adalah seruan dakwah tauhid dengan bukti kewajiban ibadah
hanya kepada Allah semata, dan dengan kalimat ”sakti”-nya yang sangat mereka
takuti, yaitu: La ilaha illallah!
7. Jadi, sekali lagi, tauhid adalah persimpangan jalan utama antara keimanan dan
kekufuran. Yakni meskipun seseorang itu mungkin telah memiliki keimanan dalam
bentuk keyakinan akan adanya Allah sebagai Tuhan Pencipta dan Penguasa, namun ia
tetap dikategorikan kafir dan musyrik, serta belum dimasukkan ke dalam golongan
orang-orang mukminin, sebelum ia beriman dengan keimanan tauhid, yang tiada lain
berupa kesiapan total untuk beribadah hanya kepada Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu
bagi-Nya.
8. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman tentang orang-orang musyrik (yang artinya):
”Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik): “Siapakah
yang menjadikan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan?” tentu
mereka akan menjawab: “Allah”, Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari
jalan yang benar). Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di
antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan
kepada mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan
dengan air itu bumi sesudah matinya?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”,
Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak
memahami(nya) (QS. Al-’Ankabuut [29]: 61-63; lihat juga ayat-ayat semakna
misalnya: QS. Luqmaan [31]: 25; QS. Az-Zumar [39]: 38; QS. Az-Zukhruf [43]: 9 &
87; dan lain-lain).

Kelima, ‘aqidah Islamiyah adalah aqidah furqaniyah (ٌ‫) َعقِ ْي َدةٌ فُ ْرقَانِيَّة‬. Artinya ia merupakan
aqidah pembeda (furqan) secara jelas dan tegas antara kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-
bathil), antara keimanan dan kekufuran, antara ketauhidan dan kesyirikan, antara
keistiqamahan dan kesesatan, antara kesunnahan dan kebid’ahan, antara ketaatan dan
kemaksiatan, antara kebaikan dan kejahatan, antara keadilan dan kedzaliman, dan seterusnya.
Dimana setiap mukmin/mukminah yang beraqidah Islam wajib senantiasa memiliki kejelasan
dan ketegasan, di satu sisi, dalam sikap wala’ (mencintai, memihak, mendukung, menolong,
membela, memperjuangkan dan memenangkan) terhadap prinsip-prinsip kebenaran,
keimanan, ketauhidan, keistiqamahan, kesunnahan, ketaatan, kebaikan, keadilan, dan
semacamnya. Sebagaimana ia juga wajib mempunyai kejelasan dan ketegasan yang sama, di
sisi lain, dalam sikap bara’  (membenci, mengingkari, menjauhi, memusuhi, menentang dan
mengalahkan) terhadap segala bentuk kebatilan, kekufuran, kesyirikan, kesesatan, kebid’ahan
(yang disepakati bukan yang diperselisihkan), kemaksiatan, kejahatan, kedzaliman, dan
sejenisnya.
Dan hal itu adalah karena sikap wala’ wal bara’ tersebut memang merupakan esensi,
substansi dan konsekuensi langsung dari keimanan tauhid di dalam aqidah Islam. Oleh karena
itu, tidak ada yang namanya sikap netral di dalam konsep aqidah Islam. Sehingga berarti
pula, tidak ada yang namanya sikap netral itu bagi seorang mukmin dan mukminah dalam
seluruh aspek kehidupannya. Maka terhadap setiap tema aqidah yang bersifat prinsipil, dan
juga terhadap apapun serta siapapun di dalam kehidupan ini, yang memiliki keterkaitan
dengan muatan nilai haq-batil, iman-kufur, tauhid-syirik, lurus-sesat, baik-jahat, dan
seterusnya, tidak dibenarkan bagi seorang mukmin dan mukminah untuk bersikap netral atau
abu-abu tanpa keberpihakan yang jelas dan tegas. Jadi ingat, aqidah Islam adalah aqidah
furqan (pembeda) dan aqidah wala’ wal bara’ secara jelas dan tegas sejak awal!

Anda mungkin juga menyukai