Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

SEJARAH SERTA AJARAN


MURJI’AH DAN SUNNI

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teosofi

Dosen Pengampu: Ruma Mubarak, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Mujahid Shiroth (19110207)

Nabilatun Mubasyiroh (220101110040)

M. Mukhtar Zaidan K (220101110072)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM B

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG


2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat,
taufiq, hidayah, dan inayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan tepat waktu.

Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung


Muhammad SAW yang telah membimbing kita dari zaman jahiliyah menuju jalan yang
terang benderang yakni addinul islam wal iman.

Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Dosen pengampu mata kuliah Teosofi,
Bapak Ruma Mubarak, M.Pd.I. yang telah memberikan tugas pembuatan makalah yang
berjudul “Sejarah Serta Ajaran Murji’ah dan Sunni” untuk memenuhi nilai tugas
sehingga dapat menambah pengalaman serta wawasan kami dalam bidang studi yang
kami tekuni. Semoga ilmu yang telah Bapak berikan bisa bermanfaat bagi kehidupan
kami dikemudian hari dan juga bisa berguna bagi orang–orang sekitar.

Malang, 27 November 2022

Penulis
(Kelompok 11)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................i

DAFTAR ISI...............................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................................

A. Latar Belakang.....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................................2

C. Tujuan .................................................................................................................2

BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................................

A. Murji’ah ..............................................................................................................3

B. Sejarah Murji’ah..................................................................................................4

C. Ajaran Murji’ah...................................................................................................7

D. Sunni ...................................................................................................................8

E. Sejarah Sunni ......................................................................................................8

F. Ajaran Sunni .......................................................................................................9

BAB 3 PENUTUP .....................................................................................................

A. Kesimpulan........................................................................................................17

B. Saran..................................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................19

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Aliran Murji’ah ini merupakan golongan yang tak sepaham dengan kelompok
Khawarij dan Syi’ah. Ini tercermin dari ajarannya yang bertolak belakang dengan
ajaran Khawarij dan Syi’ah. Pengertian Murji’ah sendiri adalah penangguhan vonis
hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT, sehingga
seorang muslim sekalipun berdosa besar dalam kelompok ini tetap diakui sebagai
muslim dan mempunyai harapan untuk bertobat
Aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah timbul sebagai reaksi terhadap faham-
faham Mu’tazilah. Menurut al-Asy’ari, pemikiran Mu’tazilah banyak yang
bertentangan dengan i’tiqad kepercayaan Nabi Muhammad SAW, para sahabat serta
al-Quran dan hadis. Di samping itu, dalam penyebaran faham Mu’tazilah terjadi
suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah perkembangan
Mu’tazilah itu sendiri.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apakah Pengertian dari Murji’ah dan Sunni?

2. Bagaimana Sejarah dari Murji’ah dan Sunni?

3. Apa saja Ajaran dari aliran Murji’ah dan Sunni?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan aliran Murji’ah dan Sunni

2. Untuk memahami Sejarah Murji’ah dan Sunni

3. Untuk mengetahui ajaran-ajaran dari aliran Murjia’ah dan Sunni

2
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Murji’ah

a. Pengertian Murji’ah
Kata “Murji’ah” berasal dari kata “irja” yang memiliki beberapa arti, antara
lain: pertama, penangguhan, yaitu menundaan hukuman sampai hari kiamat untuk
orang yang mempunyai ataupun melaksanakan dosa besar dari niat dan balasanya.
Kedua, mengacu pada memupuk harapan yang berarti seseorang yang melakukan
dosa besar tetap mempunyai harapan untuk mendapatkan rahmat Allah serta
pengampunanNya sampai masih mempunyai kesempatan untuk masuk surga.
Ketiga, menyerahkan yang berarti menyerahkan permasalahan siapa yang benar dan
siapa yang salah terhadap keputusan Allah SWT kelak. kata Murji'ah berasal dari
frase bahasa Arab al-raja, yang artinya menumbuhkan harapan. Al-irja kemudian
mengacu pada i'taa al-raja (memberi harapan). Menurut al-Syahrastani, kedua tafsir
inilah yang menjadi asal mula makna al-raja'.1
Secara istilah, murji'ah adalah mazhab yang menolak atau memisahkan amal
dari iman; akibatnya, mereka berpendapat bahwa ketidaktaatan tidak melemahkan
iman seseorang. istilah pertama, irja' atau arja'a diciptakan oleh sekumpulan sahabat
untuk meningkatkan persatuan di antara umat Islam selama perselisihan politik dan
untuk mencegah sektarianisme. Syiah dan Khawarij dianggap muncul bersamaan
dengan lahirnya Murji'ah. Menurut teori kedua, Al-Hasan bin Muhammad Al-
Hanafiyah, cicit dari Ali bin Abi Thalib, pertama kali mendemonstrasikan filosofi
irja' sebagai sebuah gerakan pada tahun 695. Teori yang dikembangkan oleh Watt ini
mengklaim bahwa 20 Bertahun-tahun setelah meninggalnya Muawiyah pada tahun
680, Al-Mukhtar memperkenalkan Syiah ke Kuffah pada tahun 685–687, dan bahwa
Al-Hasan kemudian menanggapi gagasan irja' atau penangguhan tahun 695–695
dalam sebuah surat singkat yang menunjukkan sikap politik kepada mengatasi

1
Dr. H. Achmad Muhibbin Zuhri, M.Ag, Aqidah Ilmu Kalam, Surabaya: digilib.uinsby.ac.id, 2013, hal.42
3
perpecahan umat. Al-Hasan kemudian menjauh dari organisasi Syiah yang
mengagungkan Ali beserta pengikutnya serta menjauhkan diri dari golongan
Khawarij.
Dan teori yang ketiga yaitu Teori ketiga mengklaim bahwa Ali dan
Muawiyah berselisih, kaki tangan Muawiyah adalah Amr bin Ash, ia merupakan
orang yang mengusulkan tahkim (arbitrase) yang mengakibatkan pengikut ali
terpecah menjadi dua golongan yaitu Khawarij yang menentang dan syi’ah yang
merupakan pengikut setia Ali. Khawarij merupakan menentang golongan yang
menentang tahkim, mengklaim bahwa melakukan itu adalah dosa serius dan siapa
pun yang melakukannya harus dihukum sebagai kafir, bersama dengan dosa-dosa
lain seperti perzinahan, riba, dan pembunuhan yang tidak masuk akal, antara lain.
Sekte Murji'ah tidak setuju dengan pandangan ini dan mengklaim bahwa mereka
yang melakukan kejahatan berat tidak menjadi kafir tetapi tetap beriman sambil
mengakui kesalahan mereka kepada Tuhan.2
Banyak pemikir Salafi memiliki gagasan tentang sekte murji’ah yaitu Sufyan
Ats-Tsauri, dia pernah mengklaim, bahwa:
“Menurut Mur ji'ah, barang siapa yang mengucapkan syahadat Laa ilaha illa Allohu
wa anna Muhammadan 'abduhu warasuluhu telah menyempurnakan imannya.
Namun, tanpa tindakan amal atau perbuatan baik, iman hanyalah retorika.Dia
memiliki tingkat keimanan yang sama Imannya seper ti imannya Jibril dan para
malaikat meskipun dia membunuh (orang yang haram darahnya-pent) dia tetap
dikatakan sebagai mukmin, dan meskipun dia meninggalkan mandi janabat serta
tidak sholat. Mereka juga menghalalkan darah kaum muslimin”3
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa mazhab Murji'ah kalam
adalah yang berpandangan bahwa orang yang melakukan kejahatan besar tidak
kehilangan imannya melainkan tetap beriman. Dan penyelesaian masalah yang
melibatkan dosa serius yang telah dilakukan ditunda hingga akhir dunia. Menurut
mereka, kemaksiatan tidak membuat iman seseorang menjadi lemah.
b. Sejarah Lahirnya Mur’jiah
Lahirnya murjiah yaitu orang orang yang memisahkan atau tidak campur
2
Rubini, Khawarij dan murji’ah perspektif ilmu kalam, Yogyakarta, komunikasi dan pendidikan islam, 2018,
hal.108-110
3
Dr. H. Achmad Muhibbin Zuhri, M.Ag, Aqidah Ilmu Kalam, Surabaya: digilib.uinsby.ac.id, 2013, hal.42
4
tangan dari kelompok islam yang bertikai, Dengan sikap kritis yang diperoleh dari
sekumpulan ulama ketika kerasnya paham Khawarij pada saat itu. Munculnya aliran
murjiah sama dengan aliran Khawarij, yang sama-sama ditimbulkan oleh persoalan
politik yaitu persoalan politik yang pada saat itu membawa perpecahan dikalangan
umat islam setelah terbunuhnya khalifah ustman bin affan. Seperti yang dikatakan
sebelumnya, Khawarij adalah sekutu pertama Ali sebelum berbalik melawannya.
Syiah, kelompok berbeda yang membela Ali, semakin keras dan kuat sebagai akibat
dari perlawanan ini. Namun, mereka bersatu dalam menentang pemerintahan Bani
Umayyah dengan motivasi yang berbeda.
Pada permusuhan ini, muncullah aliran baru dengan kenetralannya yang
menolak untuk mengambil bagian dalam kekafiran yang menimpa komunitas yang
terbentuk selama pertempuran ini. Bagi mereka, kelompok lawan terdiri dari mereka
yang dapat dipercaya dan tetap berada di jalan. Oleh karena itu, mereka menahan diri
untuk tidak menyebutkan siapa yang salah dan siapa yang benar, dan lebih baik
menunda pengambilan keputusan sampai hari perhitungan di hadapan Allah. Dengan
demikian, Murji'ah adalah mereka yang tidak ikut campur dalam perselisihan dan
mengambil posisi meninggalkan kepercayaan mereka atau menerima mereka yang
membantah keberadaan Tuhan.4
Terdapat beberapa menjelaskan asal usul munculnya aliran mur’jiah, antara
lain yaitu: mengatakan bahwa konsep irja atau arja'a diciptakan oleh beberapa
sahabat untuk menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam di masa konflik politik
serta untuk mencegah konflik politik.
Beberapa pakar pensinyalir mengatakan bahwa Al-Hasan bin Muhammad Al-
Hanafiyah, cucu Ali bin Abi Thalib, mendemonstrasikan konsep irja atau arja'a yang
menjadi landasan teologi Islam, untuk pertama kalinya sebagai gerakan politik
sekitar tahun 695. Watt adalah orang yang pertama kali mengusulkan ide ini. Teori
ini, yang dibenarkan oleh Watt, menyatakan bahwa perang saudara mengoyak dunia
Islam 20 tahun setelah kematian Muawiyah pada tahun 680 H. Konsep irja, atau
penangguhan, dikembangkan sebagai reaksi terhadap keadaan ini. Al-Hasan bin
Muhammad Al-Hanafiyah, cucu Ali bin Abi Thalib, menggunakan konsep ini
pertama kali dalam surat sekitar tahun 695 H. Dalam surat tersebut, Al-Hasan
4
Ahmad Nazeh Sobirin, Bella Ana Sahida, Amin Afrizal, 2020, aliran murjiah, Surabaya: academia, hal.5
5
mengungkapkan pandangan politiknya dengan menulis, “mengakui Abu Bakar dan
Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil
pertama yang melibatkan Usman, ‘Ali dan Zubair (seorang tokoh pembelot ke
Mekah).” Dengan sikap politik tersebut, Al-Hasan berusaha mempersatukan umat
Islam. Dia kemudian menghindari kelompok revolusioner Syiah yang memuji Ali
dan pengikutnya terlalu tinggi dan menjaga jarak dari Khawarij yang menolak
menerima kekhalifahan Mu'awiyah dengan alasan bahwa dia adalah keturunan
Usman yang berdosa.
Akan tetapi, aliran Murji'ah didirikan pada akhir abad pertama Hijrah, ketika
kedudukan kerajaan Islam telah berpindah dari Madinah ke Kufah dan akhirnya ke
Damaskus. Semuanya berawal dari pergolakan perang politik imamah atau khilafat
di bawah kekuasaan khalifah utsman bin Affan setelah wafatnya Utsman. Kemudian
berlanjut dan berkembang di bawah Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat. Pintu
tragedi telah dibuka untuknya oleh umat Islam, dan tidak akan ditutup sampai Hari
Kebangkitan, menurut Abdullah bin Salam, yang membunuh Khalifah Utsman.
Sementara itu, persaingan politik bahkan mengakibatkan pertengkaran fisik
antara gubernur Mu'awiyah dan khalifah Ali bin Abi Thalib, yang diselesaikan
melalui tahkim atau arbitrase. Meski Ali sendiri adalah orang yang cerdas,
pasukannya memaksanya untuk menerima tahkim. Namun, secara historis, dapat
diklaim bahwa ini adalah keadaan yang melahirkan arus Islam, termasuk aliran
Murji'ah.5
Dinasti Umayyah memerintah pada fase yang sangat produktif di aliran
Murji'ah ini. Karena tidak memihak dan tidak memusuhi pemerintah yang sah, aliran
ini bukanlah pemberontakan terhadap penguasa. Selanjutnya, aliran ini semakin
kehilangan polanya, bahkan sebagian ajarannya diterima oleh aliran Kalam. Aliran
Ahlus Sunnah wal Jama'ah menerima ajaran tentang iman, kekufuran, dan dosa besar
dari kelompok Murji'ah Moderat, yang telah hilang dari sejarah sebagai gerakan yang
berdiri sendiri. bagaimanapun, kelas Murji'ah ekstrim tidak lagi hadir dan telah
lenyap. Namun, beberapa Muslim yang mengikuti ajarannya masih menganut
pandangan ekstremisnya. Kemungkinan besar, mereka tidak menyadari bahwa

5
Dr. H. Achmad Muhibbin Zuhri, M.Ag, Aqidah Ilmu Kalam, Surabaya: digilib.uinsby.ac.id, 2013, hal.46-47
6
mereka benar-benar menganut doktrin keras organisasi Murji'ah.6
c. Ajaran Aliran Murji’ah
Pokok ajaran murji’ah pada dasarnya ada 2, yaitu:
a) Tentang pelaku dosa besar bahwa selama seseorang percaya tiada tuhan
selain Allah dan nabi Muhammad adalah Rasulallah, maka dia dianggap
mukmin bukan kafir karena amal tidak sampai merusak iman. Kalaupun
ia tidak diampuni oleh Allah SWT dan dimasukkan kedalam neraka, ia
tidak akan kekal didalam neraka seperti orang kafir.
b) Iman adalah keyakinan dalam hati bahwa tiada tuhan selain Allah SWT.

Menurut Harun Nasution menyatakan bahwa ajaran pokok murji’ah sebagai


berikut:
a) Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr Ibn Ash, dan Abu Musa al-
Asy’ary yang terlibat tahkim dan Menyerahkannya kepada Allah di hari
kiamat kelak.
b) Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa
besar.
c) Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal.
d) Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

W. Montgomery Watt, menyatakan bahwa doktrin teologi Murji’ah terdiri


dari
hal-hal berikut:
a) Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah
memutuskannya di akhirat kelak.
b) Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat al-
Khalifah ar-Rasyidun
c) Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa
besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d) Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis
dan empiris dari kalangan Helenis.
6
Ratu Suntiah, murjiah, banten: 2008, hal.37-38
7
Sementara itu, Sementara itu, Abul A’la al-Maududi menyebut ajaran
Murji’ah dalam dua doktrin pokok, yaitu:
a) Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau
perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal
ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang
difardukan dan melakukan dosa besar.
b) Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati,
setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas
seseorang. Untuk dapat pengampunan, manusia cukup hanya dengan
menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan aqidah tauhid.7
B. Sunni
a. Pengertian Sunni
Sunni berasal dari kata Sunnah. Secara literal makna sunnah adalah tradisi,
budaya yang sudah terbentuk dalam masyarakat. Dalam Mushaf (Al-Quran), kata
Sunnah muncul dalam berbagai konteks, contohnya sunnat al awwaliin yang berarti
tradisi, kultur, adat istiadat orang terdahulu dan sunnat Allah SWT. Dalam rekognisi
syara’, kata sunnah diartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
dan disambungkan oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sunnah yang sama
artikan dengan hadits, sudah menjadi istilah yang dipakai dalam paham dan
implementasi bagi kaum muslimin doktrinal. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil,
kata sunnah juga diartikan sebagai perbuatan (fi’l), perkataan (qawl), dan penerimaan
atau pendiaman Nabi Muhammad terhadap tindakan yang dilakukan oleh para
sahabat (taqrir). Lalu maksud dari kata sunni adalah penamaan untuk golongan
muslim yang mendukung sunnah menurut peristilahan syara’ ahli hadits, ahli kalam
dan ahli diplomasi.8
b. Sejarah Sunni
Istilah Sunni atau Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamaah muncul saat bersepahnya
perpolitikan yang membawa nama Islam. Ketika Rasulullah SAW tutup usia, saat itu
tidak ada determinasi mengenai pengganti beliau. Akibatnya, terjadilah kontroversi
dalam pemilihan siapa yang berhak dan pantas untuk mengalihkan gelar khalifah
Ratu Suntiah, murjiah, banten: 2008, hal.38-39
7

8
Bandingkan, Hamed Inayat, Reaksi Politik Sunni dan Syiah Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi
Abad ke-20, terj. Asep Hikmat, (Bandung: Pustaka, 1988) 8.
8
beliau. Selepas krisis dan kebimbangan selama dua hari, yang membuat pemakaman
Rasulullah menjadi tertunda, diputuskanlah Abu Bakar As-Shiddiq sebagai penerus
ke khalifahan Rasulullah.

Sementara itu, golongan yang lebih umum, kemudian disebut Sunni.


Golongan
ini hingga saat ini terbagi dalam empat mahzab berbeda. Yang perlu dicatat, empat
mahzab tersebut tidak menandakan perpecahan. Perbedaan empat mahzab hanya
terletak pada masalah-masalah yang bersifat “abu-abu”, tidak diterangkan secara jelas
oleh Al-Quran atau hadits seiring dengan kemajuan zaman dan kompleksitas hidup
muslim.
c. Ajaran Sunni
Pokok ajaran sunni pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu ajaran
Asy’ariyah dan ajaran Maturidiyah.
i. Sejarah Asy’ariyah
Dinamakan aliran Asy’ariyah karena dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu
Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Beliau lahir di Bashrah (Irak) pada tahun
260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M.Al-Asy’ari mengawali belajar ilmu
kalam dari ayah tirinya yang bernama Ali al-Jubbai yang beraqidah Mu’tazilah.
Dengan demikian maka al-Asy’ari mempunyai paham yang sama dengan gurunya,
yaitu Mu’tazilah. Aliran ini diyakininya sampai berusia 40 tahun. Sampai pada akhir
dialog tersebut, al-Jubba’i terdiam dan tidak dapat menjawab pertanyaan al-Asy’ari,
sehingga al-Asy’ari merasa tidak puas dan mulai meragukan doktrin ajaran
Mu’tazilah.
Dari keraguan itulah, maka al-Asy’ari munajat untuk memohon petunjuk
kepada Allah Swt. dan tidak keluar dari rumah selama 15 hari. Setelah hari ke-15
kemudian ia pergi ke masjid Bashrah untuk mengumumkan keteguhannya dalam
meninggalkan aliran Mu’tazilah. Di samping alasan tersebut. al-Asy’ari
meninggalkan Mu’tazilah karena sikap Mu’tazilah yang lebih mementingkan
pendekatan akal dari pada menggunakan al-Qur’an dan hadiś. Untuk itu, al-Asy’ari
mulai mengembangkan ajaran teologinya dengan mendahulukan dalil naqli (al-
Qur’an dan al-hadiś) dan membatasi penggunaan logika filsafat.

9
Corak pemikiran kalam Abu Hasan al-Asy’ari yang demikian itu menjadi
mudah dipahami oleh kebanyakan orang, sehingga memperoleh pengikut serta
pendukung yang banyak. Imam Abu Hasan al-Asy’ari berjuang melawan kaum
Mu’tazilah dengan lisan dan tulisan, berdebat dan bertanding dengan kaum
Mu’tazilah di mana-mana, sehingga nama beliau masyhur sebagai Ulama Tauhid
yang dapat menundukkan dan menghancurkan paham Mu’tazilah.
Aliran teologinya disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah karena lebih
banyak menggunakan al-Sunnah dalam merumuskan doktrin kalamnya, dan
memperoleh pengikut yang cukup besar (wal-jama’ah) dari kalangan masyarakat,
karena kesulitan mengikuti pemikiran kalam aliran Mu’tazilah yang menggunakan
corak pemikiran filsafat yang rumit. Pemikiran aliran Asy’ariyah kemudian
dikembangkan oleh generasi penerusnya, yaitu Imam al-Ghazali (450-505 H/ 1058-
1111 M), Imam Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210 M), Abu Ishaq al-Isfirayini (w
418 H/1027 M), Abu Bakar al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M), dan Abu Ishaq
Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M).
Pokok-pokok Ajaran Asy’ariyah terbagi menjadi lima ajaran, yakni:
a) Sifat Tuhan
Pandangan al-Asy’ari tentang sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara
Mu’tazilah dan Mujassimah. Mu’tazilah tidak mengakui sifat wujud, qidam,
baqa’ dan wahdaniah (ke-Esaan) dan sifat-sifat yang lain, seperti sama’,
bashardan lain-lain. Golongan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan
dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui adanya sifat-sifat Allah sesuai
dengan Zat Allah sendiri namun sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat
makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti manusia mendengar, Allah
dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan seterusnya.
b) Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Pendapat al-Asy’ari dalam soal ini juga di tengah-tengah antara Jabariyah
dan Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, bahwa manusia itulah yang mengerjakan
perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya.
Menurut aliran Jabariyah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau
menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu
yang bergerak kian kemari menurut arah angin yang meniupnya. Al-Asy’ari
10
mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi
berkuasa karena memperoleh (kasb) dari Allah.
c) Keadilan Tuhan
Menurut Al-Asy’ari, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk
menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak
mutlak Tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.
d) Melihat Tuhan di akhirat
Menurut Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala di
akhirat nanti, walaupun di surga. Paham ini berlawanan dengan paham
Asy’ariyah yang berpendapat bahwa Tuhan akan dilihat oleh penduduk surga
oleh hamba hambanya yang saleh yang banyak mengenal Tuhan ketika hidup
di dunia, Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Qiyāmah (75) : 22-23 Artinya:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada
Tuhannyalah mereka melihat. (QS. Al-Qiyāmah [75] : 22-23)
Berdasarkan ayat tersebut, Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa
ketika orang mukmin dimasukkan ke surga, maka wajah mereka berseri-seri
karena kegembiraannya. Dan kegembiraan yang paling tinggi adalah ketika
mereka melihat Tuhan. Secara akliyah, setiap yang ada/wujud dapat dilihat,
Tuhan itu ada maka bisa dilihat. Adapun tentang bagaimana cara-caranya
penghuni surga melihat Tuhan, maka diserahkan kepada Tuhan.
e) Dosa besar
Aliran Asy’ariyah mengatakan, bahwa orang mukmin yang melakukan dosa
besar dihukumi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan
langsung masuk surga, ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya, dan
kemudian baru dimasukkan surga, semuanya itu terserah tuhan.
Ajaran Maturidiyah dibagi menjadi dua jenis yakni Maturidiyah Samarkan
Maturidiyah Bukhara.
i. Maturidiyah Samarkan
a. Sejarah Maturidiyah Samarkan
Nama aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu
Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid (sebuah kota kecil
di daerah Samarkand, termasuk wilayah Uzbekistan, Sovyet) kurang lebih
11
pada pertengahan abad ketiga Hijriyah dan meninggal dunia di kota
Samarkand pada tahun 333 H.Diantara guru al-Maturidi adalah Nasr bin
Yahya al-Balkhi (w. 268 H). Beliau hidup pada masa pemikiran dan
perdebatan keilmuan Islam masih dinamis, walaupun aliran Mu’tazilah
sudah mulai redup pamornya, sehingga dalam beberapa hal, pemikiran
kalam al-Maturidi ada kemiripan dengan Mu’tazilah, namun sebagian besar
mempunyai kesamaan dengan pemikiran kalam al-Asy’ari. Di bidang fikih,
ulama Maturidiyah adalah mengikuti madzhab Hanafi.
Untuk mengetahui corak pemikiran al-Maturidi maka tidak dapat
meninggalkan pola pemikiran al-Asy’ari dan aliran Mu’tazilah. Al-Maturidi
danal-Asy’ari memposisikan diri sebagai kontra pemikiran Mu’tazilah.
Dengan posisi ini, al-Maturidi sangat berjasa dalam mempertahankan
i’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah sebagaimananya Imam al-Asy’ari.
Abu Masur al-Maturidi termasuk penulis yang produktif. Beliau tidak
hanya menulis kitab yang berisi ilmu kalam saja, tetapi juga di bidang ilmu
keislaman lainnya, ada beberapa kitab yang berhasil ditulisnya, diantaranya
adalah:
 Kitab Ta’wilat al-Qur’an at- Ta’wilat Ahl al-Sunnah.(Tafsir)
 Kitab Ma’khadh al-Syari‘ah.(Usul al-Fiqh)
 Kitab al-Jadal.(Tafsir & Kalam Ahl al-Sunnah)
 Kitab al-Usul (Usul al-Din).
 Kitab al-Maqalat.
 Kitab al-Tawhid.
 Kitab Bayan Wahm al-Mu‘tazilah.
Pokok-pokok Ajaran Maturidiyah Samarkan antara lain adalah
a) Kewajiban mengetahui Tuhan
Menurut al-Maturidi, akal dapat mengetahui kewajiban untuk
mengetahui Tuhan, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan dalam ayat ayat
al-Qur’an untuk menyelidiki (memperhatikan) alam, langit dan bumi. Akan
tetapi meskipun dengan akal sanggup mengetahui Tuhan, namun ia tidak
sanggup mengetahui dengan sendirinya hukum-hukum taklifi (perintah-
12
perintah Tuhan). Pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah.Pendapat
al-Maturidi tersebut mirip dengan pendapat Mu’tazilah. Hanya
perbedaannya ialah kalau aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa pengetahun
Tuhan itu diwajibkan oleh akal (artinya akal yang mewajibkan), tetapi
menurut al-Maturidi, meskipun kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal, tetapi kewajiban itu sendiri datangnya dari Tuhan.

b) Kebaikan dan keburukan menurut akal


Al-Maturidi mengakui adanya keburukan objektif (yang terdapat pada
suatu perbuatan itu sendiri) dan akal dapat mengetahui kebaikan dan
keburukan sebagian saja. Kebaikan dan keburukan dibagi menjadi tiga.
Pertama, yang dapat diketahui kebaikannya melalui akal, kedua yang tidak
diketahui keburukannya oleh akal, dan ketiga yang tidak jelas keburukan
dan kebaikannya menurut akal. Kebaikan dan keburukan yang nomor tiga
ini, hanya dapat diketahui dengan syara’.
Bagi al-Maturidi, meskipun akal sanggup mengetahui suatu kebaikan
dan keburukan, namun kewajiban itu hanya dapat diketahui melalui syara’,
karena akal semata tidak dapat bertindak sendiri dalam kewajiban-
kewajiban agama, sebab yang mempunyai taklif (mengeluarkan perintah-
perintah agama) hanya Tuhan sendiri. Pendapat al-Maturidi tersebut tidak
sesuai dengan pendapat al-Asy’ari yang mengatakan, bahwa sesuatu tidak
mempunyai kebaikan dan keburukan objektif (zati), melainkan kebaikan itu
ada (terdapat) karena adanya perintah syara’ dan keburukan itu ada karena
larangan syara’, jadi kebaikan dan keburukan itu tergantung kepada Tuhan.
c) Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan
Menurut aliran Asy’ariyah, segala perbuatan Tuhan tidak dapat
ditanyakan mengapa, artinya bukan karena hikmah atau tujuan, sedang
menurut Mu’tazilah sebaliknya, karena menurut mereka Tuhan tidak
mungkin mengerjakan sesuatu yang tidak ada gunanya. Kelanjutannya ialah
bahwa Tuhan harus (wajib) memperbanyak berbuat yang baik dan terbaik
mengandung kebijaksanaan (hikmah), baik dalam ciptan-Nya maupun
dalam perintah dan larangan-larangan-Nya (taklifi), tetapi perbuatan Tuhan
13
tersebut tidak karena paksaan (dipaksa). Karena itu tidak dapat dikatakan
wajib, karena kewajiban itu mengandung suatu perlawanan dengan iradah-
Nya.

ii. Maturidiyah Bukhara


a. Sejarah Maturidiyah Bukhara
Pemikiran kalam Matudiyah Bukhara dikembangkan oleh al-Bazdawi.
Nama
lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al-Husain bin
Abdul Karim al-Bazdawi, dilahirkan pada tahun 421 H. Kakek al-Bazdawi
yaitu Abdul Karim, hidupnya semasa dengan al-Maturidi dan salah satu murid
al-Maturidi. Al-Bazdawi mengkaji pemikiran kalam al-Maturidiyah melalui
orang tuanya. Setelah itu belajar kepada beberapa ulama seperti: Ya’kub bin
Yusuf bin Muhammad al-Naisaburi dan Syekh al-Imam Abu Khatib. Di
samping itu, ia juga mempelajari filsafat yang ditulis al Kindi dan pemikiran
Mu’tazilah seperti yang ditulis oleh Abdul Jabbar al-Razi, al-Jubba’i, al-Ka’bi,
dan al-Nadham. Selain itu ia juga mendalami pemikiran al-Asy’ari dalam kitab
al-Mu’jiz. Adapun pemikiran al-Maturidi dipelajarinya lewat kitab al-Tauhid
dan kitab Ta’wilah al-Qur’an. Al-Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478
H/1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai hakim di Samarkand pada tahun 481
H/1088 M, lalu kembali ke Bukhara dan meninggal di kota tersebut pada tahun
493 H/1099 M.
Pokok-pokok Ajaran Maturidiyah Bukhara antara lain;
a) Akal dan Wahyu
Menurut al-Bazdawi, akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan
yang baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui yang
baik dan yang buruk saja. Adapun yang menentukan kewajiban tentang
perbuatan baik dan buruk adalah Tuhan. Jadi menurut al-Bazdawi mengetahui
Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk dapat diketahui melalui akal,
sedangkan kewajiban berterima kasih kapada Tuhan serta kewajiban
melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk, hanya dapat diketahui
melalui wahyu.
14
b) Sifat-sifat Tuhan
Menurut al-Bazdawi, Tuhan mempunyai sifat-sifat. Beliau juga
menjelaskan
bahwa kekekalan sifat-sifat itu melekat dengan esensi Tuhan itu sendiri, bukan
melalui kekekalan sifat-sifat. Tuhan tidak mempunyai sifat sifat jasmani. Ayat-
ayat al-Quran yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani
haruslah diberikan takwil. Oleh sebab itu, menurut al-bazdawi, kata istiwa
haruslah dipahami dengan “menguasai sesuatu dan memaksanya,” demikian
juga ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai mata, tangan,
bukanlah berarti Tuhan mempunyai anggota badan.
c) Kalam Allah Swt.
Al-Badzawi berpendapat bahwa al-Qur’an itu adalah kekal tidak
diciptakan. Kalamullah (al-Quran) adalah sesuatu yang berdiri dengan dzatnya,
sedangkan yang tersusun dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal,
jumlah dan bagian, bukanlah kalamullah secara hakikat, tetapi al-Qur’an dalam
bentuk kiasan (majaz).
d) Perbuatan Manusia
Al-Bazdawi mengatakan bahwa di dalam perwujudan perbuatan
terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.
Menurutnya, Perbuatan Tuhan adalah penciptaan perbuatan manusia dan bukan
penciptaan daya. Manusia hanyalah melakukan perbuatan yang diciptakan itu.
Al-Bazdawi mengambil kesimpulan bahwa perbuatan manusia, sesungguhnya
diciptakan Tuhan, tetapi tidaklah perbuatan Tuhan. Al-Bazdawi juga
mengatakan bahwa manusia bebas dalam kemauan dan perbuatannya, namun
demikian, kebebasan manusia dalam faham ini, kalaupun ada, kecil sekali.
Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang telah diciptakan
Tuhan.
e) Janji dan Ancaman
Menurut al-Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya
untuk
memberi upah kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak
mungkin membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang
15
berbuat jahat. Oleh karena itu nasib orang yang berdosa besar ditentukan olah
kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampun
kepada orang yang bedosa, maka Tuhan akan memasukkanya bukan ke dalam
neraka, tetapi ke dalam surga, dan jika ia berkehendak untuk memberi
hukuman kepadanya, Tuhan akan memasukkannya ke dalam neraka buat
sementara atau buat selama-lamanya.Meskipun dua tokoh aliran Maturidi dan
juga Asy’ari berbeda dalam beberapa hal, tetapi punya prinsip yang sama. Jika
terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal harus tunduk kepada
wahyu. Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu dengan satu aliran besar
(Ahlu Sunnah Wal Jama’ah). Aliran Maturidiyah Samarkand dan Bukhara
sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena
adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di
akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal
sebelum bertaubat, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak
Allah Swt.

16
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaum murji'ah ditimbulkan oleh persoalan politik, yaitu ketika persoalan


Kholifah setelah terbunuh usman bin affan. Diantara pertikaian antar golongan yang
setia pada Ali dan yang keluar, kemudian muncullah satu aliran yang tidak bersikap
netral dan tidak ikut kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan tersebut.
Golongan yang bersifat netral ini disebut kaum murji'ah. Aliran Murjiah menegaskan
bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetp mukmin dan bukan kafir. Adapun
soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau
menghukumnya.
Sunni atau Ahl al-Sunnah Wa al- Jama’ah atau terkadang juga dikenal
dengan sebutan ASWAJA merupakan paham yang berdasarkan pada tradisi Nabi
Muhammad SAW, di samping berdasar pada Al Qur’an sebagai sumber hukum
Islam yang pertama. Sunni lebih dikenal dengan sebutan Ahl al-Sunnah Wa
alJama’ah. Ahl al-sunnah memiliki makna orang-orang yang mengikuti sunah
Nabi, dan wal Jama’ah berarti mayoritas umat. Dengan demikan makna kata Ahl
al-Sunnah Wa al- Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti sunah Nabi
Muhammad SAW dan mayoritas sahabat, baik dalam syariat (hukum agama
Islam) maupun aqidah (kepercayaan)

17
B. Saran

Untuk mengkaji materi Murji’ah dan Sunni tentunya membutuhkan


pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengertian, sejarah, dan ajaran dari
keduanya. Oleh karena itu, kami menyarankan pembaca agar tidak puas dan
berkeinginan untuk mengoreksi apa yang telah kami tulis dalam makalah ini.
Sehingga ilmu pengetahuan kita tentang Murji’ah dan Sunni menjadi bertambah dan
pemahaman kita menjadi semakin mendalam.

18
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Muhibbin Zuhri, “aqidah ilmu kalam,” digilib.uinsby.ac.id, 2013, Hal.46-49,


https://core.ac.uk/download/pdf/146820321.pdf#page=53
Sobirin Nazeh, “aliran murjiah,” academia, 2020, hal.5-6,
file:///C:/Users/Ok/OneDrive/Documents/semester%201/teosofi/sumber
%20makalah/Kelompok_Aliran_Murjiah20200601-115894-1mjatue-with-cover-page-v2.pdf
Rubini, “Khawarij dan murji’ah perspektif ilmu kalam,” komunikasi dan pendidikan islam,
juni 2018, hal.108-110,
http://www.journal.staimsyk.ac.id/index.php/almanar/article/view/85
Suntiah Rara, “Aliran Murjiah,” ilmu kalam, 2008, hal.37-39,
file:///C:/Users/Ok/AppData/Local/Microsoft/Windows/INetCache/IE/PLT9IUBZ/
BAB%201-13[2].pdf
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet.V; Jakarta:
UI Press)
Muhammad Abu> Zahrah, Tarikh al-Maza>hib al-Islamiyyah, terj. Abdurrahman Dahlan
dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta: Logos Publishing
House, 1996)
Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU
(Cet.Ke-7; Jakarta: Lantabora Press, 2005)
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1995)

19
20

Anda mungkin juga menyukai